You are on page 1of 7

Ari melirik arloji di tangannya. Jam menunjukkan pukul 16.00.

Ari tersenyum tipi


s lalu buru-buru keluar dari kamarnya yang ada di lantai 2. Dengan langkah ringa
n, ia menuruni anak-anak tangga rumahnya yang mewah itu. Seperti biasa, tak ada
orang lain di rumah selain Ari. Seminggu yang lalu, Ari memang bertemu dengan pa
panya. Namun, sekarang ia kembali tak tau ayahnya sedang berada dimana. Memang s
elalu begitu. Saat Ari ada di rumah, papanya tidak. Tapi saat papanya ada di rum
ah, malah Ari yang entah kemana. Dan meskipun mereka sedang bersama-sama berada
di rumah, hampir tidak ada komunikasi yang terjadi. Jadi dapat dipastikan, rumah
itu bahkan lebih sepi dari hutan belantara.
Namun sore ini, Ari tidak peduli tentang bagaimana sepinya keadaan r
umah yang ia tempati itu. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi oleh isi sms mamany
a tadi malam. Mamanya dan Ata akan tiba di Jakarta sore ini. Itulah mengapa dari
tadi semenjak di sekolah pun Ari sudah tidak sabar untuk menjemput mama dan Ata
di bandara. Sebenarnya, mama dan Ata tiba sejam lagi. Namun, Ari yang sudah san
gat ingin bertemu mamanya, tidak ingin datang terlambat untuk menjemput.
Ari mengeluarkan mobil dari garasi. Everest hitam yang juga punya ba
nyak kenangan bersama Tari. Ia mengendarai mobil dengan hati yang sudah sangat i
ngin meluapkan rasa rindu dan tak sabar ingin bertemu mama dan Ata.
Akhirnya, Ari tiba di bandara 15 menit sebelum pesawat yang membawa
dua orang yang sangat ia sayangi itu tiba. Ari memutuskan untuk duduk dan menun
ggu sambil ditemani sebuah minuman kaleng merek terkenal.
Lima belas menit berlalu. Ari berdiri dengan tak sabar dan memperhat
ikan setiap penumpang pesawat yang baru saja keluar dari pintu bandara kedatanga
n dalam negeri. Senyumnya seketika melebar saat mendapati sosok mama dan Ata yan
g berjalan ke arahnya.
Udah lama nunggu, Ri? Tanya mama ketika sudah berjarak sangat dekat de
ngan Ari. Didekapnya kembar bungsunya itu dengan erat.
Nggak kok, ma.. jawab Ari yang langsung menyambut dekapan hangat dari
sang mama.
Kamu sehat, nak? Tanya mama lagi sambil mengusap pipi Ari lembut.
Sehat dong. Mama juga, kan?
Mama mengangguk pelan sambil tersenyum. Sorot matanya menggambarkan
kerinduan yang dalam pada salah satu putra kembarnya itu.
Oh Jadi gue dicuekin nih? Ata tiba-tiba nimbrung sambil belagak ngambek
.
Hahhaha.. Kangen lo yah ama gue?? kata Ari pede. Lalu merangkul Ata.
Wah Pede amat lo! jawab Ata sambil tertawa geli. Mama hanya bisa geleng
-geleng kepala melihat tingkah lucu dua putra kesayangannya itu.
Ya udah.. yuk! Tante Lidya dari tadi udah ngeSMS. Dia udah masak bany
ak untuk mama ama lo! kata Ari kemudian.
Tak lama, ibu dan dua anak kembarnya itu berjalan menuju mobil. Mere
ka pun menuju ke rumah tante Lidya , yang dari tadi sudah menunggu 3 orang yang
sudah ia anggap keluarga itu.
Kedatangan mama dan Ata ke Jakarta memang membuat Ari sangat girang.
Apalagi, mamanya kemudian memberi tahu bahwa ia dan Ata akan kembali menetap di
Jakarta. Agar mereka bisa lebih sering bertemu dan lebih dekat dengan Ari.
Untuk itu, Ari sudah mencarikan sebuah rumah untuk Ata dan mamanya.
Rumah yang tidak jauh dari kompleks perumahan tante Lidya. Rumah itu berukuran t
idak terlalu besar. Hanya terdiri dari 2 kamar tidur. Ada sebuah taman kecil di
halaman depannya dan dilengkapi pagar yang tidak terlalu tinggi. Rumah itu sendi
ri akan ditempati mama dan Ata mulai minggu depan. Jadi untuk sementara, mama da
n Ata akan tinggal di rumah tant Lidya.
Awalnya, Ari menyodorkan sebuah rumah yang lebih bagus. Namun, maman
ya menolak. Mama lebih memilih untuk tinggal di rumah kontrakan yang tidak terla
lu luas itu. Ari pun hanya bisa menuruti kata-kata sang mama. Dan setelah diliha
t-lihat, rumah itu memang cukup enak untuk ditinggali. Kompleksnya tidak terlalu
dekat dengan jalan raya. Sehingga, tidak terlalu bising oleh suara kendaraan. R
umahnya juga cukup sejuk dan asri. Dan yang paling penting adalah ada kehangatan
seorang ibu di dalamnya. Ada rasa nyaman dari sebuah keluarga, yang selama ini
tidak pernah didapatkan Ari dari rumah mewahnya di SISTINE.

Dari awal Ari memang belum berniat untuk membawa mama dan Ata untuk
pulang ke rumah.nya di SISTINE. Ia menunggu waktu yang tepat untuk mempertemukan
kembali papanya dengan mama dan Ata. Namun, Ari sudah sangat senang karena mama
dan Ata kini sudah bisa kembali tinggal di Jakarta. Paling tidak, ia masih bisa
tinggal bersama mama dan Ata di rumah kontrakan yang baru, atau pulang balik ru
mah papa dan mamanya.
Ata sendiri akan pindah sekolah ke Jakarta. Ari sebenarnya menawarka
n agar Ata juga bersekolah di SMA Airlangga sama sepertinya. Namun, Ata lebih me
milih untuk bersekolah di SMA lai, untuk menghindari kegemparan sperti yang terj
adi beberapa waktu lalu, saat Ari mengajaknya berkunjung ke Airlangga.
Jadilah Ari saat ini seolah menemukan kembali dirinya yang sebenarny
a. Ari yang punya keluarga, Ari yang bisa merasakan kembali kasih sayang dan keh
angatan seorang ibu, Ari yang punya saudara kembar yang lama hilang, Ari yang ta
k lagi kesepian seperti dulu, dan Ari yang menemukan senyum dan tawanya kembali.
Bukan senyum dan tawa yang biasa ia gunakan sebagai topeng di depan orang lain. T
api, senyum dan tawa yang sebenarnya.
***
Jam menunjukkan pukul 6 sore lewat. Ari dan Ata pamit pada mama dan
tante Lidya untuk keluar rumah. Ari mengajak Ata untuk bermain futsal bersama Oj
i, Ridho dan teman- teman nya yang lain. Oji sendiri tadi sudah mengirim SMS pad
a Ari, bahwa ia sudah tiba duluan di tempat futsal.
Sebelum-sebelumnya, Ari sering mengajak teman-temannya bermain futsa
l untuk memecah kesepian dalam dirinya dan membuang kepenatan yang ada. Bermain
hingga larut malam untuk menghindari kata pulang , karena memang tak akan menjumpai
siapapun di rumah.
Namun, kali ini berbeda. Ari mengajak teman-temannya bermain futsal,
dan sudah janji akan mentraktir makan setelah itu, untuk merayakan kedatangan m
ama dan Ata ke Jakarta. Oji dan Ridho sendiri, sudah diberitahu Ari tentang kaba
r kepindahan Ata dan mamanya.
Mobil terus melaju di jalanan yang tidak terlalu macet. Ari mengenda
rai mobil tidak terlalu kencang.
Lo udah jadian sama dia? Tanya Ata tiba-tiba pada Ari. Ari yang terkej
ut dengan pertanyaan Ata, sedikit mengerem mobil mendadak.
Maksud lo? Ari balik bertanya saat laju mobil telah kembali stabil.
Tari Cewek yang kemaren lo kenalin ke gue dan mama di bandara. Lo paca
ran ama dia? Ata mengulang pertanyaan dengan lebih jelas.
Kok lo mikir gitu?
Soalnya, lo keliatan care banget ama tuh cewek.
Kenapa? Cemburu lo? ujar Ari dengan mimik muka lucu.
Wahhh Cemburu ama lo? Kagak deh ya! jawab Ata sambil tertawa. Gue serius
ini, Ri
Gue belum jadian ama Tari. jawab Ari jujur.
Tapi kayaknya udah keliatan deket banget.
Emang keliatan gitu ya? Gue juga nggak tau sejak kapan perasaan gue k
e dia muncul. Waktu pertama ketemu, gue kaget karena dia punya nama yang sama am
a lo. Gue putusin untuk deketin dia dengan segala cara, supaya gue bisa menghidu
pkan kembali mama dan lo melalui Tari. Awalnya semua gue lakuin pure karna gue kan
gen ama lo dan nyokap. ujar Ari panjang lebar sambil mengingat kembali awal mula
pertemuannya dan Tari.
Jadi , lo nggak beneran suka ama dia? Hanya karna sebuah nama yang ke
betulan sama aja?
Awalnya gue nggak sadar.. Tapi semua kemudian berubah. Gue jadi ngera
sain hal yang sebelumnya nggak pernah gue rasain. Dia bisa banget buat gue jadi
nggak karuan dan nggak bisa ngontrol emosi gue. Mungkin kedengarannya lebay bang
et. Seorang Ari kayak gue bisa kayak gitu hanya karna seorang cewek yang tiba-ti
ba nongol dengan menyandang nama Matahari . ujar Ari mendengus geli.
Gue udah denger track record lo yang buruk! ejek Ata bercanda. Ari iku
t tertawa.
Beberapa kali dia nunjukin sikap penolakan yang terang-terangan ama g

ue. Dia sering banget menghindar dari gue dan marah-marah ama gue di depan umum.
Tapi gue tetep bandel untuk deketin dia. Sampe akhirnya, sekarang dia udah mula
i nggak lari lagi dari gue.
So, sekarang lo bakal ngapain?
Yang gue tau, sekarang gue pengen dia jadi milik gue. Gue pengen ngel
indungin dia, nggak buat dia nangis lagi, dan ngejagain dia. kata Ari dengan into
nasi suara yang tegas.
Itu bener Mulai sekarang lo emang harus lebih menjaga Tari ujar Ata pel
an.
Maksud lo? Tanya Ari bingung.
Yah.. biar dia nggak lari lagi dari lo.. Jadi lo harus lebih jagain
tuh cewek! ujar Ata ngeles.
Tak lama kemudian mobil Ari pun berhenti. Mereka sudah sampai di tem
pat futsal indoor yang biasa dipakai Ari dan teman-temannya. Motor Oji sudah tam
pak parkir di sana.
Pembicaraan pun selesai sampai disitu. Tanpa Ari, pentolah sekolah i
tu tau bahwa saudara kembarnya sendirilah yang sebentar lagi akan membuat Jingga
Matahari nya menangis.
***
Tari membolak-balik buku kimianya dengan gusar. Sudah sejak tadi ia
berkutat di meja belajar dengan ditemani tugas-tugas mata pelajaran kima yang me
numpuk. Entah mengapa malam ini Tari nggak bisa konsen dengan pelajarannya. Ia m
emang bisa dibilang payah dalam mata pelajaran eksak yang satu ini. Tapi biasanya,
dia masih bisa mengerjakan paling tidak setengah dari jumlah soal yang diberika
n. Yah, walaupun tidak menjamin semua soal yang dikerjakan benar.
Soal-soal tentang kesetimbangan reaksi itu jadi semakin tidak menarik
karena seseorang yang dari tadi terus saja muncul di dalam pikiran Tari. Sosok p
entolan sekolah yang menempatkan diri pada puncak piramid hierarki kesiswaan SMA
Airlangga. Raja tawuran yang tidak pernah takut dengan medan tempur yang penuh
bahaya. Siswa paling bermasalah di sekolah dan kerap berbuat seenaknya, serta ti
dak pernah peduli pada omelan dan hukuman dari guru-guru bahkan kepala sekolah.
Saat ini, hubungan Tari dan Ari makin membaik. Tidak pernah lagi ada
tontonan gratis berjudul duel Ari-Tari di sekolahan. Ari pun kerap mengantar-jemp
ut Tari ke sekolah. Pemandangan Tari yang dijaili oleh Ari dan teman-temannya pu
n tidak pernah terlihat lagi. Hal itu kontan saja menimbulkan pertanyaan bagi se
luruh siswa SMA Airlangga, apakah dua Matahari itu sudah resmi jadian atau belum.
Semua memang hanya bisa dijawab oleh Ari dan Tari sendiri.
Tari tak bisa bohong kalo kini Ari memang banyak berubah. Dan perlah
an mulai disadarinya, bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan hatinya saat ini. Pe
rlahan tapi pasti pula, jagoan sekolah itu telah kembali mendapatkan tempat diha
tinya. Ia bisa merasakan hal yang sama, seperti pada saat Ari bertindak sebagai p
ahlawan dan menolongnya saat pertama bertemu dulu. Ia kembali pada penilaian awal
nya bahwa Ari itu sebenarnya baik . Tari bisa merasakan ada bagian yang luruh dalam
hatinya jika melihat Ari atau berada di dekat Ari. Ia bisa merasakan jantungnya
memompa lebih cepat, saat Ari melakukan hal-hal tak terduga.
Seperti seminggu yang lalu saat Ari tiba-tiba mendekapnya menuju tak
si, sepulang sekolah. Saat itu hujan, jadi Ari membiarkan Tari pulang naik taksi
agar tidak kebasahan jika diantar pulang dengan motor. Atau saat Ari memasangk
an jaketnya pada Tari, agar Tari tidak kepanasan sewaktu dibonceng naik motor.
Tapi yang paling membuat Tari salah tingkah adalah peristiwa tiga hari yang lalu
.
Tari stress berat karena nilai ujian matematikanya anjlok banget. I
a seharian duduk di kelas dan bahkan tidak pergi ke kantin pas jam istirahat. Ar
i yang tau kalo Tari suka ice cream, langsung cabut pas jam pelajaran ke 5. Ia m
embeli ice cream satu cup gede banget, yang pastinya mahal dan enak. Ia mem beri
kan ice cream itu pada Tari pas jam istirahat ke-2. Setelah meletakkan ice cream
di atas meja, Ari mengacak-acak rambut Tari lembut dan tersenyum sambil bilang,
Lain kali, kalo belum ngerti Tanya gue aja. Ntar gue ajarin sampe bisa. Melihat

tindakan Ari itu, kontan saja semua temen cewek Tari satu kelas pada iri banget.
Dan mungkin dalam hati masing-masing pada teriak GUE RELA MATI DEMI KAK ARI! ^^ Y
a iyalah.. Siapa juga yang nggak mau dikasih ice cream mahal segede gitu? Udah g
itu, dijanjiin bakal diajarin matematika pula! Dan yang ngelakuain adalah ARI! C
owok paling TOP satu sekolahan!
Lamunan panjang Tari tiba-tiba buyar karna suara ketukan pintu dari
luar. Pintu kamar itu terbuka, dan mama Tari kemudian masuk ke dalam.
Lagi belajar? Tanya mama lembut.
Iya, Ma jawab Tari sambil mengangguk pelan.
Ada tamu tuh di luar..
Kening Tari berkerut. Heran. Siapa tamunya yang datang malam-malam b
egini?
Siapa, Ma?
Liat aja tuh ke depan! ujar mamanya lalu langsung keluar dari kamar ya
ng serba oranye itu.
Tari yang saat itu hanya mengenakan kaos rumah dan celana pendek di
atas lutut, langsung bergegas mencari tau siapa gerangan tamunya itu. Awalnya, T
ari mengira pasti Ari yang datang. Namun kemudian, ia menjadi tak yakin. Soalnya
, kalo Ari yang datang, mama pasti langsung nyebut nama Ari waktu dia Tanya siapa
yang datang.
Begitu sampai di teras rumah, Tari kaget setengah mati melihat cowok
yang sudah duduk menunggunya di kursi teras. Cowok itu berdiri dan tersenyum ke
cil saat Tari sudah muncul di hadapannya.
Angga??? pekik Tari dengan suara tertahan. Yang bisa ia rasakan saat i
ni adalah kaget, kikuk, dan tidak percaya yang bercampur aduk menjadi satu. Ia j
elas tidak menyangka Angga datang ke rumahnya malam-malam begini. Apalagi, rasa
kagetnya belum hilang dengan kemunculan Angga di dekat sekolah beberapa hari yan
g lalu.
Bisa bicara sebentar? Tanya Angga yang juga jadi salah tingkah. Tari h
anya mampu menjawab pertanyaan Angga itu dengan sebuah anggukan kecil, meski mas
ih diliputi rasa bingung.
***
Lo apa kabar? Tanya Angga memulai pembicaraan dengan canggung. Saat in
i ia dan Tari sedang duduk di sebuah taman. Taman kecil kepunyaan kompleks yang
letaknya tak jauh dari rumah Tari. Angga sengaja mengajak Tari ke sini agar dapa
t berbicara dengan lebih leluasa. Ada beberapa lampu penerang yang membuat keada
an taman tetap terang meskipun malam hari. Suasana taman itu sendiri memang cuku
p sepi saat malam hari seperti ini.
Baik. Lo? Tari menjawab dengan ikutan canggung juga. Tak bias dipungki
ri. Tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama dan tanpa komunikasi sama sekali,
membuat Tari dan Angga jadi seperti orang asing yang baru saling mengenal. Apala
gi kepergian Angga pada waktu itu didorong oleh ancaman Ari, musuh bebuyutannya .
Nggak tau jawab Angga ringan. Tari yang bingung dengan jawaban itu men
atap heran pada Angga. Iya. Gue sendiri pun bahkan nggak tau gimana keadaan gue s
aat ini. Ujar Angga lagi dengan senyum getir yang dipaksakan.
Tari terdiam. Bukan dia mau secuek itu pada Angga. Tapi dia memang b
ingung mau ngomong apa.
Maafin gue, Tar! kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Angga.
Begitu pelan dan lirih, hingga Tari yang berada setengah meter darinya pun hanya
bisa mendengar samar.
Maksud lo?
Kemaren gue mundur begitu aja saat Ari ngancen gue soal Anggita. Pada
hal harusnya gue tetep di samping lo dan ngebantuin lo.
Nggak pa-pa kok, Ga. Gue ngerti, jawab Tari, lalu tersenyum.
Kemudian lama mereka terdiam. Terdiam dengan pikiran masing-masing.
Rasa canggung itu masih saja menyelimuti. Bahkan mereka jauh lebih diam dari sua
sana malam di taman itu. Entah tidak ada yang ingin dibicarakan, atau memang mas
ing-masing harus beradaptasi kembali untuk bisa berkomunikasi seperti dulu.
Lo berubah, Tar Satu kalimat singkat. Hanya terdiri dari tiga suku kata

. Tapi mampu memecah kesunyian yang sedari tadi mencekam. Mampu pula membuat Tar
i menjadi jauh lebih bingung dan lebih kaget dari sebelum-sebelumnya. Tari terse
ntak dan langsung menoleh kea rah Angga.
Apa? hanya itu yang mampu Tari ucapkan.
Pulang-pergi sekolah bareng Ari, pas jam istirahat juga bareng, nggak
pernah berontak lagi apalagi marah-marah kalo dia dateng ke kelas lo, bahkan l
o nurutin semua kata-kata tuh anak. Gue nggak nyangka semua bisa berubah secepat
itu. Gue nyesel kenapa kemaren gue bego banget, milih untuk mundur dan nge-jauh
in lo.. Angga terdiam sejenak. Ia menghela nafas panjang lalu berkata lagi
Apa ka
rena Ari?
Maksud lo apa sih? Gue nggak berubah. Gue tetep kayak Tari yang sebel
um-sebelumnya. Ujar Tari, meski ia sendiri pun tak yakin dengan apa yang dia ucap
kan.
Lo suka sama dia? Pertanyyan Angga kali ini benar-benar dibidik tepat
pada sasaran. Tari sontak terdiam. Diam karena kembali bingung bagaimana harus
menjawab. Angga tersenyum getir. Lagi-lagi senyum pahit yang dipaksakan. Udah gue
duga. Dia emang ahli banget dalam hal satu ini
Tar panggil Angga lembut. Gue emang belum pernah bilang ini sebelumnya.
Tapi .. kalimat Angga menggantung. Ia terdiam sebentar lalu menoleh kea rah Tari. D
itatapnya mata cokelat tua cewek itu. Gue suka sama lo, Tar. Gue sayang banget sa
ma lo! kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Angga. Kata-kata yang kemud
ian mampu menciptakan rona merah di pipi Tari. Rona yang mungkin terlihat jelas
dalam suasana taman yang cukup terang. Wajah Tari memanas. Biar bagaimana pu, An
gga pernah begitu dekat dengannya.
Anggita gimana? Lo jangan nekat deh, Ga! Mungkin lo Cuma salah sangka
aja sama perasaan lo ke gue.
Maksud lo?
Lo bukan khawatir soal Anggita. Tapi yang lo khawatirkan itu Ari. Iya
kan? Jadi lo udah bener-bener suka sama dia? Petanyaan Angga kembali membuat Tari
kikuk. Bukan hanya karna dia untuk kesekian kalinya bingung harus menjawab apa.
Tapi karna hati kecil Tari justru meng-iyakan semuanya.
Lo nggak usah khawatir, Tar! Gue akan memulai semuanya dengan car agu
e sendiri. Gue nggak peduli sekalipun lo udah punya perasaan khusus sama Ari.. A
nggita itu urusan gue. Angga kembali memberi jeda dan menarik nafas berat. Tapi,
satu hal yang perlu lo tau. Gue tetep akan kembali dan mucul lagi dihadapan lo.
Gue nggak peduli, meskipun itu bakal mengusik hidup si brengsek Ari. Kata Angga m
engakhiri pembicaraan.
Ia kemudian mangantar Tari pulang. Dari awal Angga memang tidak bern
iat untuk mendengarkan jawaban dari Tari. Karena ini memang bukanlah sebuah pene
mbakan romantis atau pernyataan cinta yang pada akhirnya hanya dua, ditolak atau
diterima. Angga sudah memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kehidupan Tari. D
engan atau tanpa izin dari cewek itu.
***
Tari masuk ke dalam kamarnya. Mala mini jadi terasa begitu membingun
gkan bagi Tari. Ada rasa kasihan pada Angga. Namun, bayangan Ari yang sedari tad
i muncul dalam pikirannya, terasa begitu kuat mendorong Tari untuk langsung memb
angun tembok pembatas antara dirinya dan Angga. Meskipun Angga yang dia lihat t
adi tampak begitu rapuh dan tidak bersemangat. Yang Tari bingungkan adalah apaka
h semua yang diucapkan Angga tadi benar? Apakah sikap Angga tadi adalah ungkapan
pernyataan cinta yang samar?
Tari menarik nafas panjang sambil mencoba untuk menjernihkan pikiran
nya. Tari kembali duduk di depan meja belajarnya dan masih saja terdiam dalam si
tuasi yang menyulitkan. Ia melirik sekilas ke arah handphonenya yang dari tadi t
ergeletak saja di meja belajar. Tari memutuskan untuk menelfon Fio dan sekedar c
urhat. Sepertinya, dia butuh teman untuk berbagi cerita malam ini. Dan dapat dip
astikan Fio lah orang yang paling tepat. Meskipun Fio sendiri mungkin tak dapat
membantu banyak.
Tari mengerutkan kening heran saat melihat 3 panggilan tak terjawab
di layar ponselnya. Saat dibuka, yang tertera hanya sebuah nomor yang tidak dike

nal oleh Tari.


Tak lama kemudian, handphone Tari berdering. Nomor yang sama dengan
yang dia lihat pada panggilan tak terjawab tadi.
Halo
sapa Tari singkat.
Hai, Tar! orang diseberang menyapa balik. Terdengar suara cowok dari s
eberang telfon. Seketika Tari terdiam. Matanya menyiratkan sikap kewaspadaan yan
g tak dibuat-buat. Wajahnya menegang. Suara itu .. Dia kenal dengan suara itu. Mes
ki belum begitu akrab dengan suara itu, tapi ia tahu betul. Intonasi mengancam y
ang tersirat jelas meskipun dalam ucapan-ucapan yang halus.
Ata?!? seru Tari kalut.
Hebat ! Lo bahkan bisa ngenalin suara gue. Salut deh sama lo! Puji Ata d
engan nada mengejek.
Ada apa? Tanya Tari dingin.
Suara lo kok cuek banget? Lo nggak seneng gue nelfon lo? Kalo Ari yan
g nelfon seneng? Sayangnya tuh anak lagi bermanja-manja ria ama nyokap gue.. Tari
terdiam. Ia tak habis pikir mengapa Ata jadi orang yang begitu aneh dan berbed
a.
Gue Cuma mau ngasih tau lo kabar gembira. Kalo gue dan nyokap gue uda
h mutusin untuk tinggal di Jakarta lagi. Itu artinya, gue bisa lebih dekat lagi
sama lo saudari matahari gue yang baru.
ujar Ata santai. Tapi nada mengancam itu
masih tetap tersirat.
Seketika raut wajah Tari kembali menegang. Ia merasa tangannya dingi
n dan jantungnya berdetak begitu cepat. Entah mengapa, Ata menjadi sosok yang be
gitu menakutkan.
Nggak ada urusannya sama gue! ujar Tari ketus. Ia tak tahu dapat keber
anian darimana untuk ngomong kayak barusan. Tapi yang pasti, ia harus berusaha m
elawan Ata mulai sekarang. Karena bendera perang sudah dikibarkan lebih awal ole
h Matahari Jingga itu.
Menurut lo, ini nggak ada hubungannya sama lo? Masa lo lupaama janji
gue kemaren? Bukannya gue udah bilang kalo gue bakalan nge gangguin hidup lo mul
ai sekarang? Gue juga bakalan dengan senang hati untuk buat lo nangis! Sayangnya
gue nggak bakalan sekolah di Airlangga dan bisa lebih dekat lagi ama lo. Tapi, n
ggak pa-pa. Dengan gue pindah ke Jakarta aja, itu berarti gue udah satu step leb
ih dekat ama lo!
Kenapa? Kenapa lo jadi aneh? Tanya Tari lirih.
Kenapa gue jadi aneh? Ata mengulang pertanyaan Tari barusan. Emang lo u
dah pernah mengenal gue sebelumnya? Gue emang begini kok!
Tari tersentak. Ia kembali membisu. Itu bener. Dia memang belum meng
enal Ata. Hanya saja, Tari sering lupa kalo Ata yang sempat jadi bagian dari hid
upnya kemaren adalah Ari. Ari yang menyamar jadi Ata. Ari yang dulu membohonginy
a dan menjadi dua orang berbeda hanya karna inginnya cowok itu melampiaskan kepe
natan dalam dirinya yang tidak Tari mengerti.
Sekarang ini, lo Cuma perlu ngucapin selamat datang aja, Tar, buat hari
-hari kesialan lo yang bakal datang sebentar lagi.
Lo nggak punya hak untuk ganggu hidup gue! Lo pikir lo siapa? bentak T
ari yang sudah tidak tahan lagi.
Lo yang udah mutusin untuk ikut masuk ke dalam hidup Ari! Jadi lo jug
a harus ikut nanggung semua hal yang harusnya Ari rasain! Karna waktu udah buat
begitu banyak hal jadi nggak bisa dimengerti, Tar! ujar Ata sinis. Tari bertamba
h bingung dengan pa yang diucapkan Ata barusan. Bingung dengan apa tujuan Ata ya
ng sebenarnya. Ia kini tak mampu untuk berkata apa-apa lagi.
Gue rasa cukup. Gue Cuma mau ngomong itu doing. Gue harap lo bisa nyi
apin mental dan pikiran lo dari sekarang! kata Ata. Oh ya, satu lagi Kalo lo mau ng
asih tau Ari soal ancaman gue ini, itu hak lo! Tapi gue rasa lo cewek baik. Gue
yakin lo nggak bakalan tega ngebiarin Ari terpuruk lagi karena ulah gue, saat d
ia udah mulai menata kembali mimpinya untuk punya keluarga yang bahagia. ujar At
a mengakhiri pembiacaraan.
Begitu telefon diputus oleh Ata, Tari terduduk lemas. Pandangannya k
osong. Ditahnnya butir-butir bening yang hampir tumpah dari pelupuk mata. Rasa t
akut, bingung, dan ketidakberdayaan berkumpul dan berkecamuk dalam hatinya. Belu

m lagi usai rasa risau karna kedatangan Ata, Angga sudah kembali datang dan memp
erkisruh suasana.
Tak terpikirkan lagi oleh Tari tentang tugas kimianya tadi. Bahkan u
ntuk tidur dan memejamkan mata saja sudah sangat sulit untuk dilakukan. Inikah t
antangan yang baru dalam babak-babak kehidupan SMA Tari? Padahal baru saja Tari
bisa menjalani hari-hari sekolah normal semenjak perubahan positif pada diri Ari
.
Apa yang harus diperbuat oleh Tari? Ia sendiri belum bisa menjawabny
a. Tari kini hanya bisa terdiam dan pasrah pada semua yang akan ia hadapi. Ini b
isa jadi adalah awal mula dari hari-hari berat yang kembali harus ia jalani. Har
i-hari berat bersama pahlawan pelindung nya di waktu lalu dan dua sosok matahari
kini jadi terlihat benar-benar berbeda.

yang

You might also like