You are on page 1of 15

PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI PNS

DI BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN


Aden Rachman Hakim1, Bernat Irvan Purba2, Eviana Sulistianingrum3,
Manro Manrie Sipayung4, Reza Mahardian Yulandra5, Thalissa Sabel Saragih6
1) D-IV Akuntansi, STAN, Jakarta
email: adenrahmanhakim@gmail.com
2) D-IV Akuntansi, STAN, Jakarta
email: bernat.irvan90@gmail.com
3) D-IV Akuntansi, STAN, Jakarta
email: viehye@gmail.com
4) D-IV Akuntansi, STAN, Jakarta
email: manrosipayung@gmail.com
5) D-IV Akuntansi, STAN, Jakarta
email:reza.mahardian90@gmail.com
6) D-IV Akuntansi, STAN, Jakarta
email: thalissa.sabel@gmail.com

Abstrak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan pimpinannya adalah Kepala
BPKP dalam melaksanakan tugas, pokok, dan fungsinya, berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden Republik Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang 103
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah,terakhir dengan Peraturan Presiden No 64 tahun
2005 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan
dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 52). Penulisan
paper ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai tugas dan fungsi Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, serta mengetahui hambatan beserta solusi dalam pelaksanaanya. Penulis menggunakan
metodologi penelitian kepustakaan sebagai referensi dalam penulisan paper. Penulis berharap paper ini dapat
memberikan hasil yang baik sehingga pembaca mampu mengetahui tugas, pokok, dan fungsi BPKP sehingga
pembaca mendapat gambaran peranan BPKP dalam pemerintahan dan pembaca bisa memberikan saran dan
perbaikan yang konstruktif kepada BPKP.
Kata kunci: Tupoksi BPKP, Hambatan, dan Solusi.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang (Sejarah BPKP)
Sejarah Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) tidak dapat dilepaskan dari
sejarah panjang perkembangan lembaga pengawasan
sejak sebelum era kemerdekaan.

pertama di Indonesia adalah Djawatan Akuntan


Negara (DAN). Secara struktural DAN yang bertugas
mengawasi pengelolaan perusahaan negara berada di
bawah Thesauri Jenderal pada Kementerian Keuangan.

1)

Dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1961


tentang Instruksi bagi Kepala Djawatan Akuntan
Negara (DAN), kedudukan DAN dilepas dari Thesauri
Jenderal dan ditingkatkan kedudukannya langsung di
bawah Menteri Keuangan. DAN merupakan alat
pemerintah yang bertugas melakukan semua pekerjaan
akuntan bagi pemerintah atas semua departemen,
jawatan, dan instansi di bawah kekuasaannya.

Djawatan Akuntan Negara (DAN)

Dengan besluit Nomor 44 tanggal 31 Oktober


1936 secara eksplisit ditetapkan bahwa Djawatan
Akuntan Negara (Regering Accountantsdienst)
bertugas melakukan penelitian terhadap pembukuan
dari berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu.
Dengan demikian, dapat dikatakan aparat pengawasan

Sementara itu fungsi pengawasan


dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal.

anggaran

2) Direktorat Jendral Pengawasan Keuangan Negara


(DJPKN)
Selanjutnya dengan Keputusan Presiden Nomor
239 Tahun 1966 dibentuklah Direktorat Djendral
Pengawasan Keuangan Negara (DDPKN) pada
Departemen Keuangan. Tugas DDPKN (dikenal
kemudian sebagai DJPKN) meliputi pengawasan
anggaran dan pengawasan badan usaha/jawatan, yang
semula menjadi tugas DAN dan Thesauri Jenderal.
DJPKN
mempunyai
tugas
melaksanakan
pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara,
anggaran daerah, dan badan usaha milik negara/daerah.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun
1971 ini, khusus pada Departemen Keuangan, tugas
Inspektorat Jendral dalam bidang pengawasan
keuangan negara dilakukan oleh DJPKN.
3) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP)
Dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor
31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983. DJPKN
ditransformasikan menjadi BPKP, sebuah lembaga
pemerintah non departemen (LPND) yang berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya
Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang
BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga
pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya
secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan
hambatan dari unit organisasi pemerintah yang
menjadi obyek pemeriksaannya.
Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983
tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah
meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan
proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga
Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya
yang terlepas dari semua departemen atau lembaga
sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya
secara lebih baik dan obyektif.
Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 103 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana
telah beberapa kali diubah,terakhir dengan Peraturan
Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52
disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan

tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan


dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pendekatan yang dilakukan BPKP diarahkan
lebih bersifat preventif atau pembinaan dan tidak
sepenuhnya audit atau represif. Kegiatan sosialisasi,
asistensi atau pendampingan, dan evaluasi merupakan
kegiatan yang mulai digeluti BPKP. Sedangkan audit
investigatif dilakukan dalam membantu aparat
penegak hukum untuk menghitung kerugian keuangan
negara.
Pada masa reformasi ini, BPKP banyak
mengadakan Memorandum of Understanding (MoU)
atau Nota Kesepahaman dengan pemda dan
departemen/lembaga sebagai mitra kerja BPKP. MoU
tersebut pada umumnya membantu mitra kerja untuk
meningkatkan kinerjanya dalam rangka mencapai
good governance.
Dalam melaksanakan tugasnya, BPKP didukung
oleh ketentuan dan peraturan sebagai berikut:
1) Keputusan Presiden RI No.103 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang telah diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 64 Tahun 2005
2) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah
3) Instruksi Presiden No.4 Tahun 2011 tanggal 17
Februari 2011 tentang Percepatan Peningkatan
Kualitas Akuntabilitas Keuangan Negara
Mengingat
pentingnya
peranan
Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dalam
pemerintahan, dalam makalah akan kami bahas
mengenai penerapan tugas dan fungsi Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
1.2. Maksud dan Tujuan
Adapun penyusunan makalah ini dimaksudkan
untuk memberikan gambaran tentang Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan
hambatan secara menyeluruh dalam pelaksanaan tugas,
pokok, dan fungsi BPKP.
Tujuan dari penyusunan makalah ini dapat
dijabarkan sebagai berikut:

1) Memberikan gambaran tentang visi, misi, dan


nilai-nilai pada BPKP
2) Memberikan gambaran tentang struktur organisasi
pada BPKP
3) Memberikan pemahaman terhadap tugas, pokok,
dan fungsi (tupoksi) dari masing-masing unit
eselon I di lingkungan BPKP
4) Memberikan gambaran tentang informasi produk
layanan BPKP
5) Memberikan gambaran tentang hambatan yang
dihadapi dalam pelaksanaan Tupoksi BPKP
6) Meningkatkan kepedulian (awareness) terhadap
hamabatan yang terjadi selama pelaksanaan
tupoksi BPKP
7) Sebagai bahan referensi bagi seluruh pihak yang
berkepentingan terhadap makalah ini.
1.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat kami sampaikan
rumusan masalah yang akan dibahas antara lain:
1) Apakah yang menjadi Visi, Misi, dan Nilai-Nilai
BPKP pada saat ini?
2) Bagaimana Struktur Organisasi BPKP?
3) Apakah yang menjadi Tupoksi BPKP?
4) Apakah yang menjadi informasi produk layanan
terkait Tupoksi BPKP?
5) Apakah hambatan yang muncul dari pelaksanaan
Tupoksi BPKP?
6) Bagaimana bentuk penanggulangan hambatan di
BPKP?
2.

LANDASAN TEORI

Dalam pencapaian suatu tujuan organisasi atau


kelembagaan, diperlukan suatu perencanaan dan
tindakan nyata. Secara umum, bisa dikatakan bahwa
Visi dan Misi adalah suatu konsep perencanaan yang
di sertai dengan tindakan sesuai dengan apa yang di
rencanakan untuk mencapai suatu tujuan. Misi
tersebut kemudian dijabarkan menjadi suatu Tugas,
Pokok, dan Fungsi yang merupakan kumpulan dari
tindakan-tindakan (aksi) yang harus dilaksanakan oleh
setiap personil dalam suatu organisasi secara konsisten.
2.1. Definisi Visi
Visi adalah what be believe we can be. Visi
merupakan gambaran masa depan dari suatu
organisasi. Penentuan visi berarti menetapkan tujuan
dan cita-cita yang ingin dicapai. Berdasarkan
Lewis&Smith (1994), dalam menentukan visi,

hendaknya suatu organisasi memenuhi persyaratan


sebagai berikut:
1) Tidak berdasarkan kondisi saat ini
2) Berorientasi ke depan
3) Mengekspresikan kreatifitas
4) Berdasar pada prinsip nilai yang mengandung
penghargaan bagi masyarakat
5) Memperhatikan sejarah, kultur, dan nilai
organisasi
6) Mempunyai standar yang tinggi, ideal serta
harapan bagi anggota organisasi
7) Memberikan klarifikasi bagi manfaat lembaga
serta tujuan-tujuannya
8 ) Memberikan
semangat
dan
mendorong
timbulnya dedikasi pada organisasi
9) Menggambarkan keunikan lembaga dalam
kompetisi beserta citranya
10) Bersifat ambisius serta menantang segenap
anggota lembaga.
2.2. Definisi Misi
Misi adalah what be believe we can do. Misi
adalah apa yang bisa dilakukan untuk mencapai
gambaran masa depan (visi). Misi bisa berarti juga
merupakan langkah-langkah dan strategi (action plan)
yang dilakukan untuk mencapai visi.
Kadangkala misi perlu diubah sedemikian rupa
apabila visi belum tercapai. Jadi, bukan visinya yang
diubah, tetapi cara-cara untuk mencapai tujuan yang
dirubah. Apabila visi berubah-ubah maka akan
terkesan tidak konsisten gambaran masa depan tentang
organisasi tersebut.
2.3. Definisi Tugas Pokok
Tugas pokok adalah kesatuan pekerjaan atau
kegiatan yang paling utama dan rutin dilakukan oleh
para pegawai dalam sebuah organisasi yang
memberikan gambaran tentang ruang lingkup atau
kompleksitas jabatan atau organisasi demi mencapai
tujuan tertentu.
2.4. Definisi Fungsi
Fungsi adalah kesatuan pekerjaan atau kegiatan
yang dilaksanakan oleh para pegawai yang memiliki
aspek khusus serta saling berkaitan satu sama lain
menurut sifat atau pelaksanaan untuk mencapai tujuan
tertentu dalam sebuah organisasi.

2.5. Definisi Hambatan


Hambatan dapat diartikan sebagai segala sesuatu,
baik itu yang bersumber dari dalam (intern) maupun
dari luar (ekstern) yang mengakibatkan pencapaian
tujuan suatu organisasi atau lembaga menjadi tidak
lancar atau tidak berjalan sebagaimana mestinya.
3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

2)

3)

3.1 Visi, Misi, dan Nilai-Nilai BPKP


Sesuai arahan Presiden RI tanggal 11 Desember
2006, BPKP melakukan reposisi dan revitalisasi
fungsi yang kedua kalinya. Reposisi dan revitalisasi
BPKP diikuti dengan penajaman visi, misi, dan
strategi. Visi BPKP yang baru adalah Auditor Intern
Pemerintah yang Proaktif dan Terpercaya dalam
Mentransformasikan
Manajemen
Pemerintahan
Menuju Pemerintahan yang Baik dan Bersih.
Sedangkan Misi BPKP yaitu:
1) Menyelenggarakan pengawasan intern terhadap
akuntabilitas keuangan negara yang mendukung
tata kelola kepemerintahan yang baik dan bebas
KKN.
2) Membina penyelenggaraan Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah.
3) Mengembangkan kapasitas pengawasan intern
pemerintah yang profesional dan kompeten.
4) Menyelenggarakan sistem dukungan pengambilan
keputusan yang andal bagi presiden/pemerintah.
Nilai-nilai organisasi merupakan dasar acuan dan
motor penggerak motivasi, sikap dan tindakan. Dalam
konteks organisasi, nilai-nilai organisasi harus
dikembangkan atau sejalan dengan visi dan misi
organisasi.
Dalam menjalankan mandatnya, BPKP senantiasa
bertumpu pada nilai-nilai luhur yang urutan huruf
awalnya dapat menjadi suatu kata kunci yang
mengilhami seluruh staf BPKP yaitu PIONIR yang
berarti pemrakarsa. Hal ini merupakan perwujudan
dari keinginan untuk selalu berinovasi guna
menghasilkan produk-produk yang berbeda dari
produk para pengawas intern lainnya tetapi diyakini
akan diterima karena dibutuhkan oleh para pemangku
kepentingan. Pionir merupakan bentukan dari 6
(enam) nilai yaitu:
1) Profesional
Suatu standar kualitas kerja keahlian yang
menjamin kepercayaan masyarakat pada umumnya
dan pengguna jasa pada khususnya, karena
dilandasi oleh pola kerja, pola pikir, dan pola sikap
menurut standar keahlian minimal yang ditetapkan

4)

5)

6)

oleh organisasi profesi dan/atau peraturan


perundang-undangan yang berlaku
Integritas
Integritas adalah nilai yang mengandung makna
gabungan dari kejujuran, objektivitas, keberanian,
konsistensi, dan konsekuensi. Nilai pengawasan,
selain bergantung pada kompetensi pengawas, juga
sangat dipengaruhi oleh integritas
Orientasi pada Pengguna
Orientasi pada Pengguna adalah keinginan untuk
membantu atau melayani pihak lain untuk
memenuhi kebutuhan mereka, dengan cara
mengetahui dan memenuhi kebutuhan pengguna
meliputi pengguna internal dan eksternal
Nurani dan Akal Sehat
Nurani dan akal sehat adalah nilai untuk bertindak
proporsional, menghindari diri dari praktik
pengawasan
yang
berlebihan.
Dengan
mempertimbangkan nurani dan akal sehat, auditor
ditantang untuk menerapkan etika pengawasan
yang tertinggi. Nurani merupakan sumber
pertimbangan kebaikan etika dalam tahapnya yang
tertinggi
Independen
Independensi
mencakup
dua
hal
yaitu
independensi dalam sikap dan dalam penampilan.
Independensi tetap diperlukan bagi aparat
pengawas intern tidak terkecuali BPKP. Selain
memberikan laporannya langsung kepada para
pimpinan lembaga eksekutif, BPKP juga
memaparkan hasil pengawasannya kepada DPR
manakala
diminta,
tentunya
dengan
memperhatikan kaitannya dengan aspek kode etik
profesi.
Responsibel
Responsibel adalah sikap seorang yang mengakui
adanya tanggung jawab yang bermula pada dirinya
(obligation to act). Ini adalah salah satu sikap yang
dipercaya merupakan komponen dari proses good
governance

Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, pegawai


BPKP dalam mewujudkan nilai-nilai luhur BPKP
dengan semangat kerja 5- As, yaitu:
1) Kerja Keras
2) Kerja Cerdas
3) Kerja Tuntas
4) Kerja Ikhlas
5) Kerja Penuh Integritas

3.2 Struktur Organisasi BPKP


Struktur
atau Susunan
Organisasi
yang
sebagaimana disajikan dalam Keputusan Kepala
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Nomor: Kep-06.00.00-080/K/2001, yaitu terdiri dari:
1) Kepala;
2) Sekretariat Utama;
3) Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang
Perekonomian;
4) Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang
Politik, Sosial, dan Keamanan;
5) Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan
Akuntabilitas;
6) Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan
Keuangan Daerah;
7) Deputi Bidang Akuntan Negara;
8) Deputi Bidang Investigasi;
9) Inspektorat;
10) Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan;
11) Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Pengawasan;
12) Pusat Informasi Pengawasan;
13) Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Auditor.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2014, dalam rangka pelaksanaan
tupoksi, terutama yang berkaitan dengan pengawasan
keuangan, BPKP memiliki Perwakilan di masingmasing provinsi. Perwakilan BPKP tersebut terdiri
Perwakilan BPKP Tipe A dan Perwakilan BPKP Tipe
B. Adapun Susunan Organisasi Perwakilan BPKP di
masing-masing tipe tersebut, yaitu:
1) Perwakilan BPKP Tipe A:
a) Kepala Perwakilan
b) Bagian Tata Usaha (TU)
- Subbagian Kepegawaian
- Subbagian Keuangan
- Subbagian Umum
c) Kelompok Jabatan Fungsional, terdiri dari:
- Kelompok Jabatan Fungsional Auditor:
Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah
Pusat
Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah
Bidang Akuntan Negara
Bidang Investigasi
Bidang Program dan Pelaporan serta
Pembinaan Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah
- Kelompok Jabatan Fungsional Lainnya
2) Perwakilan BPKP Tipe B
a) Kepala Perwakilan

b) Bagian Tata Usaha (TU)


c) Kelompok Jabatan Fungsional
- Kelompok Jabatan Fungsional Auditor:
Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah
Pusat
Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah
Bidang Akuntan Negara
Bidang Investigasi
Bidang Program dan Pelaporan serta
Pembinaan Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah
- Kelompok Jabatan Fungsional Lainnya
3.2 Pelakasnaan Tugas Pokok dan Fungsi BPKP
Tupoksi BPKP dibagi menjadi Tupoksi BPKP
secara Keseluruhan dan Tupoksi BPKP pada masingmasing unit Eselon I, yaitu sebagai berikut:
1) Badan
Pengawasan
Keuangan
dan
Pembangunan
Sesuai dengan Pasal 52, 53 dan 54 Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun
2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen, BPKP
mempunyai
tugas
melaksanakan
tugas
Pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan
pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam

melaksanakan

tugas,

BPKP

menyelenggarakan fungsi :
a) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional
di

bidang

pengawasan

keuangan

dan

pembangunan;
b) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang

pengawasan

keuangan

dan

pembangunan;
c) koordinasi

kegiatan

fungsional

dalam

pelaksanaan tugas BPKP;


d) pemantauan,
pembinaan

pemberian
terhadap

bimbingan

kegiatan

dan

pengawasan

keuangan dan pembangunan;


e) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan
administrasi umum di bidang perencanaan
umum,

ketatausahaan,

organisasi

dan

tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan,


hukum, persandian, perlengkapan dan rumah
tangga.

Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, BPKP


mempunyai kewenangan :
a) penyusunan rencana nasional secara makro di
bidangnya;
b) perumusan kebijakan di bidangnya untuk
mendukung pembangunan secara makro;
c) penetapan sistem informasi di bidangnya;
d) pembinaan

dan

pengawasan

atas

penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi


pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan,
arahan, dan supervisi di bidangnya;
e) penetapan
pendidikan

persyaratan
dan

akreditasi
sertifikasi

lembaga
tenaga

profesional/ahli serta persyaratan jabatan di


bidangnya;
f) kewenangan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
2) Sekretaris Utama
Sekretariat
Utama
mempunyai
tugas
mengkoordinasikan perencanaan, pembinaan,
pengendalian administrasi, dan sumber daya di
lingkungan BPKP. Dalam melaksanakan tugas,
Sekretariat Utama menyelenggarakan fungsi:
a) koordinasi perumusan kebijakan pengawasan
intern pemerintah dan kebijakan teknis
pengawasan di lingkungan BPKP;
b) koordinasi dan penyusunan program kerja
pengawasan tahunan (PKPT) serta evaluasi
pelaksanaannya di lingkungan BPKP dan
aparat pengawasan intern pemerintah (APIP)
lainnya;
c) pengelolaan kepegawaian, penataan organisasi
dan ketatalaksanaan, serta keuangan;
d) penyusunan peraturan perundang-undangan,
penelaahan hukum, pemberian bantuan hukum,
serta pelaksanaan hubungan masyarakat dan
hubungan antar lembaga.
e) pelaksanaan urusan tata usaha, perlengkapan,
dan rumah tangga; koordinasi dan penyusunan
laporan hasil pengawasan di lingkungan BPKP
dan APIP lainnya;
f) koordinasi penyusunan laporan akuntabilitas
kinerja BPKP dan penyusunan laporan
akuntabilitas kinerja Sekretariat Utama.
3) Inspektorat
Inspektorat mempunyai tugas melaksanakan
pengawasan fungsional terhadap unit kerja yang
berada di lingkungan BPKP.

Dalam
melaksanakan
tugas,
Inspektorat
menyelenggarakan fungsi:
a) penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis
pengawasan pada Inspektorat;
b) penyiapan bahan penyusunan prosedur dan
pedoman kegiatan operasional Inspektorat;
c) pelaksanaan pemeriksaan ketaatan, efisiensi,
dan efektivitas tugas dan kegiatan unit kerja di
lingkungan BPKP;
d) pelaksanaan pemeriksaan khusus terhadap
indikasi penyimpangan dan penyalahgunaan
wewenang unit kerja dan pegawai di
lingkungan BPKP;
e) pelaksanaan evaluasi laporan akuntabilitas
kinerja unit kerja di lingkungan BPKP;
f) pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan
Inspektorat;
g) evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan
pemeriksaan Inspektorat;
h) analisis, evaluasi, dan penyusunan laporan hasil
pengawasan Inspektorat.
4) Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pengawasan
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan, yang
selanjutnya disebut Pusdiklatwas mempunyai tugas
melaksanakan penyelenggaraan, pembinaan, dan
koordinasi kegiatan pendidikan dan pelatihan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 219, Pusdiklatwas menyelenggarakan
fungsi:
a) penyusunan program pendidikan dan pelatihan
kedinasan, fungsional, dan teknis;
b) perencanaan, penyusunan, dan pengembangan
materi pendidikan dan pelatihan fungsional dan
teknis;
c) perencanaan kebutuhan dan pembinaan
widyaiswara dan instruktur;
d) penyelenggaraan, pembinaan, dan koordinasi
kegiatan
pendidikan
dan
pelatihan
pembentukan,
pengembangan
dan
penjenjangan jabatan fungsional auditor, serta
pendidikan dan pelatihan teknis;
e) penetapan persyaratan dan
pemberian
akreditasi penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan pembentukan dan penjenjangan
jabatan fungsional auditor;
f) evaluasi pelaksanaan hasil pendidikan dan
pelatihan serta penyusunan laporannya;
g) pengelolaan kepegawaian dan pelaksanaan
urusan tata usaha, keuangan, barang
milik/kekayaan negara dan urusan rumah
tangga.

5) Pusat
Penelitian
Dan
Pengembangan
Pengawasan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengawasan,
yang
selanjutnya
disebut
Puslitbangwas
mempunyai tugas melaksanakan penyelenggaraan,
pembinaan, dan koordinasi kegiatan penelitian dan
pengembangan pengawasan.
Dalam melaksanakan tugas, Puslitbangwas
menyelenggarakan fungsi:
a) analisis kebutuhan dan penyusunan program
penelitian dan pengembangan;
b) pelaksanaan penelitian dan pengembangan;
c) pelaksanaan kerja sama penelitian dan
pengembangan;
d) evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan
dan hasil penelitian dan pengembangan;
e) pengelolaan kepegawaian, keuangan, dan
urusan rumah tangga;
6) Pusat Informasi Pengawasan
Pusat Informasi Pengawasan, yang selanjutnya
disebut
Pusinfowas
mempunyai
tugas
melaksanakan pengelolaan data dan informasi
serta pengembangan sistem informasi.
Dalam
melaksanakan
tugas,
Pusinfowas
menyelenggarakan fungsi:
a) penyusunan rencana dan program pengelolaan
data dan informasi serta pengembangan sistem
informasi;
b) pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data
dan informasi, serta administrasi basis data;
c) penyiapan kompilasi analisis hasil pengawasan;
d) pengembangan
sistem
informasi
dan
pembinaan terhadap pengguna;
e) pelaksanaan urusan tata usaha.
7) Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Auditor
Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Auditor,
yang selanjutnya disebut Pusbin JFA mempunyai
tugas melaksanakan penelaahan dan penyusunan
peraturan, standar, pedoman, program pembinaan,
dan pelaksanaan
sertifikasi serta evaluasi
pelaksanaan sertifikasi, angka kredit, dan
efektivitas tim penilai jabatan fungsional auditor
di lingkungan BPKP dan APIP lainnya.
Dalam melaksanakan tugas, Pusbin JFA
menyelenggarakan fungsi:
a) penyusunan rencana dan program pembinaan
jabatan fungsional auditor;

b) penelaahan dan penyusunan peraturan, standar


dan pedoman jabatan fungsional auditor;
c) penyusunan materi ujian jabatan fungsional
auditor.
d) pengelolaan data pejabat fungsional auditor;
e) pelaksanaan seleksi dan penentuan kelulusan
peserta
pendidikan dan pelatihan jabatan
fungsional auditor;
f) evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan
sertifikasi, penilaian
angka kredit, dan
efektivitas tim penilai.
8) Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah
Bidang Perekonomian
Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang
Perekonomian mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan di bidang pengawasan
instansi pemerintah bidang perekonomian.
Dalam melaksanakan tugas, Deputi Pengawasan
Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian
menyelenggarakan fungsi:
a) perumusan kebijakan teknis pengawasan dan
penyusunan rencana pengawasan di bidang
perekonomian;
b) penyusunan pedoman teknis pemeriksaan dan
pemberian bimbingan teknis pengawasan di
bidang perekonomian terhadap kegiatan
pengawasan BPKP dan APIP lainnya;
c) pengawasan terhadap anggaran pendapatan dan
belanja negara, pinjaman dan bantuan luar
negeri, pengurusan barang milik/kekayaan
negara,
serta
penyelenggaraan
tugas
pemerintahan yang bersifat strategis dan/atau
lintas departemen/lembaga/wilayah di bidang
perekonomian;
d) pemantauan tindak lanjut hasil pengawasan di
bidang perekonomian;
e) evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan
pengawasan di bidang perekonomian;
f) analisis, evaluasi, dan penyusunan laporan hasil
pengawasan
bidang
perekonomian
di
lingkungan BPKP dan APIP lainnya.
Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang
Perekonomian terdiri dari:
a) Direktorat Pengawasan Fiskal dan Investasi;
b) Direktorat Pengawasan Produksi dan Sumber
Daya Alam;
c) Direktorat Pengawasan Industri dan Distribusi;
d) Direktorat Pengawasan Pinjaman dan Bantuan
Luar Negeri;

9) Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah


Bidang Politik, Sosial dan Keamanan
Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang
Politik, Sosial, dan Keamanan mempunyai tugas
melaksanakan perumusan kebijakan di bidang
pengawasan instansi pemerintah bidang politik,
sosial, dan keamanan.
Dalam melaksanakan tugas, Deputi Pengawasan
Instansi Pemerintah Bidang Politik, Sosial, dan
Keamanan menyelenggarakan fungsi:
a) perumusan kebijakan teknis pengawasan dan
penyusunan rencana pengawasan di bidang
politik, sosial, dan keamanan;
b) penyusunan pedoman teknis pemeriksaan dan
pemberian bimbingan teknis pengawasan di
bidang politik, sosial, dan keamanan terhadap
kegiatan pengawasan BPKP dan APIP lainnya;
c) pengawasan terhadap anggaran pendapatan
dan belanja negara, pengurusan barang
milik/kekayaan negara, serta penyelenggaraan
tugas pemerintahan yang bersifat strategis
dan/atau lintas departemen/lembaga/wilayah di
bidang politik, sosial, dan keamanan;
d) pemantauan tindak lanjut hasil pengawasan di
bidang politik, sosial, dan keamanan;
e) evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan
pengawasan di bidang politik, sosial, dan
keamanan;
f) analisis, evaluasi, dan penyusunan laporan hasil
pengawasan di bidang politik, sosial, dan
keamanan di lingkungan BPKP dan APIP
lainnya.
Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang
Politik, Sosial, dan Keamanan terdiri dari:
a) Direktorat Pengawasan Lembaga Pemerintah
Bidang Pertahanan dan Keamanan;
b) Direktorat Pengawasan Lembaga Pemerintah
Bidang Penegakan Hukum dan Kesekretariatan
Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara;
c) Direktorat Pengawasan Lembaga Pemerintah
Bidang Kesejahteraan Rakyat;
d) Direktorat Pengawasan Lembaga Pemerintah
Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan Lainnya.
Tugas pokok dan fungsi Deputi PIP Bidang
Perekonomian dan Deputi PIP Bidang Politik,
Sosial, dan Keamanan di perwakilan BPKP
dilaksanakan oleh Bidang Instansi Pemerintah
Pusat.
Mitra dari pelaksanaan tupoksi tersebut adalah
instansi vertikal yang ada di provinsi/daerah.

10) Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan


Keuangan Daerah
Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan
Keuangan Daerah mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan di bidang pengawasan
penyelenggaraan bidang keuangan daerah.
Dalam melaksanakan tugas, Deputi Pengawasan
Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah
menyelenggarakan fungsi:
a) perumusan kebijakan teknis pengawasan dan
penyusunan rencana pengawasan di bidang
penyelenggaraan keuangan daerah;
b) penyusunan pedoman teknis pemeriksaan dan
pemberian bimbingan teknis pengawasan di
bidang penyelenggaraan
keuangan daerah
terhadap kegiatan pengawasan BPKP dan APIP
lainnya;
c) pengawasan terhadap anggaran pendapatan
dan belanja daerah, pengurusan barang
milik/kekayaan pemerintah daerah, serta
penyelenggaraan tugas pemerintahan yang
bersifat strategis dan/atau lintas wilayah di
bidang penyelenggaraan keuangan daerah atas
permintaan daerah;
d) pemantauan tindak lanjut hasil pengawasan di
bidang penyelenggaraan keuangan daerah;
e) evaluasi dan penyusunan laporan hasil
pengawasan di bidang penyelenggaraan
keuangan daerah;
f) analisis, evaluasi, dan penyusunan laporan hasil
pengawasan bidang penyelenggaraan keuangan
daerah di lingkungan BPKP dan APIP lainnya.
Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan
Keuangan Daerah terdiri dari:
a) Direktorat
Pengawasan
Penyelenggaraan
Keuangan Daerah Wilayah I;
b) Direktorat
Pengawasan
Penyelenggaraan
Keuangan Daerah Wilayah II;
c) Direktorat
Pengawasan
Penyelenggaraan
Keuangan Daerah Wilayah III.
Tugas pokok dan fungsi Deputi Pengawasan
Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah di
perwakilan BPKP dilaksanakan oleh Bidang
Akuntabilitas Pemerintah Daerah.
Mitra dari pelaksanaan tupoksi tersebut adalah
pemerintah daerah yaitu provinsi serta kabupaten
kota di seluruh Indonesia.

11) Deputi Bidang Akuntan Negara


Deputi Bidang Akuntan Negara mempunyai tugas
melaksanakan perumusan kebijakan di bidang
akuntan negara.
Dalam melaksanakan tugas, Deputi Bidang
Akuntan Negara menyelenggarakan fungsi:
a) perumusan kebijakan teknis pengawasan dan
penyusunan rencana pengawasan badan usaha
milik negara, Pertamina, cabang usaha
Pertamina dan kontraktor bagi hasil, kontrak
kerja sama, badan-badan lain yang di dalamnya
terdapat kepentingan pemerintah, dan badan
usaha milik daerah;
b) penyusunan pedoman teknis pemeriksaan dan
pemberian bimbingan teknis pengawasan
badan usaha milik negara, Pertamina, cabang
usaha Pertamina dan kontraktor bagi hasil,
kontrak kerja sama, badan-badan lain yang di
dalamnya terdapat kepentingan pemerintah,
dan badan usaha milik daerah;
c) pengawasan terhadap badan usaha milik
negara, Pertamina, cabang usaha Pertamina,
kontraktor bagi hasil, dan kontrak kerja sama,
badan-badan lain yang di dalamnya terdapat
kepentingan pemerintah, dan badan usaha milik
daerah atas permintaan daerah sesuai dengan
dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
d) evaluasi terhadap pelaksanaan good corporate
governance dan laporan akuntabilitas kinerja
pada badan usaha milik negara, Pertamina,
cabang usaha Pertamina, kontraktor bagi hasil,
kontrak kerja sama, badan-badan lain yang di
dalamnya terdapat kepentingan pemerintah,
dan badan usaha milik daerah, sesuai dengan
ketentuan perundangan yang berlaku;
e) pemantauan tindak lanjut hasil pengawasan
pada badan usaha milik negara, Pertamina,
cabang usaha Pertamina dan kontraktor bagi
hasil, kontrak kerja sama, badan-badan lain
yang di dalamnya terdapat kepentingan
pemerintah, dan badan usaha milik daerah atas
permintaan daerah;
f) evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan
pengawasan badan usaha milik negara,
Pertamina, cabang usaha Pertamina dan
kontraktor bagi hasil, kontrak kerja sama,
badan-badan lain yang di dalamnya terdapat
kepentingan pemerintah, dan badan usaha milik
daerah; analisis, evaluasi, dan penyusunan
laporan hasil pengawasan badan usaha milik
negara, Pertamina, cabang usaha Pertamina

dan kontraktor bagi hasil, kontrak kerja sama,


badan-badan lain yang di dalamnya terdapat
kepentingan pemerintah, dan badan usaha milik
daerah.
Deputi Bidang Akuntan Negara terdiri dari:
a) Direktorat
Pengawasan
Badan
Usaha
Agrobisnis, Jasa Konstruksi, dan Perdagangan;
b) Direktorat Pengawasan Badan Usaha Jasa
Perhubungan, Pariwisata, Kawasan Industri,
dan Jasa Lainnya;
c) Direktorat Pengawasan Badan Usaha Jasa
Keuangan dan Manufaktur;
d) Direktorat
Pengawasan
Badan
Usaha
Perminyakan dan Gas Bumi;
e) Direktorat Pengawasan Badan Usaha Milik
Daerah.
Tugas pokok dan fungsi Deputi Bidang Akuntan
Negara di perwakilan BPKP dilaksanakan oleh
Bidang Akuntan Negara.
Mitra dari pelaksanaan tupoksi tersebut adalah
Badan Layanan Umum dan Badan Usaha Milik
Daerah di Provinsi/Kabupaten/Kota di Indonesia.
12) Deputi Bidang Investigasi
Deputi Bidang Investigasi mempunyai tugas
melaksanakan perumusan kebijakan di bidang
investigasi.
Dalam melaksanakan, Deputi Bidang Investigasi
menyelenggarakan fungsi:
a) perumusan kebijakan teknis investigasi dan
penyusunan rencana investigasi;
b) penyusunan pedoman teknis dan pemberian
bimbingan teknis investigasi;
c) koordinasi dan pelaksanaan investigasi
terhadap kasus penyimpangan yang berindikasi
merugikan negara dan terhadap hambatan
kelancaran pembangunan pada instansi
pemerintah pusat dan daerah, badan usaha
milik negara, badan-badan lain yang di
dalamnya terdapat kepentingan pemerintah,
dan badan usaha milik daerah;
d) pemberian bantuan investigasi terhadap kasus
penyimpangan yang berindikasi merugikan
negara dan terhadap hambatan kelancaran
pembangunan pada instansi pemerintah pusat
dan daerah, badan usaha milik negara, badanbadan lain yang di dalamnya terdapat
kepentingan pemerintah, dan badan usaha milik
daerah atas permintaan pihak yang berwenang,

instansi atau badan usaha yang bersangkutan,


instansi penyidik dan/atau instansi/lembaga
yang berwenang lainnya;
e) pemantauan tindak lanjut hasil investigasi;
f) evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan
investigasi;
g) analisis, evaluasi, dan penyusunan laporan hasil
investigasi.
Deputi Bidang Investigasi terdiri dari:
a) Direktorat Investigasi Instansi Pemerintah;
b) Direktorat Investigasi Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
c) Direktorat Investigasi Hambatan Kelancaran
Pembangunan.
Tugas pokok dan fungsi Deputi Investigasi di
perwakilan BPKP dilaksanakan oleh Bidang
Investigasi.
Mitra dari pelaksanaan tupoksi tersebut adalah
Aparat Penegak Hukum.
3.4.

Informasi Produk dan Layanan BPKP

Warga negara dan/atau badan hukum Indonesia


berhak mengajukan permintaan Informasi Publik
kepada
Badan
Pengawasan
Keuangan
dan
Pembangunan (BPKP) sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. BPKP menyediakan
layanan Permintaan Informasi Publik BPKP sebagai
perwujudan pelaksanaan UU tentang Keterbukaan
Informasi Publik, baik melalui Meja Layanan
Informasi di unit kerja BPKP maupun melalui website
BPKP.
BPKP berperan penting dalam pengembangan
SDM Pemerintah Daerah dan Kementrian/Lembaga
dalam kegiatan pembinaan kapabilitas APIP (Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah). Adapun layanan yang
dilakukan kepada mitra kerja ialah sebagai berikut :
1) BIDANG APD
a) ASISTENSI
(1) SPIP :
(a) Asst Direct Assessment
(b) Asst Monitoring Perbaikan SPIP
(c) Sosialisasi SPIP
(d) Asst Perkada SPIP
(e) Bimtek Penerapan SPIP
(f) Jukfas Penyelenggaraan SPIP
(g) Manajemen Risiko
(h) Asst SPIP Lainnya

(2) SAKIP
(a) Asst. SAKIP - IKK/IKU
(b) Asst Indikator Kinerja
(c) Asst Standar Pelayanan Minimal
(d) Asst Rencana Kerja Tahunan
(e) Asst Penetapan Kinerja /TAPKIN
(f) Asst LAKIP
(g) Asst LPPD
(h) Asst RPJMD/RENSTRA
(i) Asst RKPD/RENJA
(j) Asst Revisi RPJMD
(k) Asst Evaluasi LAKIP
(l) Asst Evaluasi LPPD
(m) Asst SAKIP Lainnya
(3) APBD
(a) Asst. Standar Biaya / ASB
(b) Asst. KUA & PPAS
(c) Asst. Rencana Kerja & Anggaran
(d) Rencana Bisnis Anggaran (RBA)
(e) Asst Anggaran Berbasis Kinerja
(f) Asst. APBD
(g) Asst. APBD Lainnya
(4) SAKD
(a) BMD-Inventarisasi
(b) Asst. SAKD BMD-Penatausahaan
(c) Asst. SAKD BMD-Lainnya
(d) Asst. SAKD LKPD
(e) Asst. SAKD LKPJ
(f) Asst. Reviu LKPD
(g) Asst. SAKD Kebijakan Akuntansi
(h) Asst. SAKD TUKD
(i) Asst. SAKD Lainnya
(5) SIMDA
(a) SIMDA Keuangan
(b) SIMDA BMD
(c) SIMDA Gaji
(d) SIMDA Pendapatan
(e) SIMDA SAKIP
(6) LAINNYA
(a) Asst. Pengadaan Barang & Jasa
(b) Asst. Reviu PBJ
(c) Asst. Optimalisasi PAD (OPAD)
(d) Asst. Action Plan
(e) Asst. Peraturan Lain
(f) Asst. LKPJ
(g) Asst. LPPD
(h) Asst. Lain-Lain
b) AUDIT
(1) Audit Keuangan
(2) Audit Kinerja
(a) Audit Kinerja Pelayanan Publik
(b) Audit Kinerja Pelayanan Pemda
(c) Audit Operasional

(d) Audit Kinerja DAK


(e) Audit Kinerja Lainnya
(3) Audit Tujuan Tertentu
c) EVALUASI
(1) Evaluasi SPIP
(2) Evaluasi SAKIP
(3) Evaluasi LPPD
(4) Analisis dan Evaluasi
(5) Evaluasi Penetapan APBD
(6) Evaluasi Penyerapan APBD
(7) Evaluasi Tata Kelola
(8) Evaluasi Lain-Lain
d) LAIN-LAIN
(1) Analisis Laporan Keuangan
(2) Kajian
(3) Profil Pemda
(4) Pengumpulan Data Pemda
(5) Lain-lain
2) BIDANG AKUNTAN NEGARA
A. Asistensi Penyusunan Laporan Keuangan
BUMD
B. Asistensi Laporan Keuangan BLUD
C. Pendampingan GCG
3) BIDANG INVESTIGASI
A. Pemberian Keterangan Ahli
B. Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara
C. Audit Investigasi
D. Eskalasi Harga
E. Hambatan Kelancaran Pembangunan
4) BIDANG IPP
A. Pendampingan Penyusunan Laporan Keuangan
Kementerian
B. Audit Kinerja (Ketaatan)
C. Audit Keuangan

adalah masalah kewenangan. Keenam hambatan yang


terjadi
dalam
pengawasan
keuangan
dan
pembangunan di BPKP tersebut, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1)

Man (Sumber Daya Manusia)

SDM merupakan faktor utama dalam pengawasan.


Jika tidak ada SDM, yang terjadi adalah tidak akan
ada proses pengawasan. Masalah yang muncul dari
SDM ini terjadi biasanya karena minimnya kualitas
dan kuantitas SDM terhadap pengawasan itu sendiri
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a)

Kualitas

Hambatan SDM berikutnya adalah SDM yang


melakukan pengawasan belum seluruhnya memiliki
kualifikasi yang memadai dalam memahami definisi
pengawasan itu sendiri. Kemampuan SDM di
Perwakilan BPKP untuk menguasai materi/teknis dan
peraturan tidak merata disebabkan oleh kurangnya
pengarahan dan aturan dari BPKP Pusat.
Strata pendidikan juga menjadi kendala yang
harus dialami oleh BPKP selama ini. Dalam
melakukan pengawasan, SDM yang dimiliki BPKP
berdasarkan strata pendidikan yang didapatkan dari
situs http://www.bpkp.go.id/ sebagai berikut

3.5. Hambatan dalam Pelaksanaan Tupoksi BPKP


Peranan BPKP dalam pengawasan keuangan dan
pembangunan di Indonesia yang begitu besar telah
menimbulkan banyak masalah dalam pengawasan itu
sendiri.
Masalah-masalah
dalam
pengawasan
keuangan dan pembangunan ini berakibat pada
timbulnya berbagai macam hambatan yang nantinya
jika tidak ditangani akan berubah menjadi penyakit
bagi pemerintah dalam mengelola negara. Hambatan
yang terjadi di BPKP dapat digolongkan menjadi dua
yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal. Ada
lima hambatan internal yang dialami oleh BPKP yaitu
Man, Money, Machine, Mindset dan Mutasi.
Sedangkan hambatan eksternal yang dialami BPKP

SDM yang sebagian besar memiliki latar


belakang di bidang akuntansi (75%) membuat
pengawasan pada sektor lain kurang dikuasai oleh
auditor BPKP. Kebutuhan pada tenaga-tenaga
akuntansi untuk mengaudit laporan keuangan di
daerah masih dibutuhkan dan yang berikutnya adalah
tenaga dari latar belakang hukum serta SDM yang
berlatar belakang lainnya seperti Teknik Sipil dan
Teknik Informatika. Selain itu, masih kurangnya
tenaga pemasaran yang andal untuk memasarkan
produk-produk jasa BPKP. Hal ini membuat
pengawasan yang dilakukan oleh pengawas dari
instansi pemerintah hanya berkutat pada masalah
laporan akuntansi dari kegiatan-kegiatan atau proyek

yang dilakukan oleh instansi tersebut yang dikenal


dengan pemeriksaan.
b)

Kuantitas

Guna menunjang pelaksanaan tugas pokok dan


fungsinya, BPKP memiliki tenaga SDM yang handal.
Posisi pegawai per Triwulan I tahun 2014 berjumlah
6.472 orang. Pegawai BPKP yang berjumlah 6.472
orang itu tersebar pada unit-unit kantor pusat dan
kantor-kantor perwakilan di 33 provinsi di Indonesia.
Berdasarkan Jabatan,
tersebut sebagai berikut:

para

pegawai

BPKP

Sebesar 53,23% auditor yang ada di BPKP atau


sekitar 3.400 orang tentu tidak sebanding dengan
banyaknya instansi di seluruh Indonesia. Sebagai
gambaran, di Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi
Selatan, jumlah jabatan fungsional auditor sebesar 136
orang tentu sulit untuk meng-cover 24 Pemerintah
Kabupaten/Kota dan 1 Pemerintah Provinsi. Di luar
pemerintah daerah, juga terdapat 5 BUMN yang
berkantor pusat di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
dan 29 BUMD serta 30 Rumah Sakit Umum Daerah.
Hal yang lain yang juga mempengaruhi SDM
dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di
BPKP adalah kegiatan ataupun proyek, lebih banyak
jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah SDM
yang ada untuk melakukan pengawasan. Ini yang
menyebabkan BPKP tidak bisa
melakukan
pengawasan dalam waktu yang bersamaan dan secara
keseluruhan. BPKP harus melakukan pengawasan di
kabupaten seluruh Indonesia, sedangkan SDM tidak
mencukupi jumlahnya sebanyak itu dalam waktu
bersamaan. Di beberapa lembaga atau instansi, aparat
pengawas juga belum bisa menjangkau seluruh
kegiatan atau proyek-proyek yang begitu banyak dan
besar sehingga menyebabkan pengawasan yang
dilakukan oleh lembaga pengawasan hanya berfokus
di akhir periode saja. Penyebabnya adalah SDM dalam
melaksanakan kegiatan pengawasan keuangan dan

pembangunan
masih
mengalami
kekurangan.
Pengawasan jumlah SDM yang tidak sebanding
dengan jumlah proyek atau kegiatan menjadi
persoalan. Hal ini menjadi masalah jika ditarik benang
merah dalam pengawasan di Indonesia, dimana
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
pengawas hanya sebatas pada pemeriksaan laporan
keuangan saja bukan pada aktivitas pengawasan yang
berjalan secara continue.
2) Money (Anggaran)
Anggaran menjadi faktor penentu dalam kegiatan
atau aktivitas pengawasan. Walaupun bukan sematamata faktor utama yang menjadi ukuran keberhasilan
kegiatan pengawasan, tetapi faktor ini menjadi penting
manakala
lembaga-lembaga
pengawas
ingin
melakukan kegiatannya serta menyukseskan kegiatan
pengawasan. Hal ini disebabkan anggaran merupakan
modal untuk membiayai seluruh kegiatan pengawasan,
mulai dari biaya yang dikeluarkan untuk melakukan
pengawasan, salary atas aparat-aparat yang melakukan
pengawasan, pengadaan barang dan jasa di bidang
pengawasan, hingga peningkatan kinerja bagi aparataparat pengawas itu sendiri. Memandang BPKP
sebagai lembaga pengawas intern pemerintah yang
memiliki tugas dan fungsi besar, secara otomatis
anggaran yang dibutuhkannya pun besar. Keterbatasan
yang dimiliki oleh pemerintah khususnya pemerintah
pusat adalah anggaran yang dimilikinya tidak hanya
diperuntukkan bagi satu lembaga, melainkan seluruh
lembaga di Indonesia. Pemerintah pusat memiliki
kewajiban untuk mendanainya. Oleh sebab itu,
muncul hambatan atas anggaran tersebut dengan
posisi BPKP yang saat ini membutuhkan anggaran
yang besar, tetapi tidak didukung dengan dana yang
besar juga yang disediakan oleh pemerintah pusat.
Kendala anggaran menjadi penentu untuk
disediakannya sarana dan prasarana pendukung
kegiatan pengawasan, sehingga kadangkala kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi diakibatkan anggaran yang
ada tidak mencukupi. Dari beberapa penjelasan
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa anggaran
juga merupakan kendala yang cukup signifikan dalam
penyelenggaraan
pengawasan
keuangan
dan
pembangunan. Anggaran bisa menjadi hambatan
manakala tidak ada prinsip money follow function.
Anggaran BPKP menurut pagu APBN 2013
sebesar Rp1,15 triliun menjadi sebesar Rp1,12 triliun
dalam RAPBN-P 2013 setelah Komisi XI menyetujui
pemotongan anggaran sebesar Rp 24,85 miliar.

Sedangkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)


memiliki pagu awal sebesar Rp2,9 triliun.
3)

Machine (Sarana dan Prasarana)

Hambatan lain yang menjadi masalah dalam


pengawasan adalah sarana dan prasarana untuk
mendukung pengawasan sangat minim, dimana sarana
dan prasarana ini dibutuhkan sebagai upaya
mendukung pengawasan yang dilakukan oleh BPKP
ataupun lembaga pengawas lainnya. Pengawasan
ataupun kegiatan audit yang dilakukan oleh BPKP
mengalami kekurangan dalam alat pendukung seperti
Personal Computer (PC), notebook, internet, alat tulis
kantor (ATK), dan lain-lain. Kendala kekurangan ini
harus segera dipenuhi seiring dengan makin
berkembangnya pengawasan yang dilakukan oleh
BPKP. Di samping itu, BPKP mengakui bahwa
penyediaan kendaraan bermotor roda empat dan
kendaraan bermotor roda dua tidak dapat terpenuhi
karena adanya kebijakan pengadaan kendaraan
operasional secara selektif.
4)

Mindset (Pola Pikir)

Perubahan metode kerja dalam pemerintahan juga


menjadi salah satu penghambat dalam pengawasan
keuangan dan pembangunan. Hal ini juga menjadi
salah satu penyebab dimana aparat-aparat yang sudah
terbiasa dengan tempat nyaman dalam pemerintahan
tidak ingin pindah. Padahal dengan tuntutan pekerjaan
yang lebih maju sangat mempengaruhi kinerja
pemerintahan. Metode kerja yang sekarang diterapkan
oleh BPKP adalah metode kerja yang menuntut SDM
tidak hanya memiliki keahlian di dalam satu bagian
saja, melainkan dibutuhkan integritas dari SDM untuk
memahami tuntutan zaman. SDM yang telah terbiasa
dengan metode kerja yang lama menjadi kendala
dalam lembaga BPKP karena ketika perubahan
metode kerja diperlukan untuk perbaikan kinerja, main
setting SDM sulit untuk diubah. Bahkan, tidak jarang
kinerja BPKP menjadi menurun akibat proses
perubahan tersebut. SDM yang masih belum
menerima perubahan kerja kadang kala terjadi
penolakan terhadap apa yang dikerjakannya sehingga
dapat menyebabkan performance yang dimilikinya
menurun seiring menurunnya kepuasan kerja. Hal ini
menyebabkan kinerja pada bagian tersebut juga
mengalami kemunduran jika SDM tersebut
berpengaruh secara signifikan. Bahkan bisa jadi pada
skala BPKP itu sendiri akan menyebabkan kinerjanya
menurun.

Perubahan formasi yang terjadi di Indonesia sejak


1998 berdampak pula pada pergeseran wewenang,
tugas dan fungsi BPKP. BPKP tidak bisa lagi
mengawasi secara penuh instansi-instansi pemerintah
pusat maupun daerah dan juga BUMN/D. Hal ini
menjadikan SDM yang belum bisa memahami
dampak perubahan itu, tidak dapat berbuat banyak
dalam
melaksanakan
pengawasan
karena
berkurangnya kekuatan yang dimiliki BPKP.
Perubahan BPKP ke arah quality assurance dan
consulting memberikan dampak bahwa ada pegawai
BPKP yang tidak menghendaki terjadinya perubahan
karena sudah terbiasa dengan budaya yang ada. Sulit
untuk mengubah paradigma auditor dari audit oriented
menjadi non auditPerubahan itu memberikan dampak
pada pegawai tersebut seperti terjadinya penolakan
dan kinerjanya cenderung menjadi tidak baik.
Hambatan BPKP dalam berperan sebagai konsultan
manajemen adalah belum siapnya SDM melaksanakan
peran tersebut karena lebih condong kepada peran
audit.
5)

Mutasi

Adanya rotasi
pegawai
dalam struktur
pemerintahan, menjadikan penyebab timbulnya
permasalahan pula dalam pengawasan keuangan dan
pembangunan. Hal ini dikarenakan, rotasi pegawai
berdampak pada ahli-ahli yang sengaja dipersiapkan
dalam kegiatan pengawasan keuangan dan
pembangunan harus dipindah ke tempat baru dalam
struktur pemerintah, sedangkan posisi yang lama
digantikan oleh orang lain yang bisa jadi belum
mengetahui seluk beluk pengawasan keuangan dan
pembangunan yang dilakukan oleh lembaga tersebut.
Sistem pengaturan struktur yang selalu berpindahpindah sering kali menjadi salah satu penyebab
pengawasan tidak berjalan. Kondisi ini memberikan
dampak bahwa tidak ada aparat tetap dalam
jabatannya. Permasalahan ini menyebabkan ahli-ahli
yang sudah dipersiapkan dalam pengawasan keuangan
dan pembangunan harus beradaptasi dengan
lingkungan dan pekerjaannya yang terus berganti.
Permasalahan di sini adalah pola mutasi di BPKP
yang belum jelas. Ada pegawai yang tidak pernah
dimutasi dan ada pegawai yang sering dimutasi.
Pemerataan jumlah pegawai memang perlu, tetapi
harus diperhatikan pola dan aturan yang jelas.
6)

Kewenangan

Perubahan yang terjadi di Indonesia telah


menggiring BPKP ke dalam pembatasan kewenangan.
BPKP menyerahkan sebagian kewenangannya kepada

BPK sebagai lembaga pengawas eksternal pemerintah


dan inspektorat sebagai lembaga pengawas internal
pemerintah.
Kegamangan
dalam
pengawasan
menimbulkan wacana adanya pembubaran BPKP
karena keberadaannya menjadi persoalan di mata
lembaga pengawas. Walaupun tidak menutup mata
bahwa ada pula yang masih membutuhkan BPKP
dalam pengawasan karena fungsinya sebagai pembina
pengawasan masih dibutuhkan untuk membantu
pengelolaan organisasi. Kewenangan yang berubah ini,
membuat BPKP hanya memiliki kewenangan
berdasarkan by order saja. Pengawasan-pengawasan
yang dilakukannya mengkhususkan pada langkahlangkah yang dapat diperbaiki sendiri oleh BPKP.
Sebagai contoh kasus, penanganan Batubara di
Kalimantan, BPKP tidak serta-merta melakukan
pengawasan ataupun pemeriksaan. Jika diberikan
wewenang oleh pemerintah, BPKP baru akan
melakukan pemeriksaan. Hal seperti inilah yang
membuat pengawasan yang dilakukan oleh BPKP
tidak memiliki daya terhadap penyimpanganpenyimpangan yang terjadi. Monitoring terhadap
pelaksanaan proyek ataupun pelaporan keuangan
justru telah ditutupi dengan keberadaaan BPK ataupun
inspektorat itu sendiri. Hal ini menjadi penjelasan
terhadap posisi BPKP saat ini, dimana BPKP
menjalankan fungsi hanya sebatas permintaan saja.
Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh BPKP untuk mengontrol kegiatan yang
dilakukan oleh instansi-instansi terkait yang
berhubungan langsung dengannya. Proses yang
dilakukan BPKP dalam pengawasan ini memiliki
berbagai macam kegiatan dimulai dengan sosialisasi,
konsultasi, bimbingan teknis, pengembangan/
penyusunan sistem, kajian, inventarisasi Barang Milik
Negara, assessment good governance, pelayanan
publik, audit keuangan, kinerja, operasional, dan
tujuan tertentu serta audit investigasi, perhitungan
kerugian negara, dan memberikan keterangan ahli.
BPKP sebagai reviewer atas laporan keuangan
pemerintah memiliki kewenangan me-review atas
laporan tersebut hanya berdasarkan permintaan.
Namun, hal ini kadangkala terjadi tata hubungan antar
lembaga tersebut tidak terjalin dengan baik. Seperti,
proses pengawasan yang dilakukan oleh BPKP tidak
mendapatkan antusiasme dari beberapa pihak karena
pengawasannya saat ini sudah digantikan posisinya
oleh BPK, Itjen, dan Itda. Posisi dalam pengawasan
yang sudah digantikan tersebut, telah membuat
kewenangan yang dimiliki oleh BPKP termarjinalkan
dan dipandang sebelah mata atas pengawasan
keuangan dan pembangunan karena tidak pernah
melakukan pengawasan atas kegiatan ataupun proyek.

Masing-masing lembaga pengawas ingin melakukan


pengawasan dengan cara masing-masing, namun
kondisinya tidak dibarengi dengan kemampuan SDM
yang dimiliki mereka.
Hambatan yang terjadi selama ini telah
menimbulkan celah masalah dalam pengawasan di
Indonesia. Eksistensi BPKP dalam pengawasan mulai
dipertanyakan, untuk menjamin celah-celah kebocoran
dana dapat diawasi terus dan tidak ada lagi kebocoran
anggaran. Jangan sampai hal-hal yang berdampak
pada opini disclaimer yang dikeluarkan oleh BPK
terus saja ada. Berdasarkan data disclaimer opinion
yang dikeluarkan oleh BPK, sebesar 40% opini
disclaimer atas pelaporan keuangan pemerintah pusat
maupun daerah. Jika kondisi ini terus terjadi bukan
tidak mungkin BPKP menjadi kambing hitam akibat
lemahnya pengontrolan dana-dana dari pemerintah
pusat. Ini menandakan bahwa selama ini adanya
ketidakseriusan dalam pengawasan. Bahkan bukan
tidak mungkin definisi pengawasan yang selama ini
dilakukan bukan suatu proses yang inherent dalam
pengawasan melainkan proses pemeriksaan setiap
akhir anggaran. Kondisi yang seperti ini menjadi
pertanyaan dalam pengawasan pemerintahan, dimana
eksistensi BPKP dalam sistem pengawasan keuangan
dan pembangunan di Indonesia.
4.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, penulis
berkesimpulan bahwa dari masing-masing unit di
BPKP, baik itu di pusat maupun di perwakilan, tidak
menutup kemungkinan untuk terjadinya hambatan dan
dalam
pelaksanaan
tupoksi,
bahkan
bisa
dimungkinkan
untuk
terjadinya
indikasi
penyimpangan, meskiupun berbagai sistem dan
peraturan telah dirancang sedemikian rupa.
Oleh karena itu, perlu ada perbaikan yang
berkelanjutan dari BPKP, sehingga hambatan,
terutama yang berindikasi pada penyimpangan
tersebut dapat diselesaikan
Dalam rangka memberikan perbaikan terkait
dengan hambatan BPKP, penulis memberikan saransaran sebagai berikut:
1) Peningkatan Kesejahteraan
Solusi ini memang membutuhkan dana yang
besar, tapi langkah ini perlu untuk dilakukan. Dengan
biaya hidup yang semakin mahal, meliputi biaya hidup
sehari-hari, biaya sekolah dan kuliah anak, segala
cicilan aktiva tetap yang menjadi kebutuhan primer,
penghasilan yang diterima oleh pegawai BPKP sangat
sulit untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup secara
wajar. Padahal, BPKP memiliki kewenangan yang

cukup besar, diantara rekanan auditor yang dipercaya


World Bank, ADB dan sejumlah lembaga keuangan
internasional lainnya untuk melakukan audit keuangan
dan operasional program-program pemerintah yang
dananya berasal dari lembaga-lembaga keuangan ini.
Belum termasuk juga kerja sama intensif antara BPKP
dengan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian,
Kejaksaan, dan KPK dalam bentuk penggunaan tenaga
auditor BPKP untuk melakukan audit investigasi,
audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan
negara, dan pemberian keterangan ahli di pengadilan.
2) Perbaikan Alokasi Anggaran
Para pengambil kebijakan harus logis saat akan
menetapkan target kinerja suatu instansi. Suatu
program kerja membutuhkan pendanaan dan para
pengambil kebijakan ini harus memahami bahwa
apabila anggaran yang disediakan tidak memadai
maka target kinerja harus dipangkas, sekalipun itu
berarti kinerja menurun dibanding tahun lalu atau bisa
juga dengan melakukan pergeseran anggaran untuk
infrastruktur. Apabila target kinerja terus dipaksakan
melampaui
pendanaan,
maka
praktek-praktek
pendanaan yang tidak etis akan terus terjadi dalam
suatu organisasi.
3) Perbaikan Mekanisme Whistle Blower
Seringkali pegawai dalam lingkungan suatu
organisasi bersedia dan bahkan berkeinginan untuk
menyampaikan praktek-praktek yang tidak patut yang
berlangsung dalam suatu organisasi. Pegawai ini
masih memiliki kesadaran bahwa praktek tidak patut
ini akan menggerogoti nilai-nilai yang dianut dalam
organisasi. Namun, sayangnya belum ada mekanisme
internal yang mengatur apabila pegawai ini ingin
menyampaikan kritik atau saran atas apa yang terjadi
dalam organisasi. Seringkali ketika pegawai yang
bersangkutan menyampaikan kritik atau saran melalui
forum kantor atau milis, malah menjadi pesakitan dan
musuh bersama sejumlah pejabat di lingkungan
kantornya.
Penulis mengharapkan Kepala BPKP atau
Sekretaris Utama BPKP untuk mendorong para
pegawai yang memiliki kritik atau saran mengirimkan
opininya melalui email tertentu yang akan direspon
sendiri oleh salah satu dari kedua pejabat tersebut.
Tujuannya sederhana, yaitu agar para pejabat yang
berkepentingan di kantor pusat bisa memahami apa
saja asalah yang ada dalam lingkungan kantor secara
keseluruhan dan mengetahui wajah organisasi yang
sebenarnya.

4)

Peningkatan Kompetensi Pegawai


Seringkali dalam suatu penugasan, pegawai
BPKP dihadapkan pada berbagai masalah, sehingga
diperlukan
professional
judgment
(keputusan
profesional) untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Namun, professional judgment tersebut kurang
didukung oleh kompetensi yang memadai, sehingga
perlu adanya peningkatan kompetensi untuk
menunjang ketepatan professional judgment tersebut.
Salah satu cara yang dilakukan oleh BPKP untuk
meningkatkan kompetensi pegawai BPKP yaitu
dengan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) yang
berkelanjutan dan pembinaan pegawai di lingkungan
internal kantor BPKP, melalui Pelatihan Kantor
Sendiri (PKS) yang saat ini juga sering disebut
Program Pelatihan Mandiri (PPM), terutama yang
berkaitan dengan suatu penugasan.
5) Perbaikan Pola Mutasi
Pada beberapa kantor perwakilan BPKP, seringkali
ditemui adanya ketimpangan dalam hal proporsi
jumlah pegawai. Sehingga, perlu adanya perbaikan
dalam hal pola mutasi. Misalnya, setiap pegawai yang
memperoleh kenaikan pangkat atau kenaikan jenjang
atau dalam 8(delapan) tahun sekali, perlu dimutasi.
Perbaikan pola mutasi ini penting, mengingat salah
satu sikap yang perlu dijunjung oleh pegawai BPKP,
khususnya auditor BPKP, adalah independensi dan
integritas. Sehingga, perbaikan pola mutasi tersebut,
mampu menjaga independensi dan integritas pegawai
BPKP, khususnya auditor BPKP dalam setiap
pelaksanaan penugasan.
6) Penguatan Landasan Hukum
Setiap pihak yang menderita kerugian akibat
pelanggaran atau tindakan melawan hukum oleh
pegawai BPKP (dalam pelaksanaan penugasan), dapat
mengajukan gugatan atau tuntutan hukum. Salah satu
bentuk gugatan atau tuntutan hukum tersebut adalah
terkait dengan kewenangan BPKP dalam pelaksanaan
tugas tersebut karena landasan hukum dari BPKP
hanya sebatas Keputusan Presiden dan Peraturan
Pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya
penguatan landasan hukum BPKP, sehingga
kewenangan BPKP dalam pelaksanaan suatu
penugasan menjadi tidak diragukan lagi, khususnya
yang berkaitan dengan pelaksanaan dan tanggung
jawab penugasan di bidang investigasi.
Daftar Referensi:
http://bpkp.go.id

You might also like