Professional Documents
Culture Documents
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator positif
meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan
meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau bahkan dituntut
pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada
gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari. Secara
psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati
kebebasan otonomi paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam
kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua
pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa
telah terjadi malpraktek.
Dari definisi malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan
tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan
terhadap
pasien
atau
orang
yang
terluka
menurut
ukuran
dilingkungan
yang sama. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari
definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga
kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim
dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah
bukan
merupakan
resiko
yang
melekat
terhadap
suatu
tindakan
medis
tersebut (risk
of
treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah
perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan
hasil (resultaa verbintenis).
Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah
merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam
membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,harus dibuktikan apakah
perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a.
Apakah
perbuatan (positif
act) merupakan
perbuatan
yang
tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh
atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan
sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah
adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang
hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara
yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
1.
Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak
berdasarkan
(1)
(2)
(3)
(4)
1.
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
1.
2.
Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak
dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
tidak
yakni
hasil
langsung
dengan
layanan
merupakan
cara
mengajukan
perawatan
pembuktian
yang
fakta-fakta
yang
(doktrin
res
mudah
diderita
ipsa
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
bagi
olehnya
loquitur).
pencegahan
Upaya
pencegahan
malpraktek
malpraktek
dalam
pelayanan
kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk
daya
b.
upaya
(inspaning
Sebelum
c. Mencatat
d. Apabila
melakukan
semua
terjadi
e. Memperlakukan
f. Menjalin
verbintenis)
bukan
intervensi
tindakan
komunikasi
secara
yang
agar
yang
keragu-raguan,
pasien
perjanjian
selalu
dengan
berhasil
dengan
pasien,
(resultaat
dilakukan
dilakukan
konsultasikan
manusiawi
baik
akan
consent.
rekam
medis.
senior
memperhatikan
keluarga
informed
dalam
kepada
dan
verbintenis).
atau
segala
dokter.
kebutuhannya.
masyarakat
sekitarnya.
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat
mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik ( risk of
treatment),atau
rea)sebagaimana
mengajukan
alasan
disyaratkan
bahwa
dalam
dirinya
tidak
perumusan
mempunyai
delik
sikap
yang
batin (men
dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban,
dengan
mengajukan
bukti
bahwa
yang
dilakukan
adalah
pengaruh
daya
paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga
yang
sifatnya
teknis
pembelaan
diserahkan
kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan
perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien
atau pengacaranya harus membuktikan
bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil
malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res
ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of
duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang
kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.
pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien
memilih diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama bila
salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur
pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut
pandang terhadap dokter dengan pasiennya.
Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam menentukan
cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter
tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih cara
pengobatan termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak.
Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan mengajukan
gugatan terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap
merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka
anggap sebagai ancaman. Penerapan hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi hukum.
Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk
mengatur dan mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum
tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran akan kehilangan
martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil
sehingga mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam suasana
tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan hukum dan bukan mengenai
masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini
menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga
kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma
etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu meningkatkan mutu dan
jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu menyelesaikan problema
medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan
diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu dokter
bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni tersendri karena memerlukan imajinasi
setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya.
Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni
(science and art) yang harus diramu sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang
mendekati kebenaran.
Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh
dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat terjadi kematian
sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh pihak luar profesi kedokteran
sebagai malpraktek medik.
Latar belakang timbulnya Malpraktek
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan
terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan
individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara
dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak
dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien.
Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian
terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar
yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan
dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari
transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.
dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan
pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan
dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang
demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai
malpraktek.
Jenis Malpraktek
1.
Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan
etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan
seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan
teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan
kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan
diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih
cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain :
Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana
dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk
memberikan hadiah kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa
tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan
diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi
pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji
pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan
malpraktek etik.
1.
Malpraktek Yuridik
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi)
didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
Melakukan
apa
yang
menurut
kesepakatannya
wajib
dilakukan
tetapi
terlambat
melaksanakannya.
Ada kerugian
Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum
dengan kerugian yang diderita.
Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan
lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien
yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
1.
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia
kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang
lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
1.
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
1.
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hatihati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
1.
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum
Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya,
manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat
catatan medik.
Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal
pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang
tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak
memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya
paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai
pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut :
1.
Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak
harus normal.
2.
Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3.
kesengajaan
diartikan
yaitu
melakukan
perbuatan
yang
dilarang
dengan
pada
tubuh
pasien,
misalnya
seorang
ahli
dokter
kandungan
yang
melakukan
pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin)
mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang
lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu
menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah UndangUndang si pembuat luka dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam
setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut
tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang
terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi
dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan
sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki
melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak.
Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap
harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan
menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan
tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang
berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.
Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya
hukum
pidana,
hukum
perdata
dan
hukum
administrasi
tidak
mengenal
bangunan
hukum
malpraktek.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan
pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari
pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru
dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau
hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya
tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang
berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas
dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan
oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan,
sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang
semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di
Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982
dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan
dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul
dalam
bentuk
modifikasi
tersendiri.
Setiap
ada
persoalan
yang
menyangkut
medical
law
penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang
No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya
hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek
yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran
barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan
pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan
sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang
kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan
nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat
ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam
melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam
pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau
kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai
penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena
menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam
mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik
melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI)
tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya
seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu
kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran
etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan
yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan
Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau
kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri
dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang
mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila
dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif,
karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya
sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi.
Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja
dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
serupa
diutarakan
oleh J.
Guwandi dengan
mengutip Blacks
Law
Dictionary,
sebagaimana kami sarikan dari buku Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi
Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek(Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H.)
(hal. 23-24):
Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam
ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap
tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan
pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan
kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari
profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima
pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu.
Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan
keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum,
praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.
Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied
to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied
under all the circumstances in the community by the average prudent reputable
member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of
Pidana
dan
Peraturan-peraturan
perundang-undangan
lain,
maka
etik biasanya juga dijadikan dasar bagi organisasi profesi tersebut untuk memeriksa apakah
ada pelanggaran dalam pelaksanaan tugas.
Untuk profesi akuntan publik, selain kode etik, ditambah pula dengan Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP), yaitu acuan yang ditetapkan menjadi ukuran mutu yang wajib
dipatuhi oleh Akuntan Publik dalam pemberian jasanya (Pasal 1 angka 11 UU Akuntan
Publik). Seperti juga profesi akuntan publik, profesi dokter dan dokter gigi juga memiliki
peraturan disiplin profesional yang diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Atas segala ketentuan terkait pedoman profesi-profesi di atas (baik yang ada dalam
peraturan perundang-undangan maupun kode etik), terdapat pihak yang akan melakukan
pengawasan dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran ketentuan profesi-profesi tersebut.
Biasanya terdapat organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi
profesi tersebut.
Untuk profesi advokat, pihak yang melakukan pengawasan dan dapat menjatuhkan sanksi
terhadap malpraktik advokat adalah Organisasi Advokat dan Dewan Kehormatan Organisasi
Advokat (Pasal 26 UU Advokat). Sedangkan untuk profesi Notaris dilakukan oleh Majelis
Pengawas (Pasal 67 UU Jabatan Notaris), untuk profesi akuntan publik dilakukan oleh
Menteri Keuangan (Pasal 53 UU Akuntan Publik), dan untuk profesi dokter serta dokter
gigi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Pasal 1 angka 3
Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
Indonesia).
Organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi
biasanya akan menjatuhkan
sanksi
administratif kepada
anggotanya yang
terbukti
melanggar kode etik. Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa ia dapat pula dikenakan
sanksi pidana apabila terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang masing-masing profesi.
Selain itu, klien atau pasien sebagai pengguna jasa juga merupakan konsumen sehingga
dalam hal ini berlaku juga ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK). Profesi-profesi sebagaimana disebutkan di atas termasuk sebagai
pelaku usaha (Pasal 1 angka 3 UUPK), yang berarti ketentuan Pasal 19 ayat (1)
UUPK berlaku pada mereka:
Pasal 19 ayat (1) UUPK:
Pelaku
usaha
bertanggung
jawab
memberikan
ganti
rugi
atas
kerusakan,
Jadi, tindakan seperti apa yang termasuk sebagai malpraktik ditentukan oleh organisasi
profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kode etik masing-masing profesi. Setiap tindakan yang
terbukti sebagai tindakan malpraktik akan dikenakan sanksi.
bidang
professional.
Tindakan
malpraktik
medik
yang
jenis
dan
bentuknya,
misalnya
kesilapan
melakukan
atau
gagal
melaksanakan
perawatan
terhadap
pasien
Sejak
2006 hingga 2012, tercatat ada 183 kasus kelalaian medik atau
bahasa awamnya malpraktek yang terbukti dilakukan dokter di
seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah
melalui
sidang
yang
dilakukan
Majelis
Kehormatan
Disiplin
ulang.
menyebabkan
Artinya,
terjadinya
pengetahuan
kasus
malpraktek.
dokter
kurang
Mereka
sehingga
kurang
dalam
Hubungan antara dokter dan pasien terjadi suatu kontrak (doktrin socialcontract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan selfregulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa
profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang
melaksanakan
praktek
profesinya
sesuai
dengan
standar.
Sikap
kompetensi dan
kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis
sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah
dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang
kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut
dapat terwujud.
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam
bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif,
serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan
pasien, fraud, penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud,
keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek
tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak harus
berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih
dapat
terjadi
dalam
tidak
tepat/layak
bentuk,
yaitu malfeasance,
melakukan
tindakan
yang
misalnya
melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis
tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis
yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu
misalnya
melakukan
tindakan
medis
dengan
menyalahi
kelalaian
yang
dilakukan
orang-per-orang
bukanlah
merupakan
perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang
seharusnya
(berdasarkan
mengakibatkan
sifat
kerugian
profesinya)
atau
bertindak
cedera
hati-hati,
bagi
dan
telah
orang
lain.
Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban
dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang
terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan
medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk
menyetujui atau menolak tindakan medis.