You are on page 1of 20

Pendahuluan

Hingga saat ini di indonesia masih terdapat 4 masalah gizi utama yaitu KKP (Kurang
Kalori Protein), Kurang vitamin A, Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) dan kurang zat
besi yang disebut Anemia Gizi.
Sampai saat ini salah satu masalah yang belum nampak menunjukkan titik terang
keberhasilan penanggulangannya adalah masalah kekurangan zat besi atau dikenal dengan
sebutan anemia gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling umum dijumpai
terutama di negaranegara sedang berkembang. Anemia gizi pada umumnya dijumpai pada
golongan rawan gizi yaitu ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, anak sekolah, anak pekerja
atau buruh yang berpenghasilan rendah.
Prevalensi anemia gizi yang tinggi pada anak sekolah membawa akibat negatif yaitu
rendahnya kekebalan tubuh sehingga menyebabkan tingginya angka kesakitan. Dengan
demikian konsekuensi fungsional dari anemia gizi menyebabkan menurunnya kualitas
sumber daya manusia.
Khusus pada anak balita, keadaan anemia gizi secara perlahan lahan akan
menghambat pertumbuhan dan perkambangan kecerdasan, anak anak akan lebihmudah
terserang penyakit karena penurunan daya tahan tubuh, dan hal ini tentu akan melemahkan
keadaan anak sebagai generasi penerus.
Penyebab utama anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup dan absorbsi
zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang
kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia
yang diderita pada daerahdaerah tertentu terutama daerah pedesaan. Anemia gizi juga
dipengaruhi oleh faktorfaktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola
makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor
tersebut saling berkaitan.
Selama ini upaya penanggulangan anemia gizi masih difokuskan pada sasaran ibu
hamil, sedangkan kelompok lainnya seperti bayi, anak balita, anak sekolah dan buruh
berpenghasilan rendah belum ditangani. Padahal dampak negatif yang ditumbuhkan anemia
gizi pada anak balita sangatlah serius, karena mereka sedang dalam tumbuh kembang yang
cepat, yang nantinya akan berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasannya. Mengingat
mereka adalah penentu dari tinggi rendahnya kualitas pemuda dan bangsa kelak.
Penganganan sedini mungkin sangatlah berarti bagi kelangsungan pembangunan.1

Pembahasan

1.1 Definisi
Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam
darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan.
Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis kelamin, seperti yang terlihat di dalam
tabel di bawah ini.1
Kelompok
Anak

Umur
6 bulan s/d 6 tahun
6 tahun s/d 14 tahun
Dewasa
Laki-laki
Wanita
Wanita hamil
Tabel 1. Batas normal Kadar Hemoglobin

Hemoglobin
11
12
13
12
11

Salah satu bentuk anemia yang paling sering dijumpai, terutama di daerah
tropis atau di daerah dunia ketiga, karena sangat berkaitan erat dengan taraf ekonomi,
adalah anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan
besi tubuh sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada
akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ditandai oleh besi serum
menurun, TIBC (total iron binding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun,
feritin serum neurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif, dan adanya respon
terhadap pengobatan dengan preparat besi.
Kriteria anemia yang digunakan di Indonesia adalah:
Hemoglobin <10g/dL
Hemtokrit <30%
Eritrosit <2,8 juta/mm3
Defisiensi besi merupakan hasil dari absorpsi besi yang tidak adekuat dalam
mengakomodasi peningkatan kebutuhan semasa pertumbuhan ataupun hasil dari
balans negatif besi jangka panjang. Kedua situasi tersebut menyebabkan penurunan
cadangan besi.2
Keadaan defisiensi besi dapat disertai ataupun tidak dengan anemia defisiensi
besi.
Seorang anak yang mula-mula berada di dalam keseimbangan besi kemudian
menuju ke keadaan anemia defisiensi besi akan melalui 3 stadium yaitu:
Stadium I: Hanya ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam depot.
Keadaan ini dinamakan stadium deplesi besi. Pada stadium ini baik kadar besi
di dalam serum maupun kadar hemoglobin masih normal. Kadar besi di dalam
depot dapat ditentukan dengan pemeriksaan sitokimia jaringan hati atau
sumsum tulang. Disamping itu kadar feritin/saturasi transferin di dalam
serumpun dapat mencerminkan kadar besi di dalam depot.
Stadium II: Mulai timbul bila persediaan besi hampir habis. Kadar besi di
dalam serum mulai menurun tetapi kadar hemoglobin di dalam darah masih
normal. Keadaan ini disebut stadium defisiensi besi.
2

Stadium III: Keadaan ini disebut anemia defisiensi besi. Stadium ini ditandai
oleh penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH, MCHC disamping penurunan
kadar feritin dan kadar besi di dalam serum.
Hasil penelitian di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM menunjukkan
bahwa 75% dari 47 anak yang mempunyai kadar hemoglobin normal, sudah
memperlihatkan kekurangan besi yaitu 1 anak berada dalam stadium-I dan 34 anak
berada dalam stadium II. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa 115 dari 383
murid sekolah dasar yang mempunyai kadar hemoglobin normal, telah menunjukkan
penurunan kadar besi dalam serumnya.3
1.2 Metabolisme besi
Zat besi merupakan unsur kelumit (trace element) terpenting bagi manusia.
Besi dengan konsentrasi tinggi terdapat dalam sel darah merah, yaitu sebagai bagian
dari molekul hemoglobin yang menyangkut oksigen dari paruparu. Hemoglobin akan
mengangkut oksigen ke selsel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa,
lemak dan protein menjadi energi (ATP). Besi juga merupakan bagian dari sistem
enzim dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip Hemoglobin yang terdapat di dalam
selsel otot. Mioglobin akan berkaitan dengan oksigen dan mengangkutnya melalui
darah ke selsel otot. Mioglobin yang berkaitan dengan oksigen inilah menyebabkan
daging dan otototot menjadi berwarna merah. Di samping sebagai komponen
Hemoglobin dan mioglobin, besi juga merupakan komponen dari enzim oksidase
pemindah energi, yaitu : sitokrom paksidase, xanthine oksidase, suksinat dan
dehidrogenase, katalase dan peroksidase.
1.2.1

Zat besi dalam tubuh


Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu yang fungsional dan
yang reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam bentuk
Hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk myoglobin, dan jumlah yang
sangat kecil tetapi vital adalah hem enzim dan non hem enzim
Zat besi yang ada dalam bentuk reserve tidak mempunyai fungsi fisiologi
selain daripada sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi kalau dibutuhkan untuk
kompartmen fungsional. Apabila zat besi cukup dalam bentuk simpanan, maka
kebutuhan akan eritropoiesis (pembentukan sel darah merah) dalam sumsum
tulang akan selalu terpenuhi. Dalam keadaan normal, jumlah zat besi dalam
bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat besi yang ada
dalam tubuh. Zat besi yang disimpan sebagai reserve ini, berbentuk feritin dan
hemosiderin, terdapat dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Pada keadaan tubuh
memerlukan zat besi dalam jumlah banyak, misalnya pada anak yang sedang
tumbuh (balita), wanita menstruasi dan wanita hamil, jumlah reserve biasanya
rendah.
Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan, maka
kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu ditambahkan kepada jumlah zat besi
yang dikeluarkan lewat basal.

Dalam memenuhi kebutuhan akan zat gizi, dikenal dua istilah kecukupan
(allowance) dan kebutuhan gizi (requirement). Kecukupan menunjukkan
kecukupan rata rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut
golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Sedangkan kebutuhan gizi menunjukkan banyaknya zat
gizi minimal yang diperlukan masing masing individu untuk hidup sehat. Dalam
kecukupan sudah dihitung faktor variasi kebutuhan antar individu, sehingga
kecukupan kecuali energi, setingkat dengan kebutuhan ditambah dua kali
simpangan baku. Dengan demikian kecukupan sudah mencakup lebih dari 97,5%
populasi.
Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan perlu
ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal. Kebutuhan zat
besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang dewasa apabila
dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah 1 tahun, dan
anak berumur 6 16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama banyaknya dengan
laki laki dewasa. Tetapi berat badannya dan kebutuhan energi lebih rendah
daripada laki laki dewasa. Untuk dapat memenuhi jumlah zat besi yang
dibutuhkan ini, maka bayi dan remaja harus dapat mengabsorbsi zat besi yang
lebih banyak per 1000 kcal yang dikonsumsi.
Kebutuhan zat besi pada anak balita dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Umur

Kebutuhan

0 6 bulan
7 12 bulan
1 3 tahun
4 6 tahun

3 mg
5 mg
8 mg
9 mg

Tabel 2. Kebutuhan Zat Besi Anak Balita


1.2.2

Zat besi dalam makanan


Dalam makanan terdapat 2 macam zat besi yaitu besi heme dan besi non
hem. Besi non hem merupakan sumber utama zat besi dalam makanannya.
Terdapat dalam semua jenis sayuran misalnya sayuran hijau, kacang kacangan,
kentang dan sebagian dalam makanan hewani. Sedangkan besi hem hampir semua
terdapat dalam makanan hewani antara lain daging, ikan, ayam, hati dan organ
organ lain.

1.2.3

Metabolisme zat besi


Untuk menjaga badan supaya tidak anemia, maka keseimbangan zat besi
di dalam badan perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diartikan bahwa jumlah
zat besi yang dikeluarkan dari badan sama dengan jumlah besi yang diperoleh
badan dari makanan. Suatu skema proses metabolisme zat besi untuk
mempertahankan keseimbangan zat besi di dalam badan, dapat dilihat pada skema
di bawah ini :
4

Skema 1. Proses metabolisme besi pada tubuh


Setiap hari turn over zat besi ini berjumlah 35 mg, tetapi tidak semuanya
harus didapatkan dari makanan. Sebagian besar yaitu sebanyak 34 mg didapat dari
penghancuran sel sel darah merah tua, yang kemudian disaring oleh tubuh untuk
dapat dipergunakan lagi oleh sumsum tulang untuk pembentukan sel sel darah
merah baru. Hanya 1 mg zat besi dari penghancuran sel sel darah merah tua
yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air kencing.
Jumlah zat besi yang hilang lewat jalur ini disebut sebagai kehilangan basal (iron
basal losses).
1.2.4

Penyerapan zat besi


Absorbsi zat besi dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu:
- Kebutuhan tubuh akan besi, tubuh akan menyerap sebanyak yang
dibutuhkan. Bila besi simpanan berkurang, maka penyerapan besi akan
meningkat.
- Rendahnya asam klorida pada lambung (kondisi basa) dapat menurunkan
penyerapan Asam klorida sehingga akan mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+
yang lebih mudah diserap oleh mukosa usus.
- Adanya vitamin C gugus SH (sulfidril) dan asam amino sulfur dapat
meningkatkan absorbsi karena dapat mereduksi besi dalam bentuk ferri
menjadi ferro. Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi besi dari makanan
melalui pembentukan kompleks ferro askorbat. Kombinasi 200 mg asam
askorbat dengan garam besi dapat meningkatkan penyerapan besi sebesar 25
- 50%.
- Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentuknya kompleks
besi fosfat yang tidak dapat diserap.
- Adanya fitat juga akan menurunkan ketersediaan Fe
5

- Protein hewani dapat meningkatkan penyerapan Fe


- Fungsi usus yang terganggu, misalnya diare dapat menurunkan penyerapan
Fe.
- Penyakit infeksi juga dapat menurunkan penyerapan Fe
Zat besi diserap di dalam duodenum dan jejunum bagian atas melalui
proses yang kompleks. Proses ini meliputi tahap tahap utama sebagai berikut :
Besi yang terdapat di dalam bahan pangan, baik dalam bentuk Fe3+ atau
Fe2+ mula mula mengalami proses pencernaan.
Di dalam lambung Fe3+ larut dalam asam lambung, kemudian diikat oleh
gastroferin dan direduksi menjadi Fe2+
Di dalam usus Fe2+ dioksidasi menjadi FE3+. Fe3+ selanjutnya berikatan
dengan apoferitin yang kemudian ditransformasi menjadi feritin,
membebaskan Fe2+ ke dalam plasma darah.
Di dalam plasma, Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ dan berikatan dengan
transferitin. Transferitin mengangkut Fe2+ ke dalam sumsum tulang untuk
bergabung membentuk hemoglobin. Besi dalam plasma ada dalam
keseimbangan.
Transferrin mengangkut Fe2+ ke dalam tempat penyimpanan besi di dalam
tubuh (hati, sumsum tulang, limpa, sistem retikuloendotelial), kemudian
dioksidasi menjadi Fe3+. Fe3+ ini bergabung dengan apoferritin
membentuk ferritin yang kemudian disimpan, besi yang terdapat pada
plasma seimbang dengan bentuk yang disimpan.
Pada bayi, absorbsi zat besi dari ASI meningkat dengan bertambah tuanya
umur bayi. Perubahan ini terjadi lebih cepat pada bayi yang lahir prematur dari
pada bayi yang lahir cukup bulan. Jumlah zat besi akan terus berkurang apabila
susu diencerkan dengan air untuk diberikan kepada bayi.
Walaupun jumlah zat besi dalam ASI rendah, tetapi absorbsinya paling
tinggi. Sebanyak 49% zat besi dalam ASI dapat diabsorbsi oleh bayi. Sedangkan
susu sapi hanya dapat diabsorbsi sebanyak 10 12% zat besi. Kebanyakan susu
formula untuk bayi yang terbuat dari susu sapi difortifikasikan dengan zat besi.
Rata rata besi yang terdapat diabsorbsi dari susu formula adalah 4%.
Pada waktu lahir, zat besi dalam tubuh kurang lebih 75 mg/kg berat badan,
dan reserve zat besi kira kir 25% dari jumlah ini. Pada umur 6 8 minggu,
terjadi penurunan kadar Hb dari yang tertinggi pada waktu lahir menjadi rendah.
Hal ini disebabkan karena ada perubahan besar pada sistem erotropoiesis sebagai
respon terhadap deliveri oksigen yang bertambah banyak kepada jaringan kadar
Hb menurun sebagai akibat dari penggantian sel sel darah merah yang
diproduksi sebelum lahir dengan sel sel darah merah baru yang diproduksi
sendiri oleh bayi. Persentase zat besi yang dapat diabsorbsi pada umur ini rendah
karena masih banyaknya reserve zat besi dalam tubuh yang dibawah sejak lahir.
Sesudah umur tersebut, sistem eritropoesis berjalan normal dan menjadi lebih
efektif. Kadar Hb naik dari terendah 11 mg/100 ml menjadi 12,5 g/100 ml, pada
bulan bulan terakhir masa kehidupan bayi.
6

Bayi yang lahir dengan BBLR mempunyai reverse zat besi yang lebih
rendah dari bayi yang normal yang lahir dengan berat badan cukup, tetapi rasio zat
besi terhadap berat badan adalah sama. Bayi ini lebih cepat tumbuhnya dari pada
bayi normal, sehingga reserve zat besi lebih cepat bisa habis. Oleh sebab itu
kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi
BBLR mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9
bulan kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal.
Prevalensi anemia yang tinggi pada anak balita umumnya disebabkan
karena makanannya tidak cukup banyak mengandung zat besi sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhannya, terutama pada negara sedang berkembang dimana
serelia dipergunakan sebagai makanan pokok. Faktor budaya juga berperanan
penting, bapak mendapat prioritas pertama mengkonsumsi bahan makanan
hewani, sedangkan anak dan ibu mendapat kesempatan yang belakangan. Selain
itu erat yang biasanya terdapat dalam makanannya turut pula menghambat
absorbsi zat besi.1
1.3 Epidemiologi
Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan
awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan
dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari
makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu
ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan
besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada
remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB . Angka kejadian
anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada
bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8%
dan 48,1%.4
1.4 Etiologi
Penyebab anemia defisiensi besi menurut umur yaitu:1,4
Bayi kurang dari 1 tahun
- Cadangan besi kurang, a.l. karena bayi berat lahir rendah, prematuritas,
lahir kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah
besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan.
- Alergi protein susu sapi
Anak umur 1-2 tahun
- Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum
susu murni berlebih.
- Obesitas
- Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis.
- Malabsorbsi
Anak umur 2-5 tahun
7

Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis


heme atau minum susu berlebihan.
- Obesitas
- Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis baik bakteri, virus
ataupun parasit).
- Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel / poliposis
dsb).
Anak umur 5 tahun-remaja
- Kehilangan berlebihan akibat perdarahan(a.l infestasi cacing tambang)
- Menstruasi berlebihan pada remaja puteri.

Selain itu, anemia gizi pada bayi dan anak juga dapat diakibatkan absorpsi
yang kurang (diare menahun, kelainan saluran pencernaan), kebutuhan besi yang
meningkat terutama pada NKB dan saat akil balik.
Dapat disimpulkan, penyebab kekurangan zat besi yaitu:
pengadaan zat besi yang tidak cukup
absorpsi kurang
kebutuhan yang meningkat
kehilangan darah

Skema 2. Penyebab anemia


1.5 Patofisiologi
Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga
diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat dalam
enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan

oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang
khas (asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi.
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi
(feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya
kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat
besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang
diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunya kadar feritin serum.
Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Hb.
Menurut Bothwell dalam Soemantri (1982) perkembangan terjadinya anemia
gizi digambarkan sebagai berikut:

Skema 3. Perkembangan tingkat terjadinya anemia gizi


Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan
konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan keadaan
simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah
akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan anemia gizi bila kadar feritin
serumnya <12 ng/ml. Hal yang perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum
normal tidak selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal karena status besi
yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin.1
Perubahan gambaran darah tepi pada anemia defisiensi besi:
Perubahan eritrosit mulai terlihat saat kadar Hb di bawah 10 g/dL. Awalnya
eritrosit menjadi mikrositik, dengan bentuk dan kandungan hemoglobin yang
masih normal.

Saat kadar Hb di antara 9 11 g/dL penurunan ukuran eritrosit (MCV)


ekuivalen dengan berkurangnya hemoglobin (MCH) sehingga eritrosit terlihat
mikrositik dengan sedikit/tidak hipokromik (MCHC relatif tidak berubah).
Selain itu, anisositosis dan poikilositosis juga mulai tampak.
Saat kadar Hb kurang dari 9 g/dL eritrosit terlihat mikrositik hipokrom.
Morfologi sel semakin tidak teratur (poikilositosis) yang merupakan tanda
peningkatan stimulasi eritropoietin, tetapi eritropoiesis yang terjadi tidak
efektif (eritropoiesis inefektif). Selain itu, dapat ditemukan sel pensil, yaitu
eritrosit dengan kandungan Hb yang rendah sehingga sel kolaps dan menjadi
pipih.

Gambar 1. Perubahan morfologi darah pada anemia defisiensi besi

1.6 Pengaruh anemia pada balita


1.6.1 Terhadap kekebalan tubuh (imunitas seluler dan humoral)
Kekurangan zat besi dalam tubuh dapat lebih meningkatkan kerawanan
terhadap penyakit infeksi. Seseorang yang menderita defisiensi besi (terutama
balita) lebih mudah terserang mikroorganisme, karena kekurangan zat besi
berhubungan erat dengan kerusakan kemampuan fungsional dari mekanisme
kekebalan tubuh yang penting untuk menahan masuknya penyakit infeksi.
10

1.6.2

Imunitas humoral
Peranan sirkulasi antibodi sampai sekarang dianggap merupakan
pertahanan utama terhadap infeksi, dan hal ini dapat didemonstrasikan pada
manusia. Pada manusia kemampuan pertahanan tubuh ini berkurang pada orangorang yang menderita defisiensi besi.
Ditemukan bahwa jumlah produksi antibodi menurun sesudah imunisasi
dengan tetanus toksoid, dan penurunan ini secara proporsional sesuai dengan
penurunan jumlah, zat besi dalam diet. Penurunan titer antibodi tampak lebih erat
hubungannya dengan indikator konsumsi zat besi, daripada dengan pemeriksaan
kadar hemoglobin, kadar besi dalam serum atau feritin, atau berat badan.

1.6.3

Fagositosis
Faktor penting lainnya dalam aspek defisiensi besi adalah aktivitas
fungsional sel fagositosis. Dalam hal ini, defisiensi besi dapat mengganggu sintesa
asam nukleat mekanisme seluler yang membutuhkan metaloenzim yang
mengandung Fe.Sel-sel sumsum tulang dari penderita kurang besi mengandung
asam nukleat yang sedikit dan laju inkorporasi (3H) thymidin menjadi DNA
menurun.
Kerusakan ini dapat dinormalkan dengan terapi besi. Sebagai tambahan,
kurang tersedianya zat besi untuk enzim nyeloperoksidase menyebabkan
kemampuan sel ini membunuh bakteri menurun.
Anak-anak yang menderita defisiensi besi menyebabkan persentase
limfosit T menurun, dan keadaan ini dapat diperbaiki dengan suplementasi besi.
Menurunnya produksi makrofag juga dilaporkan oleh beberapa peneliti. Secara
umum sel T, di mana limfosit berasal, berkurang pada hewan dan orang yang
menderita defisiensi besi. Terjadi penurunan produksi limfosit dalam respons
terhadap mitogen, dan ribonucleotide reductase juga menurun. Semuanya ini
dapat kembali normal setelah diberikan suplemen besi.

1.6.4

Terhadap kemampuan intelektual


Telah banyak penelitian dilakukan mengenai hubungan antara keadaan
kurang besi dan dengan uji kognitif. Walaupun ada beberapa penelitian
mengemukakan bahwa defisiensi besi kurang nyata hubungannya dengan
kemunduran intelektual tetapi banyak penelitian membuktikan bahwa defisiensi
besi mempengaruhi pemusnahan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ) , dan prestasi
belajar di sekolah. Dengan memberikan intervensi besi maka nilai kognitif
tersebut naik secara nyata.1

1.7 Gejala Klinis


Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik.
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu
penurunan kadar feritin/saturasi transferin serum dan kadar besi serum. Pada ADB
gejala klinis terjadi secara bertahap. Kekurangan zat besi di dalam otot jantung
menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas otot organ tersebut.
11

Pasien ADB akan menunjukkan peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya


disertai dengan gangguan konversi tiroksin menjadi triodotiroksin. Penemuan ini
dapat menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang
berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB.
Anak yang menderita ADB lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi
besi dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T
yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah benda
tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain-lain, timbul
sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman ini
disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang
mengandung besi berkurang.
Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa permukaan yang
kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped
nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB. Pada
saluran pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses
epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan
memperlihatkan permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut
memperlihatkan stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus ADB.3
1.8 Diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan adanya anemia dan
penurunan kadar besi di dalam serum. Tidak terdapat pemeriksaan tunggal yang dapat
menggambarkan status kadar besi pada anak. Pemeriksaan Hb sebagai tolak ukur
status besi bersifat tidak spesifik dan tidak sensitive. Hb yang rendah dapat
diakibatkan oleh gangguan eritopoesis ataupun perdarahan kronik (gangguan genetic,
infeksi kronik). Defisiensi asam folat dan B12 juga dapat mengakibatkan rendahnya
konsentrasi Hb.
Untuk mengidentifikasi defisiensi besi ataupun anemia defisiensi besi, selain
pengukuran Hb diperlukan juga pengukuran status besi. Akan tetapi, jika diagnosa
anemia defisiensi telah ditegakkan, maka konsentrasi Hb dapat dijadikan tolak ukur
yang baik akan respon individu terhadap pengobatan.5
Cara lain dengan pemeriksaan sitokimia jaringan hati atau sumsum tulang,
tetapi cara ini sangat invasif.
Pada daerah dengan fasilitas laboratorium yang terbatas, beberapa pedoman
untuk menduga adanya anemia defisiensi yaitu:
(1) adanya riwayat factor predisposisi dan faktor etiologi
(2) pada pemeriksaan fisik hanya terdapat gejala pucat tanpa perdarahan atau
organomegali
(3) adanya anemia hipokromik mikrositer,
(4) adanya respons terhadap pemberian senyawa besi3
Pemeriksaan laboratorium untuk anemia defisiensi besi yaitu:
- Hapus darah tepi
Hapusan darah tepi menunjukkan gambaran sel darah merah yang
hipokrom mikrositik. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi,
12

yang ditandai dengan peningkatan RDW (red cell distribution width). Dan
pada penggabungan MCV, MCH, MCHC, dan RDW makin meningkatkan
spesifitas indeks eritrosit, dimana indeks eritrosit sudah dapat mengalami
perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun.

Gambar 2. Hapusan darah tepi pada anemia defisiensi besi


-

Besi serum dan TIBC (total iron binding capacity)


Level besi serum menunjukkan jumlah besi yang berikatan dengan
transferin yang disirkulasi. Nilai normal untuk besi antara 50-150 g/dL,
nilai normal untuk TIBC adalah 300-360 g/dL. Saturasi transferin
normalnya 25-50%. Status defisiensi besi dikaitkan dengan level saturasi
<18%.
Feritin serum
Besi bersifat toksik untuk sel, dan tubuh telah membentuk mekanisme
proteksi untuk mengikat besi dalam berbagai kompartmen jaringan. Dalam
sel, besi disimpan secara kompleks terhadap protein sebagai feritin atau
hemosiderin. Apoferitin mengikat besi ferosus bebas dan menyimpannya
dalam status ferric. Setelah feritin terakumulasi dalam sel dari system RE,
agregasi protein dibentuk sebagai hemosiderin. Besi dalam feritin atau
hemosiderin dapat diekstraksi dan dilepaskan oleh RE sel, meskipun
hemosiderin kurang tersedia. Dalam kondisi mapan, level feritin serum
dihubungkan dengan penyimpanan total besi tubuh, sehingga level feritin
serum merupakan tes laboratorium yang paling sesuai untuk
memperkirakan cadangan besi. Nilai normal untuk feritin beragam
bergantung usia dan jenis kelamin dari individu. Pria dewasa memiliki
nilai feritin sekitar 100 g/L sedangkan wanita dewasa memiliki nilai
sekitar 30 g/L.
Pada anemia defisiensi besi, dijumpai penurunan feiritin serum, dengan cut
off point <12 g/L yang memiliki sensitivitas dan spesifitas 68% dan 98%.
Namun, konsentrasi feritin serum dapat normal atau bahkan meningkat
pada penyakit inflamasi atau keganasan, seperti pada penyakit rematoid
feritin serum sampai defisiensi besi. Begitu juga pada penyakit hati,
13

dimana penyimpanan feritin di hati dapat dilepas setelah kerusakan


hepatoselular, yang akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi feritin
serum. Angka feritin serum dia atas 100 mg/dL dapat memastikan tidak
adanya defisiensi besi.
Akibat hal ini, penilaian ferum seritin membutuhkan pemeriksaan CRP (Creactive protein) untuk mengeliminasi inflamasi dan infeksi.5
CHr (Reticulosyte Hemoglobin Content)
Retikulosit merupakan eritrosit yang paling awal dilepas ke aliran darah
oleh sumsum tulang pada hari ke 1 dan ke 2 saat terjadi defisiensi besi.
CHr menjadi indicator paling awal dari keterbatasan besi pada eritropoesis
karena dapat menilai deifisiensi besi pada masa akut dimana kadar feritin
dapat masih normal ataupun meningkat.
CHr merupakan predictor paling kuat untuk defisiensi besi pada anak.
Akan tetapi, CHr tidak dapat menilai kadar cadangan besi di sumsum
tulang.
Evaluasi cadangan besi di sumsum tulang
Meskipun penyimpanan besi RE sel dapat dinilai dari pewarnaan besi dari
aspirasi sumsum tulang atau biopsy, pengukuran feritin serum telah
menggantikan aspirasi sumsum tulang dalam menilai cadangan besi.
Level feritin serum adalah indicator yang lebih baik untuk kelebihan besi
dibandingkan pewarnaan besi sumsum tulang. Meskipun demikian,
pewarnaan besi sumsum tulang memiliki informasi mengenai hantaran
efektif dari besi dalam menghasilkan eritroblast. Normalnya, ketika
hapusan sumsum tulang diwarnai untuk besi, 20-40% menghasilkan
eritroblas (sideroblast) memiliki granul feritin pada sitoplasmanya.
Pada defisiensi besi, aspirasi sumsum tulang dapat menunjukkan
hyperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan normoblas kecilkecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tidak teratur.

Tabel 3. Penilaian cadangan besi


-

Level sel merah protoporfirin


Protoporfirin adalah perantara dalam jalur sintesis heme. Pada kondisi
dimana sintesis heme terganggu, protoporfirin terakumulasi dalam sel
merah. Hal ini mencerminkan hantaran besi ke prekusor eritroid tidak
adekuat untuk mensistesis hemoglobin. Nilai normal adalah <30g/dL dari
sel darah merah. Pada defisiensi besi, nilai >100 g/dL dapat terlihat.
Penyebab paling sering dari peningkatan level sel merah protoporfirin
14

adalah defisiensi besi yang absolute atau relative dan menghasilkan


peracunan.
Level serum transferring receptor protein
Karena sel eritroid memiliki jumlah tertinggi dari reseptor transferin pada
permukaan sel manapun di tubuh, dan karena transferring receptor protein
(TRP) dilepaskan oleh sel ke sirkulasi, level serum TRP mencerminkan
total massa eritroid sumsum tulang. Kondisi lain dimana level TRP
meningkat adalah pada defisiensi besi absolute. Nilai normal adalah 49g/dL dinilai dengan immunoassay.2

Menurut standar American Pediatric Society, untuk menegakkan diagnose anemia


defisiensi besi setelah Hb diketahui <11g/dL yaitu dengan:
Feritin serum disertai CRP test; atau dengan
Pengukuran CHr
Cara lain untuk menegakkan diagnose pada anak dengan anemia ringan (Hb
10-11g/dL) adalah dengan memonitor respon pada pemberian suplemen besi,
terutama jika pada riwayat gizi terdapat indikasi defisiensi besi. Peningkatan
konsentrasi Hb sebesar 1g/dL setelah pemberian suplemen terapetik selama 1 bulan
signifikan dengan anemia defisiensi besi.5

1.9 Diagnosa Banding

Table 4. Diagnosis anemia mikrositik


Selain dari defisiensi besi, hanya 3 kondisi yang perlu ditimbangkan dalam
mendiagnosa banding dari anemia hipokrom mikrositer. Yang pertama adalah defek
keturunan pada sintesa rantai globin : Thalasemia. Hal ini dibedakan dari defisiensi
besi dan nilai besi serum, normal atau meningkat level besi serum dan saturasi
ternasferin merupakan karakteritik thalassemia. Kondisi kedua adalah anemia pada
penyakit kronis dengan hantaran besi yang tidak adekuat ke eritroid sumsum tulang.
Perbedaan antara anemia defisiensi besi sesungguhnya dan anemia penyakit kronis,
umumnya anemia pada inflamasi kronik adalah normokrom normositer. Nilai besi
juga menjelaskan diagnose banding karena level feritin normal atau meningkat dan
persentase saturasi tranferin dan TIBC biasanya di bawah normal. Yang terakhir,
15

sindroma myelodisplatik. Pasien dengan myelodisplasia memiliki sintesa hemoglobin


yang buruk dengan disfungsi mitokondrial, menghasilkan penggaungan besi yang
buruk menjadi heme. Nilai cadangan besi juga normal dan hantaran ke sumsum tulang
lebih adekuat, meskipun hipokrim mikrositik.2
1.10

Penatalaksanaan
Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus segera
dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Penanganan anak dengan anemia
defisiensi besi yaitu:2-4
Mengatasi faktor penyebab
Pemberian preparat besi

1.10.1 Oral
Pengobatan terdiri atas pemberian preparat besi secara oral berupa garam
fero (sulfat, glukonat, fumarat dan lain-lain), pengobatan ini tergolong murah dan
mudah dibandingkan dengan cara lain.
- Pada bayi dan anak, dapat diberikan secara oral berupa besi elemental
dengan dosis 3-6 mg/kgBB/hari sebelum makan atau 5 mg/kgBB setelah
makan dibagi dalam 2 dosis (30 menit sebelum sarapan pagi dan makan
malam). Penyerapan akan lebih sempurna jika diberikan sewaktu perut
kosong. Penyerapan akan lebih sempurna lagi bila diberikan bersama asam
askorbat atau asam suksinat. Bila diberikan setelah makan atau sewaktu
makan, penyerapan akan berkurang hingga 40-50%. Namun mengingat
efek samping pengobatan besi secara oral berupa mual, rasa tidak nyaman
di ulu hati, dan konstipasi, maka untuk mengurangi efek samping tersebut
preparat besi diberikan segera setelah makan.
- Pemberian vitamin C 2X50 mg/hari untuk meningkatkan absorbsi besi.
- Diberikan sampai 2-3 bulan sejak Hb kembali normal
- Pemberian asam folat 2X 5-10 mg/hari untuk meningkatkan aktifitas
eritropoiesis
- Hindari makanan yang menghambat absorpsi besi (teh, susu murni, kuning
telur, serat) dan obat seperti antasida dan kloramfenikol.
- Banyak minum untuk mencegah terjadinya konstipasi (efek samping
pemberian preparat besi)
Sediaan oral dapat berupa sirup (15mg/5mL), oral drops (15mg/mL), dan
tablet (115,4mg).
1.10.2 Parenteral
Indikasi:
- Adanya malabsorbsi
- Membutuhkan kenaikan kadar besi yang cepat (pada pasien yang
menjalani dialisis yang memerlukan eritropoetin)
- Intoleransi terhadap pemberian preparat besi oral
Cara pemberian parenteral jarang digunakan karena dapat memberikan
efek samping berupa demam, mual, ultikaria, hipotensi, nyeri kepala, lemas,
16

artralgia, bronkospasme sampai reaksi anafilatik. Respons pengobatan mulamula tampak pada perbaikan besi intraselular dalam waktu 12-24 jam.
Hiperplasi seri eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu 36-48
jam yang ditandai oleh retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam,
yang mencapai puncak dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan
didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan cadangan besi terpenuhi 1-3
bulan setelah pengobatan. Untuk menghindari adanya kelebihan besi maka
jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari 5 bulan.
Untuk menghitung jumlah kebutuhan besi, dapat digunakan rumus:

1.10.3 Transfusi darah


Transfusi darah hanya diberikan sebagai pengobatan tambahan bagi
pasien ADB dengan Hb 6 g/dl atau kurang karena pada kadar Hb tersebut
risiko untuk terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi gangguan
fisiologis. Transfusi darah diindikasikan pula pada kasus ADB yang disertai
infeksi berat, dehidrasi berat atau akan menjalani operasi besar/ narkose. Pada
keadaan ADB yang disertai dengan gangguan/kelainan organ yang berfungsi
dalam mekanisme kompensasi terhadap anemia yaitu jantung (penyakit arteria
koronaria atau penyakit jantung hipertensif ) dan atau paru (gangguan ventilasi
dan difusi gas antara alveoli dan kapiler paru), maka perlu diberikan transfusi
darah. Komponen darah berupa suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara
bertahap dengan tetesan lambat.
Telah dikemukakan di atas salah satu penyebab defisiensi besi ialah
kurang gizi. Besi di dalam makanan dapat berbentuk Fe-heme dan non-heme.
Besi non-heme yang antara lain terdapat di dalam beras, bayam, jagung,
gandum, kacang kedelai berada dalam bentuk senyawa ferri yang harus diubah
dulu di dalam lambung oleh HCL menjadi bentuk ferro yang siap untuk
diserap di dalam usus. Penyerapan Fe-non heme dapat dipengaruhi oleh
komponen lain di dalam makanan. Fruktosa, asam askorbat (vitamin C), asam
klorida dan asam amino memudahkan absorbsi besi sedangkan tanin (bahan di
dalam teh), kalsium dan serat menghambat penyerapan besi. Berbeda dengan
bentuk non-heme, absorpsi besi dalam bentuk heme yang antara lain terdapat
di dalam ikan, hati, daging sapi, lebih mudah diserap. Disini tampak bahwa
bukan hanya jumlah yang penting tetapi dalam bentuk apa besi itu diberikan.3
Respons terapi besi pada anemia defisiensi besi sebaiknya dievalusi
pada minggu ke-3 atau 4 untuk menilai adanya respons terapi. Jika tidak ada
respons (peningkatan Hb kurang dari 1 g/dL dalam 1 bulan), evaluasi lebih
lanjut sebelum memutuskan untuk meneruskan terapi. Secara umum, respons
tubuh terhadap terapi besi adalah perbaikan gejala klinis, peningkatan
retikulosit, peningkatan kadar Hb, lalu peningkatan kadar serum besi, dan
terakhir pengisian cadangan besi (ferritin).

17

Gejala klinis: Sakit kepala, lelah, pika, parestesia, rasa terbakar pada mukosa
orofaring berkurang dalam beberapa hari.5
Retikulosit: Retikulosit mulai meningkat pada hari ke-3, puncaknya pada hari
ke-9 dan 10 (retikulosit 4-10%).1 Respons retikulosit tidak signifikan pada
anemia ringan.5
Kadar Hb: Hb sedikit meningkat pada 2 minggu pertama, setelah itu laju
peningkatan Hb menjadi lebih cepat. Dalam 4-5 minggu terapi besi, kadar Hb
sudah dapat mencapai setengah jalan menuju nilai rujukan. Di akhir bulan ke2 atau lebih cepat, kadar Hb sudah mencapai nilai rujukan.5
Saat kadar Hb sudah di antara 10-12 g/dL, laju peningkatan Hb menjadi lebih
lambat karena perbaikan anemia akan menurunkan stimulasi eritropoietin.
Pada tahap ini meningkatkan dosis terapi tidak mempercepat peningkatan Hb
dan menurunkan dosis dapat membantu menjaga kepatuhan minum obat.4
Tujuan terapi tidak hanya mengoreksi anemia, tetapi juga mengisi cadangan
besi 0,5-1 g yang dicapai dengan pemberian besi hingga 6 bulan kemudian
setelah kadar Hb normal.

1.11

Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka
diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut
dapat berupa:
Pendidikan kesehatan
o Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehigga dpaat
mencegah penyakit cacing tambang
o Tentang gizi dan jenis makanan yang mengandung kadar besi yang
tinggi dan absorpsi yang lebih baik misalnya ikan, hati dan daging.
o Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu
absorbsi besi
o Kandungan besi dalam ASI lebih rendah dibandingkan dengan susu
sapi tetapi penyerapan/bioavailabilitasnya lebih tinggi (50%). Oleh
karena itu pemberian ASI ekslusif perlu digalakkan dengan pemberian
suplementasi besi dan makanan tambahan sesuai usia.
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarajan kronik
paling banyak dijumpai di daerah tropic. Pengendalian infeksi cacing tambang
dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan antihelmentik dan
perbaikan sanitasi
Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk
rentan seperti ibu hamil, dan anak balita
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan
makanan. Di Negara Barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti
atau bubuk susu dengan besi.2,4

18

Tabel 5. Refrensi suplemen besi anak IDAI


1.12

Prognosis
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam

: Bonam
: bonam
: Bonam

Daftar Pustaka

19

1. Wahyuni Arlinda Sari. Anemia defisiensi besi pada balita. 2004. Universitas Sumatera
Utara: Fakultas Kedokteran USU bagian Ilmu Kesehatan Komunitas
2. Lubis Dian Anita. Anemia defisiensi besi. 2011. Universitas Sumatera Utara:
Fakultas Kedokteran USU Divisi Hemato Onkologi Medik
3. Abdulsalam Maria, Daniel Albert. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan anemia
defisiensi besi. 2002. Sari Pediatri vol 4 no 2: 74-7
4. Windiastuti Endang. IDAI: Anemia Defisiensi besi pada anak dan balita. 2013.
Diunduh
dari:
http://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/anemiadefisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak.html 10 Januari 2014
5. Robert D. Baker, Frank R. Greer, The Committee on Nutrition. Diagnosis and
Prevention of Iron Deficiency and Iron-Deficiency Anemia in Infants and Young
Children
(0
-3
Years
of
Age).
2010.
Diunduh
dari
http://pediatrics.aappublications.org/content/126/5/1040.full.html 10 Januari 2014

20

You might also like