You are on page 1of 2

Kantung embrio merupakan mametofit betina yang berkembang dalam struktur

bakal biji (ovele) yang terbungkus oleh ovarium atau bagian pangkal putik.
Elrod, S., dan Stansfield, W. 2007. Schaums Genetika edisi 4. Penerbit Erlangga.
Jakarta.

Tahapan dari perkembangan kantung embrio atau gametofit betina diawali dengan adanya
bakal biji mengandung sporangium yang terbentuk di dalam ovarium. Satu sel yang ada
dalam sporangium mengalami proses megasporosit yang tumbuh dan mengalami meiosis.
Setelah mengalami meiosis, dihasilkan empat megaspora haploid. Pada angiosperma, hanya
satu diantara megaspora tersebut yang akan bertahan hidup. Megaspora ini akan terus tumbuh
dan nukleusnya membelah melalui mitosis yang berlangsung selama tiga kali dan
menghasilkan satu sel besar dengan delapan nukleus haploid. Struktur membran inilah yang
disebut dengan kantung embrio atau gametofit betina. Pada salah satu ujung kantong embrio
terdapat tiga sel, sel telur dan gamet betina, dan dua sel sinergit yang menggapit telur. Pada
ujung yang berlawanan terdapat tiga sel antipodal. Kedua nukleus lainya disebut dengan
nukleus polar tidak dibagi kedalam sel-sel yang terpisah akan tetapi berbagi sitoplasma sel
pusat yang besar pada kantung embrio tersebut. Bakal biji sekarang terdiri dari kantung
embrio dan intergumen (lapisan pelindung jaringan sporofit yang terletak di sekitar kantung
embrio (
Campbell, N. A., dan Jane B. R. 2003. Biologi 2 Edisi 5. Erlangga. Jakarta.

Menurut Arizona (2000) dalam Septina (2004) serbuk sari atau polen adalah alat
reproduksi jantan yang terdapat pada tumbuhan dan mempunyai fungsi yang
sama dengan sperma sebagai alat reproduksi jantan pada hewan. Serbuk sari
terletak pada kepala sari (antera), tepatnya dalam kantung yang disebut ruang
serbuk sari (theca) (Septina, 2004).
Setelah berada pada kepala putik, pollen akan berkecambah. Lama waktu yang
dibutuhkan oleh pollen untuk berkecambah sangat bervariasi untuk setiap jenis
tumbuhan.Pada proses perkecambahan pollen akan mengalami pertambahan ukuran karena
mengabsorpsi cairan yang ada pada permukaan kepala putik (Stigma), dan
desakan intin melalui lubang perkecambahan. Suatu buluh kecil tumbuh memanjang,
menembus jaringan stigma dan stilus (tangkai putik). Pada umumnya buluh pollen
bertipe monosifonus, tetapi ada yang mempunyai buluh banyak seperti
pada Malvaceae, Cucurbitaceae dan Campanulaceae. Keadaan ini disebut polisifonus.
Pada Althaea rosea mempunyai 10 buluh pollen, sedang pada Malva neglecta 14
buluh. Stigma merupakan bagian yang berperanan penting dalam perkecambahan
pollen.Setelah buluh muncul dari butir pollen, buluh tersebut mencari jalan pada
permukaan papila stigma, misalnya pada Gossypium atau melalui lapisan dinding
stigma yang sel-selnya terdiri atas pektoselulosa misalnya pada Lilium, ke dalam
jaringan stilus (Septina, 2004).
Manfaat dari kita mengamati pollen dan kantung embrio adalah agar kita tau berapa jumlah
pollen yang viabel untuk menentukan keberhasilan proses polinasi yang nantinya akn diikuti

dengan pembentukan buluh serbuk sari atau perkecambahan serbuk sari, karena tanpa adanya
pembentukan buluh serbuk sari, tidak akan terjadi fertilisasi (budiwati,2014). Pada pengamatan
kantung embrio

Viabilitas polen juga dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, perbedaan genotip,


vigor, dan fisiologi tanaman, dan umur bunga (Nyine dan Pillay, 2006 dalam
widiastuti dan palupi, 2008 ). Viabilitas polen, yang ditunjukkan oleh daya
berkecam- bah, tetap tinggi setelah disimpan enam bulan dan masih dapat
digunakan untuk menyerbuk, tetapi panjang tabung sari selama pengecambahan
berkurang (data tidak ditunjukkan), yang mengindikasikasikan terjadinya
penurunan vigor polen ( widiastuti dan palupi, 2008).
Widiastuti, A., dan Palupi, E. R. 2008. Viabilitas serbuk sari dan pengaruhnya terhadap
keberhasilan pembentukan buah kelapa sawit (elaeis guineensis Jacq.). Jurnal biodiversitas 1 (9)
35-38.

Budiwati. 2014. Pemanfaatan Perkecambahan serbuk sari tapak dara (Vinca


rosea L.) Secara In Vitro Sebagai Alternatif Bahan Praktikum Biologi
Perkembangan . jurnal pendidikan matematika dan sains 1 (2) 75-84.

You might also like