Professional Documents
Culture Documents
Penulis adalah Santri Pesma Lir Ilir. Makalah ini ditulis sebagai tugas mata
kuliah Sejarah Islam di Indonesia, Juli 2013.
2
M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 588.
Lima versi tentang dalang G 30 S/PKI. Pertama, PKI. Versi ini terdapat dalam buku putih
yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI maupun dalam buku-buku sejarah di
sekolah-sekolah. Kedua, kudeta internal angkatan darat, versi Ben Anderson dan Ruth Mc
oleh Orde Baru secara tidak langsung telah menutup semua tafsir historis
mengenai pelaku kudeta. Pasca terjadinya pembantaian para jenderal
Angkatan Darat yang konon- dilakukan oleh PKI ini, Presiden Soekarno
mengeluarkan Surat Perintah tertanggal 11 Maret 1966 kepada Jenderal
Soeharto. Melalui surat perintah ini, Soekarno meminta Soeharto untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjaga stabilitas dan
keamanan negara. Langkah pertama yang diambil oleh Soeharto adalah
dengan mengumumkan pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 dan
menyatakannya sebagai organisasi terlarang.6
Pada Sidang Umum VI MPRS tahun 1966, Supersemar disahkan oleh
MPRS menjadi Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Akibatnya, Soekarno
tidak mungkin lagi mencabut surat perintah tersebut. Secara tidak
langsung, kekuasaan Soekarno telah terlucuti dan diserahkan kepada
Soeharto. Terlebih lagi, pidato pertanggungjawabannya yang berjudul
Nawaksara ditolak oleh MPRS karena dianggap tidak lengkap dan sama
sekali tidak menyebut peristiwa G 30 S/PKI. Pada bulan Sidang Istimewa
MPRS Maret 1967, ditetapkan pencabutan kekuasaan pemerintahan dari
Soekarno dan pengangkatan Soeharto sebagai pejabat presiden. Setahun
kemudian, pada Sidang Umum MPRS Maret 1967, Soeharto resmi
ditetapkan sebagai Presiden RI.7 Sejak itulah, Indonesia secara resmi
memasuki sebuah era kepemimpinan baru yang lazim disebut Orde Baru.
Jan S. Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia: 2005), hlm 365.
7
Lih. disertasi Abdul Aziz Thaba yang telah dibukukan dan diterbitkan oleh
Penerbit GIP, dalam Abdul Aziz Thaba. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
9
11
Selain Abdul Aziz Thaba, ada pula pandangan dari para peneliti lain.
Rusli Karim membagi pola hubungan Islam dan negara menjadi empat
periode. Yaitu tahun 1966-1972 sebagai fase mencari bentuk, tahun 19731985 sebagai era partai tunggal (PPP), tahun 1986-1990 sebagai era
mengambang atau transisi-rekonsiliasi, dan terakhir tahun 1990 hingga
kejatuhan Orba sebagai fase akomodatif. Sementara itu, Din Syamsuddin
melihat bahwa hubungan antara Islam dan negara dibagi menjadi dua
periode. Pertama, berupa kompetisi walaupun kurang bersifat ideologis,
yang dapat dilihat melalui agenda depolitisasi Islam. Kedua, terjadi
kooptasi penguasa terhadap kekuatan politik Islam, yang ditandai dengan
sistem satu partai Islam, yaitu PPP. 12 Namun, pandangan-pandangan
tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda.
Sementara itu, dilihat dalam konteks hubungannya dengan Kristen,
perjumpaan antara Islam dan Kristen pada masa Orde Baru dapat dibagi
menjadi tiga masa. Pertama, kurun waktu 1966-1973, kedua pihak saling
berlomba untuk mendapatkan tempat pada pemerintahan yang baru ini.
Namun, pada masa ini, Kristen berada di atas Islam. Kedua, kurun waktu
1974-1989, pada masa pengaruh Islam mulai menguat, sementara
dominasi Kristen semakin menurun. Namun, posisi Islam belum dominan.
Terakhir, pada masa 1990-1998, pada masa-masa akhir Orde Baru,
golongan
Kristen
semakin
tidak
mendapatkan
tempat
dalam
pemerintahan. Sebaliknya, peranan golongan Islam semakin meningkat.13
13
PDI dan PPP.14 Kebijakan pemerintah ini dirasakan oleh para ulama sebagai
kebijakan deparpolisasi ulama. Para ulama yang tidak terpilih dalam
kepemimpinan Golkar, PDI, atau PPP dibenarkan bila bersedia aktif di luar
jalur parpol, misalnya dalam MUI, DDII, DKM (Dewan Keluarga Masjid), DMI
(Dewan Masjid Indonesia), Rumah Zakat, dan lain-lainnya.15
Untuk melaksanakan deparpolisasi ulama tersebut, kebijakan
pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto melancarkan fabian
strategy, blitzkrieg strategy, dan violence strategy. Fabian strategy
merupakan strategi yang dilaksanakan dengan perlahan dalam
menciptakan perubahan, namun pasti (alon-alon asal kelakon). Blitzkrieg
strategy siap menindak secara militer dan cepat tepat, terhadap gerakan
lawan yang muncul di permukaan secara fisik militer. Selanjutnya,
violence strategy adalah strategi kekerasan yang diarahkan untuk
menumpas bromocorah atau preman, salah satunya dengan strategi
penembak misterius.16 Siapapun yang tidak bersesuaian dengan kehendak
pemerintah dipaksa untuk bungkam. Rezim ini lebih tepat disebut sebagai
rezim satu wajah.
Fabian strategy antara lain dilakukan dengan cara mengizinkan
untuk sementara waktu, didirikannya Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi/PMI) pada 20 Februari 1968. Parmusi pada awalnya diizinkan
berdiri dengan syarat ketua dan pengurusnya bukan dari mantan
pimpinan Partai Islam Indonesia Masjumi. Pemerintah militer Orde Baru
tidak dapat bekerjasama lagi dengan mantan pimpinan Partai Islam
Indonesia Masjumi. Brigdjen Ali Moertopo menilai mereka sebagai
kelompok fundamentalis. Hal ini disebabkan Masjumi diduga pernah ikut
terlibat pemberontakan PRRI-Permesta. Dipraktikkannya fabian strategy
ini terlihat pada saat Parmusi mengadakan Muktamar November 1968 di
Malang. Dalam muktamar tersebut, peserta secara aklamasi mengangkat
Mr. Mohamad Roem sebagai Ketua Umum. Dampaknya, keputusan
Muktamar Parmusi yang menetapkan Mohamad Roem, mantan pimpinan
Partai Masjumi, sebagai Ketua Umum ditolak oleh pemerintah. Soeharto
menegaskan bahwa tokoh-tokoh Masjumi djangan sampai duduk dalam
pimpinan PMI. Selagi saja berkuasa, saja tidak segan-segan membekukan
PMI.17
Hal yang sama juga terjadi dengan Partai Demokrasi Islam Indonesia
yang digawangi oleh Moh. Hatta. Partai ini juga ditolak oleh Soeharto pada
14
17
Brown, Colin. A Short History Of Indonesia: The Unlikely Nation? (New South Wales:
Allen & Unwin, 2003). Hlm 206.
20
Lih. Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1991). Hlm 452.
22
Husaini, Adian. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam.
(Jakarta: Gema Insani Press, 2009). Hlm 104
c. Kasus Jilbabisasi24
Kasus pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri pertama kali terjadi
pada tahun 1979. Pada tahun tersebut, terjadi sedikit ketegangan di
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung karena ada beberapa
siswi yang mengenakan kerudung. Pihak sekolah bermaksud untuk
memisahkan siswi-siswi ini dalam satu kelas tersendiri. Namun, siswi-siswi
tersebut menolak dipisahkan dari kawan-kawannya yang tidak
mengenakan jilbab. Setelah ada campur tangan dari Ketua Majelis Ulama
Jawa Barat, EZ Muttaqien, pemisahan ini akhirnya tidak jadi dilakukan.
Setahun setelah itu, tahun 1980, terjadi kasus yang sama di SMAN 3 dan
SMAN 4 Bandung.
Berkembangnya semangat berjilbab di kalangan pelajar sekolah
menengah negeri Bandung kemungkinan besar berasal dari pelatihanpelatihan yang diadakan Masjid Salman ITB yang pada masa itu aktif
menyelenggarakan program Latihan Mujahid Dakwah (LMD) serta Studi
Islam Intensif (SII). Pengaruh aktivitas Masjid Salman ITB tidak hanya
terbatas pada kalangan mahasiswa Bandung saja, melainkan juga
kalangan pelajar sekolah menengah dan kota-kota selain Bandung. Di
Jakarta, kasus pelarangan jilbab juga mulai bermunculan. Munculnya
semangat berjilbab di lingkungan sekolah menengah negeri di Jakarta
banyak dipengaruhi oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta.
Pada tanggal 17 Maret 1982, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Departemen P dan K) Republik Indonesia mengeluarkan
23
24
Untuk memahami kasus pelarangan jilbab lebih jelas lagi, baca buku Alwi
Alatas. Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek,
1982-1991, (Jakarta: Al-Itisham Cahaya Ummat, 2001)
8
25
Pada SK yang baru ini, keinginan para siswi berjilbab sudah diakomodir,
lengkap dengan contoh gambar pakaiannya. Namun, istilah yang digunakan
pada SK tersebut tetap seragam khas, bukan jilbab.
26
d. Pembentukan MUI
Strategi depolitisasi ulama menyebabkan sejumlah ulama terjegal
masuk ke ranah politik pemerintahan. Akhirnya, karena kebutuhan
dakwah, pada tanggal 9 Mei 1967 Mohammad Natsir bersama dengan
bekas pemimpin Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII). Tujuannya untuk mendorong dan meningkatkan dakwah
Islam di kalangan muslimin Indonesia.27 Selanjutnya, pada tahun 1969,
pemerintah memprakarsai berdirinya Pusat Dakwah Islam Indonesia
(PDII), dengan ketuanya KH. Moh Ilyas. Pemerintah menolak bahwa PDII
dibentuk sebagai tandingan dari DDII. Organisasi ini merupakan organisasi
semi resmi, yang dikelola oleh sejumlah ulama dan cendekiawan yang
dekat dengan pemerintah. Salah satu pencapaian PDII adalah
keberhasilannya menyelenggarakan Musyawarah Alim Ulama Seluruh
Indonesia di Jakarta pada 30 September-4 Oktober 1970. Para peserta
mengajukan usul untuk mendirikan lembaga fatwa. Masalah lembaga
fatwa ini kemudian menjadi isu sentral yang belum menemui titik sepakat
hingga akhir musyawarah28.
Empat tahun kemudian, tanggal 26-29 November 1974, PDII
memprakarsai lokakarya mubaligh seluruh Indonesia. Dalam lokarya ini
disepakati perlunya Majelis Ulama atau lembaga semacamnya. Untuk
melakukan konsensus tersebut, Mendagri mengintruksikan agar daerahdaerah membentuk Majelis Ulama tingkat daerah. Kemudian, pada
tanggal 21-27 Juli 1975 di Jakarta, diadakan Musyawarah Nasional Majelis
Ulama Indonesia yang diikuti oleh utusan-utusan dari Majelis Ulama
daerah se-Indonesia. Presiden Soeharto dalam pidato pembukaannya
memberikan sepuluh garis-garis pedoman bagi bentuk dan fungsi MUI. 29
Musyawarah Majelis Ulama Indonesia I pada akhirnya melahirkan
deklarasi mengenai berdirinya Majelis Ulama Indonesia, yang
ditandatangani oleh 53 peserta musyawarah pada tanggal 26 Juli 1975.
MUI pertama kali diketuai oleh Prof. Dr. HAMKA. MUI yang baru saja
dibentuk ini memiliki empat fungsi, yaitu
1. Memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat islam umumnya
sebagai amar maruf nahi munkar, dalam usaha meningkatkan
ketahanan nasional.
27
Lihat Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1991). Hlm 439
28
29
Ibid. Lebih lanjut mengenai sepuluh instruksi presiden Soeharto tersebut, baca
hlm 443. Di antaranya bahwa tugas ulama adalah amar maruf nahi munkar,
menjadi penghubung antara pemerintah dengan ulama, menjadi penerjemah
yang menyampaikan pikiran-pikiran dan kegiatan pembangunan kepada
masyarakat, serta memberikan bahan pertimbangan mengenai kehidupan
beragama kepada pemerintah.
12
2. Memperkuat
ukhuwah
Islamiyah
dan
memelihara
serta
meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama.
4. Penghubung antara ulama dengan umara (pemerintah) serta
menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat
guna menyukseskan pembangunan nasional. 30
Fungsi MUI sebagai lembaga pemberi fatwa berarti mendorong ulama
berperan serta dalam pembangunan bangsa. Pada waktu-waktu
selanjutnya, MUI terus mengalami berbagai dinamika. 31 MUI pada masa
Orde Baru dianggap sebagai stempel pemerintah. MUI sebagai lembaga
fatwa harus berjalan seiring dengan pemerintah. Fatwa-fatwa yang
dikeluarkan pun harus mendukung kebijakan pemerintah. Misalnya, fatwa
tentang IUD, tubektomi, dan fasektomi. Pada awalnya, MUI memfatwakan
IUD haram dilakukan karena membuka aurat perempuan. Namun, karena
tekanan dari pemerintah, MUI mengubah fatwa tersebut. Setelah masa
reformasi, MUI mengubah citranya tidak lagi hanya sekedar alat kebijakan
pemerintah. MUI mendefinisikan diri sebagai khadimul ummah, bukan lagi
khadimul hukumah.
e. Aliran Kepercayaan
Dimasukkannya aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam
GBHN pada Sidang Umum MPR 1978 menimbulkan masalah. Aliran
kepercayaan atau aliran kebatinan merupakan fenomena sosial yang telah
lama muncul. Aliran kepercayaan ini banyak sekali bermunculan dan
kadang sulit dikendalikan. Ada yang menganggap diri sebagai agama di
antaranya agama Adam Makripat, agama Pran Suh, dan ADARI (Agama
Djawa Asli RI). Ada pula yang tidak mengaku sebagai agama, SUBUD
(Susila Budidarma), GMKRI (Gabungan Musyawarah Kebatinan RI),
Paguyuban Ngesti Tunggal, dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia memasukkan aliran kepercayaan sebagai
kelompok tersendiri dalam GBHN dengan alasan UUD pasal 29 ayat 2.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing, dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya. Alasan ini tidak dapat diterima. Kata kepercayaan
tidak bisa diartikan sebagai suatu pengakuan terhadap eksistensi
kepercayaan di samping adanya agama-agama besar yang diakui, tapi
artinya adalah menunjuk kepada kepercayaan agama yang ada. Moh
30
31
Salah satu penelitian mengenai dinamika di tubuh MUI dilakukan oleh Moch Nur Ichwan
dalam makalahnya Towards a Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia
and the Politics of Religious Orthodoxy dalam Martin van Bruinessen (ed.).
Contemporary Developments in Indonesia Islam Explaining the Conservative Turn.
(Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2013). Hlm 60.
13
Hatta yang ikut merumuskan UUD 1945 memperkuat hal itu, menurutnya
kepercayaan berarti kepercayaan kepada agama.32
Persoalan masuknya aliran kepercayaan kemudian menjadi masalah
besar dan sempat menimbulkan ketegangan. Isu aliran kepercayaan ini
berkembang bersamaan dengan munculnya kembali masalah Islam
Jamaah. Umat Islam menginginkan agar mereka dibina. Mengakui mereka
secara legal berarti pemurtadan secara sengaja kelompok ini dari
kelompok besarnya, yaitu Muslim. Oleh karena itu, umat Islam menentang
kebijakan pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan ke dalam
GBHN. Dari segi ideologis politis, pengakuan aliran kepercayaan dalam
GBHN dianggap sebagai usaha untuk menghilangkan mayoritas Islam di
Indonesia. 33
33
34
Prof. Darji Darmodiharjo, salah satu konseptor penting P4, sekaligus Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah Dept P &K, mengajukan sembilan makna
Pancasila yang diantaranya adalah sebagai jiwa bangsa, kepribadian bangsa,
pandangan hidup bangsa, dasar falsafah negara, ideologi negara, perjanjian
luhur bangsa, cita-cita dan tujuan nasional, pandangan hidup yang
mempersatukan bangsa, dan sebagai way of life.
35
Lihat Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1991). Hlm. 458
37
38
Deliar Noer. Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal Agama. (Jakarta: Yayasan
Perkhidmatan, 1983). Hlm. 13
39
Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, 1991). Hlm 450.
40
42
43
g. ICMI
Pengaruh Moertopo mulai meredup sejak serangan penyakit jantung
yang dialaminya pada tahun 1978, hingga kemudian dia meninggal pada
tahun Mei 1984. Golkar selama periode Sudharmono (1983-1988) mulai
menunjukkan surutnya pengaruh kelompok Murtopo karena Sudharmono
lebih suka mengakomodasi para aktivis Islam. Penunjukan L.B. Moerdani,
sebagai Panglima TNI (ABRI) pada bulan Maret 1983 untuk sementara
waktu membuat pengaruh lobi non-Muslim bertahan. Namun, dengan
selesainya masa jabatan Moerdani sebagai Panglima ABRI pada tahun
1988, terjadilah titik balik dalam sikap dan relasi strategis Suharto dengan
para elit militer.46
Sepanjang periode 1983-1988, beberapa intelektual muslim mulai
memainkan peran-peran penting dalam Dewan Pengurus Pusat Golkar
(DPP Golkar), misalnya Akbar Tandjung, K.H. Tarmudji, Ibrahim Hasan,
Anang Adenansi dan Qudratullah. Inteligensia Muslim yang berkiprah
dalam birokrasi negara ini seringkali disebut sebagai neo-santri. Sejumlah
intelektual muslim, seperti Gus Dur, Cak Nur, dan beberapa orang lainnya,
diangkat sebagai anggota MPR dari utusan golongan di bawah bendera
Golkar.47 Tahun 1980-an dan 1990-an juga merupakan masa panen raya
atau ledakan jumlah intelektual Muslim Indonesia dari berbagai gerakan. 48
Tabel berikut ini merepresentasikan pencapaian jenjang S1 berdasarkan
agama dari penduduk Indonesia dalam kelompok usia 2429 tahun.49
Tahun Muslim
44
45
Kristen
Hindu
46
Latif, Yudi. 2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad Ke-20. (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2010). Hlm 642
47
A
B
C
1976
16.218 0,0%
520 0,1% 2,4%
1985
71.516 0,2%
0,5% 3,2%
1995
553.257 1,8%
2,8% 2,3%
A
B
75,3%
C
A
4.191
C
0,4%
76,0%
3.024
77,5%
16.604
19,4%
*Sumber: Survei Antarsensus Indonesia oleh BPS pada tahun 1976, 1985 dan 1995
Keterangan:
A = total jumlah kelompok agama tertentu yang menyelesaikan S1 (dari
kelompok usia ini)
B = persentase A terhadap total jumlah kelompok agama tertentu (dari
kelompok usia ini)
C = persentase A terhadap total penduduk (dari kelompok usia ini)
Sepanjang tahun 1980-an, sebenarnya telah muncul usaha untuk
menyatukan para intelektual muslim ke dalam satu wadah khusus,
sebagai usaha untuk untuk memperkuat daya tawar intelektual muslim di
tengah-tengah pemerintah. Pada tahun 1980, para intelektual Muslim di
Surabaya dan sekitarnya membentuk Cendekiawan Muslim Al-Falah (CMF)
yang dipimpin oleh Fuad Amsjari. Kemudian pada bulan Desember 1984,
MUI mengadakan pertemuan intelektual muslim di Wisma PKBI, Jakarta,
yang disusul dengan acara Silaturahmi Cendekiawan Muslim, di Ciawi
(Bogor ) pada bulan Maret 1986 dan diikuti lebih dari 100 intelektual
Muslim. Di Yogyakarta pada awal tahun 1989, Imaduddin Abdulrahim
mengorganisir sebuah pertemuan para intelektual Muslim. Pertemuan itu
diikuti oleh sekitar 50 partisipan dari beragam gerakan Islam termasuk
Nurcholish Madjid, Endang Saefuddin Anshari dan Syafii Maarif.
Pertemuan itu telah berhasil menyepakati rencana mendirikan sebuah
perhimpunan intelektual Muslim, namun aparat keamanan tiba-tiba
memaksa membubarkan pertemuan tersebut. Kegagalan tersebut
menjadi cermin sikap pemerintah yang cenderung masih bersikap
antagonis terhadap Islam.50
Kedekatan Soeharto dengan Islam semakin erat ketika masuknya
B.J. Habibie ke dalam lingkaran pemerintahan. Habibie merupakan
kombinasi unik dari latar belakang sipil, kecerdasan akademis, kesalehan
islami, dan kedekatan dengan Soeharto, yang membuatnya menjadi kunci
masa depan bagi banyak kaum intelektual kelas menengah Islam. Ketika
para intelektual muslim mendirikan ICMI, yang disetujui oleh Soeharto
48
50
18
53
Islam di Tengah Carut Marut Politik Orde Baru dalam Majalah Suara
Hidayatullah, Edisi Khusus Milad 2008. Hlm 28
19
54
56
M. Natsir. Islam dan Kristen di Indonesia. (Jakarta: Media Dakwah, 1983). Hlm.
207.
20
58
Menurut butir kedua isi surat keputusan tersebut, penyiaran agama tidak
dibenarkan untuk:ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah
memeluk sesuatu agama lain;
21
dengan efektif. Sampai saat ini, masih banyak kerusuhan yang disebabkan
praktik-praktik penyebaran agama, terutama kristenisasi. Maka, mau tak
mau yang terjadi saat ini adalah gejala free fight for all dan survival of the
fittest di bidang agama.60
Otak di Balik Pemerintahan Orde Baru
Musuh Orde Baru ada dua, yaitu ekstrim kiri (marxis) dan ekstrim
kanan (fundamentalis). Terhadap ekstrem kiri, yang dilakukan
pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya sekaligus pernyataan sebagai
organisasi terlarang. Sementara itu, terhadap golongan Islam,
tindakannya lebih banyak lagi, di antaranya penolakan rehabilitasi
Masyumi; dikeluarkannya peraturan Mendagri No 12/1969 dan PP No
6/1970 tentang monoloyalitas pegawai negeri; pemaksaan fusi parpol
dengan UU No 3/1973; terbitnya UU Perkawinan 1974 yang merupakan
deislamisasi kaidah-kaidah kemasyarakatan karena banyak bertentangan
dengan hukum-hukum perkawinan Islam; terbentuknya MUI sebagai
perwakilan tunggal umat Islam pada 1975 yang lebih sering merupakan
alat legitimasi pemerintah; serta disahkannya aliran kepercayaan dan
Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) melalui Tap MPR No
II/1978.
Otak dari berbagai kebijakan yang mendiskreditkan Islam pada
masa Orde Baru adalah Letnan Jenderal Ali Moertopo. 61 Pada tahun 1970,
Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dibajak oleh John Naro, yang
didalangi oleh Ali Moertopo. Selanjutnya, pada peristiwa 15 Januari
(Malari) 1974, Ali Moertopo menuduh dan memfitnah umat Islam. Eks PSI
dan eks Masyumi atau ekstrem kanan dituduh sebagai dalang peristiwa
tersebut. Pasca 1982, peran Ali Moertopo digantikan oleh Jenderal Benny
Moerdani. Pada tahun 1983-1985, Benny menggalakkan kebijakan bahwa
b. dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian,
makanan/minuman, obat-obatan dan lain agar supaya orang tertarik untuk
memeluk sesuatu agama;
c. dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku, dan
sebagainya di daerah-daerah/di rumah-rumah kediaman umat/orang yang
beragama lain;
d. dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang lain yang
telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.
60
M. Natsir. Islam dan Kristen di Indonesia. (Jakarta: Media Dakwah, 1983) Hlm
248.
61
Baca buku Strategi Politik Nasional Ali Moertopo (Jakarta: CSIS, 1974). Lihat juga dalam
Adian Husaini. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. (Jakarta:
Gema Insani Press, 2009) Hlm. 13.
22
Lebih jelas lagi mengenai hal ini dapat dilihat skripsi Edhy Hariyanto. Peran Politik
Militer (ABRI) Orde Baru terhadap Depolitisasi Politik Islam di Indonesia (Studi terhadap
Hegemoni Politik Militer Orde Baru terhadap Politik Islam tahun 1967-1990). (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2006). Hlm 117-118.
23
63
Colin Brown. A Short History Of Indonesia: The Unlikely Nation? (New South Wales:
Allen & Unwin, 2003). Hlm 226
64
Yudi Latif. 2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad Ke-20. Yayasan Abad Demokrasi: Jakarta. Hlm 657.
65
66
Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator
dan Keharusan Kembali kepada Syariah. (Jakarta: Usamah Press, 2001). Hlm. 69-74.
68
69
25
PDI-P
Golkar
PPP
PKB
PAN
16 lainnya
Total
35.706.618
23.742.112
11.330.387
13.336.963
7.528.936 7.1
14.200.921
105.845.93
Parliamentary
33.7
22.4
10.7
12.6
seats
153
120
58
51
34
13.4
99.9
33.1
26.0
12.6
11.0
7.4
46
462
10.0
100.1
71
Ada satu buku yang membahas pola komunikasi keenam presiden Indonesia.
Baca Tjipta Lesmana. 2008. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para
Penguasa. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
76
Pemerintahan SBY-JK dan Syariat Islam: Politik Angin Bertiup dalam Majalah
Suara Hidayatullah Edisi Khusus Milad 2008.
27
kelompok agama. Akan tetapi, karena keterbatasan literatur, hal itu tidak
dapat dilakukan.
Pemerintahan Gus Dur banyak menuai kritik dan protes dari
masyarakat. Serangan terhadap Gus Dur sebagian besar diarahkan pada
kelemahan fisiknya, banyak pernyataan Gus Dur yang emosional dan
dianggap melanggar konstitusi. Sikap Gus Dur kadang-kadang nyleneh
dan menyakiti sejumlah pihak. Perkataannya yang menyinggung sejumlah
pihak, seperti Apa bedanya DPR dengan taman kanak-kanak? dalam
Sidang Paripurna DPR, telah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ia
juga dinilai lamban dalam menyelesaikan kasus Aceh dan menganggap
sepele masalah Maluku. Gus Dur semakin menyakiti hati umat Islam
ketika ia mengemukakan rencana membuka hubungan dagang dengan
Israel.77
Gus Dur dinilai gagal mentransformasikan kepemimpinan
patrimonial
seperti
kepemimpinan
dalam
pesantren,
menjadi
kepemimpinan modern dalam skala yang lebih luas. Dengan tindakantindakan yang diambilnya, secara tidak sadar Gus Dur sebenarnya sedang
menggerogoti kekuasaannya sendiri.78 Di sisi lain, ia dipuji-puji oleh Barat
sebagai sosok Islam moderat, non fundamentalis, tidak radikal dan tidak
ekstrim. Ia juga sempat dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel
Perdamaian tahun 2000. Koran International Herald Tribune (IHT), 21
Oktober 1999 menyebut Gus Dur sebagai pemimpin muslim yang toleran
dan inklusif serta seorang pejuang HAM.79
Memasuki tahun 2001, dukungan terhadap Gus Dur semakin
melemah. Sebagian kalangan di DPR/MPR meminta diadakannya Sidang
Istimewa MPR. Hal ini semakin beralasan ketika 23 Juli 2001, Gus Dur
mengeluarkan dekrit yang berisi pembekuan DPR/MPR dan Partai Golkar,
serta mempercepat pemilu. MA mengeluarkan fatwa bahwa dekrit
tersebut melanggar hukum. Akhirnya, SI MPR dilaksanakan pada tanggal
21-26 Juli 2001. Hasilnya, dekrit presiden tanggal 23 Juli 2001 dinyatakan
tidak sah dan bertentangan hukum, MPR memberhentikan Gus Dur,
menetapkan Megawati sebagai Presdiden RI serta mengangkat Hamzah
Haz sebagai Wakil Presiden.
Namun, di samping menguatnya kekuatan Islam di parlemen, ada
sejumlah isu krusial yang terjadi selama masa pasca reformasi, yaitu
1. Islam Liberal
77
79
Adian Husaini. 2002. Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra. Gema
Insani Press: Jakarta. Hlm 15.
28
Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim
Diktator dan Keharusan Kembali kepada Syariah. (Jakarta: Usamah Press, 2001)
Hlm. 146-150.
82
Track record pemerintahan Gus Dur yang buruk ini kemudian diindikasi
menjadi salah satu sebab kekalahan perpolitikan umat Islam saat ini. Gus Dur
yang notabene adalah seorang kyai dan didukung oleh mayoritas umat Islam
lewat Poros Tengah ternyata tidak dapat memenuhi harapan rakyat. Baca tulisan
Kamarudin. Siklus Kekalahan Partai Islam dalam Majalah Sabili No. 9 Th X 2003
hlm 88.
31
Penutup
84
Akmal Sjafril. 2012. Buya Hamka: Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme.
Indie Publishing: Depok. Hlm 244-245.
85
Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim
Diktator dan Keharusan Kembali kepada Syariah. (Jakarta: Usamah Press, 2001).
Hlm 189-193.
86
Hartono Ahmad Jaiz. Membedah Anatomi Aliran Sesat dalam Majalah Sabili
No. 9 Th X 2003, Hlm 114-151.
32
Sejarah adalah ilmu tentang masa lalu yang tak pernah usang,
karena ia memperbaharui dirinya dengan penemuan data baru dan cara
melihat suatu peristiwa dari sudut pandang yang baru. 87 Pada awal masa
Orde Baru, umat Islam berada dalam posisi termarginalkan. Banyak
kebijakan-kebijakan Orde Baru yang tidak mengakomodasi kepentingan
umat Islam. Penyebabnya, tidak lain karena golongan inner circle yang
dekat dengan Soeharto adalah golongan Cina-Katolik. Akhirnya, banyak
gerakan umat Islam pada zaman Orde Baru yang berjalan secara diamdiam, meskipun di sisi lain, kondisi tersebut menyebabkan militansi dan
kreatifitas dakwah umat Islam. Kebijakan rezim Orde Baru adalah
kebijakan satu wajah, yang memenggal hak-hak bersuara golongan yang
berseberangan dengan pemerintah. Pada saat yang sama, catatan
mengenai pelanggaran hak-hak sipil, korupsi, dan nepotisme bertaburan.
Namun, tidak bisa diabaikan pula bahwa jika dilihat dari segi
pembangunan ekonomi dan infrastruktur, pemerintahan Soeharto
mencatatkan sejumlah prestasi.
Pada akhir dekade pemerintahan hingga kejatuhan Orde Baru,
pengaruh Islam mulai menguat. Kebijakan-kebijakan yang pro Islam
banyak dihasilkan pada masa tersebut. Kedekatan Soeharto dengan Islam
makin terasa ia menunaikan ibadah haji tahun 1991, yang secara
otomatis kemudian mengubah namanya menjadi Haji Muhammad
Soeharto. Kemudian, pada tahun 1998, umat Islam yang membuka pintu
gerbang reformasi bangsa Indonesia. Secara politik, kekuatan umat Islam
makin diperhitungkan. Kondisi umat Islam dalam sejumlah aspek jauh
lebih baik dibandingkan pada masa Orde Baru. Meskipun pada saat yang
sama, tantangan baik dari dalam maupun dari luar umat Islam juga
bermunculan. Penyebaran paham-paham yang merusak akidah umat
seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, serta berkembangnya aliran
sesat merupakan ekses dari keterbukaan yang dimunculkan pada masa
reformasi. Umat Islam masih perlu melanjutkan perjuangan dan
mengatasi tantangan-tantangan tersebut.
Sejarah adalah perlu, sepanjang manusia hidup di dunia. Dengan
membaca peristiwa-peristiwa sejarah umat Islam pada masa lalu, umat
Islam saat ini bisa belajar dan merumuskan strategi yang tepat bagi
kejayaan Islam di masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Buku
87
35