You are on page 1of 28

ABSES LEHER DALAM1

REFERAT

ABSES LEHER DALAM

Oleh :
Muhammad Afdhal
110.2010.175

Pembimbing :
Kol (Purn) dr.Tri Damijatno Sp.THT
Kol Ckm dr.Rakhmat Haryanto, M.Kes, Sp.THT
Mayor CKM dr. M. Andi Fathurakhman, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG


TENGGOROK KEPALA DAN LEHER
RS TK II MOH. RIDWAN MEURAKSA
PERIODE 5 JANUARI 2015 6 FEBRUARI 2015

ABSES LEHER DALAM2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH


Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana
yang terlibat. Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi
(43%) dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%).1
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa
akibat komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas,
kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis
interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. Etiologi infeksi di daerah leher dapat bermacam-macam. Kuman penyebab
abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun
fakultatif anaerob. Asmar dikutip Murray dkk, mendapatkan kultur dari abses
retrofaring 90 % mengandung kuman aerob, dan 50% pasien ditemukan kuman
anaerob.1,2,3
Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi
sejak diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah.
Disamping itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini.
Sebelum era antibiotik, 70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi
di faring dan tonsil ke parafaring.4
Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan
untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap
pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap
kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan
pemberian antibiotik secara empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian

ABSES LEHER DALAM3

terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun
bervariasi.
Meluasnya penggunaan antibiotik tidak hanya menurunkan angka
kejadian infeksi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengubah gambaran klinis
penyakit ini. Hal ini ditambah juga dengan semakin meningkatnya jumlah pasien
dengan status immunosupresi berat, menjadi tantangan bagi para dokter untuk
memahami gambaran klinis penyakit ini yang dapat memicu terjadinya
komplikasi yang mengancam jiwa. Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang
potensial leher secara baik, serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan
untuk dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan
yang adekuat.

ABSES LEHER DALAM4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI LEHER


Anatomi Leher
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh
fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia
profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke
anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda
dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior
mandibula.7,9

Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring

ABSES LEHER DALAM5

Gambar 2. Potongan oblik leher

Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem


muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan
dada, dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda
mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:6,7
-

lapisan superfisial
lapisan tengah
lapisan dalam.

Ruang potensial leher dalam


Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan
daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.

Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:

ruang retrofaring

ruang bahaya (danger space)

ABSES LEHER DALAM6

ruang prevertebra.

Ruang suprahioid terdiri dari:

ruang submandibula

ruang parafaring

ruang parotis

ruang mastikor

ruang peritonsil

ruang temporalis.

Ruang infrahioid:

ruang pretrakeal.

Gambar 3. Potongan Sagital Leher

ABSES LEHER DALAM7

2.2. DEFINISI
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang
terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya
oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka
peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh
jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai
sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.

2.3. EPIDEMIOLOGI
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,
menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula
(15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4),
diikuti oleh Ludwigs angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001
sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%,
parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra
hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun
terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam
sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%)
kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses
mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.

ABSES LEHER DALAM8

2.4. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal
dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh
baik secara perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi.
Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka
kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian
besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman
aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak
dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1
sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman
yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif
adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi
molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan
masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya
berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah
submaksila.
Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%)
dapat diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%.
Tujuh puluh enam persen Ludwigs angina disebabkan infeksi gigi, abses
submandibula 61% disebabkan oleh infeksi gigi.
Yang dkk melaporkan dari 100 orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien
dapat diidentifikasi sumber infeksi sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal
dari infeksi orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit,
sialolitiasis, trauma, tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.

ABSES LEHER DALAM9

Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam.


Penyebab
Gigi

Jumlah
77

%
43

Penyalahgunaan obat suntik

21

12

Faringotonsilitis

12

6,7

Fraktur mandibula

10

5,6

Infeksi kulit

5,1

Tuberculosis

5,1

Benda asing

3,9

Peritonsil abses

3,4

Trauma

3,4

Sialolitiasis

2,8

Parotis

1,7

Lain-lain

10

5,6

Tidak diketahui

35

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman
flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi
yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella,
Fusobacterium spp,.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu
hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke
parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang
submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.

Pola kuman

ABSES LEHER DALAM10

Pada umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran


beberapa kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif anaerob.
Kuman aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp,
Haemofilus influenza, Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis,
Klebsiell

sp,

Neisseria

sp.

Kuman

anaerob

yang

sering

adalah

Peptostreptococcus, Fusobacterium dan bacteroides sp. Pseudomanas aeruginosa


merupakan kuman yang jarang ditemukan.
Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah
kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob adalah:
1. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek dari
metabolisme anaerob.
2. Infeksi di proksimal permukaan mukosa.
3. Adanya gas dalam jaringan.
4. Hasil biakan aerob negatif.
Infeksi yang penting secara klinis akibat kuman anaerob sering terjadi.
Infeksi sering bersifat polimikroba yaitu bersamaan dengan kuman anaerob
lainnya, fakultatif anaerob, dan aerob. Bakteri anaerob ditemukan hampir disemua
bagian tubuh. Infeksi terjadi ketika bakteri anaerob dan bakteri flora normal
lainnya mengontaminasi yang secara normal steril.
Berbagai penelitian tentang kuman penyebab abses leher dalam telah
banyak dilakukan. Botin dkk mendapatkan Peptostreptococus, Streptococus
viridan, Streptococus intermedius berkaitan dengan infeksi gigi sebagai sumber
infeksi abses leher dalam. El-Sayed dan Al-daurosy, Botin dkk mendapatkan
kuman aerob terbanyak adalah stafilokokus dan streptokokus.
Abshirini H dkk, pada 40 hasil kultur dari abses leher dalam
mendapatkan;

stafilokokus

77%,

Streptococcus

-haemolitycus

12,5%,

ABSES LEHER DALAM11

Entrobacter 12,5%, Streptococcus -haemolyticus 7,5%, Klebsiella sp 5%,


Streptococcus non haemolyticus 5%, Pseudomonas aeruginosa 2,5%. Parhiscar
dkk, dari 210 pasien abses leher dalam (1981-1998), dilakukan kultur terhadap
186 (88%) pasien, dan pada 162 (87%) pasien ditemukan pertumbuhan kuman,
24(13%) pasien tidak terdapat pertumbuhan kuman. Kuman terbanyak
Streptococcus viridan 39%, Staphylococcus epidermidis 28%. Kuman anaerob
terbanyak adalah bacteroides sp 14%. (Tabel 2)

Tabel. 2. Kuman Penyebab Abses leher dalam


Jenis Kuman
Streptococcus viridans
Staphylococcus
epidermidis
Staphylococcus aureus
Bactroides Sp
Streptococcus haemolyticus
Klebsiella pneumonia
Streptococcus pneumonia
Mycobacterium tb
Anaerob gram negatif
Neisseria sp
Peptostreptococcus
Jamur
Enterobacter
Bacillus sp
Propionibacterium
Acinetobacter
Actinimicosis israelii
Proteus sp
Klepsiella sp
Bifidobacterium
Microaerophilic
streptococcus
Enterococcus sp
Moraxtella catarrhalis
Dan lain-lain

Jumlah
pasien
63
46

%
kultur
+
39
28

35
22
34

22
14
21

11
10
10
9
8
8
8
7
6
6
5
3
3
3
3
3

6,8
6,2
6,2
5,5
4,9
4,9
4,9
4,3
3,7
3,7
3,1
1,9
1,9
1,9
1,9
1,9

3
2

1,9
1,2
6,8

Brook menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari abses
kepala dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya kuman
anaerob 65 spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang dkk dari 100

ABSES LEHER DALAM12

pasien abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman didapatkan 89%, ada
pertumbuhan kuman. Kuman aerob dominan ialah Streptococcus viridan,
Klebsiella

pneumonia,

Stapylococcus

aureus.

Kuman

anaerob

dominan

Prevotella, Peptostreptococcus, dan Bacteroides. (Tabel 3).

Tabel 3. Pola kelompok kuman pada abses leher dalam


Hasil
Positif kuman

jumlah kasus
89

Kuman tunggal

38(42,7%)

Gram positif aerob

14

Gram negatif aerob

21

Anaerob

Kuman campuran
Aerob saja

51 (57,3%)
13

Gram positif saja

Gram negatif saja

Kedua gram

Anaerob saja

Campuran aerob-anaerob

36

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang, periode April


2010 sampai dengan Oktober 2010 terdapat sebanyak 22 pasien abses leher
dalam dan dilakukan kultur kuman penyebab, didapatkan 16 (73%) spesimen
tumbuh kuman aerob, 6 (27%) tidak tumbuh kuman aerob dan 2 (9%) tumbuh
jamur yaitu Candida sp. Kuman aerob yang tumbuh yaitu; Streptocccus
haemoliticus 6 (37%), Klepsiella sp 4 (25%), Enterobacter sp 3 (19%),
Staphylococcus aureus 2 (12,5%), Staphilococcus epidermidis 1 (6%). E. Coli 1
(6%), Proteus vulgaris 1 (6%). Dua spesimen tumbuh 2 macam kuman aerob
yaitu campuran Streptocccus haemoliticus dengan Klebsiella sp. Pada
pemeriksaan ini tidak dilakukan kultur pada kuman anaerob. (Tabel 4)

ABSES LEHER DALAM13

Tabel 4. Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil Padang
periode April 2010-Oktober 2010
Jenis Kuman
Streptocccus haemoliticus

Jumlah
6

%
37

Klepsiella sp

25

Enterobacter sp

19

Staphylococcus aureus

12,5

Staphilococcus epidermidis

E. Coli

Proteus vulgaris

Infeksi leher dalam ditemukan 88 (74,6%) spesimen mengandung kuman


anaerob. Kuman anaerob saja 19,5%, kuman aerob dan fakultatif saja 16,9%,
campuran kuman aerob dan anaerob 55,1%, dan 8,5% tidak tumbuh kuman. Dari
kuman anaerob tumbuh didapatkan gram negatif anaerob 50,8%, yaitu;
Bacteroides fragillis 3,9%, Fusobacterium sp 9,4%, Prevotella spp 30,5%, lainlain 7%, gram positif anaerob 49,2%, yaitu: Actinomycess spp 11,7%,
Eubacterium spp 11,7%, lactobacillus spp 6,2%, propionibacterium spp 4,7%,
kokus gram positif 10,9%.

2.5 GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS


Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi
pada umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi.
Abshirini H, dkk melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus

ABSES LEHER DALAM14

didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia
29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang
sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.5,6,7
2.5.1 Abses peritonsil
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang
terbentuk di luar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.10
Etiologi
Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan
biasanya merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama
dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.7,10
Patologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.7
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah
tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula
ke arah kontralateral. Bila proses berlanjut terus, peradangan jaringan di
sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterygoideus interna, sehingga
timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke
paru.7

Diagnosis
Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri
menelan (odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam
(hot potato voice). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N.

ABSES LEHER DALAM15

Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau


(foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan menonjol
ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di
daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadangkadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke
daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi
dari tempat yang paling fluktuatif.6,7,8
Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher.7
Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik
dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi
ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan
drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan
di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan
perbaikan segera gejala-gejala pasien.7,11
Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian
cairn kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa
nasalis.11
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a
tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut
tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

ABSES LEHER DALAM16

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita


abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses
peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian
mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.
Komplikasi
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.

2.5.2 Abses retrofaring


Etiologi dan Patologi
Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada
bayi atau anak di bawah dua tahun dan merupakan abses leher dalam yang
terbanyak pada anak. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada
usia 3-4 tahun. Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas
atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah
retrofaring. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya
trauma tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.
Diagnosis
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia)
di samping juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan
sesak nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan

ABSES LEHER DALAM17

nafas, terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul
stridor. Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak kecil
terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan bagian atas
dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam berbicara, dan
kesulitan menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior
faring.
Terapi
Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk
kuman aerob dan anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan
melalui laringoskop langsung dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar
segera diisap agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia
lokal atau umum.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring,
ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila
pecah spontan dapat menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.

2.5.3 Abses Parafaring


Etiologi dan patologi
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,
parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan
perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses
submandibula, abses retrofaring maupun mastikator.

ABSES LEHER DALAM18

Gejala dan tanda


Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok,
odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di
daerah parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus
mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid
akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas.6,8,9
Terapi
Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera
dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan
cara eksplorasi dalam narkosis. Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi
servikal pada 2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi
dilanjutkan dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus ke arah atas belakang
menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat
di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi
horizontal ke bawah di depan M. Sternocleidomastoideus (cara Mosher).
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
langsung (per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis
mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding
pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur,
sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat
timbul tromboflebitis dan septikemia.

2.5.4 Abses Submandibula


Etiologi dan patologi

ABSES LEHER DALAM19

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi
ruang leher dalam lain.
Diagnosis
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur
banyak.

Pada

pemeriksaan

fisik

didapatkan

pembengkakan

di

daerah

submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang,


angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus.

2.5.5 Angina Ludovici (Ludwigs Angina)


Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian
superior ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal
abses. Ruang potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada
tulang hioid dan ototmilohioideus.
Etiologi
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal
dari gigi geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis
pada ruang submaksilaris.
Diagnosis
Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak,
trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras
pada perabaan. Kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong
lidah ke atas dan ke belakang dan dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak napas.7,10
Terapi

ABSES LEHER DALAM20

Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan


anaerob, dan diberikan secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan
pembedahan insisi melalui garis tengah, dengan demikian menghentikan
ketegangan (dekompresi) yang terbentuk pada dasar mulut. Karena ini merupakan
selulitis, maka sebenarnya pus jarang diperoleh. Sebelum insisi dan drainase
dilakukan, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi
karena ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang
mengobstruksi pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop.
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran
abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1.

Rontgen servikal lateral


Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada

daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid
levels, erosi dari korpus vertebre. Penebalan jaringan lunak pada prevertebre
setinggi servikal II (C2), lebih 7mm, dan setinggi servikal VI yang lebih 14mm
pada anak, lebih 22mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses retrofaring.
Tabel 5. Tebal jaringan lunak posterior faring berdasarkan umur pada Rontgen
servikal lateral
Umur
0-1

Setinggi C4
1,5.C

Setinggi C6
2,0.C

1-2

0,5.C

1,5.C

2-3

0,5.C

1,2.C

3-6

0,4.C

1,2.C

6-14

0,3.C

1,2.C

ABSES LEHER DALAM21

Dewasa

Lk

pr

0,3C 0,3C
C= corpus servikal
2.

Lk

pr

0,7C 0,6C

Rontgen Panoramiks
Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.

3.

Rontgen toraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,

pendorongan saluran nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses.
4. Tomografi Komputer (TK/ CT Scan)

Tomografi komputer dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas


pada abses leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo dkk, seperti dikutip
Murray AD dkk, bahwa dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa tomografi
komputer mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah
pada 70% pasien. TK memberikan gambaran abses berupa lesi dengan hipodens
(intensitas rendah), batas yang lebih jelas, kadang ada air fluid levels. Kirse dan
Robenson, mendapatkan ada hubungan antara ketidakteraturan dinding abses
dengan adanya pus pada rongga tersebut. Pemeriksaan TK toraks diperlukan jika
dicurigai adanya perluasan abses ke mediastinum.
5.

Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus

meliputi biakan metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil
dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil
sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran
nafas atas atau rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah yang sehat dan
dilakukan lebih dalam.

ABSES LEHER DALAM22

2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik
dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik dosis
tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Hal
yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase
abses yang baik.
Menurut Poe dkk penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi
untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat perbaikan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.
Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera
diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan
antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Yang SW, dkk melaporkan
pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu;

Kombinasi

penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin,


kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan klindamisin,
kombinasi pinisilin dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka
perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%. Avest ET, dkk,
memberikan antibiotik empiris, kombinasi metronidazole dengan ceftriaxone.
Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan
stafilokokus

yang

tidak

menghasilkan

enzim

penecilinase.

Gentamisin

menunjukkan efek sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap


streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin.
Lebih khusus pemakaian klindamisin pada infeksi polimicrobial termasuk
Bacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral.

ABSES LEHER DALAM23

Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum


didapatkan hasil kepekaan terhadap kuman penyebab, dianjurkan berbagai ahli
seperti terlihat pada (tabel 6).
Tabel 6. Antibiotik yang dianjurkan beberapa penulis secara empiris .
Penulis
Sakaguchi dkk (97)

Antibiotik
Penisilin & Klindamisin

Umur
D

Parhischar, Har-El (01)

Penisilin G & Oxacillin atau

A&D

Nafcilin
Gates (83)

Penisilin, lactamase

DTV

resistant drug
Chen dkk (98)

PenisilinG, Klindamisin,

Gentamisin
Plaza, Mayor (01)

Cefotaxime, Metronidazole

Simo dkk (98)

Flucloxacine, Metronidazole

Nagy dkk

Ceftriaxone , Klindamisin

A&D

Mc Clay dkk (03)

Cefuroxime, Klindamisin

Sichel dkk (02)

Amoksillin-Asam klavulanik

A&D

(97)

Brondbo dkk (83)


Penesilin G, Metronidazole
A=Anak, D=Dewasa DTV=Data tidak valid

Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole,


klindamisin, carbapenem, sefoxitin, atau kombinasi penisilin dan -lactam
inhibitor merupakan obat terpilih.
Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone
atau cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman enterik
gram negatif. Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang lebih baik
terhadap gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin generasi I, generasi
III kurang efektif terhadap

kokus gram positif, tapi sangat efektif terhadap

Haemofillus infeluenza, Neisseria sp

dan Pneumokokus. Ceftriaxone dan

cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap streptokokus. Ceftriaxone sangat


efektif terhadap gram negatif dan Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus
pneumonia dan Neisseriae sp yang resisiten terhadap penesilin.

ABSES LEHER DALAM24

Di Bagian THT-KL RS. Dr. M. Djamil Padang pemberian antibiotik secara


empiris diberikan berupa antibiotik kombinasi ceftriaxone dan metronidazole. Ini
berdasarkan kuman penyebab terbanyak abses leher dalam yaitu jenis
streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob. Penambahan gentamisin
(aminoglikosid) dapat diberikan jika dicurigai kuman penyebab termasuk kuman
entrik seperti Klebsiella, proteus, Enterobacter.
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab
diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara
empiris jika terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka
antibiotik diganti sesuai uji kepekaan.5

ABSES LEHER DALAM25

BAB III
PENUTUP

3.1 RANGKUMAN
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa
akibat komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas,
kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis
interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk
evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan

pemberian

antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan
mempercepat perbaikan.
Untuk identifikasi kuman penyebab membutuhkan pemeriksaan biakan
kuman. Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Oleh karena kuman
penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob
maupun fakultatif anaerob, maka sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas
keluar, diberikan antibiotik untuk kuman aerob dan anaerob secara empiris.
Pemberian antibiotik secara empiris dapat berupa antibiotik kombinasi ceftriaxone
dan metronidazole. Ini berdasarkan kuman penyebab terbanyak abses leher dalam
yaitu jenis streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob. Penambahan
gentamisin (aminoglikosid) dapat diberikan jika dicurigai kuman penyebab
termasuk kuman entrik seperti Klebsiella, proteus, Enterobacter.
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab
diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara
empiris jika terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka
antibiotik diganti sesuai uji kepekaan.

ABSES LEHER DALAM26

3.2 SARAN
Abses leher dalam merupakan suatu keadaan yang dapat mengancam
jiwa. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dokter dalam
mengenali tanda-tanda suatu kegawatan dan cara mengatasinya dalam segala
keterbatasan.

ABSES LEHER DALAM27

DAFTAR PUSTAKA
1. Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh
dari: repository.usu.ac.id.
2. Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a
transnasal approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317,
2009. Diunduh dari: www.jmedicalcasereports.com.
3. Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001,
Volume 2, Number 8. author.emedicine.com/PED/topic2682.html.
4. Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections
of the Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh dari:
www.otohns.net
5. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley
BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4.
Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006.p.666-81
6. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8
7. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui
Juli 2009] Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and
facial plastic surgery.com.
8. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A
Challenging Diagnosis. Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007.
Diunduh dari: www.entjournal.com
9. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan
Orofaring. Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar

ABSES LEHER DALAM28

penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal.
320-355.
10. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

You might also like