Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Elsya Aprilia
1102010088
Pembimbing
dr. Jhonson Manurung, Sp. PD
I. Identitas Pasien
Nama
: Ny. ASP
Nomor CM
: 711xxx
Umur
: 34 th
Alamat
: Pasir Wangi
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Sunda
Status Pernikahan
: Menikah
Status Pekerjaan
: Penjual Keliling
Tanggal Masuk
: 05 / 11 / 2014
Tanggal Keluar
: 12 / 11 / 2014
Ruangan
: Safir
II. Anamnesis
(Autoanamnesis)
A. Keluhan Utama
Mual muntah lebih dari 10x sejak 1 hari SMRS.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan mual dan muntah lebih dari 10x sejak 1
hari sebelumnya. Muntah berupa cairan bening tidak disertai dengan darah. Muntah
dirasakan terutama setelah makan. Nafsu makan pasien dirasakan mulai menurun.
Sehingga pasien tidak mau makan sama sekali.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mudah terkena penyakit ringan bila sudah mengalami kelelahan. Terutama bila
pasien sudah pergi bekerja berkendara naik motor dari pasir wangi hingga garut kota.
Keluhan seperti ini dirasakan sejak 2 tahun SMRS. Pasien sering keluar masuk rumah
sakit untuk di rawat. Sebelumnya pasien pernah di rawat di klinik cisanca sebanyak
2x dan di RS Guntur sebanyak 4x. terakhir pasien di rawat di RSUD dr. Slamet Garut
2 hari yang lalu. Pasien di rawat dikarenakan demam dan lemas pada tubuh. Demam
disertai dengan rasa nyeri di persendian. Selain itu, pasien mengatakan setiap dirinya
dirawat, trombositnya selalu berada di bawah nilai normal. Pasien mengatakan
kulitnya sering menjadi kemerahan. Terutama bila pasien berpergian untuk bekerja.
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
: Bibir kering
Leher
Thoraks
Abdomen
muntah (+)
Saluran Kemih
Kelamin
Ekstremitas
H. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
: Sakit sedang
Tekanan Darah
: 120 / 70 mmHg
Nadi
: 68 x / menit
Respirasi
: 20 x / menit
Suhu
: 36,6 o C
Keadaan Gizi
: Tampak kurus
Sianosis
Edema
Mobilitas
: Aktif
Aspek Kejiwaan
: Tingakah laku
: Wajar
: Alam Perasaan
: Biasa
2
Kulit
Kepala
: Proses Berpikir
: Wajar
: Warna
: Sawo matang
: Jaringan Parut
: Tidak ditemukan
: Pembuluh Darah
: Keringat
: Tampak umum
: Lapisan Lemak
: Cukup
: Efloresensi
: Tidak dilakukan
: Pigmentasi
: Suhu Raba
: Hangat
: Kelembapan
: Biasa
: Turgor
: Baik
: Normocephal
: Ekspresi Wajah
: Wajar
: Simetrisitas Muka
: Simetris
: Rambut
: Exophthalmus
:-/-
: Endophtalmus
:-/-
: Kelopak
: Conjungtiva Anemis
:-/-
: Sklere Ikterik
:-/-
: Lapang Penglihatan
: Tidak diperiksa
: Deviatio Konjugae
: Tidak diperiksa
: Lensa
: Normal
: Visus
: Tidak diperiksa
: Tidak diperiksa
: Lubang
: Normal
: Serumen
: Tidak diperiksa
: Selaput Pendengaran
: Tidak diperiksa
: Cairan
: Penyumbatan
: Tidak tampak
: Perdarahan
Hidung
: Tidak tampak
Mulut
: Bibir
: Kering
: Langit Langit
: Normal
Mata
Telinga
Leher
: Faring
: Tidak hiperemis
: Sianosis peroral
: Tidak tampak
: Tonsil
: T1 T1
: Trakea
Cardio
: Tiroid
: JVP
: 5-2 cm
: Inspeksi
: Palpasi
: Perkusi
: Auskultasi
Pulmo (depan)
: Inspeksi
hemitoraks.
: Palpasi
: Perkusi
: Auskultasi
Pulmo (belakang)
: Inspeksi
: Palpasi
: Perkusi
: Sonor di lapang
: Auskultasi
Pembuluh darah
Abdomen
: Arteri Temporalis
: Teraba
: Arteri Karotis
: Teraba
: Arteri Brakhialis
: Teraba
: Arteri Radialis
: Teraba
: Arteri Femoralis
: Tidak Diperiksa
: Arteri Poplitea
: Tidak Diperiksa
: Tidak Diperiksa
: Inspeksi
: Datar lembut
: Auskultasi
: BU ( + ) 10 x / menit di 4 kuadran
: Perkusi
: Palpasi
Ekstremitas
: Purpura
: Tidak ditemukan
: Petechie
: Tidak ditemukan
: Hematom
: Tidak ditemukan
: Axila
: Inguinal
: Edema
: Varises
: Akral
: Hangat
I. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini dilakukan:
Nama Test
Hasil
Unit
Nilai Normal
Hemoglobin
9.5
g/dL
12.0-16.0
Hematokrit
26
35-47
8.190
/mm3
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
110.000
4.09
/mm
3.500-10.600
Juta//mm
150.000-440.000
3
3.6-5.6
Kimia Klinik
AST (SGOT)
157
U/L
s/d 31
ALT (SGPT)
153
U/L
s/d 31
Ureum
22
mg/dL
18-80
Kreatinin
0.9
mg/dL
0.8-0.9
82
mg/dL
< 140
J. Ringkasan Permasalahan
Perempuan berusia 34 tahun mengeluh mual dan muntah lebih dari 10x/hari. Mual dan
muntah dirasakan 1 hari SMRS. Pasien mengatakan dirinya sering keluar masuk rumah sakit
apabila dirinya kelelahan. Keluhan masuk rumah sakit berhubungan dengan masalah
pencernaan dan deman. Pasien mengaku sering mengalami kemerahan di kulit apabila
terkena sinar matahari.
K. Daftar Permasalahan
Dispepsia Tipe Ulkus
Low Intake
SLE
L. Perencanaan
Inf. RL 20 tpm
Celcept 2 x 1 tab
Ranitidin 2 x 1 amp
Ardium 3 x 1 P.O
Alprazolam 1 x 0.5
Hepamax 3 x 1 tab
Goflex 1 x 2
M. Prognosis
Quo ad Vitam
: ad bonam
Quo ad Fungsional
: dubia ad malam
Quo ad Sanationam
: dubia ad malam
N. Follow Up
Tanggal
5/11/14
Subjektif
Objektif
Analisis
Os datang dengan KU : SS
KS : CM
R : 20x/m
tipe ulkus
muntah
S : 36.60 C
- Low Intake
PT/
Si -/-
- SLE
- Inf. RL 20 tpm
berupa
10x N : 68x/m
cairan Ca -/-
makan
minum.
SPO -/-
Nafsu Abdomen
Kamis 6/11
2x4
mg IV
G (-)
- OMZ 1 x 40mg IV
- Ondansetron
- Dispepsia
Planning
- Tramadol
Wh-/-
3x500
mg IV
Datar lembut
- Bekombion
NT (+)
Syr
3xCI
Nama Test
Hasil
Unit
Nilai Normal
Hemoglobin
9.5
g/dL
12.0-16.0
Hematokrit
26
35-47
8.190
/mm3
3.500-10.600
110.000
/mm3
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
150.000-440.000
3
4.09
Juta//mm
3.6-5.6
AST (SGOT)
157
U/L
s/d 31
ALT (SGPT)
153
U/L
s/d 31
Ureum
22
mg/dL
18-80
Kreatinin
0.9
mg/dL
0.8-0.9
82
mg/dL
< 140
Kimia Klinik
Tanggal
6/11/14
Subjektif
- Berkeringat
malam
Objektif
KU : SS
KS : CM
T : 140/100
R : 16 x/m
0
Analisis
- Dispepsia
tipe ulkus
PT/
Ca -/-
Si -/-
- SLE
- Inf. RL 20 tpm
PCH -/-
SPO -/-
- Insuffisiensi
- Ondansetron
Hepar
G (-)
3x500
mg IV
Rh -/-
Wh-/-
Abdomen
Datar lembut
BU (+)
NT (-)
- Bekombion
Syr
3xCI
- Hepamax 3 x 1 tab
Edema (-)
Subjektif
2x4
mg IV
- Tramadol
VBS Ki=Ka
- Goflex 1 x 2
Objektif
Analisis
- Pusing
KU : SS
KS : CM
- Lemas
T : 170/100
R : 16 x/m
Kamis 6/11
- Low Intake
M (-)
7/11/14
S : 36.4 C
S1 S2 murni regular
Tanggal
Planning
- Dispepsia
tipe ulkus
Planning
PD/ Hasil ANA-Test
Kamis 6/11
S : 37.0 C
- Low Intake
PT/
Ca -/-
Si -/-
- SLE
- Inf. RL 20 tpm
PCH -/-
SPO -/-
- Insuffisiensi
- Bekombion
S1 S2 murni regular
M (-)
G (-)
VBS Ki=Ka
Hepar
Syr
3xCI
- Dexamethason 3 x
2 amp
Rh -/-
Wh-/-
- Ranitidin 2 x 1 amp
Abdomen
Datar lembut
- Hepamax 3 x 1 tab
BU (+)
NT (+)
- Goflex 1 x 2
Edema (-)
- Celcept 2 x 1 tab
Tanggal
8/11/14
Subjektif
Objektif
Analisis
- Mual
KU : SS
KS : CM
- Lemas
T : 170/100
R : 16 x/m
0
- Dispepsia
tipe ulkus
10/11/14
PT/
Ca -/-
Si -/-
- SLE
- Inf. RL 20 tpm
PCH -/-
SPO -/-
- Insuffisiensi
- Dexamethason 3 x
S1 S2 murni regular
M (-)
Hepar
G (-)
- Bekombion
Syr
Rh -/-
Wh-/-
3xCI
Abdomen
Datar lembut
- Hepamax 3 x 1 tab
BU (+)
NT (+)
- Goflex 1 x 2
Edema (-)
- Celcept 2 x 1 tab
Objektif
Analisis
KU : SS
KS : CM
- Lemas
T : 150/100
R : 20 x/m
- Pusing
2 amp
- Ranitidin 2 x 1 amp
- Mual
panas
Kamis 6/11
- Low Intake
Subjektif
hari
S : 37.0 C
VBS Ki=Ka
Tanggal
Planning
tipe ulkus
S : 36,6 C
- Low Intake
PT/
Si -/-
- SLE
- Inf. RL 20 tpm
SPO -/-
- Insuffisiensi
- Dexamethason 3 x
S1 S2 murni regular
M (-)
- Dispepsia
Planning
G (-)
VBS Ki=Ka
Hepar
2 amp
- Ranitidin 2 x 1 amp
- Bekombion
Syr
Rh -/-
Wh-/-
3xCI
Abdomen
Datar lembut
- Hepamax 3 x 1 tab
BU (+)
NT (+)
- Goflex 1 x 2
Edema (-)
- Celcept 2 x 1 tab
Tanggal
11/11/14
Subjektif
- Mual
- Tidak
Objektif
KU : SS
KS : CM
bisa T : 140/90
tidur
R : 20 x/m
0
N : 72x/m
PCH -/-
- Seluruh
linu
Rh -/-
di anus
BU (+)
tidur
- Seluruh
- Pusing
Si -/-
- SLE
- Inf. RL 20 tpm
SPO -/-
- Insuffisiensi
- Ranitidin 2 x 1 amp
Hepar
- Hemmoroid
- Bekombion
Syr
3xCI
- Hepamax 3 x 1 tab
Wh-/-
- Goflex 1 x 2
Datar lembut
- Celcept 2 x 1 tab
NT (+)
- Ardium 3 x 1 P.O
Objektif
KU : SS
bisa T : 150/100
N : 80x/m
PCH -/-
Analisis
KS : CM
R : 20 x/m
- Dispepsia
Planning
PD/ Hasil ANA-Test
tipe ulkus
Kamis 6/11
S : 36,3 C
- Low Intake
PT/ BLPL
Si -/-
- SLE
- Hepamax 3 x 1 tab
SPO -/-
- Insuffisiensi
- Goflex 1 x 2
S1 S2 murni regular
PT/
- Alprazolam 1 x 0.5
Kamis 6/11
Edema (-)
Subjektif
- Tidak
- Low Intake
G (-)
- Mual
tipe ulkus
VBS Ki=Ka
- Pusing
11/11/14
- Dispepsia
Planning
S : 36,3 C
S1 S2 murni regular
Tanggal
Analisis
G (-)
Hepar
- Hemmoroid
- Celcept 2 x 1 tab
- Kenalog Orazel u.e
VBS Ki=Ka
Rh -/-
Wh-/-
Abdomen
Datar lembut
BU (+)
NT (+)
Edema (-)
Lab : ANA Test (+)
PERTANYAAN KASUS
1. Bagaimana diagnosa pada pasien ini ?
2. Bagaimana tata laksana pada pasien ini?
3. Bagaimana prognosis pada pasien ini?
10
inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang
wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik,
imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara
prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,10 dengan rasio
jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.10,11 Belum terdapat data epidemiologi SLE
yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam12, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291
Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun
2010-2013.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah,
jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada
1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak
berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%,
fotosensitiviti
22,9%, keterlibatan
neurologik
manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8 %, anemia
hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival)
SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%,
dan 53-64%. Kesintasan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap
108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-2002 Angka kematian pasien dengan
SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama
mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M.
tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan
penyakit vaskular aterosklerosis.
11
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah
ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya
artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan
diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting.
12
Kriteria
Ruam Malar
Ruam discoid
Fotosensitifitas
Ulkus mulut
Artritis
Serositis
Pleuritis
Perikarditis
Gangguan
Renal
Gangguan
Neurologi
Gangguan
Hematologi
Gangguan
Imunologik
Antibodi
Antinuklear
Positif (ANA)
Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE
lanjut dapat ditemukan parut atrok
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh
nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh dokter
pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat
bukti efusi perikardium.
a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif Atau
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran.
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit). Atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis Atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih Atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
a. Anti- DNA: anti bodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau
b. Anti - Sm: terdapatnya antibodi terhadap anti gen nuklear Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap silis sekurang-kurangnya
selama 6 bulan dan dikonrrmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes uoresensi absorpsi antibodi treponema.
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
imunouoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan
penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma
lupus yang diinduksi obat.
13
Keterangan:
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria
tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
b. Modifiikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifiitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA
negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
14
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi
perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah,
mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel
Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya
diagnosis SLE dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi
terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB),
Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai pro il ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA
merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya
hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE
dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi
pada pasien yang bukan SLE.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang diagnosis
SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE. Meskipun antiSm didapatkan pada 15% -30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau
orang normal. Tes anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis
SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesi ik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang
negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
pada pasien.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
15
keadaan
anemia
hemolitik,
neutropenia
(leukosit
<1.000/mm3),
16
DISPEPSIA
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik. Dispepsia
mengacu pada nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas; meliputi nyeri
epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi yang
normal), rasa penuh setelah makan.
Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat pemeriksaan tidak ditemukan
kelainan organik yang dapat menjelaskan keluhan tersebut seperti chronic peptic-ulcer
disease, gastro-oesophageal reflux, malignancy, sekitar 60% keluhan-keluhan tersebut tidak
dapat dijelaskan, keadaan ini disebut fungsional, atau non-ulcer dyspepsia. Pasien dengan
penyebab yang jelas tidak dimasukkan dalam kategori dispepsia fungsional.
Menurut ROME III tahun 2006, dispepsia fungsional harus memenuhi semua kriteria di
bawah ini yang dialami sekurang-kurangnya satu kali seminggu selama minimal dua bulan
sebelum diagnosis ditegakkan.
Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal
dari perut bagian atas (di atas umbilikus).
Nyeri tidak hilang dengan defekasi atau tidak berhubungan dengan suatu
perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan/ gejala yang dominan
menjadi tiga tipe yakni
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida c. Nyeri saat lapar
c. Nyeri episodic
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan c. Mual
c. Muntah
d. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
17
penderita,
makan
dapat
memperburuk
Pada
penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi nafsu
makan
dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon
terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang
tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan
operasional
pengelolaan
sebagai
digunakannya/
diterapkannya prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang bukan hanya terbatas pada
pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan yang lebih holistik yaitu berlandaskan
pendekatan bio-psiko-sosial.
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan
pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah a). mendapatkan masa
remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, c).mengurangi
rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna
mencapai kualitas hidup yang optimal.
18
Pilar Pengobatan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau
disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan
dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan
penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama
ahli reumatologi.
I.
Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya
dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan
kompleksitasnya.
Pasien memerlukan
aktivitas
isik,
mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar
matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan
secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan
berbagai
dengan
aktivitas
penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien SLE
terlihat pada tabel 2.
19
Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
Masalah yang terkait dengan sik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian
steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi
secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa
lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan
pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya
suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat anti
tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotik
Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung, yayasan
yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
II.
Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung
maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman
akan
20
turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan
dalam kondisi
immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan
terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk
mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin
diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot.
Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang
melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain.
III.
Terapi Medikamentosa
Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski
dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan obat
yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga
bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah
standarisasi berdasarkan patoisiologi dan farmakokinetiknya.
Dosis sedang
Dosis tinggi
Terapi pulse
21
Waktu
paruh
(mg)
protein
Waktu
di paruh
mineralok
plasma
biologi
orticoid*
(jam)
(jam)
Kerja pendek
Kortison
25
0.8
0.8
0.5
8-12
Kortisol
20
++++
1.5-2
8-12
Mtilprednisolon 4
0.5
>3.5
18-36
Prednisolon
0.6
++
2.1-3.5
18-36
Prednison
0.6
+++
3.4-3.8
18-36
Triamcinolon
++
2- >5
18-36
Deksametason
0.75
20-30
++
3-4.5
36-54
Betametason
0.6
20-30
++
3-5
36-54
Kerja menengah
Kerja panjang
22
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat
dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2
minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3
minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah
untuk mengontrol aktivitas penyakit.
23
24
Bagan 1. Algoritme penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik. Terapi SLE sesuai dengan keparahan
manifestasinya.
TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh
KS adalah kortikosteroid setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azatioprin, OAINS obat
anti inflamasi steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.
IV.
Terapi Lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
1. Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis,
neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan
terapi konvensional.
2. Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis.
3. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
4. Danazol pada trombositopenia refrakter.
5. Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring eect pada SLE
25
ringan.
6. Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan
obat lainnya.
7. Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat.
8. Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit
sel B telah dilaporkan
efektif
dalam
Indonesia)
9. Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
10. Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
Efek samping yang sering ditemui pada
pemakaian kortikosteroid dapat dilihat pada
tabel dibawah ini
DISPEPSIA
Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia fungsional diantaranya dengan cognitivebehavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi farmakologi. Gejala dapat dikurangi dengan
menghindari makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok.
Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala.
Direkomendasikan juga untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam
hari dan membagi asupan makanan sehari- hari menjadi
Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku
Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu
a. Antasida
b. Antikolinergik
c.
Antagonis reseptor H2
d. PPI
e. Sitoprotektif
f. Golongan prokinetik
g. Psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas)
26
Ranitidin 2 x 1 amp
Celcept 2 x 1 tab
Immunosupressant
anti histamin H2
mofetil
Mycophenolate
Ardium 3 x 1 P.O
Multivitamin B complex
Hepamax 3 x 1 tab
kronik
Goflex 1 x 2
NSAID : Nobumetone
Alprazolam 1 x 0.5 mg
27
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 8. Jakarta. Penerbit PT. Info
Master.
Bertsias, George. et al. 2002. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and Clinical
Features.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia
Isbagio, Hari. W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.Penerbit. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
28