You are on page 1of 35

ISLAM DAN UMAT ISLAM

PADA MASA ORBA HINGGA PASCA REFORMASI


Kabul Astuti1
Pendahuluan: Lahirnya Orde Baru
Jejak historis hubungan Islam dan rezim Orde Baru dapat dikaji dari
berbagai sudut pandang. Keberagaman sudut pandang tersebut telah
dikaji oleh para peneliti Islam, seperti penelitian M. Syafi'i Anwar (1995),
Abdul Azis Thaba (1996), Bahtiar Effendy (1998), M. Rusli Karim (1999),
dan Masykuri Abdillah (1999). Dalam kaitannya dengan umat Islam,
pandangan Snouck Hurgronye terhadap Islam tetap penting, karena Orde
Baru juga menghormati Islam sebagai praktik agama pribadi tetapi tidak
memberinya peluang untuk menjadi kekuatan politik seperti ketika
periode awal aliansi aktivis Islam dengan tentara yang bekerja sama
untuk memberantas PKI.2
Kelahiran Orde Baru tidak lepas dari peristiwa G 30 S/PKI dan
Supersemar. Peristiwa G 30 S/PKI sendiri menyisakan sejumlah tanda
tanya. Secara fisik-militer gerakan ini dipimpin oleh Letkol Untung,
Komandan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa. Di Jakarta, mereka
melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan
Darat, yaitu Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto,
Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo, Mayor Jenderal Siswondo Parman,
Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo,
dan Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun. Sementara itu, Jenderal A.H.
Nasution yang sedianya menjadi target sasaran berhasil lolos, meskipun
putrinya, Ade Irma Suryani tewas tertembak. 3 Di Yogyakarta,
pemberontakan juga terjadi dimana Letkol Sugijono dan Kolonel Katamso
dibunuh di desa Kentungan, Yogyakarta.4
Terdapat sekurangnya lima versi mengenai siapa pelaku
pemberontakan G 30 S/PKI.5 Namun, istilah G 30 S/PKI yang diciptakan
1

Penulis adalah Santri Pesma Lir Ilir. Makalah ini ditulis sebagai tugas mata
kuliah Sejarah Islam di Indonesia, Juli 2013.
2

M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 588.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional


Indonesia VI. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm 390.
4

Ibid, hlm 398.

Lima versi tentang dalang G 30 S/PKI. Pertama, PKI. Versi ini terdapat dalam buku putih
yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI maupun dalam buku-buku sejarah di
sekolah-sekolah. Kedua, kudeta internal angkatan darat, versi Ben Anderson dan Ruth Mc

oleh Orde Baru secara tidak langsung telah menutup semua tafsir historis
mengenai pelaku kudeta. Pasca terjadinya pembantaian para jenderal
Angkatan Darat yang konon- dilakukan oleh PKI ini, Presiden Soekarno
mengeluarkan Surat Perintah tertanggal 11 Maret 1966 kepada Jenderal
Soeharto. Melalui surat perintah ini, Soekarno meminta Soeharto untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjaga stabilitas dan
keamanan negara. Langkah pertama yang diambil oleh Soeharto adalah
dengan mengumumkan pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 dan
menyatakannya sebagai organisasi terlarang.6
Pada Sidang Umum VI MPRS tahun 1966, Supersemar disahkan oleh
MPRS menjadi Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Akibatnya, Soekarno
tidak mungkin lagi mencabut surat perintah tersebut. Secara tidak
langsung, kekuasaan Soekarno telah terlucuti dan diserahkan kepada
Soeharto. Terlebih lagi, pidato pertanggungjawabannya yang berjudul
Nawaksara ditolak oleh MPRS karena dianggap tidak lengkap dan sama
sekali tidak menyebut peristiwa G 30 S/PKI. Pada bulan Sidang Istimewa
MPRS Maret 1967, ditetapkan pencabutan kekuasaan pemerintahan dari
Soekarno dan pengangkatan Soeharto sebagai pejabat presiden. Setahun
kemudian, pada Sidang Umum MPRS Maret 1967, Soeharto resmi
ditetapkan sebagai Presiden RI.7 Sejak itulah, Indonesia secara resmi
memasuki sebuah era kepemimpinan baru yang lazim disebut Orde Baru.

Pola Hubungan Pemerintah Orba terhadap Islam


Ketika terjadi pemberontakan G 30 S/PKI, umat Islam bekerja sama
dengan ABRI dalam membantu pemerintah memadamkan pemberontakan
PKI. Oleh karena itu, harapan umat Islam terhadap pemerintah Orde Baru
pada awalnya cukup besar. Namun, kenyataannya harapan tersebut tidak
menjadi kenyataan. Pemerintah Orde Baru justru lebih dekat dengan
kalangan Kristen dan para pengusaha Cina daripada kalangan Islam.
Thaba8 membagi pola hubungan antara umat Islam dan pemerintah Orde
Baru ke dalam tiga periode, yaitu periode Antagonistik (1966-1981),
Resiprokal-Kritis (1982-1985), dan Akomodasi (1986-runtuhnya Orde
Baru).
Vey dalam makalahnya yang dikenal sebagai Cornell Paper. Ketiga, Sukarno, merupakan
versi dari Antonio Dake dan John Hughes yang menyebut peristiwa tersebut sebagai
skenario Sukarno untuk melenyapkan oposisi sebagai perwira tinggi AD. Keempat,
Soeharto. Keterlibatan Soeharto disinggung oleh Latief dan Wertheim. Kelima, unsur
asing (CIA AS, dinas rahasia inggris, RRC, bahkan Jepang), dikemukakan oleh Peter Dale
Scott dan Geoffrey Robinson. Lih. Asvi Warman Adam. Membongkar Manipulasi Sejarah:
Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. (Jakarta: Kompas, 2009) Hlm. 193.
6

Jan S. Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia: 2005), hlm 365.
7

Ibid, hlm 366-367.


2

Pada periode yang pertama, pemerintah menganggap kekuatan politik


Islam sebagai ancaman sehingga pemerintah membuat banyak kebijakan
yang merugikan kepentingan umat Islam. Pemerintah juga melakukan
birokratisasi politik untuk menjinakkan umat Islam. Sementara itu,
sebagian kelompok Islam ada yang mengekspresikan ketidakpuasannya
terhadap sikap pemerintah dalam bentuk konfrontasi, sehingga hubungan
di antara keduanya menjadi semakin tegang. Beberapa peristiwa yang
menandai periode ini adalah gagalnya pembentukan Partai Demokrasi
Islam Indonesia yang dipelopori oleh Moh. Hatta; gagalnya rehabilitasi
Masyumi dan berdirinya Parmusi; dimasukkannya aliran kepercayaan ke
dalam GHBN; kontroversi RUU Perkawinan; dan masalah perjudian yang
kian marak sejak akhir 1960 hingga awal 1970.9
Pada periode kedua (Resiprokal-Kritis), sifat antagonistik masih ada,
tapi kedua belah pihak perlahan-lahan berupaya mengurangi kecurigaan
dengan saling mempelajari dan memahami posisi masing-masing. Masa
ini ditandai dengan digulirkannya ide pemerintah pada tahun 1982 untuk
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal setiap organisasi massa
(ormas) yang ada di Indonesia hingga penetapannya sebagai asas tunggal
pada tahun 1985. Gagasan asas tunggal ini sempat menuai pro-kontra di
tubuh umat Islam. Namun, pada akhirnya, sebagian besar ormas Islam
bisa menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Pada periode ketiga (akomodasi), kedua belah pihak berusaha saling
mendekat dan menghindari konflik. Pemerintah mengeluarkan kebijakankebijakan yang menguntungkan umat Islam. Sebaliknya, para tokoh dan
berbagai ormas Islam juga mulai memberikan dukungannya secara
terbuka kepada Soeharto untuk terus menjadi presiden pada periode
berikutnya. Kemunculan fase akomodasi dilatarbelakangi oleh sejumlah
faktor, yaitu munculnya kelas menengah santri baru, pembaruan
pemikiran dan praktik politik Islam, serta pergesekan elit politik Orde
Baru.10
Bentuk-bentuk akomodasi tersebut adalah adanya RUU
Pendidikan Nasional tahun 1988 yang mengakui peran pengajaran agama
di semua tingkat pendidikan, kebijakan mengenai masalah jilbab, RUU
peradilan agama, kompilasi hukum syariah, SKB tentang Bazis,
penghapusan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), Kasus Tabloid
Monitor, dan pembentukan BMI tahun 199111.
8

Lih. disertasi Abdul Aziz Thaba yang telah dibukukan dan diterbitkan oleh
Penerbit GIP, dalam Abdul Aziz Thaba. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
9

Pramono U. Tanthowi. Kebangkitan Politik Kaum Santri. (Jakarta: PSAP, 2005).


Hlm 33.
10

Ibid. Hlm 66.

11

Ibid. Hlm 86-104


3

Selain Abdul Aziz Thaba, ada pula pandangan dari para peneliti lain.
Rusli Karim membagi pola hubungan Islam dan negara menjadi empat
periode. Yaitu tahun 1966-1972 sebagai fase mencari bentuk, tahun 19731985 sebagai era partai tunggal (PPP), tahun 1986-1990 sebagai era
mengambang atau transisi-rekonsiliasi, dan terakhir tahun 1990 hingga
kejatuhan Orba sebagai fase akomodatif. Sementara itu, Din Syamsuddin
melihat bahwa hubungan antara Islam dan negara dibagi menjadi dua
periode. Pertama, berupa kompetisi walaupun kurang bersifat ideologis,
yang dapat dilihat melalui agenda depolitisasi Islam. Kedua, terjadi
kooptasi penguasa terhadap kekuatan politik Islam, yang ditandai dengan
sistem satu partai Islam, yaitu PPP. 12 Namun, pandangan-pandangan
tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda.
Sementara itu, dilihat dalam konteks hubungannya dengan Kristen,
perjumpaan antara Islam dan Kristen pada masa Orde Baru dapat dibagi
menjadi tiga masa. Pertama, kurun waktu 1966-1973, kedua pihak saling
berlomba untuk mendapatkan tempat pada pemerintahan yang baru ini.
Namun, pada masa ini, Kristen berada di atas Islam. Kedua, kurun waktu
1974-1989, pada masa pengaruh Islam mulai menguat, sementara
dominasi Kristen semakin menurun. Namun, posisi Islam belum dominan.
Terakhir, pada masa 1990-1998, pada masa-masa akhir Orde Baru,
golongan
Kristen
semakin
tidak
mendapatkan
tempat
dalam
pemerintahan. Sebaliknya, peranan golongan Islam semakin meningkat.13

Kebijakan-Kebijakan Orde Baru dan Kondisi Umat Islam


a. Strategi Depolitisasi Ulama
Tahun-tahun antara pemilu 1971-1977 merupakan masa penataan
kembali politik Orde Baru, terutama melalui penyederhanaan partai
politik. Pemerintah memprakarsai penggabungan partai-partai politik ke
dalam tiga organisasi, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Hanya ada dua partai
politik dan satu golongan karya yang berhak mengikuti Pemilu, yaitu
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berdiri pada 5 Januari 1973 dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 10 Januari 1973. Sebelumnya, telah
didahului dengan pembentukan Golongan Karya (Golkar) yang terdiri atas
golongan fungsional. PDI merupakan merger dari PNI, Partai Katolik,
Parkindo, dan partai Murba, sedangkan PPP merupakan penggabungan
dari partai-partai Islam seperti Parmusi, PSII, NU, dan Perti. Pemerintah
memainkan peranan yang berhasil dalam mengolah kepemimpinan politik
12

ibid. Hlm 33-35

13

Jan S. Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. (Jakarta:


BPK Gunung Mulia: 2005). Hlm 363. Buku ini membahas sejarah perjumpaan
Islam dan Kristen sejak zaman penjajahan Portugis hingga pasca Orde Baru.
Untuk pembahasan yang lebih spesifik lihat juga disertasi Mujiburrahman.
Feeling Threatened Muslim-Christian Relations in Indonesias New Order.
(Leiden: Amsterdam University Press, 2006)
4

PDI dan PPP.14 Kebijakan pemerintah ini dirasakan oleh para ulama sebagai
kebijakan deparpolisasi ulama. Para ulama yang tidak terpilih dalam
kepemimpinan Golkar, PDI, atau PPP dibenarkan bila bersedia aktif di luar
jalur parpol, misalnya dalam MUI, DDII, DKM (Dewan Keluarga Masjid), DMI
(Dewan Masjid Indonesia), Rumah Zakat, dan lain-lainnya.15
Untuk melaksanakan deparpolisasi ulama tersebut, kebijakan
pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto melancarkan fabian
strategy, blitzkrieg strategy, dan violence strategy. Fabian strategy
merupakan strategi yang dilaksanakan dengan perlahan dalam
menciptakan perubahan, namun pasti (alon-alon asal kelakon). Blitzkrieg
strategy siap menindak secara militer dan cepat tepat, terhadap gerakan
lawan yang muncul di permukaan secara fisik militer. Selanjutnya,
violence strategy adalah strategi kekerasan yang diarahkan untuk
menumpas bromocorah atau preman, salah satunya dengan strategi
penembak misterius.16 Siapapun yang tidak bersesuaian dengan kehendak
pemerintah dipaksa untuk bungkam. Rezim ini lebih tepat disebut sebagai
rezim satu wajah.
Fabian strategy antara lain dilakukan dengan cara mengizinkan
untuk sementara waktu, didirikannya Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi/PMI) pada 20 Februari 1968. Parmusi pada awalnya diizinkan
berdiri dengan syarat ketua dan pengurusnya bukan dari mantan
pimpinan Partai Islam Indonesia Masjumi. Pemerintah militer Orde Baru
tidak dapat bekerjasama lagi dengan mantan pimpinan Partai Islam
Indonesia Masjumi. Brigdjen Ali Moertopo menilai mereka sebagai
kelompok fundamentalis. Hal ini disebabkan Masjumi diduga pernah ikut
terlibat pemberontakan PRRI-Permesta. Dipraktikkannya fabian strategy
ini terlihat pada saat Parmusi mengadakan Muktamar November 1968 di
Malang. Dalam muktamar tersebut, peserta secara aklamasi mengangkat
Mr. Mohamad Roem sebagai Ketua Umum. Dampaknya, keputusan
Muktamar Parmusi yang menetapkan Mohamad Roem, mantan pimpinan
Partai Masjumi, sebagai Ketua Umum ditolak oleh pemerintah. Soeharto
menegaskan bahwa tokoh-tokoh Masjumi djangan sampai duduk dalam
pimpinan PMI. Selagi saja berkuasa, saja tidak segan-segan membekukan
PMI.17
Hal yang sama juga terjadi dengan Partai Demokrasi Islam Indonesia
yang digawangi oleh Moh. Hatta. Partai ini juga ditolak oleh Soeharto pada
14

Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1993),


hlm 139.
15

Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. (Jakarta: Salamadani, 2012), hlm


487.
16

Ibid. Hlm 487

17

Ibid. Hlm 489-492


5

Juli 1967. Akhirnya, untuk menampung aspirasi umat Islam dalam


berpolitik, Soeharto membentuk PPP. Sejumlah partai politik di-merger ke
dalam PPP. Menyatunya partai-partai Islam ke dalam PPP bukannya
memperkuat partai, tetapi semakin memperlemah keberadaan partaipartai Islam. Di dalam tubuh PPP terdapat dua golongan, yaitu golongan
NU sebagai golongan mayoritas dan golongan Parmusi yang ditunjuk oleh
pemerintah. Persaingan antara kedua golongan ini menimbulkan konflik
internal di dalam tubuh partai. Selanjutnya, pemerintah mendesak PPP
untuk menyingkirkan mereka yang bergaris keras. Proses melunakkan
partai Islam berlangsung terus hingga pemilu 1982.18
Sebanyak enam kali pemilu diadakan pada masa Orde Baru, dan
setiap kali itu pula, Golkar selalu memperoleh kemenangan mutlak.
Hampir dua pertiga suara dimonopoli oleh Golkar, sedangkan sisanya PPP
dan PDI. Berikut ini data hasil perolehan suara pemilu dari tahun 19711997.
Tabel 1. Perolehan Suara Pemilu 19711997 (dalam %)19
1971 1977 1982 1987 1992 1997
Golkar
63
64
64
73
68
74
PPP
27
28
28
16
17
23
PDI
10
8
8
11
15
3
Keterangan:
PPP dan PDI belum terbentuk sampai tahun 1973. Perolehan PPP dan PDI yang tertera di
atas merupakan jumlah perolehan suara dari tiap elemen-elemen partai yang
membentuknya pada pemilu 1971.

Pada dasarnya, respons umat Islam terhadap kebijakan pemerintah


Orde Baru pada dasawarsa awal terbagi menjadi beberapa kubu, yaitu
kelompok yang meninggalkan arena politik praktis, kelompok yang
bersifat akomodatif terhadap kebijakan pemerintah, oposisi intra
parlementer (para tokoh fundamentalis dan reformis Parmusi, PPP, dan
NU), radikal konfrontatif ekstra-parlementer (PII dan HMI) serta kreatif
intelektual (sekelompok generasi baru intelektual Islam). Kelompok yang
pertama diwakili oleh Muhammadiyah dan para pemimpin Masyumi, yang
kemudian mendirikan DDII. Kelompok yang kedua diwakili oleh Parmusi,
PPP, serta NU.20
Selain deparpolisasi ulama, pemerintah Orde Baru juga melakukan
penangkapan terhadap sejumlah aktivis dakwah. Imaduddin Abdulrahim,
seorang pencetus LMD dan dai yang memiliki pemikiran tegas dan keras
18

Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1993)


Hlm. 140.
19

Brown, Colin. A Short History Of Indonesia: The Unlikely Nation? (New South Wales:
Allen & Unwin, 2003). Hlm 206.
20

Pramono U. Tanthowi. Kebangkitan Politik Kaum Santri. (Jakarta: PSAP, 2005),


hlm 59-61.
6

ditangkap pada tanggal 23 Mei 1978 karena ceramah-ceramahnya yang


bersifat subversif. Namun, karena tuduhannya tidak jelas, ia kemudian
dibebaskan. Ismail Sunny, seorang pengurus ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim se-Indonesia) yang berdiri pada tahun 1990. Ia ditangkap dua kali
oleh pemerintah. Pertama kali ditangkap pada tahun 1978 setelah
menyampaikan kesaksian terhadap masalah inkonstitusional di Indonesia
pada akhir Desember 1977. Penangkapan kedua terjadi pada tahun yang
sama karena ceramah-ceramah di kampus. Bersama dengan Ismail
Sunny, juga ditahan Mahbub Djunaidi dan Bung Tomo. Selain Imaduddin
dan Ismail, masih banyak lagi para aktivis dakwah yang ditangkap oleh
Pemerintah. Salah satunya adalah penangkapan yang dilakukan oleh
pemerintah pada peristiwa Tanjung Priok 1984, penangkapan terhadap
gerakan usroh Abdullah Sungkar di Lampung tahun 1989, dan
penangkapan salah satu tokoh Masyumi, Muhammad Natsir.

b. Polemik RUU Perkawinan


Bagi umat Islam, perkawinan merupakan peristiwa suci dan bernilai
ibadah sehingga pelaksanaannya harus memenuhi syariat Islam. RUU
Perkawinan pertama kali diajukan pada tanggal 7 September 1968. Dalam
RUU tersebut, terdapat sejumlah pasal yang tidak bersesuaian dengan
syariat Islam. Hal itu menimbulkan protes di kalangan umat Islam. Salah
satu pasal yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam adalah pasal
mengenai dasar perkawinan. Pasal 3 ayat 1 RUU Perkawinan
menyebutkan bahwa Pada dasarnya perkawinan itu bersifat monogami.
Padahal, menurut ajaran agama Islam, perkawinan dapat bersifat
monogami maupun poligami. Dengan adanya pasal tersebut, maka
poligami menjadi tidak dibenarkan. Perdebatan mengenai RUU Perkawinan
di tahun 1968 berlangsung sangat alot, hingga akhirnya dibekukan
sampai pemilu pertama tahun 1971. Perdebatan tersebut berkisar seputar
persoalan poligami, kedudukan wanita dalam perkawinan, persoalan
perceraian, perkawinan campuran, dan perjanjian perkawinan.21
Pada Juli 1973, masalah RUU perkawinan kembali dibahas. RUU
yang baru diajukan, namun masih menuai permasalahan. Pasal 20 ayat 2
RUU Perkawinan itu menyebutkan, Perbedaan karena kebangsaan, suku
bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan,
tidak merupakan penghalang perkawinan. Umat Islam sangat
berkeberatan dengan RUU tersebut. 22 Prof. HM. Rasjidi menulis sebuah
artikel di harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, dengan judul Kristenisasi
dalam Selubung, Ummat Islam tidak akan dapat menerima RUU
Perkawinan. Sebaliknya, harian Sinar Harapan dan harian Kompas yang
21

Lih. Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1991). Hlm 452.
22

Husaini, Adian. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam.
(Jakarta: Gema Insani Press, 2009). Hlm 104

mewakili kelompok Kristen-Katolik justru menggugat RUU Perkawinan


yang berdasarkan atas agama. Masalah ini menuai pro kontra yang luar
biasa.
Akhirnya muncul kesepakatan, di antaranya (1) Hukum agama Islam
dalam perkawinan tidak dikurangi atau diubah, (2) Hal-hal yang
bertentangan dengan agama Islam dan tak mungkin disesuaikan dalam
RUU terseut dihapuskan, (3) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. 23 Dengan
adanya kompromi tersebut, umat Islam bisa menerima keberadaan RUU
Perkawinan. Terlepas dari RUU Perkawinan, bila ditarik spektrum yang
lebih luas, terlihat bahwa pada saat ini pun usaha-usaha untuk
melemahkan umat Islam melalui jalur perundang-undangan masih banyak
dilakukan. Sebut saja, RUU Kesetaraan Gender yang kini tengah di-godog
oleh DPR. RUU tersebut jelas tidak bersesuaian dengan ajaran agama
Islam.

c. Kasus Jilbabisasi24
Kasus pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri pertama kali terjadi
pada tahun 1979. Pada tahun tersebut, terjadi sedikit ketegangan di
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung karena ada beberapa
siswi yang mengenakan kerudung. Pihak sekolah bermaksud untuk
memisahkan siswi-siswi ini dalam satu kelas tersendiri. Namun, siswi-siswi
tersebut menolak dipisahkan dari kawan-kawannya yang tidak
mengenakan jilbab. Setelah ada campur tangan dari Ketua Majelis Ulama
Jawa Barat, EZ Muttaqien, pemisahan ini akhirnya tidak jadi dilakukan.
Setahun setelah itu, tahun 1980, terjadi kasus yang sama di SMAN 3 dan
SMAN 4 Bandung.
Berkembangnya semangat berjilbab di kalangan pelajar sekolah
menengah negeri Bandung kemungkinan besar berasal dari pelatihanpelatihan yang diadakan Masjid Salman ITB yang pada masa itu aktif
menyelenggarakan program Latihan Mujahid Dakwah (LMD) serta Studi
Islam Intensif (SII). Pengaruh aktivitas Masjid Salman ITB tidak hanya
terbatas pada kalangan mahasiswa Bandung saja, melainkan juga
kalangan pelajar sekolah menengah dan kota-kota selain Bandung. Di
Jakarta, kasus pelarangan jilbab juga mulai bermunculan. Munculnya
semangat berjilbab di lingkungan sekolah menengah negeri di Jakarta
banyak dipengaruhi oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta.
Pada tanggal 17 Maret 1982, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Departemen P dan K) Republik Indonesia mengeluarkan
23

Ibid. Hlm 105

24

Untuk memahami kasus pelarangan jilbab lebih jelas lagi, baca buku Alwi
Alatas. Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek,
1982-1991, (Jakarta: Al-Itisham Cahaya Ummat, 2001)
8

Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82,


yang mengatur bentuk dan
penggunaan seragam sekolah di sekolah-sekolah negeri. Sebelum
keluarnya SK tersebut, peraturan seragam sekolah ditetapkan oleh
masing-masing sekolah negeri secara terpisah. Dengan adanya SK
tersebut, maka peraturan seragam sekolah menjadi bersifat nasional dan
diatur langsung oleh Departemen P dan K. SK tersebut dapat dikatakan
tidak mengakomodir kemungkinan untuk menggunakan seragam sekolah
dalam bentuk lain sehingga berbenturan dengan keinginan beberapa siswi
di sekolah-sekolah negeri yang ingin mengenakan jilbab. Pasca keluarnya
SK tersebut, banyak siswi-siswi berjilbab yang memperoleh teguran,
pelarangan, dan tekanan dari pihak sekolah. Siswi yang bersikeras untuk
tetap mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, pada akhirnya
dikeluarkan dari sekolah negeri tempat mereka belajar dan pindah ke
sekolah swasta.
Kasus jilbab yang pertama sejak keluarnya SK 052 adalah tekanan
guru olah raga SMAN 3 Bandung terhadap delapan siswinya agar mereka
melepaskan kerudung. Bukan hanya kerudung yang menjadi masalah,
kedelapan siswi ini juga diwajibkan mengenakan celana pendek (hotpant)
pada jam pelajaran olah raga. Setelah surat-menyurat yang cukup alot
antara Majelis Ulama, Kanwil Departemen P & K Jawa Barat, dan pihak
sekolah, barulah masalah itu dapat diselesaikan. Para siswi tetap diizinkan
menggunakan kerudung pada jam-jam pelajaran, termasuk jam olah raga.
Tapi, untuk kasus yang terjadi di SMAN 68 Jakarta Pusat, beberapa bulan
setelah itu, siswi yang mengenakan kerudung terpaksa menerima
kenyataan harus dikeluarkan dari sekolah.
Sejak itu, kasus-kasus jilbab di berbagai sekolah negeri lainnya
segera bermunculan. Semakin lama semakin banyak siswi yang
mengalami konflik dengan sekolah karena jilbab yang dikenakannya. Hal
ini menimbulkan reaksi dari beberapa lembaga Islam, terutama Pelajar
Islam Indonesia (PII), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Majelis Ulama Indonesia (MUI), mewakili
lembaga-lembaga Islam lainnya, melakukan advokasi kepada Departemen
P&K agar bersedia meninjau ulang kebijakan departemennya mengenai
peraturan seragam sekolah ini.
Pada awal tahun ajaran 1984/1985, kasus-kasus pelarangan jilbab
lebih sering muncul daripada tahun-tahun sebelumnya. Lembaga Bina
Insan Kamil (LBIK) melaporkan 29 siswi berjilbab dari sembilan sekolah
negeri terancam dikeluarkan. Serial Media Dakwah menyebutkan bahwa
300 pelajar puteri sekolah menengah negeri di berbagai kota seperti
Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Cirebon, Pekalongan, Surabaya, dan
Sumenep, terpaksa pindah sekolah karena masalah kerudung ini. Hanya di
Sumatera Barat dan Aceh jilbab tetap diperkenankan. Tidak sedikit siswisiswi yang terpaksa mengalah terhadap peraturan seragam sekolah dan
akhirnya melepas jilbab selama berada di lingkungan sekolah.
Pada tahun 1988-1991, kasus jilbab mulai masuk ke ranah
pengadilan. Kasus yang pertama kali berlanjut ke pengadilan adalah kasus
pelarangan jilbab di SMAN 1 Bogor. Beberapa siswi yang berjilbab di
9

sekolah tersebut diperbolehkan hadir belajar di kelas, tetapi di dalam


absensi mereka dianggap tidak hadir dan seluruh ulangan maupun
praktikum yang mereka ikuti tidak dinilai oleh guru. Selain itu, mereka
juga dipanggil ke kantor sekolah setiap hari dan ditekan dengan berbagai
pertanyaan yang bernada intimidatif. Setelah gagal untuk menyelesaikan
hal ini secara musyawarah, empat orang tua siswi berjilbab di sekolah ini
menuntut Kepala Sekolah SMAN 1 Bogor ke pengadilan. Dalam
mengajukan gugatannya, mereka dibantu oleh LBH Jakarta. Kasus ini
dimenangkan oleh para siswi berjilbab. Kepala SMAN 1 Bogor
menyampaikan permohonan maaf dan berjanji untuk menerima kembali
siswi-siswi berjilbab.
Berbeda dengan kasus SMA N 1 Bogor, sidang kasus jilbab yang
menimpa sepuluh siswi SMAN 68 Jakarta berlangsung sangat lama.
Peristiwa bermula pada bulan November 1988 ketika di sekolah tersebut
mulai bermunculan siswi-siswi berjilbab. Siswi-siswi ini menerima tekanan
terus menerus dari sekolah. Mereka harus memilih antara melepas jilbab,
keluar dari kelas, atau guru yang tidak mengajar di kelas mereka. Tekanan
yang diterima oleh siswi-siswi ini meningkat terus hingga akhirnya mereka
sama sekali tidak diizinkan masuk ke dalam sekolah. Kebijakan ini
didukung oleh Kanwil Departemen P dan K DKI Jakarta. Setelah jalan
musyawarah tidak membuahkan hasil, orang tua siswi-siswi ini kemudian
menempuh jalur hukum lewat bantuan LBH Jakarta. Pada tanggal 2 Maret
1989, kasus ini resmi diajukan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Setelah beberapa kali sidang, pengadilan memutuskan untuk menolak
seluruh tuntutan penggugat. Para penggugat memutuskan untuk naik
banding. Dari sepuluh orang tua siswi berjilbab, kini tinggal lima yang
meneruskan gugatan ke pengadilan tinggi. Perjuangan siswi-siswi ini di
pengadilan tinggi pun rupanya mengalami kekalahan. Namun, pada
tanggal 19 Desember 1990 mereka mengajukan kasasi. Hasil sidang
pengadilan ini baru muncul beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun
1995, dengan kemenangan di pihak siswi-siswi berjilbab. Padahal, sejak
1991 jilbab sudah diizinkan di sekolah-sekolah negeri.
Kasus jilbab menarik perhatian berbagai media massa. Media massa
yang meliput berita pelarangan jilbab pada masa ini adalah majalah Panji
Masyarakat, Serial Media Dakwah, Editor, Tempo, Hai, Harian Terbit,
Jayakarta, Pelita, Kompas, dan Pos Kota. Media-media massa ini juga
menampilkan komentar masyarakat dan tokoh yang umumnya
menyatakan keprihatinan mereka terhadap apa yang menimpa siswi-siswi
berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Adapun tokoh yang ikut merespon
kasus ini antara lain Djafar Badjeber (Komisi E DPR RI), Sarwono
Kusumaatmaja (Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara),
Nursyahbani Katjasungkana (Direktur LBH Jakarta), KH Hasan Basri (Ketua
MUI), Hartono Mardjono (Wakil Ketua DPA), Mardinsjah (Sekjen PPP),
Lukman Harun (PP Muhammadiyah), Anwar Harjono (DDII), A.M. Saefudin
(Direktur Pesantren Ulil Albab Bogor), dan Drs. Ridwan Saidi.
Bersamaan dengan memanasnya konflik jilbab di sekolah-sekolah
negeri, kasus jilbab juga ikut merembet ke wilayah-wilayah lain. Di Tegal,
sempat terjadi kasus penelanjangan gadis berjilbab oleh petugas
10

keamanan sebuah toserba karena gadis tersebut dicurigai mencuri


permen seharga Rp. 160,00. Yang lebih ramai lagi adalah kabar tentang
wanita berjilbab menebarkan racun di pasar-pasar. Isu ini sempat
menyebabkan seorang ibu berjilbab nyaris meninggal dunia dihakimi
massa karena diteriaki sebagai penebar racun. Semua peristiwa itu
menimbulkan reaksi dan kemarahan umat Islam. Sejumlah demonstrasi
digelar di berbagai kota. Sementara itu, pembicaraan intensif mengenai
masalah ini bergulir terus antara MUI dan Departemen P dan K yang
diwakili oleh Menteri P dan K, Fuad Hasan, dan Dirjen PDM (Dikdasmen),
Hasan Walinono. Kedua belah pihak kemudian sepakat untuk
menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, pada tanggal 16
Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru 25, yaitu SK
100/C/Kep/D/1991, ditandatangani secara resmi, setelah melalui
konsultasi dengan banyak pihak. Hal ini disambut gembira oleh siswi-siswi
berjilbab serta masyarakat yang bersimpati pada perjuangan mereka.
Konflik yang terkait dengan jilbab di sekolah-sekolah negeri sangat
terkait dengan kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam.
Sikap curiga pemerintah terhadap umat Islam telah mendorong terjadinya
konflik, termasuk kasus-kasus pelarangan jilbab. Penyamaan segaram
sekolah ini secara tidak langsung merupakan bentuk militerisasi Orde
Baru dalam bidang pakaian. Namun, kegigihan siswi-siswi SMA dalam
memperjuangkan hak untuk mengenakan jilbab atau busana muslimah di
lingkungan sekolah menunjukkan bahwa semua itu dilandasi oleh
keyakinan dan motivasi yang kuat, bukan semata karena ikut-ikutan.
Munculnya
semangat
berjilbab
di
sekolah-sekolah
negeri
dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal Indonesia. Faktor
internal yang menonjol adalah semakin ideologis dan militannya beberapa
organisasi pelajar muslim dan masjid kampus dalam melakukan program
kaderisasi sebagai dampak tekanan pemerintah yang kuat terhadap
mereka. Faktor eksternal yang menonjol adalah dorongan psikologis yang
diberikan oleh Revolusi Iran serta pengaruh ideologis pemikiran Al-Ikhwan
Al-Muslimin yang masuk ke Indonesia. Sikap kaku pemerintah terhadap
peraturan seragam sekolah telah menyebabkan persoalan ini menjadi
berlarut-larut. Persoalan jilbab atau busana muslim lebih tepat dilihat dari
sudut pandang hak seseorang dalam menjalankan agamanya daripada
dilihat dari sudut pandang politik. Sikap Departemen P dan K terhadap
persoalan jilbab menunjukkan bahwa pemerintah belum bersifat
akomodatif terhadap aspirasi umat Islam.26

25

Pada SK yang baru ini, keinginan para siswi berjilbab sudah diakomodir,
lengkap dengan contoh gambar pakaiannya. Namun, istilah yang digunakan
pada SK tersebut tetap seragam khas, bukan jilbab.
26

Pokok pembahasan mengenai tema jilbabisasi ini sepenuhnya diambil dari


laporan hasil penelitian Kasus Jilbab di Sekolah-Sekolah Negeri di Indonesia
tahun 1982-1991 oleh Alwi Alatas, S.S (laporan yang tidak diterbitkan).
11

d. Pembentukan MUI
Strategi depolitisasi ulama menyebabkan sejumlah ulama terjegal
masuk ke ranah politik pemerintahan. Akhirnya, karena kebutuhan
dakwah, pada tanggal 9 Mei 1967 Mohammad Natsir bersama dengan
bekas pemimpin Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII). Tujuannya untuk mendorong dan meningkatkan dakwah
Islam di kalangan muslimin Indonesia.27 Selanjutnya, pada tahun 1969,
pemerintah memprakarsai berdirinya Pusat Dakwah Islam Indonesia
(PDII), dengan ketuanya KH. Moh Ilyas. Pemerintah menolak bahwa PDII
dibentuk sebagai tandingan dari DDII. Organisasi ini merupakan organisasi
semi resmi, yang dikelola oleh sejumlah ulama dan cendekiawan yang
dekat dengan pemerintah. Salah satu pencapaian PDII adalah
keberhasilannya menyelenggarakan Musyawarah Alim Ulama Seluruh
Indonesia di Jakarta pada 30 September-4 Oktober 1970. Para peserta
mengajukan usul untuk mendirikan lembaga fatwa. Masalah lembaga
fatwa ini kemudian menjadi isu sentral yang belum menemui titik sepakat
hingga akhir musyawarah28.
Empat tahun kemudian, tanggal 26-29 November 1974, PDII
memprakarsai lokakarya mubaligh seluruh Indonesia. Dalam lokarya ini
disepakati perlunya Majelis Ulama atau lembaga semacamnya. Untuk
melakukan konsensus tersebut, Mendagri mengintruksikan agar daerahdaerah membentuk Majelis Ulama tingkat daerah. Kemudian, pada
tanggal 21-27 Juli 1975 di Jakarta, diadakan Musyawarah Nasional Majelis
Ulama Indonesia yang diikuti oleh utusan-utusan dari Majelis Ulama
daerah se-Indonesia. Presiden Soeharto dalam pidato pembukaannya
memberikan sepuluh garis-garis pedoman bagi bentuk dan fungsi MUI. 29
Musyawarah Majelis Ulama Indonesia I pada akhirnya melahirkan
deklarasi mengenai berdirinya Majelis Ulama Indonesia, yang
ditandatangani oleh 53 peserta musyawarah pada tanggal 26 Juli 1975.
MUI pertama kali diketuai oleh Prof. Dr. HAMKA. MUI yang baru saja
dibentuk ini memiliki empat fungsi, yaitu
1. Memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat islam umumnya
sebagai amar maruf nahi munkar, dalam usaha meningkatkan
ketahanan nasional.
27

Lihat Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1991). Hlm 439
28

Ibid. Hlm 441

29

Ibid. Lebih lanjut mengenai sepuluh instruksi presiden Soeharto tersebut, baca
hlm 443. Di antaranya bahwa tugas ulama adalah amar maruf nahi munkar,
menjadi penghubung antara pemerintah dengan ulama, menjadi penerjemah
yang menyampaikan pikiran-pikiran dan kegiatan pembangunan kepada
masyarakat, serta memberikan bahan pertimbangan mengenai kehidupan
beragama kepada pemerintah.
12

2. Memperkuat
ukhuwah
Islamiyah
dan
memelihara
serta
meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama.
4. Penghubung antara ulama dengan umara (pemerintah) serta
menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat
guna menyukseskan pembangunan nasional. 30
Fungsi MUI sebagai lembaga pemberi fatwa berarti mendorong ulama
berperan serta dalam pembangunan bangsa. Pada waktu-waktu
selanjutnya, MUI terus mengalami berbagai dinamika. 31 MUI pada masa
Orde Baru dianggap sebagai stempel pemerintah. MUI sebagai lembaga
fatwa harus berjalan seiring dengan pemerintah. Fatwa-fatwa yang
dikeluarkan pun harus mendukung kebijakan pemerintah. Misalnya, fatwa
tentang IUD, tubektomi, dan fasektomi. Pada awalnya, MUI memfatwakan
IUD haram dilakukan karena membuka aurat perempuan. Namun, karena
tekanan dari pemerintah, MUI mengubah fatwa tersebut. Setelah masa
reformasi, MUI mengubah citranya tidak lagi hanya sekedar alat kebijakan
pemerintah. MUI mendefinisikan diri sebagai khadimul ummah, bukan lagi
khadimul hukumah.

e. Aliran Kepercayaan
Dimasukkannya aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam
GBHN pada Sidang Umum MPR 1978 menimbulkan masalah. Aliran
kepercayaan atau aliran kebatinan merupakan fenomena sosial yang telah
lama muncul. Aliran kepercayaan ini banyak sekali bermunculan dan
kadang sulit dikendalikan. Ada yang menganggap diri sebagai agama di
antaranya agama Adam Makripat, agama Pran Suh, dan ADARI (Agama
Djawa Asli RI). Ada pula yang tidak mengaku sebagai agama, SUBUD
(Susila Budidarma), GMKRI (Gabungan Musyawarah Kebatinan RI),
Paguyuban Ngesti Tunggal, dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia memasukkan aliran kepercayaan sebagai
kelompok tersendiri dalam GBHN dengan alasan UUD pasal 29 ayat 2.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing, dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya. Alasan ini tidak dapat diterima. Kata kepercayaan
tidak bisa diartikan sebagai suatu pengakuan terhadap eksistensi
kepercayaan di samping adanya agama-agama besar yang diakui, tapi
artinya adalah menunjuk kepada kepercayaan agama yang ada. Moh
30

Ibid. Hlm 444.

31

Salah satu penelitian mengenai dinamika di tubuh MUI dilakukan oleh Moch Nur Ichwan
dalam makalahnya Towards a Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia
and the Politics of Religious Orthodoxy dalam Martin van Bruinessen (ed.).
Contemporary Developments in Indonesia Islam Explaining the Conservative Turn.
(Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2013). Hlm 60.

13

Hatta yang ikut merumuskan UUD 1945 memperkuat hal itu, menurutnya
kepercayaan berarti kepercayaan kepada agama.32
Persoalan masuknya aliran kepercayaan kemudian menjadi masalah
besar dan sempat menimbulkan ketegangan. Isu aliran kepercayaan ini
berkembang bersamaan dengan munculnya kembali masalah Islam
Jamaah. Umat Islam menginginkan agar mereka dibina. Mengakui mereka
secara legal berarti pemurtadan secara sengaja kelompok ini dari
kelompok besarnya, yaitu Muslim. Oleh karena itu, umat Islam menentang
kebijakan pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan ke dalam
GBHN. Dari segi ideologis politis, pengakuan aliran kepercayaan dalam
GBHN dianggap sebagai usaha untuk menghilangkan mayoritas Islam di
Indonesia. 33

f. Asas Tunggal Pancasila


Pancasila kembali menjadi masalah, bukan sebagai dasar negara,
tetapi sebagai asas tunggal setiap organisasi di Indonesia. Gagasan
Presiden Soeharto tentang asas tunggal partai pertama kali dikemukakan
dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1982 di hadapan DPR.
Dengan adanya kebijakan ini, maka semua partai politik, lembaga, dan
organisasi kemasyarakatan harus menggunakan Pancasila sebagai asas
tunggal. Soeharto berpendapat bahwa Pancasila adalah dasar falsafah
dan ideologi negara dan pandangan hidup masyarakat Indonesia yang
akan selalu memberi bimbingan kepada setiap gerak kegiatan kita,
negara, masyarakat,dan manusia Indonesia.34 Asas tunggal Pancasila
menjadi isu sentral menjelang Sidang Umum MPR tahun 1983, bersamaan
dengan mengemukanya gagasan RUU Keormasan. Dari kalangan umat
Islam, timbul beragam respons. Di antara yang menolak gagasan asas
tunggal rata-rata didasarkan atas pertimbangan agama. Bagi umat Islam,
kata asas menunjuk kepada hal yang paling mendasar dan hakiki dalam
kehidupan. Hal ini menjadi masalah yang sangat peka.35
32

Op cit. Hlm 454-456.

33

Op cit. Hlm. 455

34

Prof. Darji Darmodiharjo, salah satu konseptor penting P4, sekaligus Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah Dept P &K, mengajukan sembilan makna
Pancasila yang diantaranya adalah sebagai jiwa bangsa, kepribadian bangsa,
pandangan hidup bangsa, dasar falsafah negara, ideologi negara, perjanjian
luhur bangsa, cita-cita dan tujuan nasional, pandangan hidup yang
mempersatukan bangsa, dan sebagai way of life.
35

Alasannya, QS Ali Imran:85, Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,


maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
14

Syafruddin Prawiranegara sangat menyayangkan hal ini. Keharusan


asas tunggal akan bertentangan dengan kehendak UUD 1945 itu sendiri.
Pasal 28 menjamin kemerdekaan setiap warga untuk berserikat dan
menyatakan pendapat.36 Meskipun demikian, di kalangan umat Islam ada
pula yang menerima asa tunggal Pancasila, di antaranya Nurcholis Madjid
yang sejak dulu menyuarakan gagasan sekular Islam Yes, Partai Islam
No. Menurutnya, hal ini tidak merupakan esensi keimanan Islam. Tokoh
lain, yaitu Jalaluddin Rahmat juga membenarkan Cak Nur, katanya, di
dalam Quran dan hadits tidak ada satupun kata daulah.37
Partai politik yang resmi akan terkena kebijakan ini adalah PPP,
karena dalam anggaran dasarnya partai ini masih menggunakan dasar
Islam di samping Pancasila. Dengan diberlakukannya UU tersebut, PPP
yang selama itu dianggap sebagai partai islam, tidak lagi menjadi partai
islam dalam bentuk resmi dan eksklusif. Dngan kata lain, PPP harus dapat
membuka diri, menerima anggota dari agama lain, selain Islam. Asas
tunggal Pancasila ini juga menimbulkan heboh dalam Kongres HMI, karena
pemerintah menghendaki organisasi ini mengganti dasarnya dari Islam ke
Pancasila. Namun, HMI menolak.38 Sementara itu, NU menyatakan bisa
menerima asas Pancasila sebagai asas tunggal. Karena menurutnya,
Republik Indonesia adalah hasil perjuangan final ummat Islam.
Konsekuensi dari sikap di atas adalah NU berkewajiban mengamankan
pengertian yang benar tentang Pancasila dan mengamalkannya secara
konsekuen dan murni.39
Sementara itu, Muhammadiyah tampak lebih berhati-hati. Para
pemimpin Muhammadiyah berusaha memantau setiap perkembangan,
mencari informasi dan mempelajari isu asas tunggal ini. Pandangan
Muhammadiyah terhadap asas tunggal didasarkan pada pendirian Ki
Bagus Hadikusumo, seorang pemimpin Muhammadiyah yang ikut
merumuskan pembukaan UUD 1945, yang menyatakan bahwa pengertian
sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid. Itulah sebabnya,
Muhammadiyah kemudian bisa menerima. Undang-undang keormasan
disahkan pada bulan Agustus 1985. Pada akhir tahun 1987, hampir
seluruh organisasi masyarakat Islam telah menyesuaikan diri dengan UU
No. 8/1985 tersebut.40
36

Lihat Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1991). Hlm. 458
37

Ibid. Hlm 459.

38

Deliar Noer. Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal Agama. (Jakarta: Yayasan
Perkhidmatan, 1983). Hlm. 13
39

Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, 1991). Hlm 450.
40

Ibid. Hlm 461.


15

Deliar Noer mengajukan analisa tentang konsekuensi penerapan


asas tunggal partai ini. Menurutnya, asas tunggal partai menafikan
hubungan antara agama dan politik, yang bagi agama tertentu, apalagi
Islam, berarti bertentangan dengan ajarannya. Ini berarti dorongan untuk
sekularisasi dalam politik. Asas tunggal partai juga menafikan
kebhinekaan masyarakat yang memang berkembang menurut keyakinan
masing-masing. Keyakinan ini baik yang bersumber pada ajaran agama
maupun pemahaman lain. Asas tunggal partai juga menghalangi orangorang yang sama keyakinan untuk mengelompok sesamanya berdasarkan
keyakinan, termasuk agama. Dalam hal ini asas tunggal mengandung
unsur paksaan dan bukan keleluasaan yang merupakan ciri demokrasi. 41
Hal ini juga mengandung kecenderungan ke arah sistem partai tunggal.
Kalaupun tidak terwujud, akibatnya terjelma sistem satu partai yang
terselubung.
Hubungan antara Pancasila dan Islam sebenarnya berkaitan dengan
tafsiran yang diberikan, bisa jadi bertentangan dan bisa jadi tidak. Ada
hal-hal yang dicakup dalam Islam, tapi tidak tercakup dalam Pancasila.
Karena itu, ajaran Islam lebih bersifat luas, mencakup hal-hal yang oleh
Pancasila mungkin tidak terpikirkan. Pancasila tanpa agama akan kosong.
Sebaliknya, dengan beragama, khususnya Islam, maka kita sudah
otomatis menegakkan Pancasila, kelima sila itu tegak dengan sendirinya.42
Selama dekade 1980-an, isu bahwa umat Islam adalah anti
Pancasila memang sering terdengar. Kaum Kristen dan kaum Islamofobia
lainnya berhasil menghegemoni penafsiran Pancasila sehingga penafsiran
Pancasila disalahpahami dan disalahpahamkan sebagai sebuah konsep
sekuler selama beberapa dekade. Dominasi kaum sekuler dalam politik
Orde Baru akhirnya berdampak kepada upaya sekularisasi Pancasila.
Pancasila ditempatkan sebagai posisi netral agama atau sekuler. Padahal,
sejarah kelahiran Pancasila dan bunyi teks Pembukaan UUD 1945
sebenarnya sangat kental dengan nuansa worldview Islam, bukan
pandangan dunia sekuler atau ateis. Pancasila memuat nilai-nilai Islam.
Hal ini dibuktikan oleh banyaknya konsep islam yang terkandung di dalam
sila-sila Pancasila. Tokoh Islam yang terlibat perumusan Pancasila, seperti
K.H. Wahid Hasjim, Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikusno
Tjokrosoejoso.43 Menanggapi hal itu, di Majalah Panji Masyarakat No.
323/1981, Hamka menulis sebuah artikel dengan judul Pancasila dan
Syariat Islam. Dikatakan oleh Hamka, Bahwasanya kaum Muslimin
Indonesia menerima Pancasila sebagai falsafah atau dasar Negara RI ini,
tidaklah perlu diragukan lagi. Kecuali jika Pancasila itu diatasi dengan halhal yang bertentangan dengan Islam.44
41

Op Cit. Hlm 60.

42

Op Cit. Hlm 116.

43

Husaini, Adian. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat


Islam. (Jakarta: Gema Insani Press, 2009). Hlm 13.
16

Upaya Pemerintah Orde Baru untuk menempatkan Pancasila


menjadi landasan moral dilakukan melalui sosialisasi dan indoktrinasi
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). PPP, tokoh Masyumi Sjafroedin Prawiranegara,
dan H.M. Rasjidi menolak hal tersebut. P4 dipandang sebagai manipulasi
dan pemusatan penafsiran ideologi negara oleh penguasa tanpa
mengaitkan asas-asas ajaran agama, terutama Islam. Sejak tahun 1975,
PMP wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Penataran P4 juga wajib bagi
pegawai negeri dan mahasiswa. Ada yang menyebut bahwa proses
Pancasilaisasi mempunyai implikasi deislamisasi. Menurut Natsir,
diberlakukannya pelajaran PMP di sekolah-sekolah merupakan bentuk
pendangkalan agama dan penyamaan agama dengan Pancasila.45

g. ICMI
Pengaruh Moertopo mulai meredup sejak serangan penyakit jantung
yang dialaminya pada tahun 1978, hingga kemudian dia meninggal pada
tahun Mei 1984. Golkar selama periode Sudharmono (1983-1988) mulai
menunjukkan surutnya pengaruh kelompok Murtopo karena Sudharmono
lebih suka mengakomodasi para aktivis Islam. Penunjukan L.B. Moerdani,
sebagai Panglima TNI (ABRI) pada bulan Maret 1983 untuk sementara
waktu membuat pengaruh lobi non-Muslim bertahan. Namun, dengan
selesainya masa jabatan Moerdani sebagai Panglima ABRI pada tahun
1988, terjadilah titik balik dalam sikap dan relasi strategis Suharto dengan
para elit militer.46
Sepanjang periode 1983-1988, beberapa intelektual muslim mulai
memainkan peran-peran penting dalam Dewan Pengurus Pusat Golkar
(DPP Golkar), misalnya Akbar Tandjung, K.H. Tarmudji, Ibrahim Hasan,
Anang Adenansi dan Qudratullah. Inteligensia Muslim yang berkiprah
dalam birokrasi negara ini seringkali disebut sebagai neo-santri. Sejumlah
intelektual muslim, seperti Gus Dur, Cak Nur, dan beberapa orang lainnya,
diangkat sebagai anggota MPR dari utusan golongan di bawah bendera
Golkar.47 Tahun 1980-an dan 1990-an juga merupakan masa panen raya
atau ledakan jumlah intelektual Muslim Indonesia dari berbagai gerakan. 48
Tabel berikut ini merepresentasikan pencapaian jenjang S1 berdasarkan
agama dari penduduk Indonesia dalam kelompok usia 2429 tahun.49
Tahun Muslim
44

Ibid. Hlm. 115

45

Ibid. Hlm 110-111

Kristen

Hindu

46

Latif, Yudi. 2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad Ke-20. (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2010). Hlm 642
47

Ibid. Hlm 643


17

A
B
C
1976
16.218 0,0%
520 0,1% 2,4%
1985
71.516 0,2%
0,5% 3,2%
1995
553.257 1,8%
2,8% 2,3%

A
B
75,3%

C
A
4.191

C
0,4%

76,0%

18.706 0,7% 19,8%

3.024

77,5%

132.657 4,1% 18,5%

16.604

19,4%

*Sumber: Survei Antarsensus Indonesia oleh BPS pada tahun 1976, 1985 dan 1995

Keterangan:
A = total jumlah kelompok agama tertentu yang menyelesaikan S1 (dari
kelompok usia ini)
B = persentase A terhadap total jumlah kelompok agama tertentu (dari
kelompok usia ini)
C = persentase A terhadap total penduduk (dari kelompok usia ini)
Sepanjang tahun 1980-an, sebenarnya telah muncul usaha untuk
menyatukan para intelektual muslim ke dalam satu wadah khusus,
sebagai usaha untuk untuk memperkuat daya tawar intelektual muslim di
tengah-tengah pemerintah. Pada tahun 1980, para intelektual Muslim di
Surabaya dan sekitarnya membentuk Cendekiawan Muslim Al-Falah (CMF)
yang dipimpin oleh Fuad Amsjari. Kemudian pada bulan Desember 1984,
MUI mengadakan pertemuan intelektual muslim di Wisma PKBI, Jakarta,
yang disusul dengan acara Silaturahmi Cendekiawan Muslim, di Ciawi
(Bogor ) pada bulan Maret 1986 dan diikuti lebih dari 100 intelektual
Muslim. Di Yogyakarta pada awal tahun 1989, Imaduddin Abdulrahim
mengorganisir sebuah pertemuan para intelektual Muslim. Pertemuan itu
diikuti oleh sekitar 50 partisipan dari beragam gerakan Islam termasuk
Nurcholish Madjid, Endang Saefuddin Anshari dan Syafii Maarif.
Pertemuan itu telah berhasil menyepakati rencana mendirikan sebuah
perhimpunan intelektual Muslim, namun aparat keamanan tiba-tiba
memaksa membubarkan pertemuan tersebut. Kegagalan tersebut
menjadi cermin sikap pemerintah yang cenderung masih bersikap
antagonis terhadap Islam.50
Kedekatan Soeharto dengan Islam semakin erat ketika masuknya
B.J. Habibie ke dalam lingkaran pemerintahan. Habibie merupakan
kombinasi unik dari latar belakang sipil, kecerdasan akademis, kesalehan
islami, dan kedekatan dengan Soeharto, yang membuatnya menjadi kunci
masa depan bagi banyak kaum intelektual kelas menengah Islam. Ketika
para intelektual muslim mendirikan ICMI, yang disetujui oleh Soeharto
48

Lebih lanjut mengenai pembentukan ICMI serta kaitan antara intelektual


muslim dengan kekuasaan Orde Baru dapat dibaca pada bab VI buku Daniel
Dhakidae. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003)
49

Op cit. Hlm 648

50

Ibid. Hlm 667-669.

18

pada Desember 1990, mereka meminta Habibie untuk memimpinnya.


ICMI mengubah konstelasi peta politik dan religius di Indonesia. 51
Kedekatan Islam dengan Soeharto kemudian membawa angin segar bagi
kehidupan umat Islam di Indonesia. Sejumlah kebijakan yang bersifat
akomodatif dikelaurkan, seperti diperbolehkan mengenakan jilbab di
ruang publik, penguatan pendidikan agama, dan adanya sanksi bagi
pelecehan agama di media massa (kasus tabloid Monitor).
Pembentukan organisasi cendekiawan muslim ini merupakan
tonggak terpenting dalam hubungan antara Orba dengan Islam yang
semakin akomodatif sejak paruh kedua 1980-an. ICMI lahir pada tanggal 7
Desember 1990 di Universitas Brawijaya, Jawa Timur. Organisasi ini
mendapatkan dukungan penuh dari Soeharto. Bersama Centre for
Information and Development Studies (CIDES) dan harian Republika, ICMI
segera berperan sebagai think tank Orde Baru menggantikan CSIS (Centre
for Strategic and International Studies).52 CSIS sendiri merupakan lembaga
think tank pada masa-masa awal pemerintah Orde Baru, yang didirikan
oleh golongan Cina-Katolik pada tahun 1971. Ali Moertopo, Daoed Jusuf,
dan Benny Moerdani merupakan tokoh dari lembaga ini.
Berdirinya ICMI merupakan momentum bersejarah dalam
kebangkitan umat Islam di Indonesia. Ia menandai berakhirnya dominasi
Kristen-Katolik yang sejak awal Orde Baru dekat dengan Soeharto dan
mempengaruhinya dalam mengambil kebijakan, salah satunya lewat CSIS.
CSIS ikut andil dalam memainkan kebijakan Orde Baru, termasuk dalam
hal marginalisasi umat Islam. Upaya marginalisasi umat Islam ini
dilakukan melalui beberapa cara, yaitu deideologisasi (pemaksaan asas
tunggal), depolitisasi (konsep floating mass), dan sekulerisasi (terbitnya
UU yang mengabaikan peran agama). Mantan Asisten Personel Kepala
Staf Angkatan Darat, Mulchis Anwar, dalam sebuah kolom berjudul
Bongkar Pasang Inteligen di Majalah Tempo edisi 23-29 Oktober 2000,
mengakui adanya berbagai rekayasa menyakitkan terhadap umat Islam.
Isu berdirinya negara Islam, rekayasa Komando Jihad, Warsidi (Lampung),
peristiwa Tanjung Priok yang memakan korban lebih dari 400 nyawa,
adalah bagian dari rekayasa tersebut. 53 Namun, sejak Soeharto mulai
cenderung kepada umat Islam, berbagai kebijakan yang pro Islam pun
dihasilkan, termasuk izin menggunakan jilbab di ruang publik bagi
muslimah, pendirian Bank Muamalat pada tahun 1991, dan sejumlah
kebijakan lainnya. Puncaknya, ketika Soeharto menggaet Habibie sebagai
wakil presiden.
Sejumlah Kebijakan Lain
51

M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2010).


Hlm 668.
52

Jan S. Aritonang, ... Hlm 456-462.

53

Islam di Tengah Carut Marut Politik Orde Baru dalam Majalah Suara
Hidayatullah, Edisi Khusus Milad 2008. Hlm 28
19

Selain kebijakan-kebijakan yang telah diuraikan di atas, Orde Baru


juga menelurkan beberapa kebijakan yang memicu pro kontra dengan
umat Islam atau yang menimbulkan pertentangan antara umat Islam
dengan Kristen-Katolik. Salah satunya, SKB No. 1 tahun 1969 yang
ditetapkan pada tanggal 13 September 1969 dan ditandatangani oleh
Menteri Agama KH Moh. Dahlan
dan Menteri Dalam Negeri Amir
Machmud, tentang pembangunan gereja. SKB ini menyatakan bahwa
Pembangunan gereja harus seizin kepala daerah dan apabila dianggap
perlu kepala daerah dapat meminta pendapat organisasi keagamaan dan
ulama/rohaniwan
setempat.
Selain
itu,
umat
Kristen
juga
mempermasalahkan SK Menteri Agama No. 70 tahun 1978 yang mengatur
tentang pedoman penyiaran agama. Penyiaran agama tidak boleh
ditujukan terhadap orang-orang yang telah memeluk agama lain. 54
Selain SKB No. 1 tahun 1969, SK Menteri Agama No. 70 tahun 1978,
ada lagi peraturan perundang-undangan lain, yakni UU No. 2 tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjadi momok bagi kaum
Kristen, karena di dalamnya mengandung pasal-pasal tentang kedudukan
pendidikan agama di sekolah. Di antaranya berbunyi Siswa mempunyai hak
memperoleh pendidikan

agama sesuai dengan

agama yang dianutnya.

Selanjutnya, bagian penjelasan, pasal 28 ayat 2 UU No 2 tahun 1989


tersebut berbunyi Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama
sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang
bersangkutan.55 Golongan Kristen khawatir UU ini menghalangi dapat
misi kristenisasi. Terutama di sekolah-sekolah Kristen, hal ini menimbulkan
masalah karena banyak juga anak orang Islam yang bersekolah di sekolah
tersebut.
Masalah kerukunan umat beragama menjadi permasalahan serius
pada masa Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Masalah kerukunan umat
beragama mulai mengemuka sejak meletusnya pemberontakan G 30/S
PKI, terutama karena maraknya kristenisasi. Kegiatan misi Kristen di
Indonesia meningkat. Orang-orang komunis (eks-PKI) dan umat Islam
yang miskin adalah sasaran utama mereka. Pada tahun 1967, misi
tersebut mulai menunjukkan cara-cara yang sangat menyinggung
perasaan umat Islam, yaitu dengan mendirikan gereja dan sekolah kristen
di tengah masyarakat muslim. Keadaan tersebut menimbulkan suatu
peristiwa yang tidak diinginkan, di antaranya perusakan gereja di
Meulaboh Aceh (Juni 1967), perusakan gereja di Makassar (Oktober 1967),
dan perusakan sekolah Kristen di Palmerah Slipi, Jakarta.56

54

Adian Husaini. Gereja-Gereja Dibakar: Membedah Akar Konflik SARA di Indonesia.


(Jakarta: Dea Press, 2000). Hlm 154.
55

Ibid. Hlm 159

56

M. Natsir. Islam dan Kristen di Indonesia. (Jakarta: Media Dakwah, 1983). Hlm.
207.
20

Masalah kristenisasi dan kerukunan umat beragama ini memicu


Presiden Soeharto mengeluarkan seruannya agar untuk jangan sampai
mengganggu perasaan golongan lain, maka dalam penyiaran agama itu
harus kita usahakan agar jangan sampai ditujukan kepada orang yang
sudah beragama. Dalam seminar tanggal 28 Oktober tentang Peranan
Pemimpin-Pemimpin Agama dalam Pembangunan Nasional Menteri
Pertahanan/Panglima Angkatan Bersenjata RI, M. Panggabean juga
menyampaikan pidato yang menghimbau untuk ditingkatkannya
kerukunan hidup beragama dan toleransi yang tinggi antar pemeluk
agama, dengan memperhatikan faktor-faktor di bawah ini.
a. Jangan sampai orang berusaha supaya orang lain yang sudah
memeluk agama meninggalkan agamanya untuk memeluk
agama yang ia peluk, dengan penindasan atau daya tarik
ekonomi dan kebudayaan
b. Menjauhi polemik untuk lebih meningkatkan hubungan antara
kelompo-kelompok
c. Saling memahami kepercayaan satu sama lain57
Untuk mencegah perselisihan antar umat beragama dan
membendung maraknya kristenisasi, pihak Islam mengajukan suatu
modus vivendi, suatu rumusan piagam antar agama. M. Natsir telah
menawarkan tiga solusi yang kiranya dapat menjadi titik temu antara
umat Islam dan Kristen, yaitu sebagai berikut.58
1. Kristen tanpa mengurangi hak dakwah mereka untuk membawa
perkabaran Injil sampai ke ujung bumi, supaya menahan diri dari
maksud dan tujuannya dari program Kristenisasi itu;
2. Orang Islam pun harus menahan diri, jangan cepat-cepat melakukan
tindakan fisik. Tapi, ini hanya bisa apabila orang Kristen pun dapat
menahan diri;
3. Sementara itu, pihak pemerintah harus bertindak cepat apabila
pihak Kristen tidak mematuhi larangan-larangan pemerintah, agar
pada orang Islam tidak timbul perasaan tidak berdaya, seolah-olah
mereka tidak mendapat perlindungan hukum dan jaminan hukum
terhadap rongrongan pihak lain.
Akan tetapi, pihak Kristen dan Katolik menolaknya. Kemudian dari
Menteri Agama, Mukti Ali juga memberikan sebuah bentuk penyelesaian
terkait tata cara penyebaran agama. Pada tahun 1979, Menteri Agama
mengeluarkan surat keputusan Nomor 70 Tahun 1979 tentang Pedoman
Penyiaran Agama.59 Namun seiring berjalannya waktu, baik usulan dari M.
Natsir maupun keputusan Menteri Agama Mukti Ali, belum berjalan
57

Ibid. Hlm 252

58

Lebih lanjut, baca M. Natsir. Mencari Modus Vivendi Kerukunan Ummat


Beragama di Indonesia. Cetakan kedua. (Jakarta: Media Dakwah, 2007).
59

Menurut butir kedua isi surat keputusan tersebut, penyiaran agama tidak
dibenarkan untuk:ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah
memeluk sesuatu agama lain;

21

dengan efektif. Sampai saat ini, masih banyak kerusuhan yang disebabkan
praktik-praktik penyebaran agama, terutama kristenisasi. Maka, mau tak
mau yang terjadi saat ini adalah gejala free fight for all dan survival of the
fittest di bidang agama.60
Otak di Balik Pemerintahan Orde Baru
Musuh Orde Baru ada dua, yaitu ekstrim kiri (marxis) dan ekstrim
kanan (fundamentalis). Terhadap ekstrem kiri, yang dilakukan
pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya sekaligus pernyataan sebagai
organisasi terlarang. Sementara itu, terhadap golongan Islam,
tindakannya lebih banyak lagi, di antaranya penolakan rehabilitasi
Masyumi; dikeluarkannya peraturan Mendagri No 12/1969 dan PP No
6/1970 tentang monoloyalitas pegawai negeri; pemaksaan fusi parpol
dengan UU No 3/1973; terbitnya UU Perkawinan 1974 yang merupakan
deislamisasi kaidah-kaidah kemasyarakatan karena banyak bertentangan
dengan hukum-hukum perkawinan Islam; terbentuknya MUI sebagai
perwakilan tunggal umat Islam pada 1975 yang lebih sering merupakan
alat legitimasi pemerintah; serta disahkannya aliran kepercayaan dan
Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) melalui Tap MPR No
II/1978.
Otak dari berbagai kebijakan yang mendiskreditkan Islam pada
masa Orde Baru adalah Letnan Jenderal Ali Moertopo. 61 Pada tahun 1970,
Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dibajak oleh John Naro, yang
didalangi oleh Ali Moertopo. Selanjutnya, pada peristiwa 15 Januari
(Malari) 1974, Ali Moertopo menuduh dan memfitnah umat Islam. Eks PSI
dan eks Masyumi atau ekstrem kanan dituduh sebagai dalang peristiwa
tersebut. Pasca 1982, peran Ali Moertopo digantikan oleh Jenderal Benny
Moerdani. Pada tahun 1983-1985, Benny menggalakkan kebijakan bahwa
b. dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian,
makanan/minuman, obat-obatan dan lain agar supaya orang tertarik untuk
memeluk sesuatu agama;
c. dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku, dan
sebagainya di daerah-daerah/di rumah-rumah kediaman umat/orang yang
beragama lain;
d. dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang lain yang
telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.

60

M. Natsir. Islam dan Kristen di Indonesia. (Jakarta: Media Dakwah, 1983) Hlm
248.
61

Baca buku Strategi Politik Nasional Ali Moertopo (Jakarta: CSIS, 1974). Lihat juga dalam
Adian Husaini. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. (Jakarta:
Gema Insani Press, 2009) Hlm. 13.

22

semua ormas dan parpol harus berasaskan Pancasila. Peristiwa menarik


sesudahnya, yaitu kasus lembaran putih. Lembaran putih merupakan
surat protes yang dikeluarkan oleh Petisi 50 dan ditandatangani oleh
sejumlah tokoh Islam. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Benny Moerdani
untuk menangkap para penceramah yang dianggap garis keras seperti AM
Fatwa, Abdul Qadir Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono,
Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardie, dan lain-lain. Mereka
dicap sebagai ekstrem kanan.
Pilar sentral daripada pemerintahan rezim Soeharto adalah
kelompok militer, yang lebih akrab disebut ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia). Dalam rangka menyingkirkan umat Islam, ABRI
merumuskan beberapa strategi politik. Strategi ini dilakukan melalui
beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh institusinya maupun perwira
tinggi militer. Pertama, Desember 1966 kelompok militer menyatakan
akan mengambil tindakan tegas kepada siapa saja yang menyimpang dari
Pancasila dan UUD 1945. Kedua, menggunakan langkah-langkah koersif
dan kooptatif untuk mempengaruhi hasil pemilu tahun 1971, dimana ABRI
menjadi tulang punggung Golkar. Ketiga, melalui Mendagri mengeluarkan
peraturan menteri yang dimaksudka untuk memurnikan wakil-wakil Golkar
di badan-badan legislatif, pegawai negeri dilarang dan harus diganti jika
mereka bergabung ke dalam partai politik (PNI, NU, Parmusi, PSII, dll).
Keempat, restrukturisasi parpol melalui fusi partai politik. Kelima,
penerapan konsep massa mengambang, dimana aktivitas partai di tingkat
desa dan kecamatan hampir sepenuhnya dihapuskan. Keenam, dasar
ideologi pancasila. Ketujuh, pemberlakuan UU Keormasan pada tahun
1985 yang mewajibkan semua organisasi sosial keagamaan untuk
menggunakan asas tunggal Pancasila.62

Peranan Islam dalam Masa Transisi: Antara Orba ke Reformasi


Selama 32 tahun (1966-1998) berkuasa, Soeharto telah sukses
melakukan berbagai pencapaian dalam pembangunan di Indonesia,
khususnya pembangunan infrastruktur, pertanian, dan industri.
Bersamaan dengan itu, pembangunan sekolah-sekolah agama dan
perguruan tinggi Islam juga dilakukan. Meskipun, tidak dipungkiri banyak
kejahatan kemanusian dan KKN yang mewarnai perjalanan kekuasaannya.
Hingga pada bulan Agustus 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi,
yang sebelumnya juga telah menghantam Thailand dan sejumlah negara
62

Lebih jelas lagi mengenai hal ini dapat dilihat skripsi Edhy Hariyanto. Peran Politik
Militer (ABRI) Orde Baru terhadap Depolitisasi Politik Islam di Indonesia (Studi terhadap
Hegemoni Politik Militer Orde Baru terhadap Politik Islam tahun 1967-1990). (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2006). Hlm 117-118.

23

Asia lainnya. Meskipun mendapatkan bantuan dana dari IMF (International


Monetary Fund) pada bulan Oktober 1997 dan Januari 1998, nilai mata
uang Indonesia tergelincir dari rata-rata Rp 2400 per dolar US pada
pertengahan 1997 menjadi Rp 17.500 pada bulan Maret 2008.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang juga terkena
imbas krisis moneter, Indonesia termasuk yang terkena dampak paling
parah, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial.63
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun
1997 menjadi katalis bagi rakyat untuk mempertanyakan legitimasi Orde
Baru dan membayangkan masa depan negara tanpa Suharto. Krisis
ekonomi tersebut kemudian melahirkan krisis politik. Elit kekuasaan
memperlihatkan perpecahan internal yang parah. Para oposan yang
berserakan mulai bersatu dalam sebuah gerakan bersama, sementara
dukungan internasional, terutama yang berasal dari institusi-institusi
keuangan, lenyap. Semua itu dan faktor-faktor lainnya yang terjadi secara
simultan menciptakan tekanan yang besar sehingga akhirnya Soeharto
kehilangan dukungan. Akibatnya, dia tak punya pilihan lain selain
mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998. 64 Pengunduran diri
Soeharto ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan. Dari satu sisi,
pengunduran diri ini merupakan pelaksanaan ke luar dari keputusan yang
diambil dari dalam hatinya sendiri. Di sisi lain, juga karena perlawanan
luas dari rakyat Indonesia dan pengkhianatan yang dilakukan oleh rekanrekannya sendiri. Sebanyak 14 menteri menyatakan diri menolak
diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi.65
Tidak dipungkiri bahwa umat Islam memiliki peranan besar dalam
suksesi kekuasaan menuju masa Reformasi. 66 Pada masa ini, umat Islam
tengah berada pada posisi yang strategis dan kuat. Amien Rais, tokoh
Muhammadiyah yang juga seorang cendekiawan Islam, adalah lokomotif
bagi gerakan reformasi. Kekuatan reformasi juga tidak lepas dari
sumbangan peran para mahasiswa muslim di berbagai kampus.
Mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI, HMI, BEM KM, dan sejumlah
LDK ikut turun ke jalan menuntut reformasi dan turunnya Soeharto dari
jabatan kepresidenan. Pada waktu-waktu selanjutnya, peristiwa ini
menjadi momen yang sangat bersejarah dalam konstelasi pergerakan
mahasiswa muslim di Indonesia.

63

Colin Brown. A Short History Of Indonesia: The Unlikely Nation? (New South Wales:
Allen & Unwin, 2003). Hlm 226
64

Yudi Latif. 2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad Ke-20. Yayasan Abad Demokrasi: Jakarta. Hlm 657.
65

Pramono U. Tanthowi (2005), hlm 183

66

Eman Mulyatman. Islam di Era Reformasi: Mengantar Buih Jadi Gelombang


dalam Majalah Sabili Edisi No 9 Th X 2003, hlm 172-177
24

Akhirnya, sejak 21 Mei 1998, Habibie resmi mengambil alih


kepemimpinan Indonesia. Pemerintah reformasi yang baru saja dibentuk
ini langsung dituntut untuk melaksanakan sejumlah agenda. Berikut ini
merupakan sejumlah agenda keagamaan pemerintah reformasi, yaitu
1. Reposisi ulama
Selama pemerintahan Orba, ulama diposisikan sebagai fasilitator
penguasa untuk mengamankan kebijakan-kebijakannya. Pemerintah
reformasi dituntut untuk mengubah paradigma dalam memandang ulama
tersebut. Ulama harus diposisikan berada di atas penguasa (umaro).
Ulama tidak perlu sungkan mengeluarkan fatwa walaupun kurang
disenangi asal fatwa itu sesuai menurut ketentuan syariat.
2. Penentuan puasa,
3. Biaya haji, yang dinilai tidak sesuai dengan fasilitas yang
didapatkan,
4. UU Penyebaran Agama dan rumah ibadah, pemerintah diharapkan
lebih berani mengambil sikap untuk menetapkan UU tersebut. 67
Namun, berbeda dengan pendahulunya, kepemimpinan Habibie
dinilai sangat lemah karena sejumlah faktor. Selain karena legitimasi
kekuasaannya dipertanyakan oleh banyak orang dan munculnya persepsi
bahwa Habibie merupakan warisan dari Soeharto, Habibie juga dinilai
tidak memiliki basis massa yang kuat untuk membangun kekuasaannya.
Tokoh-tokoh Islam seperti Amien Rais, Nurcholis Madjid, Adnan Buyung,
dan Emil Salim, cenderung menempatkan Habibie sebagai pemerintahan
transisi yang bertugas menyiapkan pemilu selanjutnya. 68 Segera setelah
menggantikan Soeharto sebagai presiden, Habibie membuka keleluasaan
publik untuk membentuk partai politik.
Di era reformasi, hasil amandemen UUD 1945 memungkinkan partai
politik tumbuh berlipat ganda jumlahnya. Partai-partai yang berasas Islam
atau dipimpin oleh tokoh Islam, menurut Vincent Wangge SH dalam
Direktori Partai Politik Indonesia (1999), antara lain yaitu Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan
Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera,
Partai Amanat Nasional, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, Partai
Masyarakat Umat Muslimin Indonesia Baru-Partai Masyumi Baru (PMB),
Partai Ummat Islam (PUI)69
Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra, Partai
Masyumi Baru (PMB) pimpinan Ridwan Saidi, dan Partai Politik Islam
67

Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator
dan Keharusan Kembali kepada Syariah. (Jakarta: Usamah Press, 2001). Hlm. 69-74.
68

Pramono U. Thantowi, Hlm 188-189.

69

Lihat Ahmad Mansyur Suryanegara. 2012. Api Sejarah 2. (Bandung: Penerbit


Salamadani, 2012)

25

Indonesia Masyumi (PPIIM) pimpinan Abdullah Hehamahua merupakan


sejumlah partai yang berasal dari eks-Masyumi. 70 Kemunculan partaipartai muslim ini disinyalir oleh sejumlah pengamat sebagai awal
kebangkitan kaum santri di Indonesia. Dari 48 partai politik, 20 partai di
antaranya dapat dikategorikan sebagai partai Islam. Namun, meskipun
dari segi kuantitas cukup banyak, nyatanya partai-partai Islam tersebut
tidak mendapatkan kemenangan. Pemilu 1999 dimenangkan oleh PDIP,
dengan perolehan suara sebanyak 33,7 %. Sementara itu, partai-partai
Islam seperti PPP, PKB, PK, PNU, dan PAN cenderung mendapatkan suara
sedikit. PAN yang dipelopori oleh Amien Rais hanya meraih suara 7 %.
Berikut ini data perolehan suara pemilu 1999.71
Party Valid votes % Valid votes
%Electedparliamentary seats

PDI-P
Golkar
PPP
PKB
PAN
16 lainnya
Total

35.706.618
23.742.112
11.330.387
13.336.963
7.528.936 7.1
14.200.921
105.845.93

Parliamentary

33.7
22.4
10.7
12.6

seats

153
120
58
51
34

13.4
99.9

33.1
26.0
12.6
11.0
7.4

46
462

10.0
100.1

Hal itu menimbulkan pertanyaan, kenapa partai Islam kalah? Tidak


lain, karena mereka pecah. Oleh karena melihat hasil pemilu ini, beberapa
orang yang dimotori oleh Amien Rais mendirikan poros tengah untuk
menyatukan kekuatan umat Islam. Dari PDI-P, Megawati dicalonkan
sebagai presiden atas dukungan sejumlah partai, yaitu PDI-P, PKB, PBTI,
PDKB, PNI, dll. Sementara dari poros tengah, awalnya ada dua calon, yaitu
Gus Dur dan Yusril Ihza Mahendra. Akan tetapi, Yusril Ihza Mahendra
mengundurkan diri pada detik-detik akhir. Hal ini mengagetkan kubu
Megawati. Kekuatan umat Islam pun terpusat untuk mendukung Gus Dur,
di antaranya dari PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PKU, PSII, PNU. 72 Apalagi, pada
saat itu, sosok perempuan yang menjabat sebagai presiden belum bisa
diterima oleh sebagian besar kalangan umat Islam. Tahun 1999,
Abdurrahman Wahib atau Gus Dur resmi dilantik sebagai Presiden RI
ketiga. Ia merupakan presiden Indonesia pertama dan satu-satunya
hingga saat ini yang berasal dari kalangan santri.

Islam Pasca Reformasi: 1998-2012


Tidak terlihat memperoleh keunggulan politik sejak 1950-an, Islam
bergerak ke depan dalam politik Indonesia sejak 1990-an. Indonesia
70

Op Cit, Hlm 201.

71

M.C. Ricklefs. A History of Modern Indonesia since c. 1200. Third Edition.


(Hampshire:Palgrave, 2001). Page 418.
72

Pramono U. Tanthowi. Hlm 224.


26

sedang mengalami kebangkitan Islam sejak 1980-an. 73 Menurut Martin


van Bruinessen, pembangunan di Indonesia sejak jatuhnya Soeharto pada
tahun 1998 memberikan perubahan besar pada wajah Islam Indonesia.
Hal itu ditandai dengan munculnya keinginan untuk menegakkan hukum
syariah, semakin menguatnya kekuatan umat Islam dalam kancah politik,
serta munculnya berbagai gerakan yang semula di bawah tanah, seperti
PKS, HTI, Jamaah Tabligh dan Salafi.74 Seperti kotak pandora yang baru
saja dibuka, pada masa setelah Orde Baru berbagai kelompok seolah
berlomba untuk menunjukkan eksistensinya. Gerakan-gerakan yang
semula bergerak di bawah tanah mulai muncul ke permukaan.
Setelah runtuhnya Orde Baru hingga 2013, Indonesia telah
mengalami empat kali pergantian kepemimpinan dan lima kali pemilu.
Mulai dari B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri,
hingga terakhir dua periode di bawah Susilo Bambang Yudhoyono.
Keempat sosok tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda. Soekarno
ternyata lebih banyak berbicara dengan bahasa lugas, tanpa tedeng alingaling; Soeharto sangat high context, senyumnya multi-tafsir; Habibie kuat
dengan bahasa tubuh dan emosional; Gus Dur tidak punya pola, alias
suka-suka, tepi sering menggertak komunikan; Megawati easy going dan,
konon, tidak mau repot; sedang SBY sering membingungkan dan kurang
jelas.75 Majalah Suara Hidayatullah dalam sebuah artikel memberi judul
tentang pemerintahan SBY-JK dalam hubungannya dengan syariat Islam
sebagai politik angin bertiup. SBY tidak bersifat represif terhadap umat
Islam, tetapi juga membiarkan program-program sekularisasi terus
dijalankan.76
Awalnya, pada bagian ini penulis ingin membuat gambaran sikap
keempat presiden di atas terhadap Islam. Hal itu sangat menarik, sebab
keempat-keempatnya memiliki latar belakang dan kondisi kultural yang
berbeda-beda. Habibie dikenal sebagai intelektual muslim yang pernah
berkiprah di ICMI, Gus Dur merupakan seorang santri nyleneh, anak kyai
yang hidup di suasana kultur religius, Megawati bisa dibilang lahir dari
keluarga nasionalis sekular, sementara SBY memulai karirnya dari
kalangan militer dan tidak memiliki latar belakang kedekatan dengan
73

Adam Schwarz. A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. (United


States of America: Westview Press, 2000). Hlm 327.
74

Martin van Bruinessen (ed.). Contemporary Developments in Indonesia Islam


Explaining the Conservative Turn. (Singapura: Institute of Southeast Asian
Studies, 2013), hlm 1
75

Ada satu buku yang membahas pola komunikasi keenam presiden Indonesia.
Baca Tjipta Lesmana. 2008. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para
Penguasa. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
76

Pemerintahan SBY-JK dan Syariat Islam: Politik Angin Bertiup dalam Majalah
Suara Hidayatullah Edisi Khusus Milad 2008.
27

kelompok agama. Akan tetapi, karena keterbatasan literatur, hal itu tidak
dapat dilakukan.
Pemerintahan Gus Dur banyak menuai kritik dan protes dari
masyarakat. Serangan terhadap Gus Dur sebagian besar diarahkan pada
kelemahan fisiknya, banyak pernyataan Gus Dur yang emosional dan
dianggap melanggar konstitusi. Sikap Gus Dur kadang-kadang nyleneh
dan menyakiti sejumlah pihak. Perkataannya yang menyinggung sejumlah
pihak, seperti Apa bedanya DPR dengan taman kanak-kanak? dalam
Sidang Paripurna DPR, telah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ia
juga dinilai lamban dalam menyelesaikan kasus Aceh dan menganggap
sepele masalah Maluku. Gus Dur semakin menyakiti hati umat Islam
ketika ia mengemukakan rencana membuka hubungan dagang dengan
Israel.77
Gus Dur dinilai gagal mentransformasikan kepemimpinan
patrimonial
seperti
kepemimpinan
dalam
pesantren,
menjadi
kepemimpinan modern dalam skala yang lebih luas. Dengan tindakantindakan yang diambilnya, secara tidak sadar Gus Dur sebenarnya sedang
menggerogoti kekuasaannya sendiri.78 Di sisi lain, ia dipuji-puji oleh Barat
sebagai sosok Islam moderat, non fundamentalis, tidak radikal dan tidak
ekstrim. Ia juga sempat dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel
Perdamaian tahun 2000. Koran International Herald Tribune (IHT), 21
Oktober 1999 menyebut Gus Dur sebagai pemimpin muslim yang toleran
dan inklusif serta seorang pejuang HAM.79
Memasuki tahun 2001, dukungan terhadap Gus Dur semakin
melemah. Sebagian kalangan di DPR/MPR meminta diadakannya Sidang
Istimewa MPR. Hal ini semakin beralasan ketika 23 Juli 2001, Gus Dur
mengeluarkan dekrit yang berisi pembekuan DPR/MPR dan Partai Golkar,
serta mempercepat pemilu. MA mengeluarkan fatwa bahwa dekrit
tersebut melanggar hukum. Akhirnya, SI MPR dilaksanakan pada tanggal
21-26 Juli 2001. Hasilnya, dekrit presiden tanggal 23 Juli 2001 dinyatakan
tidak sah dan bertentangan hukum, MPR memberhentikan Gus Dur,
menetapkan Megawati sebagai Presdiden RI serta mengangkat Hamzah
Haz sebagai Wakil Presiden.
Namun, di samping menguatnya kekuatan Islam di parlemen, ada
sejumlah isu krusial yang terjadi selama masa pasca reformasi, yaitu
1. Islam Liberal

77

Pramono U. Tanthowi. Kebangkitan Politik Kaum Santri. (Jakarta: PSAP, 2005),


hlm 239-241.
78

Ibid. Hlm 247.

79

Adian Husaini. 2002. Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra. Gema
Insani Press: Jakarta. Hlm 15.

28

Di Indonesia, kelompok Islam liberal dimotori oleh JIL (Jaringan Islam


Liberal). Mereka ibarat musuh dalam selimut, karena menggerogoti akidah
umat Islam dari dalam. Program yang mereka gulirkan adalah seputar isuisu liberalisme, sekularisme, pluralisme, feminisme, demokrasi, dan HAM.
Tokoh-tokohnya adalah Nurcholis Madjid, Ulil Abshar Abdalla, Luthfie
Assyaukanie, Djohan Effendi, Musdah Mulia, serta banyak tokoh-tokoh lain
yang bernaung di bawah JIL. Ide-ide mereka telah masuk ke ranah
akademis, termasuk yang paling parah justru di universitas-universitas
islam negeri (UIN). Penyebaran gagasannya juga berlangsung kuat karena
didukung dana internasional melalui LSM-LSM seperti Asia Foundation dan
Ford Foundation.
Jika ditelusuri sejarahnya, benih-benih liberalisasi Islam sudah ditanamkan
sejak zaman penjajahan Belanda. Tetapi, secara sistematis, proyek ini dimulai pada
awal tahun 1970-an oleh Nurcholish Madjid dalam makalahnya yang berjudul
Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.80 Gagasan
utama dari liberalisme adalah progresivitas. Liberalisasi Islam di Indonesia
dilakukan melalui liberalisasi bidang aqidah (pluralisme agama),
liberalisasi bidang syariah (perubahan metodologi ijtihad), dan liberalisasi
konsep wahyu dengan ide dekonstruksi terhadap Al Quran. Pada tahun
2005, MUI mengeluarkan fatwa haram bagi sekularisme, liberalisme, dan
pluralisme.
2. Terorisme
Isu lain yang menyita perhatian umat Islam adalah banyaknya kasus
terorisme di Indonesia, yang mengatasnamakan Islam sebagai landasan
untuk berjihad. Padahal, Islam sendiri tidak pernah mengajarkan untuk
berlaku kekerasan apalagi terorisme. Terorisme mulai mencuat sejak
peristiwa 11 September 2001, ketika gedung WTC dan Pentagon dibom
oleh sekelompok orang yang konon berasal dari jaringan Al Qaeda, Osama
bin Laden. Sejak itu, barat seolah memberikan ultimatum kepada seluruh
dunia untuk berperang melawan terorisme. Di Indonesia, serangkaian
peristiwa pemboman yang terjadi, di antaranya Peristiwa Bom Bali I & II,
bom Hotel J.W Marriot, pemboman di gereja-gereja pada malam Natal
tahun 2000, dan sejumlah peristiwa lainnya. Sayangnya, isu terorisme ini
disikapi secara berlebihan dan kadangkala tidak tepat oleh pemerintah.
3. Masalah Perda Syariah
Pasca reformasi, masalah syariat islam mencuat di sejumlah daerah.
Pada bulan Juni 2001, disahkan UU Nanggroe Aceh Darussalam oleh DPR
RI, sebagai buah perjuangan rakyat Aceh. UU tersebut memberikan
kekuatan hukum bagi masyarakat Aceh untuk menjalankan syariat Islam
secara kaffah di wilayah Aceh. Penerapan syariat Islam ini didukung oleh
80

Makalah Tantangan Pemikiran Kontemporer: Liberalisasi Islam di Indonesia


oleh Dr. Adian Husaini, hlm 1. Pembahasan mengenai Islam Liberal telah sangat
banyak dilakukan, dalam berbagai buku, makalah, dan artikel. Lihat tulisantulisan Adian Husaini, Hamid Fahmy Zarkasyi, Adnin Armas, Nirwan Syafrin,
Syamuddin Arif, Akmal Sjafril, dll.
29

sejumlah peluang, di antaranya peluang politik (UU tentang otonomi


daerah tahun 1999), peluang birokrasi yang ditandai oleh banyaknya
tokoh islam yang menjadi elit birokrasi, dan meningkatnya kesadaran
masyarakat Islam akan syariat.81 Namun, pada saat yang sama
tantangannya adalah (1) budaya barat yang sudah merasuk ke dalam
pikiran sebagian umat Islam, (2) kalangan sekuler yang tidak
menghendaki penerapan syariah di Indonesia, dan (3) publik opini yang
terbentuk melalui media massa tidak memihak pada penerapan syariah. 82
4. Kerukunan Umat Beragama
Dalam sejarah Indonesia, permasalahan kerukunan umat beragama
mulai muncul dan meningkat pasca peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Pada
waktu itu, praktik kristenisasi yang dilakukan oleh oknum gereja kepada
umat Islam sangat marak sampai pada tahun 1967. Hal ini menimbulkan
ketersinggungan yang berkepanjangan bagi umat Islam. Puncaknya, pada
Juni 1967 terjadi peristiwa perusakan gereja di Meulaboh, Aceh.
Selanjutnya, Oktober 1967, terjadi perusakan sekolah Kristen di kawasan
Slipi, Jakarta Barat. Pada masa Orde Baru (1967-1998), permasalahan
kerukunan antarumat beragama sangat mempengaruhi kestabilan
pemerintahan Soeharto. Berbagai usaha telah dilakukan oleh tokoh-tokoh
agama dan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, namun belum
ditemukan solusi yang relevan.
Pasca reformasi, masalah kerukunan antarumat beragama di
Indonesia tak kunjung selesai, bahkan bisa dibilang semakin parah. Hal ini
bisa dilihat dari banyaknya aksi kekerasan antarumat beragama terutama
umat Islam-Kristen. Di samping itu, masalah kerukunan intra umat
beragama juga makin mengemuka akibat maraknya aliran sesat.
Pengeboman gereja pada malam Natal tahun 2000, penyerangan
terhadap jamaah Ahmadiyah di Jawa Barat, kasus Syiah di Sampang
Madura, dan sejumlah kasus lainnya menjadi catatan tersendiri dalam
masalah kerukunan umat beragama. Ada berbagai faktor yang mendasari
terjadinya kekerasan umat beragama. Peristiwa-peristiwa semacam ini
kemudian mendorong pemerintah untuk menciptakan komunitaskomunitas kerukunan umat beragama dan dialog antar agama. Namun,
sayangnya, gagasan ini kemudian seringkali ditunggangi oleh Islam
Liberal untuk menyebarkan ide pluralisme. Padahal, menciptakan
kerukunan umat beragama tidak serta merta berarti dilakukan dengan
menerima kebenaran semua agama.
5. Perkembangan Aliran Sesat
Aliran sesat tampak makin marak perkembangannya pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001). Mulai dari ruwatan
81

Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim
Diktator dan Keharusan Kembali kepada Syariah. (Jakarta: Usamah Press, 2001)
Hlm. 146-150.
82

Ibid. Hlm 151.


30

kemusyrikan hingga JIL muncul secara resmi. 83 Banyak paham-paham


keagamaan yang muncul dengan membawa simbol Islam. Tak sedikit
umat Islam yang mengalami kebingungan, apakah ajaran ini benar atau
bertentangan dengan ajaran Islam. Berikut ini merupakan beberapa aliran
sesat yang berkembang di Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru.
a. Syiah
Permasalahan seputar Syiah baru-baru ini mencuat di Indonesia
sejak kasus Sampang Madura tahun 2011. Pergerakannya tidak mudah
dideteksi karena adanya takiyah dari para pengikutnya. Tokoh Syiah di
Indonesia adalah Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir, dan lain-lain. Terdapat
banyak media massa, penerbit, dan yayasan yang dikuasai oleh Syiah,
termasuk Mizan, Yayasan Muthahari, Rausyan Fikr, dan sebagainya. Syiah
sendiri berkembang luas di Iran, Suriah, dan sekitarnya.
Berdasarkan fatwa MUI pada bulan Maret 1984, MUI Pusat
merekomendasikan bahwa Syiah merupakan salah satu faham yang
terdapat perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni yang dianut
oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan pokok itu mencakup masalah
hadis, imam, ijma, rukun iman dan khulafaurrasyidin. Karena perbedaan
pokok tersebut, MUI memberikan himbauan agar umat Islam Indonesia
mewaspadai ajaran Syiah. Terakhir, pada 21 Januari 2012 dengan surat
keputusan No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012, MUI Jawa Timur memberikan
fatwa sesat pada Syiah dan hal ini berlaku umum.
b. Ahmadiyah
Aliran yang lahir pada tahun 1900 ini pada awalnya adalah rekayasa
kolonial Inggris yang menjajah India. Tokoh utamanya adalah Mirza
Ghulam Ahmad (1839-1908) yang diyakini sebagai nabi. Di Indonesia,
Ahmadiyah masuk pada tahun 1925. Aliran ini sudah dilarang MUI sejak
tahun 1980 dan dinyatakan sebagai ajaran sesat. Namun, kelompok
Ahmadiyah masih terus menunjukkan aktivitasnya di sejumlah daerah
sehingga memicu reaksi dari masyarakat. Kini, Ahmadiyah memiliki
sekitar 200 cabang, terutama di Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Barat,
Palembang, Bengkulu, Bali, NTB, dan lain-lain.
c. Bahai
Aliran Bahaiyah merupakan sebuah aliran yang menyempal dari
ajaran Syiah Itsna Asyriyah. 84 Kelompok ini muncul pada tahun 1844
didalangi oleh kolonial Rusia, Yahudi dan Inggris dengan tujuan merusak
akidah umat islam. Pengikutnya sebagian besar ada di Iran, kemudian
sebagian kecil di Iraq, Suriah, Libanon, dan Palestina. Pendiri gerakan ini
83

Track record pemerintahan Gus Dur yang buruk ini kemudian diindikasi
menjadi salah satu sebab kekalahan perpolitikan umat Islam saat ini. Gus Dur
yang notabene adalah seorang kyai dan didukung oleh mayoritas umat Islam
lewat Poros Tengah ternyata tidak dapat memenuhi harapan rakyat. Baca tulisan
Kamarudin. Siklus Kekalahan Partai Islam dalam Majalah Sabili No. 9 Th X 2003
hlm 88.
31

adalah Mirza Ali Muhammad Reza al-Syirazi (1819-1849). Setelah


meninggal, ia digantikan oleh Mirza Husein Ali yang digelari al-Baha. Dari
sinilah ajarannya disebut Bahaiyah, dengan kitabnya yang terkenal AlAqdas.
Ajaran pokoknya adalah bahwa Mirza Ali adalah Al-Bab yang
menciptakan segala sesuatu dan dengan ucapannya terjadi segala
sesuatu di alam ini. Dua murid utamanya, yaitu Shubhi Azal dan
Bahaullah, diusir dari Iran karena dianggap telah melanggar mahzab
Syiah. Di Indonesia, paham ini mengklaim punya pengikut di daerah
Tasikmalaya dan menuntut agar pemerintah memberi mereka hak untuk
tumbuh dan dalam KTP anggotanya diizinkan mengisi kolom agama
dengan Bahai.
d. Salamullah
Lia Aminuddin mengklaim dirinya mendapatkan wahyu dari Jibril
melalui mimpi. Puteranya adalah Al Masih yang ditunggu-tunggu
kedatangannya. Ajaran Lia Aminuddin atau Lia Eden ini telah dinyatakan
sesat oleh MUI pada 22 Desember 1997.
e. Meditasi ala Anand Krishna
Ajaran Krishna bertumpu pada tiga pokok, yaitu Tuhan adalah Aku,
Aku adalah Tuhan; Reinkarnasi; dan Semua agama adalah sama. Dua
ajaran pertama merupakan paham yang dianut sekelompok sufi yang
sesat pada abad-abad yang silam. Jadi, bila diperhatikan aliran-aliran
sesat ini mempunyai titik temu yang perlu dicermati, yaitu bersumber dari
paham mistisisme-sufi, serta ada upaya ke arah menyatukan semua
agama dalam paham baru. Kedua unsur ini tak lepas dari pengaruh
Yahudi, yang berupaya kuat menggabungkan semua agama menjadi satu
payung.85
Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, ada pula Komunitas
Penimbrung Quran Sunnah, NII KW IX, LDII, Inkar Sunnah, Isa Bugis,
Lembaga Kerasulan, dan lain sebagainya. 86 Aliran-aliran sesat ini
merupakan tantangan internal bagi umat Islam.

Penutup
84

Akmal Sjafril. 2012. Buya Hamka: Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme.
Indie Publishing: Depok. Hlm 244-245.
85

Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim
Diktator dan Keharusan Kembali kepada Syariah. (Jakarta: Usamah Press, 2001).
Hlm 189-193.
86

Hartono Ahmad Jaiz. Membedah Anatomi Aliran Sesat dalam Majalah Sabili
No. 9 Th X 2003, Hlm 114-151.
32

Sejarah adalah ilmu tentang masa lalu yang tak pernah usang,
karena ia memperbaharui dirinya dengan penemuan data baru dan cara
melihat suatu peristiwa dari sudut pandang yang baru. 87 Pada awal masa
Orde Baru, umat Islam berada dalam posisi termarginalkan. Banyak
kebijakan-kebijakan Orde Baru yang tidak mengakomodasi kepentingan
umat Islam. Penyebabnya, tidak lain karena golongan inner circle yang
dekat dengan Soeharto adalah golongan Cina-Katolik. Akhirnya, banyak
gerakan umat Islam pada zaman Orde Baru yang berjalan secara diamdiam, meskipun di sisi lain, kondisi tersebut menyebabkan militansi dan
kreatifitas dakwah umat Islam. Kebijakan rezim Orde Baru adalah
kebijakan satu wajah, yang memenggal hak-hak bersuara golongan yang
berseberangan dengan pemerintah. Pada saat yang sama, catatan
mengenai pelanggaran hak-hak sipil, korupsi, dan nepotisme bertaburan.
Namun, tidak bisa diabaikan pula bahwa jika dilihat dari segi
pembangunan ekonomi dan infrastruktur, pemerintahan Soeharto
mencatatkan sejumlah prestasi.
Pada akhir dekade pemerintahan hingga kejatuhan Orde Baru,
pengaruh Islam mulai menguat. Kebijakan-kebijakan yang pro Islam
banyak dihasilkan pada masa tersebut. Kedekatan Soeharto dengan Islam
makin terasa ia menunaikan ibadah haji tahun 1991, yang secara
otomatis kemudian mengubah namanya menjadi Haji Muhammad
Soeharto. Kemudian, pada tahun 1998, umat Islam yang membuka pintu
gerbang reformasi bangsa Indonesia. Secara politik, kekuatan umat Islam
makin diperhitungkan. Kondisi umat Islam dalam sejumlah aspek jauh
lebih baik dibandingkan pada masa Orde Baru. Meskipun pada saat yang
sama, tantangan baik dari dalam maupun dari luar umat Islam juga
bermunculan. Penyebaran paham-paham yang merusak akidah umat
seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, serta berkembangnya aliran
sesat merupakan ekses dari keterbukaan yang dimunculkan pada masa
reformasi. Umat Islam masih perlu melanjutkan perjuangan dan
mengatasi tantangan-tantangan tersebut.
Sejarah adalah perlu, sepanjang manusia hidup di dunia. Dengan
membaca peristiwa-peristiwa sejarah umat Islam pada masa lalu, umat
Islam saat ini bisa belajar dan merumuskan strategi yang tepat bagi
kejayaan Islam di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Buku
87

Asvi Warman Adam. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan


Peristiwa. (Jakarta: Kompas, 2009. Hlm 197
33

Abdullah, Taufik (ed.). 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta:


Majelis Ulama Indonesia.
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi
Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Kompas.
Alatas, Alwi. 2001. Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri
Se-Jabotabek, 1982-1991. Jakarta: Al-Itisham Cahaya Ummat.
Alatas, Alwi. Tanpa tahun. Laporan Hasil Penelitian Kasus Jilbab di
Sekolah-Sekolah Negeri di Indonesia tahun 1982-1991. Edisi yang
tidak diterbitkan.
Aritonang, Jan S. 2005. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Brown, Colin. 2003. A Short History Of Indonesia: The Unlikely Nation?
New South Wales: Allen & Unwin.
Daud Rasyid. 2001. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan
Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali kepada Syariah.
Jakarta: Usamah Press.
Daniel Dhakidae. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde
Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hariyanto, Edhy. 2006. Peran Politik Militer (ABRI) Orde Baru terhadap
Depolitisasi Politik Islam di Indonesia (Studi terhadap Hegemoni
Politik Militer Orde Baru terhadap Politik Islam tahun 1967-1990).
Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Husaini, Adian. 2000. Gereja-Gereja Dibakar: Membedah Akar Konflik
SARA di Indonesia. Jakarta: Dea Press.
Husaini, Adian. 2002. Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah
Citra. Jakarta: Gema Insani Press.
Husaini, Adian. 2009. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional
Umat Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Ichwan, Moch Nur. 2013. Towards a Puritanical Moderate Islam: The
Majelis Ulama Indonesia and the Politics of Religious Orthodoxy
dalam Martin van Bruinessen (ed.). 2013. Contemporary
Developments in Indonesia Islam Explaining the Conservative Turn.
Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
Kuntowijoyo. 1993. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung:
Mizan.
Latif, Yudi. 2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia
Muslim Indonesia Abad Ke-20. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi.
Mujiburrahman. 2006. Feeling Threatened Muslim-Christian Relations in
Indonesias New Order. Leiden: Amsterdam University Press.
Natsir, M. 1983. Islam dan Kristen di Indonesia. Jakarta: Media Dakwah.
Natsir, M. 2007. Mencari Modus Vivendi Kerukunan Ummat Beragama di
Indonesia. Cetakan kedua. Jakarta: Media Dakwah.
Noer, Deliar. 1983. Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal Agama. Jakarta:
Yayasan Perkhidmatan.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:
Serambi.
Sjafril, Akmal. 2012. Buya Hamka: Antara Kelurusan Aqidah dan
Pluralisme. Depok: Indie Publishing.
34

Suryanegara, Ahmad Mansyur. 2012. Api Sejarah 2. Jakarta: Salamadani.


Tanthowi, Pramono U. 2005. Kebangkitan Politik Kaum Santri: Islam dan
Demokratisasi di Indonesia, 1990-2000. Jakarta: Pusat Studi Agama
dan Peradaban (PSAP).
Thaba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru.
Jakarta: Gema Insani Press.
Majalah
Majalah Sabili No. 9 Th X 2003
Majalah Suara Hidayatullah Edisi Khusus Milad 2003
Makalah
Makalah Dr. Adian Husaini berjudul Tantangan Pemikiran Kontemporer:
Liberalisasi Islam di Indonesia

35

You might also like