You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah


Perbankan merupakan salah satu industri penting di Indonesia yang berperan

sebagai penunjang kemajuan ekonomi. Sebagai lemabaga yang memegang peran


penting dalam perekonomian Indonesia, bank rentan menghadapi risiko dan
tantangan yang semakin kompleks. Risiko dan tantangan yang dihadapi bank bersifat
internal dan eksternal. Tantangan internal berasal dari pihak manajemen bank itu
sendiri sedangkan tantangan eksternal bank dapat berasal dari kondisi perekonomian
suatu negara tempat bank tersebut beroperasi (Permatasari dan Novitasary, 2014).
Perbankan juga mempunyai tujuan untuk menunjang pembangunan nasional,
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah
peningkatan kesejahteraan karena perbankan mampu menembus berbagai lapisan
masyarakat tanpa diskriminasi (Ibadil, 2013).
Perbankan menyangkut segala sesuatu tentang bank, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta prosesnya semua tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan. Sedangkan bank adalah badan usaha yang berfungsi
sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak yang memiliki
kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana. Sebagai lembaga intermediasi,
bank berperan penting dalam menghimpun dana dan menyalurkannya ke sektor riil
dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi (Agent of Development). Perbankan
juga berperan sebagai lembaga penyelenggara dan penyedia layanan jasa-jasa di
bidang keuangan serta lalu lintas sistem pembayaran (Agent of Services). Dengan
peranannya tersebut, bank telah menjadi lembaga yang turut mempengaruhi
perkembangan perekonomian suatu negara dimana dalam menjalankan kegiatannya
tersebut rentan terhadap risiko, terutama dalam menjalankan prinsipnya yaitu untuk

meningkatkan laba (Attar, 2014). Mehr dan Hedges dalam bukunya Risk
management, Concept and Application, menulis bahwa tujuan umum (General
Objectives) perusahaan adalah :
1. Profit atau layanan yang efisien.
2. Good citizenship.
3. Kepuasan pribadi.
Perusahaan, termasuk bank, didirikan dengan berbagai macam tujuan seperti
menjadi agen pembangunan, memberikan pelayanan yang baik pada masyarakat,
mendorong pertumbuhan ekonomi dan memenuhi harapan para pemangku
kepentingan termasuk pemerintah, regulator, pegawai, masyarakat, dan lain
sebagainya. Namun, tujuan pokok dari perusahaan termasuk bank adalah memberikan
nilai tambah dan meningkatkan kekayaan pemegang saham. Pemilik modal memiliki
berbagai pertimbangan dan pilihan bagaimana cara untuk menempatkan uang mereka
dan mengharapkan laba.
Dengan laba sebagai salah satu ukuran kinerja perusahaan yang sering
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Laporan mengenai rugi laba suatu
perusahaan menjadi paling penting dalam laporan tahunan. Selain itu, kegiatan
perusahaan selama periode tertentu mencakup aktivitas rutin atau operasional juga
perlu dilaporkan sehingga diharapkan bisa memberikan informasi yang berkaitan
dengan tingkat keuntungan, risiko, fleksibilitas keuangan, dan kemampuan
operasional perusahaan. Prediksi kinerja keuangan suatu perusahaan pada umumnya
dilakukan oleh pihak internal (manajemen) dan pihak eksternal perusahaan yang
memiliki hubungan dengan perusahaan yang bersangkutan seperti investor, kreditur,
dan pemerintah (Arthesa dan Handiman, 2006).
Namun terjadinya gejolak nilai tukar rupiah pada awal Juli 1997 menjadi
pemicu awal pemerintah melakukan pengetatan likuidasi. Kondisi ini kemudian
memunculkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, terutama

pasca pencabutan ijin 16 bank pada tanggal 1 November 1997. Hal ini berdampak
sangat buruk, terutama memicu terjadinya depresiasi kepercayaan terhadap
perbankan. Terjadinya penarikan dana secara besar-besaran mengakibatkan banyak
bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang sangat parah (mismatch) yang disusul
dengan kelangkaan likuiditas perekonomian secara keseluruhan (liquidity crunch).
Keadaan semakin diperparah dengan melambungnya suku bunga Pasar Uang Antar
Bank (PUAB) hingga mencapai 300% per tahun. Keputusan likuidasi 16 bank pada
tanggal 1 November 1997 dianggap sebagai pemicu krisis kepercayaan yang berlanjut
dengan terpuruknya sektor perbankan. Padahal, tindakan likuidasi itu diambil untuk
mencegah semakin meluasnya krisis perbankan (systemic risk) dan besarnya risiko
yang ditanggung masyarakat

(economic cost). Namun, upaya yang semula

dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan kepada perbankan itu ternyata oleh


masyarakat ditanggapi secara negatif oleh masyarakat. (Unit Khusus Museum Bank
Indonesia: Sejarah Bank Indonesia. Sejarah Bank Indonesia : Perbankan Periode
1997-1999). Krisis yang berkelanjutan membuat sektor perbankan mengalami
dampak yang begitu besar selain penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat juga
bertambahnya jumlah kredit yang bermasalah. Efek krisis juga terlihat pada kinerja
perbankan tahun 2013. Laju kredit mulai menurun, dari 23,24% pada 2012 menjadi
21,89% pada 2013. Pada saat itu kondisi ini diprediksi akan berlanjut pada 2014 dan
Bank Indonesia juga memprediksi, pertumbuhan kredit kisaran 15%-17%, sementara
kajian Biro Riset Infobank (birl) menaksir di kisaran 15%-20%. Mahalnya biaya
dana (cost of fund) memaksa bank-bank interest margin (NIM) demi menjaga daya
serap dan kualitas kredit. NIM perbankan pada 2013 terlihat mulai menurun, dari
5,41% pada 2012 menjadi 4,22%. Per Maret 2014 makin menurun menjadi 4,28%. Di
lain sisi, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) menurun dari 15,99% pada 2012
menjadi 13,82%. Kondisi tersebut membuat bank-bank tak berharap banyak akan bisa
menggenjot perolehan laba. Lihat saja, pada 2013 pertumbuhan laba hanya sebesar
13,83%, jauh di bawah pertumbuhan laba 2012 sebesar 21,70% (Infobank).

Menurut Purwanto (2011) ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap


kinerja keuangan bank yaitu: melemahnya nilai tukar rupiah, lemahnya kondisi
internal bank seperti manajemen yang kurang memadai dan pemberian kredit kepada
kelompok atau group usaha sendiri telah mendorong tingginya risiko kredit macet,
tingkat kompleksitas usaha yang tinggi akan meningkatkan risiko yang dihadapi oleh
bank dan modal yang tidak dapat menutupi terhadap risiko-risiko yang dihadapi oleh
bank tersebut menyebabkan kinerja bank menurun. Perannya yang besar dalam
perekonomian di Indonesia memperngaruhi tata kelola perbankan dimana kehatihatian adalah prinsip. Sebagai prinsip utama, kehati-hatian merupakan perwujudan
sikap tanggung jawab terhadap kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat dan juga
sebagai upaya antisipasi terhadap peristiwa krisis moneter yang pernah terjadi pada
tahun 1997 (Sugianto, 2014), dimana bank kesulitan likuiditas, kualitas asset
memburuk, tidak mampu menciptakan earning dan akhirnya modal terkuras dalam
waktu yang sangat cepat dan kondisi ini melanda hampir semua bank di Indonesia
sehingga membuat perbankan merupakan industri paling rentan terhadap kejadian
ekonomi. Kondisi yang memprihatinkan ini berlangsung hingga tahun 2004 yang
dicerminkan oleh return on asset (ROA) negatif, terjadinya negative spread, sangat
sedikit bank yang membagi dividen, likuiditas rendah, kredit bermasalah atau Non
Performing Loan (NPL) relatif tinggi dan risiko kecukupan modal bank di bawah 8%
bahkan beberapa bank mengalami Capital Adequacy Ratio (CAR) negative. (Rivai et
al, 2013). Semua kejadian ini merefleksikan kerentanan terhadap kegiatan
operasional bank sehari-hari, termasuk pemberian kredit dan aktivitas-aktivitas
perbankan lainnya yang berisiko.
Risiko dan tantangan yang semakin kompleks akibat kegiatan usaha bank
yang beragam mewajibkan bank untuk meningkatkan kebutuhan akan penerapan
manajemen risiko untuk meminimaliskan risiko yang terkait dengan kegiatan usaha
perbankan maka perlu dilaksanakan penilaian terkait dengan tingkat kesehatan bank

umum di Indonesia sebai maksud agar bank-bank umum di Indonesia dapat bertahan
dalam menghadapi tantangan dan risiko yang semakin kompleks. Menurut Bank
Indonesia PBI 5/8/PBI/2003, risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu
peristiwa (events) tertentu. Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu
kejadian potensial , baik yang dapat diperkirakan (expected) maupun yang tidak dapat
diharapkan maupun yang tidak dapat diharapkan (unexpected) yang berdampak
negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank sehingga menurut Darmawi (2011)
beberapa risiko yang sering dihadapi oleh bank antara lain : risiko redit, risiko
likuiditas dan risiko operasional. Risiko kredit merupakan risiko yang timbul sebagai
akibat dari kegagalan nasabah dalam memenuhi kewajibannya. Indikator yang
digunakan untuk mengukur risiko kredit adalah NPL (Non Performing Loan) yaitu
perbandingan antara total kredit bermasalah dengan total kredit yang diberikan bank
kepada debitur. Risiko likuiditas merupakan risiko yang disebabkan oleh
ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. LDR (Loan to
Deposit Ratio) adalah indikator yang digunakan untuk risiko likuiditas. LDR
menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan
deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditas. LDR
dirumuskan dengan membandingkan jumlah kredit yang disalurkan dengan dana
pihak ketiga. Risiko operasional merupakan risiko yang disebabkan oleh kurang
berfungsinya proses internal bank, human error, kegagalan sistem teknologi, atau
akibat permasalahan eksternal. Untuk risiko operasional indikator yang digunakan
adalah BOPO (Beban Operasional terhadap Pendapatan operasional). BOPO
menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional
terhadap pendapatan operasional.
Dalam jurnalnya Yushita (2008) mengatakan bahwa sebagai lembaga
intermediasi keuangan yang berbasis kepercayaan, risiko sangat penting dalam dunia
perbankan untuk menekan terjadinya kerugian akibat risiko maupun memperkuat
struktur kelembagaan maka dengan risiko yang semakin kompleks dalam industri

perbankan dibutuhkan praktik good corporate governance dan fungsi manajemen


risiko yang baik sebagai upaya untuk menghindari terjadinya krisis perbankan.
Yushita (2008) juga mengatakan apabila permasalahan yang terjadi pada suatu bank
tidak ditangani secara tepat maka akan menciptakan dampak ikutan (contagion effect)
baik secara domestik maupun internasional.
Maka sebagaimana menangapi hal-hal tersebut Peraturan Bank Indonesia
nomor: 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Pasal 2 ayat
(1) menyebutkan Bank wajib memelihara dan/atau meningkatkan Tingkat Kesehatan
Bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam
melaksanakan kegiatan usaha. Penilaian tersebut meliputi integasi profil risiko bank,
Good Corporate Governance (GCG), rentabilitas, dan permodalan bank. Tingkat
kesehatan didukung perlu didukung manajemen risiko dan tata kelola perusahaan
yang baik. Penerapan manajemen risiko perbankan di Indonesia diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 19 Mei 2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi bank umum mencakup prosedur dan metodologi pengelolaan
risiko, memberikan batas atau limit yang dapat diterima oleh bank. Penerapan
manajemen risiko akan memberikan manfaat baik kepada perbankan maupun otoritas
pengawasan bank. Implementasi manajemen risiko pada bank di Indonesia diarahkan
sejalan dengan standar baru secara global yang dikeluarkan oleh Bank for
International Settlement (BIS) dengan konsep permodalan baru dimana kerangka
perhitungan modal lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan
insentif terhadap peningkatan kualitas manajemen risiko di bank atau yang lebih
disebut dengan Basel II. Sebagaimana diadopsi oleh Bank Indonesia, integrasi profil
risiko bank erat kaitannya dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009
tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum agar perbankan Indonesia
dapat beroperasi secara lebih berhati-hati dan penerapannya disesuaikan dengan
tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank

dalam hal keuangan, infrastruktur pendukung maupun sumber daya manusia (Sari,
2012). Tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan kepercayaan nasabah kepada
industri perbankan.
Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 merupakan wujud keseriusan
Bank Indonesia dalam masalah manajemen risiko perbankan. Keseriusan tersebut
lebih dipertegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No.
7/25/PBI/2005 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko bagi pengurus dan pejabat bank
umum, yang mengharuskan seluruh pejabat bank dari tingkat terendah hingga
tertinggi untuk memiliki sertifikasi manajemen risiko yang sesuai dengan tingkat
jabatannya (Idroes dan Sugiarto, 2006). Hal ini mengingat peningkatan kompetensi
sumber daya manusia menjadi salah satu syarat utama yang harus dilakukan oleh
perbankan agar mampu melakukan manajemen risiko dengan baik dengan
mempunyai sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang
memadai di bidang manajemen risiko serta standar profesi dan kode etik untuk
meningkatkan kualitas manajemen risiko dan good corporate governance industri
perbankan Indonesia (Yushita, 2008). Bank Indonesia menekankan bahwa perbankan
dalam menjalankan bisnis dan pengendalian diperlukan untuk mengatur risikorisikonya, yang mencakup risiko: identifikasi; pengukuran; pemantauan; dan
pengendalian (Idroes dan Sugiarto, 2006). Bank menerapkan manajemen risiko bukan
semata karena ingin menaati peraturan Bank Indonesia, melainkan juga untuk
memuaskan shareholders yang menuntut pengimplementasian manajemen risiko
dengan benar. Di sisi lain Bank Indonesia berkepentingan mempromosikan
manajemen risiko di industri perbankan. Hal ini harus dilakukan karena kondisi
sistem perbankan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sistem
keuangan (Yushita, 2008).
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 13/30/DPNP/2011,
untuk mengukur tingkat kemampuan bank dalam memperoleh keuntungan digunakan

rasio profitabilitas diantaranya terdiri dari ROA (Return on Asset) dan ROE (Return
on Equipty). Rasio kecukupan modal, likuiditas, dan rentabilitas adalah tolak ukur
yang sering digunakan dalam pengukuran kinerja bank. Faktor lain yang juga
mempengaruhi kinerja perbankan adalah besarnya kredit bermasalah (non performing
loan) yang dimiliki oleh bank. Adapun kriteria yang dikeluarkan Bank Indonesia
untuk sebuah bank bisa menjadi bank jangkar (anchor bank) adalah : (1) Rasio
kecukupan modal (CAR) minimum 12% dengan rasio modal inti minimum 6%, (2)
Rasio Return On Asset (ROA) minimal 1,5%, (3) Pertumbuhan kredit riil sedikitnya
22% dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) sedikitnya 50% dan rasio kredit
bermasalah (NPL) dibawah 5%, (4) Merupakan perusahaan publik atau berencana
dalam waktu dekat menjadi perusahaan publik dan (5) Memiliki kemampuan menjadi
konsolidator. Rasio BOPO untuk industri perbankan nasional telah mencapai 91,5%
sehingga lebih efisien dibandingkan dengan bank-bank yang memiliki modal kecil
(Meliyanti, 2012).
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.13/30/DPNP/2011, untuk
mengukur tingkat kemampuan bank dalam memperoleh keuntungan digunakan rasio
profitabilitas. Rasio tersebut diantaranya terdiri dari ROA (Return on Asset) dan ROE
(Return on Equity). ROA adalah perhitungan laba sebelum pajak dibagi dengan total
aset. Sedangkan, ROE adalah perhitungan laba setelah pajak dibagi dengan modal
inti. Dan dalam penelitian ini Return on Asset (ROA) dipilih sebagai variabel
dependen dikarenakan rasio tersebut menggambarkan kemampuan bank dalam
menghasilkan laba. Semakin besar ROA semakin baik kinerja perusahaan karena
tingkat pengembalian atau return semakin besar. ROA ini digunakan untuk mengukur
kemampuan bank dalam menggunakan asset yang dimilikinya untuk menghasilkan
laba kotor sehingga semakin tinggi nilai ROA maka akan semakin baik kemampuan
atau kinerja bank.

Dalam penelitian risiko perbankan ini akan diukur menggunakan rasio-rasio


risiko perbankan antara lain Return on Assets (ROA), Non Performing Loan (NPL),
Loan to Deposit Ratio (LDR), dan BOPO.
Berikut ini beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengukuran kinerja
keuangan perbankan antara lain:
Non

Performing

Loan

(NPL)

yang

diteliti

oleh

Mawardi

(2005)

memperlihatkan hasil bahwa Non Performing Loan (NPL) berpengaruh negatif


terhadap Return On Asset (ROA). Hal ini diperkuat dengan penelitian Suyono (2005)
dan Ayuningrum (2011) yang dalam penelitiannya menunjukkan bahwa NPL juga
berpengaruh negatif namun tidak berpengaruh signifikan berbeda dengan penelitian
Usman (2003) yang menyimpulkan bahwa NPL berpengaruh positif namun tidak
signifikan terhadap Return On Asset (ROA).
Penelitian yang dilakukan Usman (2003) menunjukan bahwa hasil Loan to
Deposit Ratio (LDR) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return On Asset
(ROA). Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan
Suyono (2005) bahwa Loan to Deposit Ratio ( LDR) berpengaruh positif dan
signifikan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Werdaningtyas (2002)
menunjukkan hasil bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh negartif dan
tidak signifikan terhadap Return On Asset (ROA).
BOPO yang diteliti oleh Usman (2003) dan Sudarini (2005) memperlihatkan
bahwa BOPO berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return On Asset (ROA).
Sedangkan penelitian yang dilakukan Mawardi (2005), Mintarti (2007), dan
Ayuningrum (2011) menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu BOPO berpengaruh
negatif signifikan terhadap Return On Asset (ROA).
Sehubungan dengan hal-hal yang melatar belakangi masalah-masalah tersebut
diatas maka penulis menulis penulisan ilmiah ini dengan judul PENGARUH NON

10

PERFORMING LOAN, LOAN TO DEPOSIT RATIO, BEBAN OPERASIONAL


TERHADAP

PENDAPATAN

OPERASIONAL

TERHADAP

KINERJA

KEUANGAN BANK UMUM KONVENSIONAL DI BEI TAHUN 2013-2014.


1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka permasalahan yang

diajukan dalam penelitian ini adalah :


1. Bagaimana pengaruh Non Performing Loan (NPL), Loan to Deposit Ratio
(LDR), dan Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
secara parsial terhadap kinerja keuangan bank umum konvensional yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2013-2014?
2. Bagaimana pengaruh Non Performing Loan (NPL), Loan to Deposit Ratio
(LDR) dan Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
secara simultan terhadap kinerja keuangan bank umum konvensional yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2013-2014?
1.3

Batasan Masalah
Variabel bebas yang digunakan untuk penelitian ini adalah Non Performing
Loan (NPL), Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Beban Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO), sedangkan variabel terikatnya adalah ROA
untuk mewakili kinerja keuangan bank.

1.4

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menguji secara empiris:

11

1. Pengaruh Non Performing Loan (NPL), Loan to Deposit Ratio (LDR) dan
Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) secara parsial
terhadap kinerja keuangan bank umum konvesional yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia tahun 2013-2014.
2. Pengaruh Non Performing Loan (NPL), Loan to Deposit Ratio (LDR) dan
Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) secara simultan
terhadap kinerja keuangan bank umum konvesional yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia tahun 2013-2014.
1.5

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat bagi perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada perusahaan
terutama perusahaan perbankan yang ingin menerapkan rasio-rasio Non
Performing Loan (NPL), Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Beban
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) sebagai upaya
peningkatan kinerja keuangan bank, efisiensi biaya operasional, dan
menyalurkan kredit secara efisien.
2. Manfaat bagi akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi teman-teman
mahasiswa dan pihak-pihak lain yang akan melakukan penulisan ilmiah
mengenai pengaruh Non Performing Loan (NPL), Loan to Deposit Ratio
(LDR) dan Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
terhadap kinerja keuangan bank umum konvesional

12

3. Manfaat bagi penulis


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis mengenai
pengaruh Non Performing Loan, Loan to Deposit Ratio, dan BOPO terhadap
kinerja keuangan bank umum konvesional.

You might also like