Professional Documents
Culture Documents
KATA-KATASULIT
1. Nyeri somatoform : kumulan gangguan dengan gejala fisik dimana tidak ditemukan penjelasan
medis.
2. Insomnia: gangguan tidur dengan ditandai dengan tidak bias tidur
3. Nyeri kepala tipe tegang : serangan kepala bberulang yang berlangsung dalam beberapa menit
sampai hari dengan sifat nyeri tertekan,diikat,bilateral dan tidak dippicu aktivitas fisik.
PERTANYAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
JAWABAN
1. Nyeri kepala primer : Migraine, vertigo, tension type headache,cluster type headache
Nyeri kepala sekunder: akibat trauma dan vascular
2. Ada, arena nyeri kepala berasal dari masalah pasien
3&7Masalah-masalah pasien
4. Asetil salisilat : nyeri kepala
Preparat ergot (ergotamine/dihidrogitamin): nyeri kepala berat
Belegral (kombinasi ergotamine dan as. Salisilat) : nyeri kepala sering
5. Ada, karena ada gangguan psikis
6. Karena tidak ada kelainan pada organnya
8. Keluarga yang harmonis yang senantiasa menaati perintah Allah swt dan Rasul saw dan selalu di
rahmati Allah swt
9. Ada, misalnya muntah, nafsu makan turun
HIPOTESIS
Pasien dengan gangguan psikis menderita sakit kepala berulang ,karena adanya masalah keluarga yang tidak
harmonis, sehingga mengalami insomnia. Kemudian pasienberkonsultasi ke neurology untuk menghilangkan
symptomnya dan ke psikiatri untuk menghilangkan etiologinya. Neurolog mendiagnosa pasien menderita
nyeri kepala tipe tegang dan psikiatre mendeiagnosis pasien mengalami nyeri somatoform oleh karena pasien
tidak ada gangguan organ.
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Penghantaran fisiologi nyeri
1.1 Menjelaskan pusat spesifik nyeri
1.2 Menjelaskan mekanisme penghantaran nyeri
1.3 Menjelaskan jaras spesifik nyeri
2. Memahami dan Menjelaskan Nyeri Kepala
2.1 Menjelaskan Definisi Nyeri Kepala
2.2 Menjelaskan Epidemiologi Nyeri Kepala
2.3 Menjelaskan Etiologi Nyeri Kepala
2.4 Menjelaskan Klasifikasi Nyeri Kepala
2.5 Menjelaskan Patofisiologi Nyeri Kepala
2.6 Menjelaskan Manifestasi Klinis Nyeri Kepala
2.7 Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Nyeri Kepala
2.8 Menjelaskan Penatalaksanaan Nyeri Kepala
2.9 Menjelaskan Komplikasi Nyeri Kepala
2.10 Menjelaskan Prognosis Nyeri Kepala
2.11 Menjelaskan Pencegahan Nyeri Kepala
3. Memahami dan Menjelaskan Bentuk Lain dari Nyeri Somatoform
4. Memahami dan Menjelaskan Nyeri Somatoform
4.1 Menjelaskan Definisi Nyeri Somatoform
4.2 Menjelaskan Epidemiologi Nyeri Somatoform
4.3 Menjelaskan Etiologi Nyeri Somatoform
4.4 Menjelaskan Klasifikasi Nyeri Somatoform
4.5 Menjelaskan Manifestasi Klinis Nyeri Somatoform
4.6 Menjelaskan Diagnosis dan diagnosis Banding Nyeri Somatoform
4.7 Menjelaskan Penatalaksanaan Nyeri Somatoform
4.8Menjelaskan Komplikasi Nyeri Somatoform
4.9 Menjelaskan Pencegahan Nyeri Somatoform
4.10Menjelaskan Prognosis Nyeri Somatoform
5. Memahami dan Menjelaskan Cara Membina Keluarga yang Sakinah, Mawaddah danWarahmah
Protease
Enzim pengurai protein ini dapat mengurai peptida kininogen yang berada di extra
selular sehingga terbentuklah bradikinin. Bradikinin ini kemudian akan terikat dengan
molekul reseptor spesifik untuk mengaktivasi konduksi ion pada nociceptor.
ATP
ATP dapat berikatan langsung dengan ATP Gated Ion Channel sehingga terjadi
depolarisasi pada nociceptor.
K+
Peningkatan K+ extraselular berperan langsung pada depolarisasi membran neuronal.
(Price, 2006)
Jenis Nociceptor
Transportasi stimulus nyeri terjadi pada ujung saraf bebas (FNE), yaitu serat C tanpa
myelin (unmyelinated C Fiber) dan serat A myelin tipis Nociceptor terbagi menjadi
empat jenis, yaitu :
a.
b.
c.
d.
Serat C terkecil (kecepatan konduksi <0.5 m/s) merespon selektif terhadap histamin dan
mempersepsikan rasa gatal.
Hyperalgesia
Nociceptor biasanya hanya merespon saat terjadi stimulus yang cukup kuat untuk
merusak jaringan. Hiperalgesia adalah keadaan dimana kulit, sendi, atau otot yang sudah
terluka menjadi sangat sensitif terhadap stimulus. Sebagai contoh, pada kulit yang sehat,
rasa sentuhan tidak terasa sakit, namun pada kulit yang melepuh rangsang tersebut terasa
sakit.
Hiperalgesia dapat berupa penurunan ambang nyeri, peningkatan intensitas stimulus
nyeri, atau nyeri spontan. Hiperalgesia juga dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Primer : hanya terjadi pada daerah jaringan yang terluka.
b. Sekunder : jaringan yang berada di sekitar jaringan yang terluka juga ikut menjadi
sensitif.
Beberapa zat kimia yang berperan dalam hiperalgesia:
5
Bradikinin
Selain menghasilkan rasa nyeri, bradikinin juga menstimulasi perubahan intracellular
yang berlangsung lama, sehingga channel ion nociceptor menjadi lebih sensitif.
Prostaglandin
Prostaglandin tidak menyebabkan nyeri, melainkan meningkatkan sensitivitas
nociceptor lain.
Substance P
Merupakan substansi yang dihasilkan oleh nociceptor sendiri. Aktivasi salah satu
cabang axon nociceptor dapat menyebabkan sekresi substance P di cabang axon
lainnya. Substance P menyebabkan vasodilatasi dan pelepasan histamin oleh sel mast,
sehingga dapat juga menyebabkan hiperalgesia sekunder.
Axon dari neuron ordo II langsung menyeberang dan menyusuri tractus spinothalamicus.
Serat spinothalamicus berjalan dari corda spinalis kemudian melewati medulla, pons, dan
midbrain tanpa bersinaps sampai mereka mencapai thalamus.
Pada akhirnya, setelah melewati batang otak, axon spinothalamicus berada bersebelahan
dengan lemniscus medialis, namun kedua axon tersebut tetap terpisah satu sama lain.
Informasi sentuhan berjalan secara ipsilateral, sedangkan nyeri berjalan contralateral.
2. Trigeminal Pathway
Informasi suhu dan nyeri yang berasal dari muka dan kepala berjalan melalui jalur ini,
yang mirip dengan spinothalamic pathway.
Serat nervus trigeminal bersinaps pada neuran orde kedua di nucleus trigeminal spinalis
pada batang otak.
Axon tersebut kemudian naik ke thalamus di lemniscus trigeminal.
Sensasi nyeri dan sentuhan sama-sama berakhir di thalamus (Nucleus VP dan
intralaminar) tetapi menempati daerah yang berbeda. Kemudian informasi dari
thalamus tersebut diteruskan ke berbagai daerah pada cortex cerebral.
Regulasi Nyeri
a. Regulasi Aferen
Nyeri yang dihasilkan oleh aktivitas nociceptor dapat dikurangi dengan aktivitas
mechanoreceptor (Serat A) secara bersamaan. Inilah mengapa rasa nyeri pada memar
akan berkurang apabila kita lakukan gerakan memijat.
Gate Theory of Pain
*Tidak ada konflik stimulus
Dapat dilihat pada gambar ini, bahwa stimulus yang dibawa oleh serat C berjalan dengan
lancar (tidak ada hambatan apapun) dan akan sampai pada projection neuron, yang
kemudian akan diteruskan ke otak, menyebabkan sensasi nyeri maksimal.
*Terdapat konflik stimulus. Stimulus nyeri dibawa oleh serat C menuju projection neuron.
Di saat yang sama, stimulus sentuhan (stimulus tidak nyeri) dibawa oleh serat A menuju
projection neuron dan interneuron inhibitorik.
Aktivasi interneuron inhibitorik tersebut akan menghambat projection neuron, sehingga
tidak ada stimulus yang diteruskan ke otak sehingga mengurangi sensasi nyeri yang ada.
7
Namun tidak semua interneuron inhibitorik dapat diaktifkan, sehingga masih terdapat
sensasi nyeri yang diteruskan ke otak. (Barry, 2007)
Regulasi Descendens
Emosi yang kuat atau stres pada seseorang dapat mengurangi atau menghilangkan
rasa nyeri. Telah diketahui bahwa terdapat bagian dari otak yang berperan dalam supresi
nyeri. Salah satunya adalah zona-zona neuron di midbrain, seperti periventricular dan
periaqueductal gray matter (PAG).
Intensitas Nyeri
Gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran
intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas
yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran
dengan metode ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri
(Sherwood, 2004). Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1)
skala
intensitas
nyeri
deskritif
Keterangan
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi).
10 : Nyeri sangat berat (pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul).
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah
garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang
sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diurutkan dari tidak terasa nyeri sampai
nyeri yang tidak tertahankan. Kinisi menunjukkan pasien skala tersebut dan meminta
pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Klinisi juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri. (Price, 2006)
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan
setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm.
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi
verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri
yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.
Faktor yang mempengaruhi nyeri: usia, jenis kelamin, budaya, makna nyeri, perhatian,
ansietas, pengalaman masa lalu, pola adaptasi, support keluarga dan social.
9
Reseptor nyeri
Reseptor nyeri merupakan ujung saraf bebas, terdapat tiga jenis stimulasi yang dapat
merangsanganya yaitu rangsang mekanis, suhu dan kimiawi. Pada umumnya rasa nyeri
cepat diakibatkan mekanik dan suhu, sedangkan rasa lambat diakibatkan stimulan kimia
Reseptor nyeri memiliki sedikit sekali kemampuan untuk beradaptasi , dan bahkan
pada beberapa keadaan dapat terjadi peningkatan intesitas rasa nyeri yang disebut
hiperalgesia . intensitas rasa nyeri juga berhubungan erat dengan derajat kerusakan
jaringan. Ada beberapa stimulus terkait kerusakan jaringan (bukan secara langsung,
dapat timbul sebagai adanya kerusakan jaringan) yang dapat menyebabkan nyeri
Serabut saraf yang datang dari cervical terletak anteromedial (serebut saraf yang
menghantarkan rasa sakit terletak didepan yang menghantarkan sensasi suhu)
o Pada Medulla oblongata tractus tersebut terletak pada dataran lateral antara nucleus
olivarius inferius dengan nucleus tractus spinalis N.Trigeminus. disini ia bergabung
dengan
Tractus spinothalamicus anterius
Tractus spinotectalis
Yang kemudian gabungan dari ketiganya disebut lemniscus spinalis
o Pada pons kemudian naik keatas dibagian belakang pons
o Pada mesencephalon kemudian lemniscus medialis berjalan pada tegmentum ,
lateralis dari lemniscus medialis
o Pada diencephalon serabut saraf dari tractus spinothalamicus lateralis akan bersinapsis
dengan neuron orde ketiga yaitu nucleus posterolateral dari keolompok ventral
thalamus (bagian dari nucleus lateralis thalamus), dimana disini akan terjadi penilaian
kasar sensasi sakit dan suhu dan reaksi emosi mulai timbul.
o Axon dari neuron orde ketiga jalan memasuki crus posterior capsula interna dan
corona radiata untuk berakhi pada gyrus postcentralis (brodmann 3 2 1) . dari sini
informasi rasa sakit dan suhu akan diteruskan ke area motorik dan area asosiasi di
cortex lobus parietalis.
o Cortex cerevri gyrus psotcentralis berfungsi untuk menafsirkan suhu dan sakit
sehingga akan muncul kesadaran terkait sensasi tersbut.
o Pembagian secara fisiologis
Sewaktu memasuki medulla spinalis , sinyal rasa nyeri9 melewati dua jalur ke otak
yaitu:
Traktus neospinotalamikus
Traktus neospinotalamisu bergfungsi utnuk menyalurkan nyeri secara cepat.
Terutama terdiri atas serabut A-Delta yang tyerutama dilalui oleh rasa nyeri
mekanik dan nyeri suhu akut. Serabut perifer jalur ini berakhir pada lamina I
kornu dorsalis. Dan dari sini akan merangsang neuron orde dua dari tractus
neospinotalamicus. Neuron ini akan mengirimkan sinyal ke serabut panjang
yang terletak di dekat sisi lain medulla spinalis dalam komisura anterior dan
selanjutnya berbelok naik ke otak dalam kolumna anterolateralis.
Hanya sebagian kecil saja serabut neopinotalamikus berakhir di daerah
retikularis batang otak, sisaya melewati batang otak dan langsung berakir di
kompleks ventrobasal thalami.
Nyeri cepat dapat dilokalisasi dengan mudah di dalam tubuh
Neurotransmiter A delta umumnya adalah glutamat
Traktus paleospinotalamikus
Jalur ini befungsi untuk menjalarkan nyeri lambat-kronik , sebagian serabutnya
adalah tipe C, sebagian kecil A-delta. Dalam jaras ini, serabut-serabut perifer
berakhri pada lamina II dan II kornu dorsalis yang secara bersama-sama disebut
substansi gelatinosa, serabut C terletak lebih lateral dari A-delta. Setelah itu
akan berlanjut ke lamina V dan neuron-neuronnya merangsang akson-akson
panjang (yang juga menjadi penghantar nyeri cepat) yang mula-mula melewati
komisura anterior ke sisi berlawanan dari medulla spinalis ,kemudian naik ke
otak melalui jaras anterolateral
Neotransmiter nya adalah glutamat dan Substansi P, substansi P bersifat lebih
lambat dari Glutamat yang memungkinkan glutamat untuk sampai terlebih
dahulu. Yang menjelaskan suatu fenomena rasa sakit ganda
11
ocular disease. Selain itu, nyeri kepala ini juga bisa timbul disebabkan kejang, lumbar
punksi dan karena hipertensi ensefalopati.
Bagi nyeri kepala subakut, nyerinya biasa timbul karena giant cell arteritis, massa
intrakranial, neuralgia trigeminal, neuralgia glossofaringeal dan hipertensi.
Nyeri kronik timbul karena migren, nyeri kepala klaster, nyeri kepala tipe-tegang,
cervical spine disease, sinusitis dan dental disease. (Greenberg, 2002).
Dalam buku Disease of the Nervous System, dinyatakan bahwa nyeri kepala juga
disebabkan oleh penyakit pada tulang kranium, neuritis dan neuralgia, irritasi meningeal,
lesi di intracranial, trauma dan penurunan tekanan intracranial. Selain itu cough headache
dan psychogenic headache juga dapat menimbulkan nyeri kepala (Brain, dan Walton, J.N.,
1969). Nyeri kepala sering menyertai OSA(Obstructive Sleep Apnea); dibandingkan dengan
gangguan tidur yang lain, sefalgia lebih sering terjadi pada gangguan tidur OSA. (Gaharu,
M., Prasadja, A., 2009).
Sebagian besar nyeri kepala terjadi karena tegangan (kontraksi otot) dapat disebabkan
oleh:
Stres emosional, kelelahan, menstruasi, rangsangan dari lingkungan (bunyi berisik,
kerumunan banyak orang, cahaya yang terang).
Keadaan lain yang dapat menjadi penyebab: glaukoma, inflamasi pada mata atau mukosa
nasal atau sinus paranasal, penyakit pada kulit kepala, gigi, arteri ekstrakranial,
pemakaian obat-obat vasodilator (nitrat, alkohol dan histamin), penyakit sistemik,
hipertensi, peningkatan tekanan intracranial, trauma/tumor kepala, perdarahan, abses atau
aneurisma intrakranial.(Price, 2006)
2.4 Menjelaskan Klasifikasi Nyeri Kepala
Klasifikasi nyeri kepala menurut International Headache Society (HIS) membagi nyeri
kepala menjadi dua kategori utama.
Nyeri Kepala Primer
a. Migren
b. Tension type Headache
c. Nyeri kepala cluster dan sefalalgia trigeminal-otonomik yang lain
d. Nyeri kepala primer lainnya
Nyeri Kepala Sekunder
a. Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan/atau leher
b. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskuler kranial atau servikal
c. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan non vaskuler intrakranial
d. Nyeri kepala yang berkaitan dengan substansi atau withdrawal nya
e. Nyeri kepala yang berkaitan dengan infeksi
f. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan homeostasis
g. Nyeri kepala atau nyeri vaskuler yang berkaitan dengan kelainan kranium,
leher,mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau struktur facial atau kranial
lainnya.
h. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan psikiatrik
i. Neuralgia kranial, sentral atau nyeri facial primer dan nyeri kepala lainnya
j. Neuralgia kranial clan penyebab sentral nyeri facial
k. Nyeri kepala lainnya, neuralgia kranial, sentral atau nyeri facial primer
13
A. Migren
Definisi Migren
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyeri kepala dengan
serangan nyeri yang berlansung 4 72 jam. Nyeri biasanya unilateral, sifatnya
berdenyut, intensitas nyerinya sedang samapai berat dan diperhebat oleh aktivitas, dan
dapat disertai mual muntah, fotofobia dan fonofobia.
Etiologi dan Faktor Resiko Migren
Etiologi migren adalah sebagai berikut : (1) perubahan hormon (65,1%), penurunan
konsentrasi esterogen dan progesteron pada fase luteal siklus menstruasi, (2) makanan
(26,9%), vasodilator (histamin seperti pada anggur merah, natrium nitrat),
vasokonstriktor (tiramin seperti pada keju, coklat, kafein), zat tambahan pada makanan
(MSG), (3) stress (79,7%), (4) rangsangan sensorik seperti sinar yang terang
menyilaukan(38,1%) dan bau yang menyengat baik menyenangkan maupun tidak
menyenangkan, (5) faktor fisik seperti aktifitas fisik yang berlebihan (aktifitas seksual)
dan perubahan pola tidur, (6) perubahan lingkungan (53,2%), (7) alkohol (37,8%), (7)
merokok (35,7%). Faktor resiko migren adalah adanya riwayat migren dalam keluarga,
wanita, dan usia muda.
Epidemiologi Migren
Migren terjadi hampir pada 30 juta penduduk Amerika Serikat dan 75 % diantaranya
adalah wanita. Migren dapat terjadi pada semua usia tetapi biasanya muncul pada usia 10
40 tahun dan angka kejadiannya menurun setelah usia 50 tahun. Migren tanpa aura
lebih sering diabndingkan migren yang disertai aura dengan persentasi 9 : 1.
Klasifikasi Migren
Migren dapat diklasifikasikan menjadi migren dengan aura, tanpa aura, dan migren
kronik (transformed). Migren dengan aura adalah migren dengan satu atau lebih aura
reversibel yang mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi
batang otak, paling tidak ada satu aura yang terbentuk berangsur angsur lebih dari 4
menit, aura tidak bertahan lebih dari 60 menit, dan sakit kepala mengikuti aura dalam
interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit. Migren tanpa aura adalah migren tanpa
disertai aura klasik, biasanya bilateral dan terkena pada periorbital. Migren kronik adalah
migren episodik yang tampilan klinisnya dapat berubah berbulan- bulan sampai
bertahun- tahun dan berkembang menjadi sindrom nyeri kepala kronik dengan nyeri
setiap hari.
Patofisiologi Migren
Terdapat berbagai teori yang menjelaskan terjadinya migren. Teori vaskular, adanya
gangguan vasospasme menyebabkan pembuluh darah otak berkonstriksi sehingga terjadi
hipoperfusi otak yang dimulai pada korteks visual dan menyebar ke depan. Penyebaran
frontal berlanjuta dan menyebabkan fase nyeri kepala dimulai. Teori cortical spread
depression, dimana pada orang migrain nilai ambang saraf menurun sehingga mudah
terjadi eksitasi neuron lalu berlaku short-lasting wave depolarization oleh pottasiumliberating depression (penurunan pelepasan kalium) sehingga menyebabkan terjadinya
periode depresi neuron yang memanjang. Selanjutnya, akan terjadi penyebaran depresi
yang akan menekan aktivitas neuron ketika melewati korteks serebri.
14
Komplikasi Migren
Komplikasi Migren adalah rebound headache, nyeri kepala yang disebabkan oleh
penggunaan obat obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.
Pencegahan Migren
Pencegahan migren adalah dengan mencegah kelelahan fisik, tidur cukup, mengatasi
hipertensi, menggunakan kacamata hitam untuk menghindari cahaya matahari,
mengurangi makanan (seperti keju, coklat, alkohol, dll.), makan teratur, dan menghindari
stress.
B. Tension Type Headache
Definisi Tension Type Headache (TTH)
Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus menerus otot- otot
kepala
dan
tengkuk
(
M.splenius
kapitis,
M.temporalis,
M.maseter,
M.sternokleidomastoid, M.trapezius, M.servikalis posterior, dan M.levator skapula).
Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH)
Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress, depresi, bekerja
dalam posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata, kontraksi otot yang
berlebihan, berkurangnya aliran darah, dan ketidakseimbangan neurotransmitter seperti
dopamin, serotonin, noerpinefrin, dan enkephalin.
Epidemiologi Tension Type Headache (TTH)
TTH terjadi 78 % sepanjang hidup dimana Tension Type Headache episodik terjadi 63 %
dan Tension Type Headache kronik terjadi 3 %. Tension Type Headache episodik lebih
banyak mengenai pasien wanita yaitu sebesar 71% sedangkan pada pria sebanyak 56 %.
Biasanya mengenai umur 20 40 tahun.
Klasifikasi Tension Type Headache (TTH)
Klasifikasi TTH adalah Tension Type Headache episodik dan dan Tension Type
Headache kronik. Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak
mencapai 15 hari setiap bulan. Tension Type Headache episodik (ETTH) dapat
berlangsung selama 30 menit 7 hari. Tension Type Headache kronik (CTTH) apabila
frekuensi serangan lebih dari 15 hari setiap bulan dan berlangsung lebih dari 6 bulan.
Patofisiologi Tension Type Headache (TTH)
Patofisiologi TTH masih belum jelas diketahui. Pada beberapa literatur dan hasil
penelitian disebutkan beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya TTH
sebagai berikut : (1) disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperan daripada sistem
saraf perifer dimana disfungsi sistem saraf perifer lebih mengarah pada ETTH sedangkan
disfungsi sistem saraf pusat mengarah kepada CTTH, (2) disfungsi saraf perifer meliputi
kontraksi otot yang involunter dan permanen tanpa disertai iskemia otot, (3) transmisi
nyeri TTH melalui nukleus trigeminoservikalis pars kaudalis yang akan mensensitasi
second order neuron pada nukleus trigeminal dan kornu dorsalis ( aktivasi molekul NO)
sehingga meningkatkan input nosiseptif pada jaringan perikranial dan miofasial lalu akan
terjadi regulasi mekanisme perifer yang akan meningkatkan aktivitas otot perikranial.
Hal ini akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter pada jaringan miofasial, (4)
hiperflesibilitas neuron sentral nosiseptif pada nukleus trigeminal, talamus, dan korteks
serebri yang diikuti hipesensitifitas supraspinal (limbik) terhadap nosiseptif. Nilai
16
ambang deteksi nyeri ( tekanan, elektrik, dan termal) akan menurun di sefalik dan
ekstrasefalik. Selain itu, terdapat juga penurunan supraspinal decending pain inhibit
activity, (5) kelainan fungsi filter nyeri di batang otak sehingga menyebabkan kesalahan
interpretasi info pada otak yang diartikan sebagai nyeri, (6) terdapat hubungan jalur
serotonergik dan monoaminergik pada batang otak dan hipotalamus dengan terjadinya
TTH. Defisiensi kadar serotonin dan noradrenalin di otak, dan juga abnormal serotonin
platelet, penurunan beta endorfin di CSF dan penekanan eksteroseptif pada otot temporal
dan maseter, (7) faktor psikogenik ( stres mental) dan keadaan non-physiological motor
stress pada TTH sehingga melepaskan zat iritatif yang akan menstimulasi perifer dan
aktivasi struktur persepsi nyeri supraspinal lalu modulasi nyeri sentral. Depresi dan
ansietas akan meningkatkan frekuensi TTH dengan mempertahankan sensitisasi sentral
pada jalur transmisi nyeri, (8) aktifasi NOS ( Nitric Oxide Synthetase) dan NO pada
kornu dorsalis.
Pada kasus dijumpai adanya stress yang memicu sakit kepala. Ada beberapa teori yang
menjelaskan hal tersebut yaitu (1) adanya stress fisik (kelelahan) akan menyebabkan
pernafasan hiperventilasi sehingga kadar CO2 dalam darah menurun yang akan
mengganggu keseimbangan asam basa dalam darah. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya alkalosis yang selanjutnya akan mengakibatkan ion kalsium masuk ke dalam
sel dan menimbulkan kontraksi otot yang berlebihan sehingga terjadilah nyeri kepala. (2)
stress mengaktifasi saraf simpatis sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah otak
selanjutnya akan mengaktifasi nosiseptor lalu aktifasi aferen gamma trigeminus yang
akan menghasilkan neuropeptida (substansi P). Neuropeptida ini akan merangsang
ganglion trigeminus (pons). (3) stress dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu alarm reaction,
stage of resistance, dan stage of exhausted. Alarm reaction dimana stress menyebabkan
vasokontriksi perifer yang akan mengakibatkan kekurangan asupan oksigen lalu
terjadilah metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob akan mengakibatkan penumpukan
asam laktat sehingga merangsang pengeluaran bradikinin dan enzim proteolitik yang
selanjutnya akan menstimulasi jaras nyeri. Stage of resistance dimana sumber energi
yang digunakan berasal dari glikogen yang akan merangsang peningkatan aldosteron,
dimana aldosteron akan menjaga simpanan ion kalium. Stage of exhausted dimana
sumber energi yang digunakan berasal dari protein dan aldosteron pun menurun sehingga
terjadi deplesi K+. Deplesi ion ini akan menyebabkan disfungsi saraf.
Diagnosa Tension Type Headache (TTH)
Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang kurangnya dua dari
berikut ini : (1) adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas ringan sedang, (3) lokasi
bilateral, (4) tidak diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak dijumpai mual muntah, tidak ada
salah satu dari fotofobia dan fonofobia.
Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan- sedang berat, tumpul seperti ditekan atau
diikat, tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah kulit kepala, oksipital,
dan belakang leher, terjadi spontan, memburuk oleh stress, insomnia, kelelahan kronis,
iritabilitas, gangguan konsentrasi, kadang vertigo, dan rasa tidak nyaman pada bagian
leher, rahang serta temporomandibular.
Pemeriksaan Penunjang Tension Type Headache (TTH): Tidak ada uji spesifik untuk
mendiagnosis TTH dan pada saat dilakukan pemeriksaa neurologik tidak ditemukan
kelainan apapun. TTH biasanya tidak memerlukan pemeriksaan darah, rontgen, CT scan
kepala maupun MRI.
17
peradangan atau aktivitas pembuluh darah abnormal pada daerah ini yang mungkin
terlibat menyebabkan sakit kepala.
Fungsi Abnormal dari Hipotalamus
Serangan cluster biasanya terjadi dengan pengaturan seperti jam 24 jam sehari.
Siklus periode cluster seringkali mengikuti pola musim dalam satu tahun. Pola ini
menunjukkan bahwa jam biologis tubuh ikut terlibat. Pada manusia jam biologis
terletak pada hipotalamus yang berada jauh di dalam otak. Dari banyak fungsi
hipotalamus, bagian ini mengontrol siklus tidur bangun dan irama internal lainnya.
Kelainan hipotalamus mungkin dapat menjelaskan adanya pengaturan waktu dan
siklus pada cluster headache. Penelitian telah menemukan peningkatan aktivitas di
dalam hipotalamus selama terjadinya cluster headache. Peningkatan aktivitas ini
tidak ditemukan pada orang-orang dengan sakit kepala lainnya seperti migraine.
Penelitian juga menemukan bahwa orang-orang yang mempunyai tingkat hormon
tertentu yang abnormal, termasuk melatonin dan testoteron, kadar hormon tersebut
meningkat pada periode cluster. Perubahan hormon-hormon tersebut dipercayai
karena ada masalah pada hipotalamus. Peneliti lainnya menemukan bahwa orangorang dengan cluster headache mempunyai hipotalamus yang lebih besar daripada
mereka yang tidak memiliki cluster headache. Namun masih belum diketahui
mengapa bisa terjadi kelainan-kelainan semacam itu.
setelah salah satu titik balik matahari. Seiring dengan waktu periode cluster dapat
menjadi lebih sering, lebih sulit untuk diramalkan, dan lebih lama.
Selama periode cluster, sakit kepala biasanya terjadi tiap hari, terkadang beberapa kali
sehari. Suatu serangan tunggal rata-rata berlangsung 45 sampai 90 menit. Serangan
terjadi pada waktu yang sama dalam tiap 24 jam. Serangan pada malam hari lebih sering
daripada siang hari, seringkali berlangsung 90 menit sampai 3 jam setelah tertidur. Waktu
tersering terjadinya serangan adalah antara jam satu sampai jam dua pagi, antara jam satu
sampai jam tiga siang dan sekitar jam sembilan malam.
Cluster headache dapat menakutkan penderita serta orang-orang di sekitarnya. Serangan
yang sangat membuat lemah sepertinya tak tertahankan. Namun nyerinya seringkali
hilang mendadak sebagaimana ia di mulai, dengan intensitas yang menurun secara cepat.
Setelah serangan, kebanyakan orang bebas sepenuhnya dari rasa sakit namun mengalami
kelelahan. Kesembuhan sementara selama periode cluster dapat berlangsung beberapa
jam sampai sehari penuh sebelum serangan selanjutnya.
Diagnosis Cluster Headache
Cluster headache mempunyai ciri khas tipe nyeri dan pola serangan. Suatu diagnosis
tergantung kepada gambaran dari serangan, termasuk nyeri, lokasi dan keparahan sakit
kepala, dan gejala-gejala lainnya yang terkait. Frekuensi dan lama waktu terjadinya sakit
kepala juga merupakan faktor yang penting.
Keterlibatan fenomena otonom yang jelas adalah sangat penting pada cluster headache.
Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah rinorea dan hidung tersumbat ipsilateral,
lakrimasi, hiperemi pada konjungtiva, diaforesis pada wajah, edema pada palpebra dan
sindrom Horner parsial atau komplit, takikardia juga sering ditemukan.
Pemeriksaan neurologis dapat membantu untuk mendeteksi tanda-tanda dari cluster
headache. Terkadang pupil terlihat lebih kecil atau palpebra terjatuh bahkan diantara
serangan.
Cluster headache adalah suatu diagnosis klinis, pada kasus-kasus yang jarang lesi
struktural dapat menyerupai gejala-gejala dari cluster headache, menegaskan perlunya
pemeriksaan neuroimaging. Uji yang dilakukan adalah CT- Scan dan MRI.
Diagnosis Banding Cluster Headache
Anisocoria
Atypical Facial Pain
Basilar Artery Thrombosis
Brainstem Gliomas
Cavernous Sinus Syndromes
Chronic Paroxysmal Hemicrania
Craniopharyngioma
Headache: Pediatric Perspective
Intracranial Hemorrhage
Migraine Headache
Migraine Variants
Pituitary Tumors
Postherpetic Neuralgia
Subarachnoid Hemorrhage
21
Pembedahan
Pembedahan di rekomendasikan pada orang-orang dengan cluster headache kronik yang
tidak merespon dengan baik dengan pengobatan atau pada orang-orang yang memiliki
kontraindikasi pada obat-obatan yang digunakan. Seseorang yang akan mengalami
pembedahan hanyalah yang mengalami serangan pada satu sisi kepal saja karena operasi
ini hanya bisa dilakukan satu kali. Orang-orang yang mengalami serangan berpindahpindah dari satu sisi ke sisi yang lain mempunyai resiko kegagalan operasi.
Ada beberapa tipe pembedahan yang dapat dilakukan untuk mengobati cluster headache.
Prosedur yang dilakukan adalah merusak jalur saraf yang bertanggungjawab terhadap
nyeri.
Blok saraf invasif ataupun prosedur bedah saraf non-invasif (contohnya radio frekuensi
pericutaneus, gangliorhizolisis trigeminal, rhizotomi) telah terbukti berhasil mengobati
cluster headache. Namun demikian terjadi efek samping berupa diastesia pada wajah,
kehilangan sensoris pada kornea dan anestesia dolorosa.
Pembedahan dengan menggunakan sinar gamma sekarang lebih sering digunakan karena
kurang invasif. Metode baru dan menjanjikan adalah penanaman elektroda perangsang
dengan menggunakan penunjuk jalan stereostatik di bagian inferior hipotalamus.
Penelitian menunjukkan bahwa perangsangan hipotalamus pada pasien dengan cluster
headache yang parah memberikan kesembuhan yang komplit dan tidak ada efek samping
yang signifikan.
Pencegahan Cluster Headache
Karena penyebab dari cluster headache masih belum diketahui dengan pasti kita belum
bisa mencegah terjadinya serangan pertama. Namun kita dapat mencegah sakit kepala
ulangan yang lebih berat. Penggunaan obat-obat preventif jangka panjang lebih
menguntungkan dari yang jangka pendek. Obat-obat preventif jangka panjang antara lain
adalah penghambat kanal kalsium dan kanal karbonat. Sedangakan yang jangka pendek
termasuk diantaranya adalah kortikosteroid, ergotamin dan obat-obat anestesi lokal.
Menghindari alkohol dan nikotin dan faktor resiko lainnya dapat membantu mengurangi
terjadinya serangan.
Prognosis Cluster Headache
80 % pasien dengan cluster headache berulang cenderung untuk mengalami
serangan berulang.
Cluster headache tipe episodik dapat berubah menjadi tipe kronik pada 4
sampai13 % penderita.
Remisi spontan dan bertahan lama terjadi pada 12 % penderita, terutama pada
cluster headache tipe episodik.
Umumnya cluster headache adalah masalah seumur hidup.
Onset lanjut dari gangguan ini teruama pada pria dengan riwayat cluster headache
tipe episodik mempunyai prognosa lebih buruk.
Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral.
Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit dan kutaneous allodynia didapat pada
penderita yang mendapat serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan
sebagai refleksi pemberatan respons dari neuron trigeminal sentral.
Innervasi sensoris sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari
ganglion terminal dan di dalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptida dimana
jumlah dan peranannya yang paling besar adalah CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide),
kemudian diikuti oleh SP(substance P), NKA(Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase
activating peptide (PACAP), nitric oxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGE2),
bradikinin, serotonin (5-TH) dan edenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi atau
mensensitisasi nosiseptor. Khusus untuk nyeri kepala klaster dan chronic paroxysmal
headache ada lagi pelepasan VIP(vasoactive intestine peptide) yang berperanan dalam
timbulnya gejala nasal congestion dan rhinorrhea.
Marker pain sensing nerves lain yang berperan dalam proses nyeri adalah opiod dynorphin,
sensory neuron-specific sodium channel, purinergic reseptors (P2X3), isolectin B4 (IB4),
neuropeptide Y, galanin dan artemin reseptor.
Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam transmisi dan modulasi
nyeri terletak dibatang otak. Batang otak memainkan peranan yang paling penting sebagai
pembawa impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi
sensoris sebagian besar berpusat di batang otak (misalnya periaquaductal grey matter, locus
coeruleus, nucleus raphe magnus dan formation reticularis), ia mengatur integrasi nyeri,
emosi dan respons otonomik yang melibatkan respons konvergensi kerja dari korteks
somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex dan struktur system limbik yang
lainnya. Dengan demikian batang otak disebut juga sebagai generator dan modulator sefalgia.
Stimuli electrod, atau deposisi zat besi ferum yang berlebihan pada periaquaduct grey (PAG)
matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren. Pada
penelitian MRI (Magnetic Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada
penderita migren, CDH (Chronic Daily Headahe) dan sampel kontrol yang non sefalgi,
didapat bukti adanya peninggian deposisi ferum di PAG pada penderita migren dan CDH
dibandingkan dengan control.
Patofisiologi CDH belum diketahui dengan jelas. Pada CDH justru yang paling berperan
adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor NMDA (N- metal-D-Aspertat),
produksi NO dan supersensitivitas akan menaikan produksi neuropeptide sensoris yang
bertahan lama. Kenaikan nitrit likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan kenaikan
kadar cGMP (cytoplasmic Guanosine Mono phosphate) di likuor.
Reseptor opiod didownregulasi oleh penggunaan konsumsi opiod analgetik yang cenderung
menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari sistem opiod
endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overused maka terjadi desensitisasi yang
berperan dalam perubahan dari migren menjadi CHD. Adanya inflamasi steril pada nyeri
kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel. Makrofag
melepaskan sitokin IL1 (Interleukin 1), IL6 dan TNF (Tumor Necrotizing Factor) dan NGF
(Nerve Growth Factor). Mast sel melepasi/mengasingkan metabolit histamin, serotonin,
prostaglandin dan asam arachidonik dengan kemampuan melakukan sensitisasi terminal sel
saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa reseptor dan peptida
(Sjahrir, 2004).
Beberapa mekanisme umum yang berpengaruh memicu nyeri kepala:
Degenerasi spina cervicalis atas disertai kompresi pada akar nervus cervicalis (misalnya,
arthritis vertebra cervicalis).
Defisiensi enkefalin (peptide otak mirip opiate, bahan aktif endorphin).
Sistem saraf simpatis pada dasarnya bertanggung jawab atas pengendalian neural
pembuluh darah cranium dan ekstrakranium. Nyeri kepala dapat memancar dari struktur yang
peka terhadap rasa nyeri seperti kulit, kulit kepala, otot, arteri dan vena; nervus kranialis V.
VII, IX dan X; atau nervus kranialis 1, 2, dan 3.
Empat fase nyeri kepala:
1. Normal. Arteri serebri dan arteri temporalis dipersarafi secara ekstrakranial; arteri dalam
parenkim otak tidak dipersarafi.
2. Vasokontriksi (aura). Vasokontriksi lokal neurogenik yang berkaitan dengan stres pada
arteri serebri yang dipersarafi akan mengurangi aliran darah ke dalam otak (iskemia lokal).
Secara sistematis, prostaglandin tromboksan akan meningkatkan agregasi trombosit dan
pelepasan serotonin, suatu vasokontriktor yang poten, serta mungkin pula zat adiktif lain.
3. Dilatasi arteri parenkim. Pembuluh darah parenkim otak yang tidak dipersarafi akan
berdilatasi sebagai reaksi terhadap keadaan asidosis dan anoksia (iskemia). Peningkatan
aliran darah, kenaikan tekanan internal dan peningkatan pulsasi pembuluh darah
menyebabkan aliran darah melintas pembuluh darah yang pada keadaan normal untuk
memberikan nutrisi.
4. Vasodilatasi. Mekanisme kompensasi menimbulkan vasodilatasi pada arteri yang
dipersarafi sehingga terjadi nyeri kepala. Agregasi trombosit dalam peredaran darah
sistemik berkurang dan penurunan kadar serotonin menyebabkan vasodilatasi.
(Kowalak, 2011)
25
Fase I : Prodromal - Sebanyak 50% pasien mengalami fase prodromal ini yang
berkembang pelan-pelan selama 24 jam sebelum serangan.
Gejala: kepala terasa ringan , tidak enak, iritabel, memburuk bila makan makanan tertentu
seperti makanan manis, mengunyah terlalu kuat, sulit/malas berbicara.
Fase II : Aura
Gangguan penglihatan yang paling sering dikeluhkan pasien. Khas pasien melihat seperti
melihat kilatan lampu blits (photopsia) atau melihat garis zig zag disekitar mata dan
hilangnya sebagian penglihatan pada satu atau kedua mata (scintillating scotoma).
Gejala sensoris yang timbul berupa rasa kesemutan atau tusukan jarum pada lengan,
dysphasia.
Fase ini berlangsung antara 5 60 menit. Sebanyak 80% serangan migraine tidak disertai
aura.
Fase III : Headache - Nyeri kepala yang timbul terasa berdenyut dan berat. Biasanya hanya
pada salah satu sisi kepal tetapi dapat juga pada kedua sisi. Sering disertai mual muntah
tidak tahan cahaya (photofobia) atau suara (phonofobia). Nyeri kepala sering memburuk
saat bergerak dan pasien lebih senang istrahat ditempat yang gelap dan ini sering berakhir
antara 2 72 jam.
26
Fase IV : Postdromal - Saat ini nyeri kepala mulai mereda dan akan berakhir dalam waktu
24 jam, pada fase ini pasien akan merasakan lelah, nyeri pada ototnya kadang kadang
euphoria. Setelah nyeri kepala hilang
Tipe
Tanda dan Gejala
Migrain tanpa aura ( migrain biasa)
Durasi 4 sampai 72 jam apabila tidak Gejala prodromal yang meliputi rasa lelah,
diobati
nausea, vomitus, dan ketidakseimbangan cairan
yang mendahului serangan sakit kepala.
Sensitive terhadap cahaya dan bunyi berisik.
Nyeri tipe sakit kepala (rasa pegal atau nyeri
berdenyut yang bias unilateral atau bilateral).
Migrain dengan aura (klasik)
Biasanya
terjadi
pada
kepribadian Gejala prodromal yang meliputi gangguan
kompulsif.
penglihatan seperti penampakan garis zig zag
dan cahaya yang terang, gangguan sensorik
(kesemutan pada wajah, bibir serta tangan),
gangguan motorik.
Sakit kepala yang periodik dan rekuren.
Migrain hemiplegik dan oftalmoplegik
Biasanya terjadi pada dewasa muda
Nyeri unilateral
Kelumpuhan otot ekstraokuler (N. cranial III)
dan psitosis.
Migrain hemiplegic terdapat gangguan neurologi
(hemiparesis, hemiplagia) yang dapat bertahan
meskipun sakit kepala sudah mereda.
Migrain arteri basilaris
Terjadi pada wanita muda periode haid
Gejala prodromal yang meliputi gangguan
penglihatan parsial dengan keluhan vertigo,
ataksia, tinnitus, kesemutan jari-jari tangan
serta kaki.
Nyeri kepala yang berupa nyeri berdenyut di
daerah oksipital dan vomitus.
(Kowalak, 2011)
Membedakan Nyeri Kepala
Jenis atau Penyebab
Ketegangan otot
Ciri Khas
Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan untuk
menyingkirkan
27
Migraine
Jika diagnosisnya
masih meragukan dan
sakit kepala baru
terjadi, dilakukan CT
Scan atau MRI atau
diberikan obat migraine
untuk melihat efeknya.
Obat migraine
diberikan untuk melihat
efeknya (sumatriptan,
metisergid/obat
vasokonstriktor,
kortikosteroid,
indometasin) atau
menghirup O2.
Hipertensi
Kelainan mata
(iritis, glaucoma)
Pemeriksaan mata
Kelainan sinus
Rontgen sinus
Tumor otak
Infeksi otak
Pemeriksaan darah,
pungsi lumbal.
Hematoma subdural
Perdarahan
subarachnoid
Sifilis, tuberculosis,
criptococcus,
kanker,
Pungsi lumbal
30
Minimal ada 10 serangan nyeri kepala dengan frekuensi < 15 x/bulan atau < 180
x/tahun.
N
Gejala
Tension
Cluster
Migren
Tumor
y
Headache
Headache
Otak
er
Gender
PR:LK=1,4:1
LK:PR=5:1
PR:LK=5:1
???
i
Usia
Semua usia
Semua usia
20-50 tahun
20-40
tahun
Kronis/Akut
Akut dan
Akut dan
Akut
Kronis
Kronis
Kronis
Lokasi Nyeri
Leher, rahang
Mata, sisi
Sisi sebelah
Seluruh
wajah
atau semua sisi
kepala,
memberat
Waktu Timbul Nyeri
Pagi hari
Setiap waktu
Pagi hari
Pagi hari
Muntah
+
+
Mual
+
+
Sakit Kepala saat
+
mengedan,
BAB,
batuk
kepala berlangsung dari 30 menit 7 hari.
Minimal ada 2 kriteria nyeri sebagai berikut :
1. Rasa seperti ditekan/berat di kepala (non pulsating, tidak berdenyut).
2. Intensitas nyeri ringan sedang.
3. Lokasi bilateral.
4. Tidak teragregasi oleh aktifitas fisik.
Tidak dijumpai nausea, vomitus, photophobia, phonophobia jarang dijumpai.
1) Pemeriksaan penunjang
Laboratorium darah ,LED
Lumbal punksi
Elektroensefalografi
CT Scan kepala , MRI
Migren
Anamnesa riwayat penyakit dan ditegakkan apabila terdapat tanda tanda
31
khas migren. Kriteria diagnostik IHS untuk migren dengan aura mensyaratkan bahwa
harus terdapat paling tidak tiga dari empat karakteristik berikut : (1) migren dengan
satu atau lebih aura reversibel yang mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan
atau tanpa disfungsi batang otak, (2) paling tidak ada satu aura yang terbentuk
berangsur angsur lebih dari 4 menit, (3) aura tidak bertahan lebih dari 60 menit, (4)
sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit
Kriteria diagnostik IHS untuk migren tanpa aura mensyaratkan bahwa harus
terdapat paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memenuhi
kriteria berikut : (a) berlangsung 4 72 jam, (b) paling sedikit memenuhi dua dari :
(1) unilateral , (2) sensasi berdenyut, (3) intensitas sedang berat, (4) diperburuk oleh
aktifitas, (3) bisa terjadi mual muntah, fotofobia dan fonofobia.
Pemeriksaan Penunjang Migren Pemeriksaan untuk menyingkirkan penyakit
lain ( jika ada indikasi) adalah pencitraan ( CT scan dan MRI) dan punksi lumbal.
32
penyekat beta saja. Preparat yang efektif adalah penyekat beta yang tidak memiliki efek ISA (
Intrinsic Sympathomimetic Activity).
Cluster headache umunya membaik dengan pemberian preparat ergot. Untuk varian
Cluster headache umumnya membaik dengan indometasin. Tension type headache dapat
diterapi dengan analgesik dan/atau terapi biofeedback yang dapat digunakan sebagai
pencegahan timbulnya serangan.
Terapi preventif yang bertujuan untuk menurunkan frekuensi, keparahan, dan durasi
sakit kepala. Terapi ini diresepkan kepada pasien yang menderita 4 hari atau lebih serangan
dalam sebulan atau jika pengobatan di atas tidak efektif. Terapi ini harus digunakan setiap
hari. Terapi preventif tersebut adalah pemberian beta bloker, botox, kalsium channel blokers,
dopamine reuptake inhibitors, SSRIs, serotonin atau dopamin spesifik, dan TCA.
Tata Laksana untuk nyeri kepala tipe tegang
a.
o
Terapi
Non farmakologis
Terapi perilaku
Konseling
Terapi perilaku
Terapi manajemen stress
Latihan relaksasi
Biofeedback.
Intervensi medis
Blokade saraf occipital
Ice packs
Panas
Farmakologis
Terapi farmakologis yang ada adalah NSAID berupa
Acetaminophen
Aspirin
Ibuprofen
Naproxen
Ketoprofen
Ketorolac
Obat-obat ini tidak boleh dikonsumsi melebihi 9 hari karena akan menyebabkan timbulnya
komplikasi berupa progresi ke tipe kronik.
Kegagalan terapi dengan Over the counter medicine menandakan perlunya obat
preskripsi
Dapat juga ditambahakan butalbital dan codeine pada regimen NSAID
Terapi profilaksis dapat diberikan pada pasien yang bertipe kronik dengan serangan
lebih dari dua kali dalam satu minggu dengan durasi selama 3-4 jam.
33
Tricyclic Anti Depressant dapat diberikan pada pasien untuk mencegah terjadinya
suatu depresi.
Perlu diingat bahwa dengan adanya resiko substance abuse, maka terapi hanya digunakan
untuk membantu pasien-pasien yang mengalami kesulitan dengan hanya menggunakan
behavioural therapy, bukan sebagai suatu lini pertama.
Serotonin
receptor
antagonists
Methysergide
Pizotyline
(pizotifen)
Tricyclic
analgesics
Amitriptiline
Nortriptiline
Anti-epileptik
Divalproex
Sodium
valproate
Valproic acid
Gabapentin
Dosis
Efek Samping
Kontraindikasi
50-150mg/hr
100-200 mg/hr
20-160 mg/hr
40-240 mg/hr
Fatigue, bronchospasm,
bradikardi,
hipotensi,
depresi, congestive heart
failure, impotensi,
gangguan tidur.
5-10 mg/hr
240-320 mg/hr
Fatigue,
bradikardi,
konstipasi,
edema.
ibu
hamil,
hipertensi, aritmia.
2 mg
(max8mg/hr)
depresi,
hipotensi,
nausea,
Retroperitoneal,cardiac
and
pulmonary fibrosis
Weight gain, Fatigue.
hipertensi,
kehamilan,
tromboflebitis.
10-150 mg
10-150 mg
kelainan
ginjal,
jantung,
glaukoma,
hipertensi.
500-1500 mg/d
500-1500 mg/d
500-1500 mg/d
900-1800
mg/hr (max
2400)
liver,
paru,
(Kenneth, 2004)
34
Kecemasan dan konflik psikologik diyakini diubah dalam bentuk simptom fisik.
Hipokondriasis
1 Meyakini/ketakutan atau pikiran yang berlebihan dan menetap bahwa dirinya
memiliki suatu penyakit fisik yang serius
2 Adanya reaksi fisik yang berlebihan terhadap sensasi fisik/tubuh (salah interpretasi
terhadap gejala fisik yang dialaminya), misalnya otot kaku, pusing/sakit kepala,
berdebar-debar, kelelahan.
3 Melakukan banyak tes lab, menggunakan banyak obat, memeriksakan diri ke banyak
dokter atau RS
4 Keyakinan ini terus berlanjut, tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dokter,
walaupun hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya penyakit dan sudah
diyakinkan.
5 Keyakinan ini menyebabkan adanya distress atau hambatan dalam fungsi sosial,
pekerjaan atau aspek penting lainnya.
Gangguan dimorfik tubuh
1 Keyakinan akan adanya masalah dengan penampilan atau melebih-lebihkan
kekurangan dalam hal penampilan (misalnya : keriput di wajah, bentuk atau ukuran
tubuh)
2 Keyakinan/perhatian berlebihan ini meyebabkan stress, menghabiskan banyak waktu,
menjadi mal-adaptive atau menimbulkan hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan
atau aspek penting lainnya (menghindar/tidak mau bertemu orang lain, keluar sekolah
atau pekerjaan), juga menyebabkan dirinya sering harus konsultasi untuk operasi
plastik
3 Bagian tubuh yang diperhatikan sering bervariasi, kadang dipengaruhi budaya.
Gangguan nyeri
1 Gangguan dimana individu mengeluhkan adanya rasa nyeri yang sangat dan
berkepanjangan, namun tidak dapat dijelaskan secara medis (bahkan setelah
pemeriksaan yang intensif)
2 Rasa nyeri ini bersifat subyektif, tidak dapat dijelaskan, bersifat kronis, muncul di
satu atau beberapa bagian tubuh.
3 Rasa nyeri ini menyebabkan stress atau hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan dan
aspek penting lainnya.
4 Faktor-faktor psikologis sering memainkan peranan penting dalam memunculkan,
memperburuk rasa nyeri.
Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi,
1. gangguan somatisasi
2. gangguan somatoform tak terperinci
3. gangguan hipokondriasis
4. disfungsi otonomik somatoform
5. gangguan nyeri somatoform menetap
6. gangguan somatoform lainnya
7. gangguan somayoform YTT
4. Memahami dan Menjelaskan Nyeri Somatoform
4.1 Menjelaskan Definisi Somatoform
36
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah
tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan (Pardamean E, 2007).
Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik, dimana
tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut terdapat bukti
positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor
psikologis atau konflik. Karena gejala tak spesifik dari beberapa sistem organ dapat terjadi
pada penderita anxietas maupun penderita somatoform disorder, diagnosis anxietas sering
disalahdiagnosiskan menjadi somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya
somatoform disorder, tidak menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang. Pada DSM-IV
ada 4 kategori penting dari somatoform disorder, yaitu hipokhondriasis, gangguan
somatisasi, gangguan konversi dan gangguan nyeri somatoform (Iskandar Y, 2009).
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk
menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan
fisik yang lebih lanjut. (PPDGJ III, 1993).
4.2 Menjelaskan Etiologi Somatoform
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut (Nevid dkk, 2005):
a.Faktor-faktor Biologis Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis
(biasanya pada gangguan somatisasi).
37
b.Faktor Lingkungan Sosial Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung,
seperti peran sakit yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
c.Faktor Perilaku. Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang tidak
nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder).
Adanya perhatian untuk menampilkan peran sakit
Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan dismorfik
tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang diasosiasikan dengan
keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatan atau kerusakan fisik yang dipersepsikan.
d.Faktor Emosi dan Kognitif Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan
kognitif, penyebab ganda yang terlibat adalah sebagai berikut:
Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simtom fisik sebagai tanda dari adanya penyakit
serius (hipokondriasis).
Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impulsimpuls yang tidak
dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom fisik (gangguan konversi).
Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan suatu strategi
self-handicaping (hipokondriasis).
Faktor Resiko Gangguan Somatoform
Riwayat orangtua
Pola asuh dalam keluarga yang salah
Wanita lebih banyak menderita
Memiliki kepribadian yang mudah cemas
Orang yang tertutup
Alkoholism
Penyalahgunaan obat
4.3 Menjelaskan Epidemiologi Nyeri Somatoform
Gangguan Somatisasi
- Wanita : pria = 10 :1, bermula pada masa remaja atau dewasa muda
- Rasio tertinggi usia 20- 30 tahun
- Pasien dengan riwayat keluarga pernah menderita gangguan somatoform (berisiko 10-20
kali lebih besar dibanding yang tidak ada riwayat)
Gangguan Somatoform Tak Terinci
Bervariasi, di USA 10%-12% terjadi pada usia dewasa dan 20 % menyerang wanita.
Gangguan Hipokondrik
Biasanya terjadi pada usia dewasa, rasio antara wanita dan pria sama
38
lebih lanjut (PPDGJ III, 1993). Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan
bahwa mereka menderita penyakit serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang
dapat ditemukan.
Gambaran keluhan gejala somatoform :
Neuropsikiatri:
kedua bagian dari otak saya tidak dapat berfungsi dengan baik ;
saya tidak dapat menyebutkan benda di sekitar rumah ketika ditanya
Kardiopulmonal:
jantung saya terasa berdebar debar. Saya kira saya akan mati
Gastrointestinal:
saya pernah dirawat karena sakit maag dan kandung empedu dan belum ada dokter yang
dapat menyembuhkannya
Genitourinaria:
saya mengalami kesulitan dalam mengontrol BAK, sudah dilakukan pemeriksaan namun
tidak di temukan apa-apa
Musculoskeletal
saya telah belajar untuk hidup dalam kelemahan dan kelelahan sepanjang waktu
Sensoris:
pandangan saya kabur seperti berkabut, tetapi dokter mengatakan
kacamata tidak akan membantu
Beberapa tipe utama dari gangguan somatoform adalah
hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan somatisasi.
gangguan konversi,
Gangguan somatisasi
1. Adanya beberapa keluhan fisik (multiple symptom) yang berulang, dimana ketika
diperiksa secara fisik/medis, tidak ditemukan adanya kelainan tetapi ia tetap kontinyu
memeriksakan diri. Gangguan tidak muncul karena penggunaan obat. Keluhan yang
umumnya, misalnya sakit kepala, sakit perut, sakit dada, mestruasi tidak teratur, dll
2. Pasien menunjukkan keluhan dengan cara histrionik, berlebihan, seakan
tersiksa/merana.
3. Berulang memeriksa diri ke dokter, kadang menggunakan berbagai obat, dirawat di
RS bahkan dilakukan operasi.
4. Sering ditemukan masalah perilaku atau hubungan personal seperti kesulitan dalam
pernikahan.
Gangguan konversi
1. Kondisi dimana panca indera atau otot-otot tidak berfungsi walaupun secara
fisiologis, pada sistem saraf atau organ-organ tubuh tersebut tidak terdapat
gangguan/kelainan.
40
2. Secara fisiologis, orang normal dapat mengalami sebagian atau kelumpuhan total
pada tangan, lengan, atau gangguan koordinasi, kulit rasanya gatal atau seperti
ditusuk-tusuk, ketidak pekaan terhadap nyeri atau hilangnya kemampuan untuk
merasakan sensasi (anastesi), kelumpuhan, kebutaan, tidak dapat mendengar, tidak
dapat membau, suara hanya berbisik, dll.
3. Biasanya muncul tiba-tiba dalam keadaan stres, adanya usaha individu untuk
menghindari beberapa aktivitas atau tanggungjawab.
4. Konsep Freud : energi dari insting yang di repres berbalik menyerang dan
menghambat fungsi saluran sensorimotor.
5. Kecemasan dan konflik psikologik diyakini diubah dalam bentuk simptom fisik.
Hipokondriasis
1. Meyakini/ketakutan atau pikiran yang berlebihan dan menetap bahwa dirinya
memiliki suatu penyakit fisik yang serius
2. Adanya reaksi fisik yang berlebihan terhadap sensasi fisik/tubuh (salah interpretasi
terhadap gejala fisik yang dialaminya), misalnya otot kaku, pusing/sakit kepala,
berdebar-debar, kelelahan.
3. Melakukan banyak tes lab, menggunakan banyak obat, memeriksakan diri ke banyak
dokter atau RS
4. Keyakinan ini terus berlanjut, tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dokter,
walaupun hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya penyakit dan sudah
diyakinkan.
5. Keyakinan ini menyebabkan adanya distress atau hambatan dalam fungsi sosial,
pekerjaan atau aspek penting lainnya.
Gangguan dimorfik tubuh
1. Keyakinan akan adanya masalah dengan penampilan atau melebih-lebihkan
kekurangan dalam hal penampilan (misalnya : keriput di wajah, bentuk atau ukuran
tubuh)
2. Keyakinan/perhatian berlebihan ini meyebabkan stress, menghabiskan banyak waktu,
menjadi mal-adaptive atau menimbulkan hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan
atau aspek penting lainnya (menghindar/tidak mau bertemu orang lain, keluar sekolah
atau pekerjaan), juga menyebabkan dirinya sering harus konsultasi untuk operasi
plastik
3. Bagian tubuh yang diperhatikan sering bervariasi, kadang dipengaruhi budaya.
Gangguan nyeri
1. Gangguan dimana individu mengeluhkan adanya rasa nyeri yang sangat dan
berkepanjangan, namun tidak dapat dijelaskan secara medis (bahkan setelah
pemeriksaan yang intensif)
2. Rasa nyeri ini bersifat subyektif, tidak dapat dijelaskan, bersifat kronis, muncul di
satu atau beberapa bagian tubuh.
3. Rasa nyeri ini menyebabkan stress atau hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan dan
aspek penting lainnya.
4. Faktor-faktor psikologis sering memainkan peranan penting dalam memunculkan,
memperburuk rasa nyeri.
4.6 Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis banding Nyeri Somatoform
Gangguan Somatisasi
41
(PPDGJ-III)
Untuk gangguan somatisasi, diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:
Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun
Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.
(DSM-IV)
Keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun, terjadi selama periode beberapa tahun
Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan,
- 4 gejala nyeri: sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya
kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi,
selama hubungan seksual, atau selama miksi)
- 2 gejala gastrointestinal: sekurangnya dua gejala selain nyeri (misalnya mual,
kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap
beberapa jenis makanan)
- 1 gejala seksual: sekurangnya satu gejala selain dari nyeri (misalnya indiferensi
seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan
menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).
- 1 gejala pseudoneurologis: sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan
pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis, sulit menelan, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi
atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti
amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).
Salah satu (1) atau (2):
- Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek
langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
- Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau
pura-pura).
Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial:
Aksis I: Gangguan somatoform, somatisasi
Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III: tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV: masalah dengan keluarga
Aksis V: GAF Scale 51-60: gejala sedang, disabilitas sedang
Gangguan Somatoform Tak Terinci
(PPDGJ-III)
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang tak terperinci
Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan tetapi gambaran
klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak terpenuhi
Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas, akan tetapi
tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-keluhannya.
42
Atau
- Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)
- Salah satu (1) atau (2)
Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh
kondisi medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dari suatu zat
(misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan
sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan
menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
- Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. Durasi gangguan sekurangnya
enam bulan.
- Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya
gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan,
gangguan tidur, atau gangguan psikotik).
- Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau berpura-pura)
Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial
Aksis I: Gangguan somatoform Tak Terperinci
Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III: tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV:
Aksis V: GAF Scale 61-70
Gangguan Hipokondrik
(PPDGJ-III)
Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis
Untuk diagnosis pasti gangguan hipokondrik, kedua hal ini harus ada:
Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius
yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak
menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang
menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak
sampai waham)
Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya
Ciri-ciri diagnostik dari hipokondriasis:
- Perokupasi (keterpakuan) dengan ketakutan menderita, ide bahwa ia menderita suatu
penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala
tubuh.
- Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat.
- Tidak disertai dengan waham dan tidak terbatas pada kekhawatiran tentang penampilan
(seperti pada gangguan dismorfik tubuh).
- Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. Lama gangguan sekurangnya 6
bulan.
43
Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum,
gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, gangguan depresif berat, cemas
perpisahan, atau gangguan somatoform lain.
Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial
Aksis I: Gangguan somatoform, hipokondriasis
Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III: tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV:
Aksis V: GAF Scale 51-60 gejala sedang, disabilitas sedang
Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui system saraf otonom, dan terbatas
secara spesifik pada bagian tubuh atau system tertentu. Ini sangat berbeda dengan
gangguan somatisasi dan gangguan somatoform tak terinci yang menunjukan keluah
yang banyak dan berganti-ganti
Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan
Gangguan Konvensi
(DSM-IV)
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi
Ciri-ciri diagnostik dari gangguan konversi adalah sebagai berikut:
Paling tidak terdapat satu simptom atau defisit yang melibatkan fungsi motorik
volunternya atau fungsi sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik.
Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut karena onset atau
kambuhnya simptom fisik terkait dengan munculnya
Orang tersebut tidak dengan sengaja menciptakan simptom fisik tersebut atau berpurapura memilikinya dengan tujuan tertentu.
Simptom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola respon, juga tidak
dapat dijelaskan dengan gangguan fisik apa pun melalui landasan pengujian yang tepat.
Simptom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam satu atau lebih
area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin perhatian
medis.
Simptom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah pada fungsi seksual, juga tidak
dapat disebabkan oleh gangguan mental lain. Akan tetapi, beberapa orang dengan
gangguan konversi menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutkan terhadap
simptom-simptom yang muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la belle
indifference (ketidakpedulian yang indah)
Gangguan Dismorfik Tubuh
(DSM-IV)
45
Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat
dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita
bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih
baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan
yang penderita rasakan.
Penanganan Gangguan Somatoform secara umum
Pendekatan behavioral untuk menangani gangguan konversi dan somtoform lainnya
menekankan pada menghilangkan sumber dari reinforcement sekunder (keuntungan
sekunder) yang dapat dihubungkan dalam keluhan-keluhan fisik. Terapis behavioral dapat
bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang
tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif.
Antipsikosis
Antipsikotika, juga disebut neuroleptika atau major tranquillizers, adalah obat-obat yang
dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi umum,
seperti berpikir dan kelakuan normal. Obat-obat ini dapat meredakan emosi dan agresi, dan
dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa, seperti impian dan pikiran
khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal. Oleh karena itu,
antipsikotika terutama digunakan pada psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan sakit
pada pasien, misalnya penyakit schizofrenia ("gila") dan psikosis mania-depresif.
Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik. Kegunaannya pada psikoneurosis dan penyakit psikosomatik belum jelas. Ciri terpenting obat neuroleptik ialah :
Berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas
emosional pada pasien psikosis. Efek ini tidak berhubungan langsung dengan efek
sedatif;
Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anestesia;
Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel; dan
Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan psikik dan fisik.
Golongan obat antipsikosis
A. Antipsikosis tipikal: klorpromazin dan derivat fenotiazin
FARMAKODINAMIK. Efek farmakologiknya meliputi efek pada:
Susunan Saraf Pusat : menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak
acuh terhadap rangsang dari lingkungan. CPZ menimbulkan efek
menenangkan pada hewan buas. Semua derivat fenotoazin mempengaruhi
ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek ekstra
piramidal).
Neurologik : G gejala sindrom neurologik yang karakteristik dari obat ini. 4 di
antaranya biasa terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia,
parkinsonisme dan sindrom neuroleptic malignant; yang terakhir jarang
terjadi. 2 sindrom yang lain terjadi setelah pengobatan berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, berupa tremor perioral (jarang) dan diskenia tardif).
Otot rangka
FARMAKOKINETIK
47
49
Pemilihan Sediaan
50
Efek samping
bervariasidari mild-severe dan kronis. Pengobatan yang lebih awal dan menjadikan prognosis
menjadilebih baik. Secara independen tidak meningkatkan risiko kematian. Kematian lebih
disebabkankarena upaya bunuh diri. (Kaplan, 1999)
seorang suami menafkahi istri dan anak-anaknya, mendidik, dan memberikan contoh yang
baik. Kewajiban seorang istri untuk menaati suaminya. Intinya warahmah ini kaitannya
dengan segala kewajiban.
Kewajiban Suami Istri dalam Islam
HAK BERSAMA SUAMI ISTRI
1.
2.
Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (ArRum: 21)
Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya.
(An-Nisa: 19 Al-Hujuraat: 10)
3.
Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa: 19)
4.
Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
9.
11.
12.
Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan
agama. (At-aubah: 24)
Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan Rasul-Nya.
(At-Taghabun: 14)
Hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan:
74)
Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah
(makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih
dari satu. (AI-Ghazali)
Jika istri berbuat Nusyuz, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara
berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak
menyakitkan. (An-Nisa: 34) Nusyuz adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal
ketaatan kepada Allah.
Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan
paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(AthThalaq: 7)
8.
Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya
terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar
bin Khattab ra., Hasan Bashri)
10.
Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Yala)
Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang,
tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa: 19)
Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah
sendiri. (Abu Dawud).
54
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, H.I., Sadock B.J. (1997). Sinopsis Psikiatri Jilid II Edisi ke-7. Jakarta. Binarupa
Aksara.
Mansjoer, A.A.,etc. (2004). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta. Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. (2003). Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta.
Maslim, R. (2001). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III. Jakarta.
Kowalak, Jennifer P., William Welsh. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Uddin, Jurnalis. (2009). Anatomi Susunan Saraf Manusia. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Yarsi.
Price.Sylvia A.,Wilson.Lorraine M, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit., Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood, Lauralee. (2004). Fisiologi Manusia dari sel ke sistem Edisi 2. Jakarta. EGC.
Gunawan , Sulistis Gan et all. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta. FKUI.
Maramis, W.F. (1997). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi VI. Surabaya. Airlangga
University Press.
F. Bear, Barry W. Connors, Michael A. (2007). Paradiso Neuroscience Exploring the
Brain third edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.
56