Professional Documents
Culture Documents
REFERAT
Oleh :
Muhammad Afdhal
110.2010.175
Pembimbing :
Kol (Purn) dr.Tri Damijatno Sp.THT
Kol Ckm dr.Rakhmat Haryanto, M.Kes, Sp.THT
Mayor CKM dr. M. Andi Fathurakhman, Sp.THT
BAB I
PENDAHULUAN
terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun
bervariasi.
Meluasnya penggunaan antibiotik tidak hanya menurunkan angka
kejadian infeksi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengubah gambaran klinis
penyakit ini. Hal ini ditambah juga dengan semakin meningkatnya jumlah pasien
dengan status immunosupresi berat, menjadi tantangan bagi para dokter untuk
memahami gambaran klinis penyakit ini yang dapat memicu terjadinya
komplikasi yang mengancam jiwa. Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang
potensial leher secara baik, serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan
untuk dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan
yang adekuat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
lapisan superfisial
lapisan tengah
lapisan dalam.
ruang retrofaring
ruang prevertebra.
ruang submandibula
ruang parafaring
ruang parotis
ruang mastikor
ruang peritonsil
ruang temporalis.
Ruang infrahioid:
ruang pretrakeal.
2.2. DEFINISI
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang
terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya
oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka
peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh
jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai
sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,
menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula
(15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4),
diikuti oleh Ludwigs angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001
sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%,
parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra
hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun
terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam
sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%)
kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses
mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.
Jumlah
77
%
43
21
12
Faringotonsilitis
12
6,7
Fraktur mandibula
10
5,6
Infeksi kulit
5,1
Tuberculosis
5,1
Benda asing
3,9
Peritonsil abses
3,4
Trauma
3,4
Sialolitiasis
2,8
Parotis
1,7
Lain-lain
10
5,6
Tidak diketahui
35
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman
flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi
yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella,
Fusobacterium spp,.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu
hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke
parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang
submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
Pola kuman
sp,
Neisseria
sp.
Kuman
anaerob
yang
sering
adalah
stafilokokus
77%,
Streptococcus
-haemolitycus
12,5%,
Jumlah
pasien
63
46
%
kultur
+
39
28
35
22
34
22
14
21
11
10
10
9
8
8
8
7
6
6
5
3
3
3
3
3
6,8
6,2
6,2
5,5
4,9
4,9
4,9
4,3
3,7
3,7
3,1
1,9
1,9
1,9
1,9
1,9
3
2
1,9
1,2
6,8
Brook menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari abses
kepala dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya kuman
anaerob 65 spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang dkk dari 100
pasien abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman didapatkan 89%, ada
pertumbuhan kuman. Kuman aerob dominan ialah Streptococcus viridan,
Klebsiella
pneumonia,
Stapylococcus
aureus.
Kuman
anaerob
dominan
jumlah kasus
89
Kuman tunggal
38(42,7%)
14
21
Anaerob
Kuman campuran
Aerob saja
51 (57,3%)
13
Kedua gram
Anaerob saja
Campuran aerob-anaerob
36
Tabel 4. Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil Padang
periode April 2010-Oktober 2010
Jenis Kuman
Streptocccus haemoliticus
Jumlah
6
%
37
Klepsiella sp
25
Enterobacter sp
19
Staphylococcus aureus
12,5
Staphilococcus epidermidis
E. Coli
Proteus vulgaris
didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia
29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang
sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.5,6,7
2.5.1 Abses peritonsil
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang
terbentuk di luar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.10
Etiologi
Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan
biasanya merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama
dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.7,10
Patologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.7
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah
tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula
ke arah kontralateral. Bila proses berlanjut terus, peradangan jaringan di
sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterygoideus interna, sehingga
timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke
paru.7
Diagnosis
Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri
menelan (odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam
(hot potato voice). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N.
nafas, terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul
stridor. Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak kecil
terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan bagian atas
dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam berbicara, dan
kesulitan menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior
faring.
Terapi
Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk
kuman aerob dan anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan
melalui laringoskop langsung dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar
segera diisap agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia
lokal atau umum.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring,
ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila
pecah spontan dapat menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi
ruang leher dalam lain.
Diagnosis
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur
banyak.
Pada
pemeriksaan
fisik
didapatkan
pembengkakan
di
daerah
daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid
levels, erosi dari korpus vertebre. Penebalan jaringan lunak pada prevertebre
setinggi servikal II (C2), lebih 7mm, dan setinggi servikal VI yang lebih 14mm
pada anak, lebih 22mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses retrofaring.
Tabel 5. Tebal jaringan lunak posterior faring berdasarkan umur pada Rontgen
servikal lateral
Umur
0-1
Setinggi C4
1,5.C
Setinggi C6
2,0.C
1-2
0,5.C
1,5.C
2-3
0,5.C
1,2.C
3-6
0,4.C
1,2.C
6-14
0,3.C
1,2.C
Dewasa
Lk
pr
0,3C 0,3C
C= corpus servikal
2.
Lk
pr
0,7C 0,6C
Rontgen Panoramiks
Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.
3.
Rontgen toraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pendorongan saluran nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses.
4. Tomografi Komputer (TK/ CT Scan)
Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus
meliputi biakan metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil
dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil
sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran
nafas atas atau rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah yang sehat dan
dilakukan lebih dalam.
2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik
dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik dosis
tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Hal
yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase
abses yang baik.
Menurut Poe dkk penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi
untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat perbaikan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.
Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera
diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan
antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Yang SW, dkk melaporkan
pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu;
Kombinasi
yang
tidak
menghasilkan
enzim
penecilinase.
Gentamisin
Antibiotik
Penisilin & Klindamisin
Umur
D
A&D
Nafcilin
Gates (83)
Penisilin, lactamase
DTV
resistant drug
Chen dkk (98)
PenisilinG, Klindamisin,
Gentamisin
Plaza, Mayor (01)
Cefotaxime, Metronidazole
Flucloxacine, Metronidazole
Nagy dkk
Ceftriaxone , Klindamisin
A&D
Cefuroxime, Klindamisin
Amoksillin-Asam klavulanik
A&D
(97)
BAB III
PENUTUP
3.1 RANGKUMAN
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa
akibat komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas,
kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis
interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk
evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan
pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan
mempercepat perbaikan.
Untuk identifikasi kuman penyebab membutuhkan pemeriksaan biakan
kuman. Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Oleh karena kuman
penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob
maupun fakultatif anaerob, maka sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas
keluar, diberikan antibiotik untuk kuman aerob dan anaerob secara empiris.
Pemberian antibiotik secara empiris dapat berupa antibiotik kombinasi ceftriaxone
dan metronidazole. Ini berdasarkan kuman penyebab terbanyak abses leher dalam
yaitu jenis streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob. Penambahan
gentamisin (aminoglikosid) dapat diberikan jika dicurigai kuman penyebab
termasuk kuman entrik seperti Klebsiella, proteus, Enterobacter.
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab
diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara
empiris jika terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka
antibiotik diganti sesuai uji kepekaan.
3.2 SARAN
Abses leher dalam merupakan suatu keadaan yang dapat mengancam
jiwa. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dokter dalam
mengenali tanda-tanda suatu kegawatan dan cara mengatasinya dalam segala
keterbatasan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh
dari: repository.usu.ac.id.
2. Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a
transnasal approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317,
2009. Diunduh dari: www.jmedicalcasereports.com.
3. Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001,
Volume 2, Number 8. author.emedicine.com/PED/topic2682.html.
4. Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections
of the Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh dari:
www.otohns.net
5. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley
BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4.
Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006.p.666-81
6. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8
7. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui
Juli 2009] Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and
facial plastic surgery.com.
8. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A
Challenging Diagnosis. Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007.
Diunduh dari: www.entjournal.com
9. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan
Orofaring. Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar
penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal.
320-355.
10. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.