Professional Documents
Culture Documents
Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, apabila
terganggu oleh manifestasi alergi primer, rinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan
alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis yang relatif ringan karena edema, dan akhirnya
berefek lanjut yaitu gangguan alergi kronik, seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara
hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rinitis alergi, baik
langsung maupun tidak langsung. 1
Alergi hidung dapat bersifat musiman, seperti demam jerami, atau menetap jika
disebabkan oleh debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai, atau ingestan dalam
diet sehari-hari. Hampir semua materi dalam udara atau yang dapat ditelan terbukti memiliki sifat
alergenik. Seringkali seorang pasien alergi terhadap sejumlah agen dan daripada hanya satu
inhalan saja.1
Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopik. Suatu
penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergika memperlihatkan bahwa 17 hingga
19 persen dari mereka juga menderita asma, namun 56 sampai 74 persen pasien asmatik ternyata
menderita rinitis alergika. Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini.1
Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetik dari
individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu.1
Rinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah mengalami
sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung, yaitu : reseptor histamine H1,
adrenoreseptor-alfa, adrenoreseptor-beta2, kolinoreseptor, reseptor histamine H2, dan reseptor
iritan. Dari semua ini, yang terpenting adalah reseptor histamine H1, dimana bila terserang oleh
histamine akan meningkatkan tahanan jalan nafas hidung, menyebabkan bersin-bersin, gatal dan
rinore. 1
RHINITIS ALERGI
1. Anatomi Hidung
A. Anatomi Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol
pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian :
yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah
kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang
mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil
yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri
dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os
frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan
3) tepi anterior kartilago septum.2
berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka
media disebut meatus superior.2
Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari : 2
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal
os palatum.
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap
hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
3
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,
Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.2
Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal
dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti
laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan
hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus
4
frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadangkadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.2
5
Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas
posterior nostril.2
Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares
posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh
os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus. Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus
zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala
yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus
alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial
dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.2
melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal.
Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau
ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.2
nervus nasalis posterior inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan
simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi
yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau
yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus (silia
olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga hidung.3
Gambar 6.
Persarafan hidung
2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori
struktural,
fungsional,
2)
pengatur
teori
fungsi
kondisi
udara (air conditioning); 3) sebagai penyaring dan pelindung; 4) indra penghidu; 5) resonansi
suara; 6) proses bicara; 7) refleks nasal.4
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan
aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.4
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : 4
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh : 4
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat. 4
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.(4)
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran
udara.4
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.4
3. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.5
10
2) Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3) Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
4) Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik, perhiasan.
ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan 5
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi5 :
1) Intermiten (kadang-kadang) bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu
12
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi5 :
1) Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur,gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang meganggu
2) Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
6. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase
Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai
24-48 jam.5
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
13
14
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.5
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu
ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema,
urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga
perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala.
8. Penatalaksanaan
1) Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.5
2) Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
per oral.5
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1
(klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
18
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah
difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat
diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik,
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1
perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP
minimal (non-sedatif). 5
Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak
efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama
adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas
terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah
ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin,
desloratadin, dan levosetirisin.5
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.5
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason
furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma.5
Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat
topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat
proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil
terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 5
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel
19
efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 5
3) Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti
atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3
25% atau triklor asetat.5
4) Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody
dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sub-lingual.5
9. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah5:
1) Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
2)
3)
4)
5)
20
10. Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat
memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan
semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi
penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang
itu dalam jangka panjang.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2013. P. 210-7.
2. Anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf . Accesed
at : November 25, 2011.
3. Anatomi Hidung. Available from : http://www.scribd.com/doc/38904487/Anatomi-Hidung .
Accesed at : November 25, 2011.
4. Anatomi Hidung. Available from : http://www.scribd.com/doc/52832505/7/Anatomi-Hidung
Accesed at : November 25, 2011.
5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae N, Ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2007. p. 128-32
22