You are on page 1of 5

Alasan Penghapus Pidana

Oleh : Supriyadi
Alasan penghapus pidana terdapat di Bab III Buku I KUHP akan tetapi tidak
memberikan definisi. Alasan penghapus pidana adalah alasan atau keadaan yang
memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan pidana, tidak dapat dijatuhi
pidana.
Pembagian alasan penghapus pidana :
1.

Memorie van Toelichting :


a. Di dalam diri pelaku : Tidak mampu bertanggung jawab (pasal 44
KUHP).
b. Di luar diri pelaku

: Daya paksa (pasal 48 KUHP); Pembelaan Terpaksa

(pasal 49 KUHP); Melaksanakan Undang-undang (pasal 50 KUHP);


Melakasanakan perintah jabatan (pasal 51 KUHP).
1. Kepustakaan hukum pidana :
a. Alasan penghapus pidana umum : berlaku untuk semua perbuatan pidana
yang diatur di dalam maupun di luar KUHP. (pasal 44 KUHP dan pasal 4851 KUHP.)
b. Alasan penghapus pidana khusus : berlaku hanya untuk perbuatan pidana
tertentu

yang dirumuskan dalam pasal-pasal UU pidana yang

bersangkutan. (Pasal 166 KUHP, pasal 221 ayat (2) KUHP, pasal 310 ayat
(3) KUHP.)
c. Alasan pembenar

: alasan yang menghapuskan sifat

melawan hukumnya perbuatan pidana (pasal 49 ayat (1), pasal 50, dan
pasal 51 ayat (1) KUHP.)
d. Alasan pemaaf

: alasan yang menghapuskan

kesalahan pelaku perbuatan pidana (pasal 44, pasal 49 ayat (2), dan pasal
51 ayat (2) KUHP.)
Akan tetapi, pada pasal 48 KUHP tentang daya paksa belum ada kepastian
apakah alsan pembenar atau alasan pemaaf.
A. Tidak mampu bertanggungjawab.
Terdapat pada pasal 44 KUHP barangsiapa melakukan perbuatan pidana
yangbtidak dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan karena jiwanya
cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana.
Maksud dari jiwanya cacat dalam

tumbuhnya yaitu pertumbuhan tidak

sempurna secara biologis (gila/idiot), bukan secara sosial. Dan jiwanya


terganggu karena penyakit artinya harus ada hubungan antara gangguan

penyakit dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga perbuatannya tidak dapat


dipertanggungjawabkan , seperti epilepsi, insania moralis, kleptomania,
ptromania, dan claustrophobia. Penentuan tidak mampu bertangungjawabnya
pelaku

tidak dapat menggunakan teori deskriptif-normatif. Penentuan

keadaan jiwa pelaku pada saat perbuatan pidana dilakukan ditentukan oleh
psikiater/psikolog, sedangkan penilaian hubungan kausal antara keadaan jiwa
pelaku ditentukan oleh hakim. Dengan catatan bahwa Actio Libera in Causa
tidak bisa dikaitkan dengan pasal 44 KUHP. Pada UU No.3 Tahun 1997 , anak
yang dapat disidangkan adalah anak yang berumur 8 hingga 18 tahun dan
belum menikah tetapi berubah karena ada putusan Mahkamah Konstitusi 2011
bahwa anak yang dapat disidangkan adalah anak yang berumur 12 hingga 18
tahun dan belum menikah, sedangkan yang dapat dijatuhi pidana baik berupa
penjara, kurungan, denda, pengawasan, maupun pidana tambahan adalah anak
yang berumur 12 tahun keatas. UU No. 3 Tahun 1997 akan segera diganti
dengan UU No. 11 Tahun 2012 pada 30 Juli 2014.
B. Daya paksa (overmacht).
Daya paksa terdapat pada pasal 48 KUHP,barangsiapa melakukan perbuatan
pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
Vis aboluta : paksaan fisik yang sama sekali tidak dapat ditahan dan
tidak dapat dihindari oleh orang yang mengalaminya, yang karena
disebabkam kekuatan manusia maupun kekuatan alam, misalkan
hipnotis.

Akan

tetapi

vis

absoluta

bukan

overmacht

yang

dimakksudkan pada pasal 48 KUHP.


Vis compulsiva: paksaan psikis, yang sebenarnya secara fisik masih
dapat dihindarkan, akan tetapi karena kuatnya paksaan sehingga tidak
dapat dilawan, misal supir taksi yang melaju kencang dan menabrak
pengguna jalan lainnya karena diancam perampok dengan senjata api.
Inisiatif ada pada yang memerikan paksaaan. Vis compulsiva adalah

overmacht yang dimaksud pada pasal 48 KUHP.


C. Noodtoestand
Bentuk-bentuknya yaitu :
Pertentangan Dua Kepentingan Hukum, contoh papan Karneades dari

Cicero.
Pertentangan Kepentingan Hukum dan Kewajiban Hukum, contoh

Opticient Ariest HR 15/10/1923.


Pertentangan Kewajiban Hukum dan Kewajiban Hukum

Asas-asas noodtoestand :
Asas
proposionalitas

yaitu

kepentingan/kewajiban

hukum

adanya
yang

keseimbangan
dilindungi

dengan

antara
yang

dikorbankan, atau jika ada pertentangan maka kepentingan/kewajiban

hukum yang lebih tinggilah yang harus dilindungi.


Asas subsidiaritas yaitu pengorbanan kepentingan/kewajiban hukum
yang

lebih

rendah

nilainya

harus

dapat

mencegah

kepentingan/kewajiban hukum yang lebih tinggi yang tidak ikut


dikorbankan.
D. Pembelaan terpaksa (noodweer)
Terdapat pada pasal 49 ayat (1) KUHP. Elemen noodwer ada 2 yaitu serangan
dan pembelaan.
Serangan harus bersifat seketika maksudnya serangan harus sudah
dimulai tetapi juga belum selesai (esensi), serangan belum dimulai
tetapi sudah ada ancaman serangan (perluasan), dan serangan baru
akan terjadi di waktu mendatang dan serangan sudah berakhir
(pembatasan). Serangan harus bersifat melawan hukum maksudnya
serangan tersebut akan mendatangkan kerugian dan penyerang tidak
memiliki hak untuk itu. Serangan ditujukan terhadap tubuh (ujung kaki
hingga kepala), kehormatan, dan harta benda (benda berwujud) sendiri
atau orang lain. Dengan catatan bahwa kehormatan adalah dalam arti

seksualitas bukan sebagai nama baik.


Pembelaan harus bersifat perlu/terpaksa maksudnya tidak dapat lagi
dihindarkan dengan cara lain. Pembelaan yang dilakukan caranya
dapat dibenarkan maksudnya cara dan tujuan harus seimbang serta
tidak boleh dilakukan secara berlebihan, dan pembelaan harus sesuai
dengan asas proposionalitas bahwa kepentingan yang dibela dan
pembelaannya harus seimbang dan asas subsidiaritas bahwa jika ada
cara dalam pembelaan ada yang lebih baik maka cara tersebut harus
digunakan agar tidak mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi

penyerangnya.
E. Noodweer Exces
Terdapat pada pasal 49 ayat (2) KUHP. Syarat agar dapat dikatakan pembelaan
terpaksa melampaui batas (noodweer exces) yaitu karena disebakan
kegoncangan jiwa yang sangat hebat , dan adanya hubungan kausal antara

kegoncangan jiwa yang sangat hebat dengan serangan sehingga terjadinya


pembelaan melampaui batas.
F. Melaksanakan perintah undang-undang
Terdapat pada pasal 50 KUHP. Syaratnya harus ada ketentuan pasal dalam UU
yang harus dilaksanakan dan cara pelaksanaannya harus sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai oleh UU.
G. Melaksanakan perintah jabatan.
Dianggap sebagai alasan pembenar dan terdapat pada pasal 51 ayat (1) KUHP
sebagai perintah jabatan yang sah, dengan batasan :
Perintah didasarkan pada tugas, wewenang atau kewajiban yang sah

dinyatakan dalm peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada

hubungan sub-ordinasi.
Cara melaksanakan perintah jabatan tidak boleh melampui batas

kepatutan.
Tetapi pasal 51 ayat (1) KUHP tidak berlaku pada pelanggaran HAM
berat berdasarkan UU No.26 Tahun 2000 dan pada statuta Roma Genosida
Kemanusiaan Perang Agresi Militer, contoh genosida, dan

kejahatan

terhadap kemanusiaan.
Terdapat juga pada pasal 51 ayat (2) KUHP yang dianggap sebagai alasan
pemaaf yaitu perintah jabatan yang tidak sah, dengan batasan :
Subjektif , bahwa orang diberi perintah memiliki itikad baik bahwa

perintah yang diberikan sah.


Objektif, bahwa perintah yang diberikan ada dalam lingkugan orang

diberi perintah.
H. Alasan penghapusan pidana putatif.
Adanya kesalahpahaman mengenai perbuatan yang dilakukan dan keadaaan.
Alasan penghapusan pidana putatif terdiri dari putatief overmacht dan putatief
noodweer.
I. Alasan penghapus pidana lainnya.
Tuchrecht, hukum disiplin pendidikan, contoh guru yang memukul muridnya
dengan penggaris karena dianggap tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya
dengan baik tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan yang dimaksudkan
KUHP . Beroeprecht, hukum karena jabatan, contoh dokter yang membedah
pasiennya tidak bisa dianggap sebagai penganiayaan berat. Toestemming,
persetujuan para pihak, contoh tinju. Dan sifat melawan hukum materiilnya
berfungsi negatif.
G. Alasan pengahapus pidana khusus
Contoh :

UU No 36 Tahun 2009 Kesehatan


Pada pasal 75 ayat (1) bahwa aborsi dilarang, tetapi pada pasal 75 ayat
(2) aborsi diperbolehkan jika ada indikasi kedaruratan medis, dan

korban pemerkosaan.
UU No. 12/DRT/1951 Senjata Api dan Bahan peledak

Putusan perkara pidana :


Veroordecing

: putusan pemidanaan, jika

terdapat terbukti bersalah (ada unusr kesalahan) dalam tindak

pidananya.
Vrijspraak

: putusan bebas, perbuatan yang

dilakukan tidak terbukti.


Onslaag van Dlerechtsvregoolging

: putusan lepas, tindak pidana

terbukti tetapi ada alasan penghapus pidana; perbuatannya terbukti


tetapi bukan tindak pidana atau bukan dalam ruang lingkup hukum
pidana.

Tindak pidana
Penyidikan : SP3 ( ) karena tidak cukup bukti; bukan tindak pidana; dan ada
kepentingan hukum yaitu nebis in idem, meninggal dunia, dan daluarsa.

Penentuan : SKP2, SKP3 maupun SKP4


Pemeriksaan sidang Eksepsi Nebis in idem Putusan sela.

You might also like