You are on page 1of 3

A number of acute and chronic conditions can lead to the mouth breathing

pattern. Acute conditions included infectious processes and the introduction


of foreign bodies. Chronic conditions include choanal atresia, adenoid
hypertrophy, chronic tonsil hypertrophy, nasal septum deformity, nose
fracture, allergic rhinitis (and respective medication), polyps, tumors, and
narrow nasal cavities. In order to avoid bias in the results of the present
investigation, children in use of systemic medication for the treatment of the
airways and those with orthodontic or orthopedic appliances on the maxillae
were excluded from the study. However, non-reported chronic conditions
could have led to the mouth-breathing pattern in the children evaluated.
Considering the aim of the study, the researchers did not seek to establish
the reason for the habit, but rather its presence or absence.
Bruxism was the least prevalent habit in the present study and was not
associated with mouth breathing. While few studies have been carried out on
this subject, Serra-Negra et al. (2010) report a high prevalence rate of this
habit (33.0%), Carra et al. (2011) assessed the prevalence and risk factor of
sleep-related bruxism and wake-time tooth clenching in a population ranging
from 7 17 years of age who sought orthodontic treatment. The results
indicate that sleep-time and wake-time parafunctions are often associated
with signs and symptoms of temporomandibular disorder, sleep problems and
behavioral problems and therefor merit attention during dental evaluation.
One limitation of the present study was the failure to evaluate the presence
of of snoring, which is reported to be common in children. The repercussions
of snoring are mainly related to cognitive development and high blood
pressure. Moreover, snoring may be common in individuals with the habit of
bruxism.
In general, the presence of such habits can compromise the stomatognathic
system. A study involving both the children and adults sought to determine
associations between parafunctional habits and the emergence of
temporomandibular disorder through the evaluation of the frequency of
diurnal bruxism and nail biting, the results of which demonstrated that the
female gender was at significant risk for myofascial pain. Another study with
the same line of reasoning found that parafunctional habits were associated
to important symptoms of orofacial pain, indicating that such habits are risk
factors for temporomandibular disorder. A study with a 20-year follow up
found that parafunctional habits can be persistent, as Angle class II
malocclusion and tooth wear in childhood were predictors of incised tooth
wear in adulthood. These findings underscore the importance of the early
diagnosis of harmful oral habitsproer intervention in order to avoid future
consequences involving the orofacial region.

Sejumlah kondisi akut dan kronis dapat mengarah pada pola pernapasan
mulut. Kondisi akut termasuk proses infeksi dan masuknya benda asing.
Termasuk kondisi kronis adalah choanal atresia, hipertrofi adenoid, hipertrofi
tonsil kronis, deformitas septum nasal, fraktur hidung, rhinitis alergis dan
medikasinya, polip, tumor dan rongga nasal yang sempit. Untuk menghindari
bias dalam hasil penyelidikan ini, anak dalam penggunaan obat sistemik
untuk pengobatan saluran pernafasan dan pasien dengan peralatan
ortodontik atau ortopedi di maksila itu disingkirkan dari penelitian.
Walaubagaimanapun, kondisi kronis lain yang tidak dilaporkan mungkin bisa
menyebabkan pola mouth-breathing pada anak yang dievaluasi.
Mempertimbangkan tujuan penelitian, para peneliti tidak berusaha
menegakkan alasan kebiasaan, tetapi keberadaan-tidaknya.
Bruksism adalah yang paling tidak lazim kebiasaan dalam penelitian ini dan
tidak berhubungan dengan mouth-breathing. Beberapa penelitian telah
dilaksanakan tentang hal ini, Serra-Negra dkk (2010) melaporkan prevalansi
yang tinggi untuk kebiasaan buruk ini (33.0%), Carra dkk (2011) menilai
prevalensi dan factor risiko yang berhubungan dengan bruksism waktu tidur
dan teeth clenching pada waktu terjaga dalam populasi berkisar antara 7-17
tahun yang mengunjungi dokter gigi untuk perawatan ortodontik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa parafungsi waktu tidur maupun waktu
bangun sering dikaitkan dengan tanda-tanda dan gejala gangguan
temporomandibular, masalah tidur dan masalah perilaku dan oleh karena itu
pasien harus mendapat perhatian pada saat evaluasi gigi.
Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah kegagalan untuk mengevaluasi
keberadaan mendengkur, yang dilaporkan sering terjadi pada anak. Dampak
dari mendengkur amat terkait dengan perkembangan kognitif dan tekanan
darah tinggi. Selain itu, mendengkur mungkin umum pada individu dengan
kebiasaan bruksism.
Secara umum, keberadaan kebiasaan tersebut dapat membahayakan sistem
stomatognatik. Sebuah studi yang melibatkan anak-anak dan orang dewasa
berusaha untuk menentukan hubungan antara kebiasaan parafungsional dan
munculnya gangguan temporomandibular melalui evaluasi frekuensi
bruksism diurnal dan menggigit kuku, dimana hasilnya menunjukkan bahwa
perempuan berada di risiko yang signifikan untuk nyeri miofasial. Studi lain
dengan penalaran yang sama menemukan bahwa kebiasaan parafungsional
dikaitkan dengan gejala penting dari nyeri orofasial, menunjukkan bahwa
kebiasaan bruksism tersebut merupakan faktor risiko untuk gangguan
temporomandibular. Sebuah studi dengan follow-up 20 menemukan bahwa
kebiasaan parafungsional bisa persisten, seperti kelas II Angle maloklusi dan
keausan gigi di masa kecil merupakan prediktor keausan gigi insisal pada
masa dewasa. Temuan ini meunjukkan pentingnya diagnosis dini sebagai

intervensi untuk menghindarkan dampak masa depan yang melibatkan


daerah orofasial.

You might also like