Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Kelompok 1B
Imelda Widyasari S.
G1A011002
G1A011004
G1A011006
Asisten:
Rinda Puspita Angguningtyas
G1A010033
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT PATOLOGI ANATOMI
BLOK SISTEM RESPIRASI
ASMA BRONKIAL
Kelompok 1B
Disusun
Imelda Widyasari S.
G1A011002
G1A011004
G1A011006
untuk
memenuhi
persyaratan
mengikuti
ujian
identifikasi
I. PENDAHULUAN
II. PEMBAHASAN
A. Definisi
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu. Rangsangan tersebut menyebabkan
peradangan.
Penting
diketahui
bahwa
penyempitan
ini
bersifat
Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima
belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global
untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan
kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah,
peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan
kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia (Baratawidjaja, 2006).
Studi SKRT tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari
10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian ke- 4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi
asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik
11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang
dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan
terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik
(Baratawidjaja, 2006).
D. Faktor Risiko
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor internal (genetik)
dan faktor eksternal (lingkungan) (Rengganis, 2008) :
1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial
jika terpajan dengan faktor pencetus (Rengganis, 2008).
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
melakukan
dan
hawa
pegunungan
yang
dingin
sering
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien asma bronkial akan mengeluhkan gejala klasik berupa batuk,
mengi, dan sesak nafas. Pada awal timbulnya gejala dada akan terasa berat.
Apabila terdapat alergi maka pasien juga akan mengeluhkan pilek dan bersin.
Pada fase lanjut akan ditemukan batuk disertai sekret mukoid sampai dengan
purulen. Asma ini sering muncul saat malam hari dan dapat diperparah oleh
kegiatan jasmani. Pasien umumnya memiliki riwayat atopi dimasa kecil
(misalnya dermatitis atopi) atau rhinitis alergika yang persisten (Patel et al.,
2008)
Pada penggalian riwayat keluarga akan didapatkan riwayat atopik
maupun alergi pada orangtua atau saudara. Pasien akan mengeluhkan gejala
setelah terpapar berbagai faktor pencetus, misalnya tungau debu rumah, asap,
parfum, keadaan emosional, maupun terkait keadaan hormonal (misalnya
sedang menstruasi atau hamil) (Ferri, 2011).
2.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dasar akan didapatkan berbagai kelainan
10
e. Spirometri
Spirometri merupakan sebuah metode pemeriksaan untuk mengetahui
dan mengukur fungsi fisiologis paru serta mengetahui ada tidaknya
kelainan. Dalam analisis hasil spirometri akan dijumpai penurunan FEV1
<80% serta penurunan rasio FEV1/FVC <75% sehingga dikategorikan
sebagai kelainan obstruktif (Sherwood, 2010)
f. Uji provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dapat dilakukan jika hasil spirometri normal. Pasien
akan dipaparkan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, dan
berbagai stimulus lainnya. Diagnosis dapat ditegakkan jika FEV1 20%
dan saat melakukan kegiatan jasmani 6 menit nilai APE 10%
(McFadden, 2005).
F. Patogenesis
Asma dapat diklasifikasikan berdasar ada tidaknya kelainan sistem imun yaitu
(Kumar, 2007) :
1. Asma ekstrinsik (dipicu reaksi hipersensitivitas tipe I, dimana terdapat riwayat
atopi baik pada pasien maupun pada keluarganya)
2. Asma intrinsik (bukan merupakan reaksi imun, pemicunya multifaktorial,
misalnya aspirin, infeksi, dingin, stress, olahraga, maupun iritan)
Asma intrinsik disebabkan oleh infeksi saluran nafas dan paparan polutan
inhalan seperti sulfur dioksida, ozon, dan nitrogen dioksida. Zat tersebut akan
membuat hiperreaktivitas jalan nafas dan menyebabkan bronkospasme. Infeksi
juga akan menyebabkan pelepasan berbagai sitokin proinflamasi yang pada
akhirnya akan melibatkan eosinofil dan menyebabkan peningkatan kerentanan
jalan nafas (Fitzgerald, 2001).
Untuk menjelaskan asma ekstrinsik dapat dijelaskan melalui konsep
peradangan bronkus persisten. Asma ekstrinsik dipicu oleh sensitisasi sel CD4+
tipe TH2 yang mengeluarkan sitokin terutama IL-4, IL-5, IL-13. Reaksi awal
dipicu oleh adanya ikatan IgE pada reseptornya di berbagai sel (mastosit,
makrofag, dan eosinofil). Alergen yang datang akan berikatan dengan IgE yang
11
sudah siap di sel-sel tersebut. Hal ini akan mengakibatkan degranulasi sel mast,
melepaskan histamin dan mediator lain. Beberapa mediator ini akan
menyebabkan (McFadden, 2005) :
1. perangsangan nervus vagus aferen untuk refleks bronkokonstriksi
2. peningkatan permeabilitas vaskular dan edema
3. membuka tight junction antara sel epitel sehingga alergen juga dapat
mengaktivasi eosinofil dan sel mast lain
Aktivasi sel inflamasi lainnya akan membuat sel-sel tersebut akan
mengeluarkan mediator dengan jumlah lebih banyak dan menghasilkan runtutan
efek yang lain yaitu (McFadden, 2005) :
1. menginduksi bronkospasme (bronkokonstriksi)
2. meningkatkan permeabilitas vaskular kembali
3. meningkatkan produksi mukus
4. merekrut sel pelepas mediator lain dari darah melalui kemokin (protein
katonik eosinofil)
5. kerusakan epitel
Sel-sel pelepas mediator serta efek yang dihasilkannya dapat dilihat pada
diagram berikut (McFadden, 2005).
12
13
G. Patofisiologi
Adanya penyempitan jalan nafas akibat bronkokonstriksi, hipersekresi
mukus, dan edema jalan nafas akan menyebabkan kesulitan dalam mengekspirasi.
Hal ini akan menyebabkan suara wheezing yang terdengar dalam auskultasi.
Kemudian, obstruksi ini akan menyebabkan udara yang berada di distal tractus
respiratorius terjebak sehingga volume residu pasien akan meningkat. Dengan
demikian kapasitas residual fungsional juga akan meningkat yang pada akhirnya
akan menyebabkan hiperinflasi. Oleh karena itu pasien harus menggunakan
bantuan otot-otot pernafasan agar dapat melakukan ekspirasi lebih maksimal
(Kumar et al., 2007).
Daerah di paru dapat mengalami hipoksemia akibat ventilasi berkurang
dimana terjadi penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 sehingga dimungkinkan
terjadi hiperkapnia. Hal ini disebut sebagai asidosis respiratorik. Namun apabila
pasien melakukan kompensasi dengan hiperventilasi, hal sebaliknya dapat terjadi.
PaCO2 justru mengalami penurunan sehingga terjadi alkalosis respiratorik
(McFadden, 2005).
Hipoksemia yang berlangsung lama akan menyebabkan konstriksi
vaskular pulmonalis, asidosis metabolik, dan peredaran darah tanpa pertukaran
gas yang baik (shunting) sehingga akan memperparah kondisi hiperkapnia (Patel
et al., 2008).
14
15
bronchovascular.
Keterangan huruf dalam gambar adalah A untuk alveolus, B untuk bronkus, V
untuk vessel (pembuluh darah), dan En untuk endotelium (Ram, 2006).
I. Terapi Lama
1. Medikamentosa
Pada dasarnya, tujuan dari pengobatan asma adalah pencapaian
kualitas hidup dari si penderita, tidak ada serangan asma kambuh, dapat
beraktivitas fisik secara normal, dapat berkembang dan melakukan kegiatan
sosial dengan normal. Beberapa cara terapinya adalah sebagai berikut (Ukena,
2008) :
a. Langkah Pertama :
1) Agonis 2 inhalasi long-acting simpatomimetik (LABA). Contohnya
formoterol dan salmeterol. Tidak boleh diberikan untuk monoterapi
asma tetapi harus selalu diberikan dalam kombinasi dengan dosis
kortikosteroid inhalasi (ICS) yang memadai. Ini diindikasikan untuk
menghindari efek buruk dari pengunaan tunggal obat tesebut.
2) Antagonis leukotrien. Dapat digunakan bagi pasien yang tidak mau
atau tidak bisa mengirup kortikosteroid inhalasi (Ukena, 2008).
16
b. Langkah Kedua
Kortikosteroid inhalasi (ICS), yaitu seperti fluticasone 100-250g/hari
atau budesonide 200-400 g/hari (Ukena, 2008).
Tabel 1. Dosis harian kortikosteroid. Sumber: (Ukena, 2008).
Obat
Dosis rendah
Dosis sedang
Dosis tinggi
Beclomethasone
200-500 g
>500-1000 g
>1000-2000 g
Budesonid
200-400 g
>400-800 g
>800-1600 g
Cidesonide
80 g
160 g
>160 g
Flutcasone
100-250 g
>250-500 g
>500-1000 g
Mometasone
200-400 g
>400-800 g
>800-1200 g
c. Langkah Ketiga
Kombinasi dari kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis rendah dengan
agonis 2 kerja lama ( long-acting beta2 agonist / LABA) adalah
pengobatan yang dianjurkan, baik sebagai kombinasi tetap atau sebagai
komponen terpisah (Ukena, 2008).
d. Langkah Keempat
17
2. Nonmedikamentosa
Menurut Morris (2003) beberapa terapi nonmedikamentosa yang bisa
dilakukan pada penderita asma bronkial adalah :
a. Kontrol perkembangan asma pasien setiap 1-6 bulan. Pada setiap
kunjungn harus diperiksa kepatuhan, pengendalian lingkungan, dan
komorbiditas. Jika hasil kontrol pasien asma minimal 3 bulan, pengobatan
dapat dikurangi perlahan tapi tetap dikontrol setiap minggu dengan dosis
maintenance.
b. Menghindari alergen penyebab asma, seperti asap rokok.
c. Edukasi pasien mengenai penyakit asma beserta gejala dan tanda serta
cara pencegahan dan pengobatan asma.
d. Deteksi dini asma dengan test asthma di rumah sakit.
e. Edukasi pasien mengenai penanganan asma sendiri, teknik monitoring
asma sendiri, alur pengobatan, cara menggunakan inhaler, dan kontrol
lingkungan
J. Terapi Baru
Terobosan baru untuk diterapkan sebagai penatalaksanaan asma bronkial
adalah dengan menggunakan konsep SMART (Symbicort Maintenance and
Reliever Therapy) melibatkan penggunaaan kombinasi tetap budesonide dan
formotrol bukan hanya sebagai dosis maintenance rendah, tetapi juga untuk
mengobati gejala akut. Misalnya pada pasien dengan asma yang tidak terkontrol
dengan kortikosteroid inhalasi dan bronkodilator (Bateman, 2008).
Selain itu, untuk pasien asma ringan dapat digunakan kombinasi tetap
dari kortikosteroid inhalasi dan agonis 2 kerja lama (LABA) untuk mengurangi
gejala, terbukti sama efektifnya dengan penggunaan kortikosteroid inhalasi
(Bateman, 2008).
18
19
L. Prognosis
Prognosis dari asma bronkial ini sebenarnya bervariasi. Hampir 20%
penderita asma memiliki beberapa keterbatasan dalam kehidupan mereka seharihari. Namun serangan asma ringan masih dapat diobati mudah dengan dosis
ekstra bronkodilator inhalasi. Kadang terjadi serangan asma parah (sekunder)
dapat mengakibatkan asma berkepanjangan, rawat inap, dan beberapa komplikasi.
Kunci untuk terapi asma adalah pemantauan, kepatuhan ketat, dan menghindari
pemicu asma (Bateman, 2008).
Penyakit asma pada anak dapat diatasi pada akhir masa remaja atau awal
masa dewasa dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut. Pasien dengan asma
tidak terkontrol akan mengalami remodeling saluran napas yang akan
menyebabkan gejala kronis dan ireversible. Penderita asma lanjut usia cenderung
menyebabkan gejala kronis lanjutan (Virtual, 2011).
20
III. KESIMPULAN
1. Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan keadaan saluran napas yang
mengalami penyempitan karena hiperaktivitas trakea dan bronkus terhadap
rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan dan derajatnya dapat berubah
(reversible) secara spontan maupun dengan pengobatan.
2. Tanda dan gejala dari asma bronkial antara lain dispneu (sesak nafas), batuk,
mengi, dan memburuk saat malam hari (nocturnal). Laju respirasi 25x per menit,
denyut jantung 110x per menit, PEFR (peak expiratory forced volume) 50%
nilai prediksi, serta didapatkan IgE maupun eosinofil pada pemeriksaan sitologi
dan histopatologi.
3. Penatalaksanaan asma bronkial dapat dilakukan secara medikamentosa maupun
nonmedikamentosa. Sedangkan untuk terapi baru yang dapat diterapkan adalah
konsep SMART (Symbicort Maintenance and Reliever Therapy).
4. Sekitar 20% pasien asma akan memiliki keterbatasan dalam beraktivitas namun
dengan penatalaksanaan yang adekuat asma dapat terkontrol dan pasien dapat
memiliki kualitas hidup yang baik.
21
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP,
et al. 2006. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In: Shaikh WA.
Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And Asthma. Mumbai:
Vicas Medical Publisher.707-36
Bateman, ED., Hurd, SS., Barnes, PJ., et al. 2008. Global Strategy For Asthma
Management and Prevention. European Respiratory Journal 31 (1):143-78.
Ferri, FF. 2011. Practical Guide to The Care of The Medical Patient. 8th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier.
Fitzgerald, M. 2001. Acute Asthma. BMJ 323:841.
Kumar; Abbas; Fausto; Mitchell. 2007. Robbins: Basic Pathology. 8th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier.
McFadden, ER. 2005. Asthma. in Kasper, DL. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 16th ed. New York: McGraw and Hill.
Morris, M; et al. 2013. Asthma Treatment and Management. Medscape Feb 2013 :
296301.
Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. 2003. Transient Relief Of Asthma
Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin.
Tohoku J Exp Med. 199(3):193-6.
Patel, H; Gwilt, C. 2008. Respiratory System. 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.
Ram, A., Mabalirajan., Moumita, D., Indranil, B., et al. 2006. Glycyrrhizin
Alleviates
Experimental
Allergic
Asthma.
International
Immunopharmacology 6(9): 1468-1477.
Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume:
58; No.11.
22
Sherwood, L. 2010. Human Physiology: From Cells to Systems. 7th ed. California:
Brooks/Cole Cengage Learning.
Ukena, D., Liat, Fishman., Wilhelm, B. 2008. Bronchial Asthma: Diagnosis and
Long-Term Treatment in Adults. Deutsches Artzelblatt International.
105(21): 385394.
Virtual. 2011. Bronchial Asthma, Etiology Pathogenesis, Clinical Features,
Diagnostic, Treatment,
and
Prophylactic.
Available
at
:
http://dvirtualdoctor.hubpages.com/hub/Bronchial-asthma-Etiologypathogenesis-clinical-features-diagnostics-treatment-and-prophylactic.