You are on page 1of 33

BAB I

IDENTITAS PASIEN
IDENTITAS
Nama
Tempat, tanggal lahir
Usia
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Alamat
Tanggal masuk RS
No. Rekam Medik

: Ny T
: Jakarta, 04-12-1958
: 54 Tahun
: perempuan
: Ibu rumah tangga
: Jakarta Pusat
: 13 Juli 2014
: 00 57 59 03

ANAMNESIS
Keluhan Utama : napsu makan menurun sejak 2minggu SMRS
Keluhan tambahan : lemas (+), mual (+)
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien usia 54 tahun datang ke IGD dengan keluhan napsu makan menurun sejak 2 minggu
SMRS. Selama 2 minggu pasien hanya mampu makan 2 sendok makan setiap hari. Selain itu
pasien merasa mual, namun tidak sampai muntah, badannya sangat lemas, dan tidak bertenaga
sampai mengganggu aktivtasnya, nyeri kepala terutama bagian tengkuk, pusing (-). Sesak napas
(-). Batuk (-), pilek (-), sakit perut (-). BAK dan BAB lancar dan tidak ada keluhan. Sebelum
datang ke IGD sempat minum obat DM dan hipertensi.
Satu hari sebelum masuk IGD pasien sempat tidak sadarkan diri, kemuadian setelah pasien sadar,
pasien langsung diberikan teh manis oleh anaknya.
Satu tahun yang lalu pasien sering sekali merasa lapar, sering merasa haus sehingga membuat
pasien sering minum dan sering BAK terutama pada malam hari. Selain itu pasien juga sering
nyeri kepala bagian tengkuk, kesemutan di kaki dan tangan. Setelah sering mengalami hal itu
satu tahun yang lalu pasien sempat terserang stroke dan dirawat 2 minggu di RS. Pemeriksaan
GDS tertinggi pasien 409 mg/dl
Riwayat Penyakit Dahulu :

DM sejak 1 tahun yang lalu


Hipertensi +
Riwayat stroke 1 tahun yang lalu
Tidak ada riwayat penyakit jantung

Riwayat Penyakit Keluarga :


Ada riwayat Tekanan Darah Tinggi Ibu dan ayah
Tidak ada riwayat penyakit diabetes melitus
Tidak ada riwayat penyakit jantung

Riwayat Pengobatan

: belum melakukan pengobatan.


Pasien masih rutin mengkonsumsi obat DM dan obat hipertensinya

Riwayat Alergi

: alergi makanan dan alergi obat disangkal

Riwayat psikososial

: pasien sering mengontrol gula darah dan tekanan darahnya, selain itu
pasien juga sangat menjaga asupan makanannya karna takut gula
darahnya tinggi lagi. Mengkonsumsi makanan yang asin dan manis
disangkal. Setiap hari pasien menggunakan gula khusus DM.

PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran Umum
Kesadaran
Tanda-tanda vital

Tekanan Darah
Suhu
Nadi
Pernafasan

Antropometri
Berat Badan
Tinggi Badan
Status Gizi

: Tampak sakit sedang


: Composmentis

:170/90 mmHg
: 36,2oC
:88x/menit
:20 x/menit

:55 kg
:165 cm
: Normal

STATUS GENERALIS
Kepala

: Normocephal, Rambut tidak rontok.

Mata

: refleks cahaya (+/+) (isokor), Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)

Hidung

: sekret (-/-) ,epistaksis (-/-), deviasi septum (-)

Mulut

: bibir kering (-), lidah tidak kotor (-), stomatitis tidak ada, sianosis (-)

Telinga

: Cairan (-/-), serumen (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)

Leher

: tidak ada pembesaran KGB (-/-), tidak ada pembesaran tiroid (-/-)

Torax
Paru :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas atas :

: dada simetris
: vocal fremitus kanan dan kiri sama, nyeri tekan (-/-)
: sonor pada kedua lapang paru
: Suara nafas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
: ictus cordis tidak terlihat
: ictus cordis teraba di ICS V midklavikula sinistra
: batas jantung normal
: bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
:
:cembung, skar (-)
:nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
:timpani pada 4 kuadran abdomen
:Bising usus normal

Akral
RCT
Edema

: hangat
: <2 detik
: (-/-)

Ekstremitas bawah :
Akral
RCT
Edema

:hangat
:< 2 detik
: (-/-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
13 Juli 14 jam 09.30
PEMERIKSAAN

HASIL

SATUAN

NILAI RUJUKAN

Hemoglobin

12,00

g/dL

11,3 - 15,5

Jumlah Leukosit

6.800

ribu/L

4.300 10.400

Trombosit

379

ribu /mm

132-440

HT

39

36,0 46,0

Ureum Darah

18

Mg/dL

20 - 40

Kreatinin Darah

0,9

Mg/dL

0,6 1,2

GDS

80

Mg/dl

70-200

Na (darah)

144

MEq/dl

134 146

K (darah)

3,5

mEq/dl

3,4 4,5

Cl (darah)

99

mEq/dl

96 - 108

13 Juli 14
Jam
18.00
20.00
22.00

Pemeriksaan
GDS
GDS
GDS

Hasil
36 mg/dl
270 mg/dl
260 mg/dl

Pemeriksaan
GDS
GDS
GDS
GDS
GDS

Hasil
150 mg/dl
174 mg/dl
222 mg/dl
209 mg/dl
180 mg/dl

Pemeriksaan
GDS
GDS
GDS
GDS

Hasil
1224 mg/dl
239 mg/dl
271 mg/dl
244 mg/dl

14 Juli 14
Jam
05.00
11.00
17.00
23.00
02.00

15 Juli 14
Jam
06.00
11.00
17.00
23.00

RESUME
Ny T, 56 tahun datang ke IGD keluhan anoreksi, nausea, malaise. Sebelumnya sempat minum
obat DM dan hipertensinya. tidak sadarkan diri satu hari sebelum masuk IGD.
Satu tahun yang lalu pasien sering mengeluhkan poliuri, polipagi dan polidipsi, hipoestesi,
parastesi, GDS tertinggi pasien 409 mg/dl. Pasien ada riwayat DM (+), hipertensi (+), riwayat
stroke
Pemeriksaan fisik :

Tekanan Darah
:170/90 mmHg
Suhu
: 36,2oC
Nadi
:88x/menit
Pernafasan
:20 x/menit
Pemeriksaan Lab : GDS : 39 mg/dl
DAFTAR MASALAH
1. Hipoglikemi e.c Diabetes Melitus Tipe 2
2. Hipertensi grade II

ASSASMENT
Hipoglikemi e.c Diabetes Melitus Tipe 2
S: napsu makan menurun, badannya sangat lemas dan tidak bertenaga. Satu hari sebelum
masuk IGD pasien sempat tidak sadarkan diri. Satu tahun yang lalu pasien sering sekali
merasa lapar, sering merasa haus sehingga membuat pasien sering minum dan sering
BAK terutama pada malam hari. Selain itu pasien sering kesemutan di kaki dan tangan.
Pemeriksaan GDS tertinggi pasien 409 mg/dl
O: GDS 39 Mg/dl
P : periksa GDS per 1 jam
Rth:
Obat DM dihentikan
Larutan dextrose 40 % 2 flakon bolus intravena
Cairan dextrose 10 % secara infuse per 6 jam per kolf

Hipertensi
S : Anamnesis :
Pasien nyeri kepala, terutama di bagian tengkuk (+), riwayat hipertensi (+)
O: Pemeriksaan fisik :
TD : 170/90 mmHg

A: hipertensi grade II
P: Rdx: EKG
Rth: Captopril 25 mg 3x1
Amlodipine 5 mg 1x1
FOLLOW UP
14-07-14
S
: napsu makan sudah bertambah, mual (-), nyeri kepala (-), lemas (+)
O
: TD: 160/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5 oC
Pemeriksaan GDS
Jam
05.00
11.00
17.00
23.00
02.00
A

Hasil
150 mg/dl
174 mg/dl
222 mg/dl
209 mg/dl
180 mg/dl

: Hipoglikemi e.c Diabetes Melitus Tipe 2


Hipertensi grade II

: Captopril 25 mg 3x1
Amlodipine 5 mg 1x1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HIPOGLIKEMIA
DEFINISI

Suatu keadaan abnormal dimana kadar glukosa dalam darah < 50/60 mg/dl (Standards of
Medical Care in Diabetes, 2009; Cryer, 2005; Smeltzer & Bare, 2003)

EPIDEMIOLOGI
Dalam The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang dilaksanakan pada
pasien diabetes tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat pada 60 pasien/tahun pada kelompok
yang mendapat terapi insulin intensif dibandingkan dengan 20 pasien/tahun pada pasien yang
mendapat terapi konvensional. Sebaliknya, dengan kriteria yang berbeda kelompok the
Dusseldorf mendapat kejadian hipoglikemia berat didapatkan pada 28 dengan terapi insulin
intensif dan 17 dengan terapi konvensional.
Hipoglikemia yang ringan seringkali hanya dianggap sebagai konsekuensi terapi
menurunkan glukosa yang tidak dapat dihindari. Walaupun demikian, hipoglikemia ringan tidak
boleh diabaikan, karena potensial dapat diikuti kejadian hipoglikemia yang berat.

ETIOLOGI HIPOGLIKEMIA
Menurut Sabatine (2004), hipoglikemia dapat terjadi pada penderita Diabetes dan Non
Diabetes dengan etiologi sebagai berikut :
1. Pada Diabetes:
Overdose insulin
Asupan makanan sangat kuarang (tertunda atau lupa, terlalu sedikit, output yang
berlebihan (muntah,diare), dieit berlebihan)
Aktivitas berlebihan
Gagal ginjal
Hipotiroid
2. Pada Non Diabetes
Peningkatan produksi insulin
Paska aktivitas
Konsumsi makanan yang sedikit kalori
Konsumsi alkohol
Paska melahirkan
Post gastrectomy
Penggunaan obat-obatan dalam jumlah besar (contoh: salisilat, sulfonamide)

KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK HIPOGLIKEMIA:


Menurut Soemadji (2006) dan Cryer (2005), karakteristik diagnostik hipoglikemia ditentukan
berdasarkan pada TRIAS WIPPLE sebagai berikut
1. Terdapat tanda-tanda hipoglikemi
2. Kadar glukosa darah kurang dari 50 mg%
3. Gejala akan hilang seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah (paska koreksi)
Akan tetapi pasien Diabetes dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau
mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes
yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang dan berat.

KLASIFIKASI & MANIFESTASI KLINIS HIPOGLIKEMIA:


Menurut Soemadji (2006) dan Rush & Louies (2004) klasifikasi dan manifestasi klinis
dari hipoglikemia sebagai berikut :
JENIS HIPOGLIKEMIA
RINGAN

SIGN & SYMPTOMS


Dapat diatasi sendiri dan tidak mengganggu

aktivitas sehari-hari
Penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf
simpatis

sekresi adrenalin ke pembuluh

darah: perspirasi, tremor, takikardia, palpitasi,

SEDANG

gelisah
Penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf

parasimpatis lapar, mual, tekanan darah turun


Dapat diatasi sendiri, mengganggu aktivitas

sehari-hari
Otak mulai kurang mendapat glukosa sebagai
sumber energi timbul gangguan pada SSP:
headache, vertigo, gg.konsentrasi, penurunan
daya ingat, perubahan emosi, perilaku irasional,
penurunan fungsi rasa, gg. Koordinasi gerak,
double vision

BERAT

Membutuhkan orang lain dan terapi glukosa


Fs. SSP mengalami gg. berat: disorientasi,
kejang, penurunan kesadaran

PROTEKSI FISIOLOGIS MELAWAN HIPOGLIKEMIA


Mekanisme Kontra Regulator
Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada kejadian hipoglikemia
akut. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan
kemudian glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis
di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di otot.
Gliserol hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan aspartat) merupakan bahan baku Precursor
glukoneogenesis hati (Gambar 2).

Gambar 2. Pengaruh metabolik respons kontra regulator terhadap hipoglikemia akut.


Glukagon yang bekerja di hati dan epinefrin yang bekerja di hati, jaringan lemak
dan otot merupahan dua hormon utama yang berperan dalam mekanisme kontra
regulator pada hipoglikemia akut. Growth hormone dan kortisol berperan pada
hipoglikemia yang berlangsung lama (Heller, 2003).

Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis di ginjal, yang pada keadaan tertentu


merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Pada keadaan hipoglikemia yang berat, Walupun kecil
hati juga menunjukkan kemampuan otoregulasi. Kortisol dan growth hormon berperan pada
keadaan hipoglikemia yang berlangsung 1ama, dengan cara melawan kerja insulin dijarigan
perifer (lemak dan otot) serta meningkatkan glukoneogenesis. Defisiensi growth hormone
(panhipopituitarisme) dan kortisol (penyakit Addison) pada individu menimbulkan hipoglikemi
yang umumnya ringan. Bila sekresi glukagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar
glukosa setelah hipoglikemia yang diinduksi insulin (insulin-induced hipogIikemia) berkurang
sekitar 40%. Bila sekresi glukagon dan epineffin dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak
terjadi. Se1 beta pankreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat sekresi insulin dan
turunnya kadar insulin di dalam sel beta berperan dalam sekresi glukagon oleh sel alfa.

Studi eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa respons fisiologi utama terhadap
hipoglikemia terletak di neuron hipotalamus ventromedial (VMH). Neuron-neuron di VMH
responsif terhadap glukosa, sebagian menjadi aktif bila kadar glukosa meningkat, sebagian
responsif terhadap hipoglikemia. Neuron-neuron tersebut diproyeksikan ke area yang bekaitan
dengan aktivasi pituitari-adrenal dan sistim simpatis. Tampaknya respon fisiologi utama terhadap
hipoglikemia terjadi sesudah neuron-neuron di VMH yang sensitif terhadap giukosa teraktivasi
dan kemudian mengaktifkan sistim saraf otonomik dan melepaskan hormon-hormon kontra
regulator Gambar 3.1.

Gambar 3. Komponen utama respons simpatis dan counter-regulatory terhadap


hipoglikemia (Heller, 2003)

Keluhan dan gejala hipoglikemi


Faktor utama mengapa hipoglikemia menjadi penting dalam pengelolaan diabetes adalah
ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus-menerus. Gangguan
(interruption) asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi
sistim saraf pusat (SSP), dengan gejala gangguan kognisi, bingung (confusion), dan koma.
Seperti jaringan yang lain, jaringan saraf dapat memanfaatkan sumber energi altematif, yaitu
keton dan laktat. Pada hipoglikemia yang disebabkan insulin, konsentrasi keton di plasma
tertekan dan mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat dipakai
sebagai sumber energi alternatif.
Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologis terhadap penurunan
glukosa darah tidak hanya membatasi makin parahnya perubahan metabolisme glukosa, tetapi
juga manghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan
keluarganya belajar mengenal keluhan dan gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan
dapat segera melakukan tindakan-tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau bentuk
karbohrdrat'refned' yang lain. Kemampuan mengenal gejala awal sangat penting bagi pasien
diabetes yang mendapat terapi insulin yang ingin mencapai dan mempertahankan kadar glukosa
darah normal atau mendekati normal. Terdapat keragaman keluhan yang menonjol diantara
pasien maupun pada pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda. Walaupun demikian pada
umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola tertentu, sesuai dengan komponen fisiologis dan
respon fisiologis yang berbeda (Tabel 3).
Tabel 3. Keluhan dan gejala hipoglikemik akut pada pasien DM yang sering
dijumpai
Otonomik
Berkeringat

Neuroglikopenik
Bingung (confusion)
Mengantuk
Jantung berdebar
Sulit berbicara
Tremor
lnkoordinasi
Perilaku yang berbeda
Lapar
Parestesi
Pada pasien diabetes yang masih relatif baru, keluhan dan

Malaise
Mual
-

Sakit kepala

gejala yang terkait dengan

gangguan sistim saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat lebih menonjol dan
biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh neroglikopeni,

seperti gangguan konsentrasi atau koma. Sakit kepala dan mual mungkin bukan merupakan
keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan otonomik
cenderung berkurang atau menghilang. Ha1 tersebut menunjukkan kegagalan yang progresif
aktivasi sistem saraf otonomik.
Pengenalan Hipoglikemia. Respons pertama pada saat kadar glukosa darah turun di bawah
normal adalah peningkatan akut sekresi hormon caunter-regulatory (glukagon dan epinefrin);
batas kadar glukosa tersebut adalah 65-68 mg% (3,6-3,8 mmol/L). Lepasnya epinefrin
menunjukkan aktivasi sistem simpatoadrenal. Bila glukosa darah tetap turun sampai 3,2 mmo/L,
gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi kognisi, yang diukur dengan kecepatan reaksi dan
berbagai fungsi psikomotor yang lain, mulai terganggu pada kadar glukosa 3 mmol/l. Pada
individu yang masih memiliki kesiagaan (awareness) hipoglikemia, aktivasi sistem
simpatoadrenal terjadi sebelum disfungsi serebral yang bermakna timbul. Pasien-pasien tersebut
tetap sadar dan mempunyai kemampuan kognitif yang cukup untuk melakukan tindakan koreksi
yang diperlukan.

Hipoglikemi yang tidak disadari (UNAWARENESS)


Kegagalan Respons Proteksi Fisiologis dan Timbulnya Hipoglikemia yang Tidak
Disadari. Walaupun dengan derajat yang berbeda-beda, hampir semua pasien diabetes yang
mendapat terapi insulin mengalami gangguan pada mekanisme proteksi terhadap hipoglikemia
yang berat. Pada pasien DMT 2 gangguan tersebut umumnya ringan. Pada saat diagnosis DM
dibuat, respons glukagon terhadap hipoglikemia umumnya norrnal. Pada pasien DMT 1 mulai
turun sesudah menderita diabetes 1-2 tahun, dan sesudah 5 tahun hampir semua pasien
mengalami gangguan atau kehilangan respon. Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti, tetapi tampaknya tidak berkaitan dengan neuropati otonomik atau kendali glukosa
darah yang ketat. Sel a secara selektif gagal mendeteksi adanya hipoglikemia dan tidak dapat
menggunakan hipoglikemia sebagai rangsangan untuk mensekresi glukagon, walaupun sekresi
yang glukagon masih dapat dirangsang oleh perangsang lain seperti alanin. Hipotesis yang paling
meyakinkan adalah gangguan tersebut timbul akibat terputusnya pdracrine-insulin cross-tolk di
dalam islet cell, akibat produksi insuLin endogen yang turun. Pada diabetes yang sudah lama

sering dijumpai respon simpatoadrenal yang berkurang walaupun dengan tingkat gangguan yang
bervariasi. Respons epinefrin terhadap rangsang yang 1ain, seperti latihan jasmani tarnpaknya
nonnal. Seperti pada gangguan respons glukagon, kelainan tersebut merupakan kegagalan
mengenal hipoglikemia yang selekif. Pasien diabetes dengan respon glukagon dan epinefrin yang
berkurang paling rentan terhadap hipoglikemia. Hal tersebut terkait dengan hipoglikemia yang
tidak disadari karena hilangnya glucose counter regulation dan gangguan respons
simpatoadrenal.
Hipoglikemia yang Tidak Disadari. Hipoglikemia yang tidak disadari merupakan
masalah yang sering terjadi pada pasien diabetes yang mendapat terapi insulin. Segi
epidemiologis melaporkan sekitar sekitar 25 persen pasien DMT I mengalami kesulitan
mengenal hipoglikemia yang menetap atau beselang-seling (intermittent). Kemampuan mengenal
hipoglikemia mungkin tidak absolttte, dan keadaan hipoglikemia unawareness yang parsial juga
dijumpai. Dari sekitar 25 persen pasien yang sebelumnya menyatakan dirinya tidak mengalami
hipoglkemia unawareness ternyata waktu menjalani tes gagal mengenal hipoglikemia. Bila
didapatkan hipoglikemia yang tidak disadari kemungkinan pasien mengalami episode
hipoglikemia yang berat 6-7 kali lipat; peningkatan tersebut juga terjadi pada terapi standar. Pada
pasien-pasien tersebut selayaknya tidak diberi terapi intensif, tidak diijinkan untuk memiliki ijin
mengemudi, dan mungkin juga tidak diperkenankan untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan
tertentu. Keluarga pasien selayaknya juga diberitahu tentang kemungkinan terjadinya
hipoglikemia berat dan cara penanggulangannya. Berbagai keadaan klinis yang terkait dengan
hipoglikemia yang tidak disadari dapat dilihat dalam tabel 4

tabel 4. Keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemi yang tidak disadari
Tabel 4. Keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemik yang tidak disadari

Keadaan klinis
Diabetes yang lama

Kemungkinan
Tidak diketahui
Hipoglikemia yang berulang merusak neuron yang

Kendali metabolik yang ketat

glukosensitif
Regulasi transport glukosa neuronal yang meningkat
Peningkatan kartisol dengan akibat gangguan utama

Alkohol

jalur transmisi neuron


Penekanan respon anatomi perifer

Episode noktural

Gangguan kognisi
Tidur menyebabkan gejala hipoglikemik yang tidak
disadari
Posisi berbaring mengurangi respon simpatoadrenal

Usia muda

Kemampuan abstrak belum cukup


Perubahan perilaku

Usia lanjut

Gangguan kognisi
Respon anatomik berkurang
Sensitifitas adrenergik berkurang

Alkohol. Pasien dan kerabatnya harus diberi informasi tentang potensi bahaya alkohol. Alkohol
meningkatkan kerentanan terhadap hipoglikemia dengan cara menghambat glukoneogenesis dan
mengurangi hipoglikemia awareness. Episode hipoglikemia sesudah minum alkohol mungkin
lebih lama dan berat, dan mungkin karena dianggap mabuk hipoglikemia tidak dikenali oleh
pasien atau kerabatnya.
Usia Muda dan Usia Lanjut. Pasien diabetes anak remaja dan usia lanjut rentan terhadap
hipoglikemia. Anak umumnya tidak dapat mengenal atau melaporkan keluhan hipoglikemia dan
kebiasaan makan yang kurang teratur serta aktivitas jasmani yang sulit diramalkan menyebabkan
hipoglikemia menjadi masalah yang'besar bagi anak. Otak yang sedang tumbuh sangat rentan
terhadap hipoglikemia. Episode hipoglikemia yang berulang, terutama yang disertai kejang dapat
mengganggu kemampuan intelektual anak di kemudian hari. Keluhan hipoglikemia pada usia
lanjut sering tidak diketahui, dan mungkin dianggap sebagai keluhan-keluhan pusing (dizzy
spelt) atau serangan iskemia yang sementara (transient ischemic attact).Hipoglikemia akibat
sulfonilurea tidak jarang, terutama sulfonilurea yang bekerja lama seperti glibenklamid. Pada
usia lanjut respons otonomik cenderung turun dan sensitifitas perifer epinefrin juga berkurang.

Pada otak yang menua gangguan kognitif mungkin terjadi pada hipoglikemia yang ringan. Pada
anak dan usia lanjut sasaran kendali glikemia sebaiknya tidak terlalu ketat dan oleh sebab itu
dosis insulin perlu disesuaikan. Lebih lanjut disarankan agar sulfonilurea yang bekerja lama
tidak digunakan pada pasien DMT 2 yang berusia lanjut. Obat penghambat beta (beta-blocking
agents) yang tidak selektif sebaiknya tidak digunakan karena menghambat lepasnya glukosa hati
yang dimediasi oleh reseptor B2, penghambat B yang selektif dapat digunakan dengan aman
Terapi hipoglikemia pada diabetes

Glukosa Oral.
o Sesudah diagnosis hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, 10-20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idialnya dalam bentuk tablet,
jelly, atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar
dan non diet cola. Sebaiknya coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam
coklat dapat menghambat absorbsi giukosa. Bila belum ada jadwal makan dalam
1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 g karbohidrat kompleks. Bila pasien
mengalami kesulitan menelan dan keadaan tidak terlalu gawat, pemberian madu
atau gel giukosa lewat mukosa rongga mulut (buccal) mungkin dapat dicoba.

Glukagon Intramuskular.
o Glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan oleh tenaga nonprofesional yang
terlatih dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja glukagon
tersebut sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar
pemberian giukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan
dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk tepung untuk
mempertahankan pemulihan. Pada keadaan puasa yang panjang atau hipoglikemia
yang diinduksi alkohol, pemberian glukagon mungkin tidak efektif. Efektifitas
glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.

Glukosa Intravena.

o Glukosa intravena harus diberikan dengan berhati- hati. Pemberian glukosa


dengan konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa 20%
atau 150-200 ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasasi glukosa 50%
dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi.

TUJUAN TATALAKSANA HIPOGLIKEMIA:

Memenuhi kadar gula darah dalam otak agar tidak terjadi kerusakan irreversibel.
Tidak mengganggu regulasi DM.

PEDOMAN TATALAKSANA HIPOGLIKEMIA:


Menurut PERKENI (2006) pedoman tatalaksana hipoglikemia sebagai berikut:
Glukosa diarahkan pada kadar glukosa puasa yaitu 120 mg/dl.
Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (IV)
satu flakon (25 cc) Dex 40%
(10 gr Dex) dapat menaikkan kadar glukosa kurang lebih 25-30 mg/dl.
Manajemen Hipoglikemi menurut Soemadji (2006); Rush& Louise (2004); Smeltzer & Bare
(2003) sebagai berikut
Tergantung derajat hipoglikemi:
Hipoglikemi ringan:
Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10 butir permen atau 2-3

sendok teh sirup atau madu


Bila gejala tidak berkurang dalam 15 menit ulangi pemberiannya
Tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori coklat, kue,

donat, ice cream, cake


Hipoglikemi berat:
Tergantung pada tingkat kesadaran pasien. Bila klien dalam keadaan tidak sadar
jangan memberikan makanan atau minuman ASPIRASI !!!

Terapi hipoglikemi:
Glukosa oral
Glukosa intravena
Glukagon 1 mg (sc/im)

Thiamine 100 mg (iv/im) pada pasien alkoholic


Monitoring

KADAR GLUKOSA
(mg/dl)

TERAPI HIPOGLIKEMI
(DGN RUMUS 3-2-1)

< 30 mg/dl

Injeksi IV Dex.40% (25 cc) bolus 3

30-60 mg/dl

flakon
Injeksi IV Dex.40% (25 cc) bolus 2

60-100 mg/dl

flakon
Injeksi IV Dex.40% (25 cc) bolus 1
flakon

FOLLOW UP:
1.Periksa kadar gula darah lagi, 30 menit sesudah injeksi IV
2.Sesudah bolus 3 atau 2 atau 1 flakon setelah 30 menit dapat diberikan 1 flakon lagi
sampai 2-3 kali untuk mencapai kadar >120 mg/dl

HIPERTENSI
I.

Definisi
Hipertensi adalah adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami
peningkatan tekanan darah di atas normal yang ditunjukkan oleh angka systolik dan
diastolik.

Definisi hipertensi tidak berubah sesuai dengan umur: tekanan darah sistolik
(TDS) > 140 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik (TDD) > 90 mmHg. The joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and treatment of High
Bloodpressure (JNC VII) dan WHO/lnternational Society of Hypertension guidelines
subcommittees setuju bahwa TDS & keduanya digunakan untuk klasifikasi hipertensi.
Hipertensi sistolodiastolik didiagnosis bila TDS 140 mmhg dan TDD 90 mmHg.
Hipertensi sistolik terisolasi (HST) adalah bila TDS 140 mmHg dengan TDD < 90
mmHg.
II.

Epidemiologi
Walaupun peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian normal dari
ketuaan, insiden hipertensi pada lanjut usia adalah tinggi. Setelah umur 69 tahun,
prevalensi hipertensi meningkat sampai 50%. Pada tahun 1988-1991 National Health
and Nutrition Examination Survey menemukan prevalensi hipertensi pada kelompok
umur 65-74 tahun sebagai berikut: prevalensi keseluruhan 49,6% untuk hipertensi
derajat 1 (140-159/90-99 mmHg), 18,2% untuk hipertensi derajat 2 (160-179/100-109
mmHg), dan 6.5% untuk hipertensi derajat 3 (>180/110 mmHg). Prevalensi HST
adalah sekitar berturut-turut 7%, 11%, 18% dan 25% pada kelompok umur 60-69, 7079, 80-89, dan diatas 90 tahun. HST lebih sering ditemukan pada perempuan dari pada
laki-laki. Hipertensi sebagai faktor risiko pada lanjut usia. Pada studi individu dengan
usia 50 tahun mempunyai tekanan darah sistolik terisolasi sangat rentan terhadap
kejadian penyakit kardiovaskuler.
Sampai saat ini prevalensi di Indonesia berkisar antara 5-10% sedangkan
tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3% dan
meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung
di Indonesia.

III.

Etiologi
Hipertensi Primer

Hipertensi Primer juga disebut hipertensi esensial atau idiopatik dan


merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Selama 75 tahun terakhir telah banyak
penelitian untuk mencari etiologinya. Tekanan darah merupakan hasil curah jantung
dan resistensi vascular, sehingga tekanan darah meningkat jika curah jantung
meningkat, resistensi vascular perifer bertambah, atau keduanya. Meskipun
mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi melibatkan perubahanperubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya diketahui beberapa
tahun setelah kecenderungan kea rah sana di mulai. Pada saat tersebut, beberapa
mekanisme fisiologis kompensasi sekunder telah di mulai sehingga kelainan dasar
curah jantung atau resistensi perifer tidak diketahui dengan jelas. Pada hipertensi
yang baru mulai curah jantung biasanya normal atau sedikit meningkat dan resistensi
perifer normal. Pada tahap hipertensi lanjut, curah jantung cenderung menurun dan
resistensi perifer meningkat. Adanya hipertensi juga menyebabkan penebalan dinding
arteri dan arteriol, mungkin sebagian diperantarai oleh faktor yang dikenal sebagai
pemicu hipertrofi vaskular dan vasokontriksi (insulin, katekolamin, angiotensin,
hormone pertumbuhan), sehingga menjadi alasan sekunder mengapa terjadi kenaikan
tekanan darah. Adanya mekanisme kompensasi yang kompleks ini dan konsekuensi
dekunder dari hipertensi yang sudah ada telah menyebabkan penelitian etiologinya
semakin sulit dan observasi ini terbuka untuk berbagai interpretasi. Kelihatannya
terdapat

kerjasama

bermacam-macam

faktor

dan

yang

mungkin

berbeda

antarindividu.
Beberapa faktor yang pernah dikemukakan relevan terhadap mekanisme
penyebab hipertensi adalah sebagai berikut:
1. Genetik
Dibanding orang kulit putih, orang kulit hitam di Negara barat lebih
banyak menderita hipertensi, lebih tinggi tingkat hipertensinya, dan
lebih besar tingkat morbiditas maupun mortalitsnya, sehingga
diperkirakan ada kaitan hipertensi dengan perbedaan genetik.
Beberapa

peneliti

mengatakan

terdapat

kelainan

pada

angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifat poligenik.


2. Geografi dan Lingkungan

gen

Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi


kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti bangsa
Indian Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan tidak
banyak meningkat sesuai dengan pertambahan usia dibanding
masyarakat Barat.
3. Janin
Faktor ini dapat memberikan pengaruh karena berat lahir rendah
tampaknya merupakan predisposisi hipertensi di kemudian hari,
barangkali karena lebih sedikitnya jumlah nefron dan lebih rendahnya
kemampuan mengeluarkan natrium pada bayi dengan berat lahir
rendah.
4. Jenis Kelamin
Hipertensi lebih jarang ditemukan pada perempuan pra-menopause
dibanding pria, yang menunjukkan adanya pengaruh hormon.
5. Natrium
Banyak bukti yang mendukung peran natrium dalam terjadinya
hipertensi, barangkali karena ketidakmampuan mengeluarkan natrium
secara efisien baik diturunkan atau didapat. Ada yang berpendapat
bahwa terdapat hormon natriuretik (de Wardener) yang menghambat
aktivitas sel pompa natrium (ATPase natrium-kalium) dan mempunyai
efek

penekanan.

Berdasarkan

studi

populasi,

seperti

Studi

INTERSALT (1988) diperoleh korelasi antara asupan natrium rerata


dengan TD, dan penurunan TD dapat diperoleh dengan mengurangi
konsumsi garam.
6. Sistem renin-angiotensin
Renin memicu produksi angiotensin (zat penekan) dan aldosteron
(yang memacu natrium dan terjadunya resistensi air sebagai akibat).
Beberapa studi telah menunjukkan sebagian pasien hipertensi primer
mempunyai renin yang meningkat, tetapi sebagian besar normal atau
rendah, disebabkan efek homeostatic dan mekanisme umpan balik
karena kelebihan beban volume dan peningkatan TD di aman
keduanya diharapkan akan menekan produksi renin.

7. Hiperaktivitas Simpati
Dapat terlihat pada hipertensi umur muda. Katekolamin akan memacu
produksi renin, menyebabkan konstriksi arteriol dan vena dan
meningkatkan curah jantung.
8. Resistensi Insulin/Hiperinsulinemia
Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah diketahui sejak
beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin merupakan
zat penekan karena meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi
natrium.
9. Disfungsi Sel Endotel
Penderita hipertensi mengalami penurunan respons vasodilatasi
terhadap nitrat oksida, dan endotel mengandung vasodilator seperti
endotelin-l, meskipun kaitannya dengan hipertensi tidak jelas.
Hipertensi Sekunder
Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, dan dapat
dikelompokkan seperti di bawah ini:
1. Penyakit Parenkim Ginjal (3%)
Setiap penyebab gagal ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, sebabsebab penyumbatan) yang menyebabkan kerusakan parenkim akan
cenderung menimbulkan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan
kerusakan ginjal.
2. Penyakit renovaskular (1%)
Terdiri atas penyakit yang menyebabkan gangguan pasokan darah
ginjal dan secara umum dibagi atas aterosklerosis, yang terutama
mempengaruhi sepertiga bagian proksimal arteri renalis dan paling
sering terjadi pada pasien usia lanjut, dan fibrodisplasia yang terutama
mempengaruhi 2/3 bagian distal, dijumpai paling sering pada individu
muda, terutama perempuan. Penurunan pasokan darah ginjal akan
memacu produksi renin ipsilateral dan meningkatkan tekanan darah.
Keadaan ini perlu dicurigai jika hipertensi terjadi mendadak, secara
umum sukar diterapi tetapi kembali normal dengan penghambat ACE,
jika berat atau meningkat, dan jika bruit abdominal dapat didengar.

3. Endokrin (1%)
Pertimbangkan aldosteronisme primer (Sindrom Conn) jika terdapat
hipokalemia bersama hipertensi. Tingginya kadar aldosteron dan renin
yang rendah akan mengakibatkan kelebihan (overload) natrium dan
air. Biasanya disebabkan adenoma jinak soliter atau hiperlasia adrenal
bilateral. Diagnosis dibantu dengan pemindaian tomografi computer
(CT) atau pencitraan resonansi magnetic (MR), dan terapinya adalah
dengan reseksi tumor atau menggunakan antagonis aldosteron,
spironolakton.
4. Sindrom Cushing
Disebabkan oleh hyperplasia adrenal bilateral yang disebabkan oleh
adenoma hipofisis yang menghasilkan ACTH (adrenocorticotrophic
hormone) pada dua pertiga kasus, dan tumor adrenal primer pada
sepertiga kasus. Perlu dicurigai jika terdapat hipertensi bersama
dengan obesitas, kulit tipis, kelemahan otot, dan osteoporosis.
Diagnosis diketahui dengan pemeriksaan kortisol urin 24 jam dan tes
supresi deksametason, dilanjutkan CT atau pemindaian MR kelenjar
hipofisis dan adrenal jika kortisol abnormal.
5. Hiperplasia Adrenal Kongenital
Merupakan penyebab hipertensi pada anak (jarang).
6. Feokromositoma
Disebabkan oleh tumor sel kromafin asal neural yang mensekresikan
katekolamin, 90% berasal dari kelenjar adrenal. Kurang lebih 10% dari
tumor ini ganas, dan 10% adenoma adrenal adrenal adalah bilateral.
Feokromositoma dicurigai jika tekanan darah berfluktuasi tinggi,
disertai takikardia, berkeringat, atau edema paru karena gagal jantung.
Diagnosis

dengan

pengukuran

metanefrin

total

(metabolit

katekolamin) pada urin sewaktu atau 24 jam, meskipun kadar ini


dapat dipengaruhi oleh obat-obat anti-hipertensi tertentu, terutama
labetalol. Jika metanefrin ekuivokal, ukurlah kadar norepinefrin
(noradrenalin)

plasma

setelah

diberikan

satu

dosis

klonidin

(penghambat adrenergik). Setelah diagnosis ditegakkan, perlu usaha


mencari tumor yang mengeluarkan sekresi dengan menggunakan CT,
MR, atau pemindaian radio-isotop. Terapi yang optimal adalah reseksi
tumor jika dimungkinkan.
7. Koarktasio Aorta
Paling sering mempengaruhi aorta pada atau distal dari arteri subclavia
kiri dan menimbulkan hipertensi pada lengan dan menurunkan tekanan
di kaki, dengan denyut nadi arteri femoralis lemah atau tidak ada.
Vasokontriksi arteri sietemik dapat terjadi karena stimulasi system
renin-angiotensin (karena tekanan perfusi arteri renalis rendah) dan
hiperaktivitas simpatis. Diagnosis dengan pemindaian CT atau MR
dan/atau aortografi kontras. Hipertensi dapat menetap bahkan sesudah
reseksi bedah yang berhasil, terutama jika hipertensi telah lama
sebelum operasi.
8. Kaitan dengan Kehamilan
Hipertensi gestasional terjadi sampai 10% kehamilan pertama, lebih
sering pada ibu muda, diperkirakan karena aliran uteroplasental yang
kurang baik dan umumnya terjadi pada trimester terakhir atau awal
periode postpartum. Terdapat proteinuria, peningkatan kadar urat
serum, dan pada kasus yang berat menyebabkan sindrom pre-eklamsia.
Kelahiran akan mengakhiri hipertensi. Kehamilan juga dapat
memperburuk hipertensi primer sebelumnya dan variasi akut pada
kronis ini lebih sering terjadi pada ibu multipara usia lanjut, dan
biasanya tlah tampak sebelum hamilan berusia 20 minggu. Obat-obat
antihipertensi sedapat mungkin dihindari selama kehamilan d
hipertensi diterapi dengan istirahat dan pengawasan janin, dengan
persalinan bilamana perlu. Namun, jika penggunaan obat diperlukan,
digunakan metildopa dan labetalol sebagai pilihan yang terbaik.
9. Akibat Obat
Penggunaan obat yang paling banyak berkaitan dengan hipertensi
adalah pil kontrasepsi oral (OCP), dengan 5% perempuan mengalami

hipertensi dalam 5 tahun sejak mulai penggunaan. Perempuan usia


lebih tua (>35 tahun) lebih mudah terkena, begitu pula dengan
perempuan yang pernah mengalami hipertensi selama hamil. Pada
50% tekanan darah akan kembali normal dalam 3-6 bulan sesudah
penghentian pil. Tidak jelas apakah hipertensi ini disebabkan oleh pil
atau apakah penggunaan itu memunculkan predisposisi yang selama
ini tersembunyi. Penggunaan estrogen pasca menopause bersifat
kardioprotektif dan tidak meningkatkan tekanan darah. Obat lain yang
terkait dengan hipertensi termasuk siklosporin, eritropoietin, dan
kokain.

IV.

V.

Gejala Klinik
Meskipun disebut the silent killer
Terdapat tanda dan gejala :
a. sakit kepala,
b. epistaksis (mimisan)
c. pusing/migrain,
d. rasa berat ditengkuk,
e. sukar tidur,
f. mata berkunang kunang,
g. lemah dan lelah,
h. tekanan darah > 140/90 mmHg
Sasaran Kerusakan Organ
Jantung: LVH, angina atau riwayat infark miokard, riwayat revaskularisasi

koroner, gagal jantung


Otak: stroke atau transient ischemic attack (TIA)
Penyakit ginjal kronik
Penyakit arteri perifer
Retinopati

Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis : protein, leukosit, eritrosit dan silinder
Hemoglobin dan hematokrit
Elektrolit darah : kalium
Ureum/kreatinin
Gula darah puasa
Kolesterol total
EKG
TSH

VI.

VII.

Leukosit darah
Trigliserda, HDL, dan kolesterol LDL
Kalsium dan fosfor
Foto toraks
Ekokardiografi
Ekokardiografi-Doppler
Penanganan Hipertensi
Tekanan darah target adalah <140/90 mmHg yang berhubungan dengan penurunan
komplikasi penyakit kardiovaskuler. Pada pasien dengan hipertensi dan diabetes atau
panyakit ginjal, target tekanan darahnya adalah <130/80 mmHg.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rani, A.A., Soegondo, S., Nasir, A.U.Z., Wijaya, I.P., Nafrialdi., Mansjoer, A
(Editors)., 2006. Paduan Pelayanan Medik dalam PAPDI. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal:
2. Sudoyo Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti.
Ilmu penyakit dalam FKUI. 2009; edisi V
3. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
PERKENI 2006

You might also like