Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi organ dalam tubuh akan mengalami
penurunan, tidak terkecuali pada sistem genitourinaria. Adanya penurunan fungsi dari
sistem genitourinaria ini dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia. Inkontinensia
adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup untuk mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau social. Inkontinensia
dapat berupa inkontinensia urin dan inkontinensia alvi. Inkontinensia urin adalah
keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya. Sedangkan inkontinensia alvi adalah
keluarnya feses pada waktu yang tidak dikehendaki dan lebih jarang ditemukan.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar
antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di
rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau feses atau inkontinensia
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu
atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu
yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine ataupun alvi merupakan gejala
yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan
kualitas hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin atau alvi yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera
ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati,
2000).
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis akan membahas mengenai
inkontinensia urin dan alvi pada lansia agar dapat menambah pengetahuan pembaca
serta mampu memberikan penanganan pada lansia yang mengalaminya, dan
khususnya penanganan oleh perawat sebagai tenaga kesehatan melalui pemberian
asuhan keperawatan gerontik.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
2. Apa saja klasifikasi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
3. Apa etiologi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
4. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
5. Apa tanda dan gejala inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang inkontinensia urin dan inkontinensia alvi?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
3. Untuk mengetahui etiologi dari inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
4. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang inkontinensia urin dan inkontinensia
alvi
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi.
8. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan pada
lansia dengan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Definisi
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat setelah berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya
terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan
spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien
Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat
menahan kencing segera setelah timbul sensasi
ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat
Inkontinensia total
yang
terus
menerus
dan
tidak
dapat
independen
pembedahan,
dan
refleks
trauma
atau
detrusor
penyakit
karena
yang
neuropati.
tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia
stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak
dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan
meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat,
Inkontinensia reflex
tertawa.
Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran
urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh
adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis).
Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung
kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
Inkontinensia fungsional
C. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis.
Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
4
kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau
adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya
dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika
perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi
urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti
diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan
yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang
bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi
urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet
secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah
masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena
penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau
penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal
pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika,
antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic
alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU.
Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal
yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot
dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
5
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan
otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar
hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi
penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan
inkontinensia.
Semakin
tua
seseorang
semakin
besar
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat
di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume
kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi
pengeluaran urin secara kontinen.
normal diluar kesadaran dan yang didalam kesadaran yang dikonrdinasi oleh
refleks urethrovsien urinaris. Bila terjadi pengisian kandung kencing tekanan
6
Stimulus
Sering miksi
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.
Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut
misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar
secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat
pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk
berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada
interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
8
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan
berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan
lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul
dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut
adalah dengan cara : Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam
keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10
kali, ke depan ke belakang 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses
pada saat kita buang air besar dilakukan 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot
dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik
flavoxate,
untuk
meningkatkan
retensi
urethra.
Pada sfingter
overflow umumnya
memerlukan
tindakan
pembedahan
untuk
KONSEP
ASUHAN
KEPERAWATAN
PADA
LANSIA
DENGAN
INKONTINENSIA URIN
A. PENGKAJIAN
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih)
yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5) Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, Hipertensi.
6) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri
10
darah
yang
terjadi
(memberikan
perawatan
perianal,
Diagnosa 3
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi
konstan oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan
integritas kulit teratasi.
Kriteria Hasil :
Jumlah bakteri <100.000/ml.
Kulit periostomal tetap utuh.
Suhu 37 C.
Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil
yang diharapkan.
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang
baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar
diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang
benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit
dan peningkatan resiko infeksi.
Diagnosa 4
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume
cairan seimbang
13
III.
atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair (broklehurst dkk,
1987)
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat
obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat
pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert Thomson)
3. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses
defekasi (inkontinensia neurogenik)
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi
akibat
gangguann
fungsi
Tingkatkan asupan cairan dan instruksikan klien untuk minum cairan hangat
dan jus buah, juga masukkan serat dalam diet.
Untuk Diare
Anjurkan asupan cairan dan makanan lunak. Makan dalam porsi kecil dapat
membantu karena lebih mudah diserap. Minuman terlalu panas / dingin
seharusnya dihindari sebab merangkasang peristaltik. Makanan tinggi serat
dan tinggi rempah dapat mencetuskan diare. Untuk manajemen diare, ajarkan
klien sebagai berikut :
a. Minum minimal 8 gelas / hari untuk mencegah dehidrasi
b. Makan makanan yang mengandung Natrium dan Kalium. Sebagian besar
makanan mengandung Na. Kalium ditemukan dalam daging, beberapa
sayuran dan buah seperti tomat, nanas dan pisang.
c. Tingkatkan makanan yang mengandung serat yang mudah larut seperti
pisang
d. Hindari alkohol dan minuman yang mengandung kafein
e. Batasi makanan yang mengandung serat tidak larut seperti buah mentah,
sereal
f. Batasi makanan berlemak
g. Bersihkan dan keringkan daerah perianal sesudah BAB untuk mencegah
iritasi
h. Jika mungkin hentikan obat yang menyebabkan diare
i. Jika diare telah berhenti, hidupkan kembali flora usus normal dengan
minum produk-produk susu fermentasi.
Untuk Flatulensi
Batasi minuman berkarbinat, gunakan sedotan saat minum dan mengunyah
gusi; untuk meningkatkan pencernaan udara. Hindari makanan yang
menghasilkan gas, seperti kubis, buncis, bawang dan bunga kol.
Latihan
Latihan teratur membantu klien mengembangkan pola defekasi normal. Klien
dengan kelemahan otot abdomen dan pelvis (yang mengganggu defekasi
normal) mungkin dapat menguatkannya dengan mengikuti latihan isometrik
sebagai berikut :
Dengan posisi supine, perketat otot sbdomen dengan mengejangkan,
menahan selama 10 detik dan kemudian relax. Ulangi 5 10 kali sehari
tergantung kekuatan klien.
Positioning
Meskipun posisi jongkong memberikan bantuan terbaik untuk defekasi. Posisi
pada toilet adalah yang terbaik untuk sebagian besar orang. Untuk klien yang
mengalami kesulitan untuk duduk dan bangun dari toilet, maka memerlukan
19
alat bantu BAB seperti commode, bedpad yang jenis dan bentuknya
disesuaikan dengan kondisi klien.
Obat-obatan
Obat-obatan yang termasuk kategori mempengaruhi eliminasi alvi adalah
katarsis dan laxantive, antidiare dan antiflatulensi
Mengurangi flatulensi
Ada banyak cara untuk mengurangi / mengeluarkan flatus, meliputi
menghindari makanan yang menghasilkan gas, latihan, bergerak di tempat
tidur dan ambulasi. Gerakan merangsang peristaltik dan membantu
melepaskan flatus dan reabsorbsi gas dalam kapiler intestinal. Satu metode
untuk penanganan flatulensi adalah dengan memasukkan suatu rectal tube.
Caranya adalah sebagai berikut :
1. Gunakan rectal tube ukuran 22 30 F untuk dewasa dan yanglebih
kecil untuk anak
2. Tempatkan klien pada posisi miring
3. Berikan lubrikasi untuk mengurangi iritasi
4. Buka anus dan masukkan rectal tube dalam rektum (10 cm). Rectal
tube akan merangsang peristaltik. Jika tidak ada flatus yang keluar,
masukkan tube lebih dalam. Jangan menekan tube jika tidak bisa
masuk dengan mudah.
5. Lepaskan tube jangan lebih dari 30 menit untuk menghindari iritasi.
Jika terjadi distensi abdomen, masukkan tube setiap 2 3 jam.
6. Jika tube tidak dapat mengurangi flatus, konsul dengan dokter untuk
pemakaian suppository, enema atau obat-obatan yang lain.
Pemberian Enema
Enema adalah larutan yang dimasukkan dalam rektum dan usus besar. Cara
kerja enema adalah untuk mengembangkan usus dan kadang-kadang
mengiritasi
mukosa
usus,
meningkatkan
peristaltik
dan
membantu
hemorrhoid.
Berikan umpan balik positif kepada klien yang telah berhasil defekasi.
Hindari negative feedback jika klien gagal. Banyak klien memerlukan
waktu dari minggu sampai bulan untuk mencapai keberhasilan
IV.
KONSEP
A.
ASUHAN
KEPERAWATAN
PADA
LANSIA
DENGAN
INKONTINENSIA ALVI
PENGKAJIAN
Untuk mengkaji pola eliminasi dan menentukan adanya kelainan, perawat
melakukan pengkajian riwayat keperawatan, pengkajian fisik abdomen,
menginspeksi karakteristik feses dan meninjau kembali hasil pemeriksaan yang
berhubungan.
Riwayat Keperawatan
a. Pola defekasi
Kapan anda biasanya ingin BAB ?
Apakah kebiasaan tersebut saat ini mengalami perubahan ?
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
Apakah anda memperhatikan adanya perubahan warna, tekstur
(keras, lemah, cair), permukaan, atau bau feses anda saat ini ?
c. Masalah eliminasi fekal
21
Masalah apa yang anda rasakan sekarang (sejak beberapa hari yang
lalu) berkaitan dengan BAB (konstipasi, diare, kembung, merembes /
inkontinensia{tidak tuntas}) ?
Kapan dan berapa sering hal tersebut terjadi ?
Menurut anda kira-kira apa penyebabnya (makanan, minuman,
hasilnya ?
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
Menggunakan alat bantu BAB. Apa yang anda lakukan untuk
mempertahankan kebiasaan BAB normal ? Menggunakan bahan
dilakukan ?
Medikasi. Apakah anda minum obat yang dapat mempengaruhi
Normal
Abnormal
Kemungkinan penyebab
22
k
Warna
Dewasa :
kecoklatan
Pekat / putih
Merah
Pucat
Orange atau
hijau
Infeksi usus
Bayi : kekuningan
Konsistensi
Bentuk
Silinder (bentuk
rektum) dgn 2,5
cm u/ orang
dewasa
Jumlah
Tergantung diet
(100 400 gr/hari)
Bau
Aromatik :
dipengaruhi oleh
makanan yang
dimakan dan flora
bakteri.
Dehidrasi, penurunan
motilitas usus akibat
kurangnya serat, kurang
latihan, gangguan emosi dan
laksantif abuse.
Diare
Mengecil, bentuk
pensil atau
seperti benang
Tajam, pedas
Infeksi, perdarahan
Pus
Infeksi bakteri
23
bagian kasar
makanan yang
tidak dicerna,
potongan bakteri
yang mati, sel
epitel, lemak,
protein, unsurunsur kering
cairan pencernaan
(pigmen empedu
dll)
B.
C.
D.
E.
Mukus
Parasit
Konsidi peradangan
Darah
Perdarahan gastrointestinal
Lemak dalam
jumlah besar
Malabsorbsi
Salah makan
Benda asing
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan
a. Diare berkepanjangan
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
a. Diare berkepanjangan
b. Inkontinensia fekal
Harga diri rendah berhubungan dengan
b. Inkontinensia fekal
c. Perlunya bantuan untuk toileting
Defisit pengetahuan tentang bowel training
INTERVENSI
IMPLEMENTASI
EVALUASI
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1. Jakarta:
EGC.
Darmojo B. 2009. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi Keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Hariyati, Tutik S. 2000. Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan
inkontinensia
urin
pada
pasien
stoke. Diakses
dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal pada
tanggal 15 Juni 2015.
Hidayat, A. Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep Dan
Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Proses Dan Praktik. Ed. 4.
Jakarta: EGC.
Rochani. 2002. Penduduk
Indonesia
Idap
Inkontinensia
Urin.
Diakses
dari
26