You are on page 1of 3

Klasifikasi perawat menurut Depkes RI (2004)

terdiri dari perawat pengelola dan perawat


pelaksana. Perawat pelaksana dalam pelayanan
kesehatan di rumah sakit mempunyai tugas
pokok dan fungsi (tupoksi) dalam pelayanan di
rumah sakit meliputi pelaksanaan asuhan
keperawatan serta kegiatan yang mendukung
pelayanan keperawatan di rumah sakit. Khusus
untuk pelayanan kegawatdaruratan, seorang
perawat pelaksana seharusnya yang telah pernah
mengikuti pelatihan Basic Trauma Cardiac Life
Support (BTCLS).
Dalam konteks pelayanan kegawatdaruratan, aspek
asuhan keperawatan pada tahap pelaksanaan merupakan hal
yang sangat penting diperhatikan, karena dalam tahap
pelaksanaan/implementasi ini harus mengacu kepada doktrin
dasar pelayanan gawat darurat yaitu: time saving is life saving
(waktu adalah nyawa), dengan ukuran keberhasilan adalah
respons time (waktu tanggap) selama 5 menit dan waktu
definitif 2 jam (Basoeki dkk, 2008).
Lingkup pelayanan kegawatdaruratan adalah
melakukan primary survey, tanpa dukungan alat bantu
diagnostik kemudian dilanjutkan dengan secondary survey
Universitas Sumatera Utara
menggunakan tahapan ABCD yaitu: A : Airway
management; B : Breathing management; C :
Circulation management; D : Drug Defibrilator
Disability (Basoeki dkk, 2008).
Salah satu indikator yang menunjukkan kinerja
perawat dalam pelayanan kegawatdaruratan
adalah tingkat kematian yang terjadi di instalasi
gawat darurat. Menurut Indikator Kinerja Rumah
Sakit (Depkes RI, 2005), persentase keselamatan
pasien di rumah sakit adalah 100%. Dengan
demikian kematian pasien di instalasi gawat
darurat rumah sakit menunjukkan tingkat kinerja
tenaga keperawatan yang bekerja di unit
pelayanan tersebut. Angka kematian yang tinggi
menunjukkan
pelayanan
keperawatan
kegawatdaruratan yang rendah.
Pada dasarnya kinerja perawat dalam pelayanan di
rumah sakit menekankan apa yang dihasilkan dari fungsifungsi suatu pekerjaan atau apa yang keluar (out-come), apa
yang dilakukan dalam suatu asuhan keperawatan
kegawatdaruratan merupakan suatu proses penanganan pasien
dengan konsep penyelamatan jiwa pasien tersebut.
Penggunaan indikator kunci untuk mengukur hasil kinerja
individu, bersumber dari fungsi-fungsi yang diterjemahkan
dalam kegiatan/tindakan dengan landasan standar yang jelas
dan tertulis. Mengingat kinerja mengandung komponen
kompetensi dan produktivitas hasil, maka hasil kinerja sangat
tergantung pada tingkat kemampuan individu dalam
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, berdasarkan asuhan
keperawatan kegawatdaruratan (Nursalam, 2007).

Fungsi igd adalah untuk menerima, menstabilkan


dan mengatur pasien yang menunjukkan gejala yang bervariasi
dan gawat serta juga kondisi-kondisi yang sifatnya tidak
gawat. IGD juga menyediakan sarana penerimaan untuk
penatalaksanaan pasien dalam keadaan bencana, hal ini
merupakan bagian dari perannya di dalam membantu keadaan
bencana yang terjadi di tiap daerah.
Agar hubungan kolaborasi dapat optimal, semua
anggota profesi harus mempunyai keinginan untuk
bekerjasama. Perawat dan dokter merencanakan dan
mempraktekkan sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan
dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagai nilai-nilai
dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang
berkonstribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan
masyarakat.
Perawat sebagai anggota membawa perspektif yang
unik dalam tim inter disiplin. Perawat memfasilitasi dan
membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai
penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan
kesehatan. Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis,
mengobati dan mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter
menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat
dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota
tim lain sebagai membuat relevan pemberian pengobatan
Dasar-dasar Komperensi Kolaborasi
a. Komunikasi
Komunikasi sangat dibutuhkan dalam berkolaborasi, karena
kolaborasi membutuhkan pemecahan masalah yang lebih
komplek, dibutuhkan komunikasi efektif yang dapat
dimengerti oleh semua anggota tim.
b. Respek dan kepercayaan
Respek dan kepercayaan dapat disampaikan secara verbal
maupun non verbal serta dapat dilihat dan dirasakan dalam
penerapannya sehari-hari.
c. Memberikan dan menerima feed back
Feed back dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola
hubungan, harga diri, kepercayaan diri, emosi, lingkungan
serta waktu, feed back juga dapat bersifat negative maupun
positif.
d. Pengambilan keputusan
Dalam pengambilan keputusan dibutuhkan komunikasi untuk
mewujudkan kolaborasi yang efektif guna menyatukan data
kesehatan pasien secara komperensip sehingga menjadi
sumber informasi bagi semua anggota tm.
e. Manajemen konflik
Untuk menurunkan komplik maka masing-masing anggota
harus memahami peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi
persepsi dan harapan, mengidentifikasi kompetensi,
mengidentifikasi tumpang tindih peran serta melakukan
negosiasi peran dan tanggung jawabnya.
Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada
beberapa kriteria, yaitu: (1) adanya saling

percaya dan menghormati, (2) saling memahami


dan menerima
Universitas Sumatera Utara
keilmuan masing-masing, (3) memiliki citra diri
positif, (4) memiliki kematangan professional yang setara
(yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), (5) mengakui
sebagai mitra kerja bukan bawahan, dan (6) keinginan untuk
bernegoisasi. Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah
adanya perasaan saling ketergantungan (interdefensasi) untuk
kerjasama dan bekerjasama. Bekerjasama dalam suatu
kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama
mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan atau
target yang telah ditentukan dapat tercapai. Selain itu
menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu
alat untuk berkomunikasi antara profesi secara formal tentang
asuhan klien. Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika : 1)
semua profesi memiliki visi dan misi yang sama, 2) masingmasing profesi mengetahui batas-batas dari pekerkaannya, 3)
anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik, 4)
masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain
yang bergabung dalam tim.
Peran Perawat Dalam Pelayanan Ke gawat
Daruratan .
Misi UGD : Secara pasti memberikan perawatan yang
berkualitas terhadap pasien dengan cara penggunaan sistem
yang efektif serta menyeluruh dan terkoordinasi dalam :
a. Perawatan pasien gawat darurat.
b. Pencegahan cedera.
c. Kesiagaan menghadapi bencana.
Menanggulangi pasien dengan cara aman dan terpercaya :
a. Evaluasi pasien secara cepat dan tepat.
b. Resusitasi dan stabilisasi sesuai prioritas.
c. Menentukan apakah kebutuhan penderita melebihi
kemampuan fasilitas.
d. Mengatur sebaik mungkin rujukan antar RS (apa, siapa,
kapan, bagaimana).
e. Menjamin penanggulangan maksimum sudah diberikan
sesuai kebutuhan pasien.
Petugas medis harus mengetahui :
a. Konsep dan prinsip penilaian awal serta penilaian setelah
resusitasi.
b. Menentukan prioritas pengelolaan penderita.
c. Memulai tindakan dalam periode emas.
d. Pengelolaan ABCDE.
menurut Kramer &
Schmalenberg (2003) ; Weiss & Davis (1985) ;
Bagss(1994) elemen
penting untuk mencapai kolaborasi yang efektif
a. Kerjasama .
Adalah menghargai pendapat orang lain, bersedia
untuk memeriksa
beberapa alternatif pendapat dan bersedia
merubah kepercayaan.
b. Asertifitas .
Adalah kemauan anggota tim kolaborasi untuk
menawarkan informasi,
menghargai pendekatan masing masing disiplin
ilmu dan pengalaman
individu,individu dalam tim mendukung pendapat
yang lain, menjamin

bahwa pendapat masing masing individu benarbenar didengar dan


adanya konsensus bersama yang ingin dicapai.
c. Tanggung jawab.
Tanggung jawab disini berarti masing masing
individu harus
mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari
hasil konsensus
bersama
dan
harus
terlibat
dalam
pelaksanaannya,
mempertanggungjawabkan
keputusan
dan
tindakan yang telah dibuat,baik tanggung jawab
masing masing individu sebagai profesi,
maupun tanggungjawab bersama sebagai satu
tim dalam pengelolaan
d. Komunikasi.
Artinya bahwa setiap anggota harus untuk
membagi informasi penting
mengenai perawatan pasien dan issu yang
relevan untuk membuat
keputusan klinis, secara terbuka mampu untuk
mengemukakan ide ide
dalam pengambilan keputusan pengelolaan
pasien.
e. Otonomi.
Mencakup kemandirian (independent) anggota tim
dalam batas
kompetensinya.
Otonomi
bukan
berarti
berlawanan dari makna kolaborasi. Justru dengan
otonomi masing masing profesi mempunyai
kebebasan mempraktekkan ilmu dan mengelola
pasien sesuai kompetensi .
f. Kordinasi.
Koordinasi diperlukan untuk efisiensi organisasi
yang dibutuhkan dalam
perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan
menjamin orang yang berkualifikasi dalam
menyelesaikan permasalahan.
g. Tujuan umum .
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum,
konstribusi
praktisi
profesional, kolegalitas,
komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada
pasien. Kolegalitas menekankan pada saling
menghargai, dan pendekatan profesional untuk
masalah-masalah
dalam
team
dari
pada
menyalahkan seseorang atau atau menghindari
tangung jawab.
h. Mutual respect and trust. Norsen (1995)
menyarankan konsep ini dimana dia mengartikan
sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi
suatu proses dinamis antara orang-orang ditandai
oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan
kepuasan setiap anggota. Kepercayaan
adalah konsep umum untuk semua elemen
kolaborasi. Tanpa rasa percaya, kerjasama tidak
akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar
dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi,
otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan
terjadi

Eugenia, L.Siegle.,Fay W Whitney., Kolaborasi


Perawat Dokter ,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
1996.
Werdati S, Kolaborasi dan Kemitraan, Magister
Managemen Rumah

Sakit Fakultas Kedokteran Universitas


Gadjah Mada ,2005.
Sri Astutik, Evaluasi Praktek Kolaborasi Perawat
dengan Dokter di ruang
VIP RSUD Pare, Kediri, 2003

You might also like