You are on page 1of 33

Tinjauan Pustaka

Upaya Pencegahan Penyakit Infeksi selama Masa


Tumbuh Kembang dengan Imunisasi
Pendahuluan
Peristiwa tumbuh kembang pada anak meliputi seluruh proses
kejadian sejak konsepsi hingga dewasa. Ciri tumbuh kembang yang utama
adalah bahwa dalam periode tertentu terdapat adanya masa percepatan
atau masa perlambatan, serta laju tumbuh kembang yang berbeda di
antara organ tubuh. Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup dua
peristiwa yang sifatnya berbeda tetapi saling berkaitan dan sulit
dipisahkan,

yaitu

pertumbuhan

dan

perkembangan.

Pertumbuhan

berkaitan dengan masalah perubahan besar, jumlah, ukuran, atau dimensi


tingkat sel, organ, maupun individu. Sedangkan perkembangan lebih
menitikberatkan pada aspek perubahan bentuk atau fungsi pematangan
organ maupun individu termasuk perubahan aspek sosial atau emosional
karena pengaruh lingkungan.1, 2
Tujuan ilmu tumbuh kembang adalah mempelajari berbagai hal
yang

berhubungan

dengan

segala

upaya

untuk

menjaga

dan

mengoptimalkan tumbuh kembang anak baik fisik, mental dan sosial. Juga
menegakkan diagnosis dini setiap kelainan tumbuh kembang dan
kemungkinan penanganan yang efektif serta mencari penyebab dan
mencegah keadaan tersebut.

Pembahasan
I.

Anamnesis
Anamnesis adalah komunikasi dua arah yang dilakukan dokter dengan
pasien atau dengan keluarga pasien untuk mengetahui keluhan riwayat penyakit
pasien sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit dalam keluarganya.
Hal ini penting diketahui agar lebih membantu untuk menegakkan diagnosa,
diagnosa banding, kemudian menentukan terapi yang terbaik serta meramalkan
prognosisnya. Identitas merupakan hal mutlak yang perlu ditanyakan. Hal-hal yang
penting untuk ditanyakan setelah identitas adalah:
1

1. Riwayat kehamilan
Faktor lingkungan

pranatal

merupakan

faktor-faktor

yang

memengaruhi tumbuh kembang janin dari konsepsi hingga


kelahiran. Informasi mengenai hal-hal tersebut dapat diperolah
melalui anamnesis tentang riwayat kehamilan.
a. Gizi ibu pada waktu hamil
Gizi ibu yang jelek sebelum terjadinya kehamilan maupun
pada waktu sedang hamil, lebih sering menghasilkan bayi
BBLR (berat badan lahir rendah) atau lahir mati dan jarang
menyebabkan

cacat

bawaan.

Disamping

itu

pula

memnyebabkan hambatan pertumbuhan otak janin, anemia


pada baru lahir, bayi baru mudah terkena infeksi, abortus,
dan sebagainya. Anak yang lahir dari ibu yang gizinyan
kurang hidup di lingkungan miskin maka akan mengalami
kurang gizi juga dan mudah terkena infeksi dan selanjutnya
akan menghasilkan wanita dewasa yang berat dan tinggi
badannya kurang juga. Keadaan ini merupakan lingkaran
setan yang akan berulang dari generasi ke generasi selama
kemiskinan tersebut tidak ditanggulangi.
b. Mekanis
Trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan
kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan. Demikian pula
dengan posisi janin pada uterus dapat menyebabkan talipes,
dislokasi panggul, tortikolis kongenital, palsi fasialis, atau
kranio tabes.
c. Toksin/zat kimia
Masa organogenesis

adalah

masa

yang

sangat

peka

terhadapt zat-zat teratogen. Misalnya obat-obatan seperti


thalidome, phenitoin, methadion, obat-obatan anti kanker,
dan lain sebagainya dapat menyebabkan kelainan bawaan.
Demikian

pula

dengan

ibu

hamil

yang

perokok

berat/peminum alkohol kronis sering melahirkan bayi berat


badan lahir rendah, lahir mati, cacat, atau retardasi mental.
Keracunan logam berat pada ibu hamil, misalnya karena
makan

ikan

yang

terkontaminasi

merkuri

dapat
2

menyebabkan

mikrosefali

dan

palsi

serebralis,

seperti

penyakit Minamata di Jepang.


d. Radiasi
Radiasi pada janin sebelum kehamilan umur 18 minggu
dapat

menyebabkan

kematian

janin,

kerusakan

otak,

mikrosefali, atau cacat bawaan lainnya.


e. Infeksi
Infeksi intrauterin yang sering menyebabkan cacat bawaan
adalah

TORCH

(Toxoplasma,

Rubella,

Cytomegalovirus,

Herpes Simplex). Sedangkan infeksi lainnya yang juga dapat


menyebabkan

penyakit

pada

janin

adalah

varicella,

Coxsackie, Echovirus, malaria, HIV, polio, campak, listeriosis,


leptospira, mikoplasma, virus influenza, dan hepatitis. Diduga
setiap hiperpireksia pada ibu hamil dapat merusak janin.
Maka, riwayat penyakit infeksi sebelum dan sepanjang
kehamilan sangat penting untuk ditanyakan.
f. Stres
Stres yang dialami ibu pada waktu hamil dapat memengaruhi
tumbuh kembang janin, antara lain cacat bawaan, kelainan
kejiwaan, dan lain-lain.
Selain faktor-faktor di atas, perlu juga ditanyakan beberapa
informasi

seperti

jumlah

kehamilan

kehamilan, dan perdarahan abnormal.2, 3


2. Riwayat Persalinan
Beberapa informasi mengenai riwayat

sebelumnya,

persalinan

lama

meliputi

paritas ibu, berat lahir, lama persalinan, induksi, anestesi, dan


penggunaan forseps. 3
3. Anamnesis pertumbuhan dan perkembangan anak
Merupakan informasi yang sangat penting yang

harus

ditanyakan pada ibunya pada saat pertama kali datang.


Anamnesis yang teliti tentang milestone perkembangan anak
dapat mengetahui tingkat perkembangan anak tersebut. Tidak
selalu perkembangan anak mulus seperti teori, ada kalanya
perkembangan anak normal sampai umur tertentu, kemudian
mengalami keterlambatan. Ada juga yang mulainya terlambat,
3

atau karena sakit perkembangan terhenti kemudian normal


kembali. Dapat juga perkembangan yang pesat, misalnya pada
perkembangan bicara. 2
Penilaian menyeluruh mengenai perkembangan motorik dan
bahasa

serta

respon

sosial

dan

mental

memerlukan

keterampilan dan pengalaman. Namun, untuk hampir semua


tujuan sebenarnya hanya diperlukan pertanyaan sederhana
mengenai

tingkat

perkembangan

dasar.

Pada

grafik

perkembangan anak, dokter dapat mencatat apa saja yang


sudah dapat dilakukan anak menurut orang tua serta mencatat
perhatian anak selama di ruang pemeriksaan. Untuk anak yang
lebih besar dapat ditanyakan tentang kemajuannya di sekolah.
Sebaiknya juga perlu diperhatikan ada tidaknya retardasi
mental pada anak dengan dasar-dasar yang jelas.3
4. Lingkungan fisik
a. Keadaan rumah
Meliputi struktur bangunan, ventilasi, cahaya,

dan

kepadatan hunian. Keadaan perumahan yang layak dengan


konstruksi yang sehat, tidak membahayakan penghuninya
serta

tidak

penuh

sesak

akan

menjamin

kesehatan

penghuninya.
b. Sanitasi
Sanitasi lingkungan memiliki peran yang cukup dominan
dalam penyediaan lingkungan yang mendukung kesehatan
anak dan tumbuh kembangnya. Kebersihan, baik kebersihan
perorangan
penting

maupun

dalam

lingkungan

timbulnya

memegang

penyakit.

Akibat

peranan
kurangnya

kebersihan, maka anak akan lebih sering sakit, misalnya


diare,

cacingan,

tifus

abdominalis,

hepatitis,

dan

sebagainya. Demikian pula dengan polui udara yang


berperan

pada

timbulnya

gangguan

pada

sistem

pernapasan.2
5. Faktor sosial ekonomi keluarga dan adat istiadat
a. Pendapatan/pekerjaan orang tua
b. Pendidikan ayah/ibu

Dengan

pendidikan

yang

memadai,

orang

tua

dapat

menerima informasi dari luar terutama tentang pengasuhan


anak

yang

baik,

kesehatan,

pendidikan

anak,

dan

sebagainya
c. Jumlah saudara
Jumlah anak dan jarak usia antar anak memberikan dampak
yang cukup besar mengenai kasih sayang dan perhatian
yang diberikan orang tua kepada anak, juga kebutuhan
primer seperti makanan, sandang, dan perumahan.
d. Faktor lain yang meliputi kepribadian orang tua, adat
istiadat, agama, stabilitas rumah tangga.2
6. Riwayat penyakit sekarang
Pada anak yang datang dengan keluhan penyakit harus
ditanyakan mengenai keluhan utama serta riwayat perjalanan
penyakit hingga yang bersangkutan datang ke dokter untuk
menentukan diagnosa dan terapi yang tepat.
7. Gizi
Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang
anak, dimana kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa,
karena

makanan

bagi

anak

dibutuhkan

juga

untuk

pertumbuhan. Ketahanan makanan keluarga mencakup pada


ketersediaan makanan dan pembagian makanan yang adil
dalam

keluarga,

dimana

seringkali

kepentingan

budaya

bertabrakan dengan kepentingan biologis anggota-anggota


keluarga. Selain itu, satu aspek yang perlu diperhatikan adalah
keamanan pangan.
8. Riwayat Imunisasi
Selain gizi, imunisasi sangat berperan penting dalam menjaga
ketahanan anak terhadap penyakit. Perlu ditanyakan lengkaptidaknya imunisasi pada anak.2
9. Riwayat penyakit keluarga
Penting untuk mencari kemungkinan

penyakit

herediter,

familial, atau penyakit infeksi. Pada penyakit kongenital, perlu


ditanyakan riwayat kehamilan dan kelahiran.4
II.

Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Antropometri
5

Berbagai nilai baku antropometrik dapat digunakan untuk


menilai keadaan pertumbuhan fisis seorang anak, namun yang
paling sering dipakai adalah ukuran berat badan, panjang/tinggi
badan, dan lingkar kepala, dan lingkar lengan atas. Ukuran
tebal lemak subkutan lengan atas, ukuran tebal lipatan kulit
pada lengan dan tungkai, ukuran lingkar dada, ukuran lingkar
perut,

pertumbuhan

gigi-geligi,

dan

umur

tulang

bukan

merupakan ukuran yang tidak rutin diukur. Adapun cara


pengukurannya adalah sebagai berikut :
a. Pengukuran Berat Badan
Berat badan merupakan indikator untuk keadaan gizi anak.
Gangguan pada berat badan biasanya menggambarkan
gangguan yang bersifat perubahan akut/jangka pendek.
Pengukuran harus dilakukan menggunakan alat timbangan
yang

telah

ditera

terlebih

dahulu.

Timbangan

harus

diletakkan di atas alas yang rata dan keras. Jenis timbangan


yang dipakai tergantung dari umur anak, khususnya berat
badan anak. Pada neonatus hingga anak yang belum bisa
berdiri digunakan dacin atau infant scale. Sementara untuk
anak yang sudah bisa berdiri dengan tenang digunakan
timbangan yang juga digunakan pada orang dewasa.1, 5
b. Pengukuran Tinggi Badan/Panjang Badan
Tinggi
Badan
merupakan
antropometri
yang
menggambarkan
keadaan

keadaan

pertumbuhan

skeletal.

Pada

normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti


berat

badan,

relatif

kurang

sensitif

pada

masalah

kekurangan gizi dalam waktu singkat. Pengaruh defisiensi


zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu
yang relatif lama. Untuk bayi atau anak yang belum dapat
berdiri dapat menggunakan infantometer. Cara mengukur
dengan posisi berbaring yaitu :
- Sebaiknya dilakukan oleh 2 orang
- Bayi dibaringkan telentang pada alas yang datar.
- Kepala bayi menempel pada pembatas angka 0.
6

Petugas 1 : ke2 tangan pegang kepala bayi agar


tetap menempel pada pembatas angka 0 (pembatas

kepala).
Petugas 2 : tangan kiri menekan lutut bayi dengan
lengan kiri bawah agar lurus, sedangkan tangan
menjaga agar posisi kaki tetap lurus (tidak fleksi
ataupun ekstensi). Tangan kanan menekan batas kaki

ke telapak kaki.
- Petugas 2 membaca angka di tepi di luar pengukur.
Untuk anak yang sudah dapat berdiri dapat menggunakan
microtoise. Cara mengukur pada posisi berdiri yaitu :
- Anak tidak pakai sandal atau sepatu.
- Berdiri tegak menghadap ke depan, kedua mata kaki
-

rapat.
Punggung, pantat dan tumit menempel pada tiang

pengukur.
Turunkan batas atas pengukur sampai menempel di

ubun-ubun.
- Baca angka pada batas tersebut.1, 5
c. Pengukuran Lingkar Kepala
Pengukuran lingkar kepala bertujuan untuk mengetahui
lingkar kepala anak dalam batas normal atau di luar batas
normal. Pengukuran ini terutama dilakukan pada anak
sampai usia tiga tahun. Lingkar kepala dihubungkan dengan
ukuran otak dan tulang tengkorak. Ukuran otak meningkat
secara cepat selama tahun pertama, tetapi besar lingkar
kepala tidak menggambarkan keadaan kesehatan dan gizi.
Pita

ukur

diletakkan

di

oksiput

melingkar

ke

arah

supraorbital dan glabela.1, 5


d. Pengukuran Lingkar Lengan Atas
Merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi
karena mudah, murah dan cepat. Tidak memerlukan data
umur

yang

terkadang

susah

diperoleh.

Memberikan

gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak


bawah kulit. Lingkar lengan atas mencerminkan cadangan
energi, sehingga dapat mencerminkan status KEP (Kurang
Energi Protein) pada balita. Namun kelemahannya adalah :
7

Baku lingkar lengan atas yang sekarang digunakan


belum mendapat pengujian yang memadai untuk
digunakan di Indonesia

Kesalahan

pengukuran

relatif

lebih

besar

dibandingkan pada tinggi badan


-

Sensitif untuk suatu golongan tertentu (prasekolah),


tetapi kurang sensitif untuk golongan dewasa.

Lingkar lengan atas diukur pada pertengahan antara jarak


dari acromion ke olecranon.1
III.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin
a. Hemoglobin (Hb)
Nilai normal Hb pada dewasa adalah:
wanita 12-16 gr/dL,

pria 13.5-18 gr/dL,

dan wanita hamil 10-15 gr/dL.

Sedangkan pada anak adalah 11-16 gr/dL, batita 9-15 gr/dL,


bayi 10-17 gr/dL, dan neonatus 14-27 gr/dL.
Hb rendah (<10 gram/dL) dapat terjadi pada anemia
defisiensi besi, pendarahan berat, hemolisis, leukemia
leukemik, lupus eritematosus sistemik, dan diet vegetarian
ketat (vegan). Juga dari obat-obatan: obat antikanker, asam
asetilsalisilat,

rifampisin,

primakuin,

dan

sulfonamid.

Ambang bahaya adalah Hb < 5 gram/dL.


Hb tinggi (>18 gram/dL) terjadi pada luka bakar, gagal
jantung, COPD (bronkitis kronik dengan cor pulmonale),
dehidrasi / diare, eritrositosis, polisitemia vera, dan pada
penduduk pegunungan tinggi yang normal. Juga dari obatobatan metildopa dan gentamisin.
b. Hematokrit (Ht)
Nilai normal Ht Dewasa pria 40-54%, wanita 37-47%, wanita
hamil 30-46%. Nilai normal anak 31-45%, batita 35-44%,
bayi 29-54%, neonatus 40-68%.

Hematokrit merupakan persentase konsentrasi eritrosit


dalam plasma darah. Ht tinggi (> 55 %) merupakan indikasi
kenaikan Hb, antara lain pada penyakit Addison, luka bakar,
dehidrasi / diare, diabetes melitus, dan polisitemia. Ambang
bahaya adalah Ht >60%.
Ht rendah (< 30 %) terjadi pada anemia, sirosis hati, gagal
jantung,

perlemakan

hati,

hemolisis,

pneumonia,

dan

overhidrasi. Ambang bahaya adalah Ht <15%.


c. Leukosit (Hitung total)
Nilai normal 4500-10000 sel/mm3, neonatus 9000-30000
sel/mm3, bayi sampai balita rata-rata 5700-18000 sel/mm 3,
anak 10 tahun 4500-13500/mm3, ibu hamil rata-rata 600017000 sel/mm3, postpartum 9700-25700 sel/mm3.
Segala macam infeksi menyebabkan leukosit naik; baik
infeksi bakteri, virus, parasit. Leukopenia dapat terjadi pada
agranulositosis, anemia aplastik, AIDS, infeksi atau sepsis
hebat, infeksi virus (misalnya dengue), keracunan kimiawi,
dan postkemoterapi. Obat: antiepilepsi, sulfonamid, kina,
kloramfenikol, diuretik, arsenik (terapi leishmaniasis), dan
beberapa antibiotik lainnya.
e. Leukosit (hitung jenis)
Nilai normal hitung jenis

Basofil

0-1%

(absolut

20-100

(absolut

50-300

sel/mm3)

Eosinofil

1-3%

sel/mm3)

Netrofil batang 3-5% (absolut 150500 sel/mm3)

Netrofil segmen 50-70% (absolut


2500-7000 sel/mm3)

Limfosit

25-35%

(absolut

1750-

3500 sel/mm3)

Monosit

4-6%

(absolut

200-600

sel/mm3)
Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen)
relatif dibanding limfosit dan monosit dikenal juga dengan
sebutan shift to the left, biasanya merupakan infeksi bakteri
dan

malaria.

menyebabkan shift
penyakit-penyakit

Kondisi
to

noninfeksi

the

alergi

left antara

lainnya,

luka

yang
lain

dapat

asma

bakar,

dan

anemia

perniciosa, keracunan merkuri (raksa), dan polisitemia vera.


Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif
dibanding netrofil disebut shift to the right, biasanya
merupakan infeksi virus. Kondisi noninfeksi yang dapat
menyebabkan shift

to

the

right antara

lain

keracunan

timbal, fenitoin, dan aspirin


f. Trombosit
Nilai

normal

dewasa

150.000-400.000

sel/mm 3,

anak

150.000-450.000 sel/mm3. Trombositopenia terjadi pada


DBD, anemia, luka bakar, malaria, dan sepsis. Nilai ambang
bahaya pada <30.000 sel/mm3. Trombositosis dapat timbu
pada

keganasan, sirosis, polisitemia, ibu hamil, habis

berolahraga, penyakit imunologis, pemakaian kontrasepsi


oral, dan penyakit jantung. Biasanya trombositosis tidak
berbahaya, kecuali jika >1.000.000 sel/mm3.
g. Laju endap darah
Nilai normal dewasa pria <15 mm/jam pertama, wanita <20
mm/jam pertama. Nilai normal lansia pria <20 mm/jam
pertama, wanita <30-40 mm/jam pertama. Nilai normal
wanita hamil 18-70 mm/jam pertama. Nilai normal anak
<10 mm/jam pertama. LED meningkat : infeksi atau
inflamasi, penyakit imunologis, gangguan nyeri, anemia
hemolitik, dan penyakit keganasan. LED yang sangat rendah
:gagal jantung dan poikilositosis.6

10

IV.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan oleh hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan ditunjang pemeriksaan penunjang.

V.

Imunisasi, vaksin, dan Jadwal Imunisasi Indonesia


Imunisasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu imunisasi aktif
dan pasif. Pada imunisasi aktif, tubuh anak akan membuat sendiri
antibodi setelah satu atau serangkaian suntikan antigen. Kekebalan
yang

didapat

dapat

bertahan

selama

bertahun-tahun.

Pada

imunisasi pasif, tubuh tidak membuat sendiri antibodi, tetapi


mendapatkannya melalui penyuntikan serum yang mengandung
antibodi. Kekebalan yang didapat biasanya berlangsung dalam
waktu yang lebih singkat, biasanya beberapa bulan. Imunisasi ini
hanya diberikan dalam keadaan darurat yaitu bila diduga tubuh
anak belum memiliki kekebalan yang cukup ketika terinfeksi oleh
kuman yang virulen. Jenis imunisasi yang lebih sering diberikan
adalah imunisasi aktif, karena jauh lebih murah, sederhana, aman,
dan lebih efektif.
Terdapat

dua

jenis

vaksin,

yaitu

vaksin

yang

dapat

memberikan kekebalan seumur hidup sehingga hanya memerlukan


satu kali penyuntikan, dan vaksin yang perlu disuntikkan beberapa
kali. Ke dalam vaksin jenis pertama adalah vaksin BCG dan
Varisela. Sisanya merupakan vaksin yang harus disuntikkan
beberapa kali (Hepatitis B, Polio, DTP, campak, Pneumokokus,
Rotavirus, MMR, Influenza, dan HPV). Semua jenis vaksin di atas
merupakan vanksin yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI).1, 7
1.

Vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin)


Vaksin BCG diberikan untuk memberikan kekebalan terhadap
Mycobacterium

tuberculosis

dan

Mycobacterium

bovis

penyebab Tuberkulosis. Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin


hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak
berulang selama 1-3 tahun sehingga didapat basil yang tidak

11

virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG


menimbulkan sensitivitas terhadap tuberkulin.8 Beberapa hal
yang perlu diperhatikan mengenai BCG :
a. Vaksin yang dipakai di Indonesia berisi suspensi M.bovis
hidup

yang

sudah

dilemahkan.

Vaksinasi

BCG

tidak

mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko


tuberkulosis

berat

seperti

meningitis

tuberkulosa

dan

tuberkulosis milier.
b. BCG optimal diberikan pada umur 2-3 bulan. Pada usia >3
bulan BCG sebaiknya diberikan pada anak dengan uji
Mantoux (tuberkulin) negatif. Bila uji tuberkulin para BCG
tidak dimungkinkan, BCG dapat diberikan namun harus
diobservasi dalam 7 hari. Bila ada reaksi lokal cepat di
daerah suntikan, perlu dievaluasi lebih lanjut (diagnostik TB)
c. Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek
proteksi bervariasi antara 0-80%. Hal ini mungkin karena
vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium
atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain).
d. Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk
anak, 0,05 ml untuk bayi. BCG sebaiknya diberikan pada
regio lengan kanan atas pada daerah insersio m. deltoideus
kanan sehingga bila terjadi limfadenitis BCG lebih mudah
terdeteksi.
Penyuntikan BCG

secara

intradermal

yang

benar

akan

menimbulkan ulkus lokal yang superfisial 3 minggu setelah


penyuntikan. Ulkus yang biasanya tertutup krusta akan sembuh
dalam 2-3 bulan dan meninggalkan parut bulat dengan
diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus yang
timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam
maka parut yang terjadi tertarik ke dalam (retracted).9
Kontraindikasi BCG
a. Reaksi uji tuberkulin > 5 mm,
b. Sedang menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi
infeksi

HIV,

imunokompromais

akibat

pengobatan
12

kortikosteroid,

obat

imunosupresif,

mendapat

pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai


c.
d.
e.
f.
g.

sumsum tulang atau sistem limfe,


Anak menderita gizi buruk,
Sedang menderita demam tinggi,
Menderita infeksi kulit yang luas,
Pernah sakit tuberkulosis,
Kehamilan.9

2. Hepatitis B
Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu
juta kematian/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimtomatis
tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun
akan menjadi sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular (KHS).
Imunisasi Hepatitis B meliputi :
a. Imunisasi aktif
Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan.
Pemberian ketiga seri vaksin dan dengan dosis yang sesuai
rekomendasinya, akan menyebabkan terbentuknya respons
protektif (anti HBs > 10 mIU/mL) pada > 90% dewasa, bayi,
anak dan remaja. Vaksin diberikan secara intramuskular
dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan di anterolateral
paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa diberikan di
regio deltoid.
b. Imunisasi pasif
Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat
segera memberikan proteksi jangka pendek (3 - 6 bulan).
HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle
stick injury, kontak seksual, bayi dari ibu VHB, terciprat
darah ke mukosa atau ke mata). Sebaiknya HBIg diberikan
bersama vaksin VHB.
Sasaran vaksinasi hepatitis B meliputi:
a. Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu
b.
c.
d.
e.

Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB


Karyawan di lembaga perawatan cacat mental
Pasien hemodialisis
Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang
13

f. Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak


akibat hubungan seksual
g. Drug users
h. Homosexuals, bisexual, heterosexuals
Jadwal dan dosis
a. Minimal diberikan sebanyak 3 kali
b. Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir
c. Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0, 1, dan 6 bulan
karena respons
antibodinya paling optimal
d. Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1
bulan. Memperpanjang interval antara dosis kesatu dan
kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas atau titer
antibodi sesudah imunisasi selesai
(dosis ketiga).
e. Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena
merupakan dosis booster. Agar dapat dicapai kadar antibodi
protektif secepatnya dianjurkan hepB-3 diberikan lebih awal
(umur 3-6 bulan), mengingat Indonesia adalah daerah
endemisitas tinggi;
f. Bila sesudah dosis pertama imunisasi terputus, segera
berikan

imunisasi

kedua;

sedangkan

imunisasi

diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan.


g. Bila dosis ketiga terlambat, beri segera
memungkinkan.
h. Setiap vaksin

hepatitis

sudah

ketiga
setelah

dievaluasi

untuk

menentukan dosis sesuai umur (age-specific dose) yang


dapat menimbulkan respons antibodi yang optimum. Oleh
karena

itu

dosis

yang

direkomendasikan

bervariasi

tergantung produk dan usia resipien. Sedangkan dosis pada


bayi, dipengaruhi pula oleh status HBsAg ibu.
i. Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar
atau penambahan jumlah suntikan.
j. Pada pasien koagulopati penyuntikan

segera

setelah

memperoleh terapi faktor koagulasi, dengan jarum kecil


(nomer 23), tempat penyuntikan ditekan minimal 2 menit.
k. Bayi prematur : bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai
14

bayi berusia 2 bulan atau berat badan sudah mencapai


2000 gram10
Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang
ringan

dan

bersifat

sementara,

kadang-kadang

dapat

menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.10


2. Difteria, Pertusis, Tetanus
Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxinmediated

disease

Corynebacterium

dan

disebabkan

diphteriae.

oleh

Corynebacterium

kuman
diphteriae

adalah basil Gram positif. Produksi toksin terjadi hanya bila


kuman tersebut mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag yang
mengandung informasi genetik toksin. Ditemukan 3 galur
bakteri yaitu, gravis, intermedius dan mitis dan semuanya
dapat memproduksi toksin.
Seseorang anak dapat
nasofaringnya

dan

terinfeksi

kuman

basil

tersebut

difteria

pada

kemudian

akan

memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein selular


dan menyebabkan destruksi jaringan setempat kemudian
terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat jalan
nafas. Toksin yang terbentuk di membran tersebut kemudian
diabsorbsi kedalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh.11
Pertusis atau batuk rejan/ batuk seratus hari adalah suatu
penyakit

akut

yang

disebabkan

oleh

bakteri

Bordetella

pertussis. Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang


bersifat gram negatif.
Pertusis juga merupakan

penyakit

yang

bersifat

toxin-

mediated. Toksin yang dihasilkan kuman (melekat pada bulu


getar saluran nafas atas) akan melumpuhkan bulu getar
tersebut

sehingga

menyebabkan

gangguan

aliran

sekret

saluran pernafasan, dan berpotensi menyebabkan pneumonia.


Gejala utama pertusis timbul saat terjadinya penumpukan
lendir dalam saluran
getar

yang

lumpuh

nafas akibat kegagalan aliran oleh bulu


yang

berakibat

terjadinya

batuk

paroksismal tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop.


Pada serangan batuk seperti ini, pasien biasanya akan muntah
15

dan sianosis, menjadi sangat lemas dan kejang. Bayi di bawah


6 bulan juga dapat menderita batuk seperti ini namun biasanya
tanpa

disertai

suara

whoop.

Bayi

dan

anak

prasekolah

mempunyai risiko terbesar untuk terkena penyakit.11


Tetanus adalah suatu penyakit akut, bersifat fatal, disebabkan
oleh eksotoksin produksi bakteri Clostridium tetani. Clostridium
tetani adalah kuman berbentuk batang dan bersifat anaerobik,
gram positif yang mampu menghasilkan spora dengan bentuk
drumstick. Kuman ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui
luka dan dalam suasana anaerob, kemudian terjadi produksi
toksin (tetanospasmin) terjadi dan disebarkan melalui darah
dan limfe. Toksin ini kemudian akan menempel pada reseptor di
sistem syaraf.
Gejala utama penyakit ini timbul akibat toksin tetanus
yang mempengaruhi pelepasan neurotransmitter sehingga
terjadi

penghambatan

impuls

inhibisi.

Akibatnya

terjadi

kontraksi serta spastisitas otot yang tak terkontrol, kejang dan


gangguan sistim syaraf otonom. Tetanus dapat ditemukan pada
anak-anak dan neonatal yang bersifat fatal.11
Vaksin DTP (Difteri Tetanus Pertusis)
a. Toksoid Difteri
Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid
difteria (alumprecipitated toxoid) yang kemudian digabung
dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk
vaksin DTP. Untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan
pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6, 18 bulan dan 5 tahun.
Dapat diberikan vaksin DTwP (whole cell) atau DtaP
(aseluler). Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang
memiliki kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis.
Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak
rata-rata memberikan titer lebih besar dari 0.01 IU dalam 1
ml ( nilai batas protektif adalah 0.01 IU). Beberapa
16

penelitian

serologik

membuktikan

adanya

penurunan

kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya


penguatan pada masa anak.
Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara
khusus sulit dibuktikan karena selama ini pemberiannya
selalu digabung bersama toksoid tetanus dan atau tanpa
vaksin pertusis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa
reaksi lokal akibat pemberian vaksin dT (dosis dewasa)
sering ditemukan lebih banyak dari pada pemberian toksoid
tetanus saja. Namun kejadian tersebut sangat ringan dan
belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan berat.11
b. Vaksin Pertusis
Antibodi terhadap toksin pertusis dan hemaglutinin telah
dapat ditemukan dalam serum neonatus dalam konsentrasi
yang sama dengan ibunya, dan akan menghilang dalam 4
bulan

Namun

demikian

antibodi

ini

ternyata

tidak

memberikan proteksi secara klinis. Vaksin pertusis wholecell adalah vaksin yang merupakan suspensi kuman B.
pertussis mati. Umumnya vaksin pertusis diberikan dengan
kombinasi bersama toksoid difteri dan tetanus. Campuran
ini diadsorbsikan ke dalam garam alumunium. Sejak 1962
dimulai usaha untuk membuat vaksin pertusis dengan
menggunakan fraksi sel (aselular) yang bila dibandingkan
dengan whole-cell

ternyata memberikan reaksi lokal dan

demam yang lebih ringan, diduga akibat dikeluarkannya


komponen endotoksin dan debris. Vaksin tersebut kemudian
disebut DtaP (pertusis aseluler).11
-

Vaksin Pertusis a-seluler


Vaksin pertusis aseluler adalah vaksin pertusis yang
berisi komponen spesifik dari Bordettella pertusis yang
dipilih sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis
pertusis dan perannya dalam memicu antibodi yang
berguna untuk pencegahan terhadap pertusis secara
17

klinis. Vaksin DTaP (pertusis aseluler) memberikan


imunogenisitas sama baiknya dengan DTwP. Respons
antibodi juga tampak tetap tinggi setelah pemberian
vaksinasi ulangan pada umur 15-18 bulan dan 5-6
tahun. Kejadian reaksi KIPI vaksin DTaP baik lokal
maupun sistemik lebih rendah daripada DTP. Saat ini di
beberapa negara yang telah mempunyai cakupan
imunisasi pertusis tinggi masih melaporkan pasien
pertusis. Kemungkinan hal tersebut disebabkan orang
dewasa yang non-imun terhadap pertusis sebagai
sumber penularan pada anak, maka pertusis aselular
dapat dipergunakan.11
Kejadian ikutan pasca imunisasi
- Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi
-

injeksi terjadi pada kira-kira separuh penerima DTP.


Proporsi yang sama juga akan menderita demam

ringan dan 1% dapat menjadi hiperpireksia.


Anak sering juga gelisah dan menangis terus menerus

selama beberapa jam pasca suntikan.


Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang (0,06%)
sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam
yang terjadi. Anak dengan kelainan neurologik yang
mempunyai riwayat kejang, 7,2x lebih mudah terjadi
kejang

setelah

imunisasi

DTP

dan

mempunyai

kesempatan 4,5x lebih tinggi bila hanya mempunyai


riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada keadaan
anak
-

yang

demikian,

hendaknya

tidak

diberikan

imunisasi pertusis, jadi hanya diberikan imunisasi DT.


Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya
ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis dan terbukti
disebabkan oleh pemberian vaksin pertusis.

c. Toksoid Tetanus
-

Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi


adalah sebesar 40 IU dalam setiap dosis tunggal dan
18

60 IU bila bersama dengan toksoid difteria dan vaksin


-

pertusis.
Terdapat berbagai kemasan seperti, preparat tunggal
(TT), kombinasi dengan toksoid difteria dan atau
pertusis (dT, DT, DTwP, DTaP) dan kombinasi dengan

komponen lain seperti Hib dan hepatitis B.


Pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian
berseri

untuk

menimbulkan

dan

mempertahankan

imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis bila


-

jadwal pemberian ternyata terlambat.


Ibu yang mendapatkan toksoid tetanus 2 atau 3 dosis
ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi
baru lahir terhadap tetanus neonatal. Kadar rata-rata
antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi

proteksi terhadap bayinya.


Jadwal
- Pemberian toksoid tetanus yang diberikan bersama
-

DTP diberikan sesuai jadwal imunisasi.


Kadar antibodi protektif setelah pemberian DTP 3 kali

mencapai 0,01 IU atau lebih.


KIPI terutama reaksi lokal, sangat dipengaruhi oleh
dosis, pelarut, cara penyuntikan, dan adanya antigen

lain dalam kombinasi vaksin itu.


DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari
usia 6 minggu, disebabkan respons terhadap pertusis
dianggap tidak optimal, sedang respons terhadap
toksoid

tetanus

dan

difteria

cukup

baik

tanpa

memperdulikan adanya antibodi maternal.11


3.

Poliomielitis
Penyakit ini disebabkan oleh virus poliomyelitis pada
medula spinalis yang secara klasik menimbulkan kelumpuhan.
Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus,
famili Picornaviridae. Dikenal 3 macam serotipe virus polio yaitu
P1, P2 dan P3.
Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai
oral polio vaccine (OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980 dan
19

tahun

1990

telah

mencanai

UCI

(universal

of

chlidren

immunization).7
Vaksin virus polio oral (oral polio vaccine = OPV)
Vaksin virus polio hidup oral berisi virus polio tipe 1,2, dan
3 yang sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini digunakan
secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral (0,1 ml).
Virus vaksin ini kemudian menempatkan diri di usus dan
memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun
pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal
terhadap virus polio liar yang datang masuk kemudian. Jenis
vaksin virus polio ini dapat bertahan (beredar) di tinja sampai 6
minggu

setelah

pemberian

OPV.

Penerima

vaksin

dapat

terlindungi setelah dosis tunggal pertama namun tiga dosis


berikutnya akan memberikan imunitas jangka lama terhadap 3
tipe virus polio.
Vaksin polio inactivated (inactivated poliomyelitis vaccine =
IPV)
Vaksin polio inactivated berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan pada
sel-sel

vero

ginjal

kera

dan

formaldehid.

Pada

vaksin

dibuat

tersebut

tidak

aktif

dijumpai

dengan

neomisin,

streptomisin dan polimiksin B dalam jumlah kecil. Pemberian


dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam tiga kali
berturut-turut dengan jarak 2 bulan antara masing-masing
dosis akan memberikan imunitas jangka panjang (mukosal
maupun humoral) terhadap tiga macam tipe virus polio.
Imunitas mukosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah
dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh OPV.
Rekomendasi
Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai
dosis awal. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai
umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah berturut-turut
dengan interval waktu 6-8 minggu. Satu dosis sebanyak 2 tetes
(0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan
20

bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib.


Bila OPV yang diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit,
maka dosis tersebut perlu diulang.
Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons
antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda
karena hal ini. Anak-anak dengan imunosupresi dan kontak
mereka

yang dekat harus diimunisasi. Anak yang telah

mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus


vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi, pada
kontak yang belum diimunisasi.7
4. Vaksin MMR (Measles, Mumps, Rubella)
Vaksin untuk mencegah campak, gondongan (mumps),
dan rubela merupakan vaksin kombinasi yang dikenal sebagai
vaksin MMR (measles, mumps, dan rubella).
Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus
hidup. Dosis tunggal u,5 ml, diberikan secara intramuskular
atau subkutan dalam. Diberikan pada umur 12-18 bulan dan
diulang pada usia 5-7 tahun.
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi
campak, gondongan dan rubela atau imunisasi campak. Tidak
ada efek imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya
telah mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari
ketiga penyakit ini.
Pada populasi dengan insidens infeksi campak dini yang
tinggi, imunisasi MMR dapat diberikan pada usia 9 bulan.
Jika seorang anak berusia >12 bulan belum mendapat
imunisasi, kontak dengan pasien campak, infeksi campak dapat
dicegah dengan pemberian vaksin MMR sesegera mungkin
(dalam waktu 72 jam). Alasannya ialah masa inkubasi galur
vaksin (4-6 hari) lebih singkat dari masa inkubasi virus campak
liar

(10-14

hari).

Akan

tetapi

pada

anak

dengan

imunokompromis, vaksin MMR adalah kontra indikasi, human


immunoglobulin dapat diberikan sesegera mungkin setelah
paparan.
Seorang bayi berusia <12 bulan yang terpapar langsung
21

dengan pasien campak, mempunyai risiko yang tinggi untuk


berkembangnya komplikasi penyakit ini; kepada mereka harus
segera diberikan imunoglobulin (dari pada vaksin) dalam waktu
7 hari paparan, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
campak. Kemudian vaksin MMR harus diberikan sesegera
mungkin,

akan

tetapi

dengan

interval

bulan

setelah

pemberian imunoglobulin.
Live mumps vaccine tidak memberikan perlindungan jika
diberikan setelah terpapar dengan pasien mumps. Akan tetapi,
jika paparan tadi tidak menimbulkan infeksi, vaksin ini akan
memberikan

perlindungan

terhadap

infeksi

berikutnya.

Imunoglobulin tidak terlihat mempunyai nilai sebagai profilaksis


setelah terpapar dengan penyakit ini. Antibodi maternal yang
disalurkan melewati plasenta dapat melindungi bayi selama
satu tahun kehidupan.
Live attenuated

rubella

vaccine

dapat

memberikan

perlindungan terhadap infeksi virus rubella dan pemakaian


yang luas vaksin ini menyebabkan sindrom rubela kongenital di
Australia

tidak

ditemukan

lagi.

Pemakaian

imunoglobulin

setelah terpapar dengan pasien rubela tidak memberikan


perlindungan, sehingga pemberian imunoglobulin nilainya kecil
untuk mencegah rubela pada wanita hamil.7
5.

Vaksin Hib (Haemophylus influenzae tipe B)


Haemophylus

influenzae

tipe

(Hib)

bukan

virus

influensa, tetapi merupakan suatu bakteri Gram negatif.


Haemophylus influenzae terbagi atas jenis yang berkapsul dan
tidak berkapsul. Tipe yang tidak berkapsul umumnya tidak
ganas

clan hanya

menyebabkan

infeksi

ringan

misalnya

faringitis atau otitis media. Jenis yang berkapsul terbagi dalam


6 serotipe dari a sampai f. Di antara jenis yang berkapsul, tipe b
merupakan tipe yang paling ganas dan merupakan salah satu
penyebab tersering dari kesakitan dan kematian pada bayi dan
anak berumur kurang dari 5 tahun.
Infeksi Hib sering menyebabkan meningitis

(radang
22

selaput otak) dengan gejala demam, kaku kuduk, penurunan


kesadaran, kejang dan kematian. Penyakit lain yang dapat
terjadi adalah pneumonia, selulitis, artritis dan epiglotitis.
Kapsul polyribosyribitol phosphate (PRP) menentukan
virulensi dari Hib. Vaksin Hib dibuat dari kapsul tersebut. Vaksin
awal yang terbuat dari PRP murni ternyata kurang efektif,
sehingga saat ini digunakan konjugasi PRP dengan protein dari
berbagai komponen bakteri lain. Vaksin yang beredar di
Indonesia adalah vaksin konjugasi dengan membran protein
luar dari Neisseria meningitidis yang disebut sebagai PRP-OMP
dan konjugasi dengan toksoid tetanus yang disebut sebagai
PRP-T.

Kedua

vaksin

tersebut

menunjukkan

efikasi

dan

keamanan yang sangat tinggi. Kedua vaksin tersebut boleh


digunakan bergantian atau kombinasi.
Vaksin Hib diberikan sejak umur 2 bulan. Vaksin tidak
boleh diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan karena bayi
tersebut

belum

dapat

membentuk

antibodi

pada

vaksin

konjugasi. PRP-OMP cukup diberikan 2 kali sedangkan PRP-T


diberikan 3 kali dengan jarak waktu 2 bulan. Penelitian
menunjukkan bahwa respons antibodi sudah terbentuk setelah
1

kali

suntikan

PRP-OMP

dan

dua

kali

suntikan

PRP-T,

sedangkan titer antibodi yang tertinggi ditemukan setelah 3 kali


suntikan PRP-T. Titer PRP-T bertahan lebih lama dibandingkan
PRP-OMP. Ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan
terakhir. Apabila suntikan awal diberikan pada bayi berumur 6
bulan-1 tahun, 2 kali suntikan sudah menghasilkan titer
protektif; sedangkan setelah 1 tahun cukup 1 kali suntikan
tanpa memerlukan booster. Hal ini menyebabkan dokter sering
menunda pemberian vaksin Hib sehingga memerlukan dosis
yang lebih sedikit. Pendapat ini salah, karena Hib justru lebih
sering menyerang bayi kecil. Dua puluh enam persen terjadi
pada bayi berumur 2-6 bulan clan 25% pada bayi berumur 7-11
bulan (CDC). Kasus termuda di Jakarta berumur 3 bulan.

23

6. Vaksin Demam Tifoid


Salmonella typhi, kuman patogen terhadap manusia,
menyebabkan infeksi invasif yang ditandai dengan demam,
toksemia, nyeri perut, konstipasi atau diare. Bila tidak diobati
dapat

menyebabkan

kematian

karena

perforasi

usus,

perdarahan, toksemia dan karena komplikasi lain. Infeksi terjadi


melalui mulut dari makanan dan minuman yang terkontaminasi
oleh tinja dan urin. Masa inkubasi 3 - 60 hari, namun biasanya 7
- 14 hari.
a. Vaksin demam tifoid oral
Vaksin ini dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non
patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin ini
hanya mengalami sedikit siklus pembelahan dalam usus
dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya.
Tidak seperti vaksin parenteral, respons imun pada vaksin
ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektifitasnya
sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan
pemanasan, tetapi vaksin oral ini reaksi sampingnya lebih
rendah. Vaksin ini dalam perdagangan dikenal sebagai Ty21a.
Penyimpanan vaksin pada suhu 2C- 8C. Kemasan dalam
bentuk kapsul untuk anak umur 5 tahun 7 lebih. Cara
pemberian tiap hari ke 1, 3 dan 5 ditelan 1 kapsul vaksin 1
jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari
37C. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dipecahkan
karena kuman dapat dimatikan oleh asam lambung. Vaksin
tidak

boleh

sulfonamid,

diberikan
atau

bersamaan

antimalaria

dengan

yang

aktif

antibiotik,
terhadap

salmonella. Karena vaksin ini juga menimbulkan respon


yang kuat dari interferon mukosa, pemberian vaksin polio
oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian
terakhir dari vaksin tifus ini. Imunisasi ulangan tiap 5 tahun.
Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi
24

tifus, sebaiknya diberikan 3 - 4 kapsul tiap beberapa tahun.


Jika vaksin tifus oral ini digunakan untuk booster dari vaksin
parenteral yang kumannya dimatikan dengan pemanasan,
maka dianjurkan pemberian lengkap 3 - 4 kapsul.
b. Vaksin polisakarida parenteral
Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung
kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan
larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium
fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan.
Penyimpanan pada suhu 2C - 8C, jangan dibekukan.
Kadaluwarsa dalam 3 tahun. Pemberian secara suntikan
intramuskular atau subkutan pada daerah deltoid atau
paha. Imunisasi ulangan tiap 3 tahun. Reaksi samping lokal
berupa bengkak, nyeri, kemerahan ditempat suntikan.
Reaksi sistemik berupa demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut jarang dijumpai.
Kontra indikasi vaksin ini antara lain alergi terhadap bahan
bahan dalam vaksin, juga pada saat demam, penyakit akut
maupun penyakit kronik progresif.7
7. Vaksin Varisela
Vaksin

virus

hidup

varisela-zoster

yang

dilemahkan

terdapat dalam bentuk bubuk-kering (lyophilised). Bentuk ini


kurang stabil dibandingkan vaksin virus hidup lain, sehingga
mernerlukan

suhu

penyimpanan

tertentu.

Vaksin

harus

disimpan pada suhu 2-8C. Bagi anak hanya diperlukan 1 dosis,


sedang individu imunokompromais serta usia >12 tahun
memerlukan 2 dosis, selang 1-2 bulan (minimal 4 minggu).
Vaksin dapat diberikan bersama dengan vaksin MMR. IDAI
merekomendasikan vaksin ini diberikan mulai usia 10 tahun,
dosis 0,5 ml secara subkutan, dosis tunggal.
Reaksi pasca imunisasi dapat bersifat lokal, demam, dan
ruam papul-vesikel ringan. Pada individu imunokompromis
reaksi lokal jarang terjadi, tetapi reaksi menyeluruh muncul
25

lebih sering pada pasien leukemia dalam pengobatan rumatan.


Setelah

penyuntikan

vaksin,

pada

1%

individu

imunokompromais dapat timbul varisela. Pada pasien leukemia


yang divaksinasi dapat muncul ruam pada 40% kasus setelah
vaksinasi dosis pertama, 4% diantaranya dapat terjadi varisela
berat yang memerlukan pengobatan asiklovir.
Vaksin tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi,
hitung limfosit kurang dari 1200/pl atau adanya bukti defisiensi
imun selular seperti selama pengobatan induksi penyakit
keganasan

atau

tahun

fase

radioterapi,

pasien

yang

mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB


per hari atau lebih). Vaksin ini juga indikasi kontra bagi pasien
yang alergi pada neomisin.7
8. Imunisasi terhadap Hepatitis A
Di negara prevalens tinggi, infeksi umumnya terjadi pada
usia < 10 tahun; di daerah prevalens sedang, infeksi terjadi
pada usia remaja dan dewasa muda, sedangkan di area
prevalens rendah infeksi terjadi pada dewasa usia lanjut.
Transmisi terjadi melalui penularan fekal-oral dalam bentuk
penularan antar individu (kontak erat) dan penularan dan
makanan atau minuman yang tercemar. Masa inkubasi HVA
bervariasi antara 15-50 hari. Infeksi dapat simtomatik atau
asimtomatik, tergantung usia. Infeksi asimptomatis dialami
70% anak usia <6 tahun sedangkan 85% anak besar dan
dewasa infeksinya simtomatis dan umumnya harus rawat inap.
Gejala berlangsung < 2 bulan, tetapi 10 - 15% pasien
mengalami prolonged atau relapsing hepatitis sampai 6 bulan
lamanya. HVA dapat menimbulkan komplikasi berupa hepatitis
fulminan,

prolonged

hepatitis

(12-18

minggu),

relapsing

hepatitis (3,8 - 20%), kekambuhan dapat lebih dari satu


kali.Pencegahan dilakukan dengan pola hidup bersih/sehat dan
imunisasi. Pemberian imunisasi dapat berupa imunisasi pasif
maupun aktif.
26

a. Imunisasi pasif
Sebagai upaya pencegahan setelah kontak (kontak serumah,
kontak seksual, epidemi), upaya profilaksis pasca paparan
dan pra paparan. Seyogyanya diberikan tidak lebih dari 2
minggu setelah paparan.
Normal human immune globulin (NIHG) setiap mili-meter
mengandung 100 IU anti HAV, diberikan secara intramuskular
dalam dengan dosis 0,002 ml/kg berat badan dan volume
total pada anak besar dan orang dewasa 5 ml, sedangkan
pada anak kecil atau bayi tidak melebihi 3 ml.
b. Imunisasi aktif
Imunisasi menyebabkan terbentuknya

serum-neutralizing

antibodies terhadap epitop permukaan virus. Vaksin dibuat


dan virus yang dimatikan (inactivated vaccine). Dosis vaksin
bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Vaksin
diberikan pada usia 24 bulan-18 tahun. Imunisasi diberikan 2
kali, suntikan kedua atau booster diberikan antara 6 sampai
12 bulan setelah dosis pertama. Vaksin hepatitis A terbukti
imunogenisitasnya

baik.

Diperkirakan

anti-NAVprotektif

menetap selama > 20 tahun. Proteksi jangka panjang terjadi


akibat

antibodi

protektif

yang

menetap

atau

akibat

anamnestic boosting infeksi alamiah. Pemberian vaksin VHA


bersamaan dengan vaksin lain (hepatitis B, tifoid) tidak
mengganggu respons imun masing-masing vaksin dan tidak
meningkatkan frekuensi efek samping.
Vaksin HVA cukup aman dan jarang menimbulkan efek
samping. Reaksi lokal merupakan efek samping tersering (21
%-54%) tetapi umumnya ringan. Demam dialami 4% resipien.
Vaksin hepatitis A yang tersedia saat ini semuanya belum
disetujui untuk diberikan kepada bayi berusia < 2 tahun.7
9. Vaksin Influenza
Penyakit influenza merupakan penyakit yang sangat
menular, disebabkan oleh virus yang sangat tidak stabil.
27

Penyebabnya adalah virus influenza A dan virus influenza B.


Vaksin

influenza

mengandung

virus

yang

tidak

aktif

(inactivated influenza virus). Terdapat 2 macam vaksin yaitu


whole-virus dan split-virus vaccine.
Untuk anak dianjurkan pemakaian

jenis

split-virus

vaccine, karena tidak mengakibatkan demam tinggi. Kekebalan


terhadap influenza didapat dari pembentukan antibodi sekretori
IgN dan serum Ig0 temadap glikoprotein, hemaglutinin dan
neuraminidase virus. Antibodi ini sangat spesifik untuk galur
tertentu.
Perlu diingat bahwa anjuran pemakaian vaksin influenza
sama dengan vaksin pneumokokus, kedua vaksin tersebut
dapat diberikan secara bersamaan. Vaksin influenza harus
disimpan dalam lemari es dengan suhu 2-8 C dan tidak boleh
dibekukan.
Berbagai penelitian menunjukkan vaksin influenza dapat
mencegah otitis media, menurunkan kejadian otitis media dan
mencegah eksaserbasi pada anak asma, vaksin influenza dapat
memproteksi

eksaserbasi

akut

asma

pada

anak.

ACIP

merekomendasikan vaksinasi untuk anak > 6 bulan yang


mempunyai risiko tinggi saja, vaksinasi dianjurkan setiap tahun.
Perlunya imunisasi pada usia dini, menurut ACIP karena hasil
penelitian di berbagai negara mendapatkan angka perawatan
rumah sakit yang lebih tinggi pada usia muda dibandingkan
anak yang lebih besar. Hal ini disebabkan imunitas yang rendah
dan kurang terpajang ke virus sebelumnya. Hasil penelitian
juga mendapatkan bahwa vaksin influenza A aman dan efektif
diberikan untuk pencegahan penyakit pada anak sehat usia 6 23 bulan.
Vaksinasi

influenza

diberikan

sebelum

KLB

terjadi.

Misalnya, untuk mencegah KLB pada musim dingin, maka


vaksin diberikan pada musim gugur. Vaksin diberikan satu kali,
dosis tunggal, pada individu yang pemah terpajan pada galur
yang terkandung dalam vaksin tersebut. Pada anak atau
28

dewasa dengan gangguan fungsi imun, diberikan 2 dosis


dengan jarak interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan
antibodi yang memuaskan. Vaksin diberikan dengan suntikan
subkutan dalam atau intramuscular. Tidak ada bukti efikasi
vaksin influenza pada bayi usia kurang dari 6 bulan. Pada anak
usia antara 6 bulan sampai 5 tahun didapatkan reaksi demam
18% kasus. Perlu diingat bahwa anjuran pemberian vaksin
influenza sama dengan vaksin pneumokokus, kedua vaksin
tersebut dapat diberikan pada waktu kunjungan yang sama.
Satu dosis vaksin secara teratur setiap tahun dapat
diberikan pada usia 9 tahun keatas. Anak usia 6 bulan sampai 9
tahun bila mendapat vaksin pertama kali, harus diberikan 2 kali
berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan. Vaksinasi biasanya
diberikan sebelum musim penyakit influenza datang.

10. Vaksin Pneumokokus


Pneumokokus merupakan bakteri yang secara normal
terdapat di saluran nafas atas. Bakteri ini merupakan penyebab
utama pneumonia, meningitis dan otitis media, terutama pada
anak yang muda dan lansia. Kemampuan pneumokokus untuk
mengadakan

invasi

berhubungan

dengan

adanya

kapsul

polisakarida. Sebagian pneumokokus dapat ditemukan pada


flora

normal

saluran

nafas

atas,

sedangkan

yang

lain

merupakan kuman yang berhubungan dengan penyakit invasif.


Kematian akibat penyakit invasif tinggi pada pasien yang tidak
memberikan

respons

imunologik

terhadap

antigen

pneumokokus berkapsul. Risiko tinggi pada pasien dengan


kelainan anatomi, fungsi asplenia, defisiensi imunoglobulin,
sindrom nefrotik, multipel mieloma, AIDS, gagal ginjal kronik,
transplantasi organ, dan keganasan limfoid. Selain itu juga
pasien dengan penyakit kardio-vaskular kronis dan penyakit
paru kronis, diabetes melitus, alkoholisme, sirosis hepatis dan
pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal akibat trauma
atau pasca operasi, mempunyai risiko tinggi untuk menderita
29

penyakit infeksi pneumokokus berat.


Efek proteksi antibodi terhadap

antigen

kapsular

pneumokokus telah diketahui sejak permulaan abad ke 20.


Penelitian menggunakan kontrol pada sekelompok populasi
dengan

attack

menunjukkan

rates

bahwa

tinggi
vaksin

di

negara

berkembang,

pneumokokus

mengurangi

mortalitas akibat pneumonia.


Vaksin diberikan dalam dosis tunggal 0,5 ml, secara
intramuskular atau subkutan dalam di daerah deltoid atau
paha tengah lateral. Dapat diberikan pada umur 9 bulan 2, 4,
6, 12-15 bulan. Pada usia 7-12 bulan diberikan 2 kali dengan
interval 2 bulan; pada umur >1 tahun diberikan 1 kali,
namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada umur >12
bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak
usia >2 tahun PCV cukup diberi satu kali.7
11. Rotavirus
Di Indonesia, puncak kejadian diare karena rotavirus
terjadi pada musim panas yaitu sekitar bulan Juli-Agustus. Diare
karena

rotavirus

terjadi

pada

usia

6-24

bulan,

dengan

puncaknya pada usia 9-12 bulan. Sepertiga kasus diare yang


dirawat di rumah sakit di seluruh dunia disebabkan oleh
rotavirus dengan angka kematian 600.000 per tahun. Angka
tersebut mencerminkan 20-25% dari seluruh kematian akibat
diare dan 6% dari seluruh kematian pada balita.
Rotavirus menginvasi enterosit matur pada hilus usus
halus.

Diare

yang

terjadi

merupakan

resultante

dari

malabsorbsi, sekresi air oleh sel kripta imatur dan defek


transport akibat efek toksik protein virus. Kesembuhan terjadi
apabila lapisan epitel usus halus telah beregenerasi. Infeksi
rotavirus mungkin asimtomatik atau simtomatik. Masa inkubasi
antara 24-72 jam dan gejala yang timbul didahului oleh demam
dan muntah dan diare berair yang menyebabkan dehidrasi
berat dan kematian. Diare oleh rotavirus berlangsung selama 47 hari, 5% kasus disertai kejang demam.
30

Vaksin Rotavirus (RV) diberikan secara oral dengan


dilengkapi

bufer

dalam

kemasannya.

Vaksin

monovalen

diberikan dua kali, vaksin pentavalen diberikan tiga kali. Vaksin


rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis
II diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya
vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16
minggu dan tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
pentavalen dosis I diberikan umur 6-12 minggu, interval ke
dosis II dan III selama 4-10 minggu, dosis III diberikan sebelum
anak berusia 32 minggu dengan interval minimal 4 minggu.
Kejadian ikutan setelah imunisasi yang dilaporkan adalah
diare 7,5%, muntah 8,7%, dan demam 12,1 %.7

VI.

Kesimpulan
Anamnesis tumbuh kembang pada anak meliputi anamnesis
mengenai

faktor-faktor

pranatal

dan

postnatal

yang

dapat

memengaruhi tumbuh kembang anak. Faktor-faktor prenatal yang


ditanyakan terangkum di dalam riwayat kehamilan yang meliputi
gizi ibu pada waktu hamil, kemungkinan terjadinya trauma
mekanis pada janin, pajanan terhadap zat kimia terutama yang
bersifat

teratogen

(termasuk

kemungkinan

paparan

radiasi),

riwayat penyakit infeksi sebelum dan selama kehamilan, dan stres.


Faktor post natal meliputi riwayat persalinan dan anamnesis
tumbuh kembang anak. Faktor-faktor postnatal meliputi status gizi
anak, lingkungan fisik, dan lingkungan psikososial. Semua faktorfaktor

di

atas

dapat

memengaruhi

pertumbuhan

dan

perkembangan anak.
Salah satu upaya mengoptimalkan tumbuh kembang anak
adalah dengan melindungi anak dari berbagai penyakit berbahaya.
Upaya yang diambil adalah dengan imunisasi. Program imunisasi
yang direkomendasikan meliputi 14 macam vaksinasi (Hepatitis B,
Polio, BCG, DTP, Hib, PCV, Rotavirus, Influenza, Campak, MMR,
Tifoid, Hepatitis A, Varisela, dan HPV) dengan jadwal baku yang
telah ditetapkan.
31

Hampir semua vaksin memerlukan lebih dari satu kali


penyuntikan. Dosis yang diberikan setelah dosis paling oertama
disebut booster. Booster berfungsi sebagai penguat sistem imun
yang telah didapatakan dari imunisasi pertam sehingga kekebalan
terhadap panyakit dimaksud dapat bertahan dalam jangka waktu
yang jauh lebih lama.

32

Daftar Pustaka
1. Markum AH. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;1991.
2. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC;1995.
3. Schwartz MW. Garis besar anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dalam: Schwartz MW, penyunting. Pedoman klinis 3. Jakarta:
EGC;2005.
4. Setiyohadi B, Supartondo. Anamnesis. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setidai S, penyunting. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing;
2009.
5. Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan RI. Pedoman pengukuran dan pemeriksaan. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI;2007.
6. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun
patologi klinik

hematologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas

Kedokteran Ukrida;2007.
7. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB.
Pedoman imunisasi di indonesia. Edisi ke-3. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI;2003.
8. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB. Pedoman
nasional tuberkulosis anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2005.
9. Rahajoe NN. Tuberkulosis (vaksin BCG). Dalam: Ranuh IGN,
Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman imunisasi di indonesia. Edisi ke-3. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI;2003.
10. Hidayat B, Pujiarto PS. Hepatitis b. Dalam: Ranuh IGN, Suyitno
H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman
imunisasi di indonesia. Edisi ke-3. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI;2003.
11. Tumbelaka AR, Hadinegoro SRS. Difteria, pertusis, tetanus.
Dalam: Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB,
penyunting. Pedoman imunisasi di indonesia. Edisi ke-3. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI;2003.

33

You might also like