Professional Documents
Culture Documents
Hingga saat ini di indonesia masih terdapat 4 masalah gizi utama yaitu KKP (Kurang
Kalori Protein), Kurang vitamin A, Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) dan kurang zat
besi yang disebut Anemia Gizi.
Sampai saat ini salah satu masalah yang belum nampak menunjukkan titik terang
keberhasilan penanggulangannya adalah masalah kekurangan zat besi atau dikenal dengan
sebutan anemia gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling umum dijumpai
terutama di negaranegara sedang berkembang. Anemia gizi pada umumnya dijumpai pada
golongan rawan gizi yaitu ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, anak sekolah, anak pekerja
atau buruh yang berpenghasilan rendah.
Prevalensi anemia gizi yang tinggi pada anak sekolah membawa akibat negatif yaitu
rendahnya kekebalan tubuh sehingga menyebabkan tingginya angka kesakitan. Dengan
demikian konsekuensi fungsional dari anemia gizi menyebabkan menurunnya kualitas
sumber daya manusia.
Khusus pada anak balita, keadaan anemia gizi secara perlahan lahan akan
menghambat pertumbuhan dan perkambangan kecerdasan, anak anak akan lebihmudah
terserang penyakit karena penurunan daya tahan tubuh, dan hal ini tentu akan melemahkan
keadaan anak sebagai generasi penerus.
Penyebab utama anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup dan absorbsi
zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang
kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia
yang diderita pada daerahdaerah tertentu terutama daerah pedesaan. Anemia gizi juga
dipengaruhi oleh faktorfaktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola
makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor
tersebut saling berkaitan.
Selama ini upaya penanggulangan anemia gizi masih difokuskan pada sasaran ibu
hamil, sedangkan kelompok lainnya seperti bayi, anak balita, anak sekolah dan buruh
berpenghasilan rendah belum ditangani. Padahal dampak negatif yang ditumbuhkan anemia
gizi pada anak balita sangatlah serius, karena mereka sedang dalam tumbuh kembang yang
cepat, yang nantinya akan berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasannya. Mengingat
mereka adalah penentu dari tinggi rendahnya kualitas pemuda dan bangsa kelak.
Penganganan sedini mungkin sangatlah berarti bagi kelangsungan pembangunan.1
Pembahasan
1.1 Definisi
Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam
darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan.
Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis kelamin, seperti yang terlihat di dalam
tabel di bawah ini.1
Kelompok
Anak
Umur
6 bulan s/d 6 tahun
6 tahun s/d 14 tahun
Dewasa
Laki-laki
Wanita
Wanita hamil
Tabel 1. Batas normal Kadar Hemoglobin
Hemoglobin
11
12
13
12
11
Salah satu bentuk anemia yang paling sering dijumpai, terutama di daerah
tropis atau di daerah dunia ketiga, karena sangat berkaitan erat dengan taraf ekonomi,
adalah anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan
besi tubuh sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada
akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ditandai oleh besi serum
menurun, TIBC (total iron binding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun,
feritin serum neurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif, dan adanya respon
terhadap pengobatan dengan preparat besi.
Kriteria anemia yang digunakan di Indonesia adalah:
Hemoglobin <10g/dL
Hemtokrit <30%
Eritrosit <2,8 juta/mm3
Defisiensi besi merupakan hasil dari absorpsi besi yang tidak adekuat dalam
mengakomodasi peningkatan kebutuhan semasa pertumbuhan ataupun hasil dari
balans negatif besi jangka panjang. Kedua situasi tersebut menyebabkan penurunan
cadangan besi.2
Keadaan defisiensi besi dapat disertai ataupun tidak dengan anemia defisiensi
besi.
Seorang anak yang mula-mula berada di dalam keseimbangan besi kemudian
menuju ke keadaan anemia defisiensi besi akan melalui 3 stadium yaitu:
Stadium I: Hanya ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam depot.
Keadaan ini dinamakan stadium deplesi besi. Pada stadium ini baik kadar besi
di dalam serum maupun kadar hemoglobin masih normal. Kadar besi di dalam
depot dapat ditentukan dengan pemeriksaan sitokimia jaringan hati atau
sumsum tulang. Disamping itu kadar feritin/saturasi transferin di dalam
serumpun dapat mencerminkan kadar besi di dalam depot.
Stadium II: Mulai timbul bila persediaan besi hampir habis. Kadar besi di
dalam serum mulai menurun tetapi kadar hemoglobin di dalam darah masih
normal. Keadaan ini disebut stadium defisiensi besi.
2
Stadium III: Keadaan ini disebut anemia defisiensi besi. Stadium ini ditandai
oleh penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH, MCHC disamping penurunan
kadar feritin dan kadar besi di dalam serum.
Hasil penelitian di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM menunjukkan
bahwa 75% dari 47 anak yang mempunyai kadar hemoglobin normal, sudah
memperlihatkan kekurangan besi yaitu 1 anak berada dalam stadium-I dan 34 anak
berada dalam stadium II. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa 115 dari 383
murid sekolah dasar yang mempunyai kadar hemoglobin normal, telah menunjukkan
penurunan kadar besi dalam serumnya.3
1.2 Metabolisme besi
Zat besi merupakan unsur kelumit (trace element) terpenting bagi manusia.
Besi dengan konsentrasi tinggi terdapat dalam sel darah merah, yaitu sebagai bagian
dari molekul hemoglobin yang menyangkut oksigen dari paruparu. Hemoglobin akan
mengangkut oksigen ke selsel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa,
lemak dan protein menjadi energi (ATP). Besi juga merupakan bagian dari sistem
enzim dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip Hemoglobin yang terdapat di dalam
selsel otot. Mioglobin akan berkaitan dengan oksigen dan mengangkutnya melalui
darah ke selsel otot. Mioglobin yang berkaitan dengan oksigen inilah menyebabkan
daging dan otototot menjadi berwarna merah. Di samping sebagai komponen
Hemoglobin dan mioglobin, besi juga merupakan komponen dari enzim oksidase
pemindah energi, yaitu : sitokrom paksidase, xanthine oksidase, suksinat dan
dehidrogenase, katalase dan peroksidase.
1.2.1
Dalam memenuhi kebutuhan akan zat gizi, dikenal dua istilah kecukupan
(allowance) dan kebutuhan gizi (requirement). Kecukupan menunjukkan
kecukupan rata rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut
golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Sedangkan kebutuhan gizi menunjukkan banyaknya zat
gizi minimal yang diperlukan masing masing individu untuk hidup sehat. Dalam
kecukupan sudah dihitung faktor variasi kebutuhan antar individu, sehingga
kecukupan kecuali energi, setingkat dengan kebutuhan ditambah dua kali
simpangan baku. Dengan demikian kecukupan sudah mencakup lebih dari 97,5%
populasi.
Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan perlu
ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal. Kebutuhan zat
besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang dewasa apabila
dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah 1 tahun, dan
anak berumur 6 16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama banyaknya dengan
laki laki dewasa. Tetapi berat badannya dan kebutuhan energi lebih rendah
daripada laki laki dewasa. Untuk dapat memenuhi jumlah zat besi yang
dibutuhkan ini, maka bayi dan remaja harus dapat mengabsorbsi zat besi yang
lebih banyak per 1000 kcal yang dikonsumsi.
Kebutuhan zat besi pada anak balita dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Umur
Kebutuhan
0 6 bulan
7 12 bulan
1 3 tahun
4 6 tahun
3 mg
5 mg
8 mg
9 mg
1.2.3
Bayi yang lahir dengan BBLR mempunyai reverse zat besi yang lebih
rendah dari bayi yang normal yang lahir dengan berat badan cukup, tetapi rasio zat
besi terhadap berat badan adalah sama. Bayi ini lebih cepat tumbuhnya dari pada
bayi normal, sehingga reserve zat besi lebih cepat bisa habis. Oleh sebab itu
kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi
BBLR mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9
bulan kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal.
Prevalensi anemia yang tinggi pada anak balita umumnya disebabkan
karena makanannya tidak cukup banyak mengandung zat besi sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhannya, terutama pada negara sedang berkembang dimana
serelia dipergunakan sebagai makanan pokok. Faktor budaya juga berperanan
penting, bapak mendapat prioritas pertama mengkonsumsi bahan makanan
hewani, sedangkan anak dan ibu mendapat kesempatan yang belakangan. Selain
itu erat yang biasanya terdapat dalam makanannya turut pula menghambat
absorbsi zat besi.1
1.3 Epidemiologi
Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan
awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan
dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari
makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu
ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan
besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada
remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB . Angka kejadian
anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada
bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8%
dan 48,1%.4
1.4 Etiologi
Penyebab anemia defisiensi besi menurut umur yaitu:1,4
Bayi kurang dari 1 tahun
- Cadangan besi kurang, a.l. karena bayi berat lahir rendah, prematuritas,
lahir kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah
besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan.
- Alergi protein susu sapi
Anak umur 1-2 tahun
- Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum
susu murni berlebih.
- Obesitas
- Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis.
- Malabsorbsi
Anak umur 2-5 tahun
7
Selain itu, anemia gizi pada bayi dan anak juga dapat diakibatkan absorpsi
yang kurang (diare menahun, kelainan saluran pencernaan), kebutuhan besi yang
meningkat terutama pada NKB dan saat akil balik.
Dapat disimpulkan, penyebab kekurangan zat besi yaitu:
pengadaan zat besi yang tidak cukup
absorpsi kurang
kebutuhan yang meningkat
kehilangan darah
oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang
khas (asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi.
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi
(feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya
kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat
besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang
diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunya kadar feritin serum.
Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Hb.
Menurut Bothwell dalam Soemantri (1982) perkembangan terjadinya anemia
gizi digambarkan sebagai berikut:
1.6.2
Imunitas humoral
Peranan sirkulasi antibodi sampai sekarang dianggap merupakan
pertahanan utama terhadap infeksi, dan hal ini dapat didemonstrasikan pada
manusia. Pada manusia kemampuan pertahanan tubuh ini berkurang pada orangorang yang menderita defisiensi besi.
Ditemukan bahwa jumlah produksi antibodi menurun sesudah imunisasi
dengan tetanus toksoid, dan penurunan ini secara proporsional sesuai dengan
penurunan jumlah, zat besi dalam diet. Penurunan titer antibodi tampak lebih erat
hubungannya dengan indikator konsumsi zat besi, daripada dengan pemeriksaan
kadar hemoglobin, kadar besi dalam serum atau feritin, atau berat badan.
1.6.3
Fagositosis
Faktor penting lainnya dalam aspek defisiensi besi adalah aktivitas
fungsional sel fagositosis. Dalam hal ini, defisiensi besi dapat mengganggu sintesa
asam nukleat mekanisme seluler yang membutuhkan metaloenzim yang
mengandung Fe.Sel-sel sumsum tulang dari penderita kurang besi mengandung
asam nukleat yang sedikit dan laju inkorporasi (3H) thymidin menjadi DNA
menurun.
Kerusakan ini dapat dinormalkan dengan terapi besi. Sebagai tambahan,
kurang tersedianya zat besi untuk enzim nyeloperoksidase menyebabkan
kemampuan sel ini membunuh bakteri menurun.
Anak-anak yang menderita defisiensi besi menyebabkan persentase
limfosit T menurun, dan keadaan ini dapat diperbaiki dengan suplementasi besi.
Menurunnya produksi makrofag juga dilaporkan oleh beberapa peneliti. Secara
umum sel T, di mana limfosit berasal, berkurang pada hewan dan orang yang
menderita defisiensi besi. Terjadi penurunan produksi limfosit dalam respons
terhadap mitogen, dan ribonucleotide reductase juga menurun. Semuanya ini
dapat kembali normal setelah diberikan suplemen besi.
1.6.4
yang ditandai dengan peningkatan RDW (red cell distribution width). Dan
pada penggabungan MCV, MCH, MCHC, dan RDW makin meningkatkan
spesifitas indeks eritrosit, dimana indeks eritrosit sudah dapat mengalami
perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun.
Penatalaksanaan
Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus segera
dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Penanganan anak dengan anemia
defisiensi besi yaitu:2-4
Mengatasi faktor penyebab
Pemberian preparat besi
1.10.1 Oral
Pengobatan terdiri atas pemberian preparat besi secara oral berupa garam
fero (sulfat, glukonat, fumarat dan lain-lain), pengobatan ini tergolong murah dan
mudah dibandingkan dengan cara lain.
- Pada bayi dan anak, dapat diberikan secara oral berupa besi elemental
dengan dosis 3-6 mg/kgBB/hari sebelum makan atau 5 mg/kgBB setelah
makan dibagi dalam 2 dosis (30 menit sebelum sarapan pagi dan makan
malam). Penyerapan akan lebih sempurna jika diberikan sewaktu perut
kosong. Penyerapan akan lebih sempurna lagi bila diberikan bersama asam
askorbat atau asam suksinat. Bila diberikan setelah makan atau sewaktu
makan, penyerapan akan berkurang hingga 40-50%. Namun mengingat
efek samping pengobatan besi secara oral berupa mual, rasa tidak nyaman
di ulu hati, dan konstipasi, maka untuk mengurangi efek samping tersebut
preparat besi diberikan segera setelah makan.
- Pemberian vitamin C 2X50 mg/hari untuk meningkatkan absorbsi besi.
- Diberikan sampai 2-3 bulan sejak Hb kembali normal
- Pemberian asam folat 2X 5-10 mg/hari untuk meningkatkan aktifitas
eritropoiesis
- Hindari makanan yang menghambat absorpsi besi (teh, susu murni, kuning
telur, serat) dan obat seperti antasida dan kloramfenikol.
- Banyak minum untuk mencegah terjadinya konstipasi (efek samping
pemberian preparat besi)
Sediaan oral dapat berupa sirup (15mg/5mL), oral drops (15mg/mL), dan
tablet (115,4mg).
1.10.2 Parenteral
Indikasi:
- Adanya malabsorbsi
- Membutuhkan kenaikan kadar besi yang cepat (pada pasien yang
menjalani dialisis yang memerlukan eritropoetin)
- Intoleransi terhadap pemberian preparat besi oral
Cara pemberian parenteral jarang digunakan karena dapat memberikan
efek samping berupa demam, mual, ultikaria, hipotensi, nyeri kepala, lemas,
16
artralgia, bronkospasme sampai reaksi anafilatik. Respons pengobatan mulamula tampak pada perbaikan besi intraselular dalam waktu 12-24 jam.
Hiperplasi seri eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu 36-48
jam yang ditandai oleh retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam,
yang mencapai puncak dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan
didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan cadangan besi terpenuhi 1-3
bulan setelah pengobatan. Untuk menghindari adanya kelebihan besi maka
jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari 5 bulan.
Untuk menghitung jumlah kebutuhan besi, dapat digunakan rumus:
17
Gejala klinis: Sakit kepala, lelah, pika, parestesia, rasa terbakar pada mukosa
orofaring berkurang dalam beberapa hari.5
Retikulosit: Retikulosit mulai meningkat pada hari ke-3, puncaknya pada hari
ke-9 dan 10 (retikulosit 4-10%).1 Respons retikulosit tidak signifikan pada
anemia ringan.5
Kadar Hb: Hb sedikit meningkat pada 2 minggu pertama, setelah itu laju
peningkatan Hb menjadi lebih cepat. Dalam 4-5 minggu terapi besi, kadar Hb
sudah dapat mencapai setengah jalan menuju nilai rujukan. Di akhir bulan ke2 atau lebih cepat, kadar Hb sudah mencapai nilai rujukan.5
Saat kadar Hb sudah di antara 10-12 g/dL, laju peningkatan Hb menjadi lebih
lambat karena perbaikan anemia akan menurunkan stimulasi eritropoietin.
Pada tahap ini meningkatkan dosis terapi tidak mempercepat peningkatan Hb
dan menurunkan dosis dapat membantu menjaga kepatuhan minum obat.4
Tujuan terapi tidak hanya mengoreksi anemia, tetapi juga mengisi cadangan
besi 0,5-1 g yang dicapai dengan pemberian besi hingga 6 bulan kemudian
setelah kadar Hb normal.
1.11
Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka
diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut
dapat berupa:
Pendidikan kesehatan
o Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehigga dpaat
mencegah penyakit cacing tambang
o Tentang gizi dan jenis makanan yang mengandung kadar besi yang
tinggi dan absorpsi yang lebih baik misalnya ikan, hati dan daging.
o Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu
absorbsi besi
o Kandungan besi dalam ASI lebih rendah dibandingkan dengan susu
sapi tetapi penyerapan/bioavailabilitasnya lebih tinggi (50%). Oleh
karena itu pemberian ASI ekslusif perlu digalakkan dengan pemberian
suplementasi besi dan makanan tambahan sesuai usia.
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarajan kronik
paling banyak dijumpai di daerah tropic. Pengendalian infeksi cacing tambang
dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan antihelmentik dan
perbaikan sanitasi
Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk
rentan seperti ibu hamil, dan anak balita
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan
makanan. Di Negara Barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti
atau bubuk susu dengan besi.2,4
18
Prognosis
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam
: Bonam
: bonam
: Bonam
Daftar Pustaka
19
1. Wahyuni Arlinda Sari. Anemia defisiensi besi pada balita. 2004. Universitas Sumatera
Utara: Fakultas Kedokteran USU bagian Ilmu Kesehatan Komunitas
2. Lubis Dian Anita. Anemia defisiensi besi. 2011. Universitas Sumatera Utara:
Fakultas Kedokteran USU Divisi Hemato Onkologi Medik
3. Abdulsalam Maria, Daniel Albert. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan anemia
defisiensi besi. 2002. Sari Pediatri vol 4 no 2: 74-7
4. Windiastuti Endang. IDAI: Anemia Defisiensi besi pada anak dan balita. 2013.
Diunduh
dari:
http://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/anemiadefisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak.html 10 Januari 2014
5. Robert D. Baker, Frank R. Greer, The Committee on Nutrition. Diagnosis and
Prevention of Iron Deficiency and Iron-Deficiency Anemia in Infants and Young
Children
(0
-3
Years
of
Age).
2010.
Diunduh
dari
http://pediatrics.aappublications.org/content/126/5/1040.full.html 10 Januari 2014
20