Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang ditandai dengan defisit neurologis
fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam dan berhubungan dengan gangguan
pembuluh darah intrakranial atau ekstrakranial. Faktor resiko penyebab stroke berupa
hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemia, hiperhomosisteinemia, dan merokok. Hipertensi
merupakan faktor resiko utama penyebab stroke, sehingga penanganan yang baik pada
hipertensi dapat menurunkan insiden dan angka kematian akibat stroke (Ropper AH et al,
2014).
Stroke dapat menyebabkan terjadinya disabilitas jangka panjang. Malnutrisi
merupakan keadaan yang sering ditemukan setelah kejadian stroke. Kemampuan untuk
mengkonsumsi nutrisi oral yang adekuat dipengaruhi oleh berbagai faktor non nutrisi seperti
kekuatan lengan, koordinasi, kesadaran, disfagi, dan depresi. Oleh karena itu, modifikasi
faktor resiko nutrisi dalam mencegah stroke dan modifikasi nutrisi untuk disfagia perlu
mendapat perhatian (Corrigan M et al, 2011).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Stroke atau cerebral vascular accident merupakan sindroma klinis dengan gejala
berupa gangguan fungsi otak secara lokal maupun global yang dapat menyebabkan kematian
atau kelainan yang menetap yang disebabkan oleh gangguan vaskuler (Ropper AH et al,
2014).
2.2
Faktor Resiko
Faktor
resiko
untuk
terjadinya
stroke
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan
Hypercoagulability
Inflamasi
Infeksi
2.3
Patofisiologi
Dua prinsip utama proses patologi stroke adalah tersumbatnya arteri yang
menyebabkan iskemi serebri atau infark, dan ruptur arteri yang menyebabkan perdarahan
intrakranial. Stroke emboli terjadi ketika plak kolesterol terlepas dari pembuluh darah
proksimal kemudian plak tersebut menuju ke otak dan memblok arteri, pada umumnya arteri
yang terkena adalah arteri serebri media. Pada pasien dengan disfungsi atrium jantung,
bekuan darah dapat lepas dan menyebabkan emboli. Pada stroke trombotik, plak kolesterol
lepas saat terjadi ruptur arteri dan platelet secara bertahap bergabung lalu menyebabkan
sumbatan pada arteri. Sebagian besar stroke terjadi melalui proses tromboemboli yang bisa
diperburuk oleh aterosklerosis, hipertensi, diabetes dan gout (Ropper AH et al, 2014).
Stroke hemoragik intrakranial jarang terjadi (15% dari insidensi stroke), namun jenis
stroke ini dapat menyebabkan kondisi yang fatal dalam waktu yang singkat. Perdarahan
intraparenkim merupakan salah satu tipe perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi.
Perdarahan intrakranial paling sering terjadi pada individu dengan hipertensi (Ropper AH et
al, 2014).
2.4
Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi adalah edema cerebri yang terjadi pada 24 jam sampai
48 jam pertama setelah stroke. Berbagai komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sebagai
berikut (Ropper AH et al, 2014):
Kejang
Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Kejang pada
umumnya dapat memperberat terjadinya defisit neurologik
Nyeri kepala
Nyeri kepala yang terjadi umunya hebat dan tidak menetap. Penatalaksanaan terhadap
kondisi ini membutuhkan analgetik.
Emboli pulmonal
Emboli pulmonal sering bersifat letal namun dapat juga terjadi tanpa gejala. Pada
pasien ini juga sering kali disertai dengan Deep Vein Thrombosis (DVT)
Abnormalitas jantung.
Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, terjadi secara bersamaan atau dapat
merupakan akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita
komplikasi gangguan ritme jantung.
Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia
Dengan menggunakan fluoroskopi, diketahui bahwa 64% penderita stroke menderita
gangguan fungsi menelan. Pneumonia juga dapat disebabkan oleh kondisi lain, seperti
imobilitas, hipersekresi, dll.
Kelainan metabolik dan nutrisi
3
Kondisi kekurangan nutrisi yang berlarut-larut biasanya terjadi pada pasien usia
lanjut. Kondisi malnutrisi ini dapat menjadi penyebab menurunnya fungsi neurologis,
disfungsi jantung dan gangguan gastrointestinal dan abnormalitas metabolisme tulang.
Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia urine
Kondisi ini dapat terjadi akibat pemasangan dauer kateter, gangguan fungsi kandung
kemih atau sfingter uretra eksternum yang merupakan gejala sisa dari stroke.
Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Kondisi ini dapat
merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid jangka panjang pada pasien stroke.
Oleh karena itu, penggunaan antagonis H2 dianjurkan pada pasien stroke.
Dehidrasi
Penyebab dehidrasi ini diantaranya meliputi gangguan menelan, imobilitas, gangguan
komunikasi, dll.
Hiponatremi
Kondisi ini diduga karena kehilangan garam yang berlebihan.
Hiperglikemia.
Pada 50% pasien stroke tanpa diabetes mellitus sebelumnya, dapat terjadi
hiperglikemia. Kondisi ini pada umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak
baik.
Hipoglikemia.
Kondisi ini dapat disebabkan karena kurangnya intake makanan dan efek samping
dari obat-obatan yang dapat menyebabkan turunnya kadar gula darah
2.5
2.5.1
Diet stroke terdiri dari diet stroke I, IIa, IIb, dan IIc. Dalam diet stroke ada beberapa
makanan yang dianjurkan dan ada juga yang tidak dianjurkan. Diet stroke I diberikan kepada
pasien dalam fase akut atau bila ada ganggguan fungsi menelan. Oleh karena itu diet stroke I
berupa makanan yang lebih mudah ditelan yaitu makanan diberikan dalam bentuk cair kental
atau kombinasi cair jernih dan cair kental yang diberikan peroral atau enteral melalui NGT
(Naso Gastic Tube) sesuai dengan keadaan penyakit. Berbeda halnya dengan diet stroke II,
diet stroke II diberikan kepada pasien pada fase pemulihan atau sebagai makanan
perpindahan dari diet stroke I. bentuk makanan diet stroke II dapat berupa kombinasi cair
jernih, cair kental, saring, lunak, dan biasa. Pemberian diet pada pasien stroke disesuaikan
dengan penyakit penyertanya. Diet Stroke II dibagi menjadi diet stroke IIa, IIb, dan Iic
(Almatsier S, 2009).
Tabel 2.1 Bahan Makanan yang Dianjurkan dan yang Tidak Dianjurkan pada Diet Stroke (Almatsier
S, 2009).
Golongan Bahan
Dianjurkan
Tidak Dianjurkan
Makanan
Sumber Karbohidrat
terbatas
Sumber Protein
Nabati
jumlah terbatas
Sayuran berserat sedang
dan asin
Minyak kelapa sawit, margarin dan
Sayuran
Buah-buahan
Sumber Lemak
santan encer
Teh, kopi, cokelat dalam jumlah
sirup
dan alkohol
a. Diet Stroke I
Diet stroke I memiliki bahan makanan tersendiri dimana masing-masing bahan
makanan pada diet stroke tipe I memiliki nilai gizi tersendiri untuk diberikan pada pasien
stroke.
Tabel 2.2 Bahan Makanan pada Diet Stroke I (Almatsier S, 2009).
Bahan Makanan
Berat (gram)
URT
Maizena
25
5 sendok makan
Telur ayam
50
1 butir
6
25
5 sendok makan
120
24 sendok makan
Buah
120
Minyak jagung
20
2 sendok makan
Gula pasir
100
10 sendok makan
Cairan
1500 ml
6 gelas
Tabel 2.3 Nilai Gizi pada Bahan Makanan Diet Stroke I (Almatsier S, 2009).
Diet Stroke I
1361
56
34
8,4
211
1869
6,1
1573
0,6
166
213
b. Diet Stroke II
Diet stroke II dibagi dalam tiga tahap, yaitu diet stroke II A berupa makanan cair dan
bubur saring (1700 kkal), diet stroke II B berupa makanan lunak (1900 kkal) dan diet stroke II
C berupa makanan biasa (2100 kkal) (Almatsier S, 2009).
Tabel 2.4 Bahan Makanan pada Diet Stroke I (Almatsier S, 2009).
Kandungan Gizi
Energi
Bahan (kkal)
Protein (g)
Makanan
Lemak (g)
Lemak Jenuh (g)
Beras
Karbohidrat (g)
Tepung
KalsiumBeras
(mg)
Besi
(mg)
Maizena
Vitamin A (RE)
Telur
Ayam
Tiamin
(mg)
Vitamin
C (mg)
Ikan
Kolesterol (mg)
Tempe
Diet Stroke II A
1718Stroke II A
Diet
69
Berat
URT
41 5,8
(g)
272
1296
12515,9
20 sdm
20 6705
4 sdm
0,8
50 272
1 btr
75 258
1 ptg bsr
Diet Stroke II B
1917
Diet Stroke II B
73
Berat
URT
52
(g)
7,3
200 4 gls tim
293
835
19,6
20
4 sdm
8940
1 btr
0,850
213
100 2 ptg sdg
273
100 4 ptg sdg
Diet Stroke II C
2102Diet Stroke II C
78Berat
URT
59
8 (g)
250 3 gls
318
nasi
862 20,620
11458
4 sdm
0,9 50
232 100 1 btr
273
100 2 ptg sdg
50
2 ptg bsr
Sayuran
100
1 gls
150
1 gls
200
4 ptg sdg
Pepaya
300
3 ptg sdg
200
2 ptg sdg
200
2 gls
Minyak Jagung
25
2 sdm
30
3 sdm
35
2 ptg
Gula pasir
40
4 sdm
50
5 sdm
30
3 sdm
Gula merah
25
2 sdm
3 sdm
80
16
40
8 sdm
40
8 sdm
Tabel 2.5. Nilai Gizi Bahan Makanan untuk Diet Stroke II (Almatsier S, 2009).
2.5.2
tidak hanya dapat mengalami dehidrasi dan malnutrisi namun juga dapat mengalami
pneumonia aspirasi. Oleh karena disfagia memiliki potensi besar dalam meningkatkan
morbiditas dan mortalitas diperlukan deteksi dini serta tatalaksana nutrisional untuk pasien
stroke. Saat datang ke rumah sakit, pasien dengan stroke akut harus diskrining terhadap
fungsi menelan oleh tenaga kesehatan terlatih sebelum memberikan makanan secara oral,
cairan, ataupun pengobatan. Penilaian fungsi menelan ini paling tidak telah dilakukan dalam
24 jam pertama dan tidak lebih dari 72 jam (Wirth R et al, 2013).
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan menelan akibat gangguan pada proses
menelan. Berdasarkan letak anatomis, disfagia dapat dibagi menjadi orofaringeal dan
esophageal. Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi menjadi disfagia mekanik dan disfagia
motorik. Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus. Disfagia
motorik disebabkan oleh kelainan neuromuskuler yang berperan dalam proses menelan. Lesi
di pusat menelan (batang otak), kelainan saraf otak N.V, VII, IX, X, XII, kelumpuhan otot
faring dan lidah serta gangguan peristaltik esofagus dapat menyebabkan disfagia (Remig VM,
2008).
Gangguan fungsi otot dan saraf pada refleks menelan yang disebabkan oleh kerusakan
otak pasca stroke dapat menimbulkan disfagia (40%-60%). Penurunan kesadaran, kelemahan
fisik, atau gangguan koordinasi pada refleks menelan juga berperan pada terjadinya disfagia.
Sebagian besar pasien dengan disfagia mengalami perbaikan fungsi menelan 1 bulan setelah
serangan stroke, akan tetapi sebanyak 40% pasien tetap mengalami disfagia selama 1 tahun
setelah serangan (Corrigan M et al, 2011).
Penatalaksanaan disfagia mencakup pengaturan diet, pengenalan teknik menelan yang
baik, dan pemberian nutrisi secara enteral. Terapi nutrisi pada disfagia telah distandardisasi
oleh American Dietetic Association melalui National Dysphagia Diet (NDD), dimana
sebelum terapi diberikan pasien dianjurkan untuk menjalani evaluasi untuk menentukan
derajat disfagia (Corrigan M et al, 2011).
The NDD terdiri dari 3 level dari makanan padat (dysphagia pureed, dysphagia
mechanically altered, dysphagia anvanced).
Level 1 NDD (pureed) dirancang untuk pasien yang menderita disfagi derajat sedangberat dengan kemampuan oral yang lemah dan menurunnya kemampuan untuk
melindungi jalan nafas mereka sendiri. Diet ini terdiri dari bubur, homogen, dan
makanan cohesive yang memiliki tekstur seperti puding. Makanan dengan tekstur
yang kasar seperti kacang, buah mentah, dan sayuran tidak dianjurkan.
Level 2 NDD (mechanically altered) terdiri dari makanan yang sedikit basah dan
tekstur yang halus. Diet ini digunakan sebagai transisi dari tekstur yang lunak ke
tekstur yang lebih padat. Pasien dengan kemampuan mengunyah yang adekuat dan
disfagi orofaringeal derajat ringan-sedang sangat cocok untuk diet ini. Semua
Fase pertama disebut juga preparatory phase. Fase ini berfokus pada stabilitas
nutrisi dan kondisi medis, kemampuan menelan, pemberian makan melalui tube
Pada pasien dengan disfagia berat, nutrisi enteral (EN) dengan selang nasogastrik atau
melalui Percutaneus Endoscopic Gastrostomy (PEG) merupakan pilihan utama. Pemberian
nutrisi melalui pipa nasogastrik dan PEG sangat efektif untuk menunjang nutrisi awal pada
pasien stroke. Namun, apabila terdapat kontraindikasi terhadap makanan enteral seperti usus
yang tidak dapat berfugsi secara normal dan tidak tercukupinya kebutuhan gizi yang
diberikan melalui EN atau adanya kesulitan dalam penempatan pipa nasogastrik dan PEG,
nutrisi parenteral merupakan pilihan yang dapat digunakan. Dibandingkan dengan nutrisi
parenteral, EN menunjukkan keuntungan fisiologis, lebih murah, dan komplikasi yang lebih
sedikit (Corrigan M et al, 2011).
Nutrisi Enteral
Nutrisi Enteral merupakan intervensi terhadap malnutrisi dengan biaya relatif murah,
dapat mempertahankan atau meningkatkan status gizi, dan mengurangi komplikasi akibat
kekurangan gizi. Pada umumnya, pasien stroke membutuhkan dukungan nutrisi enteral
minimal selama 6 minggu dan beberapa pasien stroke membutuhkan dukungan nutrisi enteral
sepanjang sisa hidupnya (Corrigan M et al, 2011).
Table 2.6 Indikasi pemberian nutrisi enteral pada pasien stroke (Corrigan M et al, 2011).
Indikasi pemberian nutrisi enteral
Disfagia
Asupan nutrisi tidak adekuat karena
(i) Penurunan kesadaran
(ii) Depresi
(iii)Kebersihan oral yang buruk
(iv)Xerostomia
(v) Keterbatasan gerak
(vi) Kelemahan otot wajah dan ekstremitas
10
(vii) Fatigue
(viii) Gangguan penglihatan, bicara dan bahasa
(xi) Defisit kognitif
Peningkatan kebutuhan metabolic
Risiko aspirasi akibat pemberian nutrisi secara pipa nasogastrik dapat dikurangi
dengan follow up yang lebih sering dengan pemantauan volume residu dan menaikkan derajat
sandaran kepala pada tempat tidur. Pemasangan pipa nasogastrik mudah untuk dilakukan dan
apabila terdapat perbaikan pada reflek menelan, pipa nasogastrik dapat dengan mudah
dilepas. Kelebihan lain pemasangan pipa nasogastrik adalah memungkinkannya pengukuran
residu lambung dan pipa ini tidak gampang tersumbat. Penempatan pipa nasogastrik yang
tepat pada pasien tanpa resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, dapat disetai dengan
pemberian makanan oral dalam jumlah terbatas sebagai tahap awal untuk latihan menelan
(Corrigan M et al, 2011).
Percutaneus Endoscopic Gastrostomy (PEG)
PEG digunakan pada pasien yang tidak dapat menelan setelah beberapa minggu
serangan stroke. PEG lebih efektif dalam mempertahankan status gizi dibandingkan
pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dan berpotensi mengurangi risiko aspirasi
penumonia. Namun, pemasangan PEG merupakan prosedur invasif dan waktu yang tepat
untuk pemasangan PEG belum jelas. Dalam percobaan FOOD (Feed or Ordinary Diet) trial,
pasien stroke akut dengan disfagia yang menggunakan PEG selama 1-2 minggu pertama
setelah stroke akut memiliki hasil lebih buruk dibandingkan pasien yang makan melalui pipa
nasogastrik (Rofles R et al, 2009).
Pengambilan keputusan pemasangan PEG dipengaruhi oleh tingkat keparahan stroke
dan kebutuhan perawatan intensif. Pasien dengan skor NIHSS (National Institutes of Health
Stroke Scale) >16 tanpa pneumonia aspirasi atau pasien dengan skor NIHSS >12 dengan
pneumonia aspirasi memerlukan pemasangan PEG lebih awal. Namun, baik pipa nasogastric
maupun PEG dapat mengurangi resiko pneumonia aspirasi. Komplikasi dari pemasangan
NGT dapat dikurangi dengan pemantauan yang baik, pemilihan formula enteral yang tepat,
skrining status klinis dan kebutuhan gizi (Rofles R et al, 2009).
BAB 3
PENUTUP
11
3.1
Kesimpulan
Stroke merupakan sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara
lokal maupun global yang dapat menyebabkan kematian atau kelainan yang menetap yang
disebabkan oleh gangguan vaskuler. Peningkatan insidensi stroke pada negara berkembang
diperkirakan berasal dari usia lanjut, perubahan gaya hidup dan diet yang meningkatkan
resiko terjadinya stroke. Sebagian besar dari faktor resiko yang menyebabkan stroke
dipengaruhi oleh diet dan asupan nutrisi. Hubungan pola makan dan stroke sangat kompleks.
Stroke dapat menyebabkan terjadinya disabilitas jangka panjang.
Stroke dapat mempengaruhi kemampuan makan tergantung dari tipe dan tingkat
keparahan stroke. Pasien stroke tidak jarang mengalami disfagia, gangguan pengecapan atau
ageusia, gangguan motorik sehingga pasien tidak bisa makan sendiri atau tidak nafsu makan.
Semua keadaan ini pada akhirnya berakibat penurunan status gizi. Dibutuhkan diet khusus
bagi penderita stroke sehingga dapat memberi manfaat yang maksimal bagi pasien stroke.
Selain itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam diet stroke antara lain jumlah dan
jenis energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, serat dan cairan harus cukup
sesuai dengan kebutuhan pasien stroke.
DAFTAR PUSTAKA
12
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Bouziana SD, Tziomalos K. Malnutrion in Patients with Acute Stroke. Journal of Nutrition
and
Metabolism;
2011,
10.1155:1
7.Available
from:
&
Translational
Stroke
Medicine
2013;
5:14
Available
from:
13