You are on page 1of 22

REFERAT PATOLOGI ANATOMI

BLOK SISTEM RESPIRASI


ASMA BRONKIAL

Disusun oleh :
Kelompok 1B
Imelda Widyasari S.

G1A011002

Gilang Rara Amrullah

G1A011004

Raditya Bagas Wicaksono

G1A011006

Asisten:
Rinda Puspita Angguningtyas
G1A010033

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013

HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT PATOLOGI ANATOMI
BLOK SISTEM RESPIRASI
ASMA BRONKIAL

Kelompok 1B

Disusun

Imelda Widyasari S.

G1A011002

Gilang Rara Amrullah

G1A011004

Raditya Bagas Wicaksono

G1A011006

untuk

memenuhi

persyaratan

mengikuti

ujian

identifikasi

laboratorium Patologi Anatomi blok Sistem Respirasi pada Jurusan Kedokteran


Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.

Diterima dan disahkan,


Purwokerto, 25 Maret 2013
Asisten,

Rinda Puspita Angguningtyas


G1A010033

I. PENDAHULUAN

Penyakit yang menyerang sistem pernapasan akhir-akhir ini meningkat sejalan


dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun
zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satunya penyakit sistem pernapasan
diakibatkan alergi yang banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma. Asma
merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi
episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30
tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan
terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik
baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari
seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke
bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan
pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global
Initiative for Asthma (GINA) (Rengganis, 2008). Peran dokter dalam mengatasi
penyakit asma sangatlah penting. Dokter sebagai pintu pertama yang akan diketuk
oleh penderita dalam menolong penderita asma, harus selalu meningkatkan
pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau
pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan
sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa
dikerjakan pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah
terjadinya serangan asma.

II. PEMBAHASAN

A. Definisi
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu. Rangsangan tersebut menyebabkan
peradangan.

Penting

diketahui

bahwa

penyempitan

ini

bersifat

sementara/reversible (Ohrui, 2003). Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan


ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan
dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan
(Rengganis, 2008).
B. Etiologi
Asma bronkial terjadi di segala usia, tetapi dominan pada anak-anak.
Menurut etiologinya, asma merupakan penyakit heterogen. Faktor genetik
(atopik) dan lingkungan, seperti virus, paparan pekerjaan, dan alergen, memiliki
kontribusi dalam inisiasi dan kontinuasi (Kumar, 2007). Atopi merupakan faktor
resiko yang paling banyak dalam perkembangan asma. Asma alergik sering kali
dihubungkan dengan riwayat penyakit individu dan/atau keluarga seperti rhinitis,
urtikaria, dan eksim dengan reaksi bengkak dan rasa terbakar pada kulit terhadap
injeksi ekstrak antigen dari udara secara intradermal dengan peningkatan kadar
IgE dalam serum dan/atau dengan respon positif terhadap tes provokasi yang
melibatkan inhalasi antigen spesifik (Kumar, 2007).
Penderita asma tanpa riwayat alergi individu maupun keluarga, dengan tes
kulit yang negatif, dan dengan kadar IgE serum yang normal, yang oleh karena itu
tidak dapat dikelompokkan menurut mekanisme imunologis yang telah dijelaskan
sebelumnya, disebut asma nonatopik. Pada umumnya, asma yang terjadi pada
anak memiliki komponen alergik yang kuat, sedangkan asma yang berkembang
kemudian memiliki etiologi nonalergik atau campuran (Kumar, 2007).
C. Epidemiologi

Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima
belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global
untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan
kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah,
peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan
kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia (Baratawidjaja, 2006).
Studi SKRT tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari
10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian ke- 4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi
asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik
11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang
dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan
terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik
(Baratawidjaja, 2006).
D. Faktor Risiko
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor internal (genetik)
dan faktor eksternal (lingkungan) (Rengganis, 2008) :
1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial
jika terpajan dengan faktor pencetus (Rengganis, 2008).
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun

iritan (Rengganis, 2008). Sensitivitas yang meningkat ini menyebabkan


bronkus mudah mengalami hipersekresi mukus. Selain itu kemungkinan
bronkokonstriksi menngkat. Edema jalan nafas juga dapat terjadi sehingga
lumen bronkus makin menyempit (Rengganis, 2008).
c. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak (Rengganis,
2008).
d. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor
resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan (Rengganis, 2008).
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah seperti tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain (Rengganis,
2008).
b. Alergen luar rumah seperti serbuk sari, dan spora jamur (Rengganis,
2008).
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat,
kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan (Rengganis,
2008).
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain (Rengganis, 2008).
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain (Rengganis, 2008).
d. Ekspresi emosi berlebih
Gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu

dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala


asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Gangguan emosi yang belum diobati berakibat pada gejala
asma yang lebih sulit untuk diobati (Rengganis, 2008).
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya
gejala serupa asma pada usia dini (Rengganis, 2008).
f. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika

melakukan

aktivitas/olahraga tertentu. Sebagaian besar penderita asma akan mendapat


serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari
cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut
(Rengganis, 2008).
g. Perubahan cuaca
Cuaca lembab

dan

hawa

pegunungan

yang

dingin

sering

mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor


pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan
dengan musim, seperti: musim hujan, musin kemarau, musim bunga
(serbuk sari beterbangan) (Rengganis, 2008).
E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala utama yang bisa dijumpai pada penderita asma bronkial
(Patel, 2008) adalah :
1. dispneu (sesak nafas)
2. batuk
3. mengi
4. memburuk saat malam hari (nocturnal)
5. laju respirasi 25x per menit
6. denyut jantung 110x per menit

7. PEFR (peak expiratory forced volume) 50% nilai prediksi

F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien asma bronkial akan mengeluhkan gejala klasik berupa batuk,
mengi, dan sesak nafas. Pada awal timbulnya gejala dada akan terasa berat.
Apabila terdapat alergi maka pasien juga akan mengeluhkan pilek dan bersin.
Pada fase lanjut akan ditemukan batuk disertai sekret mukoid sampai dengan
purulen. Asma ini sering muncul saat malam hari dan dapat diperparah oleh
kegiatan jasmani. Pasien umumnya memiliki riwayat atopi dimasa kecil
(misalnya dermatitis atopi) atau rhinitis alergika yang persisten (Patel et al.,
2008)
Pada penggalian riwayat keluarga akan didapatkan riwayat atopik
maupun alergi pada orangtua atau saudara. Pasien akan mengeluhkan gejala
setelah terpapar berbagai faktor pencetus, misalnya tungau debu rumah, asap,
parfum, keadaan emosional, maupun terkait keadaan hormonal (misalnya
sedang menstruasi atau hamil) (Ferri, 2011).

2.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dasar akan didapatkan berbagai kelainan

sebagai berikut (McFadden, 2005) :


a. posisi pasien duduk dengan menyangga ke depan
b. otot pernafasan bekerja keras
c. bernafas cepat dan dalam saat serangan
d. ekspirasi memanjang
e. wheezing pada auskultasi
f. dada hiperinflasi
g. laju respirasi 25x per menit
h. denyut jantung 110x per menit
i. sianosis
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin (dijumpai eosinofilia >8%)
b. Pemeriksaan sputum
Pada pemeriksaan ini akan dijumpai eosinofil. Namun jika ditemukan
neutrofil kita dapat mencurigai bronkitis sebagai salah satu diagnosis
banding. Dapat pula ditemukan kristal Churcot-leyden dan spiral
curschmann secara sitologis. Kemudian pada pasien akan didapatkan nilai
IgE (total dan spesifik) pada sputum yang mengalami peningkatan
sehingga mendukung riwayat atopik (McFadden, 2005).
c. Skin prick test
Pada pemeriksaan ini akan dijumpai pasien hipersensitif terhadap
alergen tertentu yang distimulasi pada kulit sehingga mendukung riwayat
atopik (McFadden, 2005).
d. Foto thorax
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain obstruksi jalan nafas (misalnya pneumothorax, atelektasis)
(McFadden, 2005).

10

e. Spirometri
Spirometri merupakan sebuah metode pemeriksaan untuk mengetahui
dan mengukur fungsi fisiologis paru serta mengetahui ada tidaknya
kelainan. Dalam analisis hasil spirometri akan dijumpai penurunan FEV1
<80% serta penurunan rasio FEV1/FVC <75% sehingga dikategorikan
sebagai kelainan obstruktif (Sherwood, 2010)
f. Uji provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dapat dilakukan jika hasil spirometri normal. Pasien
akan dipaparkan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, dan
berbagai stimulus lainnya. Diagnosis dapat ditegakkan jika FEV1 20%
dan saat melakukan kegiatan jasmani 6 menit nilai APE 10%
(McFadden, 2005).
F. Patogenesis
Asma dapat diklasifikasikan berdasar ada tidaknya kelainan sistem imun yaitu
(Kumar, 2007) :
1. Asma ekstrinsik (dipicu reaksi hipersensitivitas tipe I, dimana terdapat riwayat
atopi baik pada pasien maupun pada keluarganya)
2. Asma intrinsik (bukan merupakan reaksi imun, pemicunya multifaktorial,
misalnya aspirin, infeksi, dingin, stress, olahraga, maupun iritan)
Asma intrinsik disebabkan oleh infeksi saluran nafas dan paparan polutan
inhalan seperti sulfur dioksida, ozon, dan nitrogen dioksida. Zat tersebut akan
membuat hiperreaktivitas jalan nafas dan menyebabkan bronkospasme. Infeksi
juga akan menyebabkan pelepasan berbagai sitokin proinflamasi yang pada
akhirnya akan melibatkan eosinofil dan menyebabkan peningkatan kerentanan
jalan nafas (Fitzgerald, 2001).
Untuk menjelaskan asma ekstrinsik dapat dijelaskan melalui konsep
peradangan bronkus persisten. Asma ekstrinsik dipicu oleh sensitisasi sel CD4+
tipe TH2 yang mengeluarkan sitokin terutama IL-4, IL-5, IL-13. Reaksi awal
dipicu oleh adanya ikatan IgE pada reseptornya di berbagai sel (mastosit,
makrofag, dan eosinofil). Alergen yang datang akan berikatan dengan IgE yang

11

sudah siap di sel-sel tersebut. Hal ini akan mengakibatkan degranulasi sel mast,
melepaskan histamin dan mediator lain. Beberapa mediator ini akan
menyebabkan (McFadden, 2005) :
1. perangsangan nervus vagus aferen untuk refleks bronkokonstriksi
2. peningkatan permeabilitas vaskular dan edema
3. membuka tight junction antara sel epitel sehingga alergen juga dapat
mengaktivasi eosinofil dan sel mast lain
Aktivasi sel inflamasi lainnya akan membuat sel-sel tersebut akan
mengeluarkan mediator dengan jumlah lebih banyak dan menghasilkan runtutan
efek yang lain yaitu (McFadden, 2005) :
1. menginduksi bronkospasme (bronkokonstriksi)
2. meningkatkan permeabilitas vaskular kembali
3. meningkatkan produksi mukus
4. merekrut sel pelepas mediator lain dari darah melalui kemokin (protein
katonik eosinofil)
5. kerusakan epitel
Sel-sel pelepas mediator serta efek yang dihasilkannya dapat dilihat pada
diagram berikut (McFadden, 2005).

Gambar 1. Sel, mediator, dan efeknya pada asma bronkial.


Sumber: (McFadden, 2005)

12

Ilustrasi di bawah ini merupakan penjelasan bagaimana antigen (alergen)


dapat melewati tight junction sel epitel dan bertemu dengan sel dendritik sebagai
antigen presenting cell atau bertemu dengan makrofag yang pada akhirnya akan
mengalami proses pengenalan antigen dan aktivasi sel-sel inflamasi seperti sel
mast, eosinofil, monosit, dan limfosit B. Sel-sel tersebut akan terstimulus untuk
melepas mediator dan menyebabkan hiperreaktivitas jalan nafas (McFadden,
2005).

Gambar 2. Patogenesis asma bronkial. Sumber: (McFadden, 2005)

13

G. Patofisiologi
Adanya penyempitan jalan nafas akibat bronkokonstriksi, hipersekresi
mukus, dan edema jalan nafas akan menyebabkan kesulitan dalam mengekspirasi.
Hal ini akan menyebabkan suara wheezing yang terdengar dalam auskultasi.
Kemudian, obstruksi ini akan menyebabkan udara yang berada di distal tractus
respiratorius terjebak sehingga volume residu pasien akan meningkat. Dengan
demikian kapasitas residual fungsional juga akan meningkat yang pada akhirnya
akan menyebabkan hiperinflasi. Oleh karena itu pasien harus menggunakan
bantuan otot-otot pernafasan agar dapat melakukan ekspirasi lebih maksimal
(Kumar et al., 2007).
Daerah di paru dapat mengalami hipoksemia akibat ventilasi berkurang
dimana terjadi penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 sehingga dimungkinkan
terjadi hiperkapnia. Hal ini disebut sebagai asidosis respiratorik. Namun apabila
pasien melakukan kompensasi dengan hiperventilasi, hal sebaliknya dapat terjadi.
PaCO2 justru mengalami penurunan sehingga terjadi alkalosis respiratorik
(McFadden, 2005).
Hipoksemia yang berlangsung lama akan menyebabkan konstriksi
vaskular pulmonalis, asidosis metabolik, dan peredaran darah tanpa pertukaran
gas yang baik (shunting) sehingga akan memperparah kondisi hiperkapnia (Patel
et al., 2008).

14

H. Gambaran Histopatologi dan Penjelasannya


Asma bronkial merupakan salah satu kelainan yang dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu asma ekstrinsik dan asma intrinsik. Asma ekstrinsik erat
kaitannya dengan proses hipersensitivitas tipe 1 sedangkan asma intrinsik
berhubungan dengan pajanan iritan, infeksi, suhu dingin, dan sebagainya. Pada
pemeriksaan sitologi maupun histopatologi penderita asma akan didapatkan
peningkatan mukus yang disertai sebukan sel radang. Sel radang tersebut antara
lain eosinofil yang memiliki granula merah pada sitoplasmanya. Epitel bronkiolus
mulai meninggi disertai penebalan membran basalis dan lapisan otot polos.
Bronkiolus akan terlihat tersumbat oleh eksudat kental (Kumar, 2007).

Gambar 3. Histopatologi asma bronkial. Sumber: (Ram, 2006)


Keterangan dari gambar diatas adalah sebagai berikut (Ram, 2006) :
1. Gambar A merupakan parenkim paru normal
2. Gambar B dapat dijumpai infiltrasi sel inflamasi padat baik di daerah

peribronchial dan perivaskular dengan 28% dari eosinofil, dan kerusakan


epitel mukosa bronkus (panah rusak). Panah menunjukkan eosinofil

15

berdekatan dengan endotel vaskular (En) baik di dalam maupun di luar


menunjukkan proses infiltrasi ke jaringan paru-paru. Panah menunjukkan
eosinofil.
3. Gambar C tidak menunjukkan infiltrasi sel inflamasi yang signifikan di daerah

peribronchial dan daerah perivaskular.


4. Gambar D tidak menunjukkan infiltrasi sel inflamasi yang signifikan di daerah

bronchovascular.
Keterangan huruf dalam gambar adalah A untuk alveolus, B untuk bronkus, V
untuk vessel (pembuluh darah), dan En untuk endotelium (Ram, 2006).
I. Terapi Lama
1. Medikamentosa
Pada dasarnya, tujuan dari pengobatan asma adalah pencapaian
kualitas hidup dari si penderita, tidak ada serangan asma kambuh, dapat
beraktivitas fisik secara normal, dapat berkembang dan melakukan kegiatan
sosial dengan normal. Beberapa cara terapinya adalah sebagai berikut (Ukena,
2008) :
a. Langkah Pertama :
1) Agonis 2 inhalasi long-acting simpatomimetik (LABA). Contohnya
formoterol dan salmeterol. Tidak boleh diberikan untuk monoterapi
asma tetapi harus selalu diberikan dalam kombinasi dengan dosis
kortikosteroid inhalasi (ICS) yang memadai. Ini diindikasikan untuk
menghindari efek buruk dari pengunaan tunggal obat tesebut.
2) Antagonis leukotrien. Dapat digunakan bagi pasien yang tidak mau
atau tidak bisa mengirup kortikosteroid inhalasi (Ukena, 2008).

16

b. Langkah Kedua
Kortikosteroid inhalasi (ICS), yaitu seperti fluticasone 100-250g/hari
atau budesonide 200-400 g/hari (Ukena, 2008).
Tabel 1. Dosis harian kortikosteroid. Sumber: (Ukena, 2008).
Obat

Dosis rendah

Dosis sedang

Dosis tinggi

Beclomethasone

200-500 g

>500-1000 g

>1000-2000 g

Budesonid

200-400 g

>400-800 g

>800-1600 g

Cidesonide

80 g

160 g

>160 g

Flutcasone

100-250 g

>250-500 g

>500-1000 g

Mometasone

200-400 g

>400-800 g

>800-1200 g

c. Langkah Ketiga
Kombinasi dari kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis rendah dengan
agonis 2 kerja lama ( long-acting beta2 agonist / LABA) adalah
pengobatan yang dianjurkan, baik sebagai kombinasi tetap atau sebagai
komponen terpisah (Ukena, 2008).
d. Langkah Keempat

Pemakaian kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis tinggi pada umumnya


dikombinasikan dengan LABA dan montelucast (golongan leukotrien
modifier) dan mungkin juga dengan teofilin (golongan metil xantin)
(Ukena, 2008).
e. Langkah Kelima
Pengobatan dengan anti IgE adalah pilihan jika pasien menderita alergi
dikombinasikan dengan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi (ICS) untuk
pengobatan sehari-hari (Ukena, 2008).

17

2. Nonmedikamentosa
Menurut Morris (2003) beberapa terapi nonmedikamentosa yang bisa
dilakukan pada penderita asma bronkial adalah :
a. Kontrol perkembangan asma pasien setiap 1-6 bulan. Pada setiap
kunjungn harus diperiksa kepatuhan, pengendalian lingkungan, dan
komorbiditas. Jika hasil kontrol pasien asma minimal 3 bulan, pengobatan
dapat dikurangi perlahan tapi tetap dikontrol setiap minggu dengan dosis
maintenance.
b. Menghindari alergen penyebab asma, seperti asap rokok.
c. Edukasi pasien mengenai penyakit asma beserta gejala dan tanda serta
cara pencegahan dan pengobatan asma.
d. Deteksi dini asma dengan test asthma di rumah sakit.
e. Edukasi pasien mengenai penanganan asma sendiri, teknik monitoring
asma sendiri, alur pengobatan, cara menggunakan inhaler, dan kontrol
lingkungan
J. Terapi Baru
Terobosan baru untuk diterapkan sebagai penatalaksanaan asma bronkial
adalah dengan menggunakan konsep SMART (Symbicort Maintenance and
Reliever Therapy) melibatkan penggunaaan kombinasi tetap budesonide dan
formotrol bukan hanya sebagai dosis maintenance rendah, tetapi juga untuk
mengobati gejala akut. Misalnya pada pasien dengan asma yang tidak terkontrol
dengan kortikosteroid inhalasi dan bronkodilator (Bateman, 2008).
Selain itu, untuk pasien asma ringan dapat digunakan kombinasi tetap
dari kortikosteroid inhalasi dan agonis 2 kerja lama (LABA) untuk mengurangi
gejala, terbukti sama efektifnya dengan penggunaan kortikosteroid inhalasi
(Bateman, 2008).

Untuk mengetahui keberhasilan terapi yang telah dilakukan dapat di cek


dengan cara :

18

1. Memeriksa kepatuhan pasien terhadap pengobatan


2. Memeriksa kebenaran teknik pemakaian inhaler pasien oleh pengamatan
dokter langsung
3. Re-evaluasi diagnosis, yaitu dengan mengetahui differential diagnosis(DD)
yang mungkin harus dipertimbangkan. Misalnya : emboli paru, PPOK,
penyempitan saluran napas oleh tumor, paparan zat beracun, dan vaskulitis
(Bateman, 2008).
K. Komplikasi
Komplikasi tersering yang terjadi adalah pneumonia, pneumothoraks atau
pneumomediastinum, dan kegagalan pernapasan yang membutuhkan eksaserbasi
berat (Virtual, 2011). Pneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru akibat
bakteri, virus, maupun jamur. Pneumothoraks merupakan keadaan dimana cavum
pleura terisi oleh udara yang bisa disebabkan oleh adanya trauma.
Pneumomediastinum adalah keadaan abnormal dimana terdapat udara pada
mediastinum yang bisa disebabkan antara lain oleh perforasi jalan nafas, infeksi
cervicomediastinalis dan emfisema interstisial. Kegagalan pernapasan dapat
terjadi akibat ekspirasi yang terus menerus mengalami gangguan sehingga bisa
menyebabkan ketidakseimbangan asam basa serta mengganggu homeostasis
tubuh (Patel, 2008).

19

L. Prognosis
Prognosis dari asma bronkial ini sebenarnya bervariasi. Hampir 20%
penderita asma memiliki beberapa keterbatasan dalam kehidupan mereka seharihari. Namun serangan asma ringan masih dapat diobati mudah dengan dosis
ekstra bronkodilator inhalasi. Kadang terjadi serangan asma parah (sekunder)
dapat mengakibatkan asma berkepanjangan, rawat inap, dan beberapa komplikasi.
Kunci untuk terapi asma adalah pemantauan, kepatuhan ketat, dan menghindari
pemicu asma (Bateman, 2008).
Penyakit asma pada anak dapat diatasi pada akhir masa remaja atau awal
masa dewasa dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut. Pasien dengan asma
tidak terkontrol akan mengalami remodeling saluran napas yang akan
menyebabkan gejala kronis dan ireversible. Penderita asma lanjut usia cenderung
menyebabkan gejala kronis lanjutan (Virtual, 2011).

20

III. KESIMPULAN

1. Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan keadaan saluran napas yang
mengalami penyempitan karena hiperaktivitas trakea dan bronkus terhadap
rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan dan derajatnya dapat berubah
(reversible) secara spontan maupun dengan pengobatan.
2. Tanda dan gejala dari asma bronkial antara lain dispneu (sesak nafas), batuk,
mengi, dan memburuk saat malam hari (nocturnal). Laju respirasi 25x per menit,
denyut jantung 110x per menit, PEFR (peak expiratory forced volume) 50%
nilai prediksi, serta didapatkan IgE maupun eosinofil pada pemeriksaan sitologi
dan histopatologi.
3. Penatalaksanaan asma bronkial dapat dilakukan secara medikamentosa maupun
nonmedikamentosa. Sedangkan untuk terapi baru yang dapat diterapkan adalah
konsep SMART (Symbicort Maintenance and Reliever Therapy).
4. Sekitar 20% pasien asma akan memiliki keterbatasan dalam beraktivitas namun
dengan penatalaksanaan yang adekuat asma dapat terkontrol dan pasien dapat
memiliki kualitas hidup yang baik.

21

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP,
et al. 2006. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In: Shaikh WA.
Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And Asthma. Mumbai:
Vicas Medical Publisher.707-36
Bateman, ED., Hurd, SS., Barnes, PJ., et al. 2008. Global Strategy For Asthma
Management and Prevention. European Respiratory Journal 31 (1):143-78.
Ferri, FF. 2011. Practical Guide to The Care of The Medical Patient. 8th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier.
Fitzgerald, M. 2001. Acute Asthma. BMJ 323:841.
Kumar; Abbas; Fausto; Mitchell. 2007. Robbins: Basic Pathology. 8th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier.
McFadden, ER. 2005. Asthma. in Kasper, DL. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 16th ed. New York: McGraw and Hill.
Morris, M; et al. 2013. Asthma Treatment and Management. Medscape Feb 2013 :
296301.
Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. 2003. Transient Relief Of Asthma
Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin.
Tohoku J Exp Med. 199(3):193-6.
Patel, H; Gwilt, C. 2008. Respiratory System. 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.
Ram, A., Mabalirajan., Moumita, D., Indranil, B., et al. 2006. Glycyrrhizin
Alleviates
Experimental
Allergic
Asthma.
International
Immunopharmacology 6(9): 1468-1477.
Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume:
58; No.11.

22

Sherwood, L. 2010. Human Physiology: From Cells to Systems. 7th ed. California:
Brooks/Cole Cengage Learning.
Ukena, D., Liat, Fishman., Wilhelm, B. 2008. Bronchial Asthma: Diagnosis and
Long-Term Treatment in Adults. Deutsches Artzelblatt International.
105(21): 385394.
Virtual. 2011. Bronchial Asthma, Etiology Pathogenesis, Clinical Features,
Diagnostic, Treatment,
and
Prophylactic.
Available
at
:
http://dvirtualdoctor.hubpages.com/hub/Bronchial-asthma-Etiologypathogenesis-clinical-features-diagnostics-treatment-and-prophylactic.

You might also like