You are on page 1of 22

PENGGUNAAN MEDIA SEBAGAI INSTRUMEN PERANG

(STUDI ANALISIS DISKURSUS DALAM KASUS NUKLIR IRAN)


Salim Alatas
salim_oemar@yahoo.co.id

I.

PENDAHULUAN
Perang di era modern adalah sebuah perang yang lebih mengandalkan kekuatan

media ketimbang kekuatan fisik. Pemerintahan Amerika Serikat dan Pentagon adalah
sebuah contoh bagaimana melakukan salah satu kampanye public relation paling sukses
dalam sejarah politik modern dalam penggunaan media untuk menggerakan dukungan
terhadap perang. Perang AS terhadap Irak, menurut Kellner, adalah sebuah perang yang di
hasilkan oleh interaksi antara Pemerintahan Bush, Pentagon dan media yang
mempergunakan berbagai citra dan wacana tentang krisis, dan menggerakan persetujuan
dan dukungan bagi intervensi militer AS.
Samuel Huntington, menjelaskan dalam bukunya yang fenomenal The Clash of
Civilization and The Remaking of World Order (2003 : 476) , bahwa opini publik dunia
menolak penyerangan AS ke Irak pada perang teluk I. Upaya militer Barat, menurut
Huntington, hanya memperoleh sedikit dukungan masyarakat non-Barat. Lebih dari 50 %
masyarakat non-Barat menentang dan hanya 25 % menyatakan dukungannya. Dengan
demikian, upaya untuk membalikkan opini publik kearah mendukung perang, dalam
pandangan pemerintah AS, adalah strategi mendesak yang harus dilakukan.
Douglas Kellner (1995 : 199) telah melakukan sebuah analisis menarik mengenai
bagaimana media telah diperalat untuk kepentingan perang. Dalam analisisnya yang
cukup kritis, dia menilai bahwa perang terhadap Irak merupakan sebuah teks yang
dihasilkan oleh pemerintahan Bush, Pentangon dan media yang mempergunakan berbagai
citra dan wacana tentang krisis, untuk menggerakkan persetujuan dan dukungan bagi
intervensi militer AS. Kellner (1995 : 199) juga melihat bahwa sejak awal, berbagai

1
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

institusi berita utama mengikuti kebijakan pemerintahan Bush dan Pentagon. Media-media
utama di AS adalah media komersial, yang bersaing mendapatkan audiens dan keuntungan.
Akibatnya, televisi, surat kabar, dan majalah berita utama, tidak mau kehilangan para
konsumen, sehingga sangat berhati-hati dalam melawan opini publik dan pendapat resmi
pemerintah. Media-media utama juga mendahulukan sumber resmi pemerintah untuk
berbagai ceritanya, khususnya dalam masa krisis. Karena itu, mereka cenderung menjadi
corong kebijakan dan tindakan pemerintah AS.
Media-media mainstream di AS telah menjadi kaki tangan pemerintah. Ketika
pemerintahan Bush mengirim pasukan berjumlah besar ke wilayah Irak, media-media
utama mendukung tindakan ini dan menjadi corong untuk menggerakkan dukungan bagi
kebijakan AS. Selama beberapa minggu, hanya sedikit suara penolakan yang terdengar di
media-media utama. Berita, komentar, dan diskusi, terutama di televisi, sangat menyanjung
solusi militer atas krisis tersebut, sebagai kendaraan propaganda bagi militer AS. Tidak ada
debat televisi yang penting mengenai berbagai konsekuensi berbahaya respons militer
besar-besaran AS atas invasi Irak, atau mengenai kepentingan dan kebijakan yang
dilakukan oleh invasi militer tersebut. Kritik atas kebijakan AS secara luas menghilang dari
media-media utama yang memberitakan krisis tersebut, dan hanya sedikit analisis
ditampilkan yang menyimpang dari isu-isu yang dihadirkan oleh Pemerintahan Bush.
Pemerintahan Bush mengontrol wacana media, sebagian melalui penyesatan
informasi dan propaganda, dan sebagian lagi melalui control pers dengan system sumber
daya kolektif (pool system). Pada hari-hari pertama krisis teluk, misalnya, administrasi
Bush melakukan kampanya penyesatan informasi yang sangat sukses dengan tujuan
mengontrol dan memanipulasi berbagai sumber yang membenarkan pengerahan militer di
Arab Saudi pada 8 Agustus 1990. Selama hari-hari pertama krisis, pemerintah AS sering
menyatakan bahwa pihak Irak sedang menggerakkan pasukan di perbatasan Arab Saudi
dengan tujuan menginvasi kerajaan yang kaya minyak itu. Hal ini merupakan informasi
yang sangat menyesatkan, dan berbagai kajian berikutnya mengungkap bahwa Irak tidak
memiliki keinginan menginvasi Arab Saudi dan tidak memiliki pasukan dengan jumlah
besar yang mengancam perbatasan Saudi (Lihat Kellner :1995, 201-202)

2
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

Chandra Muzaffar (2003 : 228), mendekripsikan bagaimana media-media


mainstream di AS mendukung perang melawan Irak. Pendapat ini diperkuat dengan
tudingan Direktur Jendral British Broadcasting Corporation (BBC), Greg Dyke, pada Fox
News Channel, jaringan televise kabel AS paling popular selama perang. Ia menyatakan
Fox sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab karena patriotismenya yang berlebihan.
Dia juga mengkritik kelompok radio terbesar AS, Clear Channel Communications karena
telah menggunakan gelombang siarannya untuk mengorganisir kampanye pro-perang.
Demikian pula dengan CNN yang telah melakukan pemberitaan yang timpang mengenai
perang tersebut.
Bahkan setelah perang media Amerika terus memicu sentimen publik untuk
merasionalisasi dan membenarkan segala tindakan Washington demi mempertahankan dan
melanggengkan kekuasaannya di Irak. Para tentara Amerika di tampilkan sebagai
pahlawan dan pembebas. Sementara rakyat Irak yang berunjuk rasa menentang
kekuasaan Amerika dicemooh sebagai orang-orang fanatik yang ingin mendirikan sebuah
teokrasi. Disamping itu, ketidak berimbangan benar-benar dapat dilihat secara jelas, betapa
sedikit sekali liputan mengenai ribuan rakyat yang terbunuh oleh pasukan pendudukan.
Hal ini sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh seorang kritikus media paling
berpengaruh di AS, Noam Chomsky, bahwa Institusi-institusi media komersial telah
membentuk dan mendefinisikan norma-norma dan keyakinan-keyakinan masyarakat dalam
kaitannya dalam kepentingan sosial, politik, dan ekonomi yang dominan di suatu Negara.
Dengan begitu, menurut Chomsky, media memobilisasi publik untuk mendukung
kepentingan-kepentingan sosial kaum elit. Ideologi dominan dalam masyarakat berfungsi
sebagai kriteria bagi mereka untuk menetapkan kebijaksanaan bersama dan pemahaman
rasional. Ideologi yang dominan juga cenderung menolak keyakinan, nilai, pandangan dan
pandangan-dunia (world view) yang bertentangan dengannya sehingga memarjinalisasi
setiap pandangan dunia yang khas dari suatu masyarakat (Lihat Izadi dan Biria : 2007, 142)
Pemrintahan Bush Junior juga telah melakukan cara-cara yang sama dengan para
pendahulunya. Dengan mengontrol dan memanipulasi media untuk menggerakkan
dukungan terhadap perang melawan terorisme pada 2001. Jullian Baggini (2003 : 107),
telah mengemukakan bukti-bukti mengenai bagaimana terlihat dengan jelas pola-pola yang

3
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

sama antara perang teluk I dengan propaganda perang melawan terorisme dalam hal
kampanye menggunakan media untuk menggerakkan duungan terhadap invasi militer.
Kampanye semacam itu, menurut Baggini, akan memiliki pengaruh besar. Opini publik
domestik juga adalah penting dan untuk itu para politisi berusaha untuk membentuknya dan
publik memiliki tanggung jawab untuk memberikan dukungan ketika dibutuhkan, atau
opposisi jika memang itu yang dibutuhkan.
Mencermati hubungan media dan perang, menurut Mercier (2005 : 97) adalah
melihat cara dimana media terlibat dalam konflik, baik sebagai target (perang terhadap
media) atau sebagai alat bantu (perang berkat media). Militer telah lama mengeintegrasikan
ke dalam perencanaan operasionalnya prinsip-prinsip masyarakat informasi dan suatu dunia
yang terbungkus dalam jaringan ketat media informasi.
Mengontrol cara bagaimana perang dipersepsikan telah mencapai level kepentingan
strategis yang sama seperti kemampuan untuk mengganggu komunikasi musuh.
Propaganda militer telah lama ada, namun belakangan ini penggunaan media dalam perang
telah berkembang dalam pentingnya dan kecanggihan operasionalnya, karena itu harus ada
upaya untuk mengidentifikasi apa yang telah berubah dan apa yang masih tetap sama
dalam manajemen media pada saat perang, dengan pertimbangan semestinya bagi dimensi
hubungan yang saat ini menyatukan perang dan media, personil militer dan para jurnalis
(Marcier, 2005 : 98).
Sebelumnya, Pemerintahan Reagen juga telah menggunakan media sebagai sarana
untuk mengabsahkan campur tangan pada tempat-tempat seperti Asia tenggara, Timur
Tengah, Amerika Tengah dan banyak tempat lainnya. Demikian pula yang terjadi pada
krisis nuklir Iran, ketika AS dengan dukungan Israel memaksakan kehendak untuk
melakukan intervensi militer terhadap Iran. Ada sebuah kecenderungan untuk melakukan
hal yang sama dengan kasus perang teluk ketika mereka menggunakan media untuk
menggerakkan dukungan terhadap perang.

II. RUMUSAN MASALAH


Iran telah memulai program nuklirnya pada pertengahan 1960-an di bawah rezim
otoritarian dan pro-Amerika, Shah Mohammad Reza Pahlevi, dengan dukungan AS kepada

4
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

program tersebut. Pada 1967, AS mensuplai Iran dengan sebuah reactor riset nuklir
berkekuatan 5 megawatt untuk membangun Tehran Nuclear Research Center. Iran
menandatangani Traktar non-proliferasi senjata nuklir, yang dikenal dengan NonProliferation Treaty (NPT), pada 1 Juli 1968. Tujuan traktat Internasional adalah untuk
mencegah penyebaran senjata dan teknologi persenjataan nuklir; mendorong penggunaan
damai energi nuklir; dan memperluas tujuan untuk mencapai pelucutan senjata yang tuntas
(complete disarmament). (Lihat Izadi dan Biria : 2007, 145)
Traktat itu juga mengijinkan Negara-negara non-senjata nuklir (non-nuclear
weapon states) untuk mengembangkan energy nuklir demi maksud-maksud damai di
bawah inspeksi Badan Energi Atom International (International Atomic Energy Agency
IAEA). Sementara itu, Negara-negara anggota NPT dengan senjata nuklir (nuclear weapon
states) seperti

AS,

Rusia, China, Inggris dan Perancis, diperbolehkan untuk

mempertahankan kepemilikan senjata-senjata mereka, tetapi sepakat untuk tidak


menyebarkannya ke Negara-negara lain dan berjanji untuk berproses kearah pelucutan
senjata-senjata nuklir mereka. (Lihat Izadi dan Biria : 2007, 145)
Fokus program nuklir Iran meliputi pembangunan pembangkit nuklir Bushehr di
pantai Barat Daya negeri itu. Pemerintahan Shah telah menawarkan kontrak kepada
Kraftwerk Union (anak perusahaan Siemens) milik Jerman Barat untuk membangun dua
reactor nuklir dengan kapasitas 1.200 megawat pada lokasi tersebut. Pada saat meletusnya
Revolusi 1979 di Iran, reactor yang pertama telah selesai 90% dengan 60% dari
peralatannya telah terinstalasi. Reactor kedua hanya selesai 50%. Program ini terhenti
setelah revolusi karena adanya instabilitas internal di Iran dan penolakan Jerman untuk
menuntaskan proyek tersebut. Dibawah tekanan AS, Kraftmerk Union menolak untuk
membangun kembali proyek Bushehr ketika Iran memulai kembali program nuklirnya
pasca-perang Irak-Iran. Jerman juga menolak mengirimkan komponen-komponen reactor
dan dokumentasi teknik yang telah Iran tuntaskan pembayarannya. Berbagai upaya Iran
selanjutnya untuk mendapatkan bantuan teknologi bagi program nuklirnya dari perusahaanperusahaan Barat lainnya di Argentina, Italia dan Cekoslovakia gagal karena adanya
tekanan AS.

5
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

Dalam sebuah laporan ke Kongres AS pada 2003, Sharon Squassoni, seorang


spesialis dalam bidang keamanan nasional pada Staf Riset Kongres, meminta IAEA untuk
memeriksa lebih program nuklir Iran dan memberikan sangsi kepada Iran. Laporan-laporan
IAEA selanjutnya mengindikasikan bahwa argumen untuk memberikan sangsi kepada Iran
cukup masuk akal, karena Iran telah memprogram sebuah reactor nuklir untuk membuat
senjata nuklir. Iran tetap berargumen bahwa aktivitas pengayaan Uraniumnya bukan untuk
senjata nuklir, melainkan untuk kebutuhan energi masa depan mereka. Namun demikian,
meskipun Iran tetap membantah dengan memberikan argumen-argumen ilmiah,
keputusannya untuk melanjutkan program pengayaan uranium telah menghasilkan sebuah
krisis berkepanjangan antara IAEA, Iran, Trio Eropa (Jerman, Perancis dan Inggris) serta
Amerika Serikat.
Amerika Serikat dengan dukungan Israel menuntut Iran agar menghentikan aktivitas
pengayaan uraniumnya, dan keduanya mengancam akan melakukan invasi militer ke Iran
jika memang Iran tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan program nuklirnya. Kedua
Negara tersebut telah membuat sebuah keputusan untuk menyerang Iran, meski terdapat
begitu banyak penolakan dari berbagai Negara di seluruh dunia. Bahkan, rakyat di kedua
Negara tersebut tetap menolak invasi militer sebagai solusi krisis nuklir Iran.
Dengan penguasaan terhadap arus informasi, media-media dominan di AS melakukan
distribusi informasi mengenai kebijakan pemerintah AS melalui media-media di seluruh
dunia, termasuk Indonesia untuk menggalang dukungan terhadap perang. Pada akhirnya,
isu-isu mengenai krisis nuklir Iran di media-media di Indonesia akan didominasi oleh
pandangan-pandangan media Barat dominan.
Studi ini berupaya untuk menjawab pertanyaan, bagaimanakah wacana mengenai
program nuklir Iran digambarkan dalam media di Indonesia, serta apakah tema-tema
orientalis digunakan sebagai premis-premis dalam menggambarkan program nuklir Iran.
Studi ini juga berupaya untuk menyingkap representasi ideologis dari kebijakankebijakan media terhadap program nuklir Iran, dengan memperhatikan dua elemen-elemen
linguistik, yakni penamaan (naming choices) dan pilihan-pilihan leksikal (lexical choices).
kemudian menemukan fungsi-fungsi ideologi serta bagaimana penggunaan ideologi
tersebut untuk kepentingan-kepentingan militer.

6
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

III.

KERANGKA TEORITIS

1. Berita sebagai ideologi


Ideologi menurut Van Dijk (2006, 115) adalah the fundamental beliefs of a group
and its members. Menurutnya (2006, 116-117) ada beberapa asumsi untuk mendefinisikan
ideologi. pertama, ideologi adalah semacam ide atau sistem kepercayaan (belief system).
Ini berarti, bahwa ideologi, tidak mengandung praktik ideologis atau struktur sosial yang
didasarkan pada dirinya. Hal ini juga menyiratkan bahwa teori ideologi membutuhkan
komponen kognitif yang mampu dengan baik menjelaskan pengertian tentang `keyakinan
dan sistem keyakinan . Kedua, menurut Van Dijk, karena tidak ada bahasa pribadi, maka
tidak ada ideologi yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, sistem kepercayaan ini digunakan
secara bersama (socially shared) oleh anggota kolektivitas aktor sosial. Ketiga, ideologi
bukan hanya kepercayaan yang digunakan secara bersama (socially shared beliefs), seperti
pengetahuan sosial budaya atau sikap-sikap sosial, tetapi lebih mendasar atau aksiomatik.
Ideologi mengendalikan dan mengatur keyakinan sosial bersama lainnya. Dengan
demikian, ideologi adalah keyakinan sosial mendasar yang agak umum dan bersifat abstrak.
Keempat, sebagai dasar sosio-kognitif kelompok sosial, ideologi secara bertahap diperoleh
dan (kadang) diubah melalui hidup atau masa hidup, dan maka harus relatif stabil.
Teori Ideologi bermula dari Marxisme, menurut Marx, Ideologi adalah sebuah
kesadaran palsu (false consciousness). Sebagai teori, Marxisme yakin bahwa ide atau
gagasan tidak pernah netral, ia senantiasa menyembunyikan kepentingan kelompok yang
berkuasa, sedangkan kekuasaan adalah fungsi dari kekuatan ekonomi (Adian : 2011, 1).
Namun demikian, sebagai sebuah praktik, teori ideologi kemudian dikembangkan oleh
Louis Althusser, seorang Marxis generasi kedua. Bagi Marx, ideologi merupakan suatu
konsep yang relatif langsung. Ideologi merupakan sarana yang digunakan untuk ide-ide
kelas yang berkuasa sehingga bisa diterima oleh keseluruhan masyarakat sebagai alami dan
wajar. (Fiske, 2011 : 228)
Marx memahami bahwa para anggota kelas subordinat, yakni kelas pekerja, digiring
untuk memahami pengalaman sosial dan relasi sosial mereka dengan menggunakan
serangkaian ide/gagasan yang bukan miliknya sendiri, yang datang dari kepentingan

7
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

ekonomi dan kepentingan sosial serta politiknya, tidak hanya berbeda dari mereka tetapi
juga secara aktif bertentangan dengan mereka. (Fiske, 2011 : 239)
Ideologi dalam konteks studi media, dapat didefinisikan sebagai proses umum
produksi makna dan ide (Lihat Fiske, 2011 : 228 ; Eriyanto, 2001 : 92). Ideologi disini
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Disini, ideologi
berperan melegitimasi dari penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok dominan. Salah satu
bentuk yang paling efisien dari dominasi ideologis adalah ketika juga kelompok-kelompok
yang didominasi menerima ideologi dominan ideologi suatu hal yang alamiah atau
commonsense.. Tujuan utamanya terletak pada kondisi sosial dari kekuasaan simbolik dan
diskursif , seperti otoritas dan legitimasi mereka yang memproduksi wacana.
Berita-berita di media telah melaksanakan sebuah fungsi yang bersifat ideologis.
Dalam pandangan Izadi dan Biria (2007 : 142) setiap harinya, langsung atau tidak
langsung, dengan pengungkapan dan pengecualian, dalam gambar-gambar dan kata-kata,
dalam berita, media massa memroduksi ruang-ruang definisi dan korelasi, symbol dan
retorika, yang melalui hal ini ideologi menjadi nyata dan konkret. Izadi dan Biria
mendefinisikan ideologi sebagai cara-cara dimana pemaknaan disampaikan melalui
bentuk-bentuk simbolik yang bertujuan untuk memapankan dan mempertahankan relasirelasi kuasa. Sebagai konsekuensinya adalah, alih-alih menjadi agen yang netral, beritaberita di media justru menjalankan fungsi yang bersifat ideologis dan bahkan politis.
2. Orientalime
Teori orientalisme pertama kali digunakan oleh Edward W. Said, dalam bukunya
Orientalism yang pertama kali dipublikasikan pada 1978. Menurut Dan Laughey (2007 :
138) dengan konsepsinya mengenai orientalisme, Said berupaya untuk menunjukkan
bagaimana representasi budaya non-Barat terutama telah dirancang dan disahkan oleh
Barat. Secara historis, Barat telah memiliki kekuasaan untuk mengembangkan representasi
mereka sendiri mengenai Timur (orient) seperti yang terlihat dari perspektif mereka, yang
telah menjadi sumber pengetahuan yang lebih luas. Seiring waktu, representasi tentang
Timur menjadi tidak terpisahkan dari kesadaran universal mengenai real Orient. 'Real
Orient' menjadi diskursif yang dibangun sebagai the other sesuai dengan pendapat yang

8
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

diterima di Barat. Dengan demikian, menurut Laughey, orientalisme adalah lebih dekat
terkait dengan teori postkolonial dari ekonomi politik.
Orientalisme sebagai sebuah ideologi, didefinisikan sebagai konsepsi diskursif
mengenai Timur yang melibatkan oposisi biner bahwa Barat adalah pusatt dalam
pemikiran yang modern, tercerahkan, sementara Timur adalah the other yang misterius
dan seringkali berbahaya (Izadi dan Biria, 2007 : 144). Menurut Said (1978), orientalisme
merupakan ideologi dominan Barat ketika berhubungan dengan Dunia Islam. Said sendiri
dengan kritis meneliti cara orientalisme, sebagai sebuah diskursus, menggambarkan Timur
secara sosial, politis, militer, ideologis, ilmiah dan imajinatif.
Ciri utama Orientalisme adalah pembagian Timur-Barat yang menempatkan
masyarakat Barat, serta kebudayaan, religi, dan bahasa Barat lebih unggul daripada Timur
(Alatas, 2010). Oreintalisme, dalam pandangan Said, menggunakan sebuah narasi realistik,
yang mengasumsikan sebuah realitas budaya dan sosial yang berbeda mengenai Timur,
yang diungkapkan melalui upaya-upaya para Orientalis dan dianggap sebagai kebenaran :
sebuah realitas yang berbeda dari lawannya Barat.
Satu karakteristik penting dari diskursus orientalis adalah kebergantungannya kepada
bahasa Biner (Said, 1978 : 2). Menurut Said, orientalisme, sebagai sebuah cara berpikir,
merupakan sebuah pandangan dunia Barat yang dikotomis berdasarkan atas pembedaan
ontologis dan epistemologis diantara apa yang disebut sebagai Timur dan Barat.
Selanjutnya, menurut Izadi dan Biria (2007 : 143) dalam menggunakan sebuah bahasa yang
dikotomis,

orientalisme

memanfaatkan

sebuah

diskursus

esensialis,

yang

menguniversalisasi sifat-sifat dan karakter-karakter tertentu terhadap Timur dan dunia


Islam. Dan Orientalisme lahir untuk menjustifikasi imprealisme Barat.
Ide untuk membelah dunia ke dalam kategori-kategori dikotomis sebenarnya lahir
dari pandangan strukturalis tentang bahasa, khususnya yang diperkenalkan oleh Ferdinand
de Saussure, seorang Linguis Swedia yang dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik
Modern. De Saussure berpendapat bahwa prinsip struktur universal dalam seluruh bahasa
manusia a dalah oposisi-oposisi biner. Bahasa, yang dilihat sebagai sebuah totalitas dan
konstruksi sosial, dibentuk oleh makna-makna yang disematkan kepada objek-objek, dan
oleh relasi-relasi objek tersebut dengan lawan-lawan mereka, misalnya : hitam lawan putih;

9
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

pria lawan wanita; dan sebagainya. Dengan demikian, menurut Izadi dan Biria (2007 : 143)
sebuah sistem dikotomi yang menguasai formasi bahasa, dan pada gilirannya membatasi
sejumlah kemungkinan bagi makna lain. Narasi-narasi berita utama didasarkan atas tandatanda biner, yang mereduksi realitas menjadi sekadar fakta-fakta dikotomis yang terpisah.
Dan salah satu fondasi sosiokultural suatu ideology adalah melalui diperlihatkan melalu
pandangan mengenai bahasa biner dan kecenderungan untuk mendefinisikan dunia dalam
tera-terma yang berlawanan (Lihat Izadi dan Biria, 2007 : 144)
Edward Said kemudian mengembangkan teori Orientalisme dan menerapkannya lebih
lanjut pada media dan imprealisme budaya kontemporer. Misalnya, ia berpendapat bahwa
dua arus istilah yang lazim dalam wacana Barat tentang non- Budaya Barat - 'terorisme' dan
'fundamentalisme' - muncul pada 1980-an dari sistem kekuasaan Barat termasuk kantor
berita. Tetapi, cara artikulasi ini adalah wacana Amerikanisasi yang mewakili non-Budaya
Barat yang seringkali tidak akurat, bahkan menyesatkan. (Dan Laughey, 2007 : 140)
Sejumlah penelitian telah berusaha untuk menerapkan teori oreintalisme Said untuk
melihat lebih jauh bagaimana media merepresentasikan the Other. 'Islamofobia' telah
menjadi fenomena yang banyak dibahas sejak serangan al-Qaeda terhadap New York,
Washington, London dan Madrid. Sebuah studi mengenai pelaporan berita Inggris tentang
Islam dan Muslim oleh Elizabeth Poole mengidentifikasi 'Penciptaan sebuah dikotomi
antara Islam dan Barat, disajikan dalam pers bersama serangkaian oposisi-oposisi biner di
mana Barat adalah istilah untuk hal-hal yang rasional, manusiawi, maju dan unggul;
sementara Islam untuk hal-hal yang menyimpang, yang tidak berkembang (undeveloped)
dan inferior. (Lihat Dan Laughey, 2007 : 140)
Dalam Islamic Peril, Karim menggambarkan bagaimana media transnasional
negara-negara Barat mempertahankan suatu narasi global mengenai Islam, yang
merekonstruksi Muslim Timur sebagai musuh lama Barat. Karim menunjukkan
pengulangan gambaran-gambaran orientalis tentang Islam dan Muslim dalam media Barat
dan berpendapat bahwa gambaran mengenai Islam sebagai sebuah ancaman tersebut telah
dikembangkan menjadi sebuah diskursus global yang dominan. Para pembuat kebijakan AS
dan ahli strategis mereka berulangkali menekankan posisi penting geopolitik dan stragis
Iran di Timur Tengah. Dalam Covering Islam, Said menunjukkan peliputan media

10
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

terhadap Iran pasca-revolusi sebagai sebuah kasus yang terkait dengan dominasi
interpretasi orientalis mengenai Islam dan Muslim. (Lihat Izadi dan Biria, 2007 : 144)
Studi ini akan melakukan analisis terhap berita mengenai nuklir Iran dan melihat
tema-tema orientalisme yang mungkin mendasari bias dalam pemberitaan tersebut, tematema oreintalisme dapat dirinci sebagai berikut : (dikembangkan dari Izadi dan Biria, 2007;
Dan Laughey, 2007)
Tema-tema orientalisme tersebut dapat dirinci sebagai berikut : Tema mengenai Timur
yang tidak layak diperrcaya mendasari keyakinan bahwa orang-orang Timur secara alamiah
tidak jujur sehingga tidak bisa dipercaya; tema mengenai Islam sebagai ancaman mendasari
keyakinan bahwa orang-orang Timur itu ancaman karena keterikatan mereka dengan
sebuah ideology Islam. Tema tentnag inferioritas Timur mempersoalkan dasar kemanusiaan
orang Timur dibandingkan dengan orang Barat; tema mengenai keterbelakangan Timur
menciptakan menciptakan argument bahwa Timur yang terbelakang adalah lawan dari
Barat yang maju; tema tentang irasionalitas Timur menekankan karakteristik mistik dan
irasional dari orang Timur; tema tentang kepatuhan Timur mengetengahkan bahwa Timur
secara alamiah berada dalam posisi yang harus patuh; tema tentang keterasingan Timur
menekankan bahwa individu-individu Timur itu asing atau ganjil jika dibandingkan dengan
standar normal Barat.
Melalui kerangka teoritis tersebut diatas, studi ini akan menganalisis pemberitaan
surat kabar di Indonesia, tentang bagaimana media-media Barat menyuarakan kepentingan
pemerintahan AS untuk menggalang dukungan dan persetujuan terhadap agresi militer di
Iran.

3. Hegemoni
Konsep hegemoni dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka italia, Antonio
Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi tidak hanya melalui dimensi
material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan
hegemoni. (Eriyanto, 2001 : 103). Bagi Gramsci, ideologi tidak hanya tumbuh dan bekerja
dalam sebuah kelas buruh yang didominasi oleh kelas pemilik modal sebagaimana
pemikiran Marx tapi juga dapat berlangsung disetiap aspek kehidupan, mulai dari

11
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

keluarga, lembaga agama, budaya politik dan media massa melalui melalui mekanisme
hegemoni (Adian, 2011 : 41).
Titik awal gagasan hegemoni adalah bahwa sebuah kelompok menyelenggarakan
kekuasaan terhadap kelompok subordinat melalui persuasi. Hegemoni, menurut Eriyanto
(2001 : 104), menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang
dijalankan untuk mempertahankan para korbannya, sehingga upaya itu berhasil
mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Dengan demikian, hegemoni bekerja
melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu kelompok terhadap lain. Salah satu
kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir dan wacana tertentu
yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah.
Hegemoni adalah bentuk kekuasaan yang 'memberi dan menerima'. Hegemoni
bekerja untuk mengizinkan suara yang berbeda dan politik oposisi, tetapi untuk menekan
kekuatan yang berbeda dan oposisi dengan secara aktif mencari dukungan dari semua
bagian dari masyarakat. (Dan Laughey, 2007 : 65). Media, menurut Laughey, didalilkan
telah menyandikan (encode) produknya untuk kepentingan kekuatan hegemonik yang
dominan, seperti pemerintah. Gramsci dan Stuart Hall berpendapat bahwa media dalam
kecenderungan mereka untuk melayani fungsi hegemonis demi kebaikan mereka yang
berkuasa secara efektif memproduksi persetujuan.
Hegemoni bekerja melalui suatu proses atau cara kerja tampak wajar. Dalam produksi
berita, prose situ terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan
oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, memang begitulah adanya, logis dan bernalar
(common sense) dan semua orang menganggap itu sebagai sesuatu yang tidak perlu
dipertanyakan. Atau dalam bahasa Stuart Hall, proses hegemoni itu sendiri bahkan menjadi
ritual yang sering kali tidak disadari, bahkan, oleh wartawan sendiri (Eriyanto, 2001 : 105).
Gramsci meyakini bahwa kelompok-kelompok yang berkuasa dalam masyarakatmasyarakat demokratis menjadi dominan melalui sebuah proses-ganda, yakni intimidasi
dan persuasi, dimana media merupakan salah satu institusi kunci dalam upaya persuasi di
dalam masyarakat modern.
Bagi Gramsci, sebuah kelompok menjadi hegemonik bilamana kelompok tersebut
mengartikulasikan

kepentingan

sektoralnya

sebagai

kepentingan

umum,

lalu

12
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

merealisasikannya dalam kepemimpinan moral dan politik (Lihat Adian, 2011 : 42). Dalam
konteks ini, kita melihat bahwa hegemoni digunakan oleh Pemerintahan AS dan sekutunya
untuk mengendalikan arus informasi mengenai kasus nuklir Iran untuk kepentingankepentingan mereka, yakni persetujuan terhadap agresi militer sebagai solusi. Hal ini jelas
menandakan sebuah proses yang hegemonik, ketika kepentingan-kepentingan sektoral AS
dan sekutunya, kemudian dijadikan sebagai wacana publik dunia, bahwa persetujuan
terhdap perang melawan Iran adalah merupakan kepentingan publik dunia. Karena, asumsi
hegemoni Gramsci menegaskan bahwa kekuasaan melibatkan kelompok sosial tertentu
yang mengamnkan persetujuan (aktif atau pasif) dari strata sosial lainnya ketimbang
memaksakan sebuah keputusan. Dan untuk memproduksi persetujuan (manufacture
consent), hegemoni lebih cenderung mengandalkan mekanisme halus yang bersifat
ideologis, ketimbang melalui cara-cara koersif.

IV.

PENDEKATAN ANALISIS WACANA


Studi ini menggunakan pendekatan analisis wacana krisis (critical discourse

analysis) dengan metode analisis wacana Van Dijk. Menurut Van Dijk (2001 : 352)
Analisis wacana kritis (CDA) adalah jenis penelitian wacana analitik yang terutama
mengkaji tentang cara bagaimana penyalahgunaan kekuasaan sosial, dominasi, dan
ketidaksetaraan yang berlaku, direproduksi, dan dilawan dengan teks dan pembicaraan
dalam konteks sosial dan politik. Dengan penelitian tersebut, analis wacana kritis
mengambil posisi eksplisit, dan dengan demikian ingin memahami, mengekspos, dan
akhirnya melawan ketimpangan sosial.
Sementara itu, Fairclough and Wodak (dalam Van Dijk 2001 : 353) merangkum
prinsip-prinsip utama penelitian analisis wacana kritis : CDA berkaitan dengan masalahmasalah sosial; Hubungan kekuasaan bersifat diskursif; wacana membentuk masyarakat
dan budaya; wacana bekerja secara ideologis; wacana bersifat historis; hubungan antara
teks dan masyarakat itu termediasi; analisis wacana bersifat interpretif dan eksplanatori;
wacana adalah sebuah bentuk aksi sosial.

13
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

Model yang dipakai oleh Van Dijk ini sering disebut sebagai kognisi sosial.
Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas
teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.
Proses produksi itu, melibatkan proses yang disebut sebagai kognisi sosial. Elemen-elemen
wacana dari Van Dijk, yang meliputi struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro,
akan digunakan untuk meneliti teks pemberitaan surat kabar mengenai krisis nuklir Iran.
Studi ini akan memfokuskan terhadap tajuk rencana harian Kompas yang
memusatkan perhatian kepada program nuklir Iran dalam rentang waktu antara 2005
2012. Pemilihan tajuk rencana sebagai unit analisis didasarkan pada fungsi tajuk rencana
sebagai editorial yang mengekspresikan atau menunjukkan opini, perspektif, posisi,
kepentingan, atau kepemilikan yang dapat merepresentasikan ideologi-ideologi tertentu.
Editorial biasanya dirancang pada tiga kategori skematik : mendefinisikan situasi dan
memberikan ringkasan dari suatu peristiwa; menyajikan sebuah evaluasi atas situasi
tersebut khususnya tindakan-tindakan dan actor-aktornya; serta mengembangkan
kesimpulan pragmatik dalam bentuk harapan, rekomendasi, saran, dan peringatan (Izadi
dan Biria, 2007 : 148)
Dalam melakukan kajian terhadap editorial yang berkaitan dengan tema, studi ini
akan memperhatikan dua elemen linguistic, yakni pilihan-pilihan penamaan (naming
choices) yang digunakan untuk menyebut actor-aktor peristiwa sebagai upaya untuk
menetapkan identitas kelompok dan pilihan-pilihan leksikal (lexical choices), yang
digunakan untuk menggambarkan peristiwa, aktor dan kebijakan yang berkaitan dengan
sengketa nuklir Iran.
Kemudian, berdasarkan hasil analisis terhadap kedua elemen linguistik diatas peneliti
akan melihat bagaimana pilihan-pilihan penamaan dan pilihan-pilihan leksikal tadi
berkaitan dan merepresentasikan tema-tema ideologi orientalis sebagaimana telah
dijelaskan dalam kerangka teori.

V.

HASIL ANALISIS

1. Iran sebagai Ancaman Barat

14
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

Kompas mendefinisikan Iran sebagai ancaman bagi Barat. Dalam sebuah tajuk
rencana berjudul Iran Ancam Gunakan senjata Minyak (06 Juni 2006), dituliskan bahwa :
Pemimpin Spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei mengancam akan menggunakan
minyak sebagai senjata jika Negara itu sampai diserang Barat. Ancaman itu serius,
lebih-lebih dilihat dari posisi Khamenei sebagai pemimpin spiritual yang
berwenang memberikan kata akhir atas persoalan kenegaraan yang rumit seperti
krisis nuklir sekarang ini.
Program nuklir Iran telah menempatkan Negara itu dalam posisi sulit. Amerika
Serikat dan Uni Eropa mengancam menjatuhkan sanksi bahkan serangan militer
jika tidak menghentikan program nuklirnya, yang dituduh potensial menciptakan
senjata nuklir.
Meskipun pilihan-pilihan penamaan (naming choices) yang digunakan untuk
menyebut aktor-aktor peristiwa dalam editorial tersebut cenderung netral: misalkan,
Kompas menyebut Ali Khamenei sebagai pemimpin Spiritual Iran (bandingkan dengan
berita lain, yang kadang menyebut Iran sebagai negeri para Mulah, sebuah penamaan
yang cenderung syarat nilai ideologis). Namun, pilihan-pilihan leksikal yang digunakan
cenderung tidak netral dan membesarkan fakta bahwa Iran adalah ancaman bagi Barat.
Program nuklir Iran juga digambarkan sebagai ancaman dan berpotensi untuk menciptakan
senjata nuklir.
Dalam tajuk rencana berjudul Teheran Kendurkan Ancaman dituliskan bahwa
Amerika Serikat menyambut gembira berita bahwa Iran mengendurkan ancaman untuk
memulai kembali aktivitas nuklirnya.
Amerika serikat menyambut gembira berita bahwa Iran mengendurkan ancaman
untuk memulai kembali aktivitas nuklirnya. Tanggapan dilansir Amerika Serikat
segera setelah Iran memutuskan akan mengundurkan jadwal pembukaan kembali
pusat pengonversian uranium (uranium conversion) di Isfahan hingga awal pecan
depan
Teheran sebelumnya menyatakan akan mulai mengaktifkan lagi pusat
pengonversian uraniumnya, yang sebelumnya sempat dibekukan. Keputusan itu
memicu kritikan keras dari Uni Eropa dan AS. Setelah dihujani kritikan dan
desakan agar Iran tak memulainya lagi kegiatan produksi bahan bakar nuklir,
Negara tersebut akhirnya menyatakan baru akan melakukan hal itu pada awal
pekan depan.
Dalam editorial tersebut, disebut bahwa Iran telah mengendurkan ancamannya
terhadap Barat. Pilihan-pilihan penamaan (naming choices) cenderung netral. Namun,
15
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

pilihan-pilihan leksikal yang digunakan cenderung tidak netral dan membesarkan fakta
bahwa Iran adalah ancaman bagi Barat.
Beberapa kali, dalam editorialnya, Kompas juga memberikan penamaan (naming
choices) yang tidak netral. Dalam tajuk rencana berjudul Serangan ke Iran seolah tinggal
Hitungan Hari (25 Januari 2005) dituliskan :
Dalam pidato pelantikannya, Presiden Bush antara lain berjanji akan
menggulingkan seluruh kekuasaan Tirani. Ia juga berjanji akan menyebarkan
kebebasan dan demokrasi hingga pelosok tergelap dunia.
Bush sendiri tidak memerinci kekuasaan tirani yang dimaksudkannya, tetapi wakil
Presiden AS Dick Cheney kemudian menyebut Iran berada dalam urutas teratas
sebagai Negara yang memiliki potensi berbahaya bagi keamanan dunia.
Meski tidak menyebut secara eksplisit, dengan mudah orang mengasosiasikan
pernyataan Bush dengan Iran. AS tidak mampu lagi menyembunyikan sikap
antipatinya kepada Iran. Apalagi, pekan lalu, Presiden Bush menyatakan tidak
mengesampingkan kemungkinan menyerang Iran atas tuduhan memiliki program
senjata nuklir.
Meski dengan menggunakan gaya bahasa tak langsung, dengan menggunakan pidato
Presiden Bush, dapat terlihat bahwa naming choices yang digunakan untuk menyebut
aktor-aktor peristiwa dalam editorial tersebut cenderung tidak netral. Pilihan penamaan
yang digunakan adalah Iran adalah Kekuasaan tirani; Iran adalah bagian dari pelosok
tergelap dunia; Iran berada dalam urutan teratas sebagai Negara yang memiliki potensi
berbahaya bagi keamanan dunia. Pilihan-pilihan penamaan mengenai Iran ini sangat
berkaitan berkaitan dengan sebuah tema Iran adalah ancaman.
Pilihan penamaan yang cenderung tidak netral juga bisa dilihat dalam tajuk rencana
berjudul Presiden Bush Lanjutkan gaya Burung Elang (22 Januari 2005). Dituliskan :
bahwa Bush menekankan akan mendorong kebebasan dan kemerdekaan melawan
penguasa-penguasa dari rezim-rezim yang tidak tahu aturan, rulers of outlaw regimes.
Dalam editorial tersebut, juga dituliskan :
Bush tidak memerinci rezim-rezim yang berkiprah di luar aturan itu. Namun, wakil
presiden AS Dick Cheney menyinggung nama Iran sebagai salah satu yang berada di
urutan paling atas karena di mata AS negeri itu memiliki potensi berbahaya atas
program persenjataan nuklir.
Prasangka negatif terhadap Iran sudah terungkap sejak awal tahun 2002 ketika
Presiden Bush menuduh Iran bersama Irak dan Korea Utara berkolaborasi dalam apa
yang disebutnya poros kejahatan. Ketiga Negara Negara diyakini mengembangkan
16
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

program senjata pemusnah massal, seperti nuklir, dan bermain mata dengan
organisasi teroris.
Pilihan penamaan yang di gunakan adalah rezim yang tidak tahu aturan; Iran
memiliki potensi berbahaya; poros kejahatan; senjata pemusnah missal; teroris. Dari
fakta-fakta terhadap pilihan-pilihan penamaan (naming choices) dan pilihan-pilihan leksikal
tersebut dapat ditarik kesimpulan, dalam editorialnya, Kompas telah memberi label bahwa
Iran adalah ancaman bagi Barat. Dari sudut pandang orientalis, Tema mengenai Islam
sebagai ancaman mendasari keyakinan bahwa orang-orang Timur itu ancaman. Tema
tentang inferioritas Timur mempersoalkan dasar kemanusiaan orang Timur dibandingkan
dengan orang Barat.

2.

Kepatuhan terhadap Barat


Tema-tema lain yang menggambarkan Iran, menunjukkan adanya representrasi

mengenai Timur yang harus patuh kepada Barat, asumsi ini didasarkan pada beberapa
pilihan-pilihan penamaan dan pilihan leksikal yang digunakan. Dalam tajuk rencana
berjudul Kekuatan Rudal Iran meningkat (22 Mei 2009), dituliskan :
Uji coba peluru kendali jarak jauh pekan ini mempertegas kemampuan Iran dalam
pengembangan program persenjataan canggih.
Peluncuran itu sekaligus mempertontonkan kemajuan Iran dalam meningkatkan
kemampuan rudalnya. Selama ini Iran sudah sukses dengan uji coba rudal jarak
pendek dan menengah. Jangkauan jelajah rudal yang diluncurkan hari Rabu, 20
Mei, diperkirakan 2.000 sampai 2.500 kilometer. Dengan demikian, Israel dan
semua basis kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah dan Eropa Timur berada
dalam jangkauan serangan rudal Iran.
Peluncuran rudal jarak jauh pekan ini juga memperlihatkan Iran tidak peduli
terhadap kritikan dunia Internasional, terutama dunia Barat. Sikap tidak peduli itu
sering diartikan sebagai ekspresi sikap menantang. Tidak sedikit pula yang
mengaitkan sikap semacam itu dengan sosok Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad,
yang di mata Barat dianggap berhaluan keras.
Dari Pilihan penamaan (naming choices) terhadap Iran, dapat ditemukan adanya
sebuah penamaan yang mengarah kepada Preseiden Iran dengan sebutan (naming)
berhaluan keras. Sementara, dari pilihan leksikal yang digunakan, terlihat bahwa Iran

17
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

tidak peduli terhadap kritikan, terutama, kepada dunia Barat. Sikap tidak peduli terhadap
kritik, sering diistilahkan dengan tidak patuh.
Tema-tema mengenai keharusan Iran patuh kepada barat, juga muncul dalam
banyak editorial yang berkaitan dengan kasus nuklir Iran. Dalam tajuk rencana berjudul
Iran tetap menantang Barat (04 Agustus 2005), dituliskan :
Iran lagi-lagi memperlihatkan sikap kepercayaan diri tinggi dengan menantang, dan
tidak mau tunduk terhadap tekanan Barat atas program nuklirnya.
Seolah tidak memedulikan tekanan dan ancaman Barat, Pemerintah Iran
menegaskan akan menghidupkan kembali kegiatan nuklirnya pekan ini juga.
Penegasan itu membuat Uni Eropa dan Amerika Serikat terperangah dan terkesan
panik. Bahkan, Perancis memperingatkan, langkah Iran itu dapat memicu krisis
Internasioanl berskala besar.
Meski Pilihan penamaan dalam editorial diatas cenderung netral, namun dalam
pilihan leksikal dapat terlihat adanya sebuah tema mengenai keharusan untuk tunduk dan
patuh kepada Barat. Sebagaimana juga terlihat dalam tajuk rencana berjudul Iran
menantang sanksi PBB (26 Desember 2012) bahwa Iran tidak mau patuh atas sikap PBB
yang memberikan sanksi kepada Iran, sebagaimana dituliskan :
Mungkin atas perlakuan yang tidak adil itu, Iran tidak hanya marah, tetapi juga
menantang sanksi yang disepakati seluruh 15 anggota dewan keamanan PBB hari
Sabtu 23 Desember itu.
Iran menegaskan akan meneruskan program pengayaan uranium sebagai bahan
dasar reactor nuklir untuk tujuan damai. Bahkan Presiden Mahmoud Ahmadinejad
mengingatkan, sanksi ekonomi itu lebih merugikan Barat ketimbang Iran.
Dalam tajuk rencana berjudul Isu Nuklir Iran tambah sensitif (20 September
2012) juga ditemukan paragraph yang berkaitan :
Sensitivitas isu nuklir Iran bertambah setelah Negara itu menyatakan mampu
menyerang semua sasaran Amerika Serikat di Timur Tengah.
Pernyataan yang disampaikan awal pekan ini oleh pasukan elite Iran, Garda
Revolusi, hanya menambah ketegangan. Iran ingin menantang AS, yang bersama
Uni Eropa terus menggalang dukungan di PBB untuk menjatuhkan sanksi ekonomi
lebih keras kepada Iran.
Sejauh ini sanksi AS, Uni Eropa, dan PBB sama sekali tidak membuat Iran gentar.
Sebaliknya, Iran terus saja mengembangkan program nuklirnya. Pemerintah Iran
menjelaskan, program nuklirnya bertujuan damai untuk tenaga listrik. Sebaliknya
Barat mencurigai Iran ingin mengembangkan program senjata nuklir.

18
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

Dari temuan-temuan mengenai pilihan-pilihan penamaan dan pilihan leksikal, dapat


disimpulkan, dalam editorialnya, Kompas telah memberi label bahwa Iran harus tunduk
kepada Barat. Dari sudut pandang orientalis, Tema tentang kepatuhan Timur
mengetengahkan bahwa Timur secara alamiah berada dalam posisi yang harus patuh.

3.

Karakter Program Nuklir Iran


Program nuklir Iran juga didefinisikan sebagai ancaman dan berpotensi untuk

menciptakan senjata nuklir. Pemerintah Iran dipandang memiliki ambisi senjata nuklir.
Dalam sebuah tajuk rencana berjudul Iran Ancam Gunakan senjata Minyak (06 Juni
2006), dituliskan bahwa
Program nuklir Iran telah menempatkan Negara itu dalam posisi sulit. Amerika
Serikat dan Uni Eropa mengancam menjatuhkan sanksi bahkan serangan militer
jika tidak menghentikan program nuklirnya, yang dituduh potensial menciptakan
senjata nuklir.
Penamaan leksikal mengenai nuklir Iran cenderung tidak netral, kata-kata yang
digunakan adalah senjata nuklir, senjata pemusnah massal. Sudut pandang yang
digunakan adalah bahwa, Iran, meski mengklaim program nuklirnya untuk cara-cara damai,
namun berpotensi untuk meneruskannya menjadi senjata pemusnah massal. Persoalannya,
bukanlah kemungkinan tentang bom nuklir Iran saat ini, namun hal tersebut akan
dimungkinkan di masa depan dalam waktu yg tidak lama lagi. Dalam tajuk rencana
berjudul Iran Tetap Menantang Barat (04 Agustus 2005), dituliskan :
Sebaliknya Uni Eropa dan Amerika Serikat berpandangan, setelah menguasai
teknologi nuklir untuk energy listrik, Iran tinggal selangkah lagi akan
mengembangkan program senjata nuklir. Atas asumsi itu, Uni Eropa berusaha
membujuk Iran segera menghentikan program nuklirnya. Sebagai kompensasinya,
Iran ditawari bantuan ekonomi dan berbagai kemudahan dalam bidang perdagangan.
Fokus dari makna mengenai karakter program nuklir Iran ini terpusat pada tanggung
jawab Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk melawan penyebaran senjata nuklir Iran.
Sementara itu, semua itu jsutru mengabaikan atau mengingkari hak Iran berkaitan dengan
seluruh teknologi nuklir yang diaplikasikan demi maksud-maksud damai. Sebagaimana

19
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

dimiliki oleh Israel dan beberapa Negara-negara yang tercatat sebagai negara-negara nonsenjata nuklir (non-nuclear weapon states).

4.

Bias Orientalisme dalam Krisis Nuklir Iran


Pemberitaan mengenai krisis nuklir Iran di Indonesia masih diliputi oleh bias

orientalisme. Orientalisme dalam kasus nuklir Iran, sebagaimana dapat dilihat dari tajuk
rencana Harian Kompas, masih terpusat di sekitar tema bahwa Iran adalah ancaman bagi
khususnya Barat. Studi ini juga menunjukkan bahwa, diskursus mengenai program nuklir
Iran, masih diliputi oleh bias orientalisme. Salah satu tema orientalisme adalah mengenai
ketidak percayaan Barat terhadap Timur. Tema mengenai Timur yang tidak layak dipercaya
mendasari keyakinan bahwa orang-orang Timur secara alamiah tidak jujur sehingga tidak
bisa dipercaya. Tema mengenai Timur yang tidak layak dipercaya, mendasari pemberitaan
mengenai program nuklir Iran, bahwa program nuklir Iran, pada akhirnya akan mengarah
kepada kepemilikan senjata pemusnah massal.
Bias orientalisme, salah satunya disebabkan oleh hegemoni Barat terhadap arus
informasi ke Negara-negara dunia ketiga. AS telah menguasai arus informasi, sehingga
berita-berita mengenai krisis nuklir Iran mengikuti konstruksi cara pandang Barat. Media
transnasional negara-negara Barat mempertahankan suatu narasi global mengenai Timur,
yang merekonstruksi Timur sebagai musuh lama Barat. Dengan penguasaan terhadap arus
informasi, media-media Barat telah melakukan penggambaran orientalis mengenai Timur,
dan media Barat telah mengembangkan sebuah diskurus global yang dominan mengenai
Timur sebagai ancaman. Sebuah wacana, yang kemudian, secara begitu saja diserap oleh
media-media di Negara-negara non-Barat.
Barat menjadi sedemikian hegemonik karena telah mengartikulasikan kepentingan
sektoralnya sebagai kepentingan publik dunia, lalu merealisasikannya dalam kepemimpinan
moral dan politik. Hegemoni digunakan oleh Pemerintahan AS dan sekutunya untuk
kepentingan-kepentingan militer. Bagaimana memperoleh dukungan dan persetujuan
terhadap kepentingan mereka untuk menghentikan program nuklir Iran. Dengan demikian,
Amerika Serikat telah menggunakan ideologi Orientalisme untuk kepentingan perang.

20
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

VI.

KESIMPULAN
Studi ini menemukan bahwa, pemberitaan media di Indonesia masih mengikuti cara

pandang Barat. Pemberitaan mengenai krisis nuklir Iran dalam media di Indonesia masih
diliputi oleh bias oreintalisme, khususnya di seputar tema bahwa Iran dalah ancaman bagi
Barat dan publik Dunia. Studi ini juga menemukan bahwa ketidak percayaan Barat
terhadap Timur, telah mempengaruhi pemberitaan mengenai krisis nuklir Iran.
Barat telah memperalat media sebagai instrumen perang. Perang dalam konteks
modern tidak lagi hanya mengandalkan senjata, namun juga telah menempatkan media
sebagai suatu instrumen penting sebagai senjata. Apa yang dilakukan oleh Barat terhadap
Iran, menunjukkan bahwa media-media utama di AS cenderung menjadi kendaraan yang
jinak bagi strategi pemerintah untuk memanipulasi masyarakat, sehingga membahayakan
demokrasi.
Rekomendasi dari studi ini adalah bahwa media telah menjadi bagian dari perang.
Oleh karena itu, telah menjadi sebuah tuntutan bahwa militer harus sepenuhnya menguasai
manajemen media. Mulai dari pengelolaan informasi hingga bagaimana berkomunikasi
dengan jurnalis, semuanya dilakukan oleh orang-orang yang secara professional memiliki
keahlian jurnalistik. Pihak militer, dalam hal ini TNI, harus mulai melakukan investasi
untuk bagaimana melatih para perwira menguasai proses manajemen berita dan bagaimana
berhubungan baik dengan media (media relations). Pihak militer juga harus mulai
mengeintegrasikan ke dalam perencanaan operasionalnya prinsip-prinsip masyarakat
informasi dan suatu dunia yang terbungkus dalam jaringan ketat media informasi. Hal ini
mendesak dilakukan, agar pihak militer dapat memiliki pengetahuan yang memadai untuk
bagaimana melakukan penguasaan terhadap arus informasi dan menguasai opini publik.
Ketika pihak lawan menggunakan media sebagai instrumen perang, maka senjata yang
paling ampuh untuk melawannya adalah dengan menggunakan media.
*Makalah, dipresentasikan dalam Konferensi Nasional Komunikasi Militer dan
Ketahanan Nasional di selenggarakan oleh ASPIKOM, di UPN Veteran, Yogyakarta
Juni 2012

21
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral (2011). Setelah Marxisme; Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer.
Jakarta : Penerbit Koekoesan
Alatas, Syed Farid (2010). Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia; Tanggapan
terhadap Orientalisme. Bandung : Mizan Publika
Baggini, Jullian (2003). Making Sense; Filsafat di Balik Headline Berita. Jakarta : Penerbit
Teraju
Dijk. Teun Van (2001). Critical Discourse Analysis. Dalam Deborah Schiffrin, Deborah
Tannen, dan Heidi E. Hamilton (ed). The Handbook of Discourse Analysis.
Blackwel Publisher
---------, (June 2006). Ideology and discourse analysis. Journal of Political Ideologies.
Routledge
Eriyanto (2001). Analisis Wacana; Pengantar Analisis teks Media. Yogyakarta : LKiS
Fiske, John (2011). Cultural and Communication Studies; Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra
Huntington, Samuel (1996) . Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia.
Yogyakarta : Penerbit Qalam
Izadi, Foad dan Hakimeh Saghaye-Biria (2007). A Discourse Analysis of Elite American
Newspaper Editorial. The Case of Irans Nuclear Program. Journal of
Communication Inquiry, Volume 31 Number 2.
Kellner, Douglas (1995). Media Culture; Cultural studies, identity and politics between the
modern and the postmodern. Routledge
Laughey, Dan (2007). Key Themes in Media Theory. New York : McGraw Hill Open
University Press
Mercier Arnaud (2005). Perang dan Media: Kepatuhan dan Ledakan. International Review
of Red Cross. Volume 87 Number 860 December 2005
Muazaffar, Chandra (2003). Muslim, Dialog dan Teror. Jakarta : Penerbit Profetik
Said, Edward W (1978). Orientalism. New York : Vintage Books

22
Salim Alatas, Penggunaan Media sebagai Instrumen Perang, Juni 2012

You might also like