You are on page 1of 56

SKENARIO 3 :

SAKIT KEPALA MENAHUN


Perempuan, 35 tahun berkonsultasi dengan dokter keluarga dengan keluhan sakit kepala berulang sejak 2
tahun lalu. Sakit kepala seperti tertimpa beban berat dan nyeri pada tengkuknya. Sakit kepala ini disertai
insomnia. Sakit kepala berawal sejak pasien diceraikan oleh suaminya 2 tahun yang lalu dan harus berpisah
dari kedua orang anaknya. Oleh dokter pasien disarankan untuk berkonsultasi lebih lanjut ke neurolog dan
psikiater. Neurolog mengatakan bahwa pasien mengalami nyeri kepala tipe tegang , sedangkan psikiater
menyimpulkan bahwa pasien mengalami nyeri somatoform (psikogenik). Walaupun ia sudah bercerai, ia
tetap bertanggung jawab untuk membimbing anaknya sesuai dengan prinsip keluarga sakinah, mawaddah,
warahmah.

KATA-KATASULIT
1. Nyeri somatoform : kumulan gangguan dengan gejala fisik dimana tidak ditemukan penjelasan
medis.
2. Insomnia: gangguan tidur dengan ditandai dengan tidak bias tidur
3. Nyeri kepala tipe tegang : serangan kepala bberulang yang berlangsung dalam beberapa menit
sampai hari dengan sifat nyeri tertekan,diikat,bilateral dan tidak dippicu aktivitas fisik.
PERTANYAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Apa sajakah tipe nyeri kepala?


Adakah hubungannya nyeri kepala pasien dengan nyeri kepala tipe tegang?
Apakah penyebaba insomnia?
Apakah terapi yang dapat dilakukan terhadap pasien?
Apa hubungannya nyeri kepala tipe tegang dengan nyeri kepala somatoform?
Mengapa dokter mendiagnosa pasien dengan nyeri somatoform
Mengapa pasien sakit kepala disertai insomnia?
Apa yang dimaksud dengan prinsip keluarga sakinah mawaddah warahmah?
Apakah ada gejala lain dari somatoform selain nyeri?

JAWABAN
1. Nyeri kepala primer : Migraine, vertigo, tension type headache,cluster type headache
Nyeri kepala sekunder: akibat trauma dan vascular
2. Ada, arena nyeri kepala berasal dari masalah pasien
3&7Masalah-masalah pasien
4. Asetil salisilat : nyeri kepala
Preparat ergot (ergotamine/dihidrogitamin): nyeri kepala berat
Belegral (kombinasi ergotamine dan as. Salisilat) : nyeri kepala sering
5. Ada, karena ada gangguan psikis
6. Karena tidak ada kelainan pada organnya
8. Keluarga yang harmonis yang senantiasa menaati perintah Allah swt dan Rasul saw dan selalu di
rahmati Allah swt
9. Ada, misalnya muntah, nafsu makan turun

HIPOTESIS

Pasien dengan gangguan psikis menderita sakit kepala berulang ,karena adanya masalah keluarga yang tidak
harmonis, sehingga mengalami insomnia. Kemudian pasienberkonsultasi ke neurology untuk menghilangkan
symptomnya dan ke psikiatri untuk menghilangkan etiologinya. Neurolog mendiagnosa pasien menderita
nyeri kepala tipe tegang dan psikiatre mendeiagnosis pasien mengalami nyeri somatoform oleh karena pasien
tidak ada gangguan organ.

SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Penghantaran fisiologi nyeri
1.1 Menjelaskan pusat spesifik nyeri
1.2 Menjelaskan mekanisme penghantaran nyeri
1.3 Menjelaskan jaras spesifik nyeri
2. Memahami dan Menjelaskan Nyeri Kepala
2.1 Menjelaskan Definisi Nyeri Kepala
2.2 Menjelaskan Epidemiologi Nyeri Kepala
2.3 Menjelaskan Etiologi Nyeri Kepala
2.4 Menjelaskan Klasifikasi Nyeri Kepala
2.5 Menjelaskan Patofisiologi Nyeri Kepala
2.6 Menjelaskan Manifestasi Klinis Nyeri Kepala
2.7 Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Nyeri Kepala
2.8 Menjelaskan Penatalaksanaan Nyeri Kepala
2.9 Menjelaskan Komplikasi Nyeri Kepala
2.10 Menjelaskan Prognosis Nyeri Kepala
2.11 Menjelaskan Pencegahan Nyeri Kepala
3. Memahami dan Menjelaskan Bentuk Lain dari Nyeri Somatoform
4. Memahami dan Menjelaskan Nyeri Somatoform
4.1 Menjelaskan Definisi Nyeri Somatoform
4.2 Menjelaskan Epidemiologi Nyeri Somatoform
4.3 Menjelaskan Etiologi Nyeri Somatoform
4.4 Menjelaskan Klasifikasi Nyeri Somatoform
4.5 Menjelaskan Manifestasi Klinis Nyeri Somatoform
4.6 Menjelaskan Diagnosis dan diagnosis Banding Nyeri Somatoform
4.7 Menjelaskan Penatalaksanaan Nyeri Somatoform
4.8Menjelaskan Komplikasi Nyeri Somatoform
4.9 Menjelaskan Pencegahan Nyeri Somatoform
4.10Menjelaskan Prognosis Nyeri Somatoform
5. Memahami dan Menjelaskan Cara Membina Keluarga yang Sakinah, Mawaddah danWarahmah

1. Memahami dan Menjelaskan Penghantaran fisiologi nyeri


1.1 Menjelaskan pusat spesifik nyeri
Nociceptor diaktivasi oleh stimulus yang berpotensi untuk merusak sel jaringan.
Kerusakan jaringan tersebut dapat disebabkan oleh stimulasi mekanis yang kuat,
temperatur yang ekstrim, kekurangan oksigen, dan paparan oleh zat kimia. (Barry, 2007)
Sel-sel jaringan yang rusak tersebut dapat pula mengeluarkan substansi yang mampu
membuka channel ion pada membran nociceptor, seperti :

Protease
Enzim pengurai protein ini dapat mengurai peptida kininogen yang berada di extra
selular sehingga terbentuklah bradikinin. Bradikinin ini kemudian akan terikat dengan
molekul reseptor spesifik untuk mengaktivasi konduksi ion pada nociceptor.
ATP
ATP dapat berikatan langsung dengan ATP Gated Ion Channel sehingga terjadi
depolarisasi pada nociceptor.
K+
Peningkatan K+ extraselular berperan langsung pada depolarisasi membran neuronal.
(Price, 2006)

Jenis Nociceptor
Transportasi stimulus nyeri terjadi pada ujung saraf bebas (FNE), yaitu serat C tanpa
myelin (unmyelinated C Fiber) dan serat A myelin tipis Nociceptor terbagi menjadi
empat jenis, yaitu :
a.
b.
c.
d.

Polymodal Nociceptor : merespon terhadap stimulus mekanis, suhu, dan kimia.


Mechanical Nociceptor : hanya merespon terhadap tekanan yang kuat.
Thermal Nociceptor : hanya merespon terhadap suhu panas atau dingin.
Chemical Nociceptor : merespon terhadap histamin dan zat kimia lainnya.

Serat C terkecil (kecepatan konduksi <0.5 m/s) merespon selektif terhadap histamin dan
mempersepsikan rasa gatal.
Hyperalgesia
Nociceptor biasanya hanya merespon saat terjadi stimulus yang cukup kuat untuk
merusak jaringan. Hiperalgesia adalah keadaan dimana kulit, sendi, atau otot yang sudah
terluka menjadi sangat sensitif terhadap stimulus. Sebagai contoh, pada kulit yang sehat,
rasa sentuhan tidak terasa sakit, namun pada kulit yang melepuh rangsang tersebut terasa
sakit.
Hiperalgesia dapat berupa penurunan ambang nyeri, peningkatan intensitas stimulus
nyeri, atau nyeri spontan. Hiperalgesia juga dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Primer : hanya terjadi pada daerah jaringan yang terluka.
b. Sekunder : jaringan yang berada di sekitar jaringan yang terluka juga ikut menjadi
sensitif.
Beberapa zat kimia yang berperan dalam hiperalgesia:
5

Bradikinin
Selain menghasilkan rasa nyeri, bradikinin juga menstimulasi perubahan intracellular
yang berlangsung lama, sehingga channel ion nociceptor menjadi lebih sensitif.
Prostaglandin
Prostaglandin tidak menyebabkan nyeri, melainkan meningkatkan sensitivitas
nociceptor lain.
Substance P
Merupakan substansi yang dihasilkan oleh nociceptor sendiri. Aktivasi salah satu
cabang axon nociceptor dapat menyebabkan sekresi substance P di cabang axon
lainnya. Substance P menyebabkan vasodilatasi dan pelepasan histamin oleh sel mast,
sehingga dapat juga menyebabkan hiperalgesia sekunder.

Aferen Primer dan Mekanisme Spinal


Terdapat dua jenis persepsi nyeri, yaitu :
a. First pain : cepat dan tajam, diaktivasi oleh serat A
b. Secon pain : nyeri yang mengikuti first pain dan berlangsung lama, diaktivasi serat C

Perhubungan spinalis axon nociceptif


Neurotransmitter nyeri diduga adalah glutamat, namun neuron-neuron juga
mengandung substance P pada axon terminalis. Transmisi sinaps yang diperantarai oleh
substance P dibutuhkan untuk menghasilkan rasa nyeri. (Barry, 2007)
Nyeri Alih (Referred Pain)
Merupakan fenomena dimana aktivasi nociceptor organ dalam (viseral) dipersepsikan
sebagai sensasi luar (cutaneus). Disebabkan karena axon nociceptor dari organ dalam
memiliki rute yang sama dengan nociceptor kutan dalam memasuki corda spinalis,
sehingga terjadilah pencampuran informasi dari kedua input tersebut.
Jalur Nyeri Ascendens
1. Spinothalamic Pathway
Informasi suhu dan nyeri disampaikan dari corda spinalis ke orak melalui jalur
spinothalamic.
6

Axon dari neuron ordo II langsung menyeberang dan menyusuri tractus spinothalamicus.
Serat spinothalamicus berjalan dari corda spinalis kemudian melewati medulla, pons, dan
midbrain tanpa bersinaps sampai mereka mencapai thalamus.
Pada akhirnya, setelah melewati batang otak, axon spinothalamicus berada bersebelahan
dengan lemniscus medialis, namun kedua axon tersebut tetap terpisah satu sama lain.
Informasi sentuhan berjalan secara ipsilateral, sedangkan nyeri berjalan contralateral.
2. Trigeminal Pathway
Informasi suhu dan nyeri yang berasal dari muka dan kepala berjalan melalui jalur ini,
yang mirip dengan spinothalamic pathway.
Serat nervus trigeminal bersinaps pada neuran orde kedua di nucleus trigeminal spinalis
pada batang otak.
Axon tersebut kemudian naik ke thalamus di lemniscus trigeminal.
Sensasi nyeri dan sentuhan sama-sama berakhir di thalamus (Nucleus VP dan
intralaminar) tetapi menempati daerah yang berbeda. Kemudian informasi dari
thalamus tersebut diteruskan ke berbagai daerah pada cortex cerebral.
Regulasi Nyeri
a. Regulasi Aferen
Nyeri yang dihasilkan oleh aktivitas nociceptor dapat dikurangi dengan aktivitas
mechanoreceptor (Serat A) secara bersamaan. Inilah mengapa rasa nyeri pada memar
akan berkurang apabila kita lakukan gerakan memijat.
Gate Theory of Pain
*Tidak ada konflik stimulus

Dapat dilihat pada gambar ini, bahwa stimulus yang dibawa oleh serat C berjalan dengan
lancar (tidak ada hambatan apapun) dan akan sampai pada projection neuron, yang
kemudian akan diteruskan ke otak, menyebabkan sensasi nyeri maksimal.
*Terdapat konflik stimulus. Stimulus nyeri dibawa oleh serat C menuju projection neuron.
Di saat yang sama, stimulus sentuhan (stimulus tidak nyeri) dibawa oleh serat A menuju
projection neuron dan interneuron inhibitorik.
Aktivasi interneuron inhibitorik tersebut akan menghambat projection neuron, sehingga
tidak ada stimulus yang diteruskan ke otak sehingga mengurangi sensasi nyeri yang ada.
7

Namun tidak semua interneuron inhibitorik dapat diaktifkan, sehingga masih terdapat
sensasi nyeri yang diteruskan ke otak. (Barry, 2007)
Regulasi Descendens
Emosi yang kuat atau stres pada seseorang dapat mengurangi atau menghilangkan
rasa nyeri. Telah diketahui bahwa terdapat bagian dari otak yang berperan dalam supresi
nyeri. Salah satunya adalah zona-zona neuron di midbrain, seperti periventricular dan
periaqueductal gray matter (PAG).

Mekanismenya adalah sebagai berikut :


PAG menerima input emosional dari struktur-struktur otak.
Neuron-neuron di PAG mengirimkan axon menuju daerah pada medulla, yaitu raphe
nuclei, yang kemudian akan mengeluarkan neurotransmitter serotonin.
Kemudian neuron medulla tersebut akan memproyeksikan axon ke cornu posterior
corda spinalis, dimana axon yang membawa serotonin tersebut akan menekan
aktivitas nociceptor.

Intensitas Nyeri
Gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran
intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas
yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran
dengan metode ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri
(Sherwood, 2004). Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1)
skala
intensitas
nyeri
deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi).
10 : Nyeri sangat berat (pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul).
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah
garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang
sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diurutkan dari tidak terasa nyeri sampai
nyeri yang tidak tertahankan. Kinisi menunjukkan pasien skala tersebut dan meminta
pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Klinisi juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri. (Price, 2006)
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan
setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm.
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi
verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri
yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.
Faktor yang mempengaruhi nyeri: usia, jenis kelamin, budaya, makna nyeri, perhatian,
ansietas, pengalaman masa lalu, pola adaptasi, support keluarga dan social.
9

a. Menjelaskan mekanisme penghantaran nyeri


Rasa nyeri merupakan suatu mekanisme perlindungan, yang dicetuskan oleh suatu
kerusakan jaringan , yang akan memnyebabkan individu untuk bereaksi memindahkan
stimulus nyeri.
Rasa nyari dapat dibagi atas

Rasa nyeri cepat


o Rasa nyeri tertusuk, tajam, akut, dan tersetrum
Rasa nyeri lambat
o Rasa nyeri terbakar lambat, pegal, berdenyut, mual dan kronik. Rasa
nyeri ini umumnya dikaitkan dengan kerusakan jaringan.

Reseptor nyeri
Reseptor nyeri merupakan ujung saraf bebas, terdapat tiga jenis stimulasi yang dapat
merangsanganya yaitu rangsang mekanis, suhu dan kimiawi. Pada umumnya rasa nyeri
cepat diakibatkan mekanik dan suhu, sedangkan rasa lambat diakibatkan stimulan kimia
Reseptor nyeri memiliki sedikit sekali kemampuan untuk beradaptasi , dan bahkan
pada beberapa keadaan dapat terjadi peningkatan intesitas rasa nyeri yang disebut
hiperalgesia . intensitas rasa nyeri juga berhubungan erat dengan derajat kerusakan
jaringan. Ada beberapa stimulus terkait kerusakan jaringan (bukan secara langsung,
dapat timbul sebagai adanya kerusakan jaringan) yang dapat menyebabkan nyeri

Bradikinin dari jaringan rusak yang memnyebabkan pelepasan enzim


proteolitik dan menyerang langsung ujung saraf dengan membuat saraf lebih
permeabel terhadap ion-ion
Asam laktat yang terakumulasi sebagai akibat dari iskemia
Apapun bentuknya, pada nantinya hal tersebut akan menyebabkan perubahan
permeabilitas neurong sehingga dapat terjadi suatu potensial aksi dengan perpindahan
ion-ion yang timbul.
1.2 Menjelaskan jaras spesifik nyeri

Traktus spinotalamikus Lateralis


o Axon dari neiron orde pertama (ganglion spinalis) memasuki ujung cornu posterius
substantia grissea medulla spinalis dan segera bercabang menjadi serabut yang naik
dan yang turun
o Sesudah memasuiki satu atau dua segmen medulla spinalis membentuk tractus
posterolateral (lissaueri) , serabut ini segera bersinapsis dengan neuron orde kedua
yang terletak pada kelompok sel substantia gelatinosa cornu posterius
o Axon dari neuron orde kedua berjalan menyilang garis tengah pada comissura anterior
substantia grissea dam substantia alba kemudian naik keatas pada sisi kontra lateral
sebagai anterius. Sewaktu berjalan keatas, serabut saraf baru terus bertambah sesuai
dengan banyaknya segmen medulla spinalis, demikian rupa sehingga pada bagian atas
cervical terdapat
Serabut sraf yang datang dari sacral terletak posterolateral
10

Serabut saraf yang datang dari cervical terletak anteromedial (serebut saraf yang
menghantarkan rasa sakit terletak didepan yang menghantarkan sensasi suhu)
o Pada Medulla oblongata tractus tersebut terletak pada dataran lateral antara nucleus
olivarius inferius dengan nucleus tractus spinalis N.Trigeminus. disini ia bergabung
dengan
Tractus spinothalamicus anterius
Tractus spinotectalis
Yang kemudian gabungan dari ketiganya disebut lemniscus spinalis
o Pada pons kemudian naik keatas dibagian belakang pons
o Pada mesencephalon kemudian lemniscus medialis berjalan pada tegmentum ,
lateralis dari lemniscus medialis
o Pada diencephalon serabut saraf dari tractus spinothalamicus lateralis akan bersinapsis
dengan neuron orde ketiga yaitu nucleus posterolateral dari keolompok ventral
thalamus (bagian dari nucleus lateralis thalamus), dimana disini akan terjadi penilaian
kasar sensasi sakit dan suhu dan reaksi emosi mulai timbul.
o Axon dari neuron orde ketiga jalan memasuki crus posterior capsula interna dan
corona radiata untuk berakhi pada gyrus postcentralis (brodmann 3 2 1) . dari sini
informasi rasa sakit dan suhu akan diteruskan ke area motorik dan area asosiasi di
cortex lobus parietalis.
o Cortex cerevri gyrus psotcentralis berfungsi untuk menafsirkan suhu dan sakit
sehingga akan muncul kesadaran terkait sensasi tersbut.
o Pembagian secara fisiologis
Sewaktu memasuki medulla spinalis , sinyal rasa nyeri9 melewati dua jalur ke otak
yaitu:
Traktus neospinotalamikus
Traktus neospinotalamisu bergfungsi utnuk menyalurkan nyeri secara cepat.
Terutama terdiri atas serabut A-Delta yang tyerutama dilalui oleh rasa nyeri
mekanik dan nyeri suhu akut. Serabut perifer jalur ini berakhir pada lamina I
kornu dorsalis. Dan dari sini akan merangsang neuron orde dua dari tractus
neospinotalamicus. Neuron ini akan mengirimkan sinyal ke serabut panjang
yang terletak di dekat sisi lain medulla spinalis dalam komisura anterior dan
selanjutnya berbelok naik ke otak dalam kolumna anterolateralis.
Hanya sebagian kecil saja serabut neopinotalamikus berakhir di daerah
retikularis batang otak, sisaya melewati batang otak dan langsung berakir di
kompleks ventrobasal thalami.
Nyeri cepat dapat dilokalisasi dengan mudah di dalam tubuh
Neurotransmiter A delta umumnya adalah glutamat
Traktus paleospinotalamikus
Jalur ini befungsi untuk menjalarkan nyeri lambat-kronik , sebagian serabutnya
adalah tipe C, sebagian kecil A-delta. Dalam jaras ini, serabut-serabut perifer
berakhri pada lamina II dan II kornu dorsalis yang secara bersama-sama disebut
substansi gelatinosa, serabut C terletak lebih lateral dari A-delta. Setelah itu
akan berlanjut ke lamina V dan neuron-neuronnya merangsang akson-akson
panjang (yang juga menjadi penghantar nyeri cepat) yang mula-mula melewati
komisura anterior ke sisi berlawanan dari medulla spinalis ,kemudian naik ke
otak melalui jaras anterolateral
Neotransmiter nya adalah glutamat dan Substansi P, substansi P bersifat lebih
lambat dari Glutamat yang memungkinkan glutamat untuk sampai terlebih
dahulu. Yang menjelaskan suatu fenomena rasa sakit ganda
11

Jaras paleospinotalamikus berakhir kebanyakan di


o Mucleus retikularis medula, pons dan mesensefalon
o Area tektal mesensefalon sampai kolukulus usperior dan inferior
o Daerah periakuaduktus substansia grisea yang mengelilingi aquaductus sylvii
Kemampuan lokalisasi rasa nyeri pada jalur lambat sangatlah buruk dan
kebanyakan hanya dapat dilokalisasi di bagian tubuh yang luas
Formasio retikularis berfungsi untuk menimbulkan persepsio nyeri yang
disadari

2. Memahami dan menjelaskan nyeri kepala


2.1 Definisi Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah rasa sakit atau tidak nyaman antara orbita dengan kepala yang berasal
dari struktur sensitif terhadap rasa sakit ( sumber : Neurology and neurosurgery illustrated
Kenneth).
Apabila nyeri kepala melibatkan struktur-struktur di daerah infratentorium, nyeri tersebut dari
daerah oksipitalis kepala dan leher oleh akar saraf cervical atas. Nyeri supratentorium
dirasakan di bagian anterior kepala (daerah oksipital, temporalis, dan parietalis) dan terutama
diperantai oleh nervus trigeminus. (Kowalak, 2011)
2.2 Epidemiologi Nyeri Kepala
Prevalensi migren adalah 18,2% diantaranya wanita dan 6,5% pria, dengan 23% rumah
tangga memiliki paling sedikit 1 anggotanya yang mengidap migren. Sebelum usia 12 tahun
migren lebih sering terjadi pada anak laki-laki, namun setelah pubertas migren sering
dijumpai pada perempuan dengan rasio 2:1.
Pada nyeri kepala cluster lebih sering pada laki-laki (80% s/d 90%). Dalam sebuah studi,
nyeri kepala cluster memiliki insidensi 1/25 kali dibandingkan dengan nyeri migren. 90%
keluhan nyeri kepala bersifat vaskuler, timbul karena kontraksi otot atau kombinasi
keduanya; 10% yang lain terjadi karena gangguan intracranial, sistemik ataupun psikologis.
Gaya hidup, kondisi penyakit, jenis kelamin, umur, pemberian histamin atau nitrogliserin
sublingual dan faktor genetik berpengaruh terjadinya nyeri kepala. (Kenneth, 2004)
Faktor resiko terjadinya sakit kepala adalah gaya hidup, kondisi penyakit, jenis kelamin,
umur, pemberian histamin atau nitrogliserin sublingual dan faktor genetik. Prevalensi sakit
kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang (16,54%) atau 45 juta orang menderita sakit
kepala kronik dan 20 juta dari 45 juta tersebut merupakan wanita. 75 % dari jumlah di atas
adalah tipe tension headache yang berdampak pada menurunnya konsentrasi belajar dan
bekerja sebanyak 62,7 %. Menurut IHS, migren sering terjadi pada pria dengan usia 12 tahun
sedangkan pada wanita, migren sering terjadi pada usia besar dari 12 tahun. IHS juga
mengemukakan cluster headaache 80 90 % terjadi pada pria dan prevalensi sakit kepala
akan meningkat setelah umur 15 tahun.
2.3 Menjelaskan Etiologi Nyeri Kepala
Nyeri kepala dapat dibagi kepada tiga kelompok berdasarkan onsetnya iaitu nyeri kepala
akut, subakut dan kronik. Nyeri kepala akut ini biasanya disebabkan oleh subarachnoid
haemorrhage, penyakit-penyakit serebrovaskular, meningitis atau encephalitis dan juga
12

ocular disease. Selain itu, nyeri kepala ini juga bisa timbul disebabkan kejang, lumbar
punksi dan karena hipertensi ensefalopati.
Bagi nyeri kepala subakut, nyerinya biasa timbul karena giant cell arteritis, massa
intrakranial, neuralgia trigeminal, neuralgia glossofaringeal dan hipertensi.
Nyeri kronik timbul karena migren, nyeri kepala klaster, nyeri kepala tipe-tegang,
cervical spine disease, sinusitis dan dental disease. (Greenberg, 2002).
Dalam buku Disease of the Nervous System, dinyatakan bahwa nyeri kepala juga
disebabkan oleh penyakit pada tulang kranium, neuritis dan neuralgia, irritasi meningeal,
lesi di intracranial, trauma dan penurunan tekanan intracranial. Selain itu cough headache
dan psychogenic headache juga dapat menimbulkan nyeri kepala (Brain, dan Walton, J.N.,
1969). Nyeri kepala sering menyertai OSA(Obstructive Sleep Apnea); dibandingkan dengan
gangguan tidur yang lain, sefalgia lebih sering terjadi pada gangguan tidur OSA. (Gaharu,
M., Prasadja, A., 2009).
Sebagian besar nyeri kepala terjadi karena tegangan (kontraksi otot) dapat disebabkan
oleh:
Stres emosional, kelelahan, menstruasi, rangsangan dari lingkungan (bunyi berisik,
kerumunan banyak orang, cahaya yang terang).
Keadaan lain yang dapat menjadi penyebab: glaukoma, inflamasi pada mata atau mukosa
nasal atau sinus paranasal, penyakit pada kulit kepala, gigi, arteri ekstrakranial,
pemakaian obat-obat vasodilator (nitrat, alkohol dan histamin), penyakit sistemik,
hipertensi, peningkatan tekanan intracranial, trauma/tumor kepala, perdarahan, abses atau
aneurisma intrakranial.(Price, 2006)
2.4 Menjelaskan Klasifikasi Nyeri Kepala
Klasifikasi nyeri kepala menurut International Headache Society (HIS) membagi nyeri
kepala menjadi dua kategori utama.
Nyeri Kepala Primer
a. Migren
b. Tension type Headache
c. Nyeri kepala cluster dan sefalalgia trigeminal-otonomik yang lain
d. Nyeri kepala primer lainnya
Nyeri Kepala Sekunder
a. Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan/atau leher
b. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskuler kranial atau servikal
c. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan non vaskuler intrakranial
d. Nyeri kepala yang berkaitan dengan substansi atau withdrawal nya
e. Nyeri kepala yang berkaitan dengan infeksi
f. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan homeostasis
g. Nyeri kepala atau nyeri vaskuler yang berkaitan dengan kelainan kranium,
leher,mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau struktur facial atau kranial
lainnya.
h. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan psikiatrik
i. Neuralgia kranial, sentral atau nyeri facial primer dan nyeri kepala lainnya
j. Neuralgia kranial clan penyebab sentral nyeri facial
k. Nyeri kepala lainnya, neuralgia kranial, sentral atau nyeri facial primer

13

A. Migren
Definisi Migren
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyeri kepala dengan
serangan nyeri yang berlansung 4 72 jam. Nyeri biasanya unilateral, sifatnya
berdenyut, intensitas nyerinya sedang samapai berat dan diperhebat oleh aktivitas, dan
dapat disertai mual muntah, fotofobia dan fonofobia.
Etiologi dan Faktor Resiko Migren
Etiologi migren adalah sebagai berikut : (1) perubahan hormon (65,1%), penurunan
konsentrasi esterogen dan progesteron pada fase luteal siklus menstruasi, (2) makanan
(26,9%), vasodilator (histamin seperti pada anggur merah, natrium nitrat),
vasokonstriktor (tiramin seperti pada keju, coklat, kafein), zat tambahan pada makanan
(MSG), (3) stress (79,7%), (4) rangsangan sensorik seperti sinar yang terang
menyilaukan(38,1%) dan bau yang menyengat baik menyenangkan maupun tidak
menyenangkan, (5) faktor fisik seperti aktifitas fisik yang berlebihan (aktifitas seksual)
dan perubahan pola tidur, (6) perubahan lingkungan (53,2%), (7) alkohol (37,8%), (7)
merokok (35,7%). Faktor resiko migren adalah adanya riwayat migren dalam keluarga,
wanita, dan usia muda.
Epidemiologi Migren
Migren terjadi hampir pada 30 juta penduduk Amerika Serikat dan 75 % diantaranya
adalah wanita. Migren dapat terjadi pada semua usia tetapi biasanya muncul pada usia 10
40 tahun dan angka kejadiannya menurun setelah usia 50 tahun. Migren tanpa aura
lebih sering diabndingkan migren yang disertai aura dengan persentasi 9 : 1.
Klasifikasi Migren
Migren dapat diklasifikasikan menjadi migren dengan aura, tanpa aura, dan migren
kronik (transformed). Migren dengan aura adalah migren dengan satu atau lebih aura
reversibel yang mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi
batang otak, paling tidak ada satu aura yang terbentuk berangsur angsur lebih dari 4
menit, aura tidak bertahan lebih dari 60 menit, dan sakit kepala mengikuti aura dalam
interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit. Migren tanpa aura adalah migren tanpa
disertai aura klasik, biasanya bilateral dan terkena pada periorbital. Migren kronik adalah
migren episodik yang tampilan klinisnya dapat berubah berbulan- bulan sampai
bertahun- tahun dan berkembang menjadi sindrom nyeri kepala kronik dengan nyeri
setiap hari.
Patofisiologi Migren
Terdapat berbagai teori yang menjelaskan terjadinya migren. Teori vaskular, adanya
gangguan vasospasme menyebabkan pembuluh darah otak berkonstriksi sehingga terjadi
hipoperfusi otak yang dimulai pada korteks visual dan menyebar ke depan. Penyebaran
frontal berlanjuta dan menyebabkan fase nyeri kepala dimulai. Teori cortical spread
depression, dimana pada orang migrain nilai ambang saraf menurun sehingga mudah
terjadi eksitasi neuron lalu berlaku short-lasting wave depolarization oleh pottasiumliberating depression (penurunan pelepasan kalium) sehingga menyebabkan terjadinya
periode depresi neuron yang memanjang. Selanjutnya, akan terjadi penyebaran depresi
yang akan menekan aktivitas neuron ketika melewati korteks serebri.
14

Teori Neovaskular (trigeminovascular), adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan


produksi NO akan merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh darah sehingga
melepaskan CGRP (calcitonin gene related). CGRP akan berikatan pada reseptornya di
sel mast meningens dan akan merangsang pengeluaran mediator inflamasi sehingga
menimbulkan inflamasi neuron. CGRP juga bekerja pada arteri serebral dan otot polos
yang akan mengakibatkan peningkatan aliran darah. Selain itu, CGRP akan bekerja pada
post junctional site second order neuron yang bertindak sebagai transmisi impuls nyeri.
Diagnosa Migren
Anamnesa riwayat penyakit dan ditegakkan apabila terdapat tanda tanda khas migren.
Kriteria diagnostik IHS untuk migren dengan aura mensyaratkan bahwa harus terdapat
paling tidak tiga dari empat karakteristik berikut : (1) migren dengan satu atau lebih aura
reversibel yang mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi
batang otak, (2) paling tidak ada satu aura yang terbentuk berangsur angsur lebih dari 4
menit, (3) aura tidak bertahan lebih dari 60 menit, (4) sakit kepala mengikuti aura dalam
interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit
Kriteria diagnostik IHS untuk migren tanpa aura mensyaratkan bahwa harus terdapat
paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memenuhi kriteria
berikut : (a) berlangsung 4 72 jam, (b) paling sedikit memenuhi dua dari : (1) unilateral
, (2) sensasi berdenyut, (3) intensitas sedang berat, (4) diperburuk oleh aktifitas, (3) bisa
terjadi mual muntah, fotofobia dan fonofobia.
Pemeriksaan Penunjang Migren
Pemeriksaan untuk menyingkirkan penyakit lain ( jika ada indikasi) adalah pencitraan
( CT scan dan MRI) dan punksi lumbal.
Diferensial diagnosa Migren
Diferensial diagnosa migren adalah malformasi arteriovenus, aneurisma serebri,
glioblastoma, ensefalitis, meningitis, meningioma, sindrom lupus eritematosus,
poliarteritis nodosa, dan cluster headache.
Terapi Migren
Tujuan terapi migren adalah membantu penyesuaian psikologis dan fisiologis, mencegah
berlanjutnya dilatasi ekstrakranial, menghambat aksi media humoral ( misalnya serotonin
dan histamin), dan mencegah vasokonstriksi arteri intrakranial untuk memperbaiki aliran
darah otak.
Terapi tahap akut adalah ergotamin tatrat, secara subkutan atau IM diberikan sebanyak
0,25 0,5 mg. Dosis tidak boleh melewati 1mg/24 jam. Secara oral atau sublingual dapat
diberikan 2 mg segera setelah nyeri timbul. Dosis tidak boleh melewati 10 mg/minggu.
Dosis untuk pemberian nasal adalah 0,5 mg (sekali semprot). Dosis tidak boleh melewati
2 mg (4 semprotan). Kontraindikasi adalah sepsis, penyakit pembuluh darah,
trombofebilitis, wanita haid, hamil atau sedang menggunakan pil anti hamil. Pada wanita
hamil, haid atau sedang menggunakan pil anti hamil berikan pethidin 50 mg IM. Pada
penderita penyakit jantung iskemik gunakan pizotifen 3 sampai 5 kali 0,5 mg sehari.
Selain ergotamin juga bisa obat obat lain (lihat tabel 6). Terapi profilaksis
menggunakan metilgliserid malead, siproheptidin hidroklorida, pizotifen, dan
propanolol. Selain menggunakan obat obatan, migren dapat diatasi dengan
menghindari aktor penyebab, manajemen lingkungan, memperkirakan siklus menstruasi,
yoga, meditasi, dan hipnotis.
15

Komplikasi Migren
Komplikasi Migren adalah rebound headache, nyeri kepala yang disebabkan oleh
penggunaan obat obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.
Pencegahan Migren
Pencegahan migren adalah dengan mencegah kelelahan fisik, tidur cukup, mengatasi
hipertensi, menggunakan kacamata hitam untuk menghindari cahaya matahari,
mengurangi makanan (seperti keju, coklat, alkohol, dll.), makan teratur, dan menghindari
stress.
B. Tension Type Headache
Definisi Tension Type Headache (TTH)
Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus menerus otot- otot
kepala
dan
tengkuk
(
M.splenius
kapitis,
M.temporalis,
M.maseter,
M.sternokleidomastoid, M.trapezius, M.servikalis posterior, dan M.levator skapula).
Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH)
Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress, depresi, bekerja
dalam posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata, kontraksi otot yang
berlebihan, berkurangnya aliran darah, dan ketidakseimbangan neurotransmitter seperti
dopamin, serotonin, noerpinefrin, dan enkephalin.
Epidemiologi Tension Type Headache (TTH)
TTH terjadi 78 % sepanjang hidup dimana Tension Type Headache episodik terjadi 63 %
dan Tension Type Headache kronik terjadi 3 %. Tension Type Headache episodik lebih
banyak mengenai pasien wanita yaitu sebesar 71% sedangkan pada pria sebanyak 56 %.
Biasanya mengenai umur 20 40 tahun.
Klasifikasi Tension Type Headache (TTH)
Klasifikasi TTH adalah Tension Type Headache episodik dan dan Tension Type
Headache kronik. Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak
mencapai 15 hari setiap bulan. Tension Type Headache episodik (ETTH) dapat
berlangsung selama 30 menit 7 hari. Tension Type Headache kronik (CTTH) apabila
frekuensi serangan lebih dari 15 hari setiap bulan dan berlangsung lebih dari 6 bulan.
Patofisiologi Tension Type Headache (TTH)
Patofisiologi TTH masih belum jelas diketahui. Pada beberapa literatur dan hasil
penelitian disebutkan beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya TTH
sebagai berikut : (1) disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperan daripada sistem
saraf perifer dimana disfungsi sistem saraf perifer lebih mengarah pada ETTH sedangkan
disfungsi sistem saraf pusat mengarah kepada CTTH, (2) disfungsi saraf perifer meliputi
kontraksi otot yang involunter dan permanen tanpa disertai iskemia otot, (3) transmisi
nyeri TTH melalui nukleus trigeminoservikalis pars kaudalis yang akan mensensitasi
second order neuron pada nukleus trigeminal dan kornu dorsalis ( aktivasi molekul NO)
sehingga meningkatkan input nosiseptif pada jaringan perikranial dan miofasial lalu akan
terjadi regulasi mekanisme perifer yang akan meningkatkan aktivitas otot perikranial.
Hal ini akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter pada jaringan miofasial, (4)
hiperflesibilitas neuron sentral nosiseptif pada nukleus trigeminal, talamus, dan korteks
serebri yang diikuti hipesensitifitas supraspinal (limbik) terhadap nosiseptif. Nilai
16

ambang deteksi nyeri ( tekanan, elektrik, dan termal) akan menurun di sefalik dan
ekstrasefalik. Selain itu, terdapat juga penurunan supraspinal decending pain inhibit
activity, (5) kelainan fungsi filter nyeri di batang otak sehingga menyebabkan kesalahan
interpretasi info pada otak yang diartikan sebagai nyeri, (6) terdapat hubungan jalur
serotonergik dan monoaminergik pada batang otak dan hipotalamus dengan terjadinya
TTH. Defisiensi kadar serotonin dan noradrenalin di otak, dan juga abnormal serotonin
platelet, penurunan beta endorfin di CSF dan penekanan eksteroseptif pada otot temporal
dan maseter, (7) faktor psikogenik ( stres mental) dan keadaan non-physiological motor
stress pada TTH sehingga melepaskan zat iritatif yang akan menstimulasi perifer dan
aktivasi struktur persepsi nyeri supraspinal lalu modulasi nyeri sentral. Depresi dan
ansietas akan meningkatkan frekuensi TTH dengan mempertahankan sensitisasi sentral
pada jalur transmisi nyeri, (8) aktifasi NOS ( Nitric Oxide Synthetase) dan NO pada
kornu dorsalis.
Pada kasus dijumpai adanya stress yang memicu sakit kepala. Ada beberapa teori yang
menjelaskan hal tersebut yaitu (1) adanya stress fisik (kelelahan) akan menyebabkan
pernafasan hiperventilasi sehingga kadar CO2 dalam darah menurun yang akan
mengganggu keseimbangan asam basa dalam darah. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya alkalosis yang selanjutnya akan mengakibatkan ion kalsium masuk ke dalam
sel dan menimbulkan kontraksi otot yang berlebihan sehingga terjadilah nyeri kepala. (2)
stress mengaktifasi saraf simpatis sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah otak
selanjutnya akan mengaktifasi nosiseptor lalu aktifasi aferen gamma trigeminus yang
akan menghasilkan neuropeptida (substansi P). Neuropeptida ini akan merangsang
ganglion trigeminus (pons). (3) stress dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu alarm reaction,
stage of resistance, dan stage of exhausted. Alarm reaction dimana stress menyebabkan
vasokontriksi perifer yang akan mengakibatkan kekurangan asupan oksigen lalu
terjadilah metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob akan mengakibatkan penumpukan
asam laktat sehingga merangsang pengeluaran bradikinin dan enzim proteolitik yang
selanjutnya akan menstimulasi jaras nyeri. Stage of resistance dimana sumber energi
yang digunakan berasal dari glikogen yang akan merangsang peningkatan aldosteron,
dimana aldosteron akan menjaga simpanan ion kalium. Stage of exhausted dimana
sumber energi yang digunakan berasal dari protein dan aldosteron pun menurun sehingga
terjadi deplesi K+. Deplesi ion ini akan menyebabkan disfungsi saraf.
Diagnosa Tension Type Headache (TTH)
Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang kurangnya dua dari
berikut ini : (1) adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas ringan sedang, (3) lokasi
bilateral, (4) tidak diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak dijumpai mual muntah, tidak ada
salah satu dari fotofobia dan fonofobia.
Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan- sedang berat, tumpul seperti ditekan atau
diikat, tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah kulit kepala, oksipital,
dan belakang leher, terjadi spontan, memburuk oleh stress, insomnia, kelelahan kronis,
iritabilitas, gangguan konsentrasi, kadang vertigo, dan rasa tidak nyaman pada bagian
leher, rahang serta temporomandibular.
Pemeriksaan Penunjang Tension Type Headache (TTH): Tidak ada uji spesifik untuk
mendiagnosis TTH dan pada saat dilakukan pemeriksaa neurologik tidak ditemukan
kelainan apapun. TTH biasanya tidak memerlukan pemeriksaan darah, rontgen, CT scan
kepala maupun MRI.
17

Diferensial Diagnosa Tension Type Headache (TTH)


Diferensial Diagnosa dari TTH adalah sakit kepala pada spondilo-artrosis deformans,
sakit kepala pasca trauma kapitis, sakit kepala pasca punksi lumbal, migren klasik,
migren komplikata, cluster headache, sakit kepala pada arteritis temporalis, sakit kepala
pada desakan intrakranial, sakit kepala pada penyakit kardiovasikular, dan sakit kepala
pada anemia.
Terapi Tension Type Headache (TTH)
Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus dibimbing untuk mengetahui
arti dari relaksasi yang mana dapat termasuk bed rest, massage, dan/ atau latihan
biofeedback. Pengobatan farmakologi adalah simpel analgesia dan/atau mucles relaxants.
Ibuprofen dan naproxen sodium merupakan obat yang efektif untuk kebanyakan orang.
Jika pengobatan simpel analgesia (asetaminofen, aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka
dapat ditambah butalbital dan kafein ( dalam bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang
akan menambah efektifitas pengobatan.
Prognosis dan Komplikasi Tension Type Headache (TTH)
TTH pada kondisi dapat menyebabkan nyeri yang menyakitkan tetapi tidak
membahayakan.Nyeri ini dapat sembuh dengan perawatan ataupun dengan
menyelesaikan masalah yang menjadi latar belakangnya jika penyebab TTH berupa
pengaruh psikis. Nyeri kepala ini dapat sembuh dengan terapi obat berupa analgesia. TTh
biasanya mudah diobati sendiri. Progonis penyakit ini baik, dan dengan penatalaksanaan
yang baik maka > 90 % pasien dapat disembuhkan.
Komplikasi TTH adalah rebound headache yaitu nyeri kepala yang disebabkan oleh
penggunaan obat obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.
Pencegahan Tension Type Headache (TTH)
Pencegahan TTH adalah dengan mencegah terjadinya stress dengan olahraga teratur,
istirahat yang cukup, relaksasi otot (massage, yoga, stretching), meditasi, dan
biofeedback. Jika penyebabnya adalah kecemasan atau depresi maka dapat dilakukan
behavioral therapy. Selain itu, TTH dapat dicegah dengan mengganti bantal atau
mengubah posisi tidur dan mengkonsumsi makanan yang sehat.
C. Cluster Headache
Definisi Cluster Headache
Cluster headache adalah suatu sindrom idiopatik yang terdiri dari serangan yang jelas
dan berulang dari suatu nyeri periorbital unilateral yang mendadak dan parah.
Patofisiologi Cluster Headache
Patofisiologi dari cluster headache belum sepenuhnya dimengerti. Periodisitasnya
dikaitkan dengan pengaruh hormon pada hipotalamus (terutama nukleus
suprachiasmatik). Baru-baru ini neuroimaging fungsional dengan positron emision
tomografi (PET) dan pencitraan anatomis dengan morfometri voxel-base telah
mengidentifikasikan bagian posterior dari substansia grisea dari hipotalamus sebagai area
kunci dasar kerusakan pada cluster headache.
Nyeri pada cluster headache diperkirakan dihasilkan pada tingkat kompleks perikarotid
atau sinus kavernosus. Daerah ini menerima impuls simpatis dan parasimpatis dari
batang otak, mungkin memperantarai terjadinya fenomena otonom pada saat serangan.
18

Peranan pasti dari faktor-faktor imunologis dan vasoregulator, sebagaimana pengaruh


hipoksemia dan hipokapnia pada cluster headache masih kontroversial.
Penyebab Cluster Headache
Penyebab cluster headache masih belum diketahui. Cluster headache sepertinya tidak
berkaitan dengan penyakit lainnya pada otak.
Berdasarkan jangka waktu periode cluster dan periode remisi, international headache
society telah mengklasifikasikan cluster headache menjadi dua tipe :
1. Episodik, dalam bentuk ini cluster headache terjadi setiap hari selama satu minggu
sampai satu tahun diikuti oleh remisi tanpa nyeri yang berlangsung beberapa minggu
sampai beberapa tahun sebelum berkembangnya periode cluster selanjutnya.
2. Kronik, dalam bentuk ini cluster headache terjadi setiap hari selama lebih dari satu
tahun dengan tidak ada remisi atau dengan periode tanpa nyeri berlangsung kurang
dari dua minggu.
Sekitar 10 sampai 20 % orang dengan cluster headache mempunyai tipe kronik. Cluster
headache kronik dapat berkembang setelah suatu periode serangan episodik atau dapat
berkembang secara spontan tanpa di dahului oleh riwayat sakit kepala sebelumnya.
Beberapa orang mengalami fase episodik dan kronik secara bergantian.
Para peneliti memusatkan pada mekanisme yang berbeda untuk menjelaskan karakter
utama dari cluster headache. Mungkin terdapat riwayat keluarga dengan cluster headache
pada penderita, yang berarti ada kemungkinan faktor genetik yang terlibat. Beberapa
faktor dapat bekerja sama menyebabkan cluster headache.
Pemicu Cluster Headache : Tidak seperti migraine dan sakit kepala tipe tension, cluster
headache umumnya tidak berkaitan dengan pemicu seperti makanan, perubahan
hormonal atau stress. Namun pada beberapa orang dengan cluster headache adalah
merupakan peminum berat dan perokok berat. Setelah periode cluster dimulai, konsumsi
alkohol dapat memicu sakit kepala yang sangat parah dalam beberapa menit. Untuk
alasan ini banyak orang dengan cluster headache menjauhkan diri dari alkohol selama
periode cluster. Pemicu lainnya adalah penggunaan obat-obatan seperti nitrogliserin,
yang digunakan pada pasien dengan penyakit jantung.
Permulaan periode cluster seringkali setelah terganggunya pola tidur yang normal,
seperti pada saat liburan atau ketika memulai pekerjaan baru atau jam kerja yang baru.
Beberapa orang dengan cluster headache juga mengalami apnea pada saat tidur, suatu
kondisi dimana terjadinya kolaps sementara pada dinding tenggorokan sehingga
menyumbat jalan nafas berulang kali pada saat tidur.

Peningkatan Sensitivitas dari Jalur Saraf


Nyeri yang sangat pada cluster headache berpusat di belakang atau di sekitar mata, di
suatu daerah yang dipersarafi oleh nervus trigeminus, suatu jalur nyeri utama.
Rangsangan pada saraf ini menghasilkan reaksi abnormal dari arteri yang menyuplai
darah ke kepala. Pembuluh darah itu akan berdilatasi dan menyebabkan nyeri.
Beberapa gejala dari cluster headache seperti mata berair, hidung tersumbat dan atau
berair, serta kelopak mata yang sulit diangkat melibatkan sistem saraf otonom. Saraf
yang merupakan bagian dari sistem ini membentuk suatu jalur pada dasar otak.
Ketika saraf trigeminus di aktivasi, menyebabkan nyeri pada mata, sistem saraf
otonom juga diaktivasi dengan apa yang disebut refleks trigeminal otonom. Para
peneliti percaya bahwa masih ada proses yang belum diketahui yang melibatkan
19

peradangan atau aktivitas pembuluh darah abnormal pada daerah ini yang mungkin
terlibat menyebabkan sakit kepala.
Fungsi Abnormal dari Hipotalamus
Serangan cluster biasanya terjadi dengan pengaturan seperti jam 24 jam sehari.
Siklus periode cluster seringkali mengikuti pola musim dalam satu tahun. Pola ini
menunjukkan bahwa jam biologis tubuh ikut terlibat. Pada manusia jam biologis
terletak pada hipotalamus yang berada jauh di dalam otak. Dari banyak fungsi
hipotalamus, bagian ini mengontrol siklus tidur bangun dan irama internal lainnya.
Kelainan hipotalamus mungkin dapat menjelaskan adanya pengaturan waktu dan
siklus pada cluster headache. Penelitian telah menemukan peningkatan aktivitas di
dalam hipotalamus selama terjadinya cluster headache. Peningkatan aktivitas ini
tidak ditemukan pada orang-orang dengan sakit kepala lainnya seperti migraine.
Penelitian juga menemukan bahwa orang-orang yang mempunyai tingkat hormon
tertentu yang abnormal, termasuk melatonin dan testoteron, kadar hormon tersebut
meningkat pada periode cluster. Perubahan hormon-hormon tersebut dipercayai
karena ada masalah pada hipotalamus. Peneliti lainnya menemukan bahwa orangorang dengan cluster headache mempunyai hipotalamus yang lebih besar daripada
mereka yang tidak memiliki cluster headache. Namun masih belum diketahui
mengapa bisa terjadi kelainan-kelainan semacam itu.

Tanda dan Gejala Cluster Headache


Cluster headache menyerang dengan cepat, biasanya tanpa peringatan. Dalam hitungan
menit nyeri yang sangat menyiksa berkembang. Rasa nyeri tersebut biasanya
berkembang pada sisi kepala yang sama pada periode cluster, dan terkadang sakit kepala
menetap pada sisi tersebut seumur hidup pasien. Jarang sekali rasa nyeri berpindah ke
sisi lain kepala pada periode cluster selanjutnya. Jauh lebih jarang lagi rasa nyeri
berpindah-pindah setiap kali terjadi serangan.
Rasa nyeri pada cluster headache seringkali digambarkan sebagai suatu nyeri yang tajam,
menusuk, atau seperti terbakar. Orang-orang dengan kondisi ini mengatakan bahwa rasa
sakitnya seperti suatu alat pengorek yang panas ditusukkan pada mata atau seperti mata
di dorong keluar dari tempatnya.
Tanda dan gejala lainnya yang mungkin bersamaan dengan cluster headache antara lain :
a. Lubang hidung tersumbat atau berair pada sisi kepala yang terserang.
b. Kemerahan pada muka.
c. Bengkak di sekitar mata pada sisi wajah yang terkena.
d. Ukuran pupil mengecil.
e. Kelopak mata sulit untuk dibuka.
Tanda dan gejala tersebut hanya terjadi selama masa serangan. Namun demikina pada
beberapa orang kelopak mata yang sulit ditutup dan mengecilnya ukuran pupil tetap ada
lama setelah periode serangan. Beberapa gejala-gejala seperti migraine termasuk mual,
fotofobia dan fonofobia, serta aura dapat terjadi pada cluster headache.
Karakteristik Periode Cluster
Suatu periode cluster umumnya berlangsung antara 2 sampai 12 minggu. Periode cluster
kronik dapat berlanjut lebih dari satu tahun. Tanggal permulaan dan jangka waktu dari
tiap-tiap periode cluster seringkali dengan sangat mengagumkan konsisten dari waktu ke
waktu. Untuk kebanyakan orang, periode cluster dapat terjadi musiman, sperti tiap kali
musim semi atau tiap kali musim gugur. Adalah biasa untuk cluster bermula segera
20

setelah salah satu titik balik matahari. Seiring dengan waktu periode cluster dapat
menjadi lebih sering, lebih sulit untuk diramalkan, dan lebih lama.
Selama periode cluster, sakit kepala biasanya terjadi tiap hari, terkadang beberapa kali
sehari. Suatu serangan tunggal rata-rata berlangsung 45 sampai 90 menit. Serangan
terjadi pada waktu yang sama dalam tiap 24 jam. Serangan pada malam hari lebih sering
daripada siang hari, seringkali berlangsung 90 menit sampai 3 jam setelah tertidur. Waktu
tersering terjadinya serangan adalah antara jam satu sampai jam dua pagi, antara jam satu
sampai jam tiga siang dan sekitar jam sembilan malam.
Cluster headache dapat menakutkan penderita serta orang-orang di sekitarnya. Serangan
yang sangat membuat lemah sepertinya tak tertahankan. Namun nyerinya seringkali
hilang mendadak sebagaimana ia di mulai, dengan intensitas yang menurun secara cepat.
Setelah serangan, kebanyakan orang bebas sepenuhnya dari rasa sakit namun mengalami
kelelahan. Kesembuhan sementara selama periode cluster dapat berlangsung beberapa
jam sampai sehari penuh sebelum serangan selanjutnya.
Diagnosis Cluster Headache
Cluster headache mempunyai ciri khas tipe nyeri dan pola serangan. Suatu diagnosis
tergantung kepada gambaran dari serangan, termasuk nyeri, lokasi dan keparahan sakit
kepala, dan gejala-gejala lainnya yang terkait. Frekuensi dan lama waktu terjadinya sakit
kepala juga merupakan faktor yang penting.
Keterlibatan fenomena otonom yang jelas adalah sangat penting pada cluster headache.
Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah rinorea dan hidung tersumbat ipsilateral,
lakrimasi, hiperemi pada konjungtiva, diaforesis pada wajah, edema pada palpebra dan
sindrom Horner parsial atau komplit, takikardia juga sering ditemukan.
Pemeriksaan neurologis dapat membantu untuk mendeteksi tanda-tanda dari cluster
headache. Terkadang pupil terlihat lebih kecil atau palpebra terjatuh bahkan diantara
serangan.
Cluster headache adalah suatu diagnosis klinis, pada kasus-kasus yang jarang lesi
struktural dapat menyerupai gejala-gejala dari cluster headache, menegaskan perlunya
pemeriksaan neuroimaging. Uji yang dilakukan adalah CT- Scan dan MRI.
Diagnosis Banding Cluster Headache
Anisocoria
Atypical Facial Pain
Basilar Artery Thrombosis
Brainstem Gliomas
Cavernous Sinus Syndromes
Chronic Paroxysmal Hemicrania
Craniopharyngioma
Headache: Pediatric Perspective
Intracranial Hemorrhage
Migraine Headache
Migraine Variants
Pituitary Tumors
Postherpetic Neuralgia
Subarachnoid Hemorrhage
21

Temporomandibular Joint Syndrome


Tolosa-Hunt Syndrome
Trigeminal Neuralgia
Terapi Cluster Headache
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan cluster headache. Tujuan dari pengobatan adalah
menolong menurunkan keparahan nyeri dan memperpendek jangka waktu serangan.
Obat-obat yang digunakan untuk cluster headache dapat dibagi menjadi obat-obat
simtomatik dan profilaktik. Obta-obat simtomatik bertujuan untuk menghentikan atau
mengurangi rasa nyeri setelah terjadi serangan cluster headache, sedangkan obat-obat
profilaktik digunakan untuk mengurangi frekuensi dan intensitas eksaserbasi sakit
kepala.
Karena sakit kepala tipe ini meningkat dengan cepat pengobatan simtomatik harus
mempunyai sifat bekerja dengan cepat dan dapat diberikan segera, biasanya
menggunakan injeksi atau inhaler daripada tablet per oral.
Pengobatan simtomatik termasuk :
1. Oksigen. Menghirup oksigen 100 % melalui sungkup wajah dengan kapasitas 7
liter/menit memberikan kesembuhan yang baik pada 50 sampai 90 % orang-orang
yang menggunakannya. Terkadang jumlah yang lebih besar dapat lebih efektif.
Efek dari penggunaannya relatif aman, tidak mahal, dan efeknya dapat dirasakan
setelah sekitar 15 menit. Kerugian utama dari penggunaan oksdigen ini adalah
pasien harus membawa-bawa tabung oksigen dan pengaturnya, membuat
pengobatan dengan cara ini menjadi tidak nyaman dan tidak dapat di akses setiap
waktu. Terkadang oksigen mungkin hanya menunda daripada menghentikan
serangan dan rasa sakit tersebut akan kembali.
2. Sumatriptan. Obat injeksi sumatriptan yang biasa digunakan untuk mengobati
migraine, juga efektif digunakan pada cluster headache. Beberapa orang
diuntungkan dengan penggunaan sumatriptan dalam bentuk nasal spray namun
penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk menentukan keefektifannya.
3. Ergotamin. Alkaloid ergot ini menyebabkan vasokontriksi pada otot-otot polos di
pembuluh darah otak. Tersedia dalam bentuk injeksi dan inhaler, penggunaan intra
vena bekerja lebih cepat daripada inhaler dosis harus dibatasi untuk mencegah
terjadinya efek samping terutama mual, serta hati-hati pada penderita dengan
riwayat hipertensi.
4. Obat-obat anestesi lokal. Anestesi lokal menstabilkan membran saraf sehingga sel
saraf menjadi kurang permeabel terhadap ion-ion. Hal ini mencegah pembentukan
dan penghantaran impuls saraf, sehingga menyebabkan efek anestesi lokal.
Lidokain intra nasal dapat digunakan secara efektif pada serangan cluster
headache. Namun harus berhati-hati jika digunakan pada pasien-pasien dengan
hipoksia, depresi pernafasan, atau bradikardi.
Obat-obat profilaksis :
1. Anti konvulsan. Penggunaan anti konvulsan sebagai profilaksis pada cluster
headache telah dibuktikan pada beberapa penelitian yang terbatas. Mekanisme
kerja obat-obat ini untuk mencegah cluster headache masih belum jelas, mungkin
bekerja dengan mengatur sensitisasi di pusat nyeri.
2. Kortikosteroid. Obat-obat kortikosteroid sangat efektif menghilangkan siklus
cluster headache dan mencegah rekurensi segera. Prednison dosis tinggi diberikan
selama beberapa hari selanjutnya diturunkan perlahan. Mekanisme kerja
kortikosteroid pada cluster headache masih belum diketahui.
22

Pembedahan
Pembedahan di rekomendasikan pada orang-orang dengan cluster headache kronik yang
tidak merespon dengan baik dengan pengobatan atau pada orang-orang yang memiliki
kontraindikasi pada obat-obatan yang digunakan. Seseorang yang akan mengalami
pembedahan hanyalah yang mengalami serangan pada satu sisi kepal saja karena operasi
ini hanya bisa dilakukan satu kali. Orang-orang yang mengalami serangan berpindahpindah dari satu sisi ke sisi yang lain mempunyai resiko kegagalan operasi.
Ada beberapa tipe pembedahan yang dapat dilakukan untuk mengobati cluster headache.
Prosedur yang dilakukan adalah merusak jalur saraf yang bertanggungjawab terhadap
nyeri.
Blok saraf invasif ataupun prosedur bedah saraf non-invasif (contohnya radio frekuensi
pericutaneus, gangliorhizolisis trigeminal, rhizotomi) telah terbukti berhasil mengobati
cluster headache. Namun demikian terjadi efek samping berupa diastesia pada wajah,
kehilangan sensoris pada kornea dan anestesia dolorosa.
Pembedahan dengan menggunakan sinar gamma sekarang lebih sering digunakan karena
kurang invasif. Metode baru dan menjanjikan adalah penanaman elektroda perangsang
dengan menggunakan penunjuk jalan stereostatik di bagian inferior hipotalamus.
Penelitian menunjukkan bahwa perangsangan hipotalamus pada pasien dengan cluster
headache yang parah memberikan kesembuhan yang komplit dan tidak ada efek samping
yang signifikan.
Pencegahan Cluster Headache
Karena penyebab dari cluster headache masih belum diketahui dengan pasti kita belum
bisa mencegah terjadinya serangan pertama. Namun kita dapat mencegah sakit kepala
ulangan yang lebih berat. Penggunaan obat-obat preventif jangka panjang lebih
menguntungkan dari yang jangka pendek. Obat-obat preventif jangka panjang antara lain
adalah penghambat kanal kalsium dan kanal karbonat. Sedangakan yang jangka pendek
termasuk diantaranya adalah kortikosteroid, ergotamin dan obat-obat anestesi lokal.
Menghindari alkohol dan nikotin dan faktor resiko lainnya dapat membantu mengurangi
terjadinya serangan.
Prognosis Cluster Headache
80 % pasien dengan cluster headache berulang cenderung untuk mengalami
serangan berulang.
Cluster headache tipe episodik dapat berubah menjadi tipe kronik pada 4
sampai13 % penderita.
Remisi spontan dan bertahan lama terjadi pada 12 % penderita, terutama pada
cluster headache tipe episodik.
Umumnya cluster headache adalah masalah seumur hidup.
Onset lanjut dari gangguan ini teruama pada pria dengan riwayat cluster headache
tipe episodik mempunyai prognosa lebih buruk.

2.5 Menjelaskan Patofisiologi Nyeri Kepala


23

Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral.
Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit dan kutaneous allodynia didapat pada
penderita yang mendapat serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan
sebagai refleksi pemberatan respons dari neuron trigeminal sentral.
Innervasi sensoris sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari
ganglion terminal dan di dalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptida dimana
jumlah dan peranannya yang paling besar adalah CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide),
kemudian diikuti oleh SP(substance P), NKA(Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase
activating peptide (PACAP), nitric oxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGE2),
bradikinin, serotonin (5-TH) dan edenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi atau
mensensitisasi nosiseptor. Khusus untuk nyeri kepala klaster dan chronic paroxysmal
headache ada lagi pelepasan VIP(vasoactive intestine peptide) yang berperanan dalam
timbulnya gejala nasal congestion dan rhinorrhea.
Marker pain sensing nerves lain yang berperan dalam proses nyeri adalah opiod dynorphin,
sensory neuron-specific sodium channel, purinergic reseptors (P2X3), isolectin B4 (IB4),
neuropeptide Y, galanin dan artemin reseptor.
Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam transmisi dan modulasi
nyeri terletak dibatang otak. Batang otak memainkan peranan yang paling penting sebagai
pembawa impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi
sensoris sebagian besar berpusat di batang otak (misalnya periaquaductal grey matter, locus
coeruleus, nucleus raphe magnus dan formation reticularis), ia mengatur integrasi nyeri,
emosi dan respons otonomik yang melibatkan respons konvergensi kerja dari korteks
somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex dan struktur system limbik yang
lainnya. Dengan demikian batang otak disebut juga sebagai generator dan modulator sefalgia.
Stimuli electrod, atau deposisi zat besi ferum yang berlebihan pada periaquaduct grey (PAG)
matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren. Pada
penelitian MRI (Magnetic Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada
penderita migren, CDH (Chronic Daily Headahe) dan sampel kontrol yang non sefalgi,
didapat bukti adanya peninggian deposisi ferum di PAG pada penderita migren dan CDH
dibandingkan dengan control.
Patofisiologi CDH belum diketahui dengan jelas. Pada CDH justru yang paling berperan
adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor NMDA (N- metal-D-Aspertat),
produksi NO dan supersensitivitas akan menaikan produksi neuropeptide sensoris yang
bertahan lama. Kenaikan nitrit likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan kenaikan
kadar cGMP (cytoplasmic Guanosine Mono phosphate) di likuor.
Reseptor opiod didownregulasi oleh penggunaan konsumsi opiod analgetik yang cenderung
menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari sistem opiod
endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overused maka terjadi desensitisasi yang
berperan dalam perubahan dari migren menjadi CHD. Adanya inflamasi steril pada nyeri
kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel. Makrofag
melepaskan sitokin IL1 (Interleukin 1), IL6 dan TNF (Tumor Necrotizing Factor) dan NGF
(Nerve Growth Factor). Mast sel melepasi/mengasingkan metabolit histamin, serotonin,
prostaglandin dan asam arachidonik dengan kemampuan melakukan sensitisasi terminal sel
saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa reseptor dan peptida
(Sjahrir, 2004).
Beberapa mekanisme umum yang berpengaruh memicu nyeri kepala:

Peregangan atau pergeseran pembuluh darah: intrakranium atau ekstrakranium.


Traksi pembuluh darah.
Peregangan periosteum (nyeri local).
24

Degenerasi spina cervicalis atas disertai kompresi pada akar nervus cervicalis (misalnya,
arthritis vertebra cervicalis).
Defisiensi enkefalin (peptide otak mirip opiate, bahan aktif endorphin).
Sistem saraf simpatis pada dasarnya bertanggung jawab atas pengendalian neural
pembuluh darah cranium dan ekstrakranium. Nyeri kepala dapat memancar dari struktur yang
peka terhadap rasa nyeri seperti kulit, kulit kepala, otot, arteri dan vena; nervus kranialis V.
VII, IX dan X; atau nervus kranialis 1, 2, dan 3.
Empat fase nyeri kepala:
1. Normal. Arteri serebri dan arteri temporalis dipersarafi secara ekstrakranial; arteri dalam
parenkim otak tidak dipersarafi.
2. Vasokontriksi (aura). Vasokontriksi lokal neurogenik yang berkaitan dengan stres pada
arteri serebri yang dipersarafi akan mengurangi aliran darah ke dalam otak (iskemia lokal).
Secara sistematis, prostaglandin tromboksan akan meningkatkan agregasi trombosit dan
pelepasan serotonin, suatu vasokontriktor yang poten, serta mungkin pula zat adiktif lain.
3. Dilatasi arteri parenkim. Pembuluh darah parenkim otak yang tidak dipersarafi akan
berdilatasi sebagai reaksi terhadap keadaan asidosis dan anoksia (iskemia). Peningkatan
aliran darah, kenaikan tekanan internal dan peningkatan pulsasi pembuluh darah
menyebabkan aliran darah melintas pembuluh darah yang pada keadaan normal untuk
memberikan nutrisi.
4. Vasodilatasi. Mekanisme kompensasi menimbulkan vasodilatasi pada arteri yang
dipersarafi sehingga terjadi nyeri kepala. Agregasi trombosit dalam peredaran darah
sistemik berkurang dan penurunan kadar serotonin menyebabkan vasodilatasi.
(Kowalak, 2011)

25

2.6 Menjelaskan Manifestasi klinis Nyeri Kepala

Fase I : Prodromal - Sebanyak 50% pasien mengalami fase prodromal ini yang
berkembang pelan-pelan selama 24 jam sebelum serangan.
Gejala: kepala terasa ringan , tidak enak, iritabel, memburuk bila makan makanan tertentu
seperti makanan manis, mengunyah terlalu kuat, sulit/malas berbicara.

Fase II : Aura
Gangguan penglihatan yang paling sering dikeluhkan pasien. Khas pasien melihat seperti
melihat kilatan lampu blits (photopsia) atau melihat garis zig zag disekitar mata dan
hilangnya sebagian penglihatan pada satu atau kedua mata (scintillating scotoma).
Gejala sensoris yang timbul berupa rasa kesemutan atau tusukan jarum pada lengan,
dysphasia.
Fase ini berlangsung antara 5 60 menit. Sebanyak 80% serangan migraine tidak disertai
aura.

Fase III : Headache - Nyeri kepala yang timbul terasa berdenyut dan berat. Biasanya hanya
pada salah satu sisi kepal tetapi dapat juga pada kedua sisi. Sering disertai mual muntah
tidak tahan cahaya (photofobia) atau suara (phonofobia). Nyeri kepala sering memburuk
saat bergerak dan pasien lebih senang istrahat ditempat yang gelap dan ini sering berakhir
antara 2 72 jam.

26

Fase IV : Postdromal - Saat ini nyeri kepala mulai mereda dan akan berakhir dalam waktu
24 jam, pada fase ini pasien akan merasakan lelah, nyeri pada ototnya kadang kadang
euphoria. Setelah nyeri kepala hilang

Tipe
Tanda dan Gejala
Migrain tanpa aura ( migrain biasa)
Durasi 4 sampai 72 jam apabila tidak Gejala prodromal yang meliputi rasa lelah,
diobati
nausea, vomitus, dan ketidakseimbangan cairan
yang mendahului serangan sakit kepala.
Sensitive terhadap cahaya dan bunyi berisik.
Nyeri tipe sakit kepala (rasa pegal atau nyeri
berdenyut yang bias unilateral atau bilateral).
Migrain dengan aura (klasik)
Biasanya
terjadi
pada
kepribadian Gejala prodromal yang meliputi gangguan
kompulsif.
penglihatan seperti penampakan garis zig zag
dan cahaya yang terang, gangguan sensorik
(kesemutan pada wajah, bibir serta tangan),
gangguan motorik.
Sakit kepala yang periodik dan rekuren.
Migrain hemiplegik dan oftalmoplegik
Biasanya terjadi pada dewasa muda
Nyeri unilateral
Kelumpuhan otot ekstraokuler (N. cranial III)
dan psitosis.
Migrain hemiplegic terdapat gangguan neurologi
(hemiparesis, hemiplagia) yang dapat bertahan
meskipun sakit kepala sudah mereda.
Migrain arteri basilaris
Terjadi pada wanita muda periode haid
Gejala prodromal yang meliputi gangguan
penglihatan parsial dengan keluhan vertigo,
ataksia, tinnitus, kesemutan jari-jari tangan
serta kaki.
Nyeri kepala yang berupa nyeri berdenyut di
daerah oksipital dan vomitus.
(Kowalak, 2011)
Membedakan Nyeri Kepala
Jenis atau Penyebab
Ketegangan otot

Ciri Khas

Pemeriksaan
Diagnostik

Sakit kepala sering, nyeri hilang timbul,


tidak terlalu berat dan dirasakan di

Pemeriksaan untuk
menyingkirkan
27

kepala bagian depan dan belakang atau


kekakuan menyeluruh.

penyakit fisik serta


penilaian factor psikis
dan kepribadian.

Migraine

Nyeri dimulai di dalam di sekitar mata


atau pelipis, menyebar ke satu atau
kedua sisi kepala, biasanya mengenai
seluruh kepala, berdenyut dan disertai
dengan hilangnya nafsu makan, mual
dan muntah.

Jika diagnosisnya
masih meragukan dan
sakit kepala baru
terjadi, dilakukan CT
Scan atau MRI atau
diberikan obat migraine
untuk melihat efeknya.

Nyeri kepala cluster

Serangannya singkat (1jam), dirasakan


disatu sisi kepala, serangan terjadi
secara periodic, menyerang pria yang
disertai dengan pembengkakan mata,
hidung meler dan mata berari pada sisi
yang sama dengan nyeri.

Obat migraine
diberikan untuk melihat
efeknya (sumatriptan,
metisergid/obat
vasokonstriktor,
kortikosteroid,
indometasin) atau
menghirup O2.

Hipertensi

Nyerinya berdenyut dan dirasakan


dikepala bagian belakang atau dipuncak
kepala.

Analisa kimia darah


dan pemeriksaan ginajl.

Kelainan mata
(iritis, glaucoma)

Nyeri dirasakan di kepala bagian depan


atau di dalam dan di seluruh mata,
bersifat sedang sampai berat dan
seringkali memburuk jika mata dalam
keadaan lelah.

Pemeriksaan mata

Kelainan sinus

Nyeri bersifat akut atau subakut,


dirasakan di kepala bagian depan,
bersifat tumpul atau berat, biasanya
memburuk di pagi hari, membaik di
siang hari dan memburuk dalam
keadaan dingin atau lembab.

Rontgen sinus

Tumor otak

Nyeri hilang timbul, ringan sampai


berat, dirasakan di satu titik atau
diseluruh kepala. Kelemahan di salah
satu sisi tubuh semakin meningkat,
kejang, gangguan penglihatan,
kemampuan berbicara hilang, muntah
dan perubahan mental.

MRI atau CT Scan

Infeksi otak

Nyeri hilang timbul, ringan sampai

MRI atau CT Scan


28

berat, dirasakan disatu titik atau


diseluruh kepala. Sebelumnya penderita
pernah mengalami infeksi telinga, sinus
atau paru-paru, penyakit jantung
rematik atau jantung bawaan.
Meningitis

Nyeri baru dirasakan, menetap, berat


dan dirasakan di seluruh kepala serta
menjalar ke leher. Sakit disertai demam,
muntah dan sebelumnya mengalami
nyeri tenggorokan atau infeksi
pernafasan dan leher ditekuk.

Pemeriksaan darah,
pungsi lumbal.

Hematoma subdural

Nyeri hilang timbul atau terus-menerus,


ringan sampai berat, bisa dirasakan di
satu titik atau diseluruh kepala,
menjalar ke leher. Biasanya sebelumnya
telah terjadi cedera pada penderita yang
disertai penurunan kesadaran.

MRI atau CT Scan

Perdarahan
subarachnoid

Nyeri baru dirasakan, menyebar, hebat


dan menetap, kadang dirasakan di
dalam dan di sekitar mata, kelopak mata
turun.

MRI atau CT Scan, jika


hasilnya (-) maka
dilakukan pungsi
lumbal.

Sifilis, tuberculosis,
criptococcus,
kanker,

Nyeri bersifat tumpul sampai berat dan


dirasakan diseluruh kepala atau di
puncak kepala, menderita demam meski
tidak terlalu tinggi dan terdapat riwayat
sifilis, tuberculosis, kriptokosis,
sarkoidosis atau kanker pada pasien.

Pungsi lumbal

2.7 Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Nyeri Kepala


Amanmesis
Pertanyaan umum pada anamnesa keluhan nyeri kepala:
1. Apakah nyeri kepala itu merupakan nyeri kepala biasa?
Istilah biasa disini berarti nyeri kepala yang terjadi kadang-kadang tanpa sebab yang
jelas dan lazim diderita banyak orang. Namun kemungkinan adanya gangguan
biokimiawi dibalik nyeri tersebut juga tidak dapat disingkirkan.
2. Apakah pasien pernah mengalami gangguan cedera kepala yang terjadi segera,
beberapa minggu bahkan beberapa bulan sebelum timbulnya nyeri kepala untuk
pertama kali?
Nyeri kepala semacam ini bisa merupakan suatu gejala sisa setelah seseorang
mengalami kontusio cerebri atau perdarahan subdural.
3. Apakah disertai gejala demam?
29

Jika ya, penyebabnya harus dipikirkan. Pada penyakit-penyakit infeksi tertentu,


terutama demam tifoid dan infeksi yang disebabkan oleh arbovirus, nyeri kepala dapat
dirasakan sangat hebat sehingga menutupi keluhan demamnya.
4. Bagaimana pasien menjelaskan nyeri kepala (lokasi, frekuensi, waktu, durasi, kualitas,
faktor pemicu, faktor pereda)?
5. Apakah nyeri kepala timbul tersendiri atau disertai kelainan lain (mual, muntah, pusing,
fotofobia, penglihatan kabur)?
(Price, 2006)
Pertanyaan diagnostik spesifik:
1. Apakah nyeri kepala menggangu kehidupan anda?
2. Apakah ada perubahan pola nyeri kepala selama 6 bulan terakhir?
3. Seberapa sering anda mengalami nyeri kepala tipe apapun?
4. Seberapa sering anda menggunakan obat untuk mengatasi nyeri kepala?
Kriteria diagnostik Migrain Tanpa Aura

Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan.


Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati atau tidak berhasil
diobati).
Nyeri kepala mempunyai sedikitnya 2 diantara karakteristik berikut:
1. Lokasi unilateral
2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang atau berat
4. Keadaan bertambah berat oleh aktifitas fisik atau pasien menghindari aktivitas fisik
rutin (seperti berjalan atau naik tangga).
Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini:
1. Nausea dan atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia.

Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain.

Kriteria diagnostik Migrain dengan Aura

Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan.


Minimal memenuhi 3 dari 4 kriteria berikut ini :
1. Satu atau lebih gejala aura yang reversibel yang mengindikasikan gejala fokal kortikal
atau disfungsi batang otak.
2. Minimal gejala aura muncul secara gradual dalam waktu > 4 menit.
3. Gejala aura tidak berlangsung dalam waktu > 60 menit.
4. Sakit kepala yang diikuti dengan aura disertai interval 60 menit.

Tidak dijumpai adanya kelainan organik.

Kriteria diagnostik Tension type headache

30

Minimal ada 10 serangan nyeri kepala dengan frekuensi < 15 x/bulan atau < 180
x/tahun.
N
Gejala
Tension
Cluster
Migren
Tumor
y
Headache
Headache
Otak
er
Gender
PR:LK=1,4:1
LK:PR=5:1
PR:LK=5:1
???
i
Usia
Semua usia
Semua usia
20-50 tahun
20-40
tahun
Kronis/Akut
Akut dan
Akut dan
Akut
Kronis
Kronis
Kronis
Lokasi Nyeri
Leher, rahang
Mata, sisi
Sisi sebelah
Seluruh
wajah
atau semua sisi
kepala,
memberat
Waktu Timbul Nyeri
Pagi hari
Setiap waktu
Pagi hari
Pagi hari
Muntah
+
+
Mual
+
+
Sakit Kepala saat
+
mengedan,
BAB,
batuk
kepala berlangsung dari 30 menit 7 hari.
Minimal ada 2 kriteria nyeri sebagai berikut :
1. Rasa seperti ditekan/berat di kepala (non pulsating, tidak berdenyut).
2. Intensitas nyeri ringan sedang.
3. Lokasi bilateral.
4. Tidak teragregasi oleh aktifitas fisik.
Tidak dijumpai nausea, vomitus, photophobia, phonophobia jarang dijumpai.
1) Pemeriksaan penunjang
Laboratorium darah ,LED
Lumbal punksi
Elektroensefalografi
CT Scan kepala , MRI

Tension Type Headache (TTH)


Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang kurangnya
dua dari berikut ini : (1) adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas ringan
sedang, (3) lokasi bilateral, (4) tidak diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak dijumpai
mual muntah, tidak ada salah satu dari fotofobia dan fonofobia.
Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan- sedang berat, tumpul seperti
ditekan atau diikat, tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah kulit
kepala, oksipital, dan belakang leher, terjadi spontan, memburuk oleh stress,
insomnia, kelelahan kronis, iritabilitas, gangguan konsentrasi, kadang vertigo, dan
rasa tidak nyaman pada bagian leher, rahang serta temporomandibular.
Pemeriksaan Penunjang Tension Type Headache (TTH) Tidak ada uji spesifik
untuk mendiagnosis TTH dan pada saat dilakukan pemeriksaa neurologik tidak
ditemukan kelainan apapun. TTH biasanya tidak memerlukan pemeriksaan darah,
rontgen, CT scan kepala maupun MRI.

Migren
Anamnesa riwayat penyakit dan ditegakkan apabila terdapat tanda tanda
31

khas migren. Kriteria diagnostik IHS untuk migren dengan aura mensyaratkan bahwa
harus terdapat paling tidak tiga dari empat karakteristik berikut : (1) migren dengan
satu atau lebih aura reversibel yang mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan
atau tanpa disfungsi batang otak, (2) paling tidak ada satu aura yang terbentuk
berangsur angsur lebih dari 4 menit, (3) aura tidak bertahan lebih dari 60 menit, (4)
sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit
Kriteria diagnostik IHS untuk migren tanpa aura mensyaratkan bahwa harus
terdapat paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memenuhi
kriteria berikut : (a) berlangsung 4 72 jam, (b) paling sedikit memenuhi dua dari :
(1) unilateral , (2) sensasi berdenyut, (3) intensitas sedang berat, (4) diperburuk oleh
aktifitas, (3) bisa terjadi mual muntah, fotofobia dan fonofobia.
Pemeriksaan Penunjang Migren Pemeriksaan untuk menyingkirkan penyakit
lain ( jika ada indikasi) adalah pencitraan ( CT scan dan MRI) dan punksi lumbal.

Sakit Kepala Cluster


Tidak seperti migraine, nyeri kepala cluster selalu unilateral dan biasanya
terjadi pada region yang sama secara berulang-ulang. Nyeri kepala ini umumnya
terjadi pada malam hari, membangunkan pasien dari tidur, terjadi tiap hari, seringkali
terjadi lebih dari sekali dalam satu hari. Nyeri kepala ini bermulai sebagai sensasi
terbakar (burning sensastion) pada aspek lateral dari hidung atau sebagai sensasi
tekanan pada mata. Injeksi konjunctiva dan lakrimasi ipsilateral, kongesti nasal,
ptosis, photophobia, sindrom Horner, bahkan ditemukan pula pasien dengan gejala
gastrointestinal
Diagnosis Banding
2.8 Menjelaskan penatalaksanaan nyeri kepala
Nyeri kepala dapat diobati dengan preparat asetilsalisilat dan jika nyeri kepala sangat
berat dapat diberikan preparat ergot (ergotamin atau dihidroergotamin). Bila perlu dapat
diberikan intravena dengan dosis 1 mg dihidroergotaminmetan sulfat atau ergotamin 0,5 mg.
Preparat Cafergot ( mengandung kafein 100 mg dan 1 mg ergotamin) diberikan 2 tablet pada
saat timbul serangan dan diulangi jam berikutnya.
Pada pasien yang terlalu sering mengalami serangan dapat diberikan preparat
Bellergal (ergot 0,5 mg; atropin 0,3 mg; dan fenobarbital 15mg) diberikan 2 3 kali sehari
selama beberapa minggu. Bagi mereka yang refrakter dapat ditambahkan pemberian ACTH
(40 u/hari) atau prednison (1mg/Kg BB/hari) selama 3 4 minggu.
Preparat penyekat beta,seperti propanolol dan timolol dilaporkan dapat mencegah
timbulnya serangan migren karena mempunyai efek mencegah vasodilatasi kranial. Tetapi
penyekat beta lainnya seperti pindolol, praktolol, dan aprenolol tidak mempunyai efek
teraupetik untuk migren, sehingga mekanisme kerjanya disangka bukan semata mata

32

penyekat beta saja. Preparat yang efektif adalah penyekat beta yang tidak memiliki efek ISA (
Intrinsic Sympathomimetic Activity).
Cluster headache umunya membaik dengan pemberian preparat ergot. Untuk varian
Cluster headache umumnya membaik dengan indometasin. Tension type headache dapat
diterapi dengan analgesik dan/atau terapi biofeedback yang dapat digunakan sebagai
pencegahan timbulnya serangan.
Terapi preventif yang bertujuan untuk menurunkan frekuensi, keparahan, dan durasi
sakit kepala. Terapi ini diresepkan kepada pasien yang menderita 4 hari atau lebih serangan
dalam sebulan atau jika pengobatan di atas tidak efektif. Terapi ini harus digunakan setiap
hari. Terapi preventif tersebut adalah pemberian beta bloker, botox, kalsium channel blokers,
dopamine reuptake inhibitors, SSRIs, serotonin atau dopamin spesifik, dan TCA.
Tata Laksana untuk nyeri kepala tipe tegang
a.
o

Terapi
Non farmakologis
Terapi perilaku
Konseling
Terapi perilaku
Terapi manajemen stress
Latihan relaksasi
Biofeedback.
Intervensi medis
Blokade saraf occipital
Ice packs
Panas
Farmakologis
Terapi farmakologis yang ada adalah NSAID berupa
Acetaminophen
Aspirin
Ibuprofen
Naproxen
Ketoprofen
Ketorolac

Obat-obat ini tidak boleh dikonsumsi melebihi 9 hari karena akan menyebabkan timbulnya
komplikasi berupa progresi ke tipe kronik.

Kegagalan terapi dengan Over the counter medicine menandakan perlunya obat
preskripsi
Dapat juga ditambahakan butalbital dan codeine pada regimen NSAID
Terapi profilaksis dapat diberikan pada pasien yang bertipe kronik dengan serangan
lebih dari dua kali dalam satu minggu dengan durasi selama 3-4 jam.
33

Tricyclic Anti Depressant dapat diberikan pada pasien untuk mencegah terjadinya
suatu depresi.

Perlu diingat bahwa dengan adanya resiko substance abuse, maka terapi hanya digunakan
untuk membantu pasien-pasien yang mengalami kesulitan dengan hanya menggunakan
behavioural therapy, bukan sebagai suatu lini pertama.

Tabel Obat profilaksis Migren


Jenis Obat
-blokers
Atenolol
Metaprolol
Nadolol
Propanolol
Calcium channel
blockers
Flunarizine
Verapamil

Serotonin
receptor
antagonists
Methysergide

Pizotyline
(pizotifen)
Tricyclic
analgesics
Amitriptiline
Nortriptiline

Anti-epileptik
Divalproex
Sodium
valproate
Valproic acid
Gabapentin

Dosis

Efek Samping

Kontraindikasi

50-150mg/hr
100-200 mg/hr
20-160 mg/hr
40-240 mg/hr

Fatigue, bronchospasm,
bradikardi,
hipotensi,
depresi, congestive heart
failure, impotensi,
gangguan tidur.

Pasien asma, DM,


peny.
vaskuler
perifer,
heart block, ibu
hamil.

5-10 mg/hr
240-320 mg/hr

Fatigue,
bradikardi,
konstipasi,
edema.

ibu
hamil,
hipertensi, aritmia.

2 mg
(max8mg/hr)

depresi,
hipotensi,
nausea,

Retroperitoneal,cardiac
and
pulmonary fibrosis
Weight gain, Fatigue.

hipertensi,
kehamilan,
tromboflebitis.

10-150 mg
10-150 mg

Mulut kering, konstipasi,


weight gain, drowsiness,
reduced
seizure
threshold, cardiovascular
effects.

kelainan
ginjal,
jantung,
glaukoma,
hipertensi.

500-1500 mg/d
500-1500 mg/d
500-1500 mg/d

Nausea, tremor, weight


gain,
alopecia, increased liver
enzyme levels.
Dizzines, fatique, ataxia,
nausea, tremor.

0.5 mg (max 36 mg/hr)

900-1800
mg/hr (max
2400)

liver,
paru,

(Kenneth, 2004)
34

2.9 Menjelaskan Komplikasi Nyeri Kepala


Komplikasi TTH adalah rebound headache yaitu nyeri kepala yang disebabkan oleh
penggunaan obat - obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dllyang berlebihan. Tension
type headache episodik dapat berkembang menjadi tipe kronik, dan depresi akibat gejalanya
dapat terjadi sebagai suatu komplikasi pada pasien. Komplikasi Migren adalah rebound
headache, nyeri kepala yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan analgesia seperti
aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.
2.10 Menjelaskan Prognosis Nyeri Kepala
Prognosis nyeri kepala bergantung pada jenis sakit kepalanya sedangkan indikasi merujuk
pada keadaan : (1) sakit kepala yang tiba-tiba dan timbul kekakuan di leher, (2) sakit kepala
dengan demam dan kehilangan kesadaran, (3) sakit kepala setelah terkena trauma mekanik
pada kepala, (4) sakit kepala disertai sakit pada bagian mata dan telinga, (5) sakit kepala yang
menetap pada pasien yang sebelumnya tidak pernah mengalami serangan, (6) sakit kepala
yang rekuren pada anak.
2.11
Menjelaskan Pencegahan Nyeri Kepala
Pencegahan nyeri kepala adalah dengan mengubah pola hidup dengan cara mengatur pola
tidur yang sama setiap hari, berolahraga secara rutin, makan makanan sehat dan teratur,
kurangi stress, menghindari pemicu nyeri kepala yang telah diketahui. (Price, 2006)
3. Memahami dan Menjelaskan Bentuk Lain dari Nyeri Somatoform
Ada 5 gangguan somatoform yang spesifik yaitu :
Gangguan somatisasi
1 Adanya beberapa keluhan fisik (multiple symptom) yang berulang, dimana ketika
diperiksa secara fisik/medis, tidak ditemukan adanya kelainan tetapi ia tetap kontinyu
memeriksakan diri. Gangguan tidak muncul karena penggunaan obat. Keluhan yang
umumnya, misalnya sakit kepala, sakit perut, sakit dada, mestruasi tidak teratur, dll
2 Pasien menunjukkan keluhan dengan cara histrionik, berlebihan, seakan
tersiksa/merana.
3 Berulang memeriksa diri ke dokter, kadang menggunakan berbagai obat, dirawat di
RS bahkan dilakukan operasi.
4 Sering ditemukan masalah perilaku atau hubungan personal seperti kesulitan dalam
pernikahan.
Gangguan konversi
1 Kondisi dimana panca indera atau otot-otot tidak berfungsi walaupun secara
fisiologis, pada sistem saraf atau organ-organ tubuh tersebut tidak terdapat
gangguan/kelainan.
2 Secara fisiologis, orang normal dapat mengalami sebagian atau kelumpuhan total
pada tangan, lengan, atau gangguan koordinasi, kulit rasanya gatal atau seperti
ditusuk-tusuk, ketidak pekaan terhadap nyeri atau hilangnya kemampuan untuk
merasakan sensasi (anastesi), kelumpuhan, kebutaan, tidak dapat mendengar, tidak
dapat membau, suara hanya berbisik, dll.
3 Biasanya muncul tiba-tiba dalam keadaan stres, adanya usaha individu untuk
menghindari beberapa aktivitas atau tanggungjawab.
4 Konsep Freud : energi dari insting yang di repres berbalik menyerang dan
menghambat fungsi saluran sensorimotor.
35

Kecemasan dan konflik psikologik diyakini diubah dalam bentuk simptom fisik.

Hipokondriasis
1 Meyakini/ketakutan atau pikiran yang berlebihan dan menetap bahwa dirinya
memiliki suatu penyakit fisik yang serius
2 Adanya reaksi fisik yang berlebihan terhadap sensasi fisik/tubuh (salah interpretasi
terhadap gejala fisik yang dialaminya), misalnya otot kaku, pusing/sakit kepala,
berdebar-debar, kelelahan.
3 Melakukan banyak tes lab, menggunakan banyak obat, memeriksakan diri ke banyak
dokter atau RS
4 Keyakinan ini terus berlanjut, tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dokter,
walaupun hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya penyakit dan sudah
diyakinkan.
5 Keyakinan ini menyebabkan adanya distress atau hambatan dalam fungsi sosial,
pekerjaan atau aspek penting lainnya.
Gangguan dimorfik tubuh
1 Keyakinan akan adanya masalah dengan penampilan atau melebih-lebihkan
kekurangan dalam hal penampilan (misalnya : keriput di wajah, bentuk atau ukuran
tubuh)
2 Keyakinan/perhatian berlebihan ini meyebabkan stress, menghabiskan banyak waktu,
menjadi mal-adaptive atau menimbulkan hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan
atau aspek penting lainnya (menghindar/tidak mau bertemu orang lain, keluar sekolah
atau pekerjaan), juga menyebabkan dirinya sering harus konsultasi untuk operasi
plastik
3 Bagian tubuh yang diperhatikan sering bervariasi, kadang dipengaruhi budaya.
Gangguan nyeri
1 Gangguan dimana individu mengeluhkan adanya rasa nyeri yang sangat dan
berkepanjangan, namun tidak dapat dijelaskan secara medis (bahkan setelah
pemeriksaan yang intensif)
2 Rasa nyeri ini bersifat subyektif, tidak dapat dijelaskan, bersifat kronis, muncul di
satu atau beberapa bagian tubuh.
3 Rasa nyeri ini menyebabkan stress atau hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan dan
aspek penting lainnya.
4 Faktor-faktor psikologis sering memainkan peranan penting dalam memunculkan,
memperburuk rasa nyeri.
Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi,
1. gangguan somatisasi
2. gangguan somatoform tak terperinci
3. gangguan hipokondriasis
4. disfungsi otonomik somatoform
5. gangguan nyeri somatoform menetap
6. gangguan somatoform lainnya
7. gangguan somayoform YTT
4. Memahami dan Menjelaskan Nyeri Somatoform
4.1 Menjelaskan Definisi Somatoform
36

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah
tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan (Pardamean E, 2007).
Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik, dimana
tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut terdapat bukti
positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor
psikologis atau konflik. Karena gejala tak spesifik dari beberapa sistem organ dapat terjadi
pada penderita anxietas maupun penderita somatoform disorder, diagnosis anxietas sering
disalahdiagnosiskan menjadi somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya
somatoform disorder, tidak menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang. Pada DSM-IV
ada 4 kategori penting dari somatoform disorder, yaitu hipokhondriasis, gangguan
somatisasi, gangguan konversi dan gangguan nyeri somatoform (Iskandar Y, 2009).
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk
menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan
fisik yang lebih lanjut. (PPDGJ III, 1993).
4.2 Menjelaskan Etiologi Somatoform

Gangguan Somatisasi : Substitusi instiktual yang direpresi, pengajaran parental,


kondisi rumah tidak stabil, penyiksaan fisik, penurunan metabolisme lobus frontalis
dan hemisfer nondominan, genetika, regulasi abnormal sitokin.
Gangguan Konversi : Represi konflik intrapsikis bawah sadar dan konversi
kecemasan ke dalam suatu gejala psikis, hipometabolisme hemisfer dominan,
hipermetabolisme hemisfer nondominan, gangguan komunikasi hemisferik.
Hipokondriasis : Misinterpretasi gejala-gejala tubuh, model belajar sosial, varian
gangguan depresif dan kecemasan, harapan agresif dan permusuhan terhadap orang
lain.
Gangguan Dismorfik Tubuh : Melibatkan metabolisme serotonin, pengaruh kultural
dan sosial.
Gangguan Nyeri : Ekspresi simbolik intrapsikis melalui tubuh (aleksitimia), perilaku
sakit, manipulasi untuk mendapat keuntungan hubungan interpersonal, melibatkan
serotonin, defisiensi endorfin.Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di
bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor
genetik dalam transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya
penurunan metabolism (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan
hemisfer non dominan

Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut (Nevid dkk, 2005):
a.Faktor-faktor Biologis Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis
(biasanya pada gangguan somatisasi).

37

b.Faktor Lingkungan Sosial Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung,
seperti peran sakit yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
c.Faktor Perilaku. Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang tidak
nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder).
Adanya perhatian untuk menampilkan peran sakit
Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan dismorfik
tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang diasosiasikan dengan
keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatan atau kerusakan fisik yang dipersepsikan.
d.Faktor Emosi dan Kognitif Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan
kognitif, penyebab ganda yang terlibat adalah sebagai berikut:
Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simtom fisik sebagai tanda dari adanya penyakit
serius (hipokondriasis).
Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impulsimpuls yang tidak
dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom fisik (gangguan konversi).
Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan suatu strategi
self-handicaping (hipokondriasis).
Faktor Resiko Gangguan Somatoform
Riwayat orangtua
Pola asuh dalam keluarga yang salah
Wanita lebih banyak menderita
Memiliki kepribadian yang mudah cemas
Orang yang tertutup
Alkoholism
Penyalahgunaan obat
4.3 Menjelaskan Epidemiologi Nyeri Somatoform
Gangguan Somatisasi
- Wanita : pria = 10 :1, bermula pada masa remaja atau dewasa muda
- Rasio tertinggi usia 20- 30 tahun
- Pasien dengan riwayat keluarga pernah menderita gangguan somatoform (berisiko 10-20
kali lebih besar dibanding yang tidak ada riwayat)
Gangguan Somatoform Tak Terinci
Bervariasi, di USA 10%-12% terjadi pada usia dewasa dan 20 % menyerang wanita.
Gangguan Hipokondrik
Biasanya terjadi pada usia dewasa, rasio antara wanita dan pria sama
38

Gangguan Nyeri Somatoform Menetap


Terjadi pada semua tingkatan usia, di USA 10-15% pasien datang dengan keluhan nyeri
punggung.
Gangguan Konvensi
Terjadi pada 11-500 per 100.000 penduduk. Biasanya terjadi pada usia anak-anak (akhir)
hingga dewasa (awal). Jarang terjadi sebelum usia 10 tahun dan setelah 35 tahun
Gangguan Dismorfik Tubuh
Muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya
berkaitan dengan depresi, fobia sosial, gangguan kepribadian (Phillips & McElroy, 2000;
Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
4.4 Menjelaskan Klasifikasi Nyeri Somatoform
Ada 5 gangguan somatoform yang spesifik adalah:
a. Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak
sistem organ.
b. Gangguan konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
c. Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
d. Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang
berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
e. Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk gangguan somatoform:
a. Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang tidak
digolongkan salah satu diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.
b. Not otherwise specified (NOS), gangguan somatoform yang tidak ditentukan adalah
kategori untuk gejala somatoform yang tidak memenuhi diagnosis gangguan
somatoform yang sebelumnya disebutkan.
4.5 Menjelaskan Manifestasi Klinis Nyeri Somatoform
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti
hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang
mendasari keluhannya (Kapita Selekta, 2001). Beberapa orang biasanya mengeluhkan
masalah dalam bernafas atau menelan, atau ada yang menekan di dalam tenggorokan.
Masalah-masalah seperti ini dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang
simpatis sistem saraf otonomik, yang dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala,
sejumlah simtom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti kelumpuhan pada
tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga
dapat ditemukan manifestasi di mana seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka
menderita penyakit yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat
ditemukan (Nevid, dkk, 2005).
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima
bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang
39

lebih lanjut (PPDGJ III, 1993). Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan
bahwa mereka menderita penyakit serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang
dapat ditemukan.
Gambaran keluhan gejala somatoform :
Neuropsikiatri:
kedua bagian dari otak saya tidak dapat berfungsi dengan baik ;
saya tidak dapat menyebutkan benda di sekitar rumah ketika ditanya
Kardiopulmonal:
jantung saya terasa berdebar debar. Saya kira saya akan mati
Gastrointestinal:
saya pernah dirawat karena sakit maag dan kandung empedu dan belum ada dokter yang
dapat menyembuhkannya
Genitourinaria:
saya mengalami kesulitan dalam mengontrol BAK, sudah dilakukan pemeriksaan namun
tidak di temukan apa-apa
Musculoskeletal
saya telah belajar untuk hidup dalam kelemahan dan kelelahan sepanjang waktu
Sensoris:
pandangan saya kabur seperti berkabut, tetapi dokter mengatakan
kacamata tidak akan membantu
Beberapa tipe utama dari gangguan somatoform adalah
hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan somatisasi.

gangguan konversi,

Gangguan somatisasi
1. Adanya beberapa keluhan fisik (multiple symptom) yang berulang, dimana ketika
diperiksa secara fisik/medis, tidak ditemukan adanya kelainan tetapi ia tetap kontinyu
memeriksakan diri. Gangguan tidak muncul karena penggunaan obat. Keluhan yang
umumnya, misalnya sakit kepala, sakit perut, sakit dada, mestruasi tidak teratur, dll
2. Pasien menunjukkan keluhan dengan cara histrionik, berlebihan, seakan
tersiksa/merana.
3. Berulang memeriksa diri ke dokter, kadang menggunakan berbagai obat, dirawat di
RS bahkan dilakukan operasi.
4. Sering ditemukan masalah perilaku atau hubungan personal seperti kesulitan dalam
pernikahan.
Gangguan konversi
1. Kondisi dimana panca indera atau otot-otot tidak berfungsi walaupun secara
fisiologis, pada sistem saraf atau organ-organ tubuh tersebut tidak terdapat
gangguan/kelainan.
40

2. Secara fisiologis, orang normal dapat mengalami sebagian atau kelumpuhan total
pada tangan, lengan, atau gangguan koordinasi, kulit rasanya gatal atau seperti
ditusuk-tusuk, ketidak pekaan terhadap nyeri atau hilangnya kemampuan untuk
merasakan sensasi (anastesi), kelumpuhan, kebutaan, tidak dapat mendengar, tidak
dapat membau, suara hanya berbisik, dll.
3. Biasanya muncul tiba-tiba dalam keadaan stres, adanya usaha individu untuk
menghindari beberapa aktivitas atau tanggungjawab.
4. Konsep Freud : energi dari insting yang di repres berbalik menyerang dan
menghambat fungsi saluran sensorimotor.
5. Kecemasan dan konflik psikologik diyakini diubah dalam bentuk simptom fisik.
Hipokondriasis
1. Meyakini/ketakutan atau pikiran yang berlebihan dan menetap bahwa dirinya
memiliki suatu penyakit fisik yang serius
2. Adanya reaksi fisik yang berlebihan terhadap sensasi fisik/tubuh (salah interpretasi
terhadap gejala fisik yang dialaminya), misalnya otot kaku, pusing/sakit kepala,
berdebar-debar, kelelahan.
3. Melakukan banyak tes lab, menggunakan banyak obat, memeriksakan diri ke banyak
dokter atau RS
4. Keyakinan ini terus berlanjut, tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dokter,
walaupun hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya penyakit dan sudah
diyakinkan.
5. Keyakinan ini menyebabkan adanya distress atau hambatan dalam fungsi sosial,
pekerjaan atau aspek penting lainnya.
Gangguan dimorfik tubuh
1. Keyakinan akan adanya masalah dengan penampilan atau melebih-lebihkan
kekurangan dalam hal penampilan (misalnya : keriput di wajah, bentuk atau ukuran
tubuh)
2. Keyakinan/perhatian berlebihan ini meyebabkan stress, menghabiskan banyak waktu,
menjadi mal-adaptive atau menimbulkan hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan
atau aspek penting lainnya (menghindar/tidak mau bertemu orang lain, keluar sekolah
atau pekerjaan), juga menyebabkan dirinya sering harus konsultasi untuk operasi
plastik
3. Bagian tubuh yang diperhatikan sering bervariasi, kadang dipengaruhi budaya.
Gangguan nyeri
1. Gangguan dimana individu mengeluhkan adanya rasa nyeri yang sangat dan
berkepanjangan, namun tidak dapat dijelaskan secara medis (bahkan setelah
pemeriksaan yang intensif)
2. Rasa nyeri ini bersifat subyektif, tidak dapat dijelaskan, bersifat kronis, muncul di
satu atau beberapa bagian tubuh.
3. Rasa nyeri ini menyebabkan stress atau hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan dan
aspek penting lainnya.
4. Faktor-faktor psikologis sering memainkan peranan penting dalam memunculkan,
memperburuk rasa nyeri.
4.6 Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis banding Nyeri Somatoform
Gangguan Somatisasi
41

(PPDGJ-III)
Untuk gangguan somatisasi, diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:
Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun
Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.
(DSM-IV)
Keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun, terjadi selama periode beberapa tahun
Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan,
- 4 gejala nyeri: sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya
kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi,
selama hubungan seksual, atau selama miksi)
- 2 gejala gastrointestinal: sekurangnya dua gejala selain nyeri (misalnya mual,
kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap
beberapa jenis makanan)
- 1 gejala seksual: sekurangnya satu gejala selain dari nyeri (misalnya indiferensi
seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan
menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).
- 1 gejala pseudoneurologis: sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan
pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis, sulit menelan, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi
atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti
amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).
Salah satu (1) atau (2):
- Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek
langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
- Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau
pura-pura).
Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial:
Aksis I: Gangguan somatoform, somatisasi
Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III: tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV: masalah dengan keluarga
Aksis V: GAF Scale 51-60: gejala sedang, disabilitas sedang
Gangguan Somatoform Tak Terinci
(PPDGJ-III)
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang tak terperinci
Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan tetapi gambaran
klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak terpenuhi
Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas, akan tetapi
tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-keluhannya.
42

Atau
- Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)
- Salah satu (1) atau (2)
Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh
kondisi medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dari suatu zat
(misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan
sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan
menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
- Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. Durasi gangguan sekurangnya
enam bulan.
- Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya
gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan,
gangguan tidur, atau gangguan psikotik).
- Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau berpura-pura)
Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial
Aksis I: Gangguan somatoform Tak Terperinci
Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III: tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV:
Aksis V: GAF Scale 61-70
Gangguan Hipokondrik
(PPDGJ-III)
Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis
Untuk diagnosis pasti gangguan hipokondrik, kedua hal ini harus ada:
Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius
yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak
menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang
menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak
sampai waham)
Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya
Ciri-ciri diagnostik dari hipokondriasis:
- Perokupasi (keterpakuan) dengan ketakutan menderita, ide bahwa ia menderita suatu
penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala
tubuh.
- Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat.
- Tidak disertai dengan waham dan tidak terbatas pada kekhawatiran tentang penampilan
(seperti pada gangguan dismorfik tubuh).
- Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. Lama gangguan sekurangnya 6
bulan.

43

Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum,
gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, gangguan depresif berat, cemas
perpisahan, atau gangguan somatoform lain.
Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial
Aksis I: Gangguan somatoform, hipokondriasis
Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III: tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV:
Aksis V: GAF Scale 51-60 gejala sedang, disabilitas sedang

Disfungsi Otonomik Somatoform


(PPDGJ-III)
Kriteria diagnostik yang diperlukan :
- Ada gejala bangkitan otonomik seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka panas, yang
sifatnya menetap dan mengganggu
- Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (tidak khas)
- Preokupasi dengan penderitaan mengenai kemungkinan adanya gangguan yang serius
yang menimpanya, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan maupun penjelasan
dari dokter
- Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari
sistem/organ yang dimaksud
- Kriteria ke 5, ditambahkan :
F.45.30 = Jantung dan Sistem Kardiovaskular
F.45.31 = Saluran Pencernaan Bagian Atas
F.45.32 = Saluran Pencernaan Bagian Bawah
F.45.33 = Sistem Pernapasan
F.45.34 = Sistem Genito-Urinaria
F.45.38 = Sistem atau Organ Lainnya
Gangguan nyeri somatoform menetap
(PPDGJ-III)
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri
- Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis
- Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
- Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan,
eksaserbasi atau bertahannya nyeri.
- Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
- Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau
gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
Contoh Penulisan Diagnosis Multiaksial
Aksis I: gangguan somatoform, nyeri menetap
44

Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II


Aksis III: tidak ada
Aksis IV:
Aksis V: GAF Scale 51-60 gejala sedang, disabilitas sedang

Gangguan Somatoform Lainnya


(PPDGJ-III)

Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui system saraf otonom, dan terbatas
secara spesifik pada bagian tubuh atau system tertentu. Ini sangat berbeda dengan
gangguan somatisasi dan gangguan somatoform tak terinci yang menunjukan keluah
yang banyak dan berganti-ganti
Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan

Gangguan Konvensi
(DSM-IV)
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi
Ciri-ciri diagnostik dari gangguan konversi adalah sebagai berikut:
Paling tidak terdapat satu simptom atau defisit yang melibatkan fungsi motorik
volunternya atau fungsi sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik.
Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut karena onset atau
kambuhnya simptom fisik terkait dengan munculnya
Orang tersebut tidak dengan sengaja menciptakan simptom fisik tersebut atau berpurapura memilikinya dengan tujuan tertentu.
Simptom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola respon, juga tidak
dapat dijelaskan dengan gangguan fisik apa pun melalui landasan pengujian yang tepat.
Simptom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam satu atau lebih
area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin perhatian
medis.
Simptom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah pada fungsi seksual, juga tidak
dapat disebabkan oleh gangguan mental lain. Akan tetapi, beberapa orang dengan
gangguan konversi menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutkan terhadap
simptom-simptom yang muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la belle
indifference (ketidakpedulian yang indah)
Gangguan Dismorfik Tubuh
(DSM-IV)
45

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh


- Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali
tubuh, kekhawatiran orang tersebut menjadi berlebihan.
- Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
- Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa)
4.7 Menjelaskan Penatalaksanaan Nyeri Somatoform
Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu
orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk
meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka
alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan
pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam
proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis
behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform,
beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan
tersebut.
Terapi untuk Somatization Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang
diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin
banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang sakit sekian lama maka akan tumbuh
kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada
menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum
mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan
fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan,
mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang
penyakitnya atau tidak.
Terapi untuk Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi
hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis
memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan
(Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat
bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya
dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh
dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g.
Salkovskis&Warwick, 1986;Visser & Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004).
Terapi untuk Pain Disorder
Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut:
Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam
pikiran penderita.
Relaxation training
Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami
rasa nyeri
46

Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat
dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita
bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih
baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan
yang penderita rasakan.
Penanganan Gangguan Somatoform secara umum
Pendekatan behavioral untuk menangani gangguan konversi dan somtoform lainnya
menekankan pada menghilangkan sumber dari reinforcement sekunder (keuntungan
sekunder) yang dapat dihubungkan dalam keluhan-keluhan fisik. Terapis behavioral dapat
bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang
tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif.

Antipsikosis
Antipsikotika, juga disebut neuroleptika atau major tranquillizers, adalah obat-obat yang
dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi umum,
seperti berpikir dan kelakuan normal. Obat-obat ini dapat meredakan emosi dan agresi, dan
dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa, seperti impian dan pikiran
khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal. Oleh karena itu,
antipsikotika terutama digunakan pada psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan sakit
pada pasien, misalnya penyakit schizofrenia ("gila") dan psikosis mania-depresif.
Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik. Kegunaannya pada psikoneurosis dan penyakit psikosomatik belum jelas. Ciri terpenting obat neuroleptik ialah :
Berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas
emosional pada pasien psikosis. Efek ini tidak berhubungan langsung dengan efek
sedatif;
Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anestesia;
Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel; dan
Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan psikik dan fisik.
Golongan obat antipsikosis
A. Antipsikosis tipikal: klorpromazin dan derivat fenotiazin
FARMAKODINAMIK. Efek farmakologiknya meliputi efek pada:
Susunan Saraf Pusat : menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak
acuh terhadap rangsang dari lingkungan. CPZ menimbulkan efek
menenangkan pada hewan buas. Semua derivat fenotoazin mempengaruhi
ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek ekstra
piramidal).
Neurologik : G gejala sindrom neurologik yang karakteristik dari obat ini. 4 di
antaranya biasa terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia,
parkinsonisme dan sindrom neuroleptic malignant; yang terakhir jarang
terjadi. 2 sindrom yang lain terjadi setelah pengobatan berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, berupa tremor perioral (jarang) dan diskenia tardif).
Otot rangka
FARMAKOKINETIK
47

B. Antipsikosis tipikal lainnya


Haloperidol
Merupakan golongan butirofenon.
FARMAKODINAMIK. Pada orang normal, efek haloperidol mirip dengan
fenotiazin piperazin. Pada SSP, haloperidol menenangkan dan menyebabkan
tidur pada orang yang mengalami eksitasi, sedangkan efek haloperidol pada
EEG adalah menyerupai CPZ yakni memperlambat dan menghambat jumlah
gelombang teta.
Dibenzoksazepin
C. Antipsikosis atipikal
Klozapin
Risperidon
Olanzapin
Quetiapin
Ziprasidon
Mekanisme kerja obat
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk ke dalam CCS (cairan cerebrospinal),
dan obat-obat ini melakukan kegiatannya secara langsung terhadap saraf otak. Mekanisme
kerjanya pada taraf biokimiawi belum diketahui dengan pasti, tetapi ada petunjuk kuat bahwa
mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar neurotransmitter di otak atau antarkeseimbangannya.
Antipsikosis menghambat (agak) kuat reseptor dopamin (D2) di sistem limbis otak dan di
samping itu juga menghambat reseptor D1/D4, 1 (dan 2)-adrenerg, serotonin, muskarin,
dan histamin. Akan tetapi, pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula
blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai otak telah menunjukkan bahwa
blokade-D2 saja tidak selalu cukup untuk menanggulangi schizofrenia secara efektif. Untuk
ini, neurohormon lainnya, seperti serotonin (5HT2), glutamat, dan GABA (gamma-butyric
acid), perlu dipengaruhi.
Mulai kerjanya blokade-D2 cepat, begitu pula efeknya pada keadaan gelisah. Sebaliknya,
kerjanya terhadap gejala psikose lain, seperti waham, halusinasi, dan gangguan pikiran baru
nyata setelah beberapa minggu. Mungkin efek lambat ini (masa latensi) disebabkan sistem
reseptor-dopamin menjadi kurang peka.
Indikasi
A. Indikasi psikiatrik
Antipsikotis. Obat-obat ini digunakan untuk gangguan jiwa dengan gejala
psikotis, seperti schizofrenia, mania, dan depresi psikotis.
obat-obat ini digunakan untuk menangani gangguan perilaku serius pada
pasien demensia dan dengan handikap rohani, juga untuk keadaan gelisah akut
(excitatio) dan penyakit lata (p. Gilles de la Tourette).
Anxiolitis, yaitu mampu meniadakan rasa bimbang, takut, kegelisahan, dan
agresi yang hebat. Oleh karena itu, adakalanya obat ini digunakan dalam dosis
rendah sebagai minor tranquillizer pada kasus-kasus besar, di mana
benzodiazepin kurang efektif, misalnya pimozida dan thioridazin. Berhubung
48

efek sampingnya, penggunaan antipsikotika dalam dosis rendah sebagai


anxiolitika tidak dianjurkan.
B. Indikasi non-psikiatrik
Antiemetis berdasarkan hambatan neurotransmisi dari CTZ (Chemo Trigger
Zone) ke pusat muntah dengan jalan blokade reseptor dopamin, Karena sifat
inilah, obat ini sering digunakan untuk melawan mual dan muntah yang hebat,
seperti pada terapi sitostatika; sedangkan pada mabuk-jalan tidak efektif. Obat
dengan daya antiemetis kuat adalah proklorperazin dan thietilperazin. Obat
lain dengan daya antimual yang baik dalam dosis rendah adalah klorpromazin,
perfenazin, triflupromazin, flufenazin, haloperidol (dan metoklopramida).
Analgetis. Beberapa antipsikotika memiliki khasiat analgetis kuat, antara lain
levomepromazin, haloperidol, dan droperidol (Thalamonal). Tetapi obat ini
jarang digunakan sebagai obat antinyeri, kecuali droperidol. Obat lainnya
dapat memperkuat efek analgetika dengan jalan meningkatkan ambang-nyeri,
misalnya klorpromazin.
Klorpromazin dan haloperidol adakalanya juga digunakan pada sedu/cegukan
(hiccup) yang tidak berhenti berhari-hari dan gangguan keseimbangan bila
obat lain tidak ampuh.

49

Pemilihan Sediaan

50

Efek samping

Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa :


1. Sedasi dan inhibisi psikomotor > rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
2. Gangguan otonomik > hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik, mulut kering,
kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung.
51

3. Gangguan ekstrapiramidal (EPS) > distonia akut, akathisia, sindrom parkinson


(tremor, bradikardi, rigiditas).
4. Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynecomastia), gangguan metabolik (jaundice),
gangguan hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka lama.
Efek samping yang irreversible adalah tardive dyskinesia, yaitu gerakan berulang involunter
pada lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala ini
menghilang. Biasanya gejala ini timbul pada pemakaian jangka panjang dan pada usia lanjut.
Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis obat anti-psikotik (non dose related).
Bila terjadi gejala-gejala tersebut, obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan, bisa dicoba
pemberian obat Reserpine 2,5mg/h. Obat pengganti anti-psikosis yang paling baik adalah
Clozapine 50-100mg/h.
Penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang harus dilakukan pemeriksaan laboratorium :
darah rutin, urine lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal. Ini dilakukan untuk mendeteksi dini
perubahan akibat efek samping obat. Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan
kematian sebagai akibat overdosis atau untuk bunuh diri.
4.8 Menjelaskan Komplikasi Nyeri Somatoform
1. Kehidupan yang bergantung pada orang lain
2. Suicide.
4.9 Menjelaskan Pencegahan Nyeri Somatoform
Pertama, mulai berolah raga dengan baik dan teratur serta menjaga pola makan dengan
asupan gizi yang seimbang. Hal ini berguna untuk menjaga metabolism tubuh. Sehingga
menjadi prima.
Kedua, Apabila gangguan serangan cemas akan rasa sakit menyerang, katakan pada diri anda
stop, lalu lakukan relaksi dengan cara mengatur aliran nafas anda.
Ketiga, Lakukan lah medical check up 1 tahun 1 kali, secara rutin. Dengan harapan dapat
mengetahui kondisi fisikyang sebenarnya (membuat anda tenang), dan melakukan langkah
pencegahan jika ditemukan penyakit dalam diri.
Self talk Tubuh saya sehat, dan saya baik-baik saja. (katakan pada diri anda, setiap hari saat
anda bercermin setiap saat, dan katakan juga indahnya hari ini, saya bersyukur karena tuhan
masih mengijinkan saya menikmati setiap karuniaNya
4.10 Menjelaskan Prognosis Nyeri Somatoform
Prognosis pada gangguan somatoform sangat bervariasi, tergantung umur pasien dan sifat
gangguannya (kronik atau episodik). Umumnya, gangguan somatoform prognosisnya baik,
dapatditangani secara sempurna. Sangat sedikit sekali yang mengalami eksarsebasi, dapat
52

bervariasidari mild-severe dan kronis. Pengobatan yang lebih awal dan menjadikan prognosis
menjadilebih baik. Secara independen tidak meningkatkan risiko kematian. Kematian lebih
disebabkankarena upaya bunuh diri. (Kaplan, 1999)

4. Memahami dan menjelaskan keluarga sakkinah,mawaddah,warrahmah


Sakinah mawaddah warahmah.
Kata Sakinah. Sakinah merupakan pondasi dari bangunan rumah tangga yang sangat
penting. Tanpanya, tiada mawaddah dan warahmah. Sakinah itu meliputi kejujuran, pondasi
iman dan taqwa kepada Allah SWT.
Dalam Al Quran pun dikatakan bahwa suatu saat, akan banyak orang yang saling berkasih
sayang di dunia, tetapi di akhirat kelak mereka akan bermusuhan, menyalahkan dan saling
melempar tanggung jawab. Kecuali orang-orang yang berkasih sayang dilandasi dengan cinta
kepada Allah SWT. Kata adalah mawaddah. Mawaddah itu berupa kasih sayang. Setiap
mahluk Allah kiranya diberikan sifat ini, mulai dari hewan sampai manusia. Dalam konteks
pernikahan, contoh mawaddah itu berupa kejutan suami untuk istrinya, begitu pun
sebaliknya. Misalnya suatu waktu si suami bangun pagi-pagi sekali, membereskan rumah,
menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Dan ketika si istri bangun, hal tersebut merupakan
kejutan yang luar biasa.
Kata terakhir adalah warahmah. Warahmah ini hubungannya dengan kewajiban. Kewajiban
53

seorang suami menafkahi istri dan anak-anaknya, mendidik, dan memberikan contoh yang
baik. Kewajiban seorang istri untuk menaati suaminya. Intinya warahmah ini kaitannya
dengan segala kewajiban.
Kewajiban Suami Istri dalam Islam
HAK BERSAMA SUAMI ISTRI
1.
2.

Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (ArRum: 21)
Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya.
(An-Nisa: 19 Al-Hujuraat: 10)
3.
Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa: 19)
4.
Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)

SUAMI KEPADA ISTRI

1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.
9.

11.
12.

Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan
agama. (At-aubah: 24)
Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan Rasul-Nya.
(At-Taghabun: 14)
Hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan:
74)
Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah
(makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih
dari satu. (AI-Ghazali)
Jika istri berbuat Nusyuz, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara
berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak
menyakitkan. (An-Nisa: 34) Nusyuz adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal
ketaatan kepada Allah.
Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan
paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(AthThalaq: 7)
8.
Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya
terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar
bin Khattab ra., Hasan Bashri)
10.
Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Yala)
Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang,
tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa: 19)
Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah
sendiri. (Abu Dawud).
54

DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, H.I., Sadock B.J. (1997). Sinopsis Psikiatri Jilid II Edisi ke-7. Jakarta. Binarupa
Aksara.
Mansjoer, A.A.,etc. (2004). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta. Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. (2003). Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta.
Maslim, R. (2001). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III. Jakarta.
Kowalak, Jennifer P., William Welsh. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Uddin, Jurnalis. (2009). Anatomi Susunan Saraf Manusia. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Yarsi.
Price.Sylvia A.,Wilson.Lorraine M, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit., Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood, Lauralee. (2004). Fisiologi Manusia dari sel ke sistem Edisi 2. Jakarta. EGC.
Gunawan , Sulistis Gan et all. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta. FKUI.
Maramis, W.F. (1997). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi VI. Surabaya. Airlangga
University Press.
F. Bear, Barry W. Connors, Michael A. (2007). Paradiso Neuroscience Exploring the
Brain third edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.

McPhee, Stephen J, Maxine A. Papadakis. (2009). Nervous System disorders. Current


Medical Diagnosis and Treatment . San Fransisco. McGraw-Hill Companies.

Lindsay, Kenneth W. (2004). Headache. Neurology and Neurosurgery. London. Churchill


Livingstone.

The International Classification of Headache Disorders, 2nd Edition. Cephalalgia (2004).

Yutzy SH. (2006). Somatization. In: Blumenfield M, Strain JJ, penyunting.


Psychosomatic Medicine. 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins.

Khan AA, Khan A, Harezlak J, Tu W, Kroenke K. (2003). Somatic symptoms in primary


care: Etiology and outcome. Psychosomatics.
55

56

You might also like