You are on page 1of 12

REFERAT BRONCHIOLITIS

DEPARTMENT OF PEDIATRIC
MEDICAL FACULTY
BANDUNG
2006
ACUTE BRONCHIOLITIS
BRONKIOLITIS AKUT
Pendahuluan
Bronkiolitis akut merupakan sindroma infeksi saluran pernapasan yang ditandai oleh
obstruksi inflamasi saluran napas kecil (bronkiolus).
Insidensi
Bronkiolitis terutama menyerang anak-anak berusia di bawah dua tahun dengan insidensi
tertinggi pada usia enam bulan. Bronkiolitis akut yang terjadi di bawah umur satu tahun kurang
lebih 12% dari seluruh kasus, sedangkan pada tahun kedua, frekuensi insidensinya lebih jarang
lagi, yaitu sekitar setengah dari frekuensi tahun pertama (sekitar enam persen).
Etiologi
Bronkiolitis akut menimbulkan angka morbiditas terbanyak dari semua infeksi saluran
napas bawah pada anak-anak. Etiologi yang paling sering adalah Respiratory syncytial
virus (RSV), berkisar antara 45--55% dari total kasus yang ada. Sedangkan virus-virus lainnya,
seperti Parainfluenza virus, Rhinovirus, Adenovirus dan Enterovirus sekitar 20%. Bronkiolitis
juga dapat disebabkan oleh Eaton agent (Mycoplasma pneumoniae) dan bakteri, walau
frekuensinya relative sedikit yang sampai menyebabkan bronkiolitis pada bayi.
Sekitar 70% kasus kejadian bronkiolitis pada bayi terjadi gejala yang berat sehingga
harus dirawat di rumah sakit, sedangkan sisanya biasanya dapat dirawat di poliklinik.
Sebagian besar infeksi saluran napas transmisinya melalui droplet infeksi. Infeksi primer
oleh RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi infeksi sekunder pada anak-anak di
tahun-tahun pertama kehidupan yang bermanifestasi berat.

RSV lebih virulen daripada virus lain dan imunitas yang dibentuk oleh tubuh tidak dapat
bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan gejala klinis. Hal ini mungkin
dikarenakan toleransi yang lebih tinggi.
RSV adalah golongan paramiksovirus dengan envelope lipid serupa dengan virus
parainfluenza, tetapi RSV hanya mempunyai satu antigen permukaan berupa glikoprotein dan
nukleokapsid RNA heliks linear. Tidak adanya genom yang bersegmen dan hanya mempunyai
satu antigen envelope menandakan bahwa komposisi antigen RSV relatif stabil dari tahun ke
tahun.
Infeksi virus sering berulang terutama pada bayi. Hal ini disebabkan oleh:
1.

Kegagalan sistem imun host untuk mengenal epitope protektif dari virus.

2.

Kerusakan sistem memori respons imun untuk memproduksi interleukin I

inhibitor dengan akibat tidak bekerjanya sistem APC (antigen presenting cell).
3.

Penekanan pada sistem respons imun sekunder oleh infeksi virus dan kemampuan

virus dalam menyebabkan infeksi, baik pada makrofag maupun limfosit. Akibatnya,
terjadi gangguan fungsi seperti kegagalan produksi interferon, interleukin I inhibitor,
hambatan terhadap antiobodi neutralizing dan kegagalan interaksi dari sel ke sel.
Bronkiolitis yang disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini
karena neutralizing antibody ibu masih tinggi pada 4 - 6 minggu kehidupan, yang akan menurun
pada bulan-bulan berikutnya. Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi terhadap infeksi
saluran napas bawah, terutama terhadap virus.
Patofisiologi
Invasi virus pada percabangan bronkus kecil menyebabkan edem, akumulasi mukus dan
debris seluler (eksudat) hingga terjadi obstruksi saluran napas kecil (bronkiolitis). Karena
perbandingan nilai resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik dengan radius
pangkat empat dari saluran nafas, maka sedikit penebalan dinding bronkus sudah memberikan
akibat cukup besar terhadap aliran udara pada saluran nafas, terutama pada saluran nafas bawah.
Resistensi aliran udara pada saluran napas kecil sama-sama meningkat baik pada fase
inspirasi maupun ekpirasi. Tetapi, oleh karena radius pada saluran napas lebih kecil selama fase

ekpirasi bial dibandingkan dengan fase inspirasi, maka terdapat suatu mekanisme klep, dimana
udara yang ada akan terperangkap (air trapping). Keadaan ini pada akhirnya dapat menimbulkan
hiperinflasi dari rongga dada.
Obstruksi pada saluran bronkiolus dapat terjadi secara parsial maupun total. Apabila
obstruksi hanya sebagian, maka dapat timbul emfisema. Atelektasis dapat terjadi bila terjadi
obtruksi total dan dari udara yang diserap sebelumnya. Proses patologik ini akan menimbulkan
gangguan pada proses pertukaran udara di paru, ventilasi berkurang, dan hipoksemia. Pada
umumnya, hiperkapnia tidak terjadi kecuali pada keadaan yang sangat berat.
Pada dinding bronkus terdapat infiltrat-infiltrat sel radang. Selain itu, terdapat peradangan
pada daerah peribronkial dan di jaringan interstitiel.
Berbeda dengan bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi edem saluran
napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, angka morbiditas untuk terjadinya bronkiolitis pada
anak besar dan orang dewasa jarang terjadi.
Manifestasi Klinis
Mula-mula terjadinya bronkiolitis akut didahului dengan infeksi saluran napas bagian
atas yang relatif ringan. Infeksi saluran nafas ini dapat berupa batuk-batuk paroksismal, pilek
encer, bersin-bersin dan bisa disertai demam subfebril atau tanpa demam. Kadang-kadang, pada
bayi yang tidak mempunyai riwayat ataupun demam sama sekali, dapat terjadi suatu keadaan
hipotermi. Gejala-gejala ini biasanya berlangsung beberapa hari.
Kemudian timbul distres pernafasan yang ditandai dengan keadaan dimana anak-anak
menunjukkan gejala, seperti sesak nafas yang sifatnya progresif, pernafasan cuping hidung yang
disertai dengan retraksi interkostal dan suprasternal. Pada keadaan yang berat dapat terdengar
suara mengi. Keadaan ini dikompensasi dengan pernafasan Kussmauls (pernafasan cepat dan
dalam). Pada akhirnya, anak-anak menjadi gelisah, iritabel dan tampak sianosis.
Selain itu, gejala lainnya dapat berupa kesulitan minum terutama pada bayi. Hal ini
disebabkan karena frekuensi napas yang cepat sehingga menghalangi terjadinya proses menelan
dan menghisap. Pada kasus yang ringan, gejala-gejala tersebut menghilang dalam kurun waktu

satu sampai tiga hari hari. Sementara, pada kasus yang berat, gejalanya dapat tetap ada sampai
beberapa hari dan perjalanan penyakitnya berlangsung cepat.
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilihat adanya distres pernapasan (keadaan dimana
frekuensi napas sekitar 60 x/menit, dengan pernapasan cuping hidung, penggunaan otot
pernapasan tambahan, retraksi dan juga sianosis). Namun, pada bronkiolitis akut retraksi
biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Hepar
dan limpa dapat teraba karena terdorong oleh diafragma akibat hiperinflasi paru-paru. Kadang
terdengar ronki basah byaring halus pada akhir fase inspirasi atau pada permulaaan fase ekpirasi.
Fase ekpirasinya memanjang dan mengi pada keadaan tertentu dapat terdengar dengan jelas.
Pada keadaan yang amat beratm suara pernafasan dapat tidak terdengar. Hal ini dapat
dikarenakan obstruksi yang terjadi sifatnya hampir menyeluruh.
Gambaran radiologik
Gambaran radiologik foto toraks dapat memberikan gambaran normal atau hiperinflasi
(hiperaerasi) paru dengan diameter anteroposterior meningkat pada foto lateral. Pada sepertiga
penderita, dapat ditemukan bercak-bercak pemadatan (konsolidasi) yang tersebar merata akibat
atelektasis sekunder terhadap obstruksi atau peradangan (inflamasi) alveolus.
Pemeriksaan laboratorium
Pada apusan darah tepi menunjukkan gambaran dalam batas normal. Limfopenia yang
sering ditemukan pada infeksi virus lain jarang ditemukan pada brokiolitis. Pada keadaan yang
berat, gambaran analisis gas darah akan menunjukkan tanda-tanda asidosis metabolik maupun
metabolik, yang dapat ditandai dengan hiperkapnia, karena karbondioksida tidak dapat
dikeluarkan, akibat edem dan hipersekresi bronkiolus. Pada usapan nasofaring hanya didapat
flora komensal.
Diagnosis dan diagnosis banding
Berdasarkan manifestasi klinisnya yang khas tersenut, maka bronkiolitis akut harus dibedakan
dengan asma yang juga dapat timbul pada usia muda. Dalam hal ini, dua keadaan ini dapat
dibedakan

dengan

pemberian

bronkodilator.

Pada

asma

didapat

respon

terhadap

pengobatan dengan bronkodilator, sementara pada bronkiolitis akut tidak didapat respon tersebut.

Selain asma, keadaan ini harus dapat dibedakan dengan bronkopneumonia yang disertai
emfisema obstruktif dan keadaan gagal jantung.
Prognosis
Serangan bronkiolitis akut ini dapat segera teratasi setelah 48 72 jam. Angka mortalitasnya
kurang dari 1 persen. Kematian dapat terjadi dikarenakan anak jatuh dalam keadaan apnoe yang
berlangsung lama atau pada keadaan asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau pada
keadaan dehidrasi yang timbul karena takipnoe dan kurangnya intake makanan dan minuman.
Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia bakterialis dan gagal jantung relatif jarang
dijumpai.
Pengobatan dan tata laksana
Infeksi oleh virus RSV biasanya bersifat self limiting disease, sehingga pengobatan yang
ditujukan biasanya hanya berupa pengobatan suportif. Prinsip pengobatannya adalah:
1.

Oksigenasi
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga agar jangan sampai terjadi hipoksia

jaringan yang justru akan lebih memperberat penyakitnya. Hipoksia jaringan terjadi
akibat gangguan perfusi ventilasi dari paru-paru. Oksigenasi harus tetap diberikan
walaupun anak belum dalam keadaan sianosis.
Oksigenasi dengan kadar oksigen 30 - 40% sering digunakan untuk mengatasi
keadaan ini. Apabila tidak terdapat oksigen, maka anak harus ditempatkan dalam ruangan
dengan kelembaban udara yang tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist tent).
Tujuannya unutuk mencairkan sekret pada tempat peradangan.
2.

Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mengoreksi keadaan asidosis metabolic

dan respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah terjadinya dehidrasi akibat
keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi), karena pola
pernapasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan
cairan rumatan.

Cara pemberian cairan ini bisa melalui intravena atau nasogastrik. Akan tetapi,
harus kita harus hati-hati, khususnya pada pemberian cairan melalui lambung karena
dapat terjadi aspirasi yang dapat memperberat sesak napas yang ada, akibat lambung
yang terisi cairan menekan diafragma ke paru-paru.
3.

Obat-obatan
a.

Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat

untuk mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin adalah


obat antivirus yang bersifat virus statik. Tetapi, penggunaan obat ini masih
kontroversial baik mengenai efektivitas maupun keamanannya.
The American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada
keadaan yang diperkirakan penyakitnya akan menjadi lebih berat seperti pada
penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru
kronik, immunodefisiensi, dan pada bayi-bayi premature. Penggunaan ribavirin
terhadap penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung, didapatkan bahwa
ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas jika diberikan sejak
awal.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12 - 18 jam
per hari atau dalam dosis kecil.
b.

Antibiotik
Penggunaan antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita

bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali bila didapat
adanya tanda-tanda infeksi bacterial sekunder. Antibiotik yang dipakai biasanya
yang bersifat broad-spectrum.
Bila diketahui etiologi penyebabnya adalah Mycoplasma pneumoniae,
maka dapat dengan pemberian eritromisin.
Penggunaan antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh
kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut.

c.

Bronkodilator dan Antiinflamasi (kortikosteroid)


Kedua macam obat tersebut masih kontroversial penggunaannya pada

bronkiolitis. Bronkodilator merupakan kontra indikasi, karena dianggap dapat


memperberat keadaan anak, karena menyebabkan anak menjadi lenih gelisah
sehingga kebutuhan oksigennya akan ikut meningkat.
Namun, ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa penggunaan
bronkodilator dan antiinflamasi dapat mengurangi beratnya penyakit dan
mencegah terjadinya mengi di kemudian hari
d.

Sedativa
Penggunaan golongan sedative tidak diperbolehkan, karena dapat

menimbulkan depresi pernafasan. Bila memang diperlukan, maka dapat


dipertimbangkan untuk penggunaan kloralhidrat.
Bronkiolitis dan Immunopatologi Spesifik
Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil dari reaksi kompleks imun antara nonneutralizing antibody dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan pengamatan di mana
terjadinya infeksi oleh virus ketika umur masih muda, terutama kurang dari 6 bulan. Saat itu,
antibodi yang secara pasif didapatkan dari ibu masih cukup tinggi. Namun mekanismenya masih
belum jelas.
RSV-Respons IgE Spesifik
Infeksi oleh virus dapat mengakibatkan respons IgE spesifik. Timbulnya IgE spesifik
berhubungan dengan derajat beratnya penyakit. Respons ini disertai peningkatan kadar histamin
pada sekret hidung yang ditemukan pada anak dengan mengi akibat infeksi saluran napas bawah
oleh virus RSV. Hal ini menunjukkan keterlibatan IgE pada infeksi virus, walaupun pada orang
dewasa dikeluarkannya histamin oleh sel basofil kadang-kadang tidak disertai peningkatan kadar
IgE.
Ada beberapa penelitian mengenai hubungan antara serum anti RSV IgE dengan kadar
IgG4 dengan kecenderungan timbulnya mengi di kemudian hari. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa atopi bukan merupakan faktor risiko terjadinya bronkiolitis, tetapi respons IgE merupakan
salah satu faktor yang dapat menunjukkan kecenderungan terjadinya mengi berulang.
Efek Infeksi Virus Terhadap Saluran Napas
Efek infeksi virus terhadap inflamasi saluran napas:
1.

Sel epitel
Sel epitel merupakan tempat hidup virus saluran napas. Adanya infeksi ini akan

menyebabkan kerusakan selama replikasi virus. Virus ini juga akan merangsang
dikeluarkanya mediator inflamasi (sitokin) dan kemokin seperti interleukin 6, interleukin
8, interleukin 11, Granulocyt Macrophag Stimulating Factor (GM-CSF) dan Rantes.
Dengan dikeluarkanya mediator kimia tersebut akan menyebabkan terjadinya inflamasi.
2.

Sel endotel
Kelainan sel endotel akan memberikan gangguan pada saluran napas melalui dua

mekanisme:
a.

Terjadinya reaksi inflamasi pada sel endotel.

b.

Transudasi protein plasma dari pembuluh darah ke mukosa hidung

menyebabkan sekresi hidung dan bendungan.


Adanya transudasi dapat diketahui dengan pengukuran albumin dan IgG. Kedua zat
tersebut akan meningkat puncaknya 2 - 4 hari setelah infeksi oleh virus. Mekanisme
terjadinya transudasi ini berkaitan dengan aktivasi mediator kinin, sehingga
meningkatkan permeabilitas sel endotel.
3.

Granulosit
Sel neutrofil merupakan sel inflamasi yang muncul pada saat infeksi akut oleh

virus. Sel ini berfungsi sebagai faktor kemotaksis seperti IL-8 dan leukotrien B4.
Kompleks virus RSV dan antibodi akan merangsang IL-6 dan IL-8 yang disekresi oleh
sel neutrofil, sehingga akan dilepaskan sitokin. Selain itu, virus dapat juga mengaktivasi
granulosit, sel mast dan basofil.
4.

Makrofag dan monosit

Adanya infeksi pada saluran pernapasan oleh virus akan menyebabkan


dikeluarkanya mediator kimia dari sel makrofag dan monosit. Selama infeksi saluran
napas sitokin: IL-q, TNF alfa, dan IL-8 dapat ditemukan pada sekret hidung. Pada fase
akut ini, sitokin yang dikeluarkan akan menyebabkan gejala sistemik seperti demam dan
malaise. Adanya interleukin I dan TNF alfa berhubungan erat dengan timbulnya mengi
pada anak-anak dan dapat berkembang menjadi reaksi alergi serta asma di kemudian hari.
5.

Sel T
Infeksi virus dapat merangsang sel T spesifik dan non-spesifik. Sel T ini dapat

menyebabkan timbulnya asma. Ada 3 kemungkinan virus dapat menyebabkan eksaserbasi


asma:
a.

Sel T membantu membersihkan virus, tetapi tidak berhubungan dengan

gejala asma.
b.

Virus Sel T spesifik dapat menyebabkan gejala asma, tetapi bila infeksinya

telah berat.
c.

Infeksi virus dengan cepat mengaktivasi sel T sehingga menyebabkan

inflamasi dan gejala-gejala selama infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan


bahwa infeksi virus menyebabkan rangsangan terhadap sel T non-spesifik dan
terjadi gangguan pada fungsi paru.
Efek Infeksi Virus Terhadap Hipereaktif Saluran Napas dan Mengi
Definisi hipereaktif saluran napas adalah apabila terjadi penurunan FEV1 sebesar > 20%
setelah diberikan zat alergen seperti methacolin. Infeksi oleh virus dapat menyebabkan kenaikan
hipereaktivitas saluran pernapasan pada manusia. Timbulnya reaksi ini biasanya sejak awal
penyakit sampai masa akut. Hal ini dapat dibuktikan dengan terjadinya reaksi berlebihan pada
penderita bronkiolitis terhadap inhalasi methacolin, histamin nitric oksida dan alergen lainnya.
Cheung dan Collageus meneliti penderita asma sedang yang terkena infeksi virus RSV.
Ternyata, terjadi peningkatan respons saluran napas dan kembali normal setelah satu minggu.
Data tersebut menunjukkan bahwa infeksi virus pada saluran napas akan menyebabkan
peningkatan reaktivitas saluran napas yang dapat mengakibatkan bronkokonstriksi. Efek ini

dapat menetap beberapa minggu setelah infeksi akut. Yang lebih menarik, selama infeksi akut
terjadi penurunan FEVI > 20%. Hal ini berhubungan dengan adanya obstruksi saluran napas.
Faktor host juga mempengaruhi terjadinya hipereaktivitas dan fungsi paru-paru. Penderita
dengan riwayat alergi akan terjadi peningkatan reaktivitas bronkus yang lebih berat jika
dibandingkan dengan yang tidak alergi. Salah satu penelitian prospektif menunjukan bahwa 75%
anak akan mengalami serangan mengi dalam waktu 2 tahun pertama setelah bronkiolitis dan
59% dari anak ini tetap akan mengalami episode mengi 3,5 tahun kemudian. Sampai usia 5
tahun, insiden mengi pada anak pasca bronkiolitis menurun menjadi 42% dan menjadi 22% pada
usia 8 - 10 tahun.
Mekanisme Kontrol Syaraf Terhadap Saluran Napas
Mekanisme rangsangan syaraf terhadap saluran pernapasan yang disebabkan oleh infeksi
virus akan menyebabkan bronkokonstriksi. Melalui rangsangan syaraf parasimpatis, dikeluarkan
neuropeptidase dan serabut syaraf sensoris (serabut C) atau melalui fungsi noradrenergik,-non
kolinergik dengan memproduksi nitrit oksida.
Efek parasimpatis pada penderita non-asma akan menyebabkan bronkokonstriksi dan
meningkatkan reaktivitas saluran napas selama infeksi oleh virus. Kerusakan yang diakibatkan
oleh infeksi virus akan mengakibatkan ketidakseimbangan.Fungsi otonom dan kolinergik
menjadi lebih dominan sehingga akan menyebabkan hiperreaktivitas. Kerusakan ini juga akan
menyebabkan gangguan pada reseptor muskarinik (M2). Reseptor ini akan menginduksi reaksi
inflamasi seperti eosinofil kationik protein, sehingga akan terjadi inflamasi pada saluran napas.
Virus menyebabkan kelainan pada lapisan epitel yang akan menimbulkan respons syaraf
sensoris. Inhalasi partikel virus atau mediator inflamasi syaraf sensoris akan mengeluarkan
neuropeptida dan menginduksi kontraksi sel otot polos atau dapat mencetuskan refleks
bronkokonstriksi dengan cara mengaktivasi syaraf parasimpatis. Refleks bronkokonstriksi akan
menyebabkan dikeluarkanya acetilkolin dan kontraksi sel otot polos lewat rangsangan reseptor
muskarinik M3. Pada keadaan normal, acetilkolin akan menghambat pengeluaran acetilkolin
melalui rangsangan reseptor M3 pada presinap post ganglionik parasimpatis (auto inhibitory,

feedback). Virus dan mediator inflamasi ini dapat menghambat auto inhibitory feedback sehingga
dikeluarkan acetilkolin dan menyebabkan bronkokonstriksi.
Serabut syaraf C juga akan terangsang akibat infeksi virus melalui dua mekanisme:
1.

Serabut syaraf sensoris C akan menimbulkan refleks bronkokonstriksi oleh

rangsangan otak atau menyebabkan udem dan kontraksi otot polos akibat dikeluarkanya
neuropeptida seperti subtansi P dan neurokinin A.
2.

Dikeluarkannya leukotrien, mediator sel mast, rangsangan parasimpatis, dan

sekresi mukus akan menyebabkan obtruksi saluran napas.


Kesimpulan
Infeksi virus dapat menyebabkan gangguan fungsi paru dan asma pada semua umur,
terutama pada anak-anak. Pada anak, infeksi virus RSV dapat menyebabkan mengi berulang
tetapi sebagian besar bersifat sementara. Artinya, risiko ini akan berkurang dengan bertambahnya
umur. Infeksi virus dini dapat menimbulkan gangguan pada sistem immun, terutama pada saluran
napas sehingga bisa menjadi faktor risiko untuk terjadinya alergi dan asma.
Dari beberapa penelitian, infeksi virus pada anak dapat menyebabkan obstruksi dan
gejala-gejala pada saluran napas. Mekanisme ini terjadi akibat terjadinya obstruksi dan
hipereaktivitas bronkus. Hal ini dapat merupakan faktor risiko untuk terjadinya mengi berulang
(asma) di kemudian hari, tetapi biasanya bersifat sementara.
Dengan bertambahnya umur maka risiko untuk terjadinya mengi akan berkurang.
Komplikasi jangka panjang lainnya adalah bronkiolitis obliteran dan sindrom paru hiperlusen
yang sering disebabkan oleh Adeno virus.
Kelainan saluran napas kecil dapat terjadi 13 tahun setelah bronkiolitis, terutama bila
bronkiolitis didapat sebelum usia 6 bulan dan tidak berespons terhadap pemberian bronkodilator
inhalasi.
Dua meknisme (hipotesis) utama terjadinya gangguan respiratorik pasca bronkiolitis adalah:
1.

Infeksi virus akan merusak saluran napas atau sistem immun penderita sehingga

dikeluarkanya mediator dan sitokin proinflamasi yang menimbulkan manifestasi


inflamasi dan hipereaktivitas bronkus.

2.

Anak atau bayi sendiri telah mempunyai faktor genetik seperti atopi atau saluran

napas tersebut telah peka terhadap berbagai stimulus.


Berdasarkan bukti-bukti yang ada saat ini maka tampaknya hipotesis pertama yang banyak
dianut, yaitu terjadinya inflamasi dan hipereaktivitas bronkus. Hal inilah yang akan menjadi
risiko terjadinya mengi (asma) di kemudian hari, sesuai dasar terjadinya asma menurut GINA.

You might also like