You are on page 1of 18

Ba g i a n 2

LANDASAN TEORI

Pengungkapan wilayah seni pertunjukan perlu dibekali dengan


berbagai landasan teori guna mengarah pada kajian yang bersifat
ilmiah, bukan kajian yang didasarkan atas landasan intuitif dan
improvisatif.

Pendahuluan
Produk budaya masyarakat, terutama dari
kalangan rakyat kadang-kadang diabaikan begitu saja
nilai dan maknanya. Nilai dan makna inilah yang
menjadi kekuatan daya ungkap seni pertunjukan yang
dijelmakan dalam bentuk simbol-simbol budaya. Seni
pertunjukan rakyat sebagai salah satu sumber daya
kultural masyarakat merupakan pula hasil kreativitas
masyarakat yang berorientasi bukan saja pada nilai-
nilai seni semata. Kesenian yang ada dikalangan
rakyat seperti seni pertunjukan teater rakyat adalah
sebuah kreativitas yang lugu dari masyarakatnya.
Keluguan yang dimiliki oleh komunitas seni
pertunjukan rakyat dalam mempertunjukan
keseniannya adalah fakta budaya yang ada pada
lingkungannya.

17
Komunikasi Seni Pertunjukan

Sebagai salah satu fakta budaya, pertunjukan


teater rakyat juga merupakan wacana yang ada pada
masyarakat lingkungannya, maka tidaklah
mengherankan jika simbol-simbol budaya yang
mereka presentasikan melalui seni pertunjukan
memiliki arti yang penting bagi kehidupan
lingkungan budaya masyarakat tersebut. Simbol-
simbol budaya yang dipresentasikan oleh teater
rakyat memiliki makna historis, pengalaman budaya
masyarakat, dan bahasa ungkap atau ekspresi budaya
masyarakat itu.
Berkaitan dengan hal tersebut tulisan ini mencoba
mengungkap beberapa landasan teori guna mengisi
wacana dalam seni pertunjukan, khususnya aspek
komunikasi seni pertunjukan dalam teater rakyat.
Melalui landasan teori bagi komunikasi seni
pertunjukan diharapkan fakta budaya masyarakat
yang dalam salah satu wujudnya berupa pertunjukan
teater rakyat dapat diungkap dan diartikan sebagai
sesuatu yang berharga bagi masyarakat
lingkungannya. Dengan kata lain, pemahaman
terhadap komunikasi seni pertunjukan secara umum
dan khususnya pada pertunjukan teater rakyat dapat
menjadi acuan bagi usaha-usaha konstruktif dalam
modifikasi, revitalisasi, dan konservasi seni
pertunjukan rakyat.
Interpretasi merupakan pijakan awal bagi
pencarian landasan teori komunikasi seni
pertunjukan. Interpretasi tidak hanya didorong oleh
kekuatan subyektif peneliti, namun dibekali dengan
seperangkat referensi yang mengarah pada
'objektivasi'. Sebut saja perangkat referensi itu adalah
teori-teori yang telah direduksi penulis, seperti teori-
teori tentang simbol, teori-teori komunikasi (interaksi

18
Komunikasi Seni Pertunjukan

simbolik dan dramaturgis), dan teori-teori tentang


pertunjukan (performances studies) serta antropologi
pertunjukan. Dengan bekal referensi tersebut tidak
lantas landasan teori komunikasi seni pertunjukan
dapat ditorehkan, namun dibutuhkan suatu pisau
kajian yang dapat membedah makna pertunjukan
tersebut. Pertunjukan teater rakyat adalah interaksi
simbol-s imb ol buday a, y ang di dalamnya
tersembunyikan suatu makna. Untuk dapat melihat
makna yang ditangkap oleh segenap masyarakat
penyangga dan pendukung seni pertunjukan tersebut,
teks dan konteks merupakan horizon yang perlu kita
pahami lebih lanjut. Pisau bedah yang dimaksudkan
untuk menorehkan teori komunikasi seni pertunjukan
adalah hermeneutika. Hal ini berkaitan dengan makna
simbol-simbol yang ada dalam seni pertunjukan
rakyat dan berhubungan erat dengan teks serta
konteks masyarakatnya. Dengan hermeneutika,
pertunjukan akan diungkap maknanya sekaligus
menguak teks dan konteksnya secara fenomenologis.
Hermeneutika dianggap sesuai untuk mengkaji
makna atas simbol-simbol dalam pertunjukan teater
rakyat, karena hermeneutika dalam pemikiran
kontemporer lebih mengarah pada “filsafat
komunikasi sosial” (Vattimo, 2003:192).
Pencarian landasan teori komunikasi seni
pertunjukan teater rakyat perlu pemusatan objek,
terutama pada makna simbol-simbol budaya, teks dan
konteks dalam suatu pertunjukan teater rakyat. Dalam
kaitan ini peran bahasa, historis, dan pengalaman
individu serta masyarakat menjadi penting
keberadaannya. Gambaran alur kerangka teoretis
dalam tulisan ini dapat kita lihat sebagai berikut:

19
Komunikasi Seni Pertunjukan

Kerangka Pemikiran Teoretis Komunikasi Seni Pertunjukan

Seni Pertunjukan Sebagai Media Komunikasi


Dalam konteks pertunjukan yang didasarkan pada
peran dan fungsinya, seni pertunjukan lebih dekat
disebut sebagai media komunikasi. Sejalan dengan
itu, maka wilayah seni pertunjukan sebagai media
komunikasi antara kreator (seniman) dan apresiator
(penonton), antara pelaku seni dan penikmat seni,
menjadi sesuatu yang ditafsirkan oleh keduanya. Seni
pertunjukan diciptakan oleh pelaku seni dengan tafsir
makna tersendiri, yang kemudian diamati, ditonton,
atau diapresiasi oleh penikmat seni dengan tafsir
makna tersendiri pula. Peristiwa komunikasi
demikian pada suatu bentuk pertunjukan merupakan
kejadian yang terus menerus berlangsung dan hal
inilah yang menyebabkan seni pertunjukan tetap
bertahan di tengah-tengah masyarakatnya.

20
Komunikasi Seni Pertunjukan

Sebagai media komunikasi, seni pertunjukan


memiliki progresivitas dalam menciptakan ragam dan
format sajian untuk mendekatkan diri dan
berkomunikasi dengan masyarakat pendukungnya.
Progresivitas seni pertunjukan sebagai media
komunikasi dapat kita amati dengan 'pelebaran
wilayah pertunjukan' (Lull, 1998: 192-193) yang
sebelumnya telah dirinci secara antropologis, di
antaranya oleh Victor Turner (The Anthropology of
Performance,1986), Willa Apple dan Richard Schechner
(By Mean of Performance, 1990), dan Richard Schechner
(Performance Theory, 1988 dan Performance Studies,
2002). Dari beberapa tulisan tersebut didapat
pembagian kategori tentang pertunjukan, dimana
pertunjukan di tengah-tengah masyarakat dibagi
menjadi empat kategori, yakni; (1) ritual (hal-hal yang
menyangkut upacara keagamaan); (2) performance arts
(seni pertunjukan); (3) event of culture (hal-hal yang
menyangkut peristiwa budaya), dan; (4) entertainment
(dunia hiburan). Dan bahkan Bill Parcells dalam
performance studies, yang dicatat oleh Schechner ada 8
macam pertunjukan di antaranya pertunjukan dalam
kehidupan sehari-hari, seni, olah raga dan hiburan
populer, bisnis (kerja), teknologi, seks, ritual (sakral
dan sekuler), dan drama (teater) (Schechner, 2002: 25).
Kajian-kajian pertunjukan, terutama yang
ditunjukkan oleh Schechner diidentifikasi sebagai
pertunjukan “teater”. Untuk hal itu, kita dapat
mengkaitkan pertunjukan teater rakyat yang secara
umum dapat mewakili 4 kategori pertunjukan yang
telah disebutkan tadi. Teater rakyat dalam beberapa
pertunjukannya di berbagai daerah masih memiliki
magi simpatetik yang dipercayai masyarakat
pendukungnya, misalnya saja ketika rites de passage

21
Komunikasi Seni Pertunjukan

upacara peralihan menurut kepercayaan masyarakat -


itu dilaksanakan. Hal ini berarti bahwa teater rakyat
mampu memasuki ruang ritual dan berinteraksi
dengan masyarakatnya dalam situasi religiusitas.
Teater rakyat juga merupakan seni pertunjukan,
dimana ia merupakan seni plastis atau seni kemasan
dengan bobot estetik yang cukup diperhitungkan dan
memiliki multidimensi seni, misalnya teater/drama,
tari, musik (karawitan), seni rupa, sastra dan
sebagainya. Demikian juga teater rakyat bisa termasuk
dalam kategori pertunjukan peristiwa budaya, suatu
invention culture (budaya yang ditemukan), yang
bentuknya bisa berupa perayaan-perayaan atau
pertunjukan yang dipengaruhi oleh tradisi panajerik
(Subagya, 1981: 79 83). Selanjutnya teater rakyat juga
sebagai seni pertunjukan yang menghibur ( to
entertain ). Pertunjukan dengan sifatnya yang
menghibur berkembang pesat dengan orientasinya
yang lebih pada profit, namun juga disajikan secara
cuma-cuma sebagai pelengkap kegiatan yang sifatnya
lebih pada market-oriented pada masyarakat kota
(industri), dan leisure time pada masyarakat desa
(pertanian). Ruang dan waktu bentuk pertunjukan
seperti ini tidak terbatas, seperti slogan coca cola, yang
siap dimana saja, kapan saja, dan siapa saja.
Pertunjukan teater rakyat sebagai seni pertunjukan
yang hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat pendukungnya, pada hakekatnya adalah
sebuah media komunikasi budaya. Sebagai media
komunikasi budaya, pertunjukan teater rakyat
memiliki pola interaksi dengan masyarakat
lingkungannya, dimana setiap orang atau masyarakat
ingin melibatkan dirinya dengan cara menonton,
mengapresiasi, mengamati, menginterpretasi,

22
Komunikasi Seni Pertunjukan

mengkritisi dan bahkan ingin melibatkan diri menjadi


pelaku dalam peristiwa pertunjukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Interaksi di sini
lebih dipandang sebagai interaksi simbolik, yang inti
dari interaksi tersebut dengan meminjam catatan
Deddy Mulyana adalah suatu aktivitas yang
merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau
proses pertukaran simbol yang diberi makna
(Mulyana, 2002: 68). Dalam bahasa lain, simbol-simbol
yang berinteraksi dalam sebuah pertunjukan dapat
disebut sebagai teks yang dikomposisikan dalam
pertunjukan (composition in performance). Koster
melihat komposisi tersebut dengan memberikan
model komunikasi teks tradisi lisan sebagaimana
kelisanan pada pertunjukan teater rakyat sebagai
berikut:

Model Komunikasi dalam Pertunjukan (tradisi Lisan)


Sumber: Koster dalam Pudentia, 1998: 33

Simbol dalam Komunikasi Seni Pertunjukan


Media pertunjukan adalah jagat kecil yang oleh
Goffman diistilahkan sebagai front stage, sementara
jagat besar adalah dunia yang sebenarnya, yang
diistilahkan sebagai back stage (Polloma, 1987: 231-

23
Komunikasi Seni Pertunjukan

256). Pemikiran ke arah jagat kecil dan jagat besar


menjadi sesuatu yang harus dikemukakan ketika kita
melihat panggung pertunjukan teater rakyat dengan
sosok-sosok pelakunya dalam kapasitas kemampuan
dan kreativitasnya di atas panggung pertunjukan
rakyat. Jika meminjam catatan Blumer, para pelaku
sandiwara tersebut adalah aktor yang sadar dan
refleksif, yang dengan sengaja menyatukan objek-
objek yang diketahuinya dan inilah yang disebutnya
proses self-indication (Blumer dalam Polloma, 1987:
264).
Sebagai sebuah jagat, panggung pertunjukan
adalah suatu lingkungan dimana manusia itu tinggal
dan berinteraksi. Kuntowijoyo membagi lingkungan
manusia ke dalam tiga lingkungan, yakni (1)
lingkungan material, (2) lingkungan sosial, dan (3)
lingkungan simbolik. Berkaitan dengan dunia
pertunjukan sebagai jagat kecil (front stage), maka
representasi dari jagat itu adalah lingkungan simbolik
yang diartikan sebagai lingkungan dimana segala
sesuatu yang meliputi makna dan komunikasi, seperti
kata, bahasa, mite, nyanyian, seni, upacara, tingkah
laku, benda-benda, konsep-konsep dan sebagainya
(Kuntowijoyo, 1987: 66).
Simbol menjadi sesuatu yang penting bagi
manusia, oleh karena hanya manusialah yang dapat
membentuk simbol sebagai simbol mahluk yang
berkebudayaan. Cassirer dalam An Essay on Man,
menyebutkan bahwa simbol dibentuk oleh manusia
yang berkebudayaan dalam bentuknya berupa
agama, filsafat, kesenian, ilmu, sejarah, mite, dan
bahasa (lihat Cassirer, 1956). Sejalan dengan itu, dalam
kajian makna simbol, Langer membagi simbol seni
dengan dua kategori, art simbol dan simbol in art

24
Komunikasi Seni Pertunjukan

(Langer, 124-139). Dari kedua kategori simbol seni itu


maka penerapannya dalam seni pertunjukan teater
rakyat dibagi menjadi dua pemaknaan, yakni simbol
diskursif dan simbol presentasional. Simbol diskursif
adalah simbol yang pemahaman maknanya dalam
seni pertunjukan dibangun oleh pelbagai simbol yang
teratur dan diikat oleh struktur, sedangkan simbol
presentasional adalah simbol yang pemahaman
maknanya dalam seni pertunjukan dapat berdiri
sendiri (Sachari, 2002: 18-19).
Berkaitan dengan hal tersebut, makna simbol
dalam seni pertunjukan teater rakyat tidak melepas
apa yang disebut teks dan konteks suatu pertunjukan.
Teks adalah pertunjukannya itu sendiri dengan segala
macam kelengkapannya, sedangkan konteks adalah
wilayah-wilayah yang memiliki hubungan dengan
teks, semisal ruang dan waktu. Antara teks dan
konteks ini tak terpisahkan karena memiliki
resiprositas dalam kepentingan. Dalam kata lain
makna simbol sebenarnya melekat pada seseorang
dan aktivitasnya di masyarakat, maka Dillistone
secara eksplisit meyatakan dalam The Power of Symbols,
bahwa semua aktivitas yang dilakukan manusia akan
selalu berhubungan dengan struktur masyarakatnya.
Simbol-simbol dan masyarakat saling memiliki dan
saling mempengaruhi (Dillistone, 2002: 22). Kerangka
inilah yang memberikan pemahaman atas makna
simbol pada suatu bentuk pertunjukan rakyat.
Dalam konteks komunikasi, simbol adalah sesuatu
yang dipertukarkan baik dalam komunikasi verbal
maupun non-verbal. Komunikasi adalah kegiatan
pengoperasian lambang yang mengandung makna
atau arti. Penjelmaan lambang atau simbol dalam
komunikasi bervariasi seiring dengan variasi bentuk

25
Komunikasi Seni Pertunjukan

serta model komunikasi yang digunakan oleh pelaku


komunikasi. Kincaid dan Schramm dengan
menggunakan model komunikasi secara linear
mengatakan, bahwa makna yang dikandung oleh
suatu simbol bukan terletak pada simbol itu sendiri,
manusialah yang memberikan makna (Kincaid &
Schramm, 1984: 60). Tidak sekedar komunikasi yang
sifatnya linear namun sangat circuler apabila melihat
komunikasi dalam seni pertunjukan teater rakyat. Hal
itu dikarenakan oleh keberadaan peserta komunikasi
yang ada di dalamnya sebagai peserta yang aktif.
Komunikasi yang lebih mengedepankan pemaknaan
simbol budaya pada pertunjukan teater rakyat,
kiranya lebih dekat dengan cara pandang komunikasi
dalam model interaksional, dan tidak sedikit
menyentuh bentuk-bentuk komunikasi transaksional.
Pola-pola komunikasi tersebut menjadi salah satu
inspirasi dalam pencarian landasan teori komunikasi
seni pertunjukan, terutama dalam mengungkap
makna simbol yang dipresentasikan
antarkomunikator pada media pertunjukan teater
rakyat. Menurut Deddy Mulyana, bahwa para peserta
komunikasi menurut model interaksional adalah
orang-orang yang mengembangkan potensi
manusiawinya melalui interaksi sosial, tepatnya
melalui apa yang disebut pengambilan peran orang
lain (role-taking). Diri (self) berkembang lewat interaksi
dengan orang lain, dimulai dengan lingkungan
terdekatnya seperti keluarga (significant others) dan
tahap permainan (play stage ), yang kemudian
berkembang pada tahap (generalized others), yakni
tahap yang lebih luas (Mulyana, 2002: 160). Diri
menjadi penting dalam pikiran George Herbert Mead,
karena ia adalah subjek dan objek bagi dirinya. Ia akan

26
Komunikasi Seni Pertunjukan

menjadi objek terlebih dahulu sebelum diri itu


menjadi subjek. Dalam hal ini diri akan mengalami
proses internalisasi atau interpretasi subyektif atas
realitas struktur yang lebih luas. Diri merupakan
produk dialektis dari “I” dan “Me”. I adalah impulsif
dari diri, aku sebagai subjek, dan Me adalah sisi sosial
dari manusia, aku sebagai objek (Wallace and Zeitlin
dalam Soeprapto, 2002: 117). Konsepsi interaksional
tersebut dimiliki oleh para pelaku seni pertunjukan
teater rakyat yang pada tataran awal berinteraksi
dengan keluarga dekat dan kemudian dengan
masyarakat, sehingga dalam memerankan peran
orang lain (tokoh dalam suatu pertunjukan teater)
sudah memiliki konsep diri yang matang akan tokoh
tersebut.
Pada prinsipnya, komunikasi dalam kaitan ini
ditekankan pada bagaimana makna itu muncul dan
dipahami setelah dikelola dan dipresentasikan lewat
sebuah pertunjukan. Berkaitan dengan hal tersebut
komunikasi menurut Pace dan Faules (dalam
Mulyana, 2002: 36-37) bukan sekedar alat untuk
menggambarkan pikiran, namun ia adalah pikiran
dan juga pengetahuan. Dunia panggung seperti teater
rakyat merupakan dunia tertentu yang diciptakan
untuk berkomunikasi, dan setiap penafsiran serta
interpretasinya harus mempertimbangkan konteks-
konteks yang memungkinkan praktik-praktik
komunikasi telah terjadi. Begitu pentingnya sebuah
makna dalam komunikasi seni pertunjukan, maka
Herbert Blumer menegaskan dalam teori interaksi
simboliknya dengan tiga premis utama, yaitu: (1)
manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan
makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka;
(2) makna diperoleh dari hasil interaksi sosial yang

27
Komunikasi Seni Pertunjukan

dilakukan dengan orang lain; dan (3) makna-makna


disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang
berlangsung (Blumer dalam Soeprapto, 2002: 120-121)

Hermeneutika sebagai Pisau Bedah


Kajian dengan metode hermeneutika semakin
marak dalam ilmu-ilmu sosial, tak terkecuali pada
ilmu komunikasi dan seni, baik dalam cara analisisnya
maupun objek kajiannya. Secara umum terdapat enam
batasan hermeneutika yang mencerminkan
perkembangan teori dan filsafat interpretasi tersebut.
Pertama, hermeneutika sebagai teori penafsiran
kitab suci sesuai dengan pengertian awal. Adalah
Richard E. Palmer yang memberikan informasi
tentang sebuah buku yang berjudul Hermeneutica Sacra
Sive Methodus Ecponendrum Sacrarum Litterarum. Buku
ini ditulis pada tahun 1654 oleh J.C. Dannhauer yang
isinya membedakan antara eksegese dengan
hermeneutika (Palmer, 2003: 39). Eksegese adalah
komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan
hermeneutika adalah metodologinya dalam ber-
eksegese. Eksegese memunculkan permasalahan
hermeneutis karena dalam setiap pembacaan kembali
tentang teks itu melahirkan suatu komunitas tertentu
(Ahmala dalam Nafisul Atho', 2003: 18).
Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi.
Hal tersebut berkaitan erat dengan perkembangan
rasionalisme yang pada saat itu abad 18 lahir pula
filologi klasik yang memiliki pengaruh besar terhadap
hermeneutika. Metode hermeneutika kitab suci
menjadi tidak berbeda dengan teori penafsiran teks
lain, yakni filologi klasik. Penafsiran kitab suci yang
sakral menjadi profan dengan filologi. Hingga pada
awal abad 19 penafsiran tentang hal itu dikembangkan

28
Komunikasi Seni Pertunjukan

oleh F. August Wolf dan Friedrich Ast (Palmer, 2003:


44).
Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman
lingusitik yang pada awalnya diperjelas oleh
Schleiermacher sebagai sebuah eksistensi
he rm e ne u t ik a. K o ns e ps i h e r me n e ut ik a i ni
mengimplikasikan kritik radikal dari sudut pandang
filologi, karena ia berusaha melebihi konsep
hermeneutika sebagai sejumlah kaidah dan berupaya
membuat hermeneutika sistematis-koheren, sebuah
ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi
pemahaman dalam semua dialog (Palmer, 2003: 45).
Keempat, hermeneutika sebagai dasar metodologi
bagi geisteswissenschaften (disiplin ilmu yang
memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan
tulisan manusia). Hermeneutika ini dirumuskan oleh
Wilhelm Dilthey, yang dalam bahasa lain lebih
m e n e k an k a n p ad a f ak t o r h i st o r i s . M a k na
sebagaimana diidentifikasi Dilthey tidak berhenti
pada suatu masa, tetapi selalu berubah menurut
modifikasi sejarah (Dilthey dalam Nafisul Atho', 2003:
20).
Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein
dan pemahaman eksistensial. Hermeneutika
semacam ini dirumuskan oleh Martin Heidegger dan
kemudian direspon secara positif oleh Gadamer.
Kedalaman konsepsi hermenutika Heidegger-dalam
Being and Time -menandakan titik balik dalam
perkembangan dan definisi, baik kata maupun bidang
cakupan hermeneutika. Selanjutnya Gadamer lebih
mendalami lagi dengan karyanya Truth and Method,
yang tidak hanya dari aspek sejarah namun berupaya
menghubungkan hermeneutika dengan estetika dan
dengan filsafat pemahaman historis (Palmer, 2003: 46-

29
Komunikasi Seni Pertunjukan

47).
Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
Pendapat ini seperti dikatakan Paul Ricoeur dalam De
I'intretation, bahwa hermeneutika adalah teori tentang
kaidah-kaidah yang menata sebuah interpretasi teks
partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda
keberadaan yang dipandang sebagai teks (Ricoeur
dalam Palmer, 2003: 47).
Ke enam batasan he rmene utika te rse but
merupakan perkembangan hermeneutika sendiri
yang dalam perjalanannya secara umum saling
berkaitan dan bahkan seringkali tumpang tindih.
Namun hermeneutika sebagai pisau bedah
pemaknaan atas simbol-simbol budaya dalam
pertunjukan teater rakyat sebagaimana ditunjukkan
hermeneutika dewasa ini diartikan sebagai cara baru
untuk 'bergaul' dengan bahasa (Sumaryono, 1999:27).
Bahasa di sini adalah termasuk juga bahasa simbolik,
yang oleh Hans Georg Gadamer dinyatakan bahwa:
“Tradisi dan kebudayaan kita, segala warisan nenek
moyang kita sebagai suatu bangsa, semuanya itu
terungkap di dalam bahasa, baik yang terukir pada
batu prasasti maupun di daun lontar (Gadamer, 1977:
59), dan hal itu cukup menunjukkan bahwa ada
bahasa simbol yang dipertunjukkan. Dengan
memahami 'bahasa', menurut Henri Bergson,
seseorang tidak akan membenci terhadap negaranya.
Hal demikian menunjukkan kesadaran akan sejarah,
maka hermeneutika bagi Gadamer adalah metode
universal untuk menguak kesadaran historis
(Gadamer dalam Rabinov, 1979: 106). Demikian pula
dengan bahasa simbolik seni pertunjukan, seperti
Claire Holt katakan: “Menarilah, maka aku akan tahu dari
mana asalmu” (lihat Holt dalam Soedarsono, 2000: 115).

30
Komunikasi Seni Pertunjukan

Dalam komunikasi, hermeneutika merupakan


cara memahami terutama dalam tindakan interpretasi
terhadap teks. Teks dalam komunikasi diartikan oleh
Littlejohn dapat berupa kitab suci, literatur atau
manuskrip langka, tindakan atau aktivitas individu,
dan aktivitas sosial (Littlejohn, 1999: 206). Interpretasi
tentang teks demikian dapat menuntun pemahaman
teks dalam seni pertunjukan, yakni pertunjukan itu
sendiri. Dalam arti yang sempit teks adalah lakon atau
cerita yang ada (Koster dalam MPSS, 1998:32-33).
Lebih jauh Katherine Miller menyatakan bahwa
hermeneutika merupakan teori interpretasi
kontemporer dalam jagat komunikasi yang dapat
menyimpulkan beberapa gagasan sentral, yang
ditekankan pada pentingnya pemahaman sebagai
tujuan analisis sosial, menekankan pada konsep
sentral sebuah teks yang menawarkan keluasan
tindakan, aktivitas, kreativitas dalam kehidupan
sosial, dan perkembangan lingkaran hermeneutika itu
sendiri dalam sebuah kehidupan intelektual yang
memberikan jarak antara yang mengetahui dengan
yang diketahui (Miller, 2002: 48-49).
Meminjam catatan Wasito Poespoprodjo,
hermeneutika merupakan studi filsafat tentang
interpretasi teks dan lebih luas lagi interpretasi
kebudayaan. Kebudayaan adalah medan ekspresi
simbol-simbol termasuk juga salah satunya simbol-
simbol kesenian (Poespoprodjo, 1991: i).
Hermeneutika secara etimologis merupakan derivasi
dari kata Hermes, seorang dewa dalam mitologi
Yunani yang bertugas menyampaikan dan
menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada
manusia. Hermes yang digambarkan sebagai
seseorang yang memiliki kaki bersayap dan lebih

31
Komunikasi Seni Pertunjukan

dikenal dengan sebutan Mercurius, memiliki tugas


utama menerjemahkan pesan-pesan dari gunung
Olympus. Pesan-pesan itu diinterpretasi dengan
suatu bahasa yang dapat dipahami manusia
(Sumaryono, 1999: 23-24). Kata hermeneutika itu juga
merupakan kata kerja berasal dari Yunani
hermeneuien yang berarti menafsirkan,
menginterpretasikan, atau menerjemahkan (Eliade, tt:
279; lihat juga Palmer, 2003: 15-31). Secara umum
dalam pengertian kontemporer, hermeneutika dapat
didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang
interpretasi makna atas 'teks' (Bleicher, 1980: 1).
Dengan meminjam catatan Richard E. Palmer, teks
dalam pengertian hermeneutika kontemporer tidak
hanya ditujukan pada teks-teks suci atau syair atau
puisi namun juga bisa berupa karya yang berbentuk
pertunjukan, drama atau sandiwara.
Pemahaman hermeneutika sedikit berbeda
dengan bentuk pemahaman yang lain sebab
hermeneutika lebih diarahkan pada konteks
tradisional tentang makna (Sumaryono, 1999: 90).
Sebagai pisau analisis, hermeneutika memiliki
keluwesan dan fleksibilitas. Hans Georg Gadamer
cenderung mengatakan bahwa hermeneutika adalah
seni, yakni seni interpretasi. Berkaitan dengan hal
tersebut, pencarian landasan teoretis tentang
komunikasi seni dalam pertunjukan teater rakyat
merangkum juga interpretasi Gadamer tentang
hermeneutika. Mengkaji seni pertunjukan tetaer
rakyat dengan hermeneutika harus mengedepankan
juga paham tentang seni. Paham ini menempatkan
estetika sebagai sesuatu yang memiliki nilai filosofis
tersendiri pada sebuah karya seni, yang dalam
kebenarannya tidak dapat dicapai dengan metode

32
Komunikasi Seni Pertunjukan

ilmiah (Kant dalam Sumaryono, 1999: 71). Dalam


menginterpretasi sebuah seni pertunjukan teater
rakyat sebagai peristiwa hermeneutis perlu
didasarkan pada konsep pengalaman historis dan
dialektis (Palmer, 2003: 231-232). Sementara Jurgen
Habermas sebagai salah satu tokoh hermeneutika
kritis (critical hermeneutics) lebih menekankan pada
konteks komunikasi dalam seni pertunjukan itu
sendiri, dimana analisisnya tidak dapat melepas
ketiga unsur yang meliputi bahasa, tindakan, dan
pengalaman. Secara umum, hermeneutika sebagai
pisau bedah membidik penyingkapan tabir-tabir yang
menyebabkan terjadinya bias dalam interpretasi
(Bleicher, 1980: 1-5). Bidikan pada penyingkapan tabir
tersebut tentu saja salah satunya ditujukan pada
realitas pertunjukan, khususnya seni pertunjukan
teater rakyat dan seni pertunjukan pada umumnya.
Beberapa hal yang menjadi catatan penting dalam
memandang landasan teori komunikasi seni
pertunjukan. Pertama , komunikasi dalam seni
pertunjukan lebih menekankan wacana interpretatif
yang bersifat subjektif namun syarat dengan landasan
berpikir yang disemangati prinsip-prinsip ilmiah.
Kedua, teori-teori diperlukan sebagai bekal dalam
mengkaji seni pertunjukan agar tidak terjerembab
pada jurang ilusif, improvisatif, dan intuitif yang pada
akhirnya mengarah pada kesesatan ilmiah. Ketiga,
Komunikasi merupakan prinsip dasar atas seni
pertunjukan, yang dalam bentuk apapun menjadi
jembatan antara pelaku seni dan penikmat seni.
Keempat, penempatan landasan teori komunikasi seni
pertunjukan teater rakyat dapat menjadi acuan bagi
jenis seni pertunjukan lain dengan disemangati
pendefinisian bersama bahwa seni pertunjukan

33
Komunikasi Seni Pertunjukan

adalah juga bentuk-bentuk interaksi simbolik yang


diciptakan oleh para pelaku seni, disaksikan oleh
penikmat seni, dan ditafsirkan oleh masing-masing.
Kelima, tulisan ini merupakan salah satu dari sekian
banyak wacana yang ada tentang aspek-aspek dalam
seni pertunjukan, oleh karenanya sangat mungkin
untuk dielaborasi dan dikembangkan sesuai
perkembangan pola pikir masyarakat ilmiah.
Melalui lima catatan penting tersebut tidak
bermaksud untuk menggurui apalagi mengubah
paradigma berpikir di kalangan seniman, pengajar
seni, dan para guru besar di bidang seni. Tulisan ini
semata-mata hasil pencarian penulis melalui
pembacaan atas seni pertunjukan dengan perspektif
komunikasi. Apa yang sesungguhnya ada pada seni
pertunjukan adalah kreativitas budaya setiap
individu yang terus-menerus mengalami bentuk-
bentuk transformasi budaya. Agar dalam proses
transformasi budaya tidak menemui kendala dan
malapetaka budaya, maka wacana komunikasi seni
pertunjukan perlu dikedepankan. Komunikasi
menjadi ciri utama masyarakat budaya baik secara
verbal maupun non verba, baik simbolis maupun
logis, dan hal itu tercermin dalam kehidupan seni
pertunjukan rakyat .

34

You might also like