Professional Documents
Culture Documents
kepercayaan diri. Selain itu perlu juga dukungan dalam bentuk alat-alat (resources) yang
memadai agar semua orang dapat bertindak untuk mencapai visi. Termasuk pula adalah
dorongan agar team mampu keluar dari pola pikir standar dan dapat keluar mengambil
langkah-langkah terobosan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
6. Create Short Term Win Meraih kemenangan-kemenangan kecil /jangka pendek. Karena
perubahan pada umumnya tidak dapat dicapai dalam tempo yang singkat maka dibutuhkanlah
milestone-milestone kecil untuk memberi tanda sudah sampai dimana proses perubahan yang
dijalankan. Karena itu dibutuhkanlah perayaan-perayaan kecil (short term wins) dalam
bentuk pemberian penghargaan agar semangat para pengusung roda perubahan ini dapat
terus dijaga agar tidak redup. Adalah perlu untuk terus mengupayakan agar semangat para
pendukung perubahan ini tetap menyala karena proses perubahan menuntut stamina fisik &
mental dalam waktu yang panjang. Selain itu, short term wins ini juga memberi isyarat
kepada mereka yang belum bergabung untuk dapat bergabung karena inilah jalan yang
benar. Akan jauh lebih baik jika perayaan meraih kemenangan kecil ini dilakukan dalam
exposure yang luas sehingga ada banyak orang yang menyaksikan sehingga pada penerima
penghargaan ini dapat lebih percaya diri, mantap dan semakin yakin akan arah yang di tuju.
7. Dont Let Up Jangan berhenti, lanjutkan terus proses perubahan sebelum visi terwujud.
Lakukan terus upaya untuk meningkatkan sense of urgency sehingga nyala api perubahan
tidak redup di tengah jalan. Selalu tunjukkanlah bahwa proses perubahan ini masih akan
berlanjut sapai tercapainya visi yang dicanangkan. Tetapi, haruslah dicatat bahwa proses ini
jangan sampai membuat kondisi fisik dan emosi terganggu dan mengorbankan kepentingan
pribadi, karena dalam jangka panjang jika ini terjadi, yang mendapatkan imbasnya adalah
proses perubahan itu sendiri. Gunakanlah momentum-momentum, seperti misalnya pada
perayaan hari jadi perusahaan / peringatan hari besar sebagai alat bantu untuk
mengkomunikasikan bahwa perubahan belum selesai. Lakukanlah -jika perlu- perubahan
sistem, struktur, kebijakan-kebijakan, prosedur hingga kultur organisasi sehingga sesuai
dengan kondisi yang diinginkan.
8. Make change stick Pastikanlah agar perubahan tertanam sebagai budaya perusahaan
sehingga perubahan benar-benar mengakar sampai ke struktur organisasi yang paling bawah.
John P. Kotter mengingatkan, bila satu saja tahapan itu dilewati, maka kita hanya akan
menghasilkan apa yang disebutnya sebagai illusion of speed (kecepatan maya) yang dapat
menghasilkan perubahan yang tidak sempurna.
8 langkah proses perubahan diatas, kemudian ditulis kembali dalam cara yang lebih renyah
dalam buku Our Iceberg is Melting yang diterbitkan dalam tahun 2006. Buku ini bercerita
mengenai sekelompok pinguin yang mengalami masalah mengenai temat tinggal mereka
(Iceberg) yang terancam karena ada rongga besar yang sewaktu-waktu dapat membuatnya
runtuh. Aca karakter Fred, yang pertama-tama sadar akan ancaman tersebut, Alice, anak dari
ketua koloni Pinguin juga.. selalu ada orang-orang yang menganggap perubahan itu tidak
perlu yang disimbolkan oleh pinguin tua Dr. Nono. Sangat bagus untuk Anda yang ingin
melihat perubahan dari sisi yang ringan dan lucu
sumber: John P Kotter, Leading Change, Gramedia Pustaka Utama, 1997
http://quickstart-indonesia.com/8-langkah-perubahan-transformasi-organisasi/
Kita sering mendengar bahwa melakukan perubahan itu tidaklah mudah. Kita
juga teramat sering mendengar adanya keengganan bahkan penolakan terhadap
perubahan (resistance to change). Jika sekedar berubahpun enggan, bagaimana
mungkin sebuah organisasi akan melakukan transformasi? Dalam hal ini, saya
menafsirkan transformasi sebagai sebuah perubahan besar yang membuat
sistem, struktur, dan budaya organisasi menjadi sangat berbeda dibanding
sebelumnya. Transformasi bukan sekedar mempercepat proses pelayanan
menjadi lebih cepat 1 hari atau 1 minggu; bukan pula postur organisasi yang
tambun menjadi sedikit lebih ramping. Transformasi lebih mencerminkan
perubahan mental model atau paradigma dari dilayani menjadi dilayani, dari big
is powerful menjadi small is beautiful, dari alon-alon waton kelakon (pelan asal
selesai) menjadi quick response (reaksi cepat), dari inefisien menjadi efisien, dari
inward looking yang berorientasi self-interest menjadi outward looking yang
berorientasi public values, dan seterusnya.
Maka, jika perubahan adalah sebuah proses evolusi yang biasanya bersifat
inkremental, maka transformasi adalah evolusi yang dipercepat, atau sebuah
langkah revolusioner. Jika perubahan cenderung memilih satu atau dua aspek
untuk disempurnakan berdasarkan urutan prioritasnya, maka transformasi
menghendaki perubahan serentak, simultan, paralel, holistik, dan integral. Tidak
ada aspek yang boleh dibiarkan tertinggal dan tidak tersentuh perbaikan, Jika
perubahan lebih mudah dipahami secara kuantitatif, maka transformasi harus
dirasakan secara lebih kualitatif. Jika perubahan sudah terjadi ketika secara
individual saya meneguhkan tekad untuk lebih disiplin, maka transformasi baru
muncul ketika disiplin disiplin individu saya telah melebur kedalam disiplin
kolektif yang menjelma sebagai kebiasaan bersama (collective habit).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pada tahap pertama, saya merasa sreg dan klop sekali bahwa transformasi harus
diawali dengan menemukan urgensinya. Mengapa transformasi harus dilakukan;
apa tekanan (pressure), kesulitan (difficulties), dan tantangan (threat) yang
dihadapi; serta apa dampaknya bagi organisasi jika transformasi tadi tidak
dilakukan? Urgensi transformasi, oleh karenanya, adalah alasan mendasar
(raison detre) mengapa transformasi mutlak harus dijalankan. Tanpa adanya
alasan ini, bisa dijamin transformasi akan kehilangan spirit, kekuatan, dan arah
yang jelas. Dan uniknya, faktor yang membuat transformasi menjadi lebih
bertenaga, bersemangat, dan jelas arah orientasinya, adalah situasi serba sulit,
tidak pasti, dan penuh tantangan tadi. Ketika sebuah organisasi merasa tidak
memiliki faktor komplikasi dalam mencapai tujuannya dan merasa segala
sesuatu baik-baik saja, maka sesungguhnya organisasi tersebut sedang berada
dalam situasi yang tidak baik-baik saja,
Selanjutnya,
manakala
urgensi
untuk
transformasi
sudah
berhasil
diidentifikasikan, langkah yang harus ditempuh adalah meminta dukungan dan
komitmen berbagai pihak untuk menggulirkan perubahan. Komitmen tadi bisa
bersumber dari lingkungan internal maupun dari stakeholder eksternalnya.
Kolaborasi, koalisi, dan kooperasi antar aktor akan menjadi condition sine qua
non keberhasilan sebuah transformasi. Tanpa adanya hal tersebut, maka
perubahan hanya akan menjadi omong kosong dan angin lalu. Sekuat apapun
pressure yang dimiliki untuk terjadinya perubahan, dan sekuat apapun komitmen
pimpinan untuk berubah, namun tanpa adanya dukungan multi-aktor, perubahan
ibarat sebatang lidi yang tidak mampu membersihkan sampah yang berserakan.
Sampah-sampah itu hanya bisa dibersihkan oleh kumpulan lidi yang diikat oleh
sebuah komitmen dan visi bersama (shared vision).
Pembentukan visi bersama ini merupakan syarat mutlak ketika koalisi perubahan
sudah terbangun. Visi ini memiliki banyak fungsi. Selain untuk menyelaraskan
irama dan gerak langkah, atau untuk menciptakan frekuensi hati dan pemikiran
yang sama, shared vision juga memberi arah yang jelas kemana organisasi akan
dibawa, sekaligus menyediakan gambaran masa depan yang harus diwujudkan
oleh organisasi tersebut. Tanpa adanya visi, sangat mungkin sebuah organisasi
akan tersesat di tengah jalan. Ibarat biduk yang berada di tengah lautan lepas di
tengah malam gulita, visi adalah bintang utara (North Star) yang memberikan
peta jalan (roadmap) yang memandu sang nelayan keluar dari kesesatan.
Namun, visi saja sangat tidak cukup. Visi ini harus dikampanyekan atau
dikomunikasikan kepada seluruh pihak terkait. Komunikasi ini akan menjaga visi
tidak mengalami reduksi pada perjalanan organisasi. Dengan kata lain,
kampanye visi bertujuan untuk memelihara shared vision tidak tercabik-cabik
menjadi visi-visi individu yang berbeda haluan. Pada saat yang bersamaan,
kampanye visi harus disertai dengan pemberdayaan, pengembangan kapasitas,
atau pengembangan pegawai. Visi yang kuat harus dikelola oleh SDM yang
kompeten. Kekuatan visi harus compatible dengan kapasitas SDM. Kecepatan
(velocity) dan ketangguhan (durability) keduanya harus seimbang dan saling
mengisi atau saling memperkuat. Jika salah satu unsur timpang dan tidak
mampu mengikuti kecepatan dan ketangguhan unsur lainnya, maka sia-sialah
semuanya.
Jika alasan untuk transformasi sudah jelas, koalisi sudah ada, visi sudah
dibangun dan dikomunikasikan, dan kapasitas SDM terus dikembangkan, maka
pondasi yang kokoh untuk sebuah transformasi dapat dikatakan telah terpenuhi.
Langkah berikutnya tinggal membuat perencanaan dan program unggulan untuk
jangka pendek (quick wins). Perencanaan ibarat busur, sedang program
unggulan ibarat anak panah. Keduanya membentuk sinergi dalam mencapai
sasaran seakurat mungkin. Dengan kata lain, perencanaan dan quick wins
merupakan stepping stones atau milestones menuju tujuan akhir (ultimate goals)
organisasi. Visi saja tidak mungkin bisa merealisasikan tujuan. Visi membutuhkan
kristalisasi berupa kerja keras seluruh SDM-nya dan aktualisasi melalui program
dan kegiatan yang nyata dan terukur tingkat kinerjanya.
Pada saatnya, sebuah organisasi tidak boleh puas hanya dengan satu atau
beberapa quick wins saja. Ini harus terus direproduksi dan/atau direplikasi
sehingga akan melahirkan banyak quick wins yang tidak pernah berhenti
sebelum visi dan tujuan organisasi menjadi kenyataan. Banyaknya quick wins ini
diharapkan akan membentuk efek bola salju (snowball effect) yakni
terkonsolidasinya program organisasi dan sumber daya yang dialokasikan untuk
menjalankan program tersebut. Dan akhirnya, perbaikan seperti ini harus
menjadi kebiasaan yang melekat pada manajemen organisasi sehari-hari (dayto-day management).
dikomunikasikan dengan seluruh pihak terkait, meski saya tidak tahu apa yang
mereka lakukan untuk membangun kolaborasi lintas stakeholder ini.
Satu hal yang pasti, dalam persepsi saya mereka mengganti visi baru yang lebih
kuat. Hal ini ditandai dari perubahan logo. Bagi yang kurang memaknai sebuah
logo, mungkin hanya dilihat sebagai perubahan simbol atau gambar semata.
Namun saya yakin bahwa perubahan logo yang seringkali memakan biaya
milyaran rupiah ini telah disosialisasikan dan diinstitusionalisasikan di kalangan
internal perusahaan. Dengan proses internalisasi tadi, maka logo bukan sekedar
perubahan lambang, melainkan sebuah spirit baru, orientasi baru, tekad baru,
cara kerja baru, dan target-target baru.
Sayangnya, saya tidak punya informasi rinci tentang strategi komunikasi dan
pemberdayaan staf/pegawai di ketiga perusahaan tersebut. saya juga tidak tahu
pasti apa program quick wins yang mereka unggulkan. Saya hanya yakin bahkan
hal-hal strategis ini telah mereka lakukan secara optimal, yang antara lain
dibuktikan dengan kinerja PT. Garuda yang berhasil meraih penghargaan sebagai
maskapai penerbangan regional terbaik, atau kinerja PT. KAI yang mampu
membalikkan kondisi dari perusahaan yang selalu merugi ratusan milyar menjadi
profit generating company.
Tantangannya sekarang adalah, mereka tidak boleh berhenti dan tidak boleh
puas dengan performance yang mereka raih. Tugas yang tidak kalah penting
adalah mencari dan melakukan program-program unggulan lain secara
berkelanjutan, hingga pada akhirnya inovasi dan transformasi menjadi
kebutuhan harian sebuah organisasi, dan mendarahdaging dalam setiap aktivitas
para pegawainya.
http://triwidodowutomo.blogspot.com/2013/10/bagaimana-melakukantransformasi-dalam.html
Selain itu yang tidak kalah penting adalah melakukan motivasi tim. Ini merupakan teknik
lain yang dapat digunakan untuk mengelola perubahan. Dengan cara ini seorang
manajer menyadari bahwa pekerja akan membawa motivasi tingkat individu mereka ke
tempat kerja dan mereka cenderung bekerja sama dalam sebuah tim.
Teknik lain yang efektif dalam mengelola perubahan dalam organisasi adalah melibatkan
semua departemen pada saat mengambil keputusan mengenai perubahan yang akan
digunakan.
Dengan melakukannya, maka setiap aspek perubahan yang akan dilakukan akan jauh
lebih sukses.
Empat tipe people
John Kotters mengatakan manajemen perubahan yang efektif akan menjadi lebih efektif
jika seseorang melihat pentingnya dampak perubahan tersebut bagi individu maupun
organisasi secara keseluruhan. Seseorang juga menyadari makna perubahan tersebut
sehingga mereka menjadi lebih efektif dan dapat diandalkan dalam organisasi. Tetapi
tanpa kesadaran itu, mereka dipastikan malas mengadopsi perubahan baru.
Sebelum mengelola people dalam organisasi, ada empat tipe individu yang harus
dikenali. Pertama, individu sebagai agen perubahan. Kemudian, kedua mereka yang
hanya berperan sebagai penonton.
Dalam perusahaan akan juga ditemui mereka yang cuek bebek atau tidak peduli.
Perusahaan mau berubah atau tidak, tipe ini tidak akan peduli. Tetapi diantara semua itu,
ada tipe keempat yang membahayakan. Yakni tipe detractor atau orang yang
menghambat perubahan.
Pada akhirnya, pertanyaan kunci dalam transformasi adalah keberhasilannya. Dalam hal
ini keberhasilan pengukur-annya jelas mengacu pada apakah tujuan dari transformasi
tersebut tercapai atau tidak. Indikatornya antara lain organisasi bertumbuh dan eksis,
pendapatan dan laba meningkat dan indikator lain yang berhubungan dengan
perkembangan perusahaan. Siapkah melakukan transformasi?
http://www.listrikindonesia.com/transformasi_organisasi__menyulap_perusahaan_
agar_bertahan_315.htm
TRANSFORMASI ORGANISASI
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa transformasi organisasi senantiasa diawali oleh
suatu kebutuhan yang berkaitan dengan tuntutan bisnis. Tujuan bisnis menjadi pedoman
dalam pengelolaan organisasi, termasuk dalam transformasi. Tujuan bisnis yang selalu
berkembang (namun tetap dalam koridor visi dan misi) memberi pengaruh dalam manjemen
perusahaan. Satu diantara yaitu penyesuaian dalam struktur organisasi, yang menyesuaikan
terhadap strategi yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan.
Perubahan struktur organisasi dari bentuk lama ke bentuk baru memberikan dampak yang
tidak hanya menyangkut pola struktur itu sendiri, tetapi juga keberbagai aspek lain seperti
sistem, prosedur, budaya, manusia dan sebagainya. Hal ini terkadang luput dari perhatian
pengelola organisasi yang terkadang hanya terpaku pada struktur dan sistem namun
mengabaikan masalah kultur dan manusia.
Berbicara tentang kultur dan manusia dalam konteks transformasi, maka dua aspek penting
yang harus menjadi pertimbangan, yaitu kepemimpinan dan komunikasi. Lazim diketahui
bahwa suatu perubahan senantiasa disikapi oleh pro dan kontra. Kontra dalam hal ini
termasuk sikap resisten untuk menerima perubahan, sehingga hal ini dapat menjadi faktor
penghambat dalam mencapai tujuan perubahan organisasi. Faktor resisten ini memerlukan
kepemimpinan yang tepat dan komunikasi yang sesuai untuk mengubah perilaku nonkooperatif menjadi perilaku kooperatif. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah
karakteristik organisasi, budaya/kultur, core business dan homogenitas versus heterogenitas.
Banyak pengertian tentang transformasi maupun organisasi. Dari berbagai pengertian tersebut
transformasi dapat disimpulkan sebagai suatu proses perubahan dari suatu kondisi ke kondisi
lain untuk mencapai sesuatu yang lebih baik.
Perubahan ini bisa bermakna luas. Keinginan berubah bisa didrive dari luar atau merupakan
dorongan dalam diri untuk mencapai suatu situasi yang lebih baik.
Organisasi dapat diartikan suatu kumpulan individu yang secara sadar bersama-sama bekerja
untuk mencapai suatu tujuan bersama. Pengorganisasian terkait dengan mengelola sumber
daya dikaitkan dengan aktivitas yang ada. Pengorganisasian adalah suatu kegiatan untuk
mengsinkronkan berbagai kegiatan yang ada kemudian mengalokasian penggunaaan sumber
daya secara tepat.
Beberapa ahli menyebutkan TO adalah perluasan dari Organization Development (OD). OD
sendiri diartikan oleh sebagian ahli sebagai sebuah tindakan untuk melakukan perubahan,
suatu strategi untuk merubah keyakinan, sikap, nilai-nilai dan struktur organisasi agar dapat
menyesuaikan diri secara lebih baik terhadap teknologi baru, perkembangan pasar dan
tantangan baru.
Dengan demikian transformasi organisasi dapat disimpulkan sebagai suatu strategi dan
implementasi untuk membawa organisasi dari bentuk dan sistem yang lama ke bentuk dan
sistem yang baru dengan menyesuaikan seluruh elemen ikutannya (sistem, struktur, people,
culture) dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan selaras dengan visi dan misi organisasi/perusahaan.
Pertanyaan kunci dalam transformasi adalah keberhasilannya. Dalam hal ini keberhasilan
pengukurannya jelas mengacu pada apakah tujuan dari transformasi tersebut tercapai atau
tidak. Beberapa pedoman untuk menjawab apakah transformasi berhasil atau tidak (setelah
melewati suatu kurun tertentu yang ditetapkan untuk periode transformasi) adalah melalui
jawaban terhadap pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah perusahaan/organisasi tumbuh atau eksis?
2. Apakah pendapatan dan laba meningkat?
3. Apakah market share meningkat?
4. Apakah kepuasan konsumen/klien meningkat?
5. Apakah kepuasan mitra kerja meningkat?
6. Apakah kepuasan karyawan meningkat?
7. Apakah kepuasan shareholder meningkat?
Jika sebagian besar jawaban dari pertanyaan diatas adalah ya dapatlah dikatakan
transformasi tersebut berhasil. Jika sebagian besar jawabannya adalah tidak maka perlu
dilakukan evaluasi menyeluruh tentang ketidakberhasilan transformasi tersebut. Setidaknya
dapat ditentukan faktor kegagalan apakah berkaitan dengan tidak pasnya tujuan atau strategi
kurang tepat, faktor people, leadership, timing, sumber daya yang kurang mendukung
atau program yang tidak sesuai. Penentuan faktor kegagalan ini akan menjadi modal untuk
merancang manajemen transformasi lebih lanjut.
http://habahate.blogspot.com/2008/07/transformasi-organisasi.html
Di dalam proses perubahan budaya pada suatu organisasi, pihak manajemen (yang di
dalamnya termasuk fungsi HR) harus melakukan proses yang terdiri dari 4 (empat) tahap,
yaitu:
(1) Tahap mendefinisikan & mengklarifikasi mengenai perilaku-perilaku baru yang
diharapkan oleh organisasi. Apabila perusahaan ingin sukses dalam transformasi maka hal
utama yang harus dilakukan oleh para pemimpin dalam tahap ini adalah menetapkan tujuan
yang jelas dan yang hakiki terhadap proses transformasi yang harus terjadi.
Pada saat industri telekomunikasi di Indonesia mengalami persaingan harga yang drastis,
maka sebagian besar perusahaan telekomunikasi menyadari bahwa cost optimalization atau
operational excellence adalah perilaku-perilaku baru yang harus dimiliki oleh organisasi.
Akan tetapi, tidak semua perusahaan mampu memiliki perilaku tersebut karena tidak semua
pemimpin perusahaan tersebut berhasil menghubungkan pentingnya cost optimalization atau
operational excellence dengan keunggulan perusahaan di masa depan.
(2) Tahap menjelaskan kepada semua anggota organisasi, mengapa perusahaan
membutuhkan perilaku-perilaku baru tersebut dan mengapa perilaku baru tersebut merupakan
inti dari keberhasilan usaha di masa yang akan datang. Para pemimpin harus mampu
melibatkan seluruh anggota perusahaan di dalam upaya perubahan melalui berbagai macam
cara.
Aktivitas para pemimpin di dalam proses transformasi ini merupakan hal yang sangat
penting. Perusahaan yang berhasil adalah perusahaan yang menggunakan berbagai macam
metode komunikasi lainnya untuk membuat agar karyawan terlibat.
Mereka juga biasanya lebih mampu untuk berkomunikasi mengenai pentingnya upaya
perubahan secara positif, mendorong karyawan untuk membangun keberhasilan daripada
hanya menangani permasalahan belaka.
Menjelaskan kepada karyawan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah concern terhadap
anggaran, tentang pentingnya untuk melakukan optimalisasi anggaran yang ada, merupakan
hal yang sangat sulit. Karena bisa saja sebagian besar karyawan tersebut buta keuangan
(financial illiteracy), sehingga tanpa suatu pendekatan yang kreatif maka tahap ini tidak akan
berhasil.
(3) Tahap untuk menilai apakah pengetahuan, keahlian, perilaku dan bahkan kepribadian
(personality) dari anggota organisasi kita tersebut sesuai dengan perilaku yang baru. Ketika
suatu perusahaan mencoba melakukan upaya transformasi pada kegiatan operasionalnya,
maka adanya rencana dan strategi yang fokus tersebut tidaklah cukup.
Unsur penting lain yang lain yang ternyata cukup berhasil dalam tindakan sejenis ini yang
antara lain meliputi kegiatan bagaimana memudahkan suatu proses kerja adalah penugasan
pada karyawan tertentu sebagai suatu change agent atau agen perubahan yang memimpin
perusahaan dalam kegiatannya. Dalam proses ini, tentunya Unit HR harus melakukan
asesmen, sehingga teridentifikasi seberapa besar kesenjangan yang ada dan berada di mana
saja.
Agen perubahan adalah para pimpinan yang bertindak antar unit usaha di dalam perusahaan
tanpa memperdulikan adanya hirarki. Orang-orang ini diberi kebebasan dari pelaksanaan
tugasnya sehari-hari agar mereka dapat memfokuskan diri untuk memimpin dan
mengarahkan adanya perubahan.
Secara tidak langsung maupun secara langsung, mereka mengimplementasikan proses yang
baru, melatih para karyawan terhadap adanya prosedur kerja yang baru dan mereka bertindak
selaku model peran untuk menunjukkan cara kerja yang baru dan yang lebih baik.
Di beberapa perusahaan para agen perubahan tersebut bisa menghabiskan lebih dari 50%
waktu kerja mereka untuk: mengunjungi unit-unit yang sedang mengalami perubahan, untuk
melaksanakan audit atau untuk memberi arahan bagi para manajer mengenai bagaimana
memperbaiki kinerja masing-masing.
Apabila perusahaan yang tidak memperhatikan pentingnya peran seorang agen perubahan di
dalam proses transformasi, maka hal ini akan menimbulkan risiko yang tinggi pada
kesuksessan proses transformasi.
(4) Tahap menetapkan pendekatan alternatif untuk mendorong tumbuhnya perilakuperilaku budaya baru pada setiap anggota organisasi. Berdasarkan hasil tahap 3 tersebut,
manajemen dapat menetapkan apakah pendekatan yang akan dilakukan hanya akan
meningkatkan kesadaran tentang proses transformasi atau sudah harus sampai pendekatan
untuk membuat anggota organisasi komit terhadap proses transformasi.
Salah satu yang bisa meningkatkan kesempatan pimpinan perusahaan dalam transformasi
organisasi adalah apabila mereka berhasil meningkatkan ekspektasi karyawan terhadap proses
transformasi yang dilakukan, dapat mengubah perilaku karyawan dan keterlibatan karyawan
dalam berbagai tingkatan, dari manajemen puncak hingga manajemen lini.
Program pengembangan kepemimpinan (leadership development) untuk kesuksesan
proses transformasi
Jarang ada perusahaan yang mampu menghindari adanya perubahan besar dan periodik di
dalam kegiatan usahanya. Apa pun penyebab dari perubahan tersebut, namun upaya dan
tanggapan di dalam menghadapi perubahan tersebut hampir selalu sama, antara lain misalnya:
mengubah rantai pasokan; mengubah hubungan antara unit penjualan, pemasaran dan fungsi
unit lainnya ; dan meningkatkan tingkat efisiensi dari kegiatan produksi atau layanan jasa
operasional. Perubahan tersebut dimulai dari atas dan hal ini memerlukan perhatian yang
penuh secara rinci yang dialami bersama oleh pimpinan perusahaan maupun unit kerja lini.
Berdasarkan 4 tahap di dalam proses Transformasi diatas kita dapat melihat bahwa peran
pemimpin dan agen perubahan dalam proses transformasi sangat penting. Namun dalam
perjalanan proses transformasi seringkali para eksekutif senior lupa menangani adanya
kompetensi atau keahlian soft skill yang diperlukan bagi para pimpinan dan agen perubahan
untuk menyebarkan upaya perubahan di perusahaan dan menerapkannya.
Kompetensi yang dimaksud adalah:
(1) kemampuan untuk tetap membuat para manajer dan karyawan untuk terus
semangat/terinspirasi saat mereka dibelit oleh kesibukan kerja,
(2) untuk mendorongadanya kolaborasi pada lintas unit kerja di dalam perusahaan, dan
(3) membantu para manajer terlibat dalam program perubahan melalui metode dialog, bukan
pengarahan tertulis.
Salah satu perusahaan industri tingkat dunia berhasil menangani permasalahan mengenai
tranformasinya dengan cara melakukan program pengembangan kepemimpinan sebagai
bagian dari suatu program penyempurnaan kegiatan operasional yang berskala besar, yang
meliputi penerapan suatu sistem produksi yang baru yang diterapkan pada 200 pabriknya di
seluruh dunia.
Proses transformasi di perusahaan tersebut harus terjadi karena kinerja pabrik-pabriknya tidak
konsisten dan ada pabrik yang kinerjanya berada dibawah kinerja pabrik pesaing dari segi:
efisiensi, produktivitas dan biaya produksi. Dalam usaha memperbaiki keadaan ini,
teridentifikasi beberapa permasalahan seperti pandangan mengenai ketidakmampuan untuk
berubah, menganggap kinerja saat ini dinilai sebagai cukup bagus.
Konflik dinilai sebagai keadaan yang pasif-agresif atau bahkan, konflik tersebut tidak lagi
diperhitungkan keberadaannya. Terkadang karyawan merasa bahwa mereka diperlakukan
sebagai alat dan penyelia mereka adalah pihak yang menekan untuk menjalankan.
Dampak dari keadaan ini terhadap karyawan adalah terjadi dis-engagement atau sikap tidak
mau terlibat, juga kurangnya kepercayaan pada tingkat manajemen senior dan adanya
kekhawatiran karyawan terhadap kesalahan yang diperbuat oleh karyawan. Rasa
kekhawatiran ini timbul karena budaya perusahaan yang kuat terhadap aspek keamanan dan
kecenderungan untuk menghindari resiko.
Tantangan-tantangan ini sangat sulit untuk diabaikan dan harus dianggap sebagai suatu
hikmah. Kelompok karyawan senior melihat bahwa dibalik adanya perbaikan teknis
operasional yang harus dilakukan, pimpinan perusahaan juga harus segera menangani
perubahan perilaku individu guna mendukung perubahan operasional tersebut.
Untuk itu, perusahaan menyiapkan program kepemimpinan yang bersifat individu sesuai
dengan kompetensi yang dibutuhkan, sangat terkait dengan proses transforrmasi dan
melibatkan para pihak yang terkait.
Tahun pertama program pengembangan ini dilaksanakan, dampaknya masih belum terlihat.
Namun, setelah tiga tahun, perusahaan mengestimasi bahwa program perbaikan yang terjadi
dari program pengembangan kepemimpinan ini telah meningkatkan pendapatan operasional
(sebelum pajak) sebesar $ 1.5 miliar per tahun.
Selanjutnya, para eksekutif melihat perilaku kepemimpinan yang baru tersebut sangat krusial
terhadap keberhasilan yang berkesinambungan. Pejabat Eksekutif Senior yang memulai
program tersebut yakin bahwa tanpa adanya pengembangan kepemimpinan, maka
dampaknya hanya setengah dari yang seharusnya.
Pejabat tersebut juga menambahkan bahwa perusahaan memperoleh laba yang berlipat
berdasarkan adanya investasi yang ditempatkan pada masing-masing pimpinan yang dilatih
selama ini.
PPM Manajemen sendiri sudah hampir 3 tahun ini mendampingi suatu perusahaan
multinasional melakukan program Management Development yang desainnya bertujuan
untuk mempersiapkan para manajer melakukan inovasi di dalam unit kerjanya sehingga
proses transformasi yang dilakukan organisasi menjadi berhasil.
Secara finansial sudah dapat dibuktikan bahwa project assignment yang dilakukan oleh para
peserta program ini mampu meningkatkan pndapatan atau mengoptimalisasi biaya secara
signifikan, tapi yang lebih menggembirakan lagi adalah keberhasilan para peserta membawa
project assignment mereka ke lomba inovasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan
penilaian secara internasional.
Dari pengalaman-pengalaman perusahaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa salah satu peran
penting fungsi HR di dalam proses transformasi adalah membuat suatu program
pengembangan kepemimpinan yang didisain sesuai dengan kompetensi baru dan sasaran
proses transformasi organisasi.
Setelah dilaksanakan program itu juga harus dapat diukur kontribusinya terhadap peningkatan
komptensi para pemimpin yang menjadi peserta program tersebut. Program itu juga harus
dibuktikan secara finansial memberikan kontribusi terhadap sasaran transformasi perusahaan
https://manajemenppm.wordpress.com/2013/07/26/peran-hr-di-dalamtransformasi-organisasi-developing-tranformational-leaders/
Sebagai referensi dapat ditelaah para tokoh beserta organisasi yang dipimpinnya
antara lain Jack Welch, mantan CEO General Electric yang sukses dengan
perubahan-perubahan mendasar ketika GE sedang hebat, atau juga Mahathir
Muhammad mantan Perdana Menteri Negara tetangga Malaysia, yang mundur
melepaskan jabatannya saat Negara itu sedang jaya.
Sebaliknya perhatikan juga merosotnya IBM di tahun 1980-an yang ketika itu
nama besarnya identik dengan komputer, atau kejatuhan banyak organisasi dan
tokoh terkemuka dengan meninggalkan nama yang terhinakan, karena selalu
merasa masih bisa berkuasa satu atau dua periode lagi.
http://transform-org.blogspot.com/2009/10/perubahan-mendasar-strategikdan.html
Kata reformasi berasal dari dua kata re yang berarti kembali dan form yang
berarti bentuk. Reform berarti membentuk, menyusun, mempersatukan
kembali (Kamus Inggris-Indonesia versi John. M. Echol). Kamus besar Bahasa
Indonesia tahun 1988 menjelaskan bahwa reformasi merupakan perubahan
radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik, keagamaan) dalam suatu
masyarakat atau negara. Jadi, reformasi dapat diartikan sebagai membentuk
kembali sesuatu pada tempatnya semula.
Adapun kata transformasi berasal dari dua kata dasar, trans dan form. Trans
berarti melintasi (across), atau melampaui (beyond). Kata form berarti bentuk.
Karena itu Transformasi mengandung makna perpindahan, dari bentuk yang satu
ke bentuk yang lain yang melampaui perubahan rupa fisik luar saja.
Saya yakin anda tidak akan menjadi jelas dengan keterangan diatas, bukan?
Sayapun tidak!
Karena itu mari kita membuatnya sederhana sehingga mudah dipahami dan
karena itu bisa menjalankannya dengan tepat. Saya akan menitik beratkan pada
pengertian Transformasi, sesuai isi dan misi situs ini.
Referensi yang akan saya gunakan disini adalah hukum alam, buku yang tidak
dapat dibantah kebenarannya oleh manusia manapun juga.
Jelas kalau makhluk diatas seakan menjadi 2 makhluk dengan 2 kehidupan yang
sama sekali berbeda.
Jadi, transformasi dapat diartikan sebagai perubahan yang bersifat MENDASAR,
STRATEGIK, dan MENYELURUH. Silahkan baca perubahan Mendasar, Strategik,
dan Menyeluruh
http://transform-org.blogspot.com/
BAB II
PEMBAHASAN
Perubahan pasar
Karakteristik demografis
Perubahan pasar dapat disebabkan karena terjadinya merger dan akuisisi, resesi,
maupun meningkatnya persaingan bisnis domestik dan intemasional. Perubahan
karakteristik demografis umur, pendidikan, tingkat ketrampilan, gender , dan
imigrasi yang pada akhirnya menyebabkan tenaga kerja yang ada semakin
beragam, menyebabkan perusahaan harus mengelola keragaman tersebut
secara lebih efektif.
Perkembangan teknologi informasi yang terjadi sekarang memang menjadi
dorongan kuat bagi organisasi untuk berubah. Apabila perusahaan tidak
mengikuti perkembangan teknologi informasi, maka perusahaan akan semakin
tertinggal dengan perusahaan lain. Sedangkan tekanan sosial dan politik yang
terjadi membuat perusahaan harus berfikir secara lebih global untuk mencari
peiuang baru guna mencapai kesuksesan. Dorongan-dorongan untuk melakukan
perubahan tersebut menyadarkan perusahaan untuk melakukan perubahan.
Banyak perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan pada akhirnya tutup
dikarenakan tidak mau berubah.
Peran Pemimpin dalam Perubahan
Peran pemimpin sangat diperlukan dalam suatu organisasi atau perusahaan,
khususnya perannya dalam membantu perusahaan dalam proses perubahan.
Banyak definisi mengenai kepemimpin, (Rauch & Behling, 1984) mengemukakan
bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas dari suatu
kelompok yang sudah terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan. House, dkk
dalam Yukl (2002) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan dari
seorang individu untuk mempengaruhi, memotivasi dan membuat orang untuk
memberikan kontribusinya guna mencapai keefektifan dan kesuksesan
organisasi. Sedangkan menurut Schein (1992), kepemimpinan adalah
kemampuan untuk keluar dari budaya lama untuk memulai proses perubahan
yang lebih adaptif. Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi orang lain untuk merubah
budaya lama ke budaya baru guna mencapai keefektifan dan kesuksesan
organisasi.
Definisi tersebut menyiratkan pentingnya sebuah budaya organisasi baru untuk
membuat sebuah perubahan menjadi sukses (Bass dalam Metclfq 2005). Lebih
lanjut, Bass menyatakan bahwa budaya organisasi dan kepemimpinan saling
berhubungan untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi perusahaan dengan
menjadikan pemimpin sebagai panutan (role model), dan mengispirasi karyawan
yang lain untuk berpartisipasi dalam perubahan
Dengan kata lain, organisasi mempengaruhi kepemimpinan seperti halnya
kepemimpinan mempengaruhi budaya (Metcalfe, 2000). Bass & Avolio (1990)
mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang lebih tepat untuk memimpin
perusahaan dalam proses perubahan adalah gaya kepemimpinan transformasi
(trarsformational leadership style), jika dibandingan dengan kepemimpinan
transaksional (transactional leadership). Banyak penulis yang menyamakan
kepemimpinan transformational dengan kepemimpinan karisimatik, akan tetapi
ada beberapa hal yang membedakan keduanya. Greenberg (2003) menyatakan
bahwa transformasi berada di atas kharismatik (beyond charisma), karena
pemimpin yang transformasional pasti berkarisma, sedangkan pemimpin yang
berkarisma belum tentu transformasional.
Yukl (2002) menyatakan bahwa pemimpin yang karismatik dan transformasional
berbeda karena pemimpin yang transfortransformasional akan melakukan
banyak hal untuk memberdayakan pengikutnya dan mengurangi ketergantungan
karyawan kepada pemimpinnya dengan jalan mendelegasikan wewenangnya
kepada karyawan, mengembangkan keahlian dan meningkatkan kepercayaan
diri karyawan, menciptakan tim-tim, memperbaiki komunikasi, mengurangi
pengawasan-pengawasan yang tidak diperlukan serta membangun budaya yang
1. Memotivasi Perubahan
Perubahan merupakan proses untuk menuju sesuatu yang baru, oleh karena itu
diperlukan komitmen yang tinggi dari anggota organisasi. Dorongan komitmen
ini memberikan dua tugas, yaitu:
a. Menciptakan kesiapan untuk melakukan
perubahan Salah satu tantangan penting dalam menyiapkan perubahan adalah
kesediaan anggota organisasi untuk melakukan perubahan. Hal ini tidak akan
terwujud apabila anggota organisasi masih belum menyadari kebutuhan untuk
berubah. Oleh karena itu untuk membuat anggota organisasi berubah, tentu saja
peran pemimpin untuk meyakinkan dan menjelaskan pentingnya perubahan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan benchmark.
b. Menyelesaikan penolakan terhadap perubahan
Apabila perubahan telah dilaksanakan, masalah yang kemungkinan muncul
adalah penolakan terhadap perubahan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan
untuk menyelesaikan perubahan, yaitu (Robbins, 2003):
1. Komunikasi
Penolakan dapat dikurangi dengan melakukan komunikasi yang lebih baik
kepada karyawan. Dengan komunikasi yang lebih baik, karyawan akan meilihat
rencana perubahan sebagai suatu realita yang harus dilakukan. Disamping itu,
blog.ub.ac.id/abidatul/files/2013/04/pendahuluan-1.pdf
blog.ub.ac.id/tioandiko/files/2013/01/MEMIMPIN-PERUBAHAN.pptx
staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/...%20SE..../Jurnal.PDF
obstacle. In order that organizational change runs successfully, the effort should be led by
a strong, visionary, intelligent, and development-oriented leadership. Perubahan
lingkungan organisasi eksternal maupun internal adalah suatu keniscayaan, dahulu
maupun sekarang. Namun di masa sekarang, kecepatan dan intensitas perubahan
lingkungan tersebut pada umumnya berlangsung begitu tinggi, penuh dinamika dan
turbulensi. Bahkan, seringkali bersifat diskontinyu sehingga bukan saja menyulitkan, tetapi
dapat mengancam keberlangsungan hidup suatu organisasi. Jelaslah, perubahan lingkungan
(environmental change) akan mengakibatkan tekanan pada organisasi untuk melakukan
perubahan organisasional (organizational change). Di tengah kuatnya arus perubahan
lingkungan, tanpa perubahan diri secara tepat dan signifikan organisasi tersebut niscaya
akan terseok, bahkan akan mati terlindas hukum besi perubahan. George dan Jones (2002)
menyebutkan sejumlah faktor lingkungan eksternal yang mendorong perubahan, yakni
kekuatan kompetisi, kekuatan ekonomi, kekuatan politik, kekuatan globalisasi, kekuatan
sosial-demografik, dan kekuatan etikal. Dewasa ini persaingan dalam dunia bisnis
berlangsung semakin sengit. Dinamika ekonomi dan politik nasional, regional maupun
global bergerak sangat fluktuatif dan penuh kejutan. Globalisasi ekonomi dan budaya yang
dipicu oleh perkembangan pesat teknologi informasi dan transportasi telah menyebabkan
dunia ini bagaikan desa global (global village). Perubahan struktur demografik dan sosial
berlangsung secara sangat signifikan. Dan di tengah semua itu mencuat pula di sana-sini
kesadaran etik masyarakat yang menuntut ditegakkannya perilaku etis dalam dunia kerja,
bisnis, dan politik. Sementara, pada lingkungan internal organisasi, perubahan-perubahan
yang terjadi pada nilai-nilai, etos kerja, kompetensi maupun aspirasi karyawan juga
mengharuskan respons organisasional yang tepat. Makin tingginya tingkat pendidikan ratarata karyawan, misalnya, akan menyebabkan meningkatnya aspirasi dan tuntutan mereka
dalam bekerja. Mereka pada umumnya mengharapkan perlakuan kerja yang lebih
manusiawi, peluang aktualisasi diri yang lebih besar, suasana kerja yang lebih
menyenangkan, cara kerja yang lebih fleksibel, pemberian reward yang lebih adil dan
lebih motivatif, kesempatan karir yang lebih terbuka, dan sebagainya. Hambatanhambatan Perubahan Namun, perubahan organisasional bukanlah hal yang mudah
dilakukan. Ada banyak kendala yang bisa menghadang dan memacetkan program-program
perubahan. Sejumlah kendala yang ditengarai oleh George dan Jones (2002:645-646)
adalah: (1) kendala-kendala sistem keorganisasian dan kekuasaan, (2) perbedaanperbedaan dalam orientasi fungsional dan struktur organisasi yang mekanistik, (3)
kelembaman (inertia) kultur organisasi, (4) norma dan kohesivitas kelompok, (5) pemikiran
kelompok (group think) dan kendala-kendala individual, seperti ketidaksiapan yang
mengakibatkan rasa ketidakpastian, kekhawatiran, ketidakamanan, persepsi selektif, dan
retensi kebiasaan. Mekanisme yang telah tertanam untuk menghasilkan kemantapan dalam
beroperasinya suatu organisasi -- yang diberlakukan dalam sistem seleksi karyawan, sistem
pelatihan, sistem penilaian kinerja, sistem reward dan punishment, sistem informasi,
sistem keuangan, sistem pengambilan keputusan, dan lain-lain -- akan menghasilkan suatu
inertia ketika menghadapi perubahan. Pola hubungan-hubungan kekuasaan yang telah
mapan dan mendatangkan sejumlah privileges bagi para pelakunya juga dapat
menghambat upaya perubahan yang mengarah pada redistribusi wewenang pengambilan
keputusan. Para manajer dan supervisor yang menikmati kewenangan yang luas mungkin
merasa terancam dengan akan diberlakukannya sistem pengambilan keputusan partisipatif
atau diterapkannya tim kerja swakelola. Orientasi fungsional yang berbeda pada tiap-tiap
departemen atau bagian organisasi juga dapat mempersulit terbangunnya kesamaan visi
perubahan. Sebagai contoh, departemen keuangan yang lebih berorientasi pada efisiensi
biaya mungkin akan menolak ide perubahan teknologi yang diusulkan departemen produksi
yang ingin mengejar kuantitas dan kualitas poduksi yang lebih tinggi yang akan berakibat
pada meroketnya anggaran. Contoh lain, usulan perubahan desain produk oleh departemen
pemasaran berdasarkan hasil riset pasar, bisa jadi kurang direspons positif oleh
departemen produksi jika dirasa hanya akan menimbulkan kerepotan dalam proses
produksi. Begitulah, masing-masing departemen atau divisi cenderung mengedepankan
kepentingan atau mission diri sendiri. Validitas gagasan perubahan akan dinilai pertamatama dari sudut pandang kepentingan masing-masing. Biasanya, egoisme departemental
atau divisional tersebut tumbuh subur dalam struktur organisasi yang mekanistik. Budaya
organisasi, sebagaimana disebutkan hampir 60 tahun yang lalu oleh Selznick (1948),
merupakan variabel independen yang sangat memengaruhi perilaku karyawan. Nilai-nilai
yang sudah terlembagakan melalui praktik perilaku organisasional dalam kurun waktu yang
cukup lama akan menjadi panduan otomatis perilaku para karyawan. Organisasi yang
memiliki budaya yang kuat, yakni yang ditandai dengan dipegang dan dianutnya nilai-nilai
inti organisasi secara intensif dan secara luas oleh anggota organisasi tersebut (Wiener,
1988), akan menyulitkan suatu perubahan organisasional yang menuntut berubahnya nilainilai inti tersebut. Dengan demikian, suatu organisasi yang sudah berpuluhtahun
mempraktikkan nilai-nilai budaya korup, etos kerja medioker atau bahkan minimalis, dan
business ethics yang rendah sudah barangtentu tidak mudah untuk berubah menjadi
organisasi yang berbudaya etis, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, beretoskerja tinggi,
dan berorientasi pada keunggulan. Kelompok-kelompok kerja, formal maupun non-formal
juga dapat menjadi penghalang upaya perubahan. Individu-individu yang ingin mengubah
perilaku kerjanya besar kemungkinan akan dihambat oleh norma kelompok yang tidak
sejalan. Tekanan kelompok dapat mengerem usaha-usaha individual maupun program
perubahan organisasional. Kelompok-kelompok dengan kohesivitas tinggi yang merasa
terancam akan kehilangan kenyamanannya atas penguasaan suatu sumber daya organisasi
mungkin akan melakukan perlawanan. Kebiasaan berpikir para pimpinan dan segenap
karyawan dalam menganalisis situasi dan merespons masalah dapat memerangkap mereka
dalam pola-pola pikir konvensional-organisasional (group think). Hal itu akan cenderung
menghalangi munculnya pemikiran segar yang diperlukan untuk perubahan. Dalam keadaan
demikian, penglihatan masalah dari sudut pandang yang berbeda dan pengajuan alternatif
solusi yang sama sekali lain, sulit muncul. Gagasan-gagasan baru, darimanapun datangnya,
cenderung dicurigai. Akhirnya, hambatan perubahan juga sering muncul dari keengganan
individual yang berasal dari faktor kebiasaan, ketidaksiapan, terusiknya rasa aman,
kekhawatiran akan berkurangnya penghasilan dan bertambahnya kerepotan, ketakutan
terhadap hal-hal yang belum dikenali, dan persepsi negatif yang berasal dari informasi
mengenai kegagalan-kegagalan upaya perubahan. Bidang Sasaran Perubahan Pada dasarnya
ada empat bidang organisasional yang bisa menjadi sasaran perubahan, yaitu struktur
organisasi, teknologi, setting fisik, dan sumber daya manusia (Robertson et. al., 1993).
Hal-hal yang bersifat struktural seperti pembagian kerja, sistem-sistem operasi, rentang
kendali, dan desain organisasi jika dirasa sudah tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada dapat diubah. Dapat dipertimbangkan perlunya dilakukan perubahan uraian
pekerjaan (job description), pengayaan pekerjaan (job enrichment), pelenturan jam
kerja, dan penerapan sistem imbalan yang lebih berbasis kinerja atau profit sharing.
Tanggungjawab departemental dapat digabung demi keefektifan dan efisiensi. Beberapa
lapisan vertikal dapat dihilangkan dan rentang kendali diperlebar demi mengurangi
birokratisasi dan menambah daya responsi organisasi terhadap dinamika lingkungan.
Aturan-aturan/prosedur yang dirasa menghambat kinerja bisa dipangkas, diganti dengan
aturan-aturan/prosedur yang diperlukan untuk meningkatkan standardisasi. Proses
pengambilan keputusan juga dapat dipercepat dengan meningkatkan desentralisasi.
Bahkan, jika desain organisasi dengan struktur sederhana (simple structure) dinilai tidak
lagi memadai, perlu dipertimbangkan memodifikasinya menjadi stuktur matriks, struktur
tim, atau bentuk lainnya. Mengubah teknologi seringkali diperlukan demi efektivitas kerja
karyawan dan peningkatan kinerja organisasi. Perubahan teknologis biasanya meliputi
mesin-mesin, peralatan kerja, metode kerja, dan yang paling mencolok dewasa ini adalah
otomatisasi atau komputerisasi. Otomatisasi menggantikan orang dengan mesin yang dapat
bekerja lebih cepat, lebih akurat dan lebih murah. Sistem informasi yang canggih
memudahkan pengelolaan dan pemanfaatan informasi secara menakjubkan. Mengenai
perubahan setting fisik, bukti empirik menunjukkan bahwa memang tidak sertamerta hal
itu berdampak besar pada kinerja individu maupun organisasi (Steele, 1986). Meskipun
demikian, setting fisik tertentu terbukti dapat membantu atau merintangi karyawankaryawan tertentu dalam berkinerja, sehingga dengan mengubahnya secara tepat kinerja
karyawan dan organisasi dapat ditingkatkan (Porras dan Robertson, 1992). Tata letak ruang
kerja dan peralatan serta desain interior yang dirancang dengan baik akan membantu
membangun suasana dan keefektifan kerja. Karyawan akan mudah saling berkomunikasi
dalam ruang kantor dengan desain terbuka, tanpa sekat-sekat dan dinding. Kenyamanan
untuk produktivitas kerja juga dipengaruhi oleh intensitas pencahayaan, suhu ruangan,
kebisingan, kebersihan, dekorasi maupun warna dinding. Akhirnya, bidang sasaran
perubahan yang paling crucial adalah sumber daya manusia (SDM), baik secara individual,
kelompok maupun keseluruhan anggota organisasi. Sebagai asset terpenting dan faktor
kunci keberhasilan suatu organisasi, SDM perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih
khusus. Perubahan SDM bisa terjadi meliputi penggantian orang (turnover), mutasi,
promosi, demosi; perubahan sikap, motivasi, dan perilaku kerja; peningkatan pengetahuan
dan ketrampilan kerja; dan perubahan nilai-nilai budaya organisasional yang menjadi dasar
acuan perilaku segenap anggota organisasi. Kepemimpinan yang Diperlukan untuk
Perubahan Mengingat pentingnya upaya perubahan organisasional di tengah lingkungan
yang berubah cepat dan bahkan acapkali bersifat diskontinyu, dan mengingat strategis dan
krusialnya bidang-bidang sasaran perubahan serta kompleksnya faktor-faktor yang dapat
merintangi upaya perubahan, maka perubahan organisasional seringkali tidak dapat
dibiarkan terjadi secara alamiah saja. Perubahan seringkali perlu dirancang, direkayasa
dan dikelola oleh suatu kepemimpinan yang kuat, visioner, cerdas, dan berorientasi
pengembangan -- sebagai agen perubahan. Perubahan memerlukan kepemimpinan yang
kuat dari segi otoritas yang dimilki maupun dari segi kepribadian dan komitmen karena
memimpin perubahan dengan segala kompleksitas permasalahan dan hambatannya
memerlukan power, keyakinan, kepercayaan diri, dan keterlibatan diri yang ekstra. Seperti
yang disebutkan oleh Zaleznik (1986), seorang pemimpin tidak boleh bersikap impersonal,
apalagi pasif terhadap tujuan-tujuan organisasi, melainkan harus mengambil sikap pribadi
dan aktif. Dengan begitu ia tidak akan mudah patah oleh hambatan dan perlawanan. Ia
justru akan bergairah menghadapi tantangan perubahan yang dipandangnya sebagai batu
ujian kepemimpinannya (Maxwell, 1995). Pemimpin perubahan juga harus visioner karena
ia harus sanggup melihat cukup jauh ke depan ke arah mana kapal organisasi harus
bergerak. Kotter (1990) menyebutkan bahwa memimpin perubahan harus dimulai dengan
menetapkan arah setelah mengembangkan suatu visi tentang masa depan, dan kemudian
menyatukan langkah orang-orang dengan mengomunikasikan penglihatannya dan
mengilhami mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan. Semua itu dilakukan tanpa harus
bersikap otoriter. Namun, meskipun ia mengundang partisipasi pemikiran dari anggota,
tongkat kepemimpinan tetaplah berada di tangannya. Kecerdasan juga sangat diperlukan
untuk kepemimpinan perubahan. Tanpa kecerdasan yang baik, ia akan mudah terombangambing dalam kebingungan. Kecerdasan sangat diperlukan karena pemimpin harus pandai
memilih strategi dan menetapkan program-program perubahan dan mengilhami teknikteknik pengatasan masalah yang sesuai dengan situasi dan kondisi organisasional yang ada
berserta dinamikanya. Kecerdasan yang diperlukan dalam hal ini adalah kecerdasan yang
Dalam merencanakan masa depan sebuah organisasi, seluruh bagian yang terlibat harus
diikutsertakan, sehingga akan tercipta strategic awareness, termasuk di dalamnya
mengikutsertakan seluruh jajaran ujung tombak (front liners), sehingga kemudian kita kenai
istilah CEO at all level.
Hal ini semata-semata dikarenakan terlalu banyak variasi permasalahan, dan terlalu banyak
keputusan yang belum ada dalam SOP (Standard Operation Procedures) namun harus tetap
diputuskan, hingga kadang front liners juga harus dapat mengambil keputusan, dalam
menyikapi perubahan yang dapat terjadi sewaktu-waktu.
Salah satu budaya yang tampaknya bisa mengikuti perubahan adalah seperti yang
dikembangkan di PT Telkom, yaitu Customers First!, karena walaupun telah bergonta-ganti
pimpinan, budaya ini tetap dianut. Namun perlu diberlakukan pembatasan, artinya hingga
sejauh mana para front liners dapat membuat keputusan, dan jika terdapat kesalahan
pengambilan keputusan, anggaplah itu sebagai uang sekolah yang harus dibayar, agar
sebuah organisasi menjadi lebih baik.
Di masa mendatang diharapkan seluruh bagian dalam sebuah organisasi, mengetahui dengan
baik kemana organisasi mereka akan bergerak, pemimpin yang efektif bertugas memimpin
namun lebih penting lagi, mendampingi proses perubahan tersebut. Sehingga di waktu
mendatang, jika terjadi pergantian pemimpin, itu tidak berarti harus terjadi perubahan secara
frontal.
Setiap perubahan seharusnya didasarkan atas keinginan organisasi untuk melayani kebutuhan
lingkungan dimana organisasi itu berada, bukan didasarkan atas keinginan pemimpin, selama
organisasi mampu mengikuti dan memenuhi perubahan itu, maka organisasi bisa berjalan
dengan baik.
Seorang pemimpin yang baru memulai kepemimpinannya, kadang dihadapkan pada budaya
yang harus diperbaharui dan budaya yang memang dapat dipertahankan. Namun perlu juga
diperhatikan, bahwa kadang ada budaya yang karena merasa telah mumpuni, sehingga
terkesan mentabukan perubahan, padahal budaya yang dianggap bagus itu, belum tentu dapat
menjawab tuntutan pasar atau tuntutan lingkungan yang telah berubah.
Solusinya budaya lama yang merasa bagus, itu harus diunlearn. Masalah yang kemudian
muncul ke permukaan adalah bagaimana menyadarkan, agar mereka mau menerima
perubahan. Banyak contoh yang memperlihatkan kepada kita, bagaimana sebuah
kepongahan ini menyebabkan terjadinya kegagalan.
Tengoklah pengalaman Ford dengan produksi mobil Model T, dimana semua mobil diberi
warna hitam, akibatnya masyarakat jenuh, demikian juga dengan IBM yang begitu percaya
dengan mainframe-nya, hingga kehadiran Apple dengan Personal Computer meyadarkan
IBM, jika mereka telah kalah langkah oleh Apple yang tidak sebanding dengan besarnya
nama IBM.
Kadang pemimpin dan para manajer terjebak pada proses diskusi yang panjang,
membicarakan alternatif solusi detail sebagai antisipasi terhadap perubahan lingkungan, dan
ketika tercapai kesepakatan, solusi yang dicoba untuk diimplementasikan, terjadi perubahan
baru telah terjadi lagi.
Demi melihat kenyataan ini tampaknya yang perlu untuk diperhatikan oleh segenap jajaran
pengambil keputusan, mereka hanya perlu memperhatikan dan memfokuskan diri pada visi
atau arah besar dari organisasi, sedangkan cara untuk mencapainya dapat dibuat fleksibel.
Tipologi pemimpin di era yang rentan terhadap perubahan ini dicirikan oleh beberapa hal:
pertama, pemimpin itu harus memiliki wawasan yang baik sehingga ia dapat mengetahui
kebutuhan di masa mendatang, siapa yang lebih cepat mengetahui arah perubahan ini, ia akan
menjadi pemenang.
Termasuk dalam hal ini pemimpin tersebut juga harus mampu meyakinkan para jajaran
dibawahnya bahwa satu-satunya cara untuk bertahan di era yang sangat sarat dengan
perubahan itu, adalah dengan melakukan perubahan itu sendiri.
Kedua, pemimpin harus bersikap partisipatif, karena rancangan visi harus diyakini oleh
seluruh organisasi bukan hanya diyakini oleh pemimpin saja, sehingga visi tersebut menjadi
milik semua pihak yang ada pada organisasi, dengan kata lain harus terbina apa yang dikenal
sebagai sense of ownership terhadap visi tersebut,
Ketiga, pemimpin tersebut harus dapat mensinergikan semua aktifitas yang terjadi dalam
organisasi, sehingga organisasi dapat bergerak dengan arah yang pasti dan memfokuskan
pada satu tujuan.
Keempat, pemimpin tersebut juga dituntut hal ini diupayakan pemimpin tersebut juga dituntut
untuk dapat melakukan management of diversity, pemimpin yang baik harus dapat memanage kebhinnekaan.
Hal ini menjadi menarik untuk dipahami, mengingat ke depannya ada semangat untuk
melakukan desentralisasi, yang berujung pada empowerment. Kaitannya dengan hal ini gaya
kepemimpinan gaya militer dengan sistem satu komando tidak dapat diberlakukan lagi.
Setelah ia dapat menyesuaikan dengan perubahan, maka pemimpin tersebut harus dapat
menyusun strategi baru untuk menghadapi perubahan selanjutnya, demikian seterusnya,
karena perubahan tidak akan pernah berhenti, melelahkan namun harus tetap dilakukan, jika
tak ingin organisasinya hanya menjadi sebuah catatan sejarah sebagai sebuah organisasi yang
gaga!
*Tulisan dimuat di majalah Manajemen no. 157, September 2001. H. 56.
Pemimpin harus memiliki kredibilitas dan reputasi yang hebat, agar ia mampu memberikan
inspirasi dan motivasi kepada setiap orang. Momotivasi dan menginspirasi setiap orang
dalam setiap detik di kehidupan mereka, untuk bersemangat dan bangkit bersama dengan
perubahan baru. Dan membuat setiap orang menyadari bahwa perubahan itu penting, untuk
mengubah hal-hal yang tertinggal zaman dengan hal-hal baru
yang sesuai peradaban