You are on page 1of 17

TOPIK 8

PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA


MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

Disusun Oleh :
Galvan Yudistira (A24070040)

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pepaya merupakan tanman buah berupa herba dari famili Caricaceae yang
berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan sekitar Meksiko
dan Coasta Rica. Tanaman pepaya banyak ditanamn orang , baik di sekitar daerah
tropis maupun subtropis. Didaerah-daerah basah dan kering atau di daerah-daerah
dataran dan pegunungan (sampai 1000 mdpl). Buah pepaya merupakan buah meja
bermutu dan bergizi yang tinggi (Prihatman, 2000).
Dalam bidang bioteknologi, teknologi kultur antera sudah lama
dikembangkan sebagai bagian dari teknik kultur jaringan. Melalui cara ini,
tanaman diperoleh dari antera tanaman sehingga mengalami sebagian dari siklus
generatif tetapi tidak melalui persilangan antara tetua jantan dan betina. Tanaman
yang dapat dihasilkan melalui cara ini antara lain adalah tanaman haploid ganda,
yaitu tanaman homozigot dengan sifat bawaan dari induk asal antera. Dengan kata
lain, hanya dengan satu kali siklus perkawinan diikuti dengan teknik kultur antera
dapat langsung diperoleh galur yang stabil (Anonim, 2006).
Teknik untuk menginduksi haploidi mulai dikembangkan sejak Bergener
pada tahun 1921 menemukan tanaman-tanaman haploid pada Datura stramonium.
Teknik tersebut dapat dikelaskan menjadi in-vivo dan in vitro. Metode in-vitro
meliputi kultur antera, kultur pollen, kultur ovul/ovari yang belum dibuahi, dan
eliminasi kromosom pada metode bulbosum (Poehlman dan Sleeper, 2005 dalam
Dewi I.S, 2003)
Untuk memperoleh galur tanaman haploid ganda dengan keragaman
genetik dan sifat-sifat agronomis yang diinginkan, maka tanaman dengan
heterozigositas tinggi (F1 atau F2 yang sudah diseleksi) dapat digunakan sebagai
sumber antera (Fehr, 1987 dalam Dewi, I.S., 2003). Dengan menggunakan kultur
antera, karakter kedua tetua dapat berkombinasi di dalam tanaman haploid ganda
yag berasal dari butir tepung sari tanaman F1 tersebut, sehingga galur murni
dengan homozigositas tinggi dapat diperoleh hanya dari satu generasi saja
(generasi awal/DHO). Karakteristik agronomis utama seperti hasil dan kualitas
biji dan sifat lain seperti toleransi terhadap cekaman biotik atau abiotik yang
dikendalikan oleh gen minor dapat segera diefaluasi pada generasi DH1 dan DH2
(Chung, 1992; Li, 1992; Fehr, 1987 dalam Dewi, I.S., 2003). Karakter tanaman
haploid ganda tetap stabil dari generasi ke generasi, sehingga seleksi dapat
dilakukan langsung pada generasi awal (Zhang, 1989 dalam Dewi, I.S, 2003).
Proses seleksi yang dilakukan diantara tanaman haploid ganda yang
homogen dapat lebih efisien dibandingkan bila proses seleksi dilakukan diantara
turunan turunan yang heterogen, misalnya populasi F2 – F8 seperti pada
pemuliaan koonvensional, karena seleksi diantara tanaman haploid ganda untuk
karakter-karakter yang dikendalikan oleh alel domonan tidak disulitkan oleh
masalah membedakan individu diploid homozigos-domonan dengan heterozigos
(Fehr, 1987 dalam Dewi,I.S., 2003).
Karakter morfologi dan agronomi yang diamati pada populasi tanaman
haploid ganda generasi pertama (DH1) menunjukkan variasi. Ada yang serupa
dengan salah satu tetuanya , ada yang intermediete, ada yang melebihi kedua
tetuanya bahkan ada karakter baru yang tidak ditemukan pada kedua tetuanya
(Dewi, 2002 dalam Dewi,I.S., 2003). Kultur Antera sudah diakui sebagai
teknologi yang cepat dan sangat efisien dalam perbaikan tanaman (Li, 1992;
Chung, 1992 dalam Dewi,.I.S., 2003).
Wattimena (1992) dalam Sasmita (2001) mengemukakan bahwa antera
adalah kultur yang menghasilkantanaman haploid yaitu tanamn yang mempunyai
jumlah kromosom sama dengan kromosom gamet. Tanaman haploid diperoleh
melalui induksi embriogenesis dari pembelahan berulang-ulang spora monoploid
baik dari mikrospora atau butir tepung sari yang masih muda.
Jaringan dinding antera memainkan peranan sangat penting dalam induksi
awal pembelahan bakal spora dalam perkembangan polen (Sasmita, 2001)
Tanaman regeneran yang dihasilkan dari induksi kalus polen memiliki
ploidi yang berbeda (Sasmita, 2001). Chu (1982) dalam Sasmita (2001)
mengemukakan bahwa ploidi tanaman hasil induksi kalus polen terdiri atas x, 2x,
3x, 4x, dan 5x. Dikemukakan pula hasil analisis genetik menunjukkan bahwa 90%
progeni haploid ganda (dihaploid) dari hibrida hasil kultur antera adalah
homosigos. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman haploid ganda disebabkan
pengggandaan kromosom selama kultur, bukan berasal dari sel-sel somatik.
Banyak faktor yang mempengaruhi ploidi tanaman hasil regenerasi dari kultur,
yaitu pertumbuhan mikrospora pada saat kultur, perlakuan awal secara alami,
genotipa tanaman donor, komposisi media kultur, dan umur tanaman.
Tanaman haploid dan dihaploid dapat memperlihatkan perbedaan
morfologis yang nyata. Tanaman haploid ditandai dengan tidak adanya ligule dan
auricle, jumlah tiller yang hampir dua kali lebih banyak, serta ukuran tinggi
tanaman , panjang panicle dan panjang daun sekitar 60-70% dari tanaman diploid,
Tanaman haploid yang dihasilkan dari kultur antera tidak dapat mgnhasilkan biji.
Untuk keperluar pemuliaan tanaman, tanaman haploid harus dibuat di
haploiduntuk memperbaiki fertilitasnya. Penggandaan kromosom dapat dilakukan
dengan cara merendam akar dan buku-buku dari anakan di dalam larutan
colchicin 0,2% atau dengan cara diratun, yaitu dengan memangkas tanaman
haploid setelah berbunga 1-4 kali (Rush, 1981 dalam Sasmita, 2001).

Media kultur antera

Media kultur merupakan faktor kritis untuk keberhasilan pembentukan


tanaman haploid dari kultur antera. Media berperan untuk menyediakan hara yang
lengkap berupa unsur makro, undur mikro, karbohidrat, asam amino, vitamin dan
zat pengatur tumbuh yang diperlukan dalam proses pembelahan sel mikrospora
menjadi kalus.
Kebutuhan hara mungkin berbeda untuk induksi androgenesis dan untuk
pertumbuhan embrio (Wang dan Sun, 1974 dalam Sasmita, 2001). Level nitrogen
amonium di dalam media adalah faktor yang penting.
Sukrosa essensial untuk perkembangan tanaman androgenik, berfungsi
baik sebagai sumber energi maupun sebagai faktor osmotik, sehingga dapat
mempengaruhi keberhasilan induksi kalus dan regenerasi tanaman. Chen (1978)
dalam Sasmita (2001) melaporkan bahwa tingkat formulasi kalus dan
organogenesis selanjutnya emningkat dengan meningkatnya konsentrasi sukrosa
sari 3 hingga 9%, tetapi ini siasi kalus pada media dengan 9% sukrosa
meregenerasi lebih banyak plantlet albino. Suatu kombinasi 6% sukrosa dalam
media induksi kalus dan 3% dalam media regenerasi tanaman memberikan
frekuensi tanaman hijau yang diregenerasikan paling tinggi.
Media regenerasi tanaman yang biasanya digunakan adalah media MS
(Murashige dan Skoog, 1962 dalam Sasmita, 2001). Niizeki (1997) dalam Sasmita
(2001) mengemukakan bahwa untuk meregenerasikan tanaman dari kalus yang
terbentuk sebaiknya digunakan media MS. Penambahan media yang lebih lengkap
seperti keseimbangan auksin-sitokinin perlu dilakukan untuk induksi tunas.
Masyhudi (1994) dalam Sasmita (2001) mengemukakan bahwa untuk
induksi kalus diperlukan ruang gelap total dengan tujuan menghindari proses
fotosintesis sehingga polen androgenik membelah dan membentuk kalus,
sedangkan untuk regenerasi diperlukan ruang terang dengan cahaya kuat (100-300
lux), agar kalus dapat tumbuh, dan berfotosintesis menjadi tanaman seutuhnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Antera

Dengan kemajuan teknik kultur jaringan, telah dilakukan berbagai usaha


untuk memperoleh tanaman hijau yang banyak melalui kultur antera, meskipun
demikian, tanaman hijau yang dihasilkan masih rendah, terutama pada kultur
antera indica (Chu et al)., 2000; Masyhudi, 1997; Dewi et al., 1994; Chung, 1992;
Li, 1992; Sun dan Zhao, 1992; Zhang, 1992;Zeigler, et al., 1992; Zapata et al.,
1983; Rush, 1981 dalam Dewi,.I.S. 2003). Selain faktor genotipa, beberapa faktor
lain baik fisiologi, fisik atau kimia juga mempengaruhi keberhasilan dalam
mendapatkan tanaman hijau melalui kultur antera.
Induksi kalus dan regenerasi tanaman dipengaruhi terutama oleh kultur
teknik, walaupun keduanya ada dibawah kontrol genetik. Frekuensi induksi kalus
dan pembentukan tanaman hijau dikendalikan oelh banyak gen (gen
minor/poligenik). Oleh karena itu, genotipa tanaman mempunyai peran penting
dalam menentukan frekuensi pembentukan tanaman melalui kultur antera
(Masyhudi et al., 1997; Mashudi dan Rianawati, 1995; Razdan, 1993;Cheung,
1992 dalam Dewi,.I.S. 2003).
Tanaman donor antera harus ditanamn dalam lingkungan yang optimum
untuk pertumbuhan. Terjadinya tanggap antera yang berbeda dapat diidentifikasi
diantara musim tanaman yang berbeda. Perbedaan tersebut nungkin disebabkan
oleh perbedaan kondisi fisiologis yang diakibatkan oleh variabel suhu, panjang
hari, dan intensitas cahaya (Chung, 1992 dalam Dewi,.I.S. 2003). Menurut Zhang
(1992) dalam Dewi,.I.S. (2003) penanaman sebaiknya dilakukan di rumah kaca,
walaupun peampakannya kurang vigor dibandingkan dengan yang ditanam
dilapang. Untukmenghindari cekaman selama perkembangan pollen dapat
diberikan tambahan hara.
Tahap perkembangan butir tepung sari pada saat pengambilan antera dan
saat dikulturkan merupakan saat paling kritis di dalam menentukan keberhasilan
kultur antera. Tahap perkembangan butir tepung sari yang optimum untuk kultur
antera adalah pada tahap pertengahan sampai akhir uninukleat (Chung, 1992;
Zhang, 1992; Li, 1992;Sun and Zhao, 1992; Zapata et al., 1983). Kemampuan
untuk meregenerasikan tanaman berkurang pada kultur antera yag mengandung
butir serbuk sari pada tahap yang lebih lanjut akibat akumulasi butiran pati yang
menghambat pembelahan sel (Zapata et al., 1983 dalam Dewi,.I.E., 2003).
Praperlakuan pada malai antera dikulturkan terbukti dapat meningkatkan
perubahan mikrospora yang semula pada lintasan gametofitik menjadi sporofitik
atau androgenesis (Zapata et al., 1983 dalam Dewi,.I.E., 2003).
Sumber dan jumlah nitrogen, jenis asam amino, jenis dan konsentrasi
hormon dan perbedaan sumber karbon sangat penting dalam kultur in-vitro.
Berbagai macam media, seperti N6, Miller’S potato medium, He 5, B5, LS, dan
MS, sudah pernah dicoba untuk meregenerasikan tanman pada kultur antera
(Zhang, 1992 dalam Dewi,.I.E. 2003).
Suplai karbon sangat diperlukan dalam kultur in-vitro, karena eksplan atau
plantlet belum dapat memenuhi keperluan hidupnya melalui fotosintesis. Sukrosa
merupakan sumber utama karbohidrat pada medium (Dewi,.I.E., 2003)
Rasio auksin/sitokinin yang lebih tinggi diperlukan saat menginduksi kalus
dan sebaliknya saat meregenerasikan kalus menjadi tanaman. (Dewi,.I.E., 2003)
Untuk menginduksi kalus, kultur diinkubasi di runga gelap pada suhu 25 ±
2°C. Demikian pula untuk meregenerasikan kalus diperlukan suhu yang sama
dengan saat induksi, tetapi kultur ditempatkan di ruang gelap (Chung, 1992;
Zhang, 1992 dalam Dewi,.I.E., 2003). Pada antera yang tanggap, walaupun
dinding sel jaringan akan berubah warna menjadi kecoklatan tetapi setelah 3-8
minggu antera akan membuka karena adanya tekanan dari kalus atau embrioid
yang sedang tumbuh dari polen (Rezdan, 1993 dalam Dewi,.I.E., 2003)
Umur kalus, yaitu lamanya waktu (hari) sejak kalus diinduksi sampai
kalus dipindahkan ke mediu regenerasi, menentukan frekuensi regenerasi. Kalus
yang berada lebih dari 30 hari dalam media induksi akan menghasilkan tanaman
albino (Chung, 1992; Zheng, 1992). Hal ini diakibatkan oleh aksi auksin
penginduksi kalus yang berlangsung lebih lama.
Banyak peneliti melaporkan ukuran kalus yang dipindahkan ke media
regenerasi juga menentukan keberhasilan regenerasi tanaman hijau (Yoshida,
1995; Chung, 1992; Li, 1992; Zhang, 1992 dalam Dewi,.I.E., 2003). Kalus yang
berukuran 1-2 mm merupakan kalus yang terbaik untuk segera dipindahkan ke
mesium regenerasi. Tanaman haploid ganda lebih banyak didapati ketika ukuran
kalus sekitar 1-1,2 mm (Yoshida, 1995), sedangkan kalus berukuran 2 mm lebih
banyak menghasilkan tanaman haploid (Yoshida, 1995; Li, 1992 dalam
Dewi,.I.E., 2003). Kalus yang berukuran lebih kecil dari 1mm akan sukar
beregenerasi atau mati (Li, 1992).
Tanaman yang dihasilkan melalui kultur antera dapat berupa tanaman
haploid, haploid ganda spontan, poliploid, mixopoid, dan aneuploid. Perbedaan
morfologi tanaman haploid, haploid ganda (spontaneous doubled haploid),
poliploid, mixopoid dan aneuploid menurut Zhang (1992) adalah sebagai berikut:
1. Tanaman haploid. Dibandingkan dengan tanaman diploid, pada umumnya
tanaman haploid lebih kecil dan mempunyai banyak anakan serta
tidakmempunyai ligula dan aurikel. Panjang dan lebar daun, demikian juga
malai dan glumennya lebih kecil. Tanaman berbunga, tetapi tidak berbiji
(steril).
2. Tanaman haploid ganda (dihaploid atau diploid). Tanaman ini mempunyai
morfologi seperti tanaman diploid biasa yang fertil. Populasi regeneran
selanjutnya akan tetap homozigous dan homogen, tidak bersegregasi.
3. Tanaman mixopoid adalah suatu tanaman yang mempunyai bagian haploid
dan diploid sekaligus. Bagian tanaman yang diploid dapat juga terjadi
diantara anakan, cabang malai dan bahkan pada spikelet secara individual
dari tanaman yang haploid.
4. Tanaman yang poliploid ditandai dengan pertumbuhan tanaman yang
terlalu tergar (vigorous), daun yang lebih tebal, stomata yang lebih besar,
dan biji yang lebih besar serta berbulu (pubescent) dengan duri (awn) yang
pendek. Laju pembentukan biji rendah dan regeneran mempunyai sifat-
sifat yang serupa dengan generasi tanaman pertamanya.
5. Tanamn yang aneuploid serupa denagn tanaman diploid. Pertumbuhannya
tegar dengan daun yang tegak serta anakan yang lebih banyak. Ukuran
glumennya sama dengan tanamn diploid atau bahkan sedikit lebih besar.
Tanaman ini semi atau steril penuh. Biji cenderung mudah rontok. Laju
pembentukan biji lebih rendah dari progeninya.

Beberapa keuntungan menggunakan kultur anter menurut Snape (1989)


dalam Suhartini (2004) antara lain mengurangi biaya penelitian , meningkatkan
efisiensi produksi, menambah variasi genetik yang aditif sehingga menambah
sifat-sifat unggul. Menurut Shape (1989), Suhartini dan Hanarida (2000) dalam
Suhartini, (2004) metode kultur anter juga dapat memperpendek siklus
pemuliaan. Sedangkan keuntungan lain adalah dapat mempercepat perolehan
galur murni melalui tanman haploid ganda langsung pada generasi pertama,
sehingga biaya untuk tenaga kerja, sewa lahan, dan waktu pemuliaan lebih hemat
dibandingkan pemuliaan konvensional (Dewi et al. 1996; Sanint et al. 1996 dalam
Dewi et al. 2004). Keuntungan tersebut akan tercapai apabila dapat mengatasi
beberapa masalah yang sering ditemui, antara lain daya induksi dan regenerasi
kalus yang renadah, media kultura yang tepat serta faktor nonteknis yang sulit
dihindari. Dari penelitian yang dilakukan di Balitbio pada MT 1996 hingga MT
1998 diketahui bahwa siklus pemuliaan dengan metode kultur anter menjadi lebih
pendek. Untuk memperoleh galur yang diploid homozygote melalui kultur anter
diperlukan waktu tiga musim, sedangkan melalui metode konfensional mencapai
delapan musim (Suhartini 1997c dalam Suhartini 2004). Untuk memperoleh
tanaman hijau atau plantlet (generasi H0) melalui kultur anter pada empat
kombinasi hibrida F1 dibutuhkan waktu 1 tahun sejak pertanaman F1. Bila
dihitung dari mulai persilangan, waktu yang diperlukan untuk memperoleh
tanaman yang homozygote adalah tiga musim.
Sedangkan kelemahan penggunaan kultur antera dalam pemuliaan
tanaman padi diantaranya adalah genotip tetua memiliki daya kultur yang
berbeda, diperoleh regenerasi tanaman albino. (Bakhtiar, 2007).

B. Tujuan
Tujuan percobaan ini adalah melatih mahasiswa untuk mengisolasi antera
dari bunga dan menanam antera secara in vitro untuk mendapatkan tanaman
haploid.
METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada 7 November 2009 s.d. 8 Desember 2009
di Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat


Bahan tanaman yang digunakan berupa kuncup bunga pepaya jantan pada
berbagai umur fisiologi. Media yang digunakan adalah media N6 (dari komposisi
Nitsch) + 0,5 mg/L NAA + 2 mg/L Kinetin + 30 g/L gula pada pH 6,5 dan alkohol
70%. Sedangkan alat yang digunakan adalah pinset, gunting, scalpel, Bunsen,
cawan petri, dan botol kultur.

C. Metode
Kuncup bunga jantan dipisahkan dari tanaman pepaya sesuai ukurannya
karena ukuran kuncup bunga berkorelasi dengan umur bunga. Kemudian kuncup
bunga disterilisasi dengan dicelupkan ke dalam alkohol 70% dan dilewatkan di
atas api Bunsen. Perlakuan ini dilakukan sebanyak dua kali. Kuncup bunga dibuka
dengan pinset dan korolanya dibuang secara hati-hati. Antera dilepaskan dari
tangkai bunga dan ditanam pada media kultur N6. Selanjutnya kultur antera
disimpan dalam gelap selama dua bulan untuk induksi pertumbuhan kalus antera
yang berasal dari kuncup bunga. Antera yang berasal dari kuncup bunga yang
berukuran sama dikulturkan dalam botol yang sama.
Pengamatan dilakukan terhadap ukuran bunga (panjang korola), jumlah
antera per bunga, dan warna antera, jumlah antera yang tetap kuning dan jumlah
yang coklat, jumlah kultur yang mengalami kontaminasi dan saat terbentuk kalus
dan jumlah antera yang membentuk kalus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah hasil dari pengamatan terhadap kultur anter pepaya secara
in vitro tanggal 17 November 2009,
Tabel1. Jumlah Antera per Bunga dan Warna Antera
Kelompok Jumlah antera / bunga Warna antera
Bk Bs Bb Bk Bs Bb
1 10 10 9 kuning kuning kuning
2 10 10 10 kuning kuning kuning
3 9 9 10 kuning kuning kuning
4 46 33 33 kuning kuning kuning
5 9 9 9 kuning kuning kuning
6 10 9 8 kuning kuning kuning
7 47 52 48 kuning kuning kuning
8 10 10 10 kuning kuning kuning
9 10 10 10 kuning kuning kuning
10 8,4 8 10 kuning kuning kuning
11 49 48 47 kuning kuning kuning
12 6 7 8 kuning kuning kuning
18.7 ± 17.917 ± 17.667 ±
µ ± sd 17.316 16.517 15.511 kuning kuning kuning

Keterangan : Bk = bunga kecil Bs = bunga sedang Bb = bunga besar

Tabel2. Saat Terbentuk Kalus


Kelompok Waktu terbentuk kalus
1 tidak terbentuk kalus
2 tidak terbentuk kalus
3 1 MST
4 tidak terbentuk kalus
5 tidak terbentuk kalus
6 tidak terbentuk kalus
7 tidak terbentuk kalus
8 tidak terbentuk kalus
9 tidak terbentuk kalus
10 3 MST
11 Tidak terbentuk
12 tidak terbentuk kalus
µ ± sd 2 ± 1.4 MST

Tabel3. Rata- rata dan Standar Deviasi Jumlah Antera yang Tetap Kuning
Umur Rata- rata dan standar deviasi jumlah antera yang tetap kuning
Simpan Bk Bs Bb
1 MST 32.083 ± 18.84 32.926 ± 19.081 31.583 ± 18.613
2 MST 26.583 ± 20.825 24.916 ± 21.513 24 ± 22.275
3 MST 13.75 ± 16.410 13.25 ± 18.926 15.25 ± 19.287
4 MST 8.667 ± 10.183 10.25 ± 14.046 9.75 ± 16.254

Tabel4. Rata- ratada Standar Deviasi Jumlah Antera yang Coklat


Umur Rata- rata dan standar deviasi jumlah antera yang coklat
Simpan Bk Bs Bb
1 MST 6.583 ± 13.310 5.75 ± 14.839 5.25 ± 13.811
2 MST 9 ± 14.097 6.333 ± 14.859 6.167 ± 14.057
3 MST 11.58 ± 15.228 9.167 ± 16.519 11.5 ± 16.390
4 MST 14 ± 16.370 11.333 ± 16.177 12.833 ± 18.004

Tabel5. Rata- rata dan Standar Deviasi Jumlah Antera yang Terkontaminasi
Umur Rata- rata dan standar deviasi jumlah antera yang terkontaminasi
Simpan Bk Bs Bb
1 MST 4.333 ± 11.539 5.167 ± 14.364 1.416 ± 3.029
2 MST 5.167 ± 11.487 5.25 ± 14.334 4.416 ± 8.826
3 MST 6 ± 12.1355 7 ± 14.905 10.333 ± 16.587
4 MST 7.416 ± 14.323 7.167 ± 14.953 11.25 ± 17.965

Tabel6. Rata- rata dan Standar Deviasi Jumlah Antera yang Membentuk Kalus
Umur Rata- rata dan standar deviasi jumlah antera yang membentuk kalus
Simpan Bk Bs Bb
1 MST 0±0 0±0 0.833 ± 2.886
2 MST 0±0 0±0 0.833 ± 2.886
3 MST 0.583 ± 2.021 0.833 ± 2.886 1.58 ± 3.70
4 MST 0.75 ± 2.598 0.916 ± 3.175 1.83 ± 4.303

Keterangan :
Bk : Bunga kecil
Bs : Bunga sedang
Bb : Bunga besar
Gambar1. Anter pepaya yang steril

Gambar2. Anter pepaya yang terkontaminasi cendawan


Pada percobaan ini rata- rata antera yang teramati berwana kuning sampai
pada 3 MST dan sisanya berwarna coklat. Hal ini menunjukkan bahwa anter yang
ditanam berasal dari bunga yang telah tua. Namun, pada 4 MST, rata- rata jumlah
antera yang berwarna coklat lebih banyak daripada rata- rata jumlah antera yang
berwarna kuning.
Kebanyakan anter belum berkalus sampai akhir pengamatan. Namun, jika
dilihat dari rata- ratanya, ada antera mampu membentuk kalus pada 1 MST, yaitu
pada bunga besar. Dalam percobaan ini tidak didapatkan tunas yang tumbuh dari
kalus. Rata- rata hasil kalus yang dapat tumbuh dari eksplan termasuk sangat
kecil, yaitu kurang dari 2 kalus. Hal ini terjadi karena banyaknya eksplan yang
mati atau tidak tumbuh karena terkontaminasi cendawan dan adanya sel-sel yang
rusak. Tingginya tingkat kontaminasi ini terjadi karena kurang terampilnya
praktikan saat melakukan sterilisasi dan banyaknya eksplan yang tidak mampu
tumbuh akibat kerusakan sel saat sterilisasi berlangsung. Faktor lain yang
berperan pada rendahnya tingkat pertumbuhan kalus pada eksplan adalah media
yang digunakan. Media yang digunakan kemungkinan memiliki efek inhibitor dan
kekurangan ZPT. Efek inhibitor diakibatkan oleh agar-agar yang digunakan
sebagai bahan pemadat media. Dewasa ini diketahui bahwa agar-agar berpotensi
mengandung senyawa inhibitor androgenesis, sehingga eksplan tidak akan mampu
berkembang baik menjadi kalus maupun tunas. Pada pembentukan kalus zat
pengatur tumbuh yang diperlukan adalah dari golongan sitokinin. Kemampuan
anter untuk membentuk kalus juga dipengaruhi oleh jenis eksplan dari anter yang
masih muda atau telah matang. Anter yang telah matang lebih cepat membentuk
kalus.
Keberhasilan kultur anter ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satunya
adalah umur pada saat anter dikulturkan. Warna anter dapat digunakan sebagai
penanda umur fisiologi bunga.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kultur anther merupakan salah satu teknik kultur In Vitro yang dapat
mempercepat perolehan galur murni melaui tanaman haploid. Salah satu faktor
yang mempengaruhi keberhasilan kultur anter adalah umur anter, oleh karena itu,
munculnya kalus tercepat terjadi pada bunga papaya berukuran besar. Pada
praktikum ini tidak diperoleh tunas. Anter yang tua mempunyai tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi
B. Saran
Praktikan hendaknya lebih memerhatikan kebersihan dalam melaksanakan
praktikum di laboratorium karena kemampuan praktikan dalam sterilisasi dalam
kultur anther masih rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Bersama Memicu Perbaikan Padi Hibrida. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Vol. 28 No. 5 2006. Balai besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor
http://www.pustaka-deptan.go.id/ [10 Januari 2010]

Bakhtiar. 2007. Penapisan Galur Padi Gogo (Oryza sativa L.) Hasil KulturAntera
Untuk Ketengganan Aluminium dan Ketahanan Terhadap Penyakit Blas.
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Dewi,I.S., 2003. Peranan Fisiologis Poliamiin dalam Regenerasi Tanaan pada


Kultur Antera Padi (Oryza sativa L.). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor

Dewi, I.S., Purwoko, B.S., Aswidinnoor H., dkk. 2004. Kultur Antera Padi pada
Beberapa Formulasi Media yang Mengandung Poliamin.. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor
dalam Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol. 9, No. 1, 2004, pp. 14-19
http://www.pustaka-deptan.go.id [10 Januari 2010]

Prihatman, Kemal. 2000. Pepaya (Carica papaya, L). Jakarta. Sistem Informasi
Manajemen Pembangunan di Pedesaan, BAPPENAS.

Sasmita, P. 2001. Klutur Antera Padi Gogo dan F1 Terpilih (Hasil Persilangan
Kultivar Dengan Aksesi Toleran Naungan). Tesis. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Suhartini, Tintin. 2004. Perbaikan Varietas Padi untuk Lahan Keracunan Fe.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian, Bogor. dalam Buletin Plasma Nutfah Vol. 10 No. 1 Th. 2004
http://indoplasma.or.id [10 Januari 2010]

You might also like