You are on page 1of 16

BUKU MATERI

MODUL VII

TRAUMA TORAKS
DAN KEGAWATAN TORAKS
BEDAH TORAKS KARDIOVASKULAR

TRAUMA DINDING DADA


FRAKTUR IGA
Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma tumpul pada dinding dada.
Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit,
sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga.
Fraktur iga terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena)
Perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-organ intra-toraks dan intra abdomen.
Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau spleen) bila terdapat fraktur pada iga VIII-XII
Kecurigaan adanya trauma traktus neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, a/v
subklavia, dsb.), bila terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur klavikula.
Langkah Diagnostik
Anamnesis : riwayat trauma, nyeri terlokalisasi pada dada, sesak
Pemeriksaan Fisik : deformitas, nyeri tekan, penurunan bunyi napas
Rontgent toraks : ditemukan garis fraktur, adanya pneumotoraks atau efusi pleura
Penatalaksanaan
1.
2.

Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)


Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks)

3.

Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan
organ intratoraks lain, adalah:
Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
Bronchial toilet
Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah
Cek Foto Ro berkala

4.

Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain (seperti: pneumotoraks, hematotoraks
dsb.), ditujukan untuk mengatasi kelainan yang mengancam jiwa secara langsung, diikuti oleh
penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat (analgetika, bronchial toilet, cek lab dan ro berkala),
sehingga dapat menghindari morbiditas/komplikasi.
Komplikasi tersering adalah timbulnya atelektasis dan pneumonia, yang umumnya akibat manajemen
analgetik yang tidak adekuat.

5.

FRAKTUR KLAVIKULA

Cukup sering sering ditemukan (isolated, atau disertai trauma toraks, atau disertai trauma pada sendi
bahu ).
Lokasi fraktur klavikula umumnya pada bagian tengah (1/3 tengah)
Deformitas, nyeri pada lokasi taruma.
Foto Rontgen tampak fraktur klavikula

Penatalaksanaan
1.
2.

Konservatif : "Verband figure of eight" sekitar sendi bahu. Pemberian analgetika.


Operatif : fiksasi internal

Komplikasi : timbulnya malunion fracture dapat mengakibatkan penekanan pleksus brakhialis dan pembuluh darah
subklavia.

FRAKTUR STERNUM
Insidens fraktur sternum pada trauma toraks cukup jarang, umumnya terjadi pada pengendara sepeda motor
yang mengalami kecelakaan.
Biasanya diakibatkan trauma langsung dengan gaya trauma yang cukup besar
Lokasi fraktur biasanya pada bagian tengah atas sternum
Sering disertai fraktur Iga.
Adanya fraktur sternum dapat disertai beberapa kelainan yang serius, seperti: kontusio/laserasi jantung,
perlukaan bronkhus atau aorta.
Langkah Diagnostik
1.

Tanda dan gejala: nyeri terutama di area sternum, krepitasi

2.

Pemeriksaan penunjang
a. Seringkali pada pemeriksaan Ro toraks lateral ditemukan garis fraktur, atau gambaran sternum
yang tumpang tindih.
b. Pemeriksaan EKG : 61% kasus memperlihatkan adanya perubahan EKG (tanda trauma jantung).

Penatalaksanaan
Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian analgetika dan observasi tanda2 adanya
laserasi atau kontusio jantung
Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan operatif untuk stabilisasi dengan
menggunakan sternal wire, sekaligus eksplorasi adanya perlukaan pada organ atau struktur di mediastinum.

DISLOKASI SENDI STERNOKLAVIKULA

Kasus jarang
Dislokasi anterior : nyeri, nyeri tekan, terlihat "bongkol klavikula" (sendi sternoklavikula) menonjol kedepan
Posterior : sendi tertekan kedalam
Pengobatan : reposisi

FLAIL CHEST
Definisi
Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel berturutan 3 iga , dan memiliki
garis fraktur 2 (segmented) pada tiap iganya.
Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik
pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi.
Karakteristik
Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada pasien dalam
ventilator
Menunjukkan trauma hebat
Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang seringkali
diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan
tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh
karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan.
Penatalaksanaan
sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan pernapasan atau karena
ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui pemeriksaan AGD berkala dan takipneu
pain control
stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi)
bronchial toilet
fisioterapi agresif
tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet
Indikasi

Operasi (stabilisasi) pada flail chest:


Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks masif, dsb)
Gagal/sulit weaning ventilator
Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif)
Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif)
Menghindari cacat permanen

Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga menggunakan wire atau plate khusus sehingga tidak didapatkan
lagi area "flail"

TRAUMA PADA PLEURA DAN PARU

PNEUMOTORAKS

Definisi : Adanya udara yang terperangkap di rongga pleura.


Pneumotoraks akan meningkatkan tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses
pengembangan paru.
Terjadi karena trauma tumpul atau tembus toraks.
Dapat pula terjadi karena perlukaan pleura viseral (barotrauma), atau perlukaan pleura mediastinal
(trauma trakheobronkhial)
Diklasifikasikan menjadi 3 : simpel, tension, open

1. Pneumotoraks Simpel
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
Ciri:
Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
Tidak ada mediastinal shift
PF: bunyi napas , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada , asimetris (hemitoraks dengan
pneumotoraks cenderung lebih cembung)
Penatalaksanaan: WSD
2. Pneumotoraks Tension
Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin bertambah
(progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi
tidak dapat keluar).
Ciri:
Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru, mediastinal shift
(pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea, venous return , hipotensi & respiratory
distress berat.
Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi, JVP , asimetris
pada hemitoraks pada keadaan statis & dinamis
Merupakan keadaan life-threatening, tdk dianjurkan melakukan pemeriksaan foto rontgent toraks yang
membutuhkan waktu.
Penatalaksanaan:
1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
2. WSD
3. Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga
intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar.
Dikenal juga sebagai sucking-wound
Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan:
1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil tension pneumotoraks)
2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain. Bila tidak dapat
dipastikan organ intra toraks aman dari perlukaan, maka sebaiknya dilakukan Torakotomi Eksplorasi
emergency.
4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)

HEMATOTORAKS (HEMOTORAKS)
Defini: Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus pada dada.
Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Perlu diingat bahwa rongga
hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematotoraks dapat syok berat (kegagalan
sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan yang tampak dari luar, oleh karena perdarahan masif yang terjadi
terkumpul di dalam rongga toraks.
Penampakan klinis yang ditemukan sesuai dengan besarnya perdarahan atau jumlah darah yang terakumulasi.
Perhatikan adanya tanda dan gejala instabilitas hemodinamik dan depresi pernapasan
Pemeriksaan
Ro toraks (yang boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil)
Terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru
Bayangan air-fluid level hanya pada hematopneumotoraks
Indikasi Operasi
Adanya perdarahan masif (setelah pemasangan WSD)

Ditemukan jumlah darah inisial > 750 cc, pada pemasangan WSD < 4 jam setelah kejadian trauma.
Perdarahan 3-5 cc/kgBB/jam dalam 3 jam berturut-turut
Perdarahan 5-8 cc/kgBB/jam dalam 2 jam berturut-turut
Perdarahan > 8cc/kgBB/jam dalam 1 jam

Bila berat badan dianggap sebagai 60 kg, maka indikasi operasi, bila produksi WSD:

200 cc/jam dalam 3 jam berturut-turut


300 cc/jam dalam 2 jam berturut-turut
500 cc dalam 1 jam

Penatalaksanaan
Tujuan:

Evakuasi darah dan pengembangan paru secepatnya.


Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi.

Tindakan Bedah : WSD (pada 90% kasus) atau operasi torakotomi cito (eksplorasi) untuk tujuan menghentikan
perdarahan

Water Sealed Drainage


Fungsi WSD sebagai alat:
1.
2.
3.

Diagnostik
Terapetik
Follow-up

Tujuan:
1.
2.
3.

Evakuasi darah/udara
Pengembangan paru maksimal
Monitoring

Indikasi pemasangan:

Pneumotoraks
Hematotoraks
Empiema
Effusi pleura lainnya
Pasca operasi toraks
Monitoring perdarahan, kebocoran paru atau bronkhus, dsb.

Tindakan :

Lokasi di antara garis aksilaris anterior dan posterior pada sela iga V atau VI.
Pemasangan dengan teknik digital tanpa penggunaan trokar.

Indikasi pencabutan WSD :


1.
2.

Tercapai kondisi: produksi < 50 cc/hari selama 3 hari berturut-turut, dan undulasi negatif atau minimal,
dan pengembangan paru maksimal.
Fungsi WSD tidak efektif lagi (misal: adanya sumbatan, clot pada selang, dsb.)

KONTUSIO PARU

Terjadi terutama setelah trauma tumpul toraks


Dapat pula terjadi pada trauma tajam dg mekanisme perdarahan dan edema parenkim konsolidasi
Patofisiologi : kontusio/cedera jaringan edema dan reaksi inflamasi lung compliance ventilationperfusion mismatch hipoksia & work of breathing

Diagnosis : ro toraks dan pemeriksaan lab (PaO2 )


Manifestasi klinis dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma
Penatalaksanaan
Tujuan:

Mempertahankan oksigenasi
Mencegah/mengurangi edema

Tindakan : bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain control, diuretika, bila perlu ventilator
dengan tekanan positif (PEEP > 5)

LASERASI PARU
Definisi : Robekan pada parenkim paru akibat trauma tajam atau trauma tumpul keras yang disertai fraktur iga.
Manifestasi klinik umumnya adalah : hemato + pneumotoraks
Penatalaksanaan inisial : WSD
Indikasi operasi :

Hematotoraks masif (lihat hematotoraks)


Adanya contiuous buble pada WSD yang menunjukkan adanya robekan paru
Distress pernapasan berat yang dicurigai karena robekan luas

RUPTUR DIAFRAGMA

Ruptur diafragma pada trauma toraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah toraks
inferior atau abdomen atas.
Trauma tumpul di daerah toraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal
mendadak yang diteruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan
tersebut.
Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah toraks inferior. Pada keadaan ini
trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intratoraks ata intraabdominal).
Ruptur umumnya terjadi di "puncak" kubah diafragma (sentral)
Kejadian ruptur diafragma sebelah kiri lebih sering daripada diafragma kanan
Akan terjadi herniasi organ viseral abdomen ke toraks
Dapat terjadi ruptur ke intra perikardial

Diagnostik

Riwayat trauma tumpul toraks inferior atau abdomen


Tanda dan gejala klinis (sesak/respiratory distress), mual-muntah, tanda abdomen akut)
Ro toraks dengan NGT terpasang (pendorongan mediastinum kontralateral, terlihat adanya organ viseral
di toraks)
CT scan toraks

Penatalaksanaan
Torakotomi eksplorasi (dapat diikuti dengan laparotomi)

TRAUMA ESOFAGUS
Penyebab trauma esofagus pada kecelakaan/kriminal umumnya disebabkan oleh trauma tajam/tembus. Akan
tetapi penyebab utama trauma esofagus secara keseluruhan justru adalah karena sebab iatrogenik, yaitu oleh
karena tindakan terapi atau pemeriksaan invasif intra esofagus, seperti endoskopi, dilatasi, atau USG transesofagus. Hal ini disebabkan letak anatomi esofagus sebagian besar (2/3 bagian) berada didalam rongga toraks
dan terlindungi oleh organ-organ lain. Esofagus servikal adalah bagian esofagus yang lebih terekspos terhadap
perlukaan akibat trauma tajam.
Konsekwensi trauma esofagus adalah terjadinya ruptur esofagus yang menyebabkan ekstravasasi dari sekresi
kelenjar gaster/esofagus/oral, termasuk bakteri ke dalam jaringan sekitarnya: pleura, mediastinum, atau
peritoneum. Akibatnya adalah keadaan yang cukup fatal yaitu mediastinitis atau peritonitis. Oleh karena perjalanan
penyakit trauma esofagus yang dapat mengakibatkan keadaan berbahaya tersebut (mediastinitis/peritonitis),
menyebabkan adanya ruptur esofagus sebagai indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi cito.
Lokasi tersering perforasi/ruptur esofagus adalah : esofagus torakal (81%), esofagus servikal (17%), dan esofagus
abdominal (2%)
Etiologi
1.
2.
3.
4.
5.

tersering:
Iatrogenik (tindakan endoskopik, dilatasi) (54%)
Sindrom Boerhave (21%)
Trauma (12%)
Benda asing (6%)
Lainnya (7%)

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis : kadang pasien memiliki keluhan disfagia dan odinofagia
Pemeriksaan fisik : tanda-tanda mediastinitis atau sepsis (emfisema subkutaneus, nyeri dan kemerahan pada
bagian bawah leher), tanda-tanda peritonitis
Laboratorium : tanda-tanda sepsis
Ro toraks: Terlihat gambaran pneumomediastinum, pelebaran mediatinum dengan atau tanpa gambaran air-fluid
level, atau efusi pleura (dengan atau tanpa gambaran air-fluid level)
CT-scan: kadang memperlihatkan gambaran lokulasi cairan intra mediastinum
Contrast study: Esofagografi; adanya leak cairan kontras merupakan pemasti diagnostik adanya ruptur esofagus
WSD: keluarnya makanan dari WSD atau keluarnya cairan berwarna hitam pada pemberian norit peroral
merupakan pemasti diagnostik ruptur esofagus

PENATALAKSANAAN
A. Non operatif
Penatalaksanaan non-operatif hanya diindikasikan
1. Pasien tidak dapat mentoleransi tindakan pembedahan terbuka, seperti: usia tua dengan komorbid, pasien
dengan keadaan umum buruk yang tidak dapat dilakukan pembiusan.
2. Memenuhi Kriteria Cameron untuk penatalaksanaan non-operatif:
a. Letak perforasi/ruptur esofagus pada mediastinum atau antara mediastinum dan pleura viseralis
b. Isi esofagus mengalir kembali ke dalam esofagus (ekstravasasi minimal)
c. Gejala minimal
d. Tanda sepsis minimal
e. Dapat segera dilakukan operasi eksplorasi bila terjadi perburukan.
3. Perforasi mikro (biasanya akibat dilatasi yang berlebihan)
Terapi:
1.
2.
3.
4.
5.

Pemasangan nasogastric tube (untuk dekompresi)


Pemasangan tube thoracostomy
Pasien dipuasakan dan mulai parenteral alimentation
Broad spectrum antibiotics
Oral intake dimulai setelah hasil pemeriksaan esofagogram menampakkan penutupan ruptur dan
pergerakan motilitas yang baik

Penatalaksanaan non-operatif rata-rata berjangka waktu 1-5 minggu bed-rest


B. Operatif
Tindakan yang dapat dilakukan pada saat operasi eksplorasi (torakotomi) adalah : drainage, repair primer, reseksi,
dan eksklusi/diversi esofagus
Drainage
Perforasi esofagus servikal tanpa tanda sepsis dapat diterapi hanya dengan melakukan drainase saja (tanpa repair
esofagus) melalui operasi dengan insisi oblique leher kiri atau collar. Drain di letakkan dekat lokasi ruptur, dan di
atas dari area mediastinum superior (leher bawah). Pasien kemudian dipuasakan (parenteral nutrition) sampai
terjadi penutupan ruptur (esofagogram) melalui penyembuhan sekunder, diberikan AB broad spectrum, dekompresi
melalui pemasangan NGT.
Delayed/neglected perforasi esofagus torakal. Pada perforasi esofagus torakal yang telah menampakkan tanda dan
gejala mediastinitis lanjut dan timing operasi yang terlambat, seringkali pada saat operasi sulit untuk menemukan
lokasi perforasi esofagus, dan seluruh area mediastinum dan pleura biasanya telah dipenuhi oleh jaringan
peradangan, pus dan debris (abses). Usaha untuk melakukan debridement atau menemukan lokasi ruptur akan
mengakibatkan perdarahan difus yang sulit dihentikan.
Tindakan yang dapat dikerjakan pada kondisi ini adalah
Melakukan debridement, setiap rongga/lokulasi abses dibuka sehingga dipastikan seluruh kontaminan dapat
terdrainage keluar rongga toraks. Pada akhir operasi, pasang chest drain besar.
Eksklusi esofagus dengan melakukan esofagostomi dan feeding gastrostomi.
Lanjutkan dengan pemberian AB adekwat, dan alimentasi enteral.
Setelah terjadi penutupan perforasi dan perbaikan keadaan umum pasien; lakukan penutupan gastrostomi
Repair (primer)
Merupakan tindakan ideal dan dianjurkan untuk penanganan perforasi esofagus. Walaupun demikian keadaan yang
ideal untuk melakukan repair primer hanya terjadi bila diagnosis dapat dilakukan sedini mungkin sebelum
timbulnya infeksi ataupun abses (kurang dari 48 jam).
Indikasi:
Perlukaan atau perforasi esofagus servikal pada tahap dini
Perlukaan atau perforasi esofagus torakal tahap dini tanpa kelainan sebelumnya (carsinoma)
Perlukaan atau perforasi esofagus torakal delayed tanpa tanda dan gejala mediastinitis atau sepsis yang berat
Teknik operasi
Eksisi tepi ruptur sampai bertemu jaringan sehat.
Penjahitan setiap layer (submukosa/mukosa dan tunika muskularis); pastikan lapisan submukosa/mukosa
terjahit sempurna. Gunakan jahitan jelujur longitudinal (sesuai sumbu panjang) dengan benang absorbable
lama untuk lapisan submukosa/mukosa.
Lapisan muskularis mukosa dijahit dengan jahitan interruptus atau jelujur.
Lakukan penutupan jahitan dengan jaringan sekitarnya yang sehat (perikardium, pleura, flap otot
interkostalis)
Debridement dan pencucian rongga toraks. Bila diperlukan dapat dilakukan tindakan dekortikasi paru.

TRAUMA JANTUNG
Kecurigaan trauma jantung :

Trauma tumpul di daerah toraks anterior


Fraktur pada sternum
Trauma tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga II kiri, grs mid-klavikula kiri,
arkus kosta kiri)

Diagnostik

Trauma tumpul : EKG, pemeriksaan enzim jantung (CK-CKMB / Troponin T)


Foto toraks : pembesaran mediastinum, gambaran double contour pada mediastinum menunjukkan
kecurigaan efusi perikardium
Echocardiography untuk memastikan adanya effusi atau tamponade

Penatalaksanaan
1.
2.
3.

Adanya luka tembus pada area prekordial merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi
emergency.
Adanya tamponade dengan riwayat trauma toraks merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi.
Adanya kecurigaan trauma jantung mengharuskan perawatan dengan observasi ketat untuk mengetahui
adanya tamponade

Komplikasi
Salah satu komplikasi kontusio jantung adalah terbentuknya aneurisma ventrikel beberapa bulan/tahun pasca
trauma.

KEGAWATAN PADA BEDAH TORAKS


OBSTRUKSI JALAN NAPAS
Obstruksi jalan napas merupakan kegawatan pada sistem respirasi yang mengancam jiwa. Kemampuan untuk
mengenali gejala dan tanda obstruksi jalan napas dengan cepat merupakan prasyarat pertama keberhasilan
penanganan keadaan ini.
Langkah Diagnostik
Riwayat
Bila dapat dilakukan, perlu untuk mengetahui : riwayat intubasi atau trakheostomi yang dapat menyebabkan
komplikasi striktur trakhea akibat terbentuknya jaringan fibrosa; adanya batuk dan hemoptisis mungkin
menunjukkan sumbatan jalan napas oleh karena proses keganasan; riwayat keganasan toraks sebelumnya(cth:
paru, trakhea, tiroid, mediastinum) menandakan kemungkinan adanya rekurensi lokal keganasan tsb. Riwayat
keganasan di tempat lain khususnya karsinoma ginjal diketahui dapat bermetastasis pada jalan napas dan dapat
mengakibatkan obstruksi.
Presentasi Klinis
Pasien umumnya tampak gelisah, sesak dengan napas pendek dan cepat, pernapasan yang berbunyi, dan tidak
dapat berbaring. Adanya stridor menunjukkan obstruksi mekanik jalan napas terfiksir yang berat. Batuk dan
hemoptisis umumnya berkaitan dengan proses keganasan. Seringkali pasien mempunyai riwayat sesak napas yang
secara bertahap semakin berat dan mendapat pengobatan kronik kortikosteroid/bronkodilator karena kesalahan
diagnosis sebagai asma atau kelainan paru kronik (PPOK).
Pemeriksaan Diagnostik
Foto Rontgent: pemeriksaan rontgent toraks proyeksi posterioanterior dan lateral adalah pemeriksaan
diagnostik inisial yang semestinya dikerjakan pada semua pasien. Foto polos toraks ini dapat memperlihatkan
adanya massa intratoraks yang menekan jalan napas.
CT-Scan : pemeriksaan CT-scan terutama CT 3 dimensi merupakan pemeriksaan diagnostik non-invasif
terpilih yang mampu menunjukkan kelainan anatomis jalan napas termasuk lokasi, ukuran dan derajat
obstruktif lesi pada jalan napas.
Bronkoskopi : modalitas penting yang berguna sebagai diagnostik dan terapetik untuk obstruksi jalan napas.
Bronkoskopi harus dilakukan dalam setting kamar operasi setelah melakukan tindakan pengamanan jalan
napas dan prosedur diagnostik pendahuluan.
Penatalaksanaan
Inisial
Pertama-tama pasen harus distabilkan dan patensi jalan napas harus dipertahankan sebelum memulai
langkah-langkah prosedur diagnostik dan terapi selanjutnya.
Berikut langkah penanganan inisial pasien dengan obstruksi jalan napas:
Meninggikan ranjang sehingga posisi pasien setengah duduk atau duduk.
Posisi leher dapat diekstensikan dengan memberikan bantal pada bahu
Memberikan oksigen humidified (5-10 lt) dengan facemask
Pemberian diuretik
Pemberian steroid (deksametason iv setiap 6 jam selama 24-48 jam)
Pemberian nebulizer adrenalin
Pemberian gas heliox (campuran nitrogen dan oksigen) sebagai pengganti udara ruangan + oksigen
Pemeriksaan Bronkoskopi
1.
2.
3.

Pemeriksaan bronkoskopi dikerjakan setelah pasien stabil dan pemeriksaan diagnostik non-invasif selesai,
atau dalam keadaan mendesak dapat dikerjakan segera bila kondisi pasien tidak dapat distabilkan
Pemeriksaan bronkoskopi dengan tujuan diagnostik dan terapetik dikerjakan didalam kamar operasi
dengan pengawasan dan kerjasama dengan anestesiolog dan ahli bedah toraks.
Langkah tindakan bronkoskopi dan manajemen anestesi:
a. Menghindari penggunaan obat paralitik sebelum pengamanan jalan napas dipastikan (intubasi)

b.

4.
5.

Dapat dimulai dengan menggunakan facemask, penggunaan anestesi inhalasi bersamaan dengan
anestesi intravena (propofol), sampai pasien tidur dan bernapas spontan dengan bantuan
ventilasi manual dari anestesiolog.
c. Dilakukan pemeriksaan bronkoskopi dengan bantuan obat anestetik topikal (lidocaine spray)
untuk menghindari reaksi batuk. Selama pemeriksaan bronkoskopi, penting untuk mencegah
trauma langsung pada jalan napas atau lesi yang dapat mengakibatkan perdarahan dan edema.
d. Setelah lesi dapat dikenali dan dinilai, langkah selanjutnya adalah menentukan cara/tindakan
untuk mengamankan jalan napas. Scope bronkoskopi dimasukkan ke distal dari lesi untuk
menentukan jarak lesi dan memastikan keadaan trakhea distal.
e. Apabila lesi adalah benda asing atau lesi yang dapat diambil tanpa mengakibatkan perdarahan
atau edema (seperti sputum yang mengeras), maka tindakan pengambilan atau suctioning
dilakukan dengan menggunakan scope rigid. Tidak dianjurkan untuk mereseksi lesi permanen
(tumor atau jaringan sikatriks) sebagai tindakan definitif kecuali untuk biopsi. Tindakan dilatasi
dengan menggunakan scope rigid dapat dikerjakan untuk tujuan mengamankan jalan napas.
f.
Penggunaan bronkoskopi rigid memiliki beberapa keuntungan: lebih mudah untuk melakukan
ventilasi dan suction secara bersamaan, visualisasi yang baik, dan dapat melakukan tindakan
biopsi, ekstraksi benda asing, atau dilatasi striktur.
Selang ETT dimasukkan dengan guiding bronkoskop fleksibel atau dengan bronkoskopi rigid untuk
mengamankan jalan napas sampai tindakan definitif dikerjakan.
Pada beberapa kasus dilakukan tindakan trakheostomi untuk pengamanan jalan napas.

Tindakan Definitif
Tindakan definitif untuk lesi-lesi yang mengobstruksi jalan napas bermacam-macam (jenis tindakan dan timing)
bergantung pada jenis lesi (sikatriks, infeksi/TBC, keganasan) dan keadaan umum pasien. Biasanya tindakan
definitif ini dikerjakan secara elektif.
Reseksi dan rekonstruksi merupakan tindakan untuk kelainan striktur, tumor jinak, atau keganasan lokal jalan
napas.
Tindakan paliatif untuk keganasan, misalnya: brachytherapy, stent, YAG laser, dan terapi photodynamic.

HEMOPTISIS MASIF
Kejadian hemoptisis masif mempunyai mortalitas 80% bila ditangani secara konservatif. Batasan terjadinya
hemoptisis masif bila produksi darah melebihi 600 cc/24 jam. Dikatakan hemoptisis eksanguinosa bila > 1000cc/24
jam, atau perdarahan lebih dari 150 cc/jam.
Hemoptisis masif dapat diakibatkan berbagai macam penyakit, yaitu:
Tuberkulosis; yang merupakan kausa utama hemoptisis di Indonesia dan di dunia
Aspergiloma, terutama yang merupakan infeksi II dari kavitas bekas tuberkuloma
kelainan-kelainan inflamasi lain seperti bronkhiektasis dan bronkhitis kronik.
Proses keganasan (karsinoma sel skuamosa berkavitas).
Penyebab lain: stenosis mitral, fistula arteriovenosa (kelainan Osler-Weber-Rendu), dan trauma pembuluh
darah pulmonal.
Patofisiologi
Perdarahan terutama berasal dari sistem
arteri bronkhialis (95%) (tbc, aspergiloma, histoplasmosis, bronkhiektasis, abses paru)
pembuluh pulmonal (5%) (hipertensi pulmonal, aneurisma arteri pulmonalis, iatrogenik)
pembuluh sistemik (1%) (trauma, fistula trakheoinnominata)
Langkah Diagnostik
Riwayat
Hal penting yang harus diingat : pastikan sumber perdarahan berasal dari paru, dan bukan dari sumber lain,
seperti hidung, mulut, farings, atau saluran pencernaan.
Kecurigaan perdarahan paru bila didapatkan: riwayat tuberkulosis atau PPOK, batuk kronik, nyeri dada, bunyi
napas wheezing atau slem, riwayat merokok.
Pemeriksaan penunjang
Foto Rontgent toraks: seringkali menunjukkan adanya lesi yang dicurigai sebagai sumber perdarahan, seperti
gambaran kavitas, massa, atau lesi-lesi dengan corakan bronkovesikuler kasar dan infiltrat, gambaran
destroyed lung. Walaupun demikian kadangkala ditemukan sumber perdarahan justru berasal dari bagian
paru yang menampilkan lesi yang relatif lebih bersih. Hasil foto rontgen toraks sebaiknya dikonfirmasi
dengan hasil pemeriksaan bronkoskopi.
CT-scan toraks: dapat memperlihatkan lesi-lesi yang tidak tampak pada pemeriksaan foto rontgen toraks
seperti pada kelainan bronkhitis, bronkhiektasis, emboli paru, karsinoma bronkhogenik, rupture/diseksi arteri
pulmonalis.
Bronkoskopi
(lihat bawah)
Penatalaksanaan
Inisial
Segera ambil tindakan untuk mempertahankan patensi jalan napas
Posisi pasien duduk. Dimiringkan dengan hemitoraks yang dicurigai sebagai lokasi perdarahan di sebelah
bawah.
Pasang akses vena dengan kateter vena / abbocath besar
Segera lakukan pemeriksaan darah lengkap, koagulasi, analisa gas darah, dan cross-match
Dapat dipertimbangkan untuk memberikan anxiolytic dan kodein intra-vena. Kodein berguna untuk supresi
batuk. Adanya batuk pada pasien dengan hemoptisis dapat memperburuk perdarahan, akan tetapi menekan
refleks batuk (karena kodein) membawa resiko timbulnya sumbatan jalan napas oleh bekuan darah. Oleh sebab
itu pemberian kodein hanya dianjurkan apabila tindakan pengamanan jalan napas sudah dipersiapkan.
Dapat diberikan pemberian obat-obatan yang merangsang proses koagulasi (transamin dan vitamin K).
Pemberian anti hipertensi bila pasien dengan tekanan darah yang meningkat; dan pemberian transfusi trombosit
dan plasma apabila terdapat kelainan trombosit dan faktor pembekuan darah.
Pemberian transfusi darah bila Hb < 10.

Pemeriksaan Bronkoskopi (cito/emergency)


Pemeriksaan bronkoskopi dilakukan dalam kurun waktu 24 jam setelah kejadian hemoptisis pertama.
Bronkoskopi berguna sebagai alat diagnostik pasti sumber dan letak perdarahan, pengisapan dan pengambilan
bekuan darah atau debris, pengamanan jalan napas (guiding ETT).
Rigid bronchoscopy lebih baik dalam melakukan tindakan pengangkatan bekuan dan debris; sedangkan flexible
bronchoscopy lebih baik dalam diagnostik dan kecepatan oleh karena dapat dikerjakan pada keadaan bed-side.
Pemeriksaan bronkoskopi intra-operatif dilakukan untuk memastikan atau konfirmasi sumber dan letak
perdarahan sebelum insisi bedah dan/atau reseksi paru dikerjakan.
Isolasi sumber perdarahan
Untuk kasus-kasus hemoptisis masif dapat dilakukan tindakan isolasi sumber perdarahan sebelum dilakukan
tindakan operatif.
Setelah memastikan sumber perdarahan (paru kanan atau kiri), maka dilakukan tindakan pemasangan ETT
double lumen; dilanjutkan dengan mengembangkan kedua balon dan menutup lumen yang menuju ke paru
sumber perdarahan.
Isolasi paru dapat dikerjakan dengan cara memasukkan kateter Fogarty ke bronkhus utama kanan atau kiri
dengan bantuan bronkhoskop (rigid) dan kemudian balon kateter dikembangkan untuk mengisolasi paru
tersebut. Selanjutnya dilakukan intubasi dengan ETT single lumen yang mengarah ke bronkhus kontralateral
(guiding bronkhoskop fleksibel) tanpa menutup muara dari lobus superior.
Setelah isolasi berhasil dikerjakan; pasien dimasukkan kedalam ventilasi mekanik tunggal (ventilator)
Embolisasi
Tindakan embolisasi arteri bronkhialis dikerjakan melalui kateterisasi arteri femoralis. Arteri bronkhialis tertentu
sebagai sumber perdarahan kemudian diembolisasi.
Syarat dilakukan tindakan ini adalah:
1. Sumber perdarahan telah diketahui secara pasti melalui pemeriksaan arteriografi/angiografi
2. Tidak terdapat visualisasi arteri spinalis anterior yang berasal dari arteri interkostalis/cervivointercostalis.
Operasi
Tindakan reseksi segmen/lobus paru merupakan tindakan definitif untuk kasus-kasus hemoptisis yang tidak dapat
ditangani dengan obat-obatan atau untuk kasus hemoptisis masif
Indikasi operasi emergency
1.
2.
3.
4.
5.

Perdarahan > 600 cc/hari


Perdarahan > 150 cc/jam
Fistula trakheoinnominata
Fistula aortobronkhial
Kasus trauma

Indikasi operasi urgent (24-48 jam setelah hemoptisis inisial)


1.
2.
3.

Hemoptisis dengan Fungus ball/mass


Hemoptisis dengan abses paru
Bekuan darah yang mengobstruksi jalan napas

Syarat operasi:
1. Fungsi paru dan kapasitas paru memungkinkan untuk menjalani operasi paru dan hidup pasca reseksi
paru
2. Letak dan sumber perdarahan diketahui sebelum operasi.
3. Perdarahan sanggup dihentikan dengan teknik-teknik operasi yang ada.
Pilihan teknik menghentikan perdarahan (intraoperatif)
Ligasi pembuluh darah
Reseksi (wedge/segmen/lobektomi/bilobektomi/pneumonektomi)

FISTULA TRAKHEOINNOMINATA
Fistula trakheoinnominata (FTI) adalah fistula yang terjadi antara trakhea dan arteri innominata. FTI adalah
kelainan yang sangat jarang terjadi, dan umumnya merupakan komplikasi dari tindakan trakheostomi atau
rekonstruksi trakhea. Kira-kira 10% penyebab perdarahan pada pasien pasca trakheostomi adalah oleh karena FTI.
Angka mortalitas pada FTI > 50%.
Faktor predisposisi terjadinya FTI pada pasien dengan trakheostomi adalah:

Cedera kepala
Penggunaan steroid
Infeksi stoma
Sepsis
Hipotensi
Malnutrisi

Patogenesis
Tiga hal yang dianggap sebagai penyebab FTI adalah:
1. Siku dari tube trakheostomi letak rendah (dibawah cincin trakhea IV) yang menekan arteri innominata
2. Balon tube trakheostomi yang menekan ke dinding trakhea, yang lama kelamaan mengerosi dinding dan
kemudian menekan arteri innominata.
3. Penggunaan tube trakheostomi dengan sudut 90 0 sehingga ujung tube dapat menekan langsung pada
arteri innominata.
Langkah diagnostik
Kemampuan untuk
trakheoinnominata.

menegakkan

diagnosis

dini

merupakan

syarat

keberhasilan

penatalaksanaan

fistula

Kecurigaan terjadinya FTI bila ditemukan adanya perdarahan trakhea pada lebih dari 48 jam pasca trakheostomi
Perdarahan berasal dari trakhea, dan merupakan darah arterial (walaupun dapat berwarna lebih hitam bila pasien
telah hipoksia
Pemeriksaan bronkhoskopi : ditemukan sumber perdarahan pada daerah arteri innominata (posterior manubrium
sterni), kadangkala dapat terlihat bulging atau pulsasi pada dinding trakhea.
Penatalaksanaan
Manajemen dini
Yang perlu segera dilakukan adalah melakukan kontrol perdarahan, dapat dengan cara-cara sbb.:

Intubasi dengan ETT


Hiperinflasi cuff trakheostomi sehingga dapat menekan dan menutup fistula
Scope dari bronkhoskopi rigid dapat dipergunakan sementara untuk menekan fistula
Penekanan digital dengan cara memasukkan jari pada area pretrakhea melalui insisi trakheostomi, kemudian
menekan pangkal arteri innominata ke arah sternum posterior.

Operasi
Adanya FTI adalah indikasi untuk operasi eksplorasi trakhea emergency.
Insisi yang dapat dilakukan adalah insisi trapdoor atau mediastonomi (standar)
Setelah rongga mediastinum terbuka, lakukan eksplorasi dan kontrol pada pangkal dan distal arteri
innominata.
Lakukan peng-klem-an proksimal dan distal arteri innominata.
Diseksi jaringan diantara arteri dan trakhea. Eksisi fistula dan jaringan tidak sehat.
Lakukan penjahitan arteri dengan benang monofilament nonabsorbable.
Lakukan penutupan lubang fistula pada trakhea dengan benang absorbable lama jahitan interrupted.

You might also like