You are on page 1of 132

i

KEBERADAAN SASTRA
DALAM BUKU AJAR
BAHASA INDONESIA
SEKOLAH DASAR

ii

KEBERADAAN SASTRA DALAM BUKU AJAR BAHASA INDONESIA


SEKOLAH DASAR
Penyusun:
Tirto Suwondo
Dhanu Priyo Prabowo
Sri Haryatmo
Herry Mardianto
Penyunting:
Dhanu Priyo Prabowo
Syamsul Arifin
Ceatakan Pertama:
Juni 2010
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Elmatera Publishing

Jalan Waru 73 B, Sambilegi Baru, Maguwoharjo, Yogyakarta


Telepon (0274) 4332287, (0274) 486466
Email: elmaterapublishing@yahoo.com
Anggota IKAPI

Katalog dalam Terbitan (KDT)


KEBERADAAN SASTRA DALAM BUKU AJAR BAHASA INDONESIA SEKOLAH
DASAR/Tirto Suwondo, Dhanu Priyo Prabowo, Sri Haryatmo, Herry
MardiantoCet. 1 Yogyakarta: Elmatera Publishing
vii + 128 hlm; 14,5 x 21 cm, 2010
ISBN (13) 978-979-185-245-6
1. Literatur
II. Dhanu Priyo Prabowo

I. Judul
800

iii

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002


tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500. 000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

iv

PENGANTAR PENERBIT

Salah satu masalah yang sudah lama disoroti oleh masyarakat adalah persoalan pengajaran sastra di sekolah. Oleh karena
itu, Penerbit Elmatera memberanikan diri untuk menerbitkan
buku berjudul Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa
Indonesia Sekolah Dasar. Buku ini bertujuan ingin mengetahui
sejauh mana sastra telah diberdayakan dalam pengajaran sastra di
sekolah dasar terhadap buku-buku ajar Bahasa Indonesia untuk
sekolah dasar yang digunakan di Kotamadia Yogyakarta. Dengan
mempertimbang-kan tingkat kemampuan apresiasi siswa, bukubuku ajar Bahasa Indonesia yang diteliti pun lebih dibatasi lagi,
yaitu buku ajar untuk kelas 5 dan kelas 6.
Dengan diterbitkannya buku ini, kami berharap dapat
memberikan kontribusi terhadap khususnya kemajuan dunia
pendidikan/pengajaran sastra Indonesia di sekolah dasar dan
penelitian terhadap masalah kesastraan Indonesia pada umumnya.
Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca. Terima kasih.

Penerbit

UCAPAN TERIMA KASIH


Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Rahman dan Rahim bahwa akhirnya selesai pulalah tugas pemantauan keberadaan sastra dalam buku-buku ajar bahasa
Indonesia sekolah dasar yang diamanatkan kepada kami. Kami
sadar sepenuhnya bahwa tanpa ada tangan sakti dari-Nya, sangatlah mokal jika risalah seperti yang pembaca hadapi ini dapat kami
wujudkan. Karena itu, terhadap ini semua, kami menyerah-pasrah
kepada kebesaran Tuhan.
Kami menyadari pula, jika tanpa ada bantuan dari berbagai pihak, apa pun bentuknya, berapa pun jumlahnya, rasanya terlalu sulit bagi kami untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas
ini. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih kepada (1) Kepala
Kanwil Depdikbud Propinsi DIY, (2) Kepala Balai Penelitian
Bahasa, (3) Koordinator Subbidang Sastra, (4) Koordinator Subbidang Pembinaan, (5) Para Guru SD di wilayah provinsi DIY,
(6) Rekan-rekan sejawat dan staf, dan (7) siapa saja, yang langsung atau tidak, telah memberikan bantuan kepada kami. Mudahmudahan jasa dan budi baik mereka memperoleh balasan yang
lebih.
Kami menyadari --lagi-lagi menyadari-- bahwa hasil pemantauan yang kami wujudkan dalam buku ini baru sampai pada
tahap menyentuh sebagian, yang tentu masih jauh dari harapan.
Karena itu, dengan ketenangan hati, dengan kejernihan pikiran,
dan dengan tangan terbuka kami menanti kritik dan saran dari
Anda (pembaca). Semoga hasil jerih payah sederhana ini ada
manfaatnya. Amin.
Koordinator,
Tirto Suwondo
vi

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR ISI

iii
v
vii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Masalah
1.3 Tujuan dan Ruang Lingkup
1.4 Metode Pemantauan
1.5 Data dan Bahan
1.6 Ejaan

1
1
3
4
4
5
6

BAB II
KEBERADAAN SASTRA DALAM KURIKULUM
PENDIDIKAN DASAR 1994
2.1 Pengertian, Fungsi, Tujuan, Ruang Lingkup, dan
Rambu-Rambu
2.2 Program Pengajaran Sastra
BAB III
KEBERADAAN SASTRA DALAM BUKU AJAR
BAHASA INDONESIA SEKOLAH DASAR
3.1 Buku Ajar Terbitan Balai Pustaka
3.1.1 Puisi
3.1.2 Prosa
3.1.3 Drama
3.2 Buku Ajar Terbitan Intan Pariwara
3.2.1 Puisi
3.2.2 Prosa
3.2.3 Drama

7
7
13

19
20
20
31
42
47
47
53
59
vii

3.3 Buku Ajar Terbitan Tiga Serangkai


3.3.1 Puisi
3.3.2 Prosa
3.3.3 Drama
3.4 Buku Ajar Terbitan Yudhistira
3.4.1 Puisi
3.4.2 Prosa
3.4.3 Drama
3.5 Buku Ajar Terbitan Erlangga
3.5.1 Puisi
3.5.2 Prosa
3.5.3 Drama

64
65
75
85
87
88
93
102
104
105
112
114

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
4.2 Saran/Usulan

119
119
121

DAFTAR PUSTAKA
BIODATA

123
125

viii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apabila dibandingkan dengan kondisi pengajaran sastra di
negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia lainnya, tampak nyata bahwa
peng-ajaran sastra di Indonesia sangat jauh tertinggal. Kenyataan itu
telah dibuktikan oleh Taufiq Ismail melalui survei tentang pengajaran
sastra dan mengarang yang dilakukan di 13 negara (baca Republika, 24
Oktober--8 November 1997). Hasil survei tersebut antara lain menunjukkan bahwa di Jerman, selama mengikuti pendidikan di SMU, para
siswa sekurang-kurangnya telah membaca buku sastra 15 judul, di New
York 32 judul, di Rusia 12 judul, di Singapura dan Malaysia masingmasing 6 judul; sementara di Indonesia 0 judul. Angka 0 (nol) menunjukkan dengan jelas bahwa pengajaran sastra di Indonesia benar-benar
terpuruk.
Jika diamati pada masa-masa sebelumnya, sesungguhnya pernyataan dan simpulan Taufiq Ismail di atas bukanlah hal baru karena
keluhan tentang keterpurukan pengajaran sastra di sekolah-sekolah di
Indonesia sudah terdengar sejak dua dasawarsa yang lalu. Berbagai
keluhan yang diduga menjadi penyebab keterpurukan pengajaran sastra
itu pun dari waktu ke waktu tetap sama, yaitu (1) Kurikulum yang
sering berubah-ubah dan penyusun kurikulum itu sendiri agaknya
kurang paham tentang hakikat sastra dan pengajaran sastra; (2) Bahan
ajar yang tidak menunjang, terutama karena ketidaktersediaan bacaan
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 1

sastra di sekolah; sementara perpustakaan umum juga tidak menyediakan bacaan sastra yang memadai; (3) Tujuan pengajaran, yaitu
membina apresiasi sastra, walaupun mungkin diketahui, tetapi kurang
disadari dalam pelaksanaannya sehingga pengajaran sastra tidak terarah
kepada ranah sikap, tetapi melenceng ke ranah pengetahuan; (4) Strategi
pengajaran yang digunakan para guru cenderung tidak variatif,
monoton, dan tidak memancing motivasi sehingga siswa kurang
bergairah untuk menggeluti sastra; (5) Banyak sekali guru, sadar atau
tidak, memperlihatkan sikap: rasanya belum mengajar bila para siswa
belum merasa kedodoran mengerjakan berbagai tugas; makin aneh
tugas yang diberikan akan semakin bergengsi, sehingga sastra di
hadapan siswa menjadi makhluk yang mengerikan, bukan menjadi
sesuatu yang indah; (6) Terbatasnya jumlah jam pelajaran; (7) Kekurangmampuan guru mengajarkan sastra; (8) Ketidakjelasan pendekatan
dan metode yang digunakan; (9) Minat baca siswa yang sangat payah;
dan sebagainya (lihat juga Semi, 1991:2--3).
Untuk mengantisipasi keterpurukan pengajaran sastra di
sekolah-sekolah di Indonesia, sebenarnya upaya perbaikan terhadap
berbagai keluhan di atas juga telah dilakukan sejak lama. Melalui
berbagai pertemuan ilmiah, seminar, lokakarya, kongres, workshop, dan
seba-gainya, baik yang dilakukan oleh organisasi profesi seperti HISKI
(Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia), HPBI (Himpunan Pembina Bahasa Indonesia), PIBSI (Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra
Indonesia), dan sebagainya maupun oleh organisasi guru seperti MGMP
(Musyawarah Guru Mata Pelajaran) atau organisasi mahasiswa di
berbagai perguruan tinggi, berbagai usaha penyempurnaan terhadap
kurikulum (1968, 1975, 1984, dan 1994), buku ajar, sistem pendidikan,
metode pengajaran (misalnya CBSA), dan sebagainya telah pula
dilakukan; bahkan majalah dan buletin juga telah banyak diterbitkan.
Akan tetapi, hingga kini upaya-upaya itu belum membuahkan hasil yang
menggembirakan. Hal itu terbukti --dengan merujuk hasil survei Taufiq
Ismail-- ternyata hingga sekarang para siswa SMU di Indonesia belum
menunjukkan minat yang tinggi dan serius untuk membaca dan mengapresiasi karya sastra.
Diduga ada beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa
sampai sekarang para siswa SMU di Indonesia tidak atau belum
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 2

menunjukkan minat yang besar untuk membaca dan mengapresiasi


karya sastra. Salah satu di antaranya adalah barangkali ketika masih
duduk di tingkat pendidikan dasar (SD dan SLTP), para siswa tidak
terbiasa atau tidak dibiasakan membaca karya sastra. Diduga demikian
karena pada hakikatnya terbentuknya minat baca seseorang salah
satunya ditentukan oleh faktor kebiasaan membaca sejak dini. Apabila
sejak SD dan SLTP para siswa telah terbiasa atau telah dibiasakan
membaca karya sastra, kemungkinan besar ketika di SMU minat baca
dan apresiasi sastra mereka masih tetap ada, atau mungkin justru lebih
berkembang. Di satu sisi, memang sulit dihindari bahwa sejumlah
kendala seperti yang telah diuraikan di atas akan selalu datang
menghadang --hal ini mungkin terjadi juga pada bidang-bidang lain
pada umumnya--, tetapi di sisi lain, bagaimanapun faktor kebiasaan
membaca sejak dini tetap merupakan suatu tindakan yang diyakini
mampu menumbuhkan minat baca dan apresiasi sastra pada masa-masa
selanjutnya.
Anggapan dan keyakinan di atas pada gilirannya mengindikasikan bahwa saat ini perlu dilakukan serangkaian penelitian, pengamatan, atau pemantauan ulang yang serius terhadap pengajaran sastra
di sekolah-sekolah, tidak hanya di tingkat pendidikan menengah (SMU),
tetapi juga di tingkat pendidikan dasar (SD dan SLTP). Bertolak dari
keyakinan itulah, kami, tim pemantau sastra Balai Penelitian Bahasa di
Yogyakarta, pada kesempatan ini mencoba melakukan pemantauan
terhadap peng-ajaran sastra di tingkat pendidikan dasar (khususnya SD)
di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
1.2 Masalah
Ada beberapa komponen yang dapat dipantau sehubungan
dengan upaya melihat tingkat keberhasilan pengajaran sastra di sekolah
dasar (SD). Beberapa di antara komponen itu adalah kurikulum (GBPP),
buku ajar (buku paket), bahan ajar (materi sastra), dan metode
pembelajaran.
Oleh karena beberapa komponen di atas pada prinsipnya sulit
dipisah-pisahkan secara tegas, dalam pembahasan masalah pokok
mengenai keberadaan (materi) sastra dalam buku ajar bahasa Indonesia
SD itu pun komponen-komponen tersebut tidak akan dipisah-pisahkan
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 3

secara tegas. Atau dengan kata lain, kendati fokus utama pembahasan
tertuju pada materi atau bahan ajar sastra pada buku ajar bahasa
Indonesia, program-program pengajaran sebagaimana digariskan dalam
kurikulum pun tetap diperhatikan karena program-program itulah yang
menjadi landasan penyusunan buku ajar.
1.3 Tujuan dan Ruang Lingkup
Secara umum pemantauan ini bertujuan ingin mengetahui sejauh
mana keberhasilan pengajaran sastra di sekolah dasar (SD); dan secara
khusus pemantauan ini bertujuan ingin mengetahui keberadaan materi
atau bahan ajar sastra dalam buku ajar Bahasa Indonesia yang digunakan di sekolah dasar. Apabila tujuan tersebut telah dicapai, terutama
tujuan khususnya, diharapkan hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pertimbangan bagi upaya perbaikan pengajaran sastra di sekolah
dasar pada umumnya dan upaya perbaikan buku-buku ajar Bahasa (dan
Sastra) Indonesia untuk sekolah dasar pada khususnya.
Perlu diketahui bahwa pemantauan ini dilakukan dalam waktu
yang amat terbatas (kurang dari 4 bulan), tenaga dan kemampuan yang
juga sangat terbatas, dan biaya yang terlalu sedikit. Oleh karena itu,
sebagai konsekuensinya, pemantauan ini hanya dilakukan terhadap
buku-buku ajar Bahasa Indonesia untuk sekolah dasar kelas 5 dan 6
yang digunakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan dipilihnya
buku ajar kelas 5 dan 6 ialah karena sesuai dengan tingkat perkembangan sosiologis dan psikologisnya, para siswa kelas 5 dan 6 diduga
telah memiliki pengalaman dan kemampuan yang cukup untuk menalar
dan meng-apresiasi sastra.
1.4 Metode Pemantauan
Pemantauan ini dilakukan dengan metode pengamatan dan
wawancara. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati materi
sastra yang ada dalam buku-buku ajar Bahasa Indonesia yang dijadikan
pegangan untuk kelas 5 dan 6 dengan berpedoman pada programprogram pengajaran yang tercantum dalam Kurikulum Pendidikan
Dasar (GBPP 1994). Data-data hasil pengamatan dikumpulkan dengan
teknik simak dan catat, kemudian diklasifikasikan dan disajikan dengan
teknik deskriptif.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 4

Sementara itu, wawancara dilakukan terhadap guru-guru kelas


dalam upaya mengetahui apakah pengajaran sastra di sekolah (masingmasing) telah terkondisi dengan baik: keberadaan buku, kondisi dan
intensi guru, kecen-derungan siswa, teknik yang digunakan dalam pembelajaran, bagaimana sastra diberdayakan, dan sebagainya. Untuk
menjaring itu semua, wawancara dilakukan secara tertulis, yaitu dengan
teknik angket. Dalam wawancara guru diminta mengisi (memilih
jawaban dan menjawab) sejumlah pertanyaan yang telah disediakan .
1.5 Data dan Bahan
Data yang dipantau adalah materi atau bahan ajar sastra (puisi,
prosa, drama) yang ada dalam buku-buku ajar Bahasa Indonesia yang
dijadikan pegangan untuk kelas 5 dan 6. Sementara itu, bahan yang
dipantau adalah buku-buku ajar bahasa Indonesia dengan rincian
sebagai berikut (nama pengarang, tahun terbit, judul buku, nama kota:
penerbit).
1. a. Alim, Djeniah. 1996. Lancar Berbahasa Indonesia 3: untuk
Sekolah Dasar Kelas 5. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan & Balai Pustaka.
b. Sugono, Dendy. 1996. Lancar Berbahasa Indonesia 4: untuk
Sekolah Dasar Kelas 6. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan & Balai Pustaka.
2. a. Tim Penyusun Pelajaran Bahasa Indonesia SD. 1993. Pelajaran
Bahasa Indonesia SD (5a, 5b,, 6a, 6b). Klaten: Intan Pariwara.
b. Endah, Is. 1993. Pelajaran Bahasa Indonesia SD (5c, 6c). Klaten:
Intan Pariwara.
3. a. Surana. 1995 (cetakan ke-2). Aku Cinta Bahasa Indonesia:
Pelajaran Bahasa Indonesia (5a, 5b). Sala: Tiga Serangkai.
b. Surana. 1995 (cetakan ke-2). Aku Cinta Bahasa Indonesia:
Pelajaran Bahasa Indonesia (6a, 6b). Sala Tiga Serangkai.
4. a. Lukman, D. dan Trihasmoro, L. 1994. Pelajaran Bahasa Indonesia
(5a, 5b, 5c). Jakarta: Yudhistira.
b. Lukman, D. dan Trihasmoro, L. 1994. Pelajaran Bahasa
Indonesia (6a, 6b, 6c). Jakarta: Yudhistira.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 5

5. a. Tim Bina Karya Guru. 1996. Pandai Berbahasa Indonesia (5A,


5B). Jakarta: Erlangga.
b. Tim Bina Karya Guru. 1996. Pandai Berbahasa Indonesia (6A,
6B). Jakarta: Erlangga.
1. 6 Ejaan
Hasil pemantauan ini disajikan dan ditulis dengan berpedoman
pada Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) dan
Pedoman Pem-bentukan Istilah yang dikeluarkan oleh Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Repu-blik Indonesia.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 6

BAB II
KEBERADAAN SASTRA DALAM
KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR 1994

Berdasarkan pengamatan dan penelitian terhadap keberadaan


sastra dalam Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 (Landasan Program
dan Pengembangan dan GBPP Bahasa Indonesia untuk kelas 5 dan 6),
hasil yang diperoleh antara lain tampak dalam uraian di bawah. Akan
tetapi, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa uraian tentang
pengertian, fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan rambu-rambu dalam
kurikulum (GBPP) tersebut (bab I) --baik dalam GBPP untuk kelas 5
maupun dalam GBPP untuk kelas 6-- adalah sama; sedangkan
perbedaan hanya tampak pada program pengajarannya (bab II). Oleh
karena itu, agar tidak terjadi pengulangan yang sia-sia, pengertian,
fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan rambu-rambu dalam kedua GBPP itu
dikupas dalam satu pembahasan (lihat 2.1); sedangkan pembahasan
tentang program pengajaran disajikan secara terpisah (lihat 2.2).
Pembahasan selengkapnya adalah berikut.
2.1 Pengertian, Fungsi, Tujuan, Ruang Lingkup, dan RambuRambu
Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar 1994, khususnya dalam
Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Kelas 5 dan 6 Sekolah
Dasar, bidang ilmu kemanusiaan yang disebut sastra (Indonesia) tidak
disajikan secara terpisah menjadi mata pelajaran tersendiri seperti
halnya Matematika, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial), PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), atau Kerajinan Tangan dan Kesenian, tetapi digabungkan
menjadi satu dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kenyataan
tersebut menun-jukkan dengan jelas bahwa sampai saat ini di bidang
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 7

pendidikan di Indonesia sastra Indonesia masih dianggap --oleh


pemerintah (penyusun kurikulum ini)-- sebagai bidang ilmu yang tidak
dapat berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari ilmu lain, yaitu ilmu
bahasa Indonesia. Sesuai dengan kedudukannya sebagai suatu bagian,
jelas bahwa keberadaan sastra Indonesia seolah-olah hanya bergantung
pada atau berada di bawah kekuasaan bahasa Indonesia.
Adanya indikasi atau anggapan bahwa keberadaan sastra Indonesia berada di bawah kekuasaan bahasa Indonesia agaknya diperkuat
oleh uraian yang dituangkan dalam GBPP subbab pengertian
(1994a:15; 1994b:10). Dalam subbab itu diuraikan bahwa mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah program untuk
mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap
positif terhadap bahasa Indonesia. Dilihat dari segi nama mata
pelajarannya, yaitu Bahasa dan Sastra Indonesia, sebenarnya --dan
seharusnya-- sastra memiliki kedudukan yang sama dan seimbang
dengan bahasa, tetapi jika dilihat dari segi maksudnya, sastra menjadi
tersisihkan. Dikatakan demikian karena dalam uraian tersebut sastra
tidak diprogramkan untuk mengembangkan minat, pengetahuan,
keterampilan apresiasi, dan sikap positif terhadap sastra, tetapi sematamata hanyalah untuk bahasa. Dengan demikian, sastra hanya menjadi
instrumen untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa.
Kecenderungan tersisihnya sastra Indonesia dari lingkup pengajaran bahasa dan sastra Indonesia seperti yang diungkapkan di atas
agaknya semakin nyata apabila dikaitkan dengan apa yang diuraikan
dalam GBPP subbab fungsi (1994a:15; 1994b:10). Kenyataan itu
dapat dibuktikan, misalnya, di antara 5 butir fungsi mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia yang diuraikan dalam GBPP, tidak ada 1
butir pun yang koheren dengan sastra. Yang lebih mengherankan lagi
ialah bahwa penjabaran fungsi-fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia itu hanya disesuaikan dengan kedudukan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bukan disesuaikan pula
dengan, misalnya, kedudukan Sastra Indonesia sebagai pembina mental
spiritual manusia atau bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sastra
Indonesia seakan-akan dianggap --lagi-lagi oleh pemerintah dan
khususnya para penyusun kurikulum-- tidak memiliki fungsi apa pun
dalam kehidupan manusia Indonesia.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 8

Untuk lebih jelasnya, berikut inilah lima butir fungsi mata


pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang tercantum dalam GBPP.
(1) Sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa.
(2) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa
Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya.
(3) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa
Indonesia untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
(4) Sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik
untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah.
(5) Sarana pengembangan penalaran.
Dalam kelima butir fungsi di atas tampak bahwa pernyataan
yang berkaitan dengan sastra sama sekali tidak diungkapkan secara jelas
dan transparan. Sesungguhnya, apabila kita, terutama para penyusun
GBPP (kurikulum), bersedia meluangkan waktunya untuk menelusuri
secara lebih mendalam tentang hakikat sastra, sastra pada dasarnya
mampu pula mengemban fungsi-fungsi seperti yang diungkapkan di
atas. Akan tetapi, karena fungsi yang khusus berkenaan dengan (pelajaran) sastra tidak diungkapkan secara tegas dan eksplisit sebagaimana
fungsi (pelajaran) bahasa, akibatnya sastra menjadi terabaikan.
Karena sastra dalam kerangka fungsi telah terabaikan, tujuan
yang diancangkan untuk dicapai oleh pengajaran sastra (periksa GBPP
subbab tujuan pengajaran [1994a:15--19; 1994b:10--14]) melalui
mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pun akhirnya juga menjadi
terabaikan. Dinyatakan demikian karena di antara 5 butir tujuan yang
dijabarkan dalam tujuan umum, hanya ada 1 butir yang bersangkutpaut dengan sastra, yaitu butir ke-5. Kendati demikian, tujuan yang
tercantum dalam butir ke-5 itu pun masih cenderung memperlihatkan
adanya dominasi kekuasaan bahasa, karena selain diharapkan dapat
mengembangkan kepribadian dan memperluas wawasan kehidupan,
dalam jabaran tujuan itu sastra masih diharapkan pula dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Dengan demikian,
sesuai dengan program-program yang telah digariskan, seakan sastra
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 9

Indonesia layak menjadi nomor sekian dalam pengajaran bahasa dan


sastra Indonesia.
Hal senada terjadi juga dalam uraian tujuan khusus. Dalam
tujuan khusus yang dibagi menjadi tiga komponen, yaitu kebahasaan
(15 butir), pemahaman (8 butir), dan penggunaan (7 butir), sastra
hanyalah mem-peroleh porsi yang sangat sedikit. Di antara 15 butir
yang dikelompokkan dalam komponen kebahasaan, tujuan yang
berkenaan dengan sastra hanya dituangkan dalam 2 butir, yaitu butir ke14 (siswa mengenal dan mampu membedakan bentuk-bentuk puisi,
prosa, dan drama) dan butir ke-15 (siswa mampu membedakan ragam
bahasa sastra dengan ragam bahasa lainnya). Sementara itu, di antara
8 butir yang dikelompokkan dalam komponen pemahaman, sastra hanya
tercantum dalam 1 butir, yaitu butir ke-8 (siswa memiliki kegemaran
membaca/menikmati karya sastra untuk meningkatkan kepribadian,
memper-tajam kepekaan perasaan, dan memperluas wawasan
kehidupannya). Tera-khir, di antara 7 butir tujuan yang dikelompokkan
dalam komponen peng-gunaan, tujuan yang bergayut dengan sastra
hanya diungkapkan dalam 1 butir, yaitu butir ke-7 (siswa mampu
memanfaatkan unsur-unsur kebahasaan karya sastra dalam berbicara
dan menulis).
Berdasarkan pengamatan seksama dapat dikatakan bahwa di
dalam tujuan yang dijabarkan dalam 30 butir tujuan khusus itu terdapat
suatu ketidakadilan yang sangat mencolok. Berbagai hal yang bergayutan dengan masalah kebahasaan yang dituangkan dalam 26 butir
tujuan itu dijabarkan dengan sangat rinci, yaitu mulai dari aspek lafal,
ejaan, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, wacana, sampai dengan
aspek konteks, pesan, dan makna-maknanya. Akan tetapi, tidak demikian dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kesastraan.
Masalah kesastraan yang hanya dituangkan dalam 4 butir tujuan itu
hanya dijabarkan secara singkat dan padat, bahkan tidak disinggung
sama sekali aspek atau unsur-unsurnya.
Kenyataan di atas lebih memprihatinkan lagi apabila masalah
kesastraan yang hanya dituangkan dalam 4 butir tujuan itu diamati
secara lebih merenik. Hal itu dapat dilihat, misalnya, di antara 4 butir
tujuan yang dirancangkan untuk dicapai oleh pengajaran sastra melalui
mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, ternyata hanya ada 1 butir
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 10

yang benar-benar mengarah ke ranah afektif, sikap, atau bersifat


apresiatif, yaitu butir ke-8 dalam komponen pemahaman (siswa
memiliki kegemaran membaca/menik-mati karya sastra untuk
meningkatkan kepribadian, mempertajam kepekaan perasaan, dan
memperluas wawasan kehidupannya). Sementara itu, yang 3 butir
lainnya, yaitu butir ke-14 dan ke-15 dalam komponen kebahasaan dan
butir ke-7 dalam komponen penggunaan, lebih mengarah ke ranah
kognitif atau pengetahuan. Melalui butir ke-14 siswa hanya diarahkan
untuk memperoleh pengetahuan tentang genre (jenis) sastra, yaitu puisi,
prosa, dan drama; sedangkan melalui butir ke-15 dan ke-7 siswa
disarankan mempelajari karya sastra hanya untuk menambah pengetahuan bahasa.
Kenyataan di atas mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa
meskipun selama Orde Baru kurikulum sudah diperbaiki berulangulang, sastra Indonesia yang telah memiliki sejarah cukup panjang itu
belum disadari oleh para penyusun kurikulum sebagai sesuatu yang
penting. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa memang
para penyusun kurikulum selama ini tidak paham tentang hakikat sastra
dan pengajaran sastra sebagaimana telah disebutkan di bagian
pendahuluan (latar belakang) laporan ini. Akibatnya, tujuan pengajaran
sastra sebagaimana dirumuskan pula dalam GBPP subbab ruang
lingkup (1994a:19; 1994b:14), yaitu membina apresiasi sastra, yang
hendak dicapai melalui pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,
cenderung menyesatkan guru sehingga pengajaran sastra terperangkap
ke ranah pengetahuan, bukan mengarah ke ranah sikap (mental).
Sebagaimana diketahui bahwa memang di antara 26 butir tujuan
khusus yang berkenaan dengan masalah kebahasaan itu secara tidak
langsung ada yang berhubungan dengan masalah kesastraan. Hal itu
tampak, misalnya, dalam ungkapan seperti siswa mampu memahami
isi bacaan, siswa memiliki kegemaran membaca, atau siswa
memiliki kegemaran menulis. Akan tetapi, ungkapan membaca dan
menulis dalam konteks itu cenderung dimaksudkan sebagai membaca dan menulis tulisan non-sastra, bukan membaca dalam arti
menikmati dan menulis dalam arti mengarang sastra. Beberapa
contoh seder-hana semacam itulah yang berperan pula dalam mengeKeberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 11

sampingkan sastra dalam pengajaran bahasa dan sastra di tingkat


pendidikan dasar.
Kendati masih dalam porsi yang tidak seimbang, di dalam GBPP
subbab rambu-rambu (1994a:20--26; 1994b:15--21) terdapat beberapa
pernyataan yang agaknya cukup menggembirakan bagi peningkatan dan
keberhasilan pengajaran sastra. Pernyataan-pernyataan itu terlihat pada
butir ke-9 (Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan siswa mengapresiasi sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra
berkaitan erat dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, dan
daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan
lingkungan hidup); butir ke-10 (Perbandingan bobot pembejaran
bahasa dan sastra sebaiknya seimbang dan dapat disajikan terpadu;
misalnya wacana sastra dapat sekaligus dipakai sebagai pembelajaran
bahasa); butir ke-12 (Pemilihan bahan sastra dapat dikaitkan dengan
tema [disiplin, ekonomi/koperasi, energi, hankamnas, hiburan, IPTEK,
kedirgantaraan, kelautan, kepahlawanan, kesehatan, lingkungan hidup,
ketenagakerjaan, transportasi, kesadaran hukum, pertanian, pariwisata,
dll.]); dan butir ke-16 (... Bahan pelajaran pemahaman mencakup pula
karya sastra Indonesia asli maupun terjemahan). Akan tetapi, ramburambu semacam itu cenderung menyulitkan guru karena, sebagai guru
kelas, bukan guru mata pelajaran, guru di sekolah dasar harus berhadapan dengan rambu-rambu lain (yang seluruhnya berjumlah 26
butir) yang cukup renik dan rumit.
Sebagaimana tercermin dalam rambu-rambu butir ke-22, 23, 24,
dan 25 bahwa guru memang memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk
menambah, mengurangi, atau mengembangkan butir-butir pembelajaran
yang ada dalam GBPP; mengatur waktu; memilih metode yang paling
tepat; dan menentukan sumber-sumber bahan ajar (buku, majalah, dan
sebagainya). Namun, justru karena kebebasannya itulah, berdasarkan
pemantauan dan wawancara yang telah dilakukan, guru tampaknya
mengalami kebingungan. Beberapa di antara penyebabnya ialah bahwa
selama ini belum tersedia buku-buku atau majalah yang khusus untuk
menunjang proses pembelajaran sastra. Bahkan, masih terlalu banyak
sekolah yang tidak memiliki perpustakaan; dan jika ada, perpustakaan
itu sering kosong karena ketiadaan bacaan dan pembaca.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 12

2.2 Program Pengajaran Sastra


Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar, khususnya dalam buku
Landasan Program dan Pengembangan (1993:31--33), dinyatakan
bahwa program pengajaran di tingkat pendidikan dasar dibagi menjadi
dua, yaitu program kurikuler dan kegiatan ekstra kurikuler. Program
kuri-kuler terdiri atas 10 mata pelajaran, yaitu PPKn, Pendidikan
Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Kerajinan Tangan
dan Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris, dan
Muatan Lokal; sedangkan kegiatan ekstra kurikuler terdiri atas
kepramukaan, UKS, olah raga, palang merah, dan kesenian. Sementara
itu, dijelaskan pula bahwa pelajaran Bahasa (dan Sastra) Indonesia, baik
untuk kelas 5 maupun kelas 6, memperoleh jatah waktu 8 jam per
minggu (per jam 40 menit).
Ditinjau dari segi alokasi waktu, sesungguhnya mata pelajaran
Bahasa (dan Sastra) Indonesia cukup leluasa dibandingkan dengan mata
pelajaran lain, kecuali mata pelajaran Matematika yang memperoleh
porsi yang sama dengan mata pelajaran Bahasa (dan Sastra) Indonesia.
Akan tetapi, apabila disesuaikan dengan butir-butir tujuan program
pengajaran yang tercantum dalam GBPP (1994a:27; 1994b:22),
pelajaran sastra hanya memperoleh porsi yang sangat sedikit, karena di
antara 6 butir tujuan itu hanya ada 1 butir yang koheren dengan sastra
(butir ke-5 GBPP kelas 5: siswa mampu menyerap isi cerita, puisi, dan
drama serta dapat memberikan tanggapan; butir ke-4 GBPP kelas 6:
siswa mampu memahami cerita, puisi, drama, dan dapat menceritakan
kembali, memberikan kesan, dan tanggapan). Oleh sebab itu, dapat
dinyatakan bahwa bagaimanapun juga pengajaran sastra tetap tersisihkan. Apalagi, di dalam buku Landasan Program dan Pengembangan
(1993:34), kesusastraan juga tidak dipro-gramkan sebagai salah satu
mata kegiatan ekstra kurikuler yang harus dilakukan.
Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang program
pengajaran sastra dalam GBPP SD 1994 kelas 5 dan 6, berikut disajikan
butir-butir tujuan dan pembelajaran yang berkaitan dengan sastra.
Seperti diketahui bahwa selama satu tahun, program pembelajaran
secara keseluruhan dibagi menjadi tiga cawu (catur wulan); dan setiap
cawu memuat pula pembelajaran sastra. Secara lengkap butir-butir
tujuan dan pembelajaran sastra di kelas 5 dan 6 adalah berikut.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 13

a. Kelas 5
Tujuan:
Siswa mampu menyerap isi cerita, puisi, dan drama serta dapat
memberikan tanggapan (butir 5).
Pembelajaran:
Cawu 1:
(1) Membaca puisi dan menafsirkan isinya.
(2) Membaca buku cerita yang sesuai untuk anak, kemudian membicarakan hal-hal yang menarik.
(3) Mengurutkan gambar seri yang diacak dan membuat ceritanya.
(4) Menceritakan peristiwa yang dilihat dan dialami.
(5) Menceritakan kembali secara lisan atau tertulis cerita rakyat dari
daerah sendiri atau daerah lain yang telah dibaca atau didengar,
kemudian membicarakannya.
Cawu 2:
(1) Membaca cerita dan menyampaikan kesan tentang cerita itu.
(2) Menuliskan pengalaman dalam bentuk puisi, kemudian membacakannya.
(3) Membaca novel anak-anak dan membicarakan isinya.
(4) Membaca cerita rakyat dan menyampaikan kesan.
(5) Membaca cerita pendek yang sesuai untuk anak dan membicarakan
isi cerira.
(6) Menulis cerita.
Cawu 3:
(1) Membuat pantun dengan isi yang menyangkut kehidupan anak.
(2) Memerankan drama pendek atau bagian drama yang sesuai untuk
anak.
(3) Meringkas cerita yang didengar atau dibaca.
(4) Memerankan pelaku yang ada dalam cerita.
(5) Menyusun cerita bersama-sama.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 14

b. Kelas 6
Tujuan:
Siswa mampu memahami cerita, puisi, drama, dan dapat
menceritakan kembali, memberikan kesan, dan tanggapan (butir 4).
Pembelajaran:
Cawu 1:
(1) Membahas teks bacaan.
(2) Bermain peran berdasarkan peristiwa nyata atau bacaan.
(3) Melengkapi bagian awal, tengah, atau akhir cerita.
(4) Membaca beberapa puisi lama dan menceritakan isinya.
(5) Mendengarkan cerita rakyat dan menceritakan kembali secara
tertulis.
Cawu 2:
(1) Mendengarkan pembacaan puisi dan membicarakan hal-hal yang
menarik.
(2) Menceritakan peristiwa yang pernah dialami atau suasana alam yang
pernah dilihat atau dibaca.
(3) Membicarakan hal-hal yang mengesankan dari cerita yang dibaca,
didengar, atau ditonton.
(4) Membaca cerita, kemudian menceritakan ciri-ciri, sifat-sifat, atau
kebiasaan-kebiasaan pelaku dalam cerita tersebut.
(5) Membaca buku cerita yang disukai dan melaporkannya di depan
kelas.
Cawu 3:
(1) Menceritakan kembali drama yang didengar atau dilihat.
(2) Membaca cerita, mencatat hal-hal yang penting/menarik, kemudian
menyusun pertanyaan.
(3) Mementaskan naskah drama.
Dilihat dari sisi tertentu, dalam butir-butir di atas tampak bahwa
hubungan antara tujuan yang diprogramkan dan kegiatan pembelajaran
yang harus dilakukan, baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, telah
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 15

mencerminkan adanya keseimbangan. Selain itu, tercermin pula bahwa


orientasi kegiatan pembelajaran juga telah diarahkan kepada kegiatan
siswa (student-oriented), bukan lagi kepada kegiatan guru (teacheroriented), karena pendekatan yang diutamakan dalam dunia pendidikan
dewasa ini bukan lagi material-oriented, melainkan objective-oriented.
Akan tetapi, dilihat dari sisi lain, dalam proses pembelajaran sastra itu
guru dituntut harus menjadi seorang fasilitator yang kreatif karena sebagaimana terlihat dalam butir-butir di atas, materi sastra tidak dijelaskan
secara rinci sesuai dengan aspek-aspek yang ada, tetapi hanya disajikan
secara lebih umum (puisi, prosa, drama).
Kenyataan di atas mengindikasikan bahwa pengajaran sastra
hanya akan berhasil apabila --di antaranya-- tersedia buku ajar yang
memadai. Arti-nya, buku yang memadai itu tidak hanya berisi materi
sebatas yang dianjurkan dan diprogramkan dalam kurikulum, tetapi juga
berisi sajian beragam genre dan aspek kesastraan (intra dan ekstra
estetik) yang mendukung pengajaran yang apresiatif yang mengarah ke
ranah sikap (afektif). Di samping perlu pula ada sajian beragam aspek
kese-jarahan (dan ilmu sastra) yang mengarah ke ranah pengetahuan
(kognitif) sastra, dalam buku itu juga perlu dijabarkan bagaimana
metode pembalajaran yang paling tepat yang mudah dipahami baik oleh
siswa maupun guru. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan mendasar
sekarang ini ialah bahwa sudahkah buku-buku ajar yang digunakan di
sekolah selama ini telah memenuhi kriteria tersebut? Pertanyaan ini
agaknya baru dapat dijawab setelah dilakukan pemantauan terhadap
keberadaan sastra dalam buku-buku ajar bahasa Indonesia sebagaimana
diuraikan dalam bab 3.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 16

BAB III
KEBERADAAN SASTRA DALAM
BUKU AJAR BAHASA INDONESIA
SEKOLAH DASAR

Seperti telah disebutkan di bagian pendahuluan bahwa bukubuku ajar bahasa Indonesia yang dijadikan bahan pemantauan adalah
buku ajar untuk kelas 5 dan 6 sekolah dasar yang diterbitkan oleh lima
penerbit di Indonesia. Buku-buku yang dimaksudkan itu ialah buku
terbitan (1) Balai Pustaka, terdiri atas 2 jilid, (2) Intan Pariwara, terdiri
atas 6 jilid, (3) Tiga Serangkai, terdiri atas 4 jilid, (4) Yudhistira, terdiri
atas 6 jilid, dan (5) Erlangga, terdiri atas 4 jilid.
Berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor 010a/U/
1998, tanggal 21 Januari 1998, tentang penggunaan buku pelajaran di
sekolah, buku ajar terbitan Balai Pustaka merupakan buku pelajaran
pokok --karena disediakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI-- sehingga buku itu menjadi buku wajib yang harus digunakan
di sekolah di seluruh Indonesia. Sementara itu, buku-buku lainnya -yang semuanya terbitan swasta-- hanya menjadi buku pelengkap
pelajaran pokok. Oleh karena itu, upaya untuk mengetahui keberadaan
sastra dalam buku ajar bahasa Indonesia sekolah dasar sesungguhnya
dapat dilakukan hanya dengan memantau buku ajar terbitan Balai
Pustaka karena buku-buku terbitan swasta tidak wajib digunakan di
sekolah. Namun, karena hasil wawancara membuktikan bahwa bukubuku terbitan swasta juga di-gunakan di sekolah-sekolah, keberadaan
sastra dalam buku-buku itu akhirnya ditetapkan pula untuk dibahas di
sini.
Agar keberadaan sastra dalam buku ajar bahasa Indonesia yang
diterbitkan oleh masing-masing penerbit dapat diketahui dengan mudah,
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 17

pembahasan materi (bahan ajar) sastra berikut --yang dikelompokkan


menjadi tiga bagian, yaitu puisi (tradisional dan modern), prosa (cerpen,
novel, cerita rakyat), dan drama (sandiwara)-- akan difokuskan pada
tiap-tiap buku yang diterbitkan oleh masing-masing penerbit. Hal itu
dilakukan dengan asumsi bahwa setiap penerbit memiliki cara,
landasan, dan kebijakan sendiri-sendiri dalam memilih, menentukan,
dan mener-bitkan buku ajar meskipun semuanya berdasarkan satu
acuan, yaitu kurikulum 1994. Pembahasan selengkapnya adalah berikut.
3.1 Buku Ajar Terbitan Balai Pustaka
Buku ajar berjudul Lancar Berbahasa Indonesia 3 (Balai
Pustaka, 1996, cetakan kedua) untuk kelas 5 karya Djeniah Alim dan
Lancar Berbahasa Indonesia 4 (Balai Pustaka, 1996) untuk kelas 6
karya Dendy Sugono merupakan buku teks wajib yang disusun
berdasarkan kurikulum 1994. Buku setebal 205 dan 143 halaman milik
pemerintah --dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-tersebut terdiri atas 17 dan 16 bab dan masing-masing bab mengemukakan tema tertentu. Adapun keberadaan sastra (puisi, prosa, dan
drama) dalam kedua buku tersebut adalah berikut.
3.1.1 Puisi
Dalam buku Lancar Berbahasa Indonesia 3 (untuk kelas 5),
bahan ajar atau materi puisi menduduki peringkat terbanyak apabila
dibandingkan dengan materi prosa dan drama. Di antara 17 bab (tema)
yang diajarkan di kelas 5, hanya ada 2 bab yang di dalamnya tidak
terdapat materi puisi, yaitu bab 5 dan 8.1 Di antara puisi-puisi tersebut,
yang dominan ialah puisi modern (puisi bebas) (terdapat dalam bab 1, 2,
4, 7, 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17), sedangkan puisi tradisional (pantun)
hanya sedikit (terdapat dalam bab 1, 3, 10, dan 16).
Sebagian besar puisi modern yang ditampilkan dalam buku ajar
tersebut disajikan secara lengkap, dalam arti disertai dengan nama
penyair dan sumber kepustakaannya; sedangkan sajian puisi tradisional
1

Dalam kasus ini, syair lagu dianggap sebagai puisi karena --sesuai dengan perintah
yang diberikan-- syair tersebut tidak hanya dinyanyikan, tetapi juga dideklamasikan
seperti halnya puisi.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 18

tidak disertai dengan data-data sumbernya. Beberapa karya dan penyair


terkenal yang ditampilkan dalam buku pelajaran kelas 5 antara lain ialah
Menyesal karya Ali Hasjmi (Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, H.B.
Jassin [ed.], Gunung Agung, 1963), Karangan Bunga karya Taufiq
Ismail (Tirani, Birpen Kami Pusat, 1966), Tidur Nak karya Armijn
Pane (Gamelan Jiwa, Bagian Bahasa dan Kebudayaan, Departemen P &
K Jakarta, 1960), Bekerja karya Mozaza (Pujangga Baru: Prosa dan
Puisi, H.B. Jassin [ed.], Gunung Agung, 1963), Nelayan karya Hamka
(Pujangga Baru I/7, Januari 1939), dan Kapal Udara karya Maria
Amin (Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang, H.B. Jassin [ed.], Balai
Pustaka, 1948).
Dilihat dari makna muatannya, puisi-puisi yang disajikan dalam
buku ajar itu secara umum memiliki bobot yang sesuai dengan tingkat
pengalaman dan perkembangan jiwa siswa SD kelas 5. Meskipun tidak
ditulis oleh anak-anak, tetapi oleh orang dewasa, puisi-puisi itu bagi
mereka tetap dapat (mudah) dipahami. Indikasinya ialah bahwa di
samping kata-kata yang digunakan untuk membangun puisi itu tidak
sarat dengan simbol atau lambang yang gelap, puisi itu juga telah
disesuaikan dengan tema-tema yang diajarkan. Sebagai contoh, ketika
diajarkan tema Pekerja Sosial Muda (bab/pelajaran 12), puisi yang
disajikan ialah puisi yang berbicara tentang duka cita anak-anak kepada
kaum muda seperti karya Taufiq Ismail berikut.
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
sore itu
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati siang tadi
(Karya Taufiq Ismail, Tirani, Birpen Kami Pusat, 1966)
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 19

Atau ketika diajarkan tema kelautan (bab/pelajaran 16), puisi


yang disajikan juga puisi yang berbicara tentang kehidupan di laut
seperti karya Hamka berikut.
Nelayan
Matahari sirip sebelah barat
Perahu kolek di tepi tebat
Nelayan jaka tegak tertegun
Memandang riak jala diayun
Menunggu masa saat pilihan
Melayang timah membuat pinggan
Berdesir-desir darah di dada
Rasakan tidak rasakan ada ...
Kecewa timbul jaring tersangkut
Lemah lunglai tangan memaut
Sangka kan tunggul selam pun sampai
Kiranya akar batang teratai
(Karya Hamka, Pujangga Baru I/7, Januari 1939)
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 20

Dalam puisi karya Hamka di atas memang terdapat kata-kata yang


berasal dari daerah tertentu (Minangkabau) sehingga tidak semua siswa
kelas 5 SD di seluruh Indonesia dapat memahaminya. Akan tetapi,
untuk mengatasi hal tersebut, dalam buku itu disajikan pula daftar
makna kata-kata dalam puisi itu sehingga kesulitan pemahaman dapat
diatasi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa materi puisi yang ada di
dalam buku ajar tersebut telah memenuhi syarat sebagai materi yang
mendukung tujuan pengajaran sastra sebagaimana diprogramkan dalam
kurikulum. Dinyatakan demikian karena sesuai dengan perintah dan
tugas-tugas yang diberikan kepada siswa, materi tersebut disajikan tidak
hanya untuk dipahami (diapresiasi) maknanya, tetapi juga digunakan
sebagai bahan dasar bagi pengembangan ekspresi. Hal itu tampak
misalnya dengan adanya perintah untuk mendeklamasikan, mengubah
puisi dengan kata-kata sendiri, mengubah puisi menjadi prosa (cerita),
atau membacakan hasilnya di depan kelas. Berikut ini adalah contoh
(bab/pelajaran 14, hlm. 163--164) materi puisi dan beberapa perintah
yang mampu mendukung pengembangan apresiasi dan ekspresi sastra
siswa.
1. Bacalah dan hapal puisi berikut dengan penuh perasaan!
Deklamasikan!
Tidur Nak
Tidur Nak, tidurlah sayang
Tidur Nak, ini zaman perang
Lekas besar Nak, anakku sayang
Tidurlah Nak, lekas bantu perang
Tidur Nak, tidurlah sayang
Tidur Nak, hidup penuh cita
Lekas besar Nak, anakku sayang
Tidurlah Nak, lekas turut bakti
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 21

(Karya Armijn Pane, Gamelan Jiwa, Bagian Bahasa dan


Kebudayaan, Departemen PP&K Jakarta, 1960)
2. Apa yang kita rasakan saat membaca puisi tersebut?
(1) Puisi di atas digunakan oleh orangtua untuk ....
(2) Zaman saat itu adalah zaman ....
(3) Kita berperang saat itu dengan ....
(4) Orangtua mengharap agar anaknya ....
3. Cobalah kamu ubah kata-kata dalam puisi Armijn Pane tersebut.
Sesuaikan dengan keadaan negara kita saat ini!
....
4. Bacalah puisi atau sajak di majalah atau koran. Pilih puisi
ataupun sajak yang berkaitan dengan lingkungan hidup atau
keindahan alam. Setelah kamu membaca contoh puisi atau
sajak, cobalah kamu membuat puisi sendiri, yang berhubungan
dengan keadaan alam!
5. Bacakan puisimu di depan kelas! Lengkapi kekurangan puisimu
sesuai saran guru. Yang terbaik pajangkan di majalah dinding.
Hal yang sama tampak juga pada materi pantun seperti contoh (bab/
pelajaran 10, hlm. 115--116) berikut.
1. Bacalah pantun berikut ini dengan jelas dan benar.
Pohon bambu pohon selasih
Dikerat di atas batu bata
Kukirim surat pelipur lara
Hilangkan duka dan rasa sedih
Dikerat di atas batu bata
Dua-dua diikat menjadi satu
Kukirim surat pelipur lara
Semoga ibu sehat, gembira selalu
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 22

2. Jawablah pertanyaan berikut dengan singkat dan jelas!


(1) Dari siapakah pantun itu?
(2) Kepada siapa pantun ini ditujukan?
(3) Mengapa dia membuat surat?
(4) Siapa yang diharapkannya selalu sehat dan gembira?
(5) Apa isi pantun pada bait pertama?
3. Buatlah pantun sederhana yang menyatakan rasa rindumu
kepada adikmu. Bacakan di depan kelas. Jika ada kekurangan,
lengkapi sesuai dengan saran gurumu!
4. Bacalah pantun di bawah ini!
Apa isi utamanya?
Pandan berbunga dalam rimba
Angin berdera dari Tika
Badanlah lama tak bersua
Kinilah kita baru bertemu
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan puisi dalam
buku ajar berjudul Lancar Berbahasa Indonesia 4 (untuk kelas 6) masih
memiliki kecenderungan yang sama dengan keberadaan puisi dalam
buku ajar kelas 5 sebagaimana diuraikan di atas. Artinya, secara
kuantitatif materi puisi dalam buku ajar tersebut juga menempati
peringkat tertinggi apabila dibandingkan materi prosa dan drama. Akan
tetapi, secara keseluruhan materi sastra dalam buku ajar kelas 6 lebih
sedikit dibandingkan dengan materi sastra dalam buku ajar kelas 5.
Disimpulkan demikian karena di antara 16 tema (bab) yang disajikan di
kelas 6 selama setahun, materi puisi modern hanya disajikan 6 kali
(dalam bab/pelajaran 2, 6, 8, 10, 13, dan 15), sedangkan materi puisi
tradisional hanya disajikan 1 kali (dalam bab/pelajaran 5); sementara 9
kali pelajaran (bab/pelajaran 1, 3, 4, 7, 9, 11, 12, 14, dan 16) sama sekali
tidak menyajikan materi puisi.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat sehubungan dengan keberadaan materi puisi dalam buku ajar kelas 6. Meskipun jumlahnya
relatif sedikit, puisi-puisi yang disajikan dalam buku ajar itu tidak lagi
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 23

puisi karya para penyair terkenal seperti yang ada dalam buku ajar kelas
5, tetapi puisi-puisi itu benar-benar puisi anak-anak, ditulis oleh anakanak, dan sebagian telah dimuat dalam majalah anak-anak yang
memang banyak beredar di Indonesia. Di antara puisi-puisi itu ialah (1)
Pak Pos karya Kartika Nayadie, siswa kelas 6 SDN Suryadiningrat I,
Yogyakarta; (2) Sepiring Nasi Jagung karya Mega Nusantara dalam
kumpulan Nyanyian Sepiring Jalan (t.t.); (3) Doa Seorang Abang
Becak karya Anita, dimuat dalam majalah Jakarta, Jakarta (1985); (4)
Pak Guru karya Ashadi, siswa kelas 6 SD Muhammadiyah Pepe,
Bantul, Yogyakarta, dimuat dalam majalah Gatotkaca, 20 November
1981; (5) Kopi untuk Ayah karya Andrian Adi (Jambi), dimuat dalam
majalah Bobo, 10 Februari 1994; dan (6) Sajak Petani karya Lisa
Cahyapratiwi (Tan-jungkarang, Lampung).
Secara umum dapat dikatakan bahwa dilihat dari bobotnya puisipuisi yang dipergunakan sebagai bahan ajar bagi siswa SD kelas 6 telah
sesuai pula dengan tingkat pengalaman dan perkembangan jiwa anak
seusia kelas 6. Oleh karena buku ajar tersebut merupakan buku wajib
bagi siswa SD di seluruh Indonesia, tema-tema puisi yang disajikannya
pun disesuaikan dengan kondisi lingkungan keseharian sebagian besar
anak Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa makna yang
terkandung di dalam puisi-puisi tersebut dengan mudah dapat dipahami
mereka (siswa). Apalagi, dengan maksud untuk membantu memperlancar pemahaman (apresiasi) dan pengembangan imajinasi mereka
(siswa), puisi-puisi itu juga disertai dengan gambar. Misalnya, di
samping puisi berjudul Pak Pos terdapat gambar mengenai Pak Pos
sedang mengendarai sepeda yang di bagian belakang sepedanya terdapat
tas bertuliskan pos giro (hlm. 14); atau di bawah puisi berjudul Doa
Seorang Abang Becak terdapat gambar Abang Becak beserta becaknya
(hlm. 62); atau di bawah puisi berjudul Sajak Petani terdapat gambar
seorang petani dengan cangkul di pundaknya sedang berjalan di
pematang (hendak pulang) (hlm. 125).
Seperti halnya materi dalam buku ajar kelas 5, materi puisi
dalam buku ajar kelas 6 juga telah memenuhi kriteria sebagai materi
yang mampu mendukung tujuan pengajaran sastra sebagaimana diprogramkan dalam kurikulum. Dikatakan demikian karena --dilihat dari
perintah dan tugas-tugas yang diberikan kepada siswa-- materi yang
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 24

disajikan dalam buku itu tidak hanya sekedar sebagai bahan untuk
kepentingan apresiasi sastra (intra dan ekstra estetik), tetapi juga
disajikan sebagai bahan bagi pengembangan ekspresi, yang pada tahap
selanjutnya mereka diharapkan dapat secara kreatif dan inovatif
membaca dan atau mencipta puisi sendiri. Berikut contoh materi puisi
(bab/pelajaran 13, hlm. 111--114) yang disertai dengan pertanyaan dan
tugas-tugas yang cukup apresiatif.
C. Belajar dari Puisi
1. Bacalah
Kopi untuk Ayah
Kutahu engkau sangat lelah
Setelah membanting tulang
Demi kami sekeluarga
Siang malam
Engkau bekerja
Dengan sedikit istirahat
Kerja lagi dan kerja lagi
Kini
Engkau duduk di kursi
Tunggulah Ayah
Kankubuat secangkir kopi
Terimalah Ayah
Kopi manis pelepas dahaga
Walau hanya secangkir
Cukup untukmu seorang
Andrian Adi, Jambi, Bobo, 10 Februari 1994.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 25

2. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut.


(1) Keluarga yang diceritakan puisi ini kaya, sedang, atau
miskin? Tulis kalimat mana yang menjelaskan pendapatmu!
(2) Apakah ibu si Adi bekerja? Kalimat mana yang menjelaskan
pendapatmu?
(3) Sifat-sifat baik apa yang dapat dicontoh dari Adi?
(4) Pada bait kedua, tertulis kalimat /Siang malam / Engkau
bekerja /. Menurut pendapatmu, apa kerja ayah Adi?
(5) Apa arti ungkapan membanting tulang?
3. Bagaimana membaca puisi?
Bacaan puisi yang baik akan enak didengar. Bacaan yang baik
akan terdengar jelas dan merdu.
Bacaan yang jelas dan merdu itu antara lain ditentukan oleh dua
hal. Pertama, tinggi rendahnya suara atau nada. Kedua, cepat
lambatnya suara atau tempo.
Berikut ini diberikan contoh tinggi rendah dan cepat lam-batnya
suara.
Angka (1, 2, dst.): menandai tinggi rendahnya suara.
Garis (/, //, dst.): menandai jarak suara antarkata atau cepat
lambatnya suara.
Kopi /// untuk /// ayah /// ///
3 3 3 3
3 2
Kutahu // engkau // sangat // lelah ///
3 3 3
3 3
3 3 3 2
Setelah // membanting / tulang //
3 3 3
3 4 3 3 2
Demi // kami // sekeluarga /// ///
3 3 3 3 2 2 2 2 1
Perhatikan cara mengucapkannya.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 26

a. Ayah
3 2

Suara A lebih tinggi daripada suara yah.

b. Setelah // membanting / tulang //


Jarak ucapan kata setelah dengan membanting lebih lama
daripada jarak ucapan kata membanting dengan tulang.
4. Ayo mencoba
Pertama, bacalah bait pertama, puisi Kopi untuk Ayah yang
telah diberi tanda-tanda itu. Bacalah dengan suara yang
wajar, tidak dibuat-buat. Tinggi rendah suara setiap anak
dapat berbeda dengan anak lain. Akan tetapi, setiap kata
pasti jelas ukurannya. Misalnya, suara angka 3 harus lebih
keras dari angka 2.
Kedua, bentuklah kelompok dengan anggota tiga anak. Tugas
kelompok memberi tanda-tanda cara membaca bait kedua,
ketiga, dankeempat.
Ketiga, setelah selesai memberi tanda-tanda cara-cara membaca,
sekarang cobalah membaca puisi Kopi untuk Ayah secara
lengkap.
Pilih seorang anggota kelompok yang bacaannya paling
baik. Anggota yang bacaannya paling baik itu bertugas
mewakili kelompok dalam lomba baca puisi tingkat kelas.
Keempat, adakan lomba baca puisi Kopi untuk Ayah tingkat
kelas.
Siapa yang menjadi juri? Kamu semua menjadi juri. Setelah
semua wakil kelompok membaca puisi, pilih tiga pembaca
terbaik. Syaratnya, kamu tidak boleh memilih wakil
kelompokmu.
Gurumu akan memimpin pemilihan ini.
Contoh materi puisi yang disertai tugas-tugas di atas merupakan
contoh yang baik bagi pengembangan apresiasi (menyimak) dan
ekspresi (lisan) siswa terhadap puisi. Dikatakan baik karena hal itu
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 27

disertai pula dengan teori tentang bagaimana cara membaca puisi yang
baik. Di samping itu, tampak pula bahwa materi dan tugas-tugas yang
diberikan kepada siswa menuntut siswa untuk lebih aktif, kreatif, dan
dinamis. Akan tetapi, ada satu hal penting yang seharusnya tidak terjadi
dalam sajian materi tersebut. Hal itu tampak pada pertanyaanpertanyaan yang harus dijawab oleh siswa (pasal 2). Dalam pertanyaan
itu aku dalam puisi diidentikkan dengan Adi, si penulis puisi. Padahal,
seharusnya, aku bukanlah Adi, melainkan aku lirik. Hal-hal seperti
inilah yang dapat menyesatkan siswa apabila guru tidak terlebih dulu
menjelaskan prinsip-prinsip yang membedakan siapa sesungguhnya aku
penyair dan aku lirik dalam puisi.
Sementara itu, contoh sajian materi puisi tradisional yang cukup
apresiatif antara lain seperti berikut (bab/pelajaran 5, hlm. 42--43).
C. Keterampilan
1. ....
2. Mari kita baca pantun yang lucu
Di bawah ini ada pantun yang lucu. Cobalah kamu baca, lalu
bicarakan dengan teman kelompokmu. Cari dan katakan bagian-bagian
yang lucu. Tahukah kamu mengapa lucu? Lucu itu biasanya sesuatu
yang tidak masuk akal atau sesuatu yang tidak biasa terjadi.
Misalnya, pada bait pertama ada pertanyaan musang disepak
induk ayam. Biasanya, musang itu memangsa atau makan ayam. Tetapi,
pada pantun ini musang disepak ayam. Rasanya, hal itu tidak biasa.
Nah, sekarang baca dan bicarakan bait-bait yang lain.
Bintang kalian terbit senja,
terbenam hampir tengah malam,
Heran hamba memikirkannya,
musang disepak induk ayam.
Lebat sungguh padi dipaya,
hanya tumbang tepi pangkalan,
Heran sekali hati saya,
burung terbang disambar ikan.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 28

Kupu-kupu terbang melintang,


hinggap mengisap bunga layu,
Hati di dalam menaruh bimbang,
melihat ikan memanjat kayu.
Belimbing masih rebah ditebang,
kemarin tanam berleret-leret,
Kambing berbaris di tengah padang,
biri-biri menghembus terompet.
Lemparkan barang sampai kemari,
kami sambut bersuka cita,
Gemparlah orang senegeri,
melihat beruk pegang senjata.
Pantun Melayu, Balai Pustaka, 1978.
3. Buatlah pantun
Kamu telah membaca pantun. Masih ingatkah kamu bahwa
pantun memiliki empat baris. Tiap baris mempunyai empat
kata. Ada persamaan bunyi pada suku kata akhir baris
pertama dan ketiga serta baris kedua dan baris keempat.
Perhatikan bunyi akhir pada tiap baris pantun di atas. Kalau
dibaca, baris-baris itu merdu kedengarannya.
Dua baris pertama tidak mempunyai arti atau tidak ada pesan
apa-apa kecuali hanya untuk mendapatkan persamaan bunyi.
Berbeda dengan kedua baris selanjutnya. Isi atau pesan ada
pada kedua baris itu.
Cobalah kamu buat pantun kalau kamu suka pantun.
Demikian sekilas keberadaan puisi dalam buku ajar bahasa
Indonesia terbitan Balai Pustaka. Secara garis besar dapat dinyatakan
bahwa materi puisi (modern dan tradisional) yang disajikan dalam
kedua buku itu (kelas 5 dan 6) cukup apresiatif walaupun masih terdapat
beberapa kasus yang menyimpang dari prinsip-prinsip dasar kesusastraan. Meskipun metode pembelajaran tidak disebutkan secara eksplisit
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 29

dalam sajian pelajaran, pertanyaan dan tugas-tugas yang harus dijawab


siswa yang disertakan dalam materi itu seakan-seakan telah menjelaskan
sendiri apa sesungguhnya metode yang harus digunakan oleh guru.
Selain itu, materi-materi tersebut juga mengindikasikan adanya keharusan siswa untuk lebih aktif, kreatif, dan dinamis, sementara guru
menduduki posisinya sebagai pembimbing, fasilitator, moderator, dan
mitra belajar yang baik, baik dalam tahap apresiasi maupun ekspresi.
3.1.2 Prosa
Materi prosa dalam buku ajar kelas 5 seluruhnya berupa karya
prosa tradisional (cerita rakyat, dongeng, fabel, dan mite atau cerita
asal-usul). Oleh karena itu, selama satu tahun siswa kelas 5 tidak
diperkenalkan dengan prosa-prosa modern seperti cerpen atau novel.
Dari 17 bab (tema) yang disajikan dalam buku itu, hanya ada 6 bab yang
di dalamnya terdapat materi prosa. Bahkan, karya prosa (dalam 6 bab)
yang ditetapkan sebagai bahan ajar itu pun tidak seluruhnya disajikan
secara lengkap.
Karya yang disajikan lengkap hanya ada 4 buah (dalam bab 6, 8,
12, dan 15), yaitu (1) Burung Balam dan Semut Merah karya Andy
Wasis, dimuat dalam buku Angsa Putih dan Ikan Mas, tanpa nama
penerbit, (2) dongeng dari Timor Dayang Ipu dan Sang Putri, tanpa
nama pengarang, dikutip dari majalah Asyik, Nomor 4, tahun 1993, (3)
Pesan Sang Putra Raja, tanpa nama pengarang, dikutip dari majalah
Bintang Kecil Seri SD Nomor 6, hlm. 18--18, dan (4) Asal-Usul
Pelangi karya Siti Ajar Megawati, siswa kelas 5 SDN 1 Aimkel,
Lombok (NTB), dimuat dalam majalah Asyik, Nomor 6, hlm. 20.
Sementara itu, karya prosa yang berupa cuplikan cerita ada 1 buah
(dalam bab 13), yaitu Kebaikan Akan Selalu Menang yang diambil
dari cerita rakyat Jawa Ajisaka; sedangkan karya yang tidak disajikan
dalam buku tetapi disampaikan (diceritakan) langsung oleh guru ada 1
buah, yaitu Asal-Usul Tari Guel dari daerah Gayo.
Ditinjau dari segi bobot literernya, cerita-cerita yang disajikan
sebagai bahan ajar untuk kelas 5 relatif sesuai dengan tingkat kemampuan, kebutuhan, pengalaman, dan daya bayang anak-anak seusia SD
kelas 5. Di samping karena cara narasinya sederhana, alur cerita
kronologis, diakhiri dengan happy sehingga mudah dipahami dan meKeberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 30

nyenangkan, juga karena cerita-cerita itu menampilkan tema hitamputih yang berkaitan dengan sikap moral baik-buruk. Dengan
demikian, secara tegas dapat dikatakan bahwa dengan materi prosa
semacam itu diharapkan para siswa akan memperoleh amanat atau
pesan moral agar mereka selalu berbuat baik.
Berikut ini contoh cerita (bab 13, hlm. 149--152) sebagaimana
dimaksudkan di atas. Cerita ini diambil (dicuplik) dari cerita rakyat
Jawa Ajisaka.
Kebaikan Akan Selalu Menang
Menurut cerita di tanah Jawa ada sebuah negeri yang kaya raya
bernama Negeri Medang. Secara turun-temurun Medang diperintah oleh
raja-raja yang arif bijaksana. Namun pada suatu saat pemerintah
Medang jatuh ke tangan Dewatacengkar, raja aneh yang tidak
berperikemanusiaan. Ia gemar menyantap daging manusia. Dan yang
menjadi korban kekejamannya tidak lain adalah rakyatnya sendiri.
Dewatacengkar memiliki sebuah untaian bunga putih. Rakyat
yang menerima untaian bunga tersebut keesokan harinya harus
menyerahkan keluarga atau dirinya untuk menjadi korban. Perdana
Menteri kerajaan pun sama kejamnya. Ia bukannya membela rakyat,
tapi malah mendukung kelaliman Dewata-cengkar. Dialah yang
mengalungkan bunga putih pada leher rakyat yang dipilihnya sebagai
korban. Banyak rakyat yang mencoba melarikan diri. Namun banyak
pula yang tak mampu menghindar. Mungkin karena kebiasaannya
makan daging manusia, tubuh dan wajah Dewatacengkar berubah
seseram raksasa jahat, dan kekuatannya luar biasa. Oleh karenanya tak
seorang pun rakyat yang berani melawannya.
Sampai pada suatu hari ada serombongan rakyat yang mencoba
melarikan diri dari Medang. Diam-diam mereka pergi menuju pantai
dan mencari kapal. Di tepi pantai mereka bertemu dengan rombongan
lain yang dipimpin oleh seorang pemuda yang tampak arif dan bijaksana
bernama Ajisaka. Ternyata pemuda itu berilmu tinggi dan sangat sakti.
Ajisaka heran ketika mendengar cerita rombongan pengungsi tentang
kekejaman raja mereka. Timbul belas kasihan di hatinya. Ajisaka
bertekad untuk menolong rakyat Medang.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 31

Selepas rombongan pengungsi meninggalkan pantai, cepat-cepat


Ajisaka memasuki wilayah negeri Medang. Ia sampai di rumah seorang
wanita bernama Nyi Sumbi yang tinggal bersama anak perempuannya.
Dari Nyi Sumbi Ajisaka memperoleh cerita yang sama.
Kami juga sangat ketakutan, ucap Nyi Sumbi gemetar. Suatu
hari rombongan Perdana Menteri pasti akan datang, dan mengalungkan
untaian bunga putih! Kami akan menjadi santapan raja! Nyi Sumbi dan
anaknya menangis dan berpelukan.
Baru saja Ajisaka akan menenangkan, pintu rumah terbuka.
Perdana Menteri muncul beserta para punggawanya. Nyi Sumbi!
hardik Perdana Menteri. Cepat kalungkan bunga ini! Besok pagi kalian
berdua harus sudah berada di istana! Perdana Menteri melempar
untaian bunga ke pangkuan Nyi Sumbi. Namun, dengan sigap Ajisaka
menangkapnya.
Tidak! potong Ajisaka. Biar saya yang menggantikan Nyi
Sumbi menjadi korban sajian Raja ....
Mula-mula Perdana Menteri tercengang memandang laki-laki
itu. Namun tak lama kemudian senyumnya mengembang. Ia tidak
keberatan karena tubuh Ajisaka lebih sehat dan bersih dibandingkan Nyi
Sumbi dan atau anaknya.
Keesokan harinya Ajisaka menghadap raja. Ketika melihat
Ajisaka yang tampan, raja langsung tertarik dan tak sabar untuk
menyantapnya. Namun sebelum Ajisaka menyerahkan diri, ia
menyampaikan sebuah permintaan kepada raja.
Sebelum hamba mati, bolehkah hamba meminta sebidang tanah
pada Tuanku? pinta Ajisaka.
Dewatacengkar tertawa terbahak-bahak. Tanahku sangat luas!
ambillah semaumu! sahutnya pongah.
Saya hanya menginginkan tanah sepanjang sorban yang hamba
kenakan ini, Tuanku, jawab Ajisaka sambil membuka ikat kepalanya.
Hamba mohon Baginda ikut menghitung luas tanah. Silakan Tuanku
menarik ujung sorban untuk mengukur panjangnya.
Sambil terus tertawa Dewatacengkar memenuhi permin-taan
Ajisaka. Ia mulai menarik ujung sorban. Ujung lainnya tetap digenggam
Ajisaka. Keajaiban kemudian terjadi.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 32

Sejak sorban dibuka menjadi hamparan kain panjang,


gulungannya tidak kunjung habis. Ia semakin panjang dan semakin
panjang. Dewatacengkar terus menariknya. Ia berjalan mundur sampai
keluar istana, melewati alun-alun, perbukitan, dan akhirnya sampai di
tepi jurang tepat di sisi laut. Dan apa yang terjadi setelah itu?
Begitu Dewatacengkar berada di ujung jurang, Ajisaka
menyentakkan ujung kain yang digenggamnya. Bersamaan dengan itu,
segulung ombak samudra yang besar menyambar tubuh Dewatacengkar. Raja yang kejam itu langsung ditelan ombak ganas. Awan tibatiba gelap! Dewatacengkar berubah menjadi seekor buaya putih. Dan
lenyaplah penguasa Medang yang kejam itu.
Rakyat Medang yang menyaksikan peristiwa itu bersorak
gembira. Penderitaan mereka berakhir sudah. Mereka lega. Kejahatan
sudah ditumpas, dan kebaikanlah yang menang.
Tampak jelas bahwa cerita di atas sederhana, kronologis, mudah
dipahami, dan berakhir dengan bahagia. Sebagai cerita yang bersifat
mendidik, cerita tersebut memang cocok sebagai sarana pembinaan
moral.
Sebagai sarana pembinaan moral, secara keseluruhan materi
prosa dalam buku ajar kelas 5 memang dapat dikatakan tepat. Namun,
ada beberapa persoalan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
kecenderungan tersebut. Persoalan itu muncul dari sebuah pertanyaan
apakah sudah pada tempatnya pengajaran sastra dicampuradukkan
dengan pengajaran moral atau etika. Sebagai suatu pengajaran moral
barangkali memang penting, tetapi sastra bukanlah agama --sebagai
sumber dari segala sumber moral-- meskipun keduanya sama-sama
berbicara tentang manusia. Kalau agama secara tegas mengatur
manusia karena di dalamnya berisi aturan dan dogma-dogma yang tidak
boleh tidak manusia harus mematuhinya, sementara sastra secara luwes
memberi pencerahan karena ia lebih mempersoalkan nurani kemanusiaan manusia. Karena itu, dari sudut tinjau ini, pengajaran sastra
bukanlah pengajaran moral, melainkan pengajaran hidup.
Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa belum tentu pengajaran sastra akan berhasil dengan baik jika karya yang disuguhkan
hanya karya-karya yang mengandung pesan moral. Indikasi tersebut
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 33

muncul dari adanya anggapan bahwa karya yang memiliki kecenderungan semacam itu pada umumnya kurang memberi peluang bagi
pembaca untuk lebih dinamis dan berpikir kritis. Karena itu, kendati
hanya untuk siswa seusia SD kelas 5, karya-karya dengan tema yang
beragam --tidak hanya mementingkan moral-- perlu pula diberikan
kepada mereka agar wawasan kritisnya berkembang. Tema-tema yang
beragam itu pada umumnya banyak dijumpai dalam novel atau cerpencerpen modern. Namun, persoalannya, mengapa selama setahun (kelas
5) para siswa tidak disuguhi cerpen dan novel? Padahal, sebagaimana
digariskan dalam GBPP kelas 5, siswa diharapkan pula membaca cerpen
dan novel anak-anak (lihat cawu 2).
Hasil pengamatan menunjukkan pula bahwa pertanyaan dan
tugas-tugas yang disertakan dalam materi-materi prosa tidak seluruhnya
mendukung tercapainya tujuan pengajaran sastra. Pertanyaanpertanyaan yang harus dijawab siswa seringkali keluar dari konteks
apresiasi atau ekspresi sastra. Sebagai contoh, setelah siswa ditugasi
untuk membaca cerita Kebaikan Akan Selalu Menang, mereka diberi
pertanyaan seperti berikut.
(1) Pernahkah kamu mendengar kerajaan Medang? Jika ya, di
mana letak kerajaan Medang itu?
....
(3) Sebutkanlah kalimat-kalimat yang menunjukkan kejahatan
Dewatacengkar!
(4) Apa hubungan cerita ini dengan alat angkutan? Kalimat yang
mana yang menyatakan hubungannya dengan alat angkutan?
(hlm. 152)
Pertanyaan serupa terjadi juga seusai siswa diberi tugas untuk membaca
ringkasan cerita dari Timor berjudul Dayang Ipu dan Sang Putri
berikut.
....
(3) Tuliskanlah ringkasan ceritanya. Bacakan di depan kelas.
....
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 34

(5) Tuliskanlah judul dongeng yang terkenal di daerahmu yang


kamu ketahui.
(hlm. 92)
Sebagai pengayaan wawasan dan pengetahuan, beberapa
pertanyaan seperti di atas memang perlu diberikan kepada para siswa.
Namun, tentu saja pertanyaan itu akan lebih tepat apabila diberikan
dalam konteks lain, bukan dalam konteks apresiasi sastra. Bahkan, bagi
siswa tugas meringkas cerita agaknya tidak tepat karena selain ceritacerita itu pendek, --sehingga selesai sekali dibaca, malahan sebagian
sudah berupa ringkasan dari cerita lain--, tugas meringkas itu seringkali
justru membunuh siswa dalam hal minat baca sastra siswa.
Di samping hal-hal di atas, ada sedikit perbedaan antara materi
prosa dan materi puisi apabila dilihat dari sisi kesesuaiannya antara
tujuan pengajaran dan kegiatan pembelajaran sastra di kelas 5. Materi
puisi dalam buku ajar kelas 5 lebih ditekankan untuk mencapai tujuan
apresiasi dan ekspresi sehingga siswa dituntut untuk lebih kreatif dan
dinamis, sementara sebagian besar materi prosa agaknya hanya diarahkan untuk mencapai tujuan apresiasi. Oleh karena itu, terhadap
materi prosa siswa tidak dituntut untuk lebih aktif dan kreatif karena
kegiatan yang dilakukan hanya menyimak, membaca, dan memahami,
tanpa dilanjutkan dengan proses kreatif seperti menulis atau mengarang
cerita.
Telah dikatakan di atas bahwa materi prosa dalam buku ajar
kelas 5 seluruhnya berupa karya-karya tradisional (cerita rakyat, fabel,
dongeng, dan mite). Hal itu berbeda dengan materi prosa yang disajikan
dalam buku ajar kelas 6. Meskipun jumlah materi prosa dalam buku ajar
kelas 6 lebih sedikit jika dibandingkan dengan materi prosa dalam buku
ajar kelas 5, materi prosa dalam buku ajar kelas 6 telah mencakupi
genre tradisional dan modern. Materi prosa tradisional dalam buku itu
ada 2 buah, yaitu Kaktus Bertuah, terjemahan dongeng Mesir yang
dikutip dari The Magig Cactus (bab/pelajaran 4, hlm. 31--33) dan cerita
rakyat dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, tanpa judul (bab/pelajaran
12, hlm. 96--101). Sementara itu, prosa modern ada 3 buah, yaitu cerpen
Salah Terka karya Mudhibah Utami, dimuat majalah Bobo, Nomor
42, Tahun XXI, 3 Februari 1991 (bab/pelajaran 5, hlm. 34--36); Dia
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 35

Suka Mengganggu karya Ingga Liamsi, tanpa keterangan sumber


(bab/pelajaran 9, hlm. 76--78); dan Menolong Ibu karya Ingga
Liamsi, Jakarta, 1995 (bab/pelajaran 11, hlm. 90--92).
Hasil pembacaan membuktikan bahwa tema-tema cerita (prosa)
yang disajikan dalam buku ajar kelas 6 lebih beragam daripada tematema yang disajikan dalam buku ajar kelas 5. Tema-tema yang
dikedepankan dalam buku ajar kelas 6 tidak hanya berhubungan dengan
masalah moral baik-buruk, tetapi berkaitan pula dengan masalah lain,
misalnya pertanian (Kaktus Bertuah), kemandirian dan kerja keras
(Salah Terka), kenakalan anak/remaja (Dia Suka Mengganggu), dan
sebagainya. Sementara itu, dilihat dari segi isi, struktur, cara
penceritaan, dan gaya bahasanya, cerita-cerita itu terasa sangat cocok
bagi siswa kelas 6 karena pelaku-pelaku yang ditampilkan dalam ceritacerita itu sebagian besar adalah anak-anak seusia mereka. Dengan
demikian, materi cerita itu lebih menarik perhatian dan minat mereka
karena dunia yang ditampilkan di dalamnya adalah dunia yang sangat
dekat dengan mereka. Berikut inilah salah satu contohnya.
Dia Suka Mengganggu
Hari Senin pukul 08.00. Anak-anak kelas 6 sedang ulangan
bahasa Indonesia. Keadaan kelas tenang sekali. Semua perhatian anak
tercurah pada ulangan itu. Ibu guru mengawasi mereka sambil
membawa buku.
Tok ... tok ... tok .... Tiba-tiba terdengar ketukan pintu
perlahan.
Bu, ada tamu dari Kanwil, kata seorangpetugas dari tata usaha
sekolah.
Dapat tunggu? Ibu sedang mengawasi ulangan.
Diminta sekarang. Katanya penting.
Ibu guru itu akhirnya meninggalkan kelas. Dia berpesan agar
anak-anak bekerja sendiri-sendiri dan tidak ribut.
Wah, susah. Masa ulangan pakai mengarang? kata Otong tibatiba.
Ssst ... jangan berisik, kata teman sebangkunya.
Biar saja. Pinjam karanganmu!
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 36

Belum sampai, jawab temannya.


Akhirnya, Otong meminjam kertas ulangan Made yang duduk di
depannya. Temannya itu tidak memberi. Otong memaksa mengambil.
Terjadilah tarik-menarik. Kertas ulangan sobek. Terjadilah keributan.
Keributan kelas itu berhenti setelah ibu guru kembali. Otong
akhirnya dihukum. Namun, Otong tidak pernah jera. Hari-hari
berikutnya, dia tetap suka ribut. Dia suka mengganggu teman-temannya.

Kita harus cari akal untuk menghentikan kenakalan Otong,


kata Anggi pada suatu hari.
Ya, dia itu sudah keterlaluan. Masa waktu ulangan bahasa itu,
dia mau nyontek, maksa, kata Monang.
Iya. Sampai kertas ulangan Made sobek, tambah Halimah.
Sekelompok anak kelas 6 itu akhirnya sepakat untuk mengajar
Otong. Ketika sedang istirahat ada yang mengajak Otong ke kantin.
Otong dengan senang hati ikut. Apalagi, dia akan ditraktir.
Terima kasih, Yudi! kata Otong kepada Yudi.
Yah, jawab Yudi.
Keduanya berjalan beriring meninggalkan kantin. Otong tampak
gembira. Dia gembira karena dibelikan minuman kesu-kaannya. Es
apokat.
Tong, main dulu yok! Belum bel, kata Yudi.
Sebentar. Aku ambil permen dulu di tas, jawab Otong.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 37

Yudi turun ke halaman. Otong masuk ke kelas. Ruang kelas


kosong. Anak-anak beristirahat di luar semua. Otong berjalan mendekati
mejanya. Tiba-tiba jantung Otong berdetak lebih cepat. Kemarahannya
meledak.
Kurang ajar! Siapa yang melakukan harus kubalas! teriak
Otong.
Bagaimana kemarahan Otong tidak meledak. Dia melihat tas dan
isinya berantakan. Buku-buku dan alat tulisnya berserakan di meja, di
kursi, dan di lantai. Bahkan, penggaris dan pensilnya patah-patah.
Otong berlari ke luar. Dia akan mencari dan menghajar teman
yang dia curigai. Pada saat itu bel berbunyi. Waktu istirahat habis.
Teman-teman Otong berlari-lari masuk kelas. Otong mencegat mereka
di pintu. Otong menanyai siapa yang mengacak-acak tasnya. Temannya
tidak ada yang mengaku.
Keributan di pintu itu hampir terjadi. Otong sudah bersiap
memukul Monang. Tiba-tiba Ibu Guru datang. Ibu Guru melerai
mereka. Anak-anak diminta masuk kelas.
Setelah anak-anak duduk tenang, Ibu Guru minta penjelasan.
Mengapa mereka akan berkelahi. Setelah mendengar penjelasan Otong
dan teman-temannya, Ibu Guru itu tersenyum. Dia mengerti mengapa
tas Otong berantakan oleh ulah teman-temannya.
Kalian tak boleh main hakim sendiri. Yang berhak menghukum
Otong adalah Ibu.
Ya, Bu, jawab anak-anak serentak. Mereka tampak merasa
bersalah. Mereka duduk tenang. Kedua tangan bertumpu di atas bangku.
Kepala menunduk.
Otong, bagaimana perasaanmu? Kamu marah ketika melihat
tasmu diacak-acak temanmu?
Ya, Bu. Saya ingin memukul mereka!
Kamu marah sekali?
Ya, Bu. Marah sekali!
Nah, seperti itulah perasaan temanmu ketika kamu ganggu.
Otong kaget mengapa ibu gurunya berkata begitu. Kepala Otong
menunduk. Dia berpikir. Dia kurang mengerti kata-kata gurunya itu.
Kalau kamu tidak mau diganggu temanmu, jangan kamu
ganggu temanmu! Kamu mengerti, Otong?
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 38

Ya, Bu.
Otong mulai mengerti apa yang dimaksudkan gurunya.
Kepalanya masih menunduk. Dia belum berani memandang wajah guru
dan wajah teman-temannya. Dia malu.
(hlm.76--78)
Selain tema-temanya lebih modern dan dunia yang ditampilkan
di dalamnya lebih dekat dengan dunia anak sehingga menarik minat
mereka, cerita-cerita yang dipergunakan sebagai bahan ajar sastra itu
juga dilengkapi dengan beberapa pertanyaan yang mengarahkan akal,
pikiran, dan perasaan siswa untuk lebih mendalami isi cerita. Berikut ini
beberapa pertanyaan yang cukup apresiatif yang harus dijawab siswa
seusai ditugasi membaca dan memahami cerita Dia Suka Mengganggu.
(1) Apakah kenakalan Otong?
(2) Otong anak yang pandai atau kurang pandai? Berikan
alasanmu.
(3) Bagaimana cara menghentikan kenakalan Otong?
(4) Mengapa Yudi mengajak Otong ke kantin atau warung
sekolah?
(5) Mengapa Otong marah-marah ketika kembali ke kelas?
(6) Apakah arti ungkapan tak boleh main hakim sendiri?
(7) Penjelasan apa yang diminta oleh ibu guru kepada anakanak?
(8) Mengapa Otong tidak berani memandang wajah gurunya?
(9) Gantilah judul cerita Dia Suka Mengganggu dengan judul
yang kamu sukai.
Di samping itu, cerita tersebut juga dilengkapi dengan beberapa tugas
yang mengarahkan siswa untuk mengembangkan imajinasi dan ekspresi
kreratifnya. Tugas tersebut seperti berikut.
Dalam cerita Dia Suka Mengganggu dilukiskan kege-maran
Otong. Otong gemar mengganggu temannya. Bolehkah kenakalan
Otong ditiru?
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 39

Tentu kamu mempunyai pengalaman yang menarik. Pengalaman


yang tidak merugikan temanmu. Misalnya, menolong orang atau teman,
bermain sepak bola, atau hal lain yang baik.
Ceritakanlah pengalaman itu di hadapan teman-temanmu.
Berceritalah selama kira-kira lima menit.
Pertanyaan-pertanyaan berikut dapat membantu kamu.
a. Apa judul ceritamu?
b. Di mana kamu memperoleh pengalaman?
c. Apa tindakan atau apa yang kamu lakukan?
d. Alat atau benda apa yang kamu perlukan untuk
melakukan pertolongan itu?
e. Dengan siapa kamu melakukan pertolongan?
Hal serupa terjadi juga dalam sajian materi prosa lain selain
cerita di atas. Bahkan, berdasarkan pengamatan seksama, materi sastra
khususnya yang disajikan dalam pelajaran 12 (hlm. 96--103) sangat baik
bagi siswa karena melalui materi yang berupa cerita rakyat dari Lombok
(NTB) itu siswa diajak untuk melatih kepekaan imajinasi dan ketajaman
pikiran. Di samping siswa diberi tugas untuk berdiskusi tentang isi dan
struktur cerita, mereka juga diberi kesempatan untuk meneruskan cerita
yang belum selesai.
Demikian antara lain keberadaan materi prosa dalam buku ajar
bahasa Indonesia sekolah dasar kelas 5 dan 6 terbitan Balai Pustaka.
Meskipun materi yang disajikan dalam buku-buku itu dirasakan kurang,
di sisi tertentu mereka (para siswa) telah diarahkan untuk mencoba
mencintai sastra secara lebih suntuk. Bahkan, melalui bahan-bahan ajar
itu para siswa juga dibimbing untuk melakukan kegiatan bagaimana
cara yang baik untuk memahami (mengapreasi) dan berekspresi sastra.
Apalagi dalam buku-buku itu juga disajikan gambar-gambar visual -dalam hal ini siswa ditugasi untuk mengekspresikan gambar itu baik
secara lisan maupun tulis-- sehingga siswa mau tidak mau harus
mencoba untuk mengembangkan imajinasi kreatifnya.
3.1.3 Drama
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan materi
drama dalam buku ajar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, baik
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 40

untuk kelas 5 maupun kelas 6, benar-benar terpinggirkan. Selama di


kelas 5 para siswa hanya disuguhi dua kali pelajaran drama (sandiwara).
Materi drama yang pertama disajikan dalam pelajaran 7 (hlm. 81--83) -ketika membicarakan tema lingkungan alam (hutan)--, yaitu mendramatisasikan sebuah percakapan yang ada dalam naskah drama saduran
karya Sondang Harianja (dimuat dalam majalah Asyik, Nomor 15,
hlm.10--11); sedangkan materi drama yang kedua disajikan dalam
pelajaran 12 (hlm. 133-139) --ketika membicarakan tema pekerja sosial-, yaitu menyusun (mengubah) dongeng rakyat dari Irak yang berjudul
Pesan Sang Putra Raja menjadi naskah sandiwara dan mendramatisasikannya. Sementara itu, selama di kelas 6, para siswa hanya
disuguhi sekali pelajaran drama. Materi itu disajikan dalam pelajaran 14
(hlm. 119--122), yaitu bermain drama dengan judul Koran, Koran
karya Ingga Liamsi.
Ada kecenderungan bahwa sebagai bahan ajar di sekolah dasar,
karya sastra yang berupa drama seolah-olah hanya diberi pengertian
sebagai suatu dialog atau percakapan, bukan sebagai serangkaian seni
panggung yang berawal dari naskah sampai pada pemanggungannya.
Oleh karena itu, materi-materi drama yang disajikan dalam buku
tersebut tidak disertai dengan materi lain yang berupa berbagai
persyaratan yang berkaitan dengan konteks (setting) yang membangun
suasana pementasannya. Tidak dapat disangkal bahwa memang pengertian drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog. Namun, tidak
hanya dialog itu saja yang penting, tetapi juga bagaimana dialog itu
dikemas di atas pentas sehingga menjadi sebuah pertunjukan seni yang
khas dan memikat.
Berikut ini contoh materi drama (pelajaran 7, hlm. 81--83) yang
hanya berupa percakapan yang disertai dengan beberapa tugas yang
harus dilakukan dan pertanyaan yang harus dijawab siswa.
G. Mari Kita Bersandiwara
1. Bacalah percakapan dari beberapa tanaman berikut ini!
Di sebuah kebun tumbuhlah berbagai jenis tanaman. Semua
tumbuh dengan asri. Udara sekitar kebun sejuk dan nyaman.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 41

Pada suatu hari terdengar percakapan di kebun itu.


Pohon Sawo, sambil menggeliat berkata: Aku heran. Untuk apa kamu
ditanam, Wuluh? Buahmu amat masam. Mana ada orang
yang mau memakanmu?
Pepaya: Betul Wo, Belimbing Wuluh tak ada gunanya. Lain dengan
kita. Buah kita disukai orang. Tebal dagingnya, manis
rasanya, sedap, (Pepaya mencibir Belimbing Wuluh).
Belimbing Wuluh: Siapa bilang aku tak berguna? Orang memakai
buahku untuk bumbu ikan. Aku dapat dijadikan obat batuk.
Hebat,... kan. Kamu Sawo,kulitmu gelap cokelat, jelek.
Sawo: E, e, e, buahku yang masak manis. Semua orang senang
memakannya. Buahku yang muda obat desentri yang manjur.
Coba parut dan seduh dengan air mendidih satu cangkir.
Minum hangat-hangat.Desentri segera lenyap.
Pepaya: Tetapi engkau masih kalah denganku Wo. Buahku manis,
dapat dimakan begitu saja. Daun muda dan buahku untuk
sayur. Akulah pohon yang paling berguna.
Sawo: Kamu hanya tanamanpangan! (ejek Sawo).
Pepaya: Eh siapa bilang. Daunku dapat dijadikan obat malaria.
Meniran: Betul tetapi harus dicampur dengan daunku, daun meniran.
Beluntas: Dan dengan daunku.
Pohon Aren: Iya. Daun-daun rebus itu harus dicampur dengan gula
aren. Baru jadilah obat malaria itu.
Jeruk Nipis: Sudahlah aku yang paling hebat. Buahku dapat
mengobati segala macam penyakit.
Kunyit: Salah, akulah yang paling berguna. Untuk masak bisa, untuk
obat bisa.
Jeruk Nipis: Obat apa?
Kunyit: Wah banyak penyakit. Demam, panas, sakit perut, penyakit
apa saja.
Jambu Biji: Bohong. Yang benar, daunkulah yang dapat
menghentikan mencret. Tentu setelah dicampur dengan petai
cina, jahe, dankencur tumbuk, lalu diseduh dengan air panas.
Kunyit: Salah, salah. Aku obat mencret paling manjur. Bakar aku
sampai hangus. Lalu campur dengan segenggam beras sangrai
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 42

tumbuk. Minum satu sendok makan saja, tigakali sehari.


Buang-buang air akan berhenti. Hebat kan?
Kunyit, Sawo, dan lain-lainnya: Sssst ... Ada orang datang. Hayo,
kita lihat. Siapa yang dia cari? Pasti dialah yang paling
hebat.
Anak laki-laki: Ayah, kebun ini seperti hutan saja. Mengapa tidak kita
bersihkan saja?
Ayah: Usulmu baik, Nak. Tetapi hati-hati ya. Rumput pun berguna
untuk obat.
Anak: Rumput untuk obat?
Ayah: Oh, ya. Akar alang-alang, tumbuhanliar seperti meniran dan
orangaring berguna. Tanaman pagar seperti beluntas dan
kumis kucing berguna untuk obat.
Anak: Jadi tanaman ini semua berguna?
Ayah: Ya. Untuk obat tradisional biasanya diperlukan berbagai
tanaman. Masak pun memerlukan berbagai tanaman. Jadi
tanaman di kebun ini hebat semua.
Anak: Kalau begitu hebat sekali kebun Ayah ini, seperti Waserba
saja!
Ayah: Apa itu?
Anak: Warung serba ada.
2. Berlatihlah dalam kelompok yang terdiri dari sebelas orang.Aturlah
bersama siapa yang akan berperan sebagai sawo, belimbing wuluh,
pepaya, dan seterusnya. (15 menit)! Jadikan drama dua babak.
3. Setelah berlatih maka dramatisasikan di depan kelas secara
bergantian (3 atau 4 kelompok).
4. Jawablah pertanyaan berikut dengan singkat dan jelas!
(1) Apa judul sandiwara ini yang palingtepat?
(2) Apa yang ingin disampaikan penulis pada kita semua?
(3) Sifat-sifat apakah yangada dalam bacaan di atas? Jelaskan
jawabanmu.
(4) Mengapa semua isi kebun berguna?
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 43

(5) Dari bacaan di atas, tanaman apa yang paling berguna


menurut pendapatmu?
Contoh materi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa dalam
proses pembelajaran siswa hanya ditugasi untuk membaca dan berlatih
bercakap-cakap sesuai dengan peran masing-masing dalam kelompok.
Jika hanya itu saja yang dilakukan, tentu saja pembelajaran drama akan
gagal karena tidak ada petunjuk bagaimana cara memerankan tokoh
sesuai dengan karakter masing-masing. Selain itu siswa juga tidak diberi
kesempatan untuk meng-hayati secara lebih suntuk karena faktor-faktor
pendukung seperti gambaran tentang setting, vokalisasi, dan sebagainya
tidak disertakan dalam bahan ajar atau materi itu.
Hal serupa terjadi juga ketika siswa diberi tugas untuk menyusun (mengubah) cerita menjadi sebuah naskah sandiwara (lihat
pelajaran 12, hlm. 133--139) dan memerankannya. Di samping hanya
diberi tugas untuk mengubah, memerankan, dan menjawab satu
pertanyaan --apa pesan utama cerita di atas--, siswa juga tidak diberi
peluang untuk mendalami, menghayati, sekaligus mengetahui prinsipprinsip dasar dalam proses transformasi atau pengalihbentukan sastra.
Dengan demikian, jika diharapkan pembalajaran drama berhasil,
setidaknya guru diwajibkan untuk mengisi kerumpangan-kerumpangan
yang terjadi.
Materi drama yang agaknya cukup representatif terdapat dalam
buku ajar kelas 6. Meskipun materi drama hanya diberikan sekali dalam
setahun (pelajaran 14, hlm. 119--124), siswa kelas 6 telah diberi
peluang lebih luas untuk secara sungguh-sungguh menggeluti drama.
Selain naskah yang disajikan dalam buku itu cukup baik, dalam arti
sebagai naskah telah meme-nuhi syarat, siswa juga diajak untuk
membaca, memahami, menghayati isi dan struktur, mementaskan,
bahkan juga ditugasi untuk mengamati drama di televisi untuk
kemudian diceritakan dan dianalisis isi dan bentuknya. Oleh karena itu,
melalui materi tersebut, siswa benar-benar menjadi seorang yang kreatif
dan dinamis.
Demikian antara lain keberadaan materi drama dalam buku ajar
bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. Namun, perlu dicatat bahwa
sebagai bahan ajar sastra, materi tersebut dirasakan sangat kurang.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 44

Dilihat dari sisi waktu yang dialokasikan memang drama sangat berbeda
dengan, misalnya, cerpen, lebih-lebih puisi --yang dapat disajikan dalam
sekali tatap muka--, tetapi bukankah drama itu pada dasarnya juga
sebuah cerita seperti layaknya cerpen? Oleh sebab itu, tidaklah pada
tempatnya apabila materi drama menjadi pilihan terakhir dalam
pengajaran sastra di sekolah.
Materi drama yang agaknya cukup representatif terdapat dalam
buku ajar kelas 6. Meskipun materi drama hanya diberikan sekali dalam
setahun (pelajaran 14, hlm. 119--124), siswa kelas 6 telah diberi
peluang lebih luas untuk secara sungguh-sungguh menggeluti drama.
Selain naskah yang disajikan dalam buku itu cukup baik, dalam arti
sebagai naskah telah memenuhi syarat, siswa juga diajak untuk
membaca, memahami, menghayati isi dan struktur, mementaskan,
bahkan juga ditugasi untuk mengamati drama di televisi untuk
kemudian diceritakan dan dianalisis isi dan bentuknya. Oleh karena itu,
melalui materi tersebut, siswa benar-benar menjadi seorang yang kreatif
dan dinamis.
Demikian antara lain keberadaan materi drama dalam buku ajar
bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. Namun, perlu dicatat bahwa
sebagai bahan ajar sastra, materi tersebut dirasakan sangat kurang.
Dilihat dari sisi waktu yang dialokasikan memang drama sangat berbeda
dengan, misalnya, cerpen, lebih-lebih puisi --yang dapat disajikan dalam
sekali tatap muka--, tetapi bukankah drama itu pada dasarnya juga
sebuah cerita seperti layaknya cerpen? Oleh sebab itu, tidaklah pada
tempatnya apabila materi drama menjadi pilihan terakhir dalam
pengajaran sastra di sekolah.
3.2 Buku Ajar Terbitan Intan Pariwara
Buku ajar bahasa Indonesia berjudul Pelajaran Bahasa
Indonesia SD terbitan Intan Pariwara (Klaten) yang dibahas dalam
pemantauan ini meliputi 6 jilid (3 jilid untuk kelas 5 dan 3 jilid untuk
kelas 6); dan masing-masing jilid memuat materi ajar setiap caturwulan
(cawu). Buku ajar yang unik ini --disusun berdasarkan kurikulum 1994
tetapi telah diterbitkan tahun 1993-- merupakan buku pelengkap yang
banyak digunakan pula di sekolah-sekolah di Yogyakarta. Adapun
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 45

keberadaan sastra (puisi, prosa, dan drama) dalam buku-buku tersebut


sebagai berikut.
3.2.1 Puisi
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan bahan ajar
(materi) puisi dalam buku ajar bahasa Indonesia kelas 5 terbitan Intan
Pariwara relatif sedikit. Dinyatakan demikian karena selama setahun
para siswa hanya disuguhi lima kali pelajaran puisi (cawu 1 tiga kali,
cawu 2 satu kali, dan cawu 3 satu kali).
Pada cawu 1, pertama-tama siswa disuguhi puisi modern
berjudul "Jeritan Anak Sampah" (dalam tema: kependudukan, hlm. 28-29) karya Lo Econk dan Lo Amonk yang dikutip dari majalah Bobo,
Nomor 2, Tahun XVII, 1991. Dilihat dari tingkat kesukarannya, puisi
tersebut tampaknya sesuai dengan tingkat pengalaman dan daya nalar
anak. Di dalamnya ada indikasi untuk mendidik jiwa dan pribadi anak
agar peduli dan memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama. Puisi
tersebut meng-gambarkan bagaimana susahnya seorang pemulung
dalam memper-juangkan hidupnya.
Jika dicermati perintah-perintah yang disertakan dalam materi
puisi tersebut --siswa diminta untuk membaca, mendeklamasikan,
mendiskusikan, memahami isi, dan menyadur puisi ke dalam bentuk
prosa-- tampak bahwa semua itu telah sesuai dengan kemampuan anak.
Jika perintah itu benar-benar dilaksanakan, tentu siswa dapat
mengapresiasi puisi dengan baik. Konsekuensinya ialah bahwa guru dan
siswa dituntut lebih aktif dan kreatif dalam menggeluti berbagai hal
tentang puisi.
Berikutnya, masih dalam cawu 1, siswa disuguhi dua kali
pelajaran puisi, yaitu dalam pelajaran 4 (tema: ekonomi/koperasi, hlm.
69--70) dan pelajaran 5 (tema: kepahlawanan, hlm. 89). Akan tetapi,
dalam pelajaran itu siswa hanya disuguhi serentetan gambar. Dari
gambar itulah siswa diminta untuk berekspresi membuat puisi. Namun,
yang menjadi masalah adalah bahwa sebelum diminta untuk menulis
puisi siswa tidak diperkenalkan terlebih dulu bagaimana cara-cara
menyusun puisi berdasarkan gambar. Ada kemungkinan bahwa caracara penyusunan puisi berdasarkan gambar itu telah diperkenalkan
terlebih dulu di jenjang sebelumnya (kelas 4, misalnya), tetapi akan
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 46

lebih baik jika hal itu diperkenalkan lagi agar siswa tidak merasa
kesulitan. Apalagi, jika dikaitkan dengan alokasi waktu yang disediakan
untuk tatap muka --yang tentu sangat terbatas--, jelas bahwa pelajaran
puisi semacam itu cenderung gagal; kecuali jika hal itu dilakukan pada
waktu lain di luar kelas.
Perlu dikemukakan bahwa pelajaran sastra dengan bahan ajar
puisi boleh jadi merupakan pelajaran yang cukup sulit dan membosankan seandainya cara mengajarkannya tidak mampu menarik minat
siswa untuk aktif dan dinamis. Namun, persoalan itu agaknya tidak akan
terjadi apabila bahan ajar puisi beserta tugas-tugas yang disuguhkan
kepada siswa berupa bahan (puisi) seperti yang disajikan dalam cawu 2
(tema: perhubungan, hlm. 57) berikut .
C. Tugas
Tugas Satu
Bacalah puisi berikut ini!
Naik Delman
Tik, tak, tik, tak
Bunyimu di sepanjang jalan
Tik, tak, tik, tak
Irama yang enak didengar
Kuda kan selalu membawaku
Menari seiring jalan berliku
Aku senang bersamamu
Aku senang mengendaraimu
Jarang kurasakan kebahagiaan ini
Duduk santai dalam delman sore hari
Memandang sawah nan luas membentang
Menatap gunung yang tinggi menjulang
Sungguh senang hatiku selalu
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 47

Berjalan denganmu nikmati jalan berliku

Puisi berjudul Naik Delman (tanpa nama pengarang) di atas


agaknya menjadi bahan ajar yang menarik karena cara penyampaiannya
kepada siswa disertai dengan sebuah ilustrasi (gambar) yang memikat
(delman, penumpang, dan suasana lingkungan yang akrab). Dengan cara
seperti itu, siswa dituntun untuk mengembangkan imajinasinya dalam
membaca teks puisi. Bahasa puisi yang semula sulit untuk dimengerti
dapat diatasi dengan mudah karena siswa dibantu oleh adanya media
gambar. Mengajarkan puisi memang seyogianya harus secara bertahap
agar kepekaan dan kemampuan siswa memahami bahasa puisi tidak
terasa dipaksakan.
Selanjutnya, dalam cawu 3, siswa kelas 5 tidak lagi disuguhi
bahan ajar puisi modern, tetapi puisi tradisional (pantun). Dalam
pelajaran itu siswa diminta untuk membuat dan mengartikan pantun.
Seperti halnya bahan ajar dalam cawu 2, untuk menarik perhatian siswa,
bahan ajar tersebut disajikan juga dilengkapi dengan ilustrasi gambar
dua orang anak yang tengah mengadakan percakapan mengenai ciri-ciri
pantun. Cara ini tentu sangat efektif untuk mendorong anak-anak agar
meng-akrabi pantun, apalagi setelah itu diberikan beberapa contoh
pantun yang disertai dengan penjelasan bagian masing-masing pantun
(bagian sampiran dan isi). Teknik penyajian bahan ajar sastra seperti ini
tentunya akan membuka peluang bagi siswa untuk benar-benar
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 48

mengenali bentuk pantun. Kepandaian siswa untuk berpantun dituntun


dengan tugas mengisi titik-titik (pada bagian yang dikosongkan) dengan
baris-baris pantun yang tersedia pada lajur sebelah kanan seperti
berikut.
a. Burung kecil burung ketilang
berayun riang di pohon mangga
jangan teman berlaku bimbang

1) hidup sehat idaman keluarga


2) burung jalak dalam sangkar

....
b. Beli rambutan di pasar mangga
rambutan dikemas dalam ikatan

3) tuntutlah ilmu sekuat tenaga


4) bermain tali di tanah lapang

....
Karena itu jagalah kebersihan
c. Burung pipit makan padi

5) membangun negara, nusa,


dan bangsa

....
Kalau kamu ingin berprestasi
rajin-rajinlah kamu belajar

d.

....
melompat-lompat tiada berhenti
janganlah lewatkan waktu yang panjang
belajarlah teman tuk hidup nanti

Tugas berikutnya merupakan upaya mengembangkan apresiasi


siswa terhadap pantun dengan menugasi siswa memahami isi beberapa
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 49

buah pantun. Untuk tidak menimbulkan kebingungan siswa dalam


melak-sanakan tugas tersebut sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu
tentang bagaimana cara memahami isi pantun.
Hasil pemantauan menunjukkan pula bahwa keberadaan bahan
ajar puisi dalam buku ajar kelas 6 masih memiliki kecenderungan yang
sama dengan bahan ajar dalam buku ajar kelas 5. Dari 16 tema yang
diajarkan di kelas 6 (selama setahun), bahan ajar puisi hanya diberikan
kepada siswa sebanyak empat kali (cawu 1 dua kali dan cawu 2 dua
kali). Dalam empat kali pelajaran puisi tersebut, puisi modern diberikan
tiga kali, yaitu dalam pelajaran 2 (cawu 1, tema: komunikasi, judul
Duta Ilmu karya Kikin, hlm. 27), pelajaran 2 (cawu 2, tema:
kehidupan masyarakat, judul Bela Sungkawa karya Kikin, hlm. 24),
dan pelajaran 4 (cawu 2, tema: pahlawan, judul Pahlawan karya Santi
Indrawati, dikutip dari majalah Bobo, Nomor 19, Tahun XVIII, 1990,
hlm. 72); sementara itu, puisi tradisional diberikan dalam satu kali, yaitu
dalam pelajaran 5 (cawu 1, tema: kerajinan tangan, judul Awang
Sulung Merah Hendak Merantau yang dikutip dari buku Puisi Lama
karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Ada hal menarik yang perlu dicatat sehubungan dengan bahan
atau materi ajar dalam buku ajar kelas 6. Tidak seperti bahan ajar yang
berupa puisi-puisi modern, bahan ajar yang berupa puisi tradisional
agaknya terasa sulit bagi siswa. Hal itu disebabkan oleh bahasa puisi
lama yang disajikan dalam cawu 1 (pelajaran 5) adalah bahasa khas dari
daerah tertentu (Minangkabau) sehingga siswa-siswa di daerah selain
Minang-kabau tidak akan mampu memahaminya. Kata-kata seperti
kandis, landak, guliga, setambun, dan kelat adalah kata-kata yang asing
bagi dunia anak. Jika diamati secara pragmatik, puisi lama tersebut
mengandung unsur pendidikan. Akan tetapi, objek yang disampaikan di
dalamnya tampak kurang dekat dengan dunia anak-anak. Selengkapnya
puisi lama karya STA tersebut adalah berikut.
Awang Sulung Merah Hendak Merantau
Awang Sulung Merah Muda:
Ribu-ribu jalan ke kandis,
Landak membawa guliganya.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 50

Bunda kutinggal jangan menangis


Anak membawa akan nasibnya.
Maka dibalas anak bungsunya:
Air berolak menjala ikan,
Encik semau menjala udang.
Anakku bertolak bunda pesankan,
Jangan lama dirantau orang.
Maka menyahut Awang Sulung Muda:
Berbuah benda setambun tulang,
Boleh dibuat obat membantau.
Jikalau untung, anak nin pulang,
Jikalau tidak hilang dirantau.
Maka dibalas pula anak bungsunya:
Pisang kelat digonggong elang,
Jatuh ke lubuk Indragiri,
Jikalau berdagang di rantau orang,
Baik-baik membawa diri.
Dalam contoh di atas tampak jelas bahwa banyak kata yang khas
yang berasal dari daerah tertentu. Oleh karena itu, agar siswa kelas 6
dapat meng-apresiasi puisi tersebut, seharusnya disertakan pula daftar
kata-kata sulitdan sekaligus penjelasan maknanya. Barangkali tidak
hanya siswa, guru pun akan mengalami kesulitan untuk memberi makna
kata-kata itu kecuali di tangannya ada buku kamus.
Seperti telah dikatakan bahwa bahan ajar puisi dalam buku ajar
terbitan Intan Pariwara lebih sedikit dibandingkan dengan bahan ajar
prosa (yang dalam buku ajar ini sering hanya disebut bacaan saja). Hal
itu terjadi karena puisi sebagai bahan ajar merupakan salah satu jenis
sastra yang mem-butuhkan kecermatan tertentu dibandingkan dengan
jenis lainnya, misalnya cerpen atau novel. Kemungkinan lain yang
mengakibatkan peminimalan tersebut ialah bahwa di wilayah tertentu
(yang ingin dijangkau penerbit Intan Pariwara) tingkat pemakaian
bahasa Indonesia belum begitu intens.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 51

Tampak pula bahwa keberadaan bahan ajar puisi dalam bukubuku ajar terbitan Intan Pariwara sama sekali tidak memperhatikan
kepentingan sejarah perpuisian (Indonesia). Akan sangat bijaksana
apabila sejak dini, di sekolah dasar, siswa sudah diperkenalkan dengan
sastra Indonesia beserta para penyairnya. Di dalam buku pelajaran
serupa itu, misalnya, diperkenalkan figur-figur yang menjadi tonggaktonggak penting dalam sejarah sastra (puisi). Figur-figur tersebut tidak
hanya diterangkan namanya, tetapi juga disinggung biodata dan
sebagainya meskipun hanya dalam bentuk sederhana. Melalui cara
seperti itu, niscaya anak akan lebih mengenal tokoh-tokoh dalam jagat
kesu-sastraan Indonesia sehingga hal itu akan lebih memperkaya
wawasannya. Me-lalui metode tersebut, kemungkinan besar siswa akan
lebih mudah mengingat dan kelak jika ia telah memasuki jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, dorongan mentalnya untuk belajar sastra
akan lebih mendalam.
3.2.2 Prosa
Hasil pengamatan membuktikan bahwa bahan ajar sastra yang
berupa prosa dalam buku ajar bahasa Indonesia terbitan Intan Pariwara,
baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, cukup dominan. Hanya persoalannya, bahan ajar prosa dalam buku itu seringkali tidak dinyatakan
secara eksplisit sebagai genre sastra tertentu, tetapi sering hanya disebut
sebagai bacaan atau wacana. Bahan ajar prosa itu sebagian besar berupa
cerita rakyat atau dongeng; sementara cerpen hanya beberapa buah saja.
Setelah diadakan pengamatan terhadap keberadaan prosa dalam
buku-buku tersebut, secara umum, dapat dikatakan bahwa bahan atar
atau materi yang disajikan cukup baik dan sesuai dengan kemampuan
dan tingkat pengalaman anak. Jika dilihat secara umum, materi yang
disuguhkan cukup menarik, terutama objek-objek dan cerita-cerita yang
disampaikan. Anak-anak akan merasa senang jika disuguhi cerita-cerita
fantasi yang berbau khayal seperti cerita tentang "Karang Bolong"
karya Nora Hasyuti (kelas 5, cawu 1, pelajaran 3, tema: keamanan atau
keselamatan, hlm. 51--53). Cerita rakyat yang berjudul "Karang
Bolong" berhubungan dengan mitos tentang ratu pantai selatan. Karena
itulah, dalam cerita itu muncul kepercayaan bahwa pemilik sarang
burung walet yang ada di gua pantai selatan adalah Nyi Lara Kidul.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 52

Dengan demikian orang baru boleh mengambil sarang burung tersebut


jika sudah mendapat izin dari yang menguasai pantai selatan.
Selanjutnya, dongeng lucu yang berjudul "Lebih Baik Berkata
Jujur" (cawu 1, pelajaran 1, tema: hiburan, hlm. 11--13), yang dikutip
dari majalah Tomtom, Nomor 217, Tahun XIV, 1990, mengandung
unsur pendidikan (moral) agar anak dibiasakan berkata jujur. Bahan
ajar do-ngeng tersebut agaknya disampaikan dengan cara yang bagus
sehingga anak-anak tidak merasa digurui tetapi secara tidak sadar
mereka akan berkata jujur.
Jika dihubungkan dengan kurikulum (GBPP kelas 5), cawu 1,
bahan ajar sastra yang terdapat dalam buku tersebut dapat dikatakan
cukup memenuhi syarat. Butir GBPP yang berbunyi" menceritakan
kembali sastra lisan atau tertulis cerita rakyat dari daerah sendiri atau
daerah lain yang telah dibaca atau didengar, kemudian membicarakannya", dapat dipenuhi oleh adanya dua buah cerita rakyat yang
berjudul "Lebih Baik berkata Jujur" dan "Karang Bolong". Sementara
itu, butir (GBPP) yang berbunyi "Membaca buku cerita yang sesuai
untuk anak, kemudian membicarakan hal-hal yang menarik" dapat
dipenuhi oleh sajian cerita "Teuku Umar".
Berkenaan dengan bahan ajar prosa, dalam kurikulum (GBPP
kelas 5) cawu 3, diprogramkan siswa dimita memperbaiki karangan
berdasar-kan saran teman atau guru, menceritakan kembali isi bacaan,
dan menyusun cerita bersama-sama. Materi menyusun cerita/karangan
bersama-sama disajikan dalam kegiatan kelima (pelajaran 1, tema:
transportasi, hlm. 14). Tugas yang diberikan telah diperhitungkan
dengan sungguh-sungguh, hal ini tampak pada pemilihan judul
karangan yang diperkirakan mampu ditulis oleh siswa: Stasiun Kereta
Api, Pemakai Jalan yang Baik, Manfaat Transportasi bagi Kita,
dan Transportasi di Daerahku. Imajinasi siswa untuk memilih salah
satu judul yang telah ditetapkan itu dibantu dengan menampilkan
ilustrasi beberapa gambar alat transportasi tradisonal dan modern,
meskipun penampilan ilustrasi itu diprioritaskan untuk pembelajaran
materi bahasa Indonesia. Materi tersebut di samping dimaksudkan agar
siswa terlibat dalam tukar pe-ngalaman penciptaan karangan, juga
merupakan upaya yang lebih jauh lagi memberikan kesempatan kepada
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 53

siswa untuk mengekspresikan diri dalam kegiatan menulis dan membacakan karya tulis.
Pembelajaran memperbaiki karangan dikenakan pada karangan
Cita-Citaku (pelajaran 3, tema: lapangan kerja, hlm. 46) dan Pantai
yang Indah (pelajaran 4, tema: kehidupan di laut, hlm. 55). Perintah
perbaikan yang diinstruksikan tidak banyak berkaitan dengan pemahaman terhadap sastra, tetapi lebih demi kepentingan materi pembelajaran bahasa Indonesia. Tugas yang diberikan untuk perbaikan
karangan Cita-Citaku adalah menuliskan kembali karangan dengan
ejaan yang baik dan benar. Jadi tidak ada kemungkinan bagi siswa
untuk untuk menambahkan imajinasinya, memasukkan pilihan katanya
sendiri ke dalam perbaikan karangan. Hal tersebut berbeda dengan
tugas yang diberikan untuk memperbaiki karangan Pantai yang Indah;
meskipun tetap terkait erat dengan bahasamemper-hatikan teknik
penulisan karangan maupun penggunaan tanda bacamasih ada
peluang bagi siswa untuk melatih mengembangkan imajinasi dan
berekspresi dengan kata-kata pilihannya sendiri; ini dapat dikaitkan
dengan tugas kedua: perbaikilah karangan tersebut agar menjadi
karangan yang baik!
Hasil pemantauan membuktikan pula bahwa bahan ajar sastra
dalam buku ajar itu seringkali diselewengkan. Misalnya, bahan ajar
yang terdapat dalam cawu 2 kelas 6 (pelajaran 6, tema: budi pekerti,
hlm. 109--111), yakni cerita Berdirinya Kerajaan Cahlang,
diselewengkan menjadi bahan ajar untuk pelajaran budi pekerti seperti
di bawah ini.
Kegiatan Lima
Bacalah cerita tentang budi pekerti berikut ini dengan saksama!
Berdirinya Kerajaan Cahlang
Pada zaman dahulu berdirilah Kerajaan Tampuh di Aceh.
Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja bernama Teuku Marali dan
permaisurinya yang bernama Cah Mah. Beliau memerintah Kerajaan
Tampuh dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya makmur sejahtera.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 54

Beliau mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Nini.
Kecantikannya sangat terkenal, bahkan di luar wilayah Kerajaan
Tampuh.
Pada saat itu hiduplah seorang pangeran yang bernama Cah
Saiman. Kerajaannya sangat besar dan kuat. Mendengar berita tentang
kecantikan Putri Nini, Cah Saiman ingin meminangnya. Sayang, Putri
Nini dan keluarganya tidak menyukai Cah Saiman. Cah Saiman seorang
pangeran yang angkuh dan tamak. Dia suka memukuli orang lain. Dia
selalu merendahkan derajat orang lain. Selain alasan tersebut, Putri Nini
memang telah mempunyai seorang kekasih. Dia bernama Gama Dewa.
Dia berasal dari kalangan rakyat biasa. Perkenalannya dengan Putri Nini
terjadi saat dia menyelamatkan Putri Nini yang terjatuh ke dalam Sumur
Muara Tujuh.
Suatu ketika, Gama Dewa akan dipukuli oleh Cah Saiman. Saat
itu Gama Dewa menasihati Cah Saiman tentang sifat kikir, tamak, dan
angkuh. Mendengar semua ini, Cah Saiman semakin murka. Untung
saja tindakannya dapat dicegah oleh salah seorang dayang Putri Nini.
Hubungan Putri Nini dengan Gama dewa diketahui oleh Cah
Saiman. Dia begitu murka. Dia memutuskan akan menggempur
Kerajaan Tampuh. Hati Teuku Marali menjadi risau dan gundah karena
rencana itu. Teuku Marali kemudian mengutus Tuanku Gampong, salah
seorang penasehat beliau, untuk membujuk niat Cah Saiman itu.
Seorang dayang Putri Nini pun berusaha membujuk Cah Saiman agar
tidak menuruti nafsu jahatnya. Sebagai akibatnya, dayang Putri Nini
dipenjara oleh Cah saiman. Dia tahu bahwa ucapan dayang itu seperti
ucapan Gama Dewa.
Bersamaan dengan itu, Teuku Marali memerintahkan para
pengawalnya untuk menangkap Gama Dewa. Beliau menganggap Gama
Dewalah penyebab keadaan gawat tersebut.
Akan tetapi Gama Dewa tidak dapat ditemukan. Bahkan di
Sumur Muara Tujuh, para pengawal justru berjumpa dengan utusan dari
Kerajaan Dewa. Utusan itu ingin berjumpa dengan Teuku Marali.
Teuku Marali diminta datang ke tempatnya. Dengan ditemani oleh
permaisuri, Putri Nini, penasihat, pengawalnya, Cah Saiman, Tuku
Marali datang ke Sumur Muara Tujuh. Mereka segera membicarakan
masalah yang dihadapi Kerajaan Tampuh itu.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 55

Ketika mereka sedang asyik membicarakan masalah ter-sebut,


tiba-tiba muncullah seorang pemuda tampan berjubah putih. Ia datang
dari semak-semak tempat persembunyiannya. Dia adalah Gama Dewa.
Dia telah berganti rupa setelah mencuci mukanya dengan air suci.
Utusan tersebut, yang bernama Tuanku Patih, segera menasihati
tentang ajaran-ajaran agama kepada mereka. Cah Saiman juga dinasihati
untuk menghentikan tindakan jahatnya. Cah Saiman menjadi marah. Dia
berusaha membunuh Tuanku Patih dengan rencongnya. Untunglah hal
itu dapat digagalkan Tuanku Patih. Beliau menjadikan tubuh Cah
Saiman kaku, tidak dapat bergerak.
Melihat keadaan Cah Saiman, Tuanku Patih segera menyembuhkannya. Beliau sadar bahwa perangai Cah Saiman masih dapat
diperbaiki. Justru sebaliknya. Cah Saiman malah mengamuk dan
berhasil membunuh Teuku Marali dan permaisurinya. Selang beberapa
saat Cah Saiman berhasil ditangkap. Sayang, saat dibawa ke kerajaan
untuk diadili, Cah Saiman bunuh diri.
Akhirnya, Putri Nini menikah dengan Gama Dewa. Gama
Dewalah yang kemudian memerintah Kerajaan Tampuh. Pusat kerajaan
itu kemudian dipindahkan ke tempat Teuku Marali dan permaisurinya
gugur. Kerajaan itu bernama Cahlang, dari kata cecah alang, yang
berarti memotong lalang.
Sumber: James Danandjaja, Cerita Rakyat dari
Sumatra, Grasindo, 1992

1. Ceritakan ciri-ciri, sifat-sifat, atau kebiasaan-kebiasaan para


pelaku cerita tersebut!
2. Diskusikan tema dan pesan yang terkandung dalam cerita
tersebut! Laporan hasilnya kepada gurumu!
3. Simpulkan isi cerita tersebut
4. Ceritakan kembali cerita tersebut dan bacalah di depan kelas!
Contoh di atas menunjukkan bahwa penyiapan materi pelajaran
sastra memang dapat mendatangkan berbagai segi. Di satu sisi siswa
ingin diperkenalkan dengan cerita rakyat, tetapi di sisi lain siswa diajak
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 56

untuk memasuki pelajaran budi pekerti. Harus diakui bahwa sastra


memang dapat menjadi bahan pelajaran budi pekerti, tetapi apakah
sudah pada tempatnya kalau pelajaran budi pekerti dicampur dengan
bidang studi lain. Dengan kata lain, pencampuran seperti itu sebaiknya
dapat di-tiadakan dalam studi sastra. Pernyataan ini didasarkan oleh
suatu penilaian bahwa studi sastra akan menjadi lebih apresiatif
seandainya lebih dikhususkan untuk mempelajari sastra daripada hanya
sebagai pelengkap bidang-bidang studi lain.
Salah satu tuntutan kurikulum (GBPP kelas 6) cawu 3 adalah
pembelajaran membaca cerita dan mencatat hal-hal yang penting. Buku
ajar ini mengabstraksikan tuntutan itu melalui bacaan Perpustakaan
Sekolah (pelajaran 1, tema: pendidikan, hlm. 2--4) dan Pepaya (pelajaran 4, tema: pertanian, hlm. 28--30). Tugas diberikan lebih berkaitan
dengan pemahaman anak terhadap perpustakaan dan bagaimana
mengembangbiakkan tanaman pepaya, tidak dalam rangka meningkatkan apresiasi anak terhadap bacaan naratif (karya sastra). Wacana
Pepaya bersifat teknis, berisi petunjuk (yang dilengkapi dengan
iluistrasi gambar) bagaimana mengembangbiakkan tanaman pepaya
dengan baikwacana tersebut diambil dari majalah Trubus (majalah
untuk petani/pengusaha pertaniaan). Meskipun demikian, masih ada
peluang bagi siswa untuk mengembangkan imajinasi dalam menulis
cerita lewat tugas menyusun kembali kedua cerita tersebut dan membacakannya di depan kelas.
Pada bagian yang lain, siswa diberi tugas mencari buku cerita
anak-anak di perpustakaan kemudian membacakannya di depan kelas
serta mengemukakan hal-hal yang menarik dari cerita yang dibacakan.
Tugas tersebut setidaknya mampu membuka cakrawala apresiatif anakanak terhadap buku cerita, setidaknya merupakan upaya untuk mendekatkan atau memperkenalkan karya sastra kepada anak-anak. Demikian
selintas tentang keberadaan bahan ajar prosa dalam buku ajar bahasa
Indonesia terbitan Intan Pariwara.
3.2.3 Drama
Hasil pemantauan menunjukkan bahwa keberadaan bahan ajar
drama dalam buku ajar terbitan Intan Pariwara, baik untuk kelas 5
maupun kelas 6, tidak mendapatkan tempat semestinya. Dalam sebagian
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 57

tema pembelajaran memang terdapat perintah agar siswa membaca,


memahami, atau mendra-matisasikan drama. Namun, drama yang
dimak-sudkan itu bukan drama dalam arti sesungguhnya yang berasal
dari naskah, melainkan hanya sebuah percakapan atau dialog yang
dalam buku itu disebut sebagai wacana.
Sebagai contoh, dalam pelajaran 2 cawu 3 (kelas 5) terdapat
wacana berjudul Oleh-Oleh dari Jawa Timur (hlm. 21--23) karya
Indah (1996). Wacana yang disajikan itu bukan naskah drama,
melainkan hanya sebuah percakapan. Itulah sebabnya, manakala
terdapat perintah atau tugas bacalah kembali wacana drama di muka,
apresiasi siswa terhadap struktur drama bukan merupakan tuntutan
dalam tugas yang diberikan karena siswa hanya diminta mengenali
materi atau persoalan yang diungkapkan lewat percakapan tersebut.
Dengan cara seperti di atas, di satu sisi memang pengembangan
imaji-nasi siswa dapat diberdayakan lewat tugas menceritakan kembali
percakapan tersebut dengan kalimat sendiri --sehingga ada upaya untuk
benar-benar memperkenalkan bentuk drama kepada siswa-- dan
kemudian mengubahnya ke dalam bentuk prosa. Namun, di sisi lain
pengubahan tersebut tentu merupakan tantangan yang tidak ringan bagi
siswa, terlebih karena sejak semula siswa tidak diberi rambu-rambu
bagaimana teori (cara atau teknik) mengubah bentuk dialog (drama) ke
bentuk naratif-deskriptif (prosa).
Kenyataan menunjukkan pula bahwa wacana yang dipergunakan
sebagai media pengajaran drama dalam buku-buku ajar tersebut seringkali tidak mengacu pada pelajaran sastra. Perhatikan contoh wacana
yang diberikan di kelas 6 cawu 2 (pelajaran 4, tema: pahlawan, hlm. 63-66) berikut ini.
A. Wacana: Pahlawan Wanita
Bacalah wacana berikut ini dengan seksama!
Cut Nyak Dien
Srikandi dari Aceh

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 58

Ketika liburan caturwulan pertama, Hasan dan Rini menghabiskan waktu liburan mereka di Yogyakarta. Mereka berlibur di rumah
Paman Hadi. Di Yogyakarta mereka banyak mengunjungi tempattempat bersejarah, misalnya Benteng Vredeberg. Mereka mengamati
diorama-diorama yang ada dalam benteng dengan penuh perhatian.
Hasan
: Paman, diorama ini mengisahkan perang apa?
Paman Hadi : Diorama ini mengisahkan perjuangan rakyat Aceh
mengusir Belanda dari Bumi Aceh, San.
Rina
: Paman, dalam diorama tersebut terlihat seorang wanita
memimpin perang. Siapa beliau?
Paman Hadi: Beliau adalah Cut Nyak dien. Paman akan bercerita
tentang sejarah perjuangan Cut Nyak Dienmemimpin
rakyat Aceh melawan Belanda. Begini ceritanya ....

Paman Hadi mulai menceritakan kisah perjuangan Cut Nyak


Dien dalam melawan Belanda.
Tidak ada catatan yang pasti tentang tahun kela-hiran Cut
Nyak Dien. Akan tetapi, berdasarkan catatan yang ada, beliau dilahirkan
di Lampadang, Aceh Besar, pada tahun 1850. Ayahnya bernama Nanta
Setia, seorang Ulebalang di VI Mukim. Cut Nyak Dien dinikahkan
dengan Ibrahim Lamnga.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 59

Pada waktu itu peperangan antara rakyat Aceh dengan Belanda


berkecamuk di mana-mana. Ketika daerah VI Mukim dikuasai Belanda,
Cut Nyak Dien ingin membantu suaminya dan ayahnya berjuang.
Karena harus merawat anaknya, beliau terpaksa berjuang di garis
belakang. Beliau banyak mengajar para wanita untuk mendidik anakanaknya agar mencintai negerinya. Hen-daknya para wanita juga ikut
serta membela tanah air.
Pada bulan Juni 1878 Ibrahim Lamnga gugur dalam
pertempuran. Ketika mendengar kabar kematian suami-nya tersebut
bertambah dendam dan bencilah Cut Nyak Dien kepada Belanda. Beliau
akhirnya turun ke medan perang. Cut Nyak Dien dan para pengikutnya
meng-adakan perlawanan secara bergerilya.
Pada tahun 1880 Cut Nyak dien menikah dengan Teuku Umar,
kemenakan ayahnya. dengan semangat membara dan perjuangan yang
gigih, Cut Nyak Dien dan Teuku Umar akhirnya dapat menguasai
kembali daerah VI Mukim. Empat tahun kemudian, Cut Nyak Dien
dinobatkan menjadi Ulebalang VI Mukim menggantikan ayahnya.
Beliau memegang tampuk pemerintahan dengan bijaksana dan
berwibawa. Selain itu, Cut Nyak Dien menyusun dan merencanakan
perlawanan terhadap Belanda. Beliau juga giat mengumpulkan
perbekalan dan senjata untuk pejuang Aceh.
Tahun 1899 Teuku Umar gugur dalam pertempuran. Rakyat
Aceh kembali kehilangan pemimpin. Cuk Nyak dien segera
menggantikan kedudukan Teuku Umar memimpin rakyat Aceh
melawan Belanda. Beliau ber-gerilya dengan menghadang patrolipatroli Belanda.
Enam tahun lamanya Cut Nyak Dien bergerilya. Bahan
makanan semakin sulit didapat. Makin lama kekuatan pasukannya
makin menipis. Kedudukan pasu-kannya semakin terdesak. Bersamaan
dengan meningkat-nya usia, kesehatan Cut Nyak Dien pun semakin
menurun. Matanya menjadi rabun dan tubuhnya semakin lemah. Akan
tetapi, semangat Cut Nyak Dien tidak mau menyerah meskipun banyak
ulebalang dan pemuka-pemuka Aceh menyerah kepada Belanda.
Pang Laot seorang panglima dan kepercayaan Cut Nyak Dien,
kagum akan tekad beliau. Akan tetapi, dia ti-dak dapat membiarkan Cut
Nyak dien meninggal perlahan-lahan dalam keadaan menyedihkan.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 60

Dengan diam-diam Pang Laot memberi tahu Belanda markas Cut Nyak
Dien. Bulan November 1905 Belanda menyerbu markas Cut Nyak Dien.
Ketika melihat markasnya diserbu Belanda, dengan sisa
tenaganya Cut Nyak Dien mencoba melawan Belanda. Beliau dibantu
oleh para pengikutnya. Karena kekuatannya sudah menurun, akhirnya
beliau tertang-kap. Kemudian, beliau dibawa ke Banda Aceh. Akhirnya,
beliau diasingkan ke Sumedang. Pada tanggal 6 Novem-ber 1908 Cut
Nyak Dien meninggal dunia dalam peng-asingannya.
Begitulah, riwayat Cut Nyak Dien. Beliau selalu berjuang
dengan semangat tinggi meskipun fisiknya sudah rapuh.
Hasan
: Sangat besar jasa dan pengorbanan Cut Nyak Dien.
Paman Hadi : Benar, Hasan! Berkat jasa dan perjuangan itu, Cut Nyak
Dien dianugerahi gelar pahlawan pejuang kemerdekaan.
Sekarang Indonesia telah merdeka. Kalian sebagai
generasi muda hendaknya meneruskan perjuangan
pahlawan kita!
Rina
: Bagaimana caranya, Paman
Paman Hadi: Salah satunya dengan belajar rajin dan berusaha
meneladani sikap dan tindakan para pahlawan itu.
Kutipan di atas dengan jelas menunjukkan topik tentang wacana
pahlawan wanita Cut Nyak Dien, Srikandi dari aceh. Satu-satunya
perintah di dalam topik tersebut hanyalah Bacalah wacana berikut ini
dengan seksama! dan tidak ditemukan perintah lain yang mengacu
pada pelajaran sastra (drama). Akan sangat bijaksana apabila pelajaran
(topik) serupa itu tidak dimasukkan ke dalam mata ajar sastra karena
topik serupa itu (tanpa perintah yang mengacu pada sastra drama) jelas
merupakan sesuatu yang tidak mendukung pelajaran sastra. Dialogdialog yang ada terlalu panjang dan lebih mengarah pada tujuan untuk
menjelaskan tentang keberadaan Cut Nyak Dien daripada dialog drama
yang selaras dengan tingkat pemahaman siswa.
Perlu dikemukakan di sini bahwa sebagai bagian penting dari
sejarah kesusastraan Indonesia, dalam kapasitas tertentu drama hendaknya tetap ditempatkan sebagai bagian pengajaran sastra secara komprehensif di sekolah. Oleh karena itu, kiranya hal tersebut perlu diperhatikan --tidak hanya oleh penerbit Intan Pariwara, tetapi juga penerbit
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 61

lain-- agar bahan ajar sastra jenis drama tidak ditempatkan sebagai
pelengkap atau hanya disisipkan pada topik lain yang kurang relevan
dengan mata ajar sastra.
Di samping hal tersebut, sudah waktunya pula siswa diberi bekal
pemahaman tentang pengarang-pengarang drama yang pernah ada dan
menjadi tonggak dalam sastra Indonesia seperti Usmar Ismail, Sanusi
Pane, B. Soelarto, dan sebagainya. Melalui metode yang sederhana dan
sesuai dengan tingkat penalaran siswa sekolah dasar, sudah sepantasnya
jika kesinambungan sastra drama dalam mata ajar di sekolah dasar terus
diperhatikan. Tentu kita tidak mengharapkan siswa buta terhadap perkembangan sejarah kebudayaannya (sastra drama) yang pada akhirnya
mengakibatkan siswa terasing dengan sejarah leluhurnya.
3.3 Buku Ajar Terbitan Tiga Serangkai
Buku ajar bahasa Indonesia berjudul Aku Cinta Bahasa Indonesia: Pelajaran Bahasa Indonesia karya Surana terbitan Tiga Serangkai (Sala, 1995) yang dibahas dalam pemantauan ini terdiri atas empat
jilid (dua jilid untuk kelas 5 [5a dan 5b] dan dua jilid untuk kelas 6 [6a
dan 6b]). Jilid 5a memuat pelajaran (kelas 5) cawu 1 dan sebagian cawu
2; jilid 5b memuat pelajaran cawu 3 dan sebagian cawu 2; jilid 6a
memuat pelajaran (kelas 6) cawu 1 dan sebagian cawu 2; dan jilid 6b
memuat pelajaran cawu 3 dan sebagian cawu 2. Seperti halnya buku ajar
bahasa Indonesia terbitan Intan Pariwara, buku ajar terbitan Tiga
Serangkai ini juga merupakan buku pelengkap. Artinya, buku ini
digunakan di sekolah juga hanya untuk melengkapi buku pelajaran
pokok terbitan Balai Pustaka. Adapun keberadaan sastra (puisi, prosa,
dan drama) dalam buku-buku ajar tersebut sebagai berikut.
3.3.1 Puisi
Hasil pengamatan memperlihatkan dengan jelas bahwa bahan
ajar sastra yang berupa puisi dalam buku-buku ajar terbitan Tiga
Serangkai cukup memadai. Kenyataan itu terlihat pada porsi bahan ajar
puisi yang disajikan dalam masing-masing buku ajar tersebut, baik
untuk kelas 5 maupun kelas 6, yang rata-rata disajikan lima kali per
tahun. Buku ajar jilid 5A menyuguhkan tiga kali pertemuan yang dalam
setiap kali pertemuan rata-rata disuguhkan satu sampai dua judul puisi;
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 62

sedangkan buku ajar jilid 5b menyuguhkan puisi dalam dua kali


pertemuan.
Secara keseluruhan, selama setahun siswa kelas 5 disuguhi sembilan buah puisi, yaitu satu buah puisi tradisional (pantun) dan delapan
buah puisi modern. Puisi tradisional yang berupa pantun jenaka
disajikan dalam pelajaran 6 (cawu 3, hlm. 52); sementara puisi-puisi
modern adalah: dua buah puisi berjudul Jerih Payah Pak Tani, tanpa
nama penulis, dikutip dari buku Bahasa Indonesia Pelajaran Bahasa,
tanpa penerbit dan tahun terbit, dan "Ki Hajar Dewantara" karya Sides
Sedyarto Ds. (pelajaran 2, cawu 1, hlm. 18--19); dua buah puisi berjudul
"Mandi, tanpa nama penulis, dan "Gembala" karya Muh Yamin
(pelajaran 6, cawu 1, hlm. 49--50); dua buah puisi berjudul Serangan
Umum 1 Maret 49 karya Sides Sedyarto Ds. dan "Kelinciku" karya
Isfandiari Maryam (pelajaran 9, cawu 2, hlm. 66 dan 70); satu buah
puisi berjudul "Sampan Tua" karya Widyawati, dikutip dari kumpulan
Sepatu Tua (pelajaran 6, cawu 3, hlm. 53); dan satu buah puisi berjudul
"Pahlawan Kecil", tanpa nama penulis (pelajaran 7, cawu 3, hlm. 61).
Dalam proses pengenalan siswa terhadap bahan ajar pantun, cara
yang dikedepankannya cukup baik. Langkah pertama, siswa disuguhi
dua bait pantun jenaka yang dilengkapi dengan gambar di sisi kanannya.
Setelah membaca dan mengamati pantun tersebut, siswa disuguhi
keterangan-keterangan tentang bentuk dan isi pantun seperti jumlah
larik dalam setiap bait, asonansi dan persajakan, sampiran dan isi, dan
nama jenis pantun. Setelah memahami tata cara penyusunan pantun,
siswa mulai dilatih untuk menyusun pantun.
Jika disesuaikan dengan tingkat pengalaman dan kemampuan
berpikir anak kelas 5 SD, bahan ajar pantun yang disuguhkan itu tampak
relevan. Kenyataan itu dapat dilihat dari pilihan tema dan bahasa yang
digunakannya. Bahasa yang digunakan sangat sederhana dan mudah
dipahami. Bahkan, isinya pun dekat dengan dunia anak, terutama anak
yang tinggal di pedesaan. Pertama-tama diperkenalkan pantun kepada
siswa. Sebelum melangkah masuk ke proses apresiasi, terlebih dulu
siswa diperkenalkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan bentuk
pantun seperti jumlah larik pada tiap bait, aturan metrum, dan isi.
Setelah memahami seluk beluk pantun, siswa kemudian diminta untuk
berlatih membuat pantun.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 63

Bagi yang terampil, tidaklah terlalu sulit bagi siswa untuk


menulis pantun yang sederhana karena pada umumnya pantun telah
memiliki aturan-aturan yang pasti. Adapun bahan ajar pantun jenaka -dilengkapi dengan keterangan-- yang diperkenalkan kepada siswa,
misalnya, seperti berikut ini (pelajaran 6, cawu 3, hlm. 52--53).
V. Menulis Pantun
a. Pantun Jenaka
Bintang kejora terbit di senja,
terbenam hampir tengah malam.
Heranlah hamba memikirkannya,
musang disepak induk ayam.

Lurus jalan ke Sawah Lunto,


keliling jalan Batu Sangkar.
Tegaklah tikus berpidato,
kucing mendengar habis bertengkar

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 64

Keterangan:
1. Puisi di atas terdiri atas 4 larik sebait.
2. Bunyi suku kata akhir larik pertama dan larik ketiga berima
atau bersajak.
3. Bunyi suku kata akhir larik kedua berima dengan suku kata
akhir larik keempat.
4. Isi puisi di atas terdapat pada larik ketiga dan keempat.
5. Larik pertama dan kedua disebut sampiran.
6. Puisi tersebut dinamakan pantun.
7. Karena isi pantun tersebut mengandung kejenakaan atau
kelucuan, maka dinamakan pantun jenaka.
b. Buatlah dua-tiga bait pantun yang isinya menyangkut
kehidupanmu (kehidupan anak)!
Seperti halnya sajian puisi tradisional, puisi-puisi modern yang
disajikan pun terasa sesuai dengan tingkat pengalaman dan daya nalar
anak-anak seusia kelas 5 sekolah dasar. Apalagi dunia yang ditampilkan
dalam puisi-puisi tersebut dekat dengan dunia anak-anak. Puisi berjudul
"Gembala", "Kelinciku", dan "Mandi", misalnya, agaknya mampu
meng-ingatkan siswa akan kehidupan di desa yang penuh dengan
kegem-biraan. Sementara itu, puisi berjudul "Jerih Payah Pak Tani" dan
"Sampan Tua" juga mampu mendorong jiwa dan perasaan siswa (anakanak) agar mereka peduli terhadap sesamanya. Puisi "Ki Hajar
Dewantara" dapat pula mendorong dan membangkitkan semangat anak
agar mereka rajin belajar dan mempunyai semangat juang seperti halnya
Ki Hajar Dewan-tara.
Dilihat dari cara pembelajarannya, tampak bahwa bahan ajar
puisi modern itu disajikan secara runtut sehingga terasa enak untuk
diikuti. Dalam topik Mengubah Bentuk Puisi Menjadi Bentuk Prosa
(pelajaran 1, cawu 1, hlm. 17--19), misalnya, sebelum diberi tugas,
siswa terlebih dulu diperkenalkan dengan pengertian puisi dan segi-segi
yang mem-bentuknya. Dengan keterangan serupa itu, paling tidak siswa
telah memiliki pengetahuan tentang apa sesungguhnya perbedaan antara
puisi dan prosa. Perintah pertama yang muncul adalah siswa diminta
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 65

untuk mengubah puisi ke dalam bentuk prosa, baik secara perorangan


atau kelompok. Perintah pertama dapat dikatakan cukup baik karena
dengan demikian siswa mulai dilatih untuk bekerja sama dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.
Perintah selanjutnya adalah siswa diminta untuk menulis puisi
yang sederhana dan mendeklamasikan puisi hasil ciptaanya itu di depan
kelas. Dalam upaya ini, siswa mulai dituntut aktif dalam hal penyusunan
puisi. Upaya ini merupakan salah satu cara yang baik untuk menumbuhkan jiwa dan nalar anak untuk aktif di dalam mengapresiasi sastra.
Bahkan, sebelum diperkenalkan lebih jauh tentang penulisan puisi,
siswa disuguhi beberapa keterangan yang berkaitan dengan bentuk puisi
seperti sanjak, bait, larik, dan persamaan bunyi (asonansi). Setelah dianggap paham tentang bentuk puisi, siswa kemudian disuguhi beberapa
pertanyaan yang berkaitan dengan bentuk puisi berikut ini.
JERIH PAYAH PAK TANI
Pak tani giat bekerja
mencangkul dan membajak sawah
mengalirkian air ke tiap petak
menaburkan benih ke pesemaian

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 66

Pak tani tak kenal lelah


Memelihara tanaman padi di sawah
Setiap hari pagi dan petang
Hujan panas tak dirasakan
Padi di sawah mulai menguning
Melambai-lambai ditiup angin
Butir padi penuh berisi
Bagaikan emas indah sekali
Melihat hasil tak kepalang
Jerih payah terasa hilang
Pak tani bersyukur kepada Tuhan
Harapan hidup tetap tenteram
Upaya yang menarik yang terdapat dalam perintah yang
disertakan dalam bahan ajar puisi tersebut adalah siswa diminta untuk
mendiskusikan dengan teman-temannya. Oleh sebab itu, di samping
aktif berpikir dan berimajinasi, siswa juga aktif berlatih untuk bekerja
sama dan berdiskusi dengan teman-temannya. Dengan cara berdiskusi
itu, siswa mulai menyadari betapa pentingnya bekerja sama. Selain
berlaku untuk bahan ajar puisi yang berjudul Jerih Payah Pak Tani
(hlm. 18), hal yang sama berlaku pula bagi bahan ajar puisi yang
berjudul Mandi dan Gembala (pelajaran 6, cawu 1, hlm. 49--50)
berikut ini.
VI. Memahami dan Mendeklamasikan Puisi
MANDI
Berkilauan air sungai
jernih bersih di sinar pagi
beriak ria air berseri
terhias alam cerah permai
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 67

Bersuka ria kita ke sana


bermandi-mandi sesuka hati
bersama-sama kawan sekampung
bersenang-senang asyik kecimpung
O, sungai indah sungai di kampung
airmu mengalir dari gunung-gemunung
gemericik bagai bersenandung
memuja penciptanya Yang Agung

a. Bacalah puisi di atas baik-baik!


Perhatikan penjelasan di bawah ini!
1. Karangan di atas disebut puisi atau sanjak.
2. Puisi di atas terdiri atas tiga kelompok.
3. Tiap kelompok dalam puisi disebut bait.
4. Tiap bait terdiri atas 4 larik atau baris.
5. Bunyi suku kata pada akhir larik ada yang sama.
Misalnya: sungai dengan permai
pagi dengan berseri
sekampung dengan kecimpung
Persamaan bunyi dua buah kata seperti contoh di atas
disebut sajak.
6. Sekarang kata sajak sering sama artinya dengan puisi atau
sanjak.

b. Perhatikan pula puisi berikut ini!


GEMBALA
Perasaan siapa tidakkan nyala
Melihatkan anak berlagu dendang
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 68

Seorang sahaja di tengah padang


Tiada berbaju buka kepala

Beginilah nasib anak gembala


Berteduh di bawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah di senja kala
Jauh sedikit sesayup sampai
Terdengar olehku bunyi serunai
Melagukan alam nan molek permai
Wahai gembala di segara hijau
Mendengar puputmu, menurutkan kerbau
Maulah aku merunutkan dikau.
(Muh Yamin)
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 69

Jawablah!
1. Puisi Gembala terdiri atas berapa bait?
2. Sebutkan jumlah larik setiap bait!
3. Sebutkan beberapa pasang kata yang bersajak!
4. Berapa jumlah larik puisi di atas?
5. Adakah kata-kata yang tidak kamu ketahui artinya?
Kalau ada, carilah arti kata itu dalam kamus!
c. Diskusikan dengan temanmu pesan yang terdapat dalam puisi
tersebut!
d. Deklamasikan puisi Gembala di depan kelas!
Setelah melihat contoh bahan ajar puisi yang disuguhkan di atas, dapat
dikatakan bahwa bahan ajar puisi dalam buku ajar bahasa Indonesia
kelas 5 terbitan Tiga Serangkai cukup baik dan agaknya mampu
mendukung tujuan pengajaran apresiasi sastra di sekolah dasar.
Seperti halnya bahan ajar puisi untuk kelas 5, bahan ajar puisi
untuk kelas 6 pun cukup memadai. Selama setahun siswa kelas 6
disuguhi enam buah puisi. Tiga buah puisi yang terdapat dalam buku
ajar jilid 6a adalah "Pengemis" karya A. Hasjmy, dikutip dari buku
Dewan Sajak (pelajaran 3, cawu 1, hlm. 25); "Sawah" karya Sanusi
Pane, dikutip dari buku Puspa Mega (pelajaran 4, cawu 1, hlm. 32); dan
"Hasil Tabunganku" karya Widyawati, dikutip dari buku Sepatu
Raksasa (pelajaran 6, cawu 1, hlm. 49). Ketiga puisi tersebut termasuk
jenis puisi modern. Sementara itu, tiga puisi lain yang terdapat dalam
buku jilid 6b adalah satu buah puisi tradisional (pelajaran 5, cawu 3,
hlm. 41) dan dua buah puisi modern, yaitu berjudul "Sawah" karya A.
Hasjmy (pelajaran 6, cawu 3, hlm. 48--49) dan "Alam Desaku" karya
Dessy Herlina, dikutip dari Mentari (Juni 1993) (pelajaran 8, cawu 3,
hlm. 65).
Setelah diamati secara seksama dapat dikatakan bahwa sebagai
bahan ajar sastra, sebagian besar puisi (modern dan tradisional) di atas
sesuai pula dengan tingkat pengalaman dan daya pikir siswa. Secara
sepintas hal tersebut dapat dilihat dari nama-nama judul puisi yang
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 70

dipilihnya. Di samping itu, isi yang terkandung di dalam puisi tersebut


juga selalu berkaitan dengan dunia anak karena sesuatu yang ditampilkannya berhubungan dengan pemupukan rasa kemanusiaan, pendidikan, dan kecintaaan terhadap alam dan lingkungan. Puisi berjudul
"Pengemis", misalnya, mengandung pesan agar anak selalu peduli
dengan masyarakat sekitar yang kurang mampu. Puisi berjudul Hasil
Tabunganku juga menyarankan agar anak-anak (siswa) selalu hemat
dan rajin menabung
Ditinjau dari segi perintah dan tugas-tugas yang disertakan
dalam bahan puisi tersebut, siswa agaknya tidaklah terlalu kesulitan
untuk menjawab dan melaksanakannya. Perintah-perintah dan tugas itu
antara lain membaca, menghapalkan, menafsirkasn isi, memahami
makna yang terkandung di dalamnya, dan mendeklamasikan puisi di
depan kelas. Namun, ada beberapa hal yang perlu dikaji ulang, misalnya
berkaitan dengan puisi berjudul "Sawah" karya Sanusi Pane. Dari sisi
tertentu bahasa yang digunakan untuk membangun puisi itu agak sulit
bagi siswa. Bila siswa diminta untuk memberikan kesan dan tanggapan
terhadap makna yang terkandung dalam puisi tersebut, setidaknya siswa
harus mengetahui dulu makna puisi tersebut. Untuk mengetahui makna
puisi, siswa terlebih dulu harus dapat memahami makna kata-kata dan
bahasa puisi tersebut. Berikut kutipan puisi "Sawah" karya Sanusi Pane
yang dilengkapi dengan perintah dan tugas yang harus dikerjakan siswa.

VI. Memahami dan Menanggapi Isi Puisi

a. Bacalah baik-baik puisi di bawah ini!

SAWAH
Sawah di bawah emas padu
Padi melambai, melalai terkulai
Naik suara salung serunai
Sejuk didengar, mendamaikan kalbu
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 71

Sungai bersinar, menyilaukan mata,


Menyemburkan buih warna pelangi.
Anak mandi bersuka hati
Berkejar-kejaran, berseru gempita.

Langit lazuardi bersih sungguh,


Burung elang melayang-layang,
Sebatang kara dalam udara.
Desik-berdesik daun buluh,
Dibuai angin dengan sayang,
Ayam berkokok sayup suara.

Dari Puspa Mega Sanusi Pane


Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 72

Keterangan:
- salung
: suling pendek
- serunai
: bunyi-bunyian yang ditiup terbuat dari kayu
- lazuardi
: warna biru muda seperti warna langit
b. Diskusikan mengenai isi sanjak di atas!
Ungkapkan secara tertulis isi sanjak tersebut dengan kalimat
bebas, melalui pencatat diskusi kelompok masing-masing!
c. Berikan kesan, pendapat, maupun tanggapan mengenai bentuk
dan isi sanjak di atas! Dari segi bentuk dapat kamu kemukakan mengenai penggunaan kata, bait, persamaan bunyi, dan
irama.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah suguhan bahan ajar
sastra tradisional yang berupa pantun. Bahan ajar pantun yang disajikan
dalam pelajaran 5, cawu 3 (hlm. 41) itu tidak disertai lagi dengan
penjelasan-penjelasan mengenai teori penyusunan pantun, tetapi pantun
langsung dijabarkan dan siswa langsung diminta untuk memahami dan
meng-apresiasi. Penyajian demikian agaknya memang wajar karena
teori tentang pantun dengan segala aturannya telah dijelaskan dalam
buku ajar kelas 5. Kendati demikian, barangkali akan lebih baik jika hal
tersebut (teori pantun) disertakan pula --meski hanya selintas-- karena
dengan demikian siswa diingatkan kembali mengenai hal itu. Atau,
setidaknya, sebelum melakukan pemahaman lebih jauh, guru terlebih
dulu menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan pantun.
Setelah diadakan pengamatan secara keseluruhan terhadap bahan
ajar puisi yang terdapat di dalam buku ajar terbitan Tiga Serangkai,
dapat dinyatakan bahwa secara garis besar bahan ajar sastra yang berupa
puisi terasa cocok dan sesuai dengan kemampuan, pengalaman, dan
pola pikir anak. Hanya saja, bahan ajar puisi itu belum lengkap karena
tidak mencakupi keseluruhan genre puisi (modern dan tradisional) yang
ada dalam sejarah perkembangan puisi Indonesia.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 73

3.3.2 Prosa
Data membuktikan bahwa bahan ajar prosa yang terdapat dalam
buku ajar bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai cukup dominan.
Bahan ajar prosa itu secara umum terdiri atas dua jenis, yaitu prosa
modern (berupa cerpen) dan prosa tradisional (berupa cerita rakyat,
dongeng, legenda). Bahan ajar prosa modern yang berupa cerpen antara
lain "Menaklukkan Gunung Panggung" karya Trim Sutija (pelajaran 3,
kelas 5, cawu 1, hlm. 30--31), "Latihan Terjun" karya Trim Sutija
(pelajaran 9, kelas 6, cawu 1, hlm. 71--72), Berbantah Sendiri karya
Sujono H. R. (pelajaran 3, kelas 5, cawu 2, hlm. 29--30), Jambu Pak
Mulkan karya Sujono H. R. (pelajaran 8, kelas 5, cawu 3, hlm. 68--69),
"Burung Perkutut Putih" karya Trim Sutedja (pelajaran 7, kelas 6, cawu
2, hlm. 54--56); dan "Berebut Jamur" karya Sujana H. R. (pelajaran 2,
kelas 6, cawu 2, hlm. 17--18), dan sebagainya. Sementara itu, bahan ajar
prosa tradisional yang berupa cerita rakyat atau dongeng di antaranya
"Batu Badaon" (pelajaran 2, kelas 5, cawu 1, hlm. 19--20), "Terjadinya
Gunung Batok" (pelajaran 2, kelas 6, cawu 1, hlm. 17--18), Putri Pinang
Masak" (pelajaran 9, kelas 6, cawu 2, hlm. 69--70), "Si Tupai dan Si
Raun" (pelajaran 4, kelas 6, cawu 3, hlm. 32--33), "Terjadinya Danau
Toba" (pelajaran 7, kelas 6, cawu 3, hlm. 55--57), dan sebagainya.
Setelah diadakan pengamatan terhadap masing-masing cerita
pendek dalam buku ajar tersebut, dapat dikatakan bahwa secara umum
bahan ajar yang disajikan cukup baik dan sesuai dengan tingkat
pengalaman dan daya imajinasi anak-anak. Jika dikaitkan dengan dunia
anak-anak, objek yang disampaikan melalui bahan ajar tersebut tampak
sangat cocok dan serasi. Objek-objek yang dipilih seperti mendaki
gunung dalam "Menaklukkan Gunung Panggung", berebut layanglayang dalam " Latihan Terjun", mencari buah jambu di waktu subuh
dalam "Jambu Pak Mulkan", dan mengetapel burung dalam "Burung
Perkutut Putih" adalah pekerjaan (mainan ) anak-anak yang sangat
menyenangkan dan mengasyikkan. Anak-anak, lebih-lebih di pedesaan,
akan merasa sangat senang jika disuguhi cerita-cerita yang sesuai
dengan selera mereka. Sementara itu, anak-anak di perkotaan lebih
senang mendaki gunung secara bersama-sama di waktu liburan tiba.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 74

Kecuali objek-objek yang disuguhkan sesuai dengan kehidupan


keseharian anak-anak, isi dalam cerita-cerita tersebut juga banyak
mengacu pada usaha-usaha pembinaan moral. Hal itu sangatlah tepat
karena terhadap anak-anak kita tidak dapat melepaskan diri dari
masalah pembinaan moral. Hampir semua cerpen yang disuguhkan
dalam buku ajar terbitan Tiga Serangkai mengacu pada pembinaan
moral. Misalnya, cerpen "Jambu Pak Mulkan" mengajarkan agar anakanak tidak mudah mencurigai orang lain karena berprasangka buruk
merupakan perbuatan tidak terpuji; cerpen "Berbantah Sendiri"
memberikan ajaran agar anak-anak senantiasa berkata jujur; dan cerpen
"Menaklukkan Gunung Pang-gung" dan "Berebut Jamur" mengajarkan
agar anak selalu hidup rukun. Sementara itu, cerpen "Burung Perkutut
Putih" memberi pelajaran ke-pada anak-anak agar mereka cinta kepada
sesama makhluk hidup, termasuk binatang.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum bahasa
yang digunakan untuk membangun cerpen-cerpen tersebut relatif
sederhana. Oleh sebab itu, sebagai bahan ajar sastra di tingkat sekolah
dasar, cerita-cerita tersebut mudah dipahami siswa. Selain itu, dilihat
dari sisi strukturnya, cerpen-cerpen tersebut juga sederhana, dalam arti
watak tokoh yang ditampilkan statis, alur cerita lurus, latar dekat dengan
lingkungan keseharian anak, akhir cerita bahagia, dan sebagainya.
Berikut ini contoh bahan ajar cerpen yang disajikan dalam buku ajar
kelas 5 (pelajaran 3, cawu 2, hlm. 29--30).

VI. Membicarakan Hal-Hal Menarik dari Sebuah Cerpen


a. Baca baik-baik cerpen di bawah ini!

BERBANTAH SENDIRI

Sin, daripada habis dimakan kecoak, majalah-majalah dan


koran lama ini nanti siang kaubenahi. Bawa ke Pasar Mencos, lumayan
kalau dapat seliter dua liter beras! kata paman sebelum berangkat ke
kantor tadi pagi.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 75

Sepulang dari sekolah dan sehabis makan, perintah paman tadi


segera kukerjakan. Rak buku itu kubongkar. Buku-buku yang sekira
penting kusisihkan. Majalah-majalah dan koran-koran lama kutumpuk
jadi satu. Kuikat erat-erat.
Kukira ada lima kilo beratnya, Sin! kata bibi ketika melihat
aku akan berangkat ke Pasar Mencos.
Sampai di tempat yang kutuju, barang yang kubawa segera
ditimbang. Di luar dugaanku, ternya-ta ada sembilan setengah kilo
semuanya.
Enam kilo maja-lah, seratus dua puluh. Korannya tiga setengah
kilo, delapan puluh tujuh setengah! kata Pak Jang-kung pemilik toko
sambil menyerahkan uang.
Sambil berjalan pu-lang terjadilah perban-tahan dalam hatiku.
Katakanlah bahwa semuanya cuma enam kilo! Bibi dan
pamanmu toh tidak akan tahu, kata suara yang muncul dalam hatiku.
Hei, uang itu untuk membeli beras nantinya. Ingat, sekarang
tanggal tua. Sebaiknya kauserahkan saja semuanya! suara lain
membantah.
Bodoh, tolol! Kau tidak ingin menikmati soto babad warung
Pak Somad! Juga rambutan aceh lebak yang menor-menor di kedai
buah-buahan Pak Ilyas?
Jangan begitu, sin! Kalau kau butuh uang, minta saja terus
terang kepada bibi atau pamanmu.
Aku berhenti di depan warung Pak Somad. Air liurku seakanakan menetes melihat orang-orang yang tengah menikmati soto Pak
Somad yang terkenal murah dan lezatnya itu.
Repot-repot, Sin! Ambil saja yang dua puluh lima, selebihnya
kauserahkan kepada bibimu!
Aku tersenyum lebih condong kepada usul ini. Lalu kupisahkan
selembar dua puluh lima ke dalam saku celana, sedang selebihnya tetap
di dalam saku baju.
Tidak baik perbuatanmu itu, Sin! suara hatiku kembali
nyeletuk.
Ah, itu tidak apa-apa. Anggap saja itu sebagai upah jerih
payahmu!
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 76

Aku menghela napas dalam-dalam sambil bergegas pulang.


Laku berapa, Sin? tegur bibi setelah aku tiba di rumah.
Jantungku berdegup keras.
Kau harus menyerahkan semuanya, kata hatiku.
Dua puluh lima cukup untuk membeli soto babad dan
rambutan, bantah suara yang lain.
Laku ... laku ... dua ratus tujuh setengah, Bi! terlontar katakataku yang gugup.
Lalu berangsur debar jantungku terasa normal kembali. Uang
kuserahkan. Bibi tersenyum puas. Dan aku tersenyum menang. Urung
menjadi pencuri.
Sorenya, ketika aku mau belajar ke rumah Marsam, bibi
memasukkan beberapa lembar uang ke dalam saku bajuku.
Jangan terlalu malam nanti pulangnya, Sin! pesan bibi.
Di tengah jalan, dengan hati berdebar kuambil uang pemberian
bibi.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 77

Tiga puluh rupiah, gumamku sambil mempercepat langkah.


Dan pulang dari rumah Marsam aku membeli dua buah buku
tulis dan seikat rambutan.
(Sujono H. R.)
b. Baca dalam hati bacaan di atas!
Kemudian jawablah pertanyaan di bawah ini!
1. Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan ketika
menerima uang yang jumlahnya di luar dugaan?
2. Pernahkah kamu ingin mengambil milik orang lain?
Bagaimana perasaanmu ketika itu?
3. Bagaimana perasaanmu terhadap bibi dan aku?
4. Pernahkah kamu melihat orang sedang menikmati soto babad
atau makanan lain? Perasaan apa yang muncul pada dirimu
ketika itu?
5. Bagaimana perasaanmu ketika kamu dapat mengalahkan niat
atau suara hatimu yang kurang baik?
c. Biacarakan bersama hal-hal yang menarik dari cerpen di
atas, kemudian laporkan secara lisan atau tertulis.
Ada kecenderungan bahwa beberapa pertanyaan yang disertakan
dalam bahan ajar prosa modern tidak mendukung apresiasi sastra karena
pertanyaan-pertanyaan itu sering keluar dari konteks cerita yang
disajikan. Hal itu terlihat jelas dalam contoh di atas. Dari sisi tertentu
memang beberapa pertanyaan yang diajukan mudah dijawab, tetapi di
sisi lain hal itu terlalu dibebani oleh tendensi-tendensi pragmatis.
Tendensi pragmatis agaknya memang penting bagi siswa sekolah dasar,
tetapi dalam kaitannya dengan pengajaran sastra, hal itu bukanlah tujuan
utama karena tendensi-tendensi pragmatis --demi etika atau moral-sesungguhnya lebih tepat apabila dibebankan ke pelajaran lain, bukan
pelajaran sastra.
Kenyataan menunjukkan pula bahwa bahan ajar sastra
tradisional yang berupa cerita rakyat, dongeng, atau legenda, baik untuk
kelas 5 maupun kelas 6, memiliki kecenderungan yang sama dengan
bahan ajar prosa modern seperti di atas. Pada umumnya prosa-prosa
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 78

tradisional yang disajikan juga sesuai dengan tingkat pengalaman dan


daya imajinasi anak-anak. Objek-objek yang disuguhkan dalam ceritacerita itu sangat menarik karena berhubungan dengan suatu pengetahuan
mengenai asal-usul kejadian suatu daerah, misalnya daerah Ternate,
Jawa Timur, Jambi, dan Sumatra. Di samping objek-objeknya menarik,
cerita-cerita yang ditampilkan juga mengandung makna atau amanat
bagi pendidikan dan atau pembinaan moral, mental, dan spiritual siswa.
Kendati demikian, ada satu hal yang perlu dicatat bahwa bahan
ajar prosa tradisional yang disajikan dalam buku-buku ajar itu kurang
variatif. Hal itu dapat dilihat dari adanya kemiripan antara cerita yang
satu dengan cerita lainnya. Misalnya, cerita rakyat "Batu Badaon" di
Ternate mirip dengan cerita rakyat "Si Malim Kundang" di Sumatra.
Selanjutnya, separuh dari cerita yang terakhir itu juga mirip dengan
cerita "Jaka Tarup" di Jawa Tengah. Cerita Rakyat yang berjudul "Terjadinya Gunung Batok" mirip dengan cerita rakyat "Bandung
Bandawasa" di Prambanan.
Seperti telah dikatakan bahwa bahan ajar cerita-cerita tradisional
yang disajikan sebagian besar ditekankan pada upaya pembinaan moral
dan sosial siswa. Hal itu terlihat pada nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Cerita rakyat "Batu Badaon", misalnya, memberikan pelajaran agar anak tetap mencintai kedua orang tuanya meskipun orang
tuanya hanya seorang miskin. Nilai kejujuran dan ketaatan pada orang
tua perlu juga ditanamkan kepada siswa, yang hal itu tersirat juga dalam
cerita "Batu Badaon" dan "Terjadinya Danau Toba". Cerita "Batu
Badaon" mengisahkan bahwa tokoh anak (Matia) tidak menaati pesan
ibunya (Bunameni); dan karena itu ia mendapat celaka. Demikian juga
yang terjadi dalam cerita "Terjadinya Danau Toba". Gara-gara si ayah
tidak menghiraukan pesan istrinya, ia memperoleh balasan, yaitu
tenggelam di danau Toba. Berikut ini contoh bahan ajar prosa
tradisional yang disajikan dalam pelajaran 4, cawu 3, kelas 6, hlm. 32-33.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 79

VI. Pelajaran dari Sebuah Cerita


a. Baca baik-baik cerita rakyat di bawah ini!
SI TUPAI DAN SI RAUN
Seekor tupai bersahabat dengan seekor ikan besar merayap.
Keluarga kedua hewan itu hidup rukun tolong-menolong, berkasihkasihan, bergotong-royong dengan kesetiaan besar pada satu sama lain.
Pada suatu hari istri si Tupai jatuh sakit, dan dokternya mengatakan
bahwa obat baginya adalah telur ayam.
Wahai, telur ayam! Dari mana dapat memperolehnya?

Dengan wajah yang amat sedih pergilah si Tupai kepada Si


Raun, ikan sahabatnya itu, lalu diceritakannya hal kesediaannya itu.
Seketika si Raun terdiam berpikir, kemudian ia berkata,
Saudara tak usah sedih-sedih demikian. Aku akan membawa telur
ayam itu kepada istri Saudara.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 80

Maka pulanglah si Tupai dengan harapan besar sekali akan


pertolongan sahabatnya itu. Dan apakah yang diperbuat oleh si Raun?
Ketika seorang wanita, seperti biasa datang dengan periannya
mengambil air dari sungai, tempat sarang si Raun itu, maka lekas-lekas
ikan-ikan itu masuk ke dalam perian itu.
Maka pergilah wanita itu pulang ke rumahnya membawa perian
berisi ikan Raun itu, dan seperti saban hari dilakukannya, perian itu
disandarkannya pada dinding rumah, dekat tempat seekor ayam betina
bertelur.
Keluarlah si Raun itu dari perian lalu mengambil sebutir telur
dari tempatnya.
Sesudah itu si Raun merayap kembali ke dalam perian yang
sudah hampir kosong itu, yang kemudian dibawa oleh wanita tadi
kembali ke sungai untuk mengambil air.
Demikianlah si Raun, sekembalinya di sungai, lekas-lekas
mendapatkan si Tupai dengan membawa telur pengobatan istri
sahabatnya yang sakit itu.
Kini, betapa berutang budi si Tupai pada si Raun, yang dengan
penuh bahaya merebut telur itu.
Pada suatu hari, tiba giliran pada si Raun, menderita kesedihan
yang sama seperti sahabatnya itu. Adapun istri si Raun sakit keras, ...
dan Bapak Dokter menyatakan bahwa hanya hati buaya yang dapat
mengobatinya.
Dengan hati yang berdebar-debar, sangat sedih si Raun
mendapati sahabatnya si Tupai itu.
Maka jawab si Tupai, sesudah berdiam berpikir sejurus, Aku
akan dapat merebut hati buaya itu untuk istri Saudara yang sakit itu.
Pergilah si Raun dengan hati terhibur, penuh harapan pada istrinya.
Adapun di sungai dekat sarang si Raun itu hidup juga seekor
buaya.
Di pinggir sungai itu tumbuh sebuah pohon kelapa yang
berbuah.
Sebutir kelapa yang masih muda dilubangi oleh si Tupai itu,
dengan lubangnya yang cukup besar guna memungkinkan si Tupai itu
merayap ke dalam buah kelapa itu, ... dibuatnya selaku tempat
penginapannya. Ketika dilihatnya buaya terapung di sungai tepat di
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 81

bawah buah itu, maka dikerat si Tupai itu batang tali pusat penghubung
buah itu dari mayangnya, dan ... jatuhlah buah itu ke sungai, di depan
buaya terapung itu.
Dengan cepatnya buaya itu menelan buah kelapa berisikan si
Tupai. Setiba buah kelapa itu di hulu hati si Buaya, maka dengan segera
keluarlah si Tupai dari liang buah kelapanya itu, lalu dikeratnya hati
buaya itu sekaligus. Dengan kesakitan yang amat sangat, si Buaya
menggelepar-gelepar, mengacau air sungai dengan hebatnya, tetapi tak
lama kemudian matilah buaya itu. Lalu keluarlah si Tupai dari liangnya,
dari mulut buaya itu, kemudian membawa hati buaya kepada sahabatnya
si ikan Raun itu untuk pengobat istrinya yang sakit.
Demikianlah budi dibalas dengan budi juga, dengan pengorbanan dan usaha kepahlawanan, keberanian luar biasa, dengan taruhan
nyawa.
Dari Cerita Rakyat V

b. Kamu dapat membuat ikhtisar bacaan di atas dengan


menentukan pikiran pokok setiap paragraf. Buatlah ikhtisar
bacaan di atas.
c. Pelajaran apa yang dapat dipetik dari cerita di atas?
Diskusikan pesan yang terdapat dalam cerita tersebut!
d. Bacalah cerita rakyat yang lain, lalu laporkan secara tertulis!
Misalnya:
1. Pak Belalang
2. Pak Kodok
3. Asal Mula Pelangi
4. Terjadinya Candi Prambanan
5. Asal Mula Jagung Bertongkol

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

6. Lok Si Naga
7. Ciung Wanara
8. Raden Rangga
9. Keong Emas
10. Angkaro & Tunturana

Page 82

Sebagai bahan ajar sastra di sekolah dasar, contoh prosa (cerita)


di atas cukup baik. Dengan suguhan cerita itu, selain memperoleh
hiburan, siswa juga akan memperoleh pesan atau amanat yang
berhubungan dengan nilai sosial. Namun, agaknya ada beberapa hal
yang menyimpang jika melihat beberapa pertanyaan dan tugas yang
diberikan kepada siswa. Pertanyaan-pertanyaan itu --seperti terjadi juga
bagi prosa modern-- jelas tidak mengarah ke apresiasi, terutama yang
berkaitan dengan persoalan estetika sastra. Terlihat jelas bahwa tugas
(b) hanya membuat ikhtisar, yaitu meringkas cerita. Hal ini barangkali
akan mubazir karena cerita itu sudah begitu pendek. Sementara itu,
pertanyaan (c) juga hanya menuntut siswa untuk mengetahui pesan -padahal pesan itu sangat subjektif dan bervariasi-- dan tidak menuntut
siswa untuk mencari dan memahami bagaimana munculnya pesan itu.
Sampai pada tahap ini seharusnya siswa diajak untuk secara bertahap
memahami bagaimana tokoh, watak, jalan cerita, dan sebagainya, baru
kemudian menyimpulkan pesan yang mungkin dapat dipetik dari proses
pemahaman unsur-unsurnya itu.
Di satu sisi, sehubungan dengan perintah (d), yaitu membaca
dan melaporkan 10 buah cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia,
memang perintah itu memungkinkan siswa untuk lebih dinamis dan
kaya wawasan, tetapi di sisi lain hal itu bukanlah dalam konteks
pembelajaran cerita Si Tupai dan Si Raun sehingga upaya apresiasi
terhadap cerita itu tertinggalkan. Dan pertanyaan (d) itu hanya mungkin
diberikan kepada siswa untuk tugas rumah yang cukup lama.
Demikianlah antara lain keberadaan sastra prosa dalam bukubuku ajar bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai. Dari pengamatan
secara agak menyeluruh akhirnya dapat dikatakan bahwa prosa-prosa
(modern dan tradisional) yang dipergunakan sebagai bahan ajar kelas 5
dan 6 siswa sekolah dasar cukup memadai. Hanya saja, prosa-prosa itu
sering-kali hanya dipergunakan sebagai bahan ajar bagi kepentingan
lain, di antaranya untuk kepentingan pengajaran bahasa, pengajaran
budi pekerti, moral, dan sebagainya, bukan bagi kepentingan pengajaran
apresiasi sastra. Namun, sesuai dengan statusnya sebagai buku pelengkap, buku-buku ajar ini cukup representatif terutama dalam hal penyediaan bahan atau materi sastra.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 83

3.3.3 Drama
Seperti halnya puisi dan prosa, keberadaan drama dalam buku
ajar bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai, baik untuk kelas 5
maupun kelas 6, juga cukup memadai. Beberapa (naskah) drama yang
disajikan dalam buku ajar itu antara lain berjudul "Terjebak" karya F. X.
Surana (pelajaran 5, kelas 5, cawu 1, hlm. 43--44); Si Kabayan Banyak
Utang (pelajaran 1, kelas 5, cawu 2, hlm. 14--16); "Damai Di Hari
Lebaran" karya F. X. Surana (pelajaran 5, kelas 5, cawu 3, hlm. 44--46);
Keluarga Mak Ijah karya F. X. Surana dan "Kerbau Dikatakan
Kambing" (pelajaran 1, kelas 6, cawu 1, hlm. 10--11); fragmen drama
Nyaris Terjadi Pembantaian" karya F. X. Surana (pelajaran 8, kelas 6,
cawu 2, hlm. 64); "Gugurnya Si Singamangaraja XII (pelajaran 1, kelas
6, cawu 2, hlm. 7--9); dan fragmen drama Warna" karya Mansur
Samin (pelajaran 3, kelas 6, cawu 3, hlm. 23--26).
Jika disesuaikan dengan kurikulum SD kelas 5 dan 6, bahan
ajar drama yang disuguhkan dalam buku ajar dapat dikatakan melebihi
target karena dalam hampir setiap catur wulan terdapat bahan ajar
drama. Dalam GBPP kelas 5 disebutkan bahwa drama hanya
diprogramkan pada cawu 3. Itulah sebabnya suguhan bahan ajar drama
pada cawu 1 dan 2 merupakan nilai tambah (plus) bagi buku ajar
tersebut. Hal ini berbeda dengan GBPP kelas 6. Dalam GBPP kelas 6
disebutkan bahwa drama diprogramkan pada cawu 3, tetapi buku ajar
kelas 6 justru menyuguhkan drama pada cawu 1 dan 2. Kendati
demikian, hal ini tidaklah menjadi masalah karena --sebagaimana
disebutkan dalam GBPP-- guru memiliki kebebasan penuh untuk
mengatur tat urutan bahan ajar.
Ditinjau dari segi bobotnya, dapat dikatakan bahwa dramadrama tersebut umumnya sesuai dengan kemampuan dan daya pikir
anak-anak seusia kelas 5 dan 6. Secara umum dapat dikatakan bahwa
drama-drama tersebut selain menentingkan segi humor juga
mengandung pesan moral. Drama berjudul "Terjebak", misalnya, secara
lucu mengisahkan dua anak berusia kira-kira 10 tahun yang
terperangkap oleh serdadu Belanda. Setelah diinterogasi oleh serdadu
Belanda, dengan lugu mereka berkata bahwa di desanya banyak
pasukan republik yang berkeliaran. Hal serupa terdapat juga dalam
drama "Si Kabayan Banyak Hutang".
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 84

Sementara itu, drama "Damai di Hari Lebaran", "Keluarga Mak


Ijah", "Nyaris Terjadi Pembantaian", dan "Gugurnya Si Singamangaraja XII" lebih mementingkan segi moral daripada humor. Drama
berjudul "Damai Di Hari Lebaran" mengisahkan keluarga miskin
bernama Fauzi dan emaknya yang diberi hadiah oleh Pak Haji Umar di
hari lebaran; drama "Keluarga Mak Ijah" mengisahkan keluarga Mak
Ijah yang hidup serba kekurangan; dan drama "Gugurnya Si Singamangaraja XII" mengisahkan semanagat kepahlawanan Si Singamangaraja.
Dilihat dari segi pertanyaan dan tugas-tugas yang diberikan
kepada siswa, dapat dikatakan bahwa bahan ajar drama itu sebagian
cukup menarik dan menunjang tujuan pengajaran sastra. Dikatakan
demikian karena sebelum drama disajikan, terlebih dulu siswa diberi
keterangan-keterangan mengenai pengertian, bentuk, babak, adegan
dalam drama, dan sebagainya (lihat pelajaran 5, kelas 5, cawu 1, hlm.
43--44). Dengan demikian, sebelum melaksanakan perintah atau
menjawab pertanyaan, siswa sudah paham apa yang disebut drama dan
aturan-aturan permainannya. Beberapa perintah dan pertanyaan lain
yang diajukan antara lain berbunyi sebagai berikut.

(1) Ceritakan isi drama dengan kalimatmu sendiri!


(2) berilah tanggapan tentang sifat tokoh-tokoh dari isi drama
tersebut!
(3) sadurlah drama di atas dengan menceritakan kembali isinya
dengan kata-kata sendiri!
(4) Bacakan atau bawakan drama itu di depan kelas!
(5) buatlah kesimpulan isi drama berikut!
(6) mainkan fragmen tersebut di depan kelas!
(7) Berikan kesan, pendapat, maupun tanggapan terhadap isi
fragmen tersebut!
(8) Buatlah karangan drama dengan salah satu tema atau pokok
masalah berikut ini!
Semua perintah di atas agaknya mengacu pada upaya pembelajaran sastra karena perintah-perintah itu tidak menyimpang dari
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 85

rambu-rambu pengajaran (apresiasi) sastra. Keterangan atau penjelasan


mengenai pengertian, bentuk, babak, dan adegan dalam drama, dan
sebagainya (lihat pelajaran 5, kelas 5, cawu 1, hlm. 43--44). Dengan
demikian, sebelum melaksanakan perintah atau menjawab pertanyaan,
siswa sudah paham apa yang disebut drama dan aturan-aturan
permainannya. Beberapa perintah dan pertanyaan lain yang diajukan
antara lain berbunyi sebagai berikut.
(1) Ceritakan isi drama dengan kalimatmu sendiri!
(2) berilah tanggapan tentang sifat tokoh-tokoh dari isi drama
tersebut!
(3) sadurlah drama di atas dengan menceritakan kembali isinya
dengan kata-kata sendiri!
(4) Bacakan atau bawakan drama itu di depan kelas!
(5) buatlah kesimpulan isi drama berikut!
(6) mainkan fragmen tersebut di depan kelas!
(7) Berikan kesan, pendapat, maupun tanggapan terhadap isi
fragmen tersebut!
(8) Buatlah karangan drama dengan salah satu tema atau pokok
masalah berikut ini!
Semua perintah di atas agaknya mengacu pada upaya pembelajaran
sastra karena perintah-perintah itu tidak menyimpang dari rambu-rambu
pengajaran (apresiasi) sastra.

3.4 Buku Ajar Terbitan Yudhistira


Buku ajar berjudul Pelajaran Bahasa Indonesia hasil terbitan
Yudhis-tira (Jakarta) yang dipergunakan sebagai bahan pemantauan ini
terdiri atas enam jilid (3 jilid untuk kelas 5 dan 3 jilid untuk kelas 6);
dan masing-masing jilid memuat bahan ajar setiap caturwulan (cawu).
Buku ajar yang diterbitkan tahun 1994 dan disusun berdasarkan
kurikulum SD (GBPP) 1994 ini merupakan buku pelengkap. Adapun
keberadaan sastra (puisi, prosa, dan drama) dalam buku-buku ajar
tersebut sebagai berikut.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 86

3.4.1 Puisi
Kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan bahan ajar puisi
dalam buku ajar terbitan Yudhistira untuk kelas 5 cukup menarik. Puisipuisi yang ditampilkannya sebagian besar berupa puisi modern. Selama
setahun puisi modern disajikan sebanyak empat kali dalam topik
Membaca Puisi. Puisi-puisi tersebut adalah Guruku (pelajaran 1,
cawu 1, hlm. 17), tanpa nama penulis, diambil dari kumpulan sajak Aku
Tunas Bangsa Indonesia; Tuhanku (pelajaran 4, cawu 1, hlm. 61)
karya Darwis Dali, diambil dari kumpulan sajak Aku Tunas Bangsa
Indonesia; Bila Benih Telah Bersemi (pelajaran 6, cawu 1, hlm. 89),
tanpa nama penulis, dikutip dari buku Bahasa Indonesia terbitan
Depdikbud; dan Rumahku (pelajaran 1, cawu 2, hlm. 16), tanpa nama
penulis, diambil dari kumpulan sajak Aku Tunas Bangsa Indonesia.
Sementara itu, puisi tradisional (pantun) hanya disajikan dua kali dalam
topik Membuat Pantun (pelajaran 1, cawu 3, hlm. 19) dan topik
Mengenal dan Membedakan Bentuk Puisi, Prosa, Drama (pelajaran 2,
cawu 3, hlm. 30).
Ditinjau dari sisi bobot dan atau tingkat kesulitannya, puisi-puisi
tersebut agaknya mudah dipahami siswa kelas 5 karena dunia yang
ditampilkannya dekat dengan lingkungan anak-anak seusia itu. Puisi
berjudul Guruku, misalnya, berbicara tentang sosok guru yang patut
diteladani dan layak diberi penghargaan karena mampu membuat
murid-muridnya menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan
negara; puisi Tuhanku menggambarkan kebesaran Tuhan yang patut
disembah karena Dia yang menciptakan dunia seisinya; puisi Bila
Benih Telah Bersemi berkisah tentang petani dan padi yang subur di
sawahnya; dan puisi Rumahku bercerita mengenai sebuah rumah
sebagai tempat tinggal yang nyaman bagi keluarga meskipun rumah
tersebut tidak megah dan tidak indah.
Dilihat dari sisi pragmatis, puisi-puisi tersebut pada hakikatnya
menyarankan agar siswa mencintai guru (sesama manusia), Tuhan
(yang menciptakan manusia), keluarga (rumah), dan lingkungan alam
(sawah). Dengan kesederhanaan materi yang ditampilkan dimaksudkan
agar siswa mampu membaca teks dan menyerap isi puisi serta dapat
memberikan tanggapan (sesuai dengan tujuan program pengajaran
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 87

bahasa Indonesia). Harapan itu tidak mengalami hambatan yang berarti


jika tidak dikaitkan dengan program pembelajaran untuk meningkatkan
apresiasi siswa terhadap sastra (puisi).
Tugas yang diberikan kepada siswa terhadap puisi Guruku
merupakan suatu upaya positif untuk mengadakan interaksi berbagai
pengalaman antara guru dan siswa atau antara siswa dan siswa, yang hal
ini tercermin dari tugas membaca puisi di depan kelas. Hanya saja
interaksi berbagai pengalaman itu tidak didukung oleh tugas berikutnya
(menjawab pertanyaan) yang tidak lagi dalam hubungan tukar pengalaman tetapi berubah menjadi proses pelaporan resmi dengan berbagai
pertanyaan seperti (1) dari mana puisi tersebut diambil, dan (2) apa
judul puisi tersebut. Pertanyaan itu dilanjutkan dengan pertanyaan yang
sama sekali tidak mampu membuka wawasan apresiatif siswa terhadap
sastra karena pertanyaan yang dimunculkan lebih tertuju pada sosok dan
kegiatan guru, tidak menyangkut puisi itu sendiri (misalnya pertanyaan
menyangkut tema dan isi). Untuk lebih jelasnya berikut ini dikutip
secara lengkap puisi berjudul Guruku dan pertanyaan yang harus
dijawab siswa.

6. Membaca Puisi

a. Bacalah puisi di bawah ini di depan kelasmu!

GURUKU
Ibu guruku manis sekali
Menyambutku di pagi berseri
Hatiku senang
Perasaanku tenang
Ibu guruku lembut sekali
Mengajarku mengenal diri
Membukakan mata
Membukakan pintu hati
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 88

Agar aku menjadi


Anak cerdas dan berbudi
Padamu ibu guru aku berterima kasih
Dalam hati aku berjanji
Nasihatmu akan kuturuti
Perintahmu akan kupatuhi
Ilmumu akan aku pelajari
Semoga jadilah aku
Anak berguna
Untuk bangsa dan tanah airku
Di kemudian hari

b. Jawablah pertanyaan di bawah ini!


1) Dari mana puisi di atas diambil?
2) Apa judul puisi di atas?
3) Bagaimana sambutan Bu Guru terhadap muridnya?
4) Bagaimana perasaanmu bila disambut dengan wajah berseri
oleh Bu Guru?
5) Apa saja yang diajarkan Bu Guru menurut puisi di atas?
6) Apa tujuan Bu Guru mengajarkan kepada kita untuk
mengenal diri dan membukakan pintu hati?
7) Apa janjimu terhadap gurumu?
8) Apa harapanmu setelah dewasa?

Dalam contoh di atas tampak bahwa kesempatan siswa untuk


meng-hayati dan mencermati cipta sastra menjadi terbatas. Siswa tidak
diberi kesempatan dan dorongan untuk mengakrabi karya sastra karena
tugas (menjawab pertanyaan) yang diberikan kepada siswa mengarah
pada pembelajaran sastra yang skematis.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 89

Hal di atas berbeda dengan puisi Tuhanku yang memberikan


peluang (lewat tugas yang diberikan) kepada siswa untuk meningkatkan
apresiasi dengan berbagai pengalaman lewat pembacaan, pembahasan
puisi dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi yang masingmasing kelompok diwajibkan memahami isi puisi, di samping harus
membuat rangkuman isi puisi yang kemudian dibacakan di depan kelas.
Tugas untuk puisi Tuhanku menunjukkan hal yang lebih positif;
pembelajaran sastra diupayakan dapat memberikan kegairahan dalam
membaca karya sastra dan memberi peluang bagi siswa untuk mengasah
kepekaan reaksi terhadap karya satrasejauh guru benar-benar
memberi kebebasan kepada siswa untuk memberikan tanggapan sendiri
dan guru tidak berpegang pada kebenaran tunggal dengan segenap
keyakinan bahwa interpretasi yang paling benar adalah interpretasi yang
dikemu-kakannya. Lewat cara ini niscaya siswa mampu memperdalam
persepsi (apresiasi) tentang sastra melalui pengalaman sendiri dengan
bimbingan secukupnya dari guru.
Tugas yang diberikan kepada siswa untuk puisi Bila Benih
Telah Bersemi dan Rumahku lebih pada aspek pembacaan (pemanggungan) puisi, di samping membuat kliping puisi dari berbagai sumber
(koran dan majalah). Dengan tugas tersebut diharapkan siswa mengetahui bagai-mana teknik pembacaan puisi di samping mengenal
berbagai puisi dan penyairnya. Kegiatan mengkliping puisi --ini juga
dikenakan pada bahan ajar pantun-- merupakan kegiatan di luar jam
tatap muka yang dapat menunjang pengajaran sastra, membantu proses
pengembangan apresiasi sastra. Hanya saja, upaya pengenalan terhadap
penyair (dalam konteks ini penulis puisi) tidak mendapatkan tempat
dalam buku ajar terbitan Yudhistira. Dari empat puisi yang terdapat
dalam buku ajar bahasa Indonesia untuk kelas 5, hanya satu puisi yang
menyertakan nama penulis. Padahal, menurut Allen (1977:273),
apresiasi sastra hendaknya dimulai dengan pengenalan, baik pengenalan
terhadap pengarang maupun terhadap karyanya.
Kelebihan buku ajar bahasa Indonesia terbitan Yudhistira untuk
kelas 5 terletak pada upaya mengenalkan dan membedakan bentuk
puisi, prosa, dan drama (pelajaran 2, cawu 3, tema: kesenian), yaitu
dengan memberikan definisi dan atau keterangan mengenai perbedaan
antara puisi, prosa, dan drama. Pembedaan tersebut diikuti oleh
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 90

pertanyaan-pertanyaan yang cukup apresiatif menyangkut hakikat puisi,


prosa, dan drama. Namun, sebenarnya akan lebih baik jika materi
pembelajaran ini diberikan dalam buku ajar untuk cawu 1. Dengan
demikian, siswa sudah sejak dini dapat membedakan dengan sungguhsungguh apa itu puisi, prosa, dan drama.
Data membuktikan pula bahwa keberadaan bahan ajar puisi
dalam buku ajar untuk kelas 6 semakin tersisihkan. Selama di kelas 5
siswa disuguhi enam kali bahan ajar puisi; sementara di kelas 6 mereka
hanya diberi bahan ajar dua kali. Bahan ajar pertama yang berupa
pantun jenaka, berjudul Lulus Ujian, diberikan pada pelajaran 5 cawu
1 (hlm. 89--90); sedangkan materi kedua yang berupa puisi modern
berjudul Air Terjun diberikan pada pelajaran 3 cawu 2 (hlm. 50--51).
Dalam cawu 1 puisi lama (pantun) Lulus Ujian disajikan
dalam subbagian mengungkapkan perasaan melalui pantun, dan sebuah
contoh pantun jenaka dalam subbagian membuat pantun jenaka.
Selengkapnya pantun tersebut sebagai berikut.

LULUS UJIAN
Jalan-jalan ke Kalibata
Mampir sebentar di rumah teman
Hati siapa tak kan gembira
Karena telah lulus ujian
Mampir sebentar di rumah teman
Menyampaikan pesan serta undangan
Karena telah lulus ujian
Bermaksudlah hati hendak syukuran
Menyampaikan pesan serta undangan
Sebagai tanda rasa persahabatan
Bermaksudlah hati hendak syukuran
Atas rahmat yang diberikan Tuhan

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 91

Tugas yang diberikan kepada siswa berkaitan dengan pertanyaan


mengenai isi pantun, di samping tugas membuat pantun jenaka. Dengan
demikian, dilihat dari GBPP, materi pembelajaran sastra cawu 1
memiliki kerumpangan: tidak ada upaya interaksi tukar pengalaman
dalam kegiatan pembacaan pantun. Meskipun demikian, apresiasi
terhadap pantun mendapat tempat yang cukup luas. Hal ini terbukti
dengan pertanyaan yang menyangkut pesan dan isi pantun Lulus
Ujian, selain adanya tugas membuat pantun yang mengungkapkan
perasaan humor dan nasihat.
Dalam cawu 2 puisi Air Terjun ditampilkan dalam subbagian
mendengarkan pembacaan puisi dan membicarakan hal-hal penting
dengan menampilkan puisi. Puisi ini memaparkan keindahan Indonesia
dengan pemandangan alam, lukisan aneka fauna dan flora. Upaya
interaksi tukar pengalaman bersastra dilakukan dengan tugas membaca
puisi tersebut di depan kelas. Jika dalam GBPP dituntut adanya pembicaraan hal-hal penting tentang puisi (dalam rangka lebih meningkatkan
apresiasi sastra siswa), hal itu kurang dapat dimengerti karena tugas
yang diberikan sesungguhnya tidak berbeda dengan tugas-tugas bagi
siswa kelas lima, yaitu sekedar memahami isi puisi. Artinya, tugas
memahami puisi tidak mengalami peningkatan yang berarti. Hal ini
dapat dipahami jika kita berpedoman pada gagasan yang meyakini
bahwa puisi dalam pengajaran sastra untuk anak-anak sebaiknya
disajikan secara lisan karena apresiasi terhadap puisi anak-anak lebih
tepat jika dibina melalui pendengaran karena puisi bagi anak-anak
adalah untuk kesenangan. Dengan begitu, tidak ada manfaatnya jika
guru mengajak anak-anak (siswa) untuk menganalisis puisi dengan agak
suntuk.
Demikian selintas keberadaan bahan ajar puisi dalam buku-buku
ajar bahasa Indonesia terbitan Yudhistira. Dari paparan selintas di atas
dapat dinyatakan bahwa pembelajaran puisi lebih ditekankan sematamata hanya pada tujuan apresiasi puisi, sedangkan kegiatan ekspresi
yang pada hakikatnya juga merupakan usaha memperdalam apresiasi
kurang memperoleh porsi yang lebih luas.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 92

3.4.2 Prosa
Dalam GBPP SD kelas 5 dicantumkan mengenai pembelajaran
sastra (prosa) dengan materi yang mencakupi membaca buku cerita
yang sesuai untuk anak, membicarakan hal-hal yang menarik,
menceritakan kembali secara lisan atau tertulis cerita rakyat dari daerah
sendiri atau daerah lain serta membicarakannya (cawu 1); membaca
cerita dan menyampaikan kesan tentang cerita itu, membaca novel
anak-anak dan membicarakan isinya, membaca cerita pendek dan
membicarakan isinya, menulis cerita, menyusun karangan berdasarkan
percakapan (cawu 2); dan memperbaiki karangan berdasarkan saran
teman atau guru, menceritakan kembali isi bacaan, dan menyusun cerita
bersama-sama (cawu 3).
Buku ajar bahasa Indonesia untuk kelas 5 cawu 1 antara lain
memuat cerita Seandainya Tidak Terlambat Bangun (dalam topik
membaca cerita, hlm. 43--45), Ronda Malam (dalam topik membaca
buku cerita yang sesuai untuk anak, hlm. 36--37), dan Asal Mula Nama
Banyuwangi (dalam topik membaca cerita rakyat, hlm. 72--75).
Cerita Seandainya Aku Tidak Terlambat Bangun berkisah
tentang Anto yang tidak jadi ikut berwisata dengan teman-teman satu
sekolah karena ia terlambat bangun. Justru karena keterlambatannya
bangun tidur, Anto tidak mengalami kecelakaan karena bus yang
ditumpanginya untuk berwisata masuk sungai. Cerita ini sangat baik
(memiliki alur dengan suspense yang terjaga dan penokohan yang
wajar) bagi anak-anak. Hanya saja tugas menjawab pertanyaan untuk
cerita anak-anak yang dikutip dari harian Republika itu tidak lepas dari
persoalan di luar sastra, misalnya (1) mengapa Anto terlambat bangun,
(2) mengapa Anto tidak ikut piknik, dan (3) bagaimana keadaan anakanak yang mengalami kecelakaan? Secara lengkap berikut ini kutipan
cerita dan pertanyaan serta tugas yang harus dikerjakan siswa.

5. Membaca Cerita
a. Bacalah cerita di bawah ini!

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 93

SEANDAINYA TIDAK TERLAMBAT BANGUN


Ketika bangun, Anto terperanjat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Anto bergegas turun dari ranjang, lalu lari ke
dapur. Ternyata yang terlambat bangun bukan hanya dia, tetapi seisi
rumah itu. Anto menuju kamar tempat ayah dan ibunya tidur. Ia gedor
pintunya dengan keras.Bu, sudah siang, Bu! Bu, nanti aku terlambat!
teriak Anto keras.
He, sudah siang! Aduh, belum salat subuh! terdengar suara ibu
Anto dari dalam kamar.
Pukul berapa kumpulnya, To? tanya Ayah.
Pukul enam, Yah, jawab Anto.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 94

Pagi itu, Anto akan berwisata dengan teman-temannya satu


sekolah. Mereka mengunjungi objek wisata dengan mencarter bus
wisata. Dalam perjanjian, siapa yang pukul enam pagi belum datang,
akan ditinggal.
Salat dulu, lalu langsung ke rumah Budi. Siapa tahu kamu
belum ketinggalan, kata Ayah.
Tapi, bekalnya belum disiapkan, kata Anto.
Sudahlah, bekal biar Ibu yang menyiapkan, kata ibu Anto.
Ayah pun buru-buru mengantar Anto ke tempat temannya
berkumpul. Namun, rupanya teman-temannya sudah berangkat. Anto
ditinggal karena terlambat. Dengan kesal, Anto pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan pulang, Ayah menghibur Anto.
Sepanjang hari Anto tampak cemberut. Hari itu, ia tidur
seharian. Sesudah salat magrib, Anto masih belum tampak ceria. Ia
duduk diam di depan televisi. Ia masih merasa kesal dengan dirinya
sendiri. Ia terlambat bangun karena menonton siaran televisi sampai
larut malam.
Tetapi, semuanya berubah ketika ayah Anto pulang dari mesjid.
To, untung kita terlambat bangun. Ini betul-betul rahasia
Tuhan, hanya kita tidak tahu. Kita wajib bersyukur, kata Ayah.
Ada apa, Pak? tanya Ibu.
Bus yang ditumpangi anak-anak mengalami kecelakaan.
Sopirnya ngantuk, mobilnya masuk sungai, kata Ayah.
Anto dan Ibu terperanjat.
Untungnya anak-anak hanya cedera, tetapi ada yang agak berat.
Sekarang semuanya berada di rumah sakit. Kita bersyukur bukan berarti
mensyukuri kecelakaan itu, tetapi mensyukuri perlindungan Allah
dengan melambatkan bangun kita. Sean-dainya kita tidak terlambat
bangun, Anto tentu ikut piknik dan ikut mengalami kecelakaan itu,
kata ayah Anto.
Anto mensyukuri terlambatnya ia bangun. Seandainya tidak
terlambat bangun, entahlah apa yang akan dialaminya.
Dari: Republika, 28 Agustus 1994.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 95

b. Jawablah pertanyaan wacana di bawah ini!


1) Mengapa Anto sampai terlambat bangun?
2) Hendak ke mana Anto bersama teman-temannya?
3) Bagaimana perjanjian Anto dengan teman-temannya?
4) Mengapa Anto tidak ikut piknik?
5) Bagaimana perasaan Anto setelah ditinggal temantemannya?
6) Mengapa bus yang ditumpangi anak-anak masuk sungai?
7) Bagaimana keadaan anak-anak yang mengalami
kecelakaan?
8) Apa yang disyukuri oleh orang tua Anto?

c. Tugas
1) Buatlah ringkasan cerita di atas dengan kata-katamu
sendiri, kemudian bacakan ringkasan ceritamu di depan
kelas!
2) Tulislah bagian-bagian cerita di atas yang menarik bagimu
dan mengapa kamu anggap menarik?

Memang persoalan-persoalan yang dikemukakan dalam cerita di


atas menarik untuk dibicarakan, tetapi untuk meningkatkan apresiasi
siswa terhadap sastra sebaiknya beberapa pertanyaan itu dikaitkan
dengan peno-kohan, tema, latar, atau alur cerita. Kesadaran untuk
meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra diletakkan dalam tugas
yang diberikan dengan tuntutan agar siswa membuat ringkasan cerita
dengan kata-kata siswa sendiri dan menulis bagian-bagian cerita yang
menarik. Dengan tugas tersebut setidaknya siswa dilatih untuk membuat
sinopsis dengan imajinasi masing-masing, di samping dituntut untuk
benar-benar mem-perhatikan struktur cerita (terutama alur) untuk
menuliskan bagian cerita yang paling menarik.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 96

Untuk cerita Ronda Malam, upaya pemahaman terhadap sastra


juga belum tampak menggembirakan karena pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan hanya untuk menjawab hal-hal yang berada di luar kotak
apresiasi sastra. Pertanyaan itu misalnya (1) bagaimana cara melaksanakan ronda, dan (2) mengapa penduduk desa tidak begitu was-was
terhadap gangguan keamanan? Meskipun demikian, arah untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra sudah mulai mendapat perhatian
(menyangkut penokohan dan latar), misalnya lewat pertanyaan (1)
kebiasaan apa yang sudah dilakukan oleh penduduk desa Sukatani, (2)
siapa saja yang menjadi petugas ronda, dan (3) bagaimana keadaan
kampung yang selalu mengadakan ronda?
Perlu dicatat bahwa dalam buku ajar terbitan Yudhistira terdapat
cerita rakyat yang agaknya kurang sesuai untuk bahan ajar bagi siswa
sekolah dasar. Cerita rakyat Asal Mula Nama Banyuwangi, misalnya,
memang pantas dikemukakan. Hanya saja, dari segi bahasa, perlu
dipertimbangkan agar cerita yang dikutip dari buku Pandai Berbahasa
Indonesia terbitan Depdikbud (1992) itu sesuai dengan perkembangan
kepribadian anak yang masih lugu. Agak mengkhawatirkan kiranya jika
anak-anak sekolah dasar sudah direcoki dengan kata-kata mencaci maki,
memaki-maki, berbuat penyelewengan, dan beberapa kata lain yang
mempunyai pengertian negatif dan sulit dimengerti anak-anak.
Kendati demikian, di sisi tertentu pertanyaan dan tugas yang
diberikan kepada siswa sehubungan dengan cerita rakyat Asal Mula
Nama Banyuwangi layak mendapatkan acungan jempol. Pertanyaanpertanyaan yang dikemukakan benar-benar mengarah pada peningkatan
apresiasi sastra: (1) siapa pelaku utama cerita Asal Mula Nama Banyuwangi, (2) masing-masing pelaku utama cerita mempunyai watak atau
sifat yang berbeda-beda, bagaimana sifat istri sang Patih, sang Patih,
dan ibu sang Patih, (3) bagaimana akhir cerita Asal Mula Nama
Banyu-wangi, dan beberapa pertanyaan lain yang benar-benar
menuntut pemahaman siswa terhadap struktur cerita yang wajib dibaca.
Selain itu, tugas yang diberikan juga membuka peluang bagi siswa
untuk mengem-bangkan imajinasi dan memungkinkan siswa memperluas perbenda-haraan kata-kata. Tugas tersebut adalah membuat
ringkasan cerita dengan kata-kata sendiri (hal yang sama terjadi juga
untuk tugas membaca cerita rakyat Ki Ajar Wilis pelajaran 6, cawu 2,
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 97

hlm. 90--91). Nilai tambah lain yang terdapat dalam buku ajar kelas 5
cawu 1 adalah adanya tugas memahami dan mencari arti peribahasa, di
samping kegiatan mence-ritakan gambar dalam bentuk karangan
tentunya ke-giatan ini berpotensi dalam pengembangan imajinasi anakanak untuk menyusun sebuah cerita.
Tuntutan GBPP agar siswa kelas 5 cawu 2 mengadakan kegiatan
membaca cerita dan menyampaikan kesan mengenai cerita yang bersangkutan diwujudkan dengan membaca cerita Persami (tanpa nama
pengarang, disarikan dari Pandai Berbahasa Indonesia 6a dengan
perubahan seperlunya, hlm. 21--23), membaca nyaring cerita Pergi
Berbelanja (tanpa nama pengarang dan sumber cerita, pelajaran 5, hlm.
63--65), dan membaca cerita rakyat Ki Ajar Wilis karya Suwito, yang
dikutip dari Babad Tanah Jawi.
Meskipun cerita Persami disajikan secara naratif, pertanyaan
dan tugas yang diberikan kepada siswa sama sekali tidak bersinggungan
dengan persoalan yang berkaitan dengan sastra. Semua pertanyaan
tertuju pada kegiatan persami (perkemahan Sabtu Minggu). Hal itu juga
berlaku untuk cerita Pergi Berbelanja yang lebih memberi tekanan
pada persoalan kegiatan jual-beli. Dengan demikian, tuntutan GBPP
agar siswa membaca novel dan cerita pendek anak-anakterlebih untuk
meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastratidak terpenuhi. Akan
tetapi, kerumpangan tersebut ditutupi dengan adanya tugas menulis
cerita. Tugas tersebut didahului dengan mendefinisikan apa yang
disebut dengan ceritakhususnya cerita fiksi dan cerita nonfiksi. Cerita
fiksi adalah cerita yang isinya hanya khayalan belaka (sic!). Jadi, jenis
cerita fiksi sumbernya berasal dari khayalan pengarang; sedangkan
sumber cerita nonfiksi berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Setelah
ada pendefinisian tersebut kemudian diikuti dengan cerita fiksi CitaCita Andra yang berisi khayalan seorang anak yang bercita-cita
menjadi dokter. Tugas menulis cerita diikuti dengan panduan bagaimana cara menulis cerita. Dalam bagian ini dijelaskan juga mengenai
kelompok cerita fiksi yang mencakupi cerita pendek, novel, dan roman
(dalam bagian ini mestinya dijelaskan juga apa yang disebut cerita
pendek, novel dan roman bagaimana drama, cerita bersambung
apakah tidak ter-masuk dalam kategori cerita fiksi? Benarkah sesuai
dengan definisi cerita fiksi di atas beberapa genre sastra itu benarKeberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 98

benar hanya menam-pilkan khayalan belaka?), sedangkan yang


termasuk dalam kelompok cerita nonfiksi meliputi biografi, autobiografi, dan sejarah.
Panduan yang diberikan tentang cara menulis cerita sangat
mudah dimengerti dan mampu mendorong siswa untuk berekspresi
sastra. Panduan menulis cerita tersebut sebagai berikut: (a) tulislah
peristiwa yang pernah kamu atau temanmu alami, (b) tambahkan
khayalan-khayalanmu dalam cerita tersebut, (c) ciptakan sendiri tokohtokoh ceritamu. Di samping itu juga perlu diperhatikan langkah-langkah
berikut ini: (a) tentukan tema cerita yang akan kamu buat, (b) beri judul
ceritamu itu, (c) buatlah kerangka karangan berdasarkan judul yang
kamu buat (sebaiknya ini merupakan langkah pertama yang dilakukan
siswapen), dan (d) kembangkan kerangka karangan itu menjadi
paragraf-paragraf sehingga nantinya akan menjadi sebuah cerita.
Dengan tugas tersebut siswa benar-benar diberi kesempatan untuk
menghayati kegiatan bagaimana menciptakan karya sastra, di samping
adanya bimbingan apresiasi yang memadai. Di samping itu juga
diupayakan pengenalan siswa terhadap berbagai cerita fiksi dengan
adanya tugas mengumpulkan berbagai cerita fiksi yang pernah dibaca
di majalah atau surat kabar.
Tuntutan GBPP untuk kelas 5 cawu 3 adalah agar siswa mampu
memperbaiki karangan berdasarkan saran teman atau guru, meringkas
cerita, dan menyusun cerita bersama-sama; tidak semuanya dapat
terpenuhi. Tugas yang diberikan kepada siswa hanya membaca dan
meringkas cerita Kisah Burung Mentawai karya Yuniar, dikutip dari
Pelatihan Soal Bahasa Indo-nesia (pelajaran 4, hlm. 60--61). Meskipun
demikian, hal itu mampu mendo-rong siswa untuk menuliskan kembali
sebuah cerita, memperkaya perben-daharaan bahasa, dan memotivasi
imajinasi anak-anak dalam menyusun cerita.
Di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan benar-benar
berkaitan dengan pengetahuan dasar siswa dalam memahami karya
sastra. Simak misalnya pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) sebutkan
siapa-siapa yang menjadi tokoh cerita dalam cerita Kisah Burung
Mentawai, (2) siapa yang membantu siput dalam pertandingan, dan (3)
bagaimana akhir pertandingan itu? Dari beberapa pertanyaan tersebut
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 99

setidaknya siswa harus mengenal tokoh-tokoh ceritabaik tokoh utama


maupun tokoh pembantudan memperhatikan alur cerita.
Dalam buku ajar bahasa Indonesia kelas 6 cawu 1 dimuat bahan
ajar tentang cara menyusun dan membuat garis besar karangan (sesuai
dengan GBPP yang mengisyaratkan adanya kegiatan menyusun
kerangka karangan dan mengembangkannya) yang dimulai dengan
menetapkan topik yang akan dijadikan kerangka karangan. Bahan ajar
ini disertai contoh konkret agar siswa mudah memahami bagaimana
upaya menulis cerita dengan sungguh-sungguh. Bekal ini tentu saja
diperlukan untuk menggairahkan siswa dalam menulis cerita sebagai
sebuah keterampilan di bidang sastra.
Kegiatan yang dilakukan siswa sebagaimana diisyaratkan dalam
buku ajar cawu 1 tampaknya dikembangkan pada buku ajar cawu 2,
yaitu dengan kewajiban siswa membaca dan menceritakan sifat-sifat
tokoh cerita. Pada tataran ini siswa lebih dituntut kepekaan apresiasinya
terhadap karya sastra yang pernah dibaca. Tuntutan tersebut dapat
dilihat dari tugas yang diberikan kepada siswa untuk mengingat kembali
watak tokoh-tokoh dalam cerita Sang Kancil dan Sang Harimau, Si
Kabayan, dan Si Malin Kundang (hlm. 27). Upaya ini setidaknya
memperlihatkan dua hal penting, yaitu (1) membiasakan siswa agar
mempunyai wawasan tentang dongeng atau cerita rakyat dari berbagai
daerah (dalam konteks ini Jawa Barat dan Sumatera Barat),
mengakrabkan siswa kepada buku-buku karya sastra; dan (2) mengasah
siswa agar mampu memberi penghargaan dan menilai karya-karya yang
mereka baca (meningkatkan apresiasi sastra dan memahami struktur
ceritameliputi penokohan, latar, dan isi cerita). Hal ini setidaknya
tergambar dalam tugas melalui bagan pertanyaan yang harus diisi oleh
siswa berikut ini (pelajaran 2, cawu 2, hlm. 28).

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 100

Sifat-Sifat Pelaku
Judul karangan
Para pelaku
Sifat pelaku I

Sifat pelaku II

Sifat pelaku III

: .......................................................
: .......................................................
: .......................................................
.......................................................
.......................................................
: .......................................................
.......................................................
.......................................................
: .......................................................
.......................................................
.......................................................
dst.

Laporan Tentang Isi Bacaan


Judul buku
Pengarang
Para pelaku
Tempat kejadian
Isi cerita

: .......................................................
: .......................................................
: .......................................................
: .......................................................
: .......................................................

Berbeda dengan buku ajar cawu 1 dan 2, buku ajar cawu 3 lebih
banyak menyajikan bahan ajar yang berkaitan dengan drama (sesuai
dengan tuntutan GBPP). Meskipun demikian, ada tugas membuat
karangan yang isinya menceritakan keadaan pantai yang pernah
dikunjungi (pelajaran 3, cawu 3, hlm. 61).

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 101

3.4.3 Drama
Menurut definisi yang diberikan dalam buku ajar bahasa
Indonesia kelas 5 cawu 3 (pelajaran 2, hlm. 31) terbitan Yudhistira,
drama adalah karangan berbentuk dialog yang dipentaskan. Dalam
buku pelajaran bahasa Indonesia terbitan Yudhistira, drama muncul
dalam bentuk meragakan percakapan, bercakap-cakap, bermain peran,
bermain drama satu babak, percakapan, bermain drama, dan membahas
sesuatu yang sedang hangat (lewat percakapan).
Bentuk drama yang dimaksudkan di atas sudah diperkenalkan
kepada kelas 5 cawu 2 (pelajaran 2, hlm. 32) melalui materi meragakan
percakapan lewat telepon dan bercakap-cakap (mengenai televisi) untuk
memenuhi tuntutan GBPP menyangkut materi membaca dan melakukan
percakapan tentang masalah yang menyangkut kehidupan sehari-hari.
Tugas yang diberikan dalam percakapan (drama) tersebut menyangkut
penjelajahan siswa terhadap karya sastra dengan mengamati, menyaksikan, dan mementaskan sebuah karya sastra; melakukan penafsiran
terhadap cipta sastra yang dijelajahi; dan mengadakan rekreasi dengan
menuliskan karya sesuai dengan tugas yang diberikan.
Hal yang sama berlaku juga untuk bahan ajar drama yang
terdapat dalam buku ajar kelas 5 cawu 3 (tanpa judul, dalam topik
Bermain Peran, hlm. 74) guna memenuhi tuntutan GBPP agar
siswa memeran-kan drama pendek, memerankan pelaku yang ada dalam
cerita dan drama tersebut menyangkut kemajuan teknologi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bahan ajar drama untuk
kelas 6 lebih menuntut kepekaan siswa dalam berekspresi di depan kelas
karena ada beberapa penggalan drama yang dilengkapi dengan petunjuk
pementasan. Perhatian materi bermain drama satu babak (pelajaran 2,
cawu 1, hlm. 43--44) berikut ini.

h. Bermain drama satu babak


Mainkan drama satu babak di depan kelas. Tentukan pemegang
peranannya.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 102

Syamsudin

: Aduh ... aduh ... aduh, tanganku?


(Syamsudin masuk sambil memegangi
tangannya).
Ratna (anggota PMR) : Ada apa, Din? Mengapa tanganmu?
Bambang dan Tono (anggota PMR): Mengapa Syamsudin, Rat?
Apa yang terjadi?
Syamsudin
: Aku terjatuh dari pohon jambu yang
ada di pekarangan sekolah. Tanganku
terkilir.
Ratna
: Tolong ambilkan kain segitiga, dan
papan yang biasa kita gunakan untuk
berlatih P3K. Dan kamu Ton, keringkan keringat yang membasahi muka
Syamsudin. (Ketiga anggota PMR itu
mulai memberikan pertolongan pertama
kepada Syamsudin).
Ratna, Bambang, Tono: Mari segera kita bawa ke rumah sakit
terdekat.
(Syamsudin dibawa dengan tandu).

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 103

Drama satu babak tersebut belum diberi judul. Cobalah kamu


berikan judul yang tepat!
Peralatan apa saja yang diperlukan untuk mementaskan drama
tersebut di depan kelas?
Lakukanlah bermain peran itu bergantian!
Hal tersebut tidak mengherankan karena GBPP menyarankan agar siswa
benar-benar mampu bermain peran. Agar siswa dengan sungguhsungguh memahami isi drama yang dibaca, sepenggal naskah drama
(untuk materi bermain drama satu babak) sengaja tidak diberi judul dan
siswa ditugasi untuk memberi judul. Di samping itu, siswa juga diberi
tugas untuk mulai mencermati peralatan yang diperlukan untuk pementasan sebuah drama.
Berbeda dengan naskah drama untuk bermain drama satu babak
(buku ajar cawu 1), bahan ajar drama yang termuat dalam buku ajar
kelas 6 cawu 2 (pelajaran 3, hlm. 48--49) tidak dilengkapi dengan
petunjuk pementasan. Tugas yang diberikan kepada siswa adalah
menghapalkan teks, memainkan di depan kelas, dan menceritakan isi
naskah drama tersebut, di samping siswa dituntut untuk berkreasi dalam
membuat naskah drama.
Bahan ajar drama untuk kelas 6 cawu 2 diberikan lewat topik
mengungkapkan perasaan (ingin tahu tentang sesuatu hal, keadaan,
peristiwa) (pelajaran 1, hlm. 17--18). Tugas yang diberikan tidak lagi
sekedar menghapal teks, tetapi berkaitan dengan kemampuan siswa
mengenali tokoh-tokoh yang terlibat, persoalan dan kejadian apa yang
diungkapkan, dan menceritakan kembali drama tersebut dengan katakata siswa sendiri (pelajaran 3, hlm. 47--48), dan mementaskan serta
menyusun naskah drama (pelajaran 4, hlm. 74--76). Dengan tugas-tugas
yang demikian diharapkan apresiasi siwa terhadap sastra (khususnya
drama) menjadi lebih baik. Pengenalan terhadap berbagai naskah drama
diwujudkan dalam tugas menceritakan drama yang pernah dilihat atau
didengar siswa. Selain itu, tugas tersebut juga dilengkapi dengan kewajiban untuk mencari dan membaca drama lain, misalnya Lutung Kasarung, Batu Menangis, dan sebagainya (hlm. 48).
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 104

3.5 Buku Ajar Terbitan Erlangga


Seperti halnya buku-buku ajar terbitan Intan Pariwara, Tiga
Serangkai, dan Yudhistira, buku ajar bahasa Indonesia terbitan Erlangga
yang dibahas dalam pemantauan ini juga merupakan buku pelengkap.
Artinya, buku ajar ini digunakan di sekolah hanya untuk menambah
atau melengkapi buku wajib (pokok) terbitan Balai Pustaka. Buku ajar
terbitan Erlangga yang berjudul Pandai Berbahasa Indonesia karya Tim
Bina Karya Guru ini terdiri atas empat jilid, yaitu dua jilid untuk kelas 5
(5a dan 5b) dan dua jilid untuk kelas 6 (6a dan 6b). Jilid 5a memuat
pelajaran cawu 1 dan sebagian cawu 2; jilid 5b memuat sebagian
pelajaran cawu 2 dan cawu 3 kelas 5; sedangkan jilid 6a memuat
pelajaran cawu 1 dan sebagian cawu 2; dan jilid 6b memuat sebagian
pelajaran cawu 2 dan cawu 3 kelas 6. Adapun keberadaan sastra (puisi,
prosa, dan drama) dalam buku-buku ajar tersebut sebagai berikut.
3.5.1 Puisi
Berdasarkan pengamatan seksama terhadap keberadaan sastra
dalam buku ajar terbitan Erlangga yang berjudul Pandai Berbahasa
Indonesia dapat dikatakan bahwa materi atau bahan ajar jenis (genre)
puisi tampaknya lebih ditekankan dibandingkan dengan jenis sastra
lainnya (prosa dan drama). Prosa dan drama kebanyakan ditekankan
sebagai bahan ajar dalam topik wacana. Di samping itu, bahan ajar
dalam topik wacana lebih ditekankan pada tema-tema tertentu seperti
lingkungan, kesehatan, teknologi, dan sebagainya.
Tema-tema seperti yang dicontohkan di atas memang dapat
menjadi sarana efektif untuk menggali kemampuan siswa dalam bidang
kesusastraan secara umum. Akan tetapi, agar dalam buku ajar ini materi
puisi tidak terkesan dipaksakan atau lebih dominan, kadang-kadang
bahan ajar atau materi puisi dimodifikasi dalam bentuk lagu. Dalam
buku Pandai Berbahasa Indonesia 5-A (pelajaran 4, cawu 1, hlm. 50),
misalnya, terdapat bahan ajar prosa dengan topik Cerita Pak Sanip
yang disisipi puisi yang dilagukan sebagai berikut.

Pada satu pinggir sungai


duduklah seorang anak
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 105

yang tiada ibu bapak lagi


serta menangislah ...
Satu Tuan tanyalah padanya
dengan hati iba
mengapa engkau duduk menangis
katakan kepadaku
Anak itu jawablah kepadanya
dengan hati susah
saya ini anak yatim piatu
ditinggal ibu bapak ...
Ibuku matilah lemas
tinggalkan saya sendiri
lagi pula bapakku mati tenggelam
di dalam sungai ini.
Di dalam topik Cerita Pak Sanip tersebut anak atau siswa
diajak untuk mencoba menikmati puisi modern tentang kehidupan
seorang anak yatim piatu. Agar siswa tidak langsung dihadapkan pada
materi puisi, puisi tersebut hanya disisipkan dalam bingkai cerita prosa.
Walaupun hanya sebagai sisipan, pembelajaran sastra dengan cara
seperti itu merupakan salah satu metode yang efektif untuk memperkenalkan karya sastra jenis puisi.
Dilihat dari gaya ucap sastra yang diekspresikannya, puisi
tersebut memang tidaklah begitu indah (bahasanya), tetapi dari gayanya
puisi modern tersebut sudah dapat dimengerti sebagai puisi (sastra)
karena bentuk dan pilihan kata-katanya sudah dapat dikategorikan
sebagai bahasa puisi yang sederhana. Dengan puisi yang dibingkai
dalam prosa tersebut, anak atau siswa diajak untuk membuka perasaannya terhadap tema-tema kemanusiaan (humaniora). Dengan ditampilkannya tema seperti itu, sejak dini, siswa telah diarahkan untuk
mengakrabi berbagai masalah kemanusiaan yang lebih besar yang akan
ditemui mereka kelak setelah mereka dewasa.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 106

Kenyataan menunjukkan pula bahwa keberadaan sastra, khususnya puisi, dalam buku-buku ajar bahasa Indonesia terbitan Erlangga
tidak hanya disampaikan dalam topik secara langsung, misalnya topik
Memahami Puisi, tetapi juga dimasukkan dalam topik lain, misalnya
dalam topik Menceritakan Pengalaman (pelajaran 5, cawu 1, tema:
kepahlawanan, hlm. 58). Puisi yang dimaksudkan itu sebagai berikut.
Jenderal Sudirman
Dalam sakitnya ia berjuang
Tak pernah berkeluh kesah
Baginya,
Perjuangan adalah hidup atau mati
Di bawah komando kebesarannya
Seluruh pemuda bersatu,
Bertekad penuh semangat
Merdeka atau mati ...
Tak lagi peduli
Berjuta peluru memburu nyawa
Berjuta sakit menyerang dada
Dia pantang menyerah
Berjuang sekuat tenaga
Untuk negara dan pertiwi tercinta
R. R. Uli
Bahan ajar puisi yang berjudul Jenderal Sudirman di atas
disertai dengan perintah agar puisi di atas dibaca dengan intonasi yang
tepat. Perintah itu dalam kerangka logika anak-anak boleh dikatakan
masih atau telah sesuai. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan
pemahaman terhadap puisi tersebut, terlihat bahwa perintah-perintah
lainnya tampaknya terlalu sulit bagi siswa kelas lima sekolah dasar.
Perintah-perintah itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 107

1. Bacalah puisi di atas dengan intonasi yang tepat!


2. Diskusikanlah pertanyaan di bawah ini dengan teman kelompokmu!
a. Berapa baris dalam setiap bait puisi di atas?
b. Jelaskanlah maksud kalimat di bawah ini!
- Perjuangan adalah hidup atau mati
- Bertekad penuh semangat
- Berjuta peluru memburu nyawa
- Berjuta sakit menyerang dada
c. Jelaskan maksud puisi di atas!
Perintah-perintah di atas, khususnya perintah (b), tentu merupakan perintah yang sulit untuk dipahami oleh siswa kelas 5 sekolah
dasar. Kalimat seperti Perjuangan adalah hidup atau mati bukanlah
kalimat sederhana karena kalimat itu merupakan kalimat puisi (sastra).
Dengan kata lain, kalimat itu merupakan kalimat yang cara pengekspresiannya secara tidak langsung.
Barangkali persoalan yang dihadapi oleh siswa kelas 5 atas
kalimat itu bukan pada pengertian bahwa kalimat itu sebagai puisi,
tetapi cenderung pada pemahaman bahwa kalimat tersebut sebenarnya
kalimat filosofis yang tidak sesuai dengan tingkat penalaran mereka.
Perjuangan adalah hidup atau mati merupakan kalimat yang sangat
erat dengan dimensi yang biasa dipergunakan oleh orang-orang dewasa
dengan tingkat intelektual tertentu. Dengan demikian, timbul suatu
pertanyaan: apakah puisi itu sepadan dengan tingkat usia kelas 5?
Apakah ketika memasukkan puisi tersebut sebagai bahan ajar sastra
sudah dalam skala perhitungan yang mendalam?
Agar puisi dapat dirasakan secara lebih mendalam, salah satu
cara terbaik adalah dengan mendeklamasikan. Setelah dideklamasikan,
siswa memang dapat dirangsang daya penalarannya dengan metode
penaf-siran. Dengan metode seperti itu kepekaan sosial siswa terhadap
orang lain diharapkan dapat ditampilkan. Perhatikan kutipan puisi
Jasamu Pak Satpam (pelajaran 7, cawu 1, hlm. 88) berikut ini.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 108

Jasamu Pak Satpam


Putih seragammu
Seputih hatimu menjalankan tugas
Badanmu kuat dan tegar
Setegar kau hadapi masalah
Engkaulah Pak Satpam
Yang selalu siap dan waspada
Menjaga ketertiban dan keamanan
Hujan tak jadi hambatan
Malam tak jadi rintangan
Demi tugas yang suci
Kau tinggalkan keluarga tercinta
Betapa besar jasamu, Pak Satpam
Dibandingkan dengan puisi yang berjudul Jenderal Sudirman,
puisi modern berjudul Jasamu Pak Satpam memang lebih sederhana,
tetapi puisi ini lebih selaras dengan tingkat pengalaman, penalaran, dan
daya khayal siswa kelas 5 sekolah dasar. Kata atau kalimat yang
dipergunakan tidak terlampau sarat dengan kata-kata tidak langsung.
Dampak dari hal itu, penafsiran siswa dapat dituntun untuk memasuki
dunia yang ditampilkan dalam puisi. Mengambil dan memaksakan puisi
yang tidak sepadan dengan tingkat pemahaman dapat mengakibatkan
sikap bosan siswa terhadap pelajaran sastra, khususnya puisi.
Kita tahu bahwa khazanah puisi Indonesia cukup kaya dan
bermacam-macam, baik tradisional maupun modern. Oleh karena itu,
sangat tidak bijaksana apabila siswa sekolah dasar tidak diperkenalkan
dengan khazanah yang ada, baik yang tradisional maupun yang modern.
Melalui perkenalan terhadap khasanah puisi yang ada di Indonesia,
siswa diharapkan tidak akan merasa asing dan terputus dengan sejarah
sastra. Kecenderungan ini agaknya diterapkan pula oleh penyusun buku
Pandai Berbahasa Indonesia. Dinyatakan demikian karena selain
disajikan puisi-puisi modern seperti di atas, dalam buku ajar ini
ditampilkan pula puisi tradisional. Perhatikanlah bahan ajar syair
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 109

berjudul Bidadari Lahir (pelajaran 18, cawu 3, tema: kesenian, hlm.


113) yang dilengkapi dengan perintahnya kepada siswa berikut ini.

5. Pagelaran Seni Budaya


a. Membaca syair
Bacalah syair berikut dengan intonasi yang benar!

Bidasari Lahir

1. Dengarlah kisah suatu riwayat


Raja di desa negri Kembayat
Dikarang fakir dijadikan hikayat
Dibuatkan syair serta berniat
2. Adalah raja sebuah negri
Sultan Agus bijak bestari
Asalnya baginda raja yang bahari
Melimpahkan pada dagang biaperi
3. Khabarnya orang empunya temasa
Baginda itulah raja perkasa
Tiadalah ia merajai susah
Entahlah kepada esok dan lusa
4. Seri paduka sultan bestari
Setelah ia susah beristri
Beberapa bulan beberapa hari
Hamillah putri permaisuri

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 110

5. Demi ditentang duli mahkota


Makinlah hati bertambah cinta
Laksana mendapat bukit pertama
Menentang istrinya hamil serta
6. Beberapa lama di dalam kerajaan
Senantiasa ia bersuka-sukaan
Datanglah masa beroleh keduakaan
Baginda meninggalkan kerajaan
Dari: Syair Bidasari

b. Ceritakan dengan bahasamu sendiri syair Bidasari Lahi di


depan kelas!

Kutipan syair di atas sengaja ditampilkan untuk memberikan


gambaran bahwa antara puisi dan syair memang terdapat beberapa
prinsip yang berbeda. Jika hal itu tidak dijelaskan kepada siswa, tidak
dapat dipungkiri siswa akan kebingungan ketika mereka mencari
perbedaan dan ciri-ciri khas di antara keduanya. Sebagai buku ajar,
tentu saja buku Pandai Berbahasa Indonesia akan menjadi buku yang
tidak komprehensif. Dengan kata lain, jika hal ini tidak dikoreksi, siswa
akan mengalami kesulitan memahami sejarah dan khazanah sastra
Indonesia, khususnya dalam jenis (genre) puisi.
Menampilkan syair sebagai materi atau bahan ajar sastra
Indonesia memang merupakan suatu langkah yang harus ditempuh.
Akan tetapi, sebaiknya syair-syair yang diambil disesuaikan dengan
tingkat kemam-puan interpretasi, penalaran, dan pengalaman siswa.
Berikut inilah contoh syair (pelajaran 4, cawu 1, tema: pertanian, hlm.
57) yang kurang --bahkan tidak-- sepadan dengan tingkat penalaran dan
interpretasi siswa kelas 6 sekolah dasar.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 111

Inilah gerangan suatu madah


Mengarangkan syair terlalu indah
Membentuk jalan tempat berpindah
Di sanalah itikad dibetulkan sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil dirimu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat juga kelak diamu
Hamzah Fansuri

Syair karya Hamzah Fansuri yang disajikan dalam topik Memahami Puisi Lama di atas jelas tidak sesuai siswa sekolah dasar. Di
samping penyajian syair tersebut tidak lengkap dan tidak disertai
dengan judul, syair tersebut juga memiliki bobot di luar jangkauan
pengalaman dan penalaran siswa. Dengan kenyataan serupa itu, segera
dapat dinilai bahwa pelajaran sastra benar-benar hanya sebagai
pelajaran tambahan bagi pelajaran Bahasa Indonesia. Pernyataan ini
didasari oleh suatu penilaian bahwa karya sastra yang ditampilkan tidak
didukung oleh kelengkapan fakta. Bahkan, sangat kelihatan bahwa syair
yang diper-gunakan sebagai materi pelajaran diambil tanpa suatu seleksi
yang ketat demi penambahan wawasan anak yang sesuai dengan
kemampuannya.
Demikianlah selintas tentang keberadaan puisi dalam buku-buku
ajar bahasa Indonesia terbitan Erlangga. Dari pengamatan itu dapat
dinyatakan bahwa bahan ajar sastra dalam buku ajar itu lebih
didominasi oleh materi jenis puisi. Puisi-puisi yang disajikan cukup
bervariasi, tetapi pemilihannya tidak melalui seleksi yang ketat.
Akibatnya, materi yang disajikan menjadi kurang selaras dengan tingkat
kemampuan dan pengalaman siswa sekolah dasar. Di samping itu, cara
penyajian puisi di dalam buku-buku tersebut juga tidak mengindahkan
sejarah sastra. Padahal, sejarah sastra, dalam tingkat yang sederhana,
akan lebih membantu wawasan siswa kalau benar-benar ditem-patkan
sebagai bagian integral pelajaran sastra.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 112

3.5.2 Prosa
Pada umumnya prosa merupakan salah satu genre sastra yang
lebih populer dan mudah dipahami apabila dibandingkan dengan genre
puisi. Akan tetapi, hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan
sastra prosa dalam buku-buku ajar terbitan Erlangga tidak mendapatkan
porsi yang semestinya. Artinya, contoh-contoh yang dijadikan bahan
ajar sangat sedikit dan seringkali tidak menyinggung tentang keberadaan sastra Indonesia seperti yang diharapkan. Contoh-contoh materi
ajar justru diambil bukan dari karya sastra Indonesia yang ada. Materi
yang dipergunakan juga cenderung terpaku pada tema-tema yang sudah
ditentukan oleh TIK bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentu mengakibatkan pelajaran sastra menjadi miskin dan jauh dari tujuan apresiasi
sastra yang sebenarnya. Berikut inilah contoh kecenderungan tersebut
(pelajaran 19, cawu 3, buku ajar kelas 5, hlm. 112).

e. Mencari Legenda
Kamu tentu pernah mendengar legenda atau cerita rakyat,
bukan? Biasanya orang percaya bahwa cerita itu benar-benar terjadi
pada zaman dahulu. Lalu diceritakanlah hal itu turun-temurun.
Dapatkah kamu menulis legenda dari masing-masing daerah
di Indonesia? Nah, kerjakanlah seperti contoh di bawah ini.

Nama Legenda
Sangkuriang

Asal Daerah
Jawa Barat

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 113

Kutipan di atas merupakan contoh bahan atau materi ajar yang


tidak komprehensif dan tidak selaras dengan tujuan pengajaran sastra
Indonesia itu sendiri. Dinyatakan demikian karena sebelum memasuki
topik tersebut, siswa tidak diperkenalkan lebih dahulu tentang jenisjenis cerita rakyat selain legenda. Akan tetapi, ketika siswa memasuki
topik mengenai legenda, siswa langsung diminta untuk menyebutkan
nama-nama legenda yang ada di Indonesia. Jika hal ini tidak disertai
dengan penjelasan rinci dari guru, jelas bahwa siswa akan kebingungan
ketika harus berhadapan dengan mite, sage, atau lainnya. Di dalam buku
itu hanya diterangkan bahwa legenda itu adalah cerita rakyat.
Penjelasan yang serampangan ini pasti akan memperburuk persepsi
siswa tentang sastra karena ia tidak tahu persis di mana batas antara
cerita-cerita rakyat yang ada di Indonesia.
Berdasarkan data-data yang dapat dipantau, seperti telah disebutkan pula di depan, tampak bahwa mata pelajaran sastra cenderung
hanya menjadi pelengkap pelajaran bahasa Indonesia. Jenis sastra prosa
yang hanya menekankan pada jenis-jenis cerita rakyat dapat dikatakan
tidak mendukung tujuan kurikulum, karena wawasan anak tentang
sastra Indonesia secara lebih luas menjadi sangat terbatas. Dengan
adanya keterbatasan tersebut, pada tingkat tertentu dan metode yang
sederhana, seharusnya juga diperkenalkan dengan keberadaan sastra
Indonesia itu sendiri. Artinya, di luar cerita rakyat, sebenarnya siswa
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 114

juga sangat perlu diperkenalkan dengan contoh-contoh karya sastra


yang baik yang dapat membimbing pengertian anak tentang sejarah
sastra. Kalau materi pelajaran sastra Indonesia dilepaskan dengan
kesinambungan sejarahnya, dikhawatirkan siswa sekolah dasar hanya
akan menghargai terhadap materi yang diajarkan dan kurang
menghargai karya-karya sastra Indo-nesia yang sebenarnya.
Sekedar sebagai contoh, dalam batas-batas tertentu, apakah tidak
lebih baik siswa diperkenalkan dengan karya Angkatan Pujangga Baru,
Angkatan Balai Pustaka, dan sebagainya. Dengan diperkenalkannya
siswa terhadap hal-hal tersebut, kebanggaan siswa secara psikomotorik
terhadap sastra Indonesia akan dapat dibangun sejak awal. Kebanggaan
dan apresiasi siswa tidak dapat dibangun secara tiba-tiba ketika siswa
sudah masuk pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jika pemberian
materi sastra terlambat dilakukan pada usia dini, besar kemungkinan
siswa akan lebih mencintai sastra dari luar negeri yang sekarang ini
gencar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain,
strategi penulisan buku ajar tentang sastra memang tidak dapat menjadi
beban dalam pelajaran bahasa Indonesia.

3.5.3 Drama
Pada hakikatnya jenis sastra lakon (drama) tidak dapat
dipisahkan dengan pelajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya jika perhatian terhadap naskah drama diberi tempat yang
layak sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah, tidak terkecuali di jenjang
kelas 5 dan 6 sekolah dasar. Kendati demikian, kenyataan menunjukkan
bahwa bahan ajar sastra yang berupa drama tidak memperoleh tempat
yang layak dalam buku-buku ajar bahasa Indonesia kelas 5 dan 6
sekolah dasar terbitan Erlangga.
Jika dalam buku-buku ajar tersebut ditemukan bentuk dialog, -yang dalam buku itu dimaksudkan sebagai bahan ajar drama-- biasanya
dialog tersebut hanya berupa percakapan yang dikemas dalam topik
Membaca Percakapan. Namun, realitas ini barangkali dianggap wajar
karena kurikulum yang mendukungnya juga kurang tegas dalam hal
bahan ajar drama. Salah satu kutipan naskah drama yang dipergunakan
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 115

sebagai bahan ajar drama, misalnya, terdapat dalam pelajaran 12 (cawu


2, buku ajar kelas 6, hlm. 70--71) berikut.
5. Anak Durhaka
a. Membaca drama
1. Bacalah drama anak-anak ini!
Ruangan seperti di atas geladak kapal.
Malin Kundang

Nelayan
Para Nelayan
Malin Kundang

Nelayan

Malin Kundang

: (Berpakaian mewah dan sangat angkuh.) Aku


manusia yang paling kaya di muka bumi ini.
Aku juga manusia yang terpandai. Harta milikku
bertumpuk-tumpuk. Pengalamanku bermacammacam. Lagi pula, apa saja yang kuinginkan
pasti tercapai. Aku datang ke sini untuk
memiliki kekayaan yang ada di sini. Aku ingin
lebih kaya lagi.
: (Ia merasa mengenali orang itu.) Hai,
bukankah Bapak, Bapak itu si Malin Kundang?
: (Berpandang-pandangan.)
: Ya, akulah si Malin Kundang. Akan tetapi,
bukan si Malin Kundang dahulu. Dulu ia miskin.
Akan tetapi, sekarang ia menjadi orang yang
paling kaya di muka bumi ini. Aku telah
berlayar ke mana-mana. Aku telah berniaga dari
satu bandar ke bandar lain. Tidak heran kalau
aku menjadi manusia paling kaya!
: (Ia keluar, memberi tahu ibu si Malin
Kundang, kemudian membawanya menemui
anaknya.) Wahai Malin Kundang, Bapak yang
kaya raya, kenalkah Bapak dengan perempuan
ini?
: Siapa dia?

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 116

Ibu

Malin Kundang
Ibu

Malin Kundang

Nelayan

Malin Kundang
Ibu
Malin Kundang

Ibu

Malin Kundang
Ibu

: (Menatap Malin Kundang dengan sungguhsung-guh, lalu menghampirinya.) Oh anakku,


mengapa engkau tidak mengenali ibumu
sendiri?
: Ibu? Hahaaa . . . haa! Hei, perempuan tua
bangka, aku tidak punya ibu seperti kau!
: (Bergerak mendekati Malin Kundang.) Anakku
Malin Kundang, akulah yang melahirkan dan
membesarkanmu dengan susah payah. Mengapa
setelah kaya engkau tidak mau mengakui
ibumu?
: Hai perempuan tua bangka. Tak tahu malu
mengaku-ngaku sebagai ibuku. Cuihh! (Ia meludah dan mendorong perempuan tua itu hingga
terkulai.) Hai pengawal, bawa perempuan tua itu
kembali ke darat!
(Pengawal menyeret perempuan tua itu.)
: Malin Kundang, mengapa kau berubah seperti
itu? Itu adalah ibumu. Ibu yang telah melahirkanmu!
: Tidak! Tidak!
: Oh, Anakku, sadarlah, aku benar-benar Ibumu.
Aku yakin, kau adalah anakku.
: Sekali lagi kukatakan, kau bukan ibuku. Aku
tidak punya Ibu seperti kau! Perempuan tak tahu
malu! Ayo, pergi!
: Tak kusangka engkau sekejam itu, jika benarbenar kau tidak mengakui aku sebagai ibumu,
kau kukutuk!
: Perempuan hina, aku benci melihatmu. Jika
kau bisa, kutuklah aku sekarang juga!
: (Mengangkat kedua tangan.) Ya, Tuhan,
pantaskah seorang anak mengingkari ibunya?
Kuminta pada-Mu, hukumlah anak durhaka ini!

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 117

Suara Gaib

: Hai Malin Kundang, permohonan ibumu kukabulkan. Kau adalah anak yang durhaka. Ingat!
Kekayaanmu
tidak
dapat
membalas
pengorbanan dan budi baik seorang ibu.
Sekarang, harta yang kau bangga-banggakan itu
tidak akan mampu menolongmu. Kau dan
hartamu akan menjadi batu bertumpuk-tumpuk!
Malin Kundang
: (Kebingungan, akhirnya
memekik dan . . . .)
Dari: Pelajaran Bahasa Indonesia
6b, Depdik-bud, dengan perubahan
seperlunya.

2. Tulislah sifat-sifat para tokoh drama Anak Durhaka!


3. Tulis mana yang menarik dan yang tidak menarik dari cerita tersebut!
4. Peragakan drama tersebut di depan kelas!
Drama tersebut pada dasarnya sudah sesuai dengan tingkat
kemampuan siswa sehingga perintah-perintahnya juga sejajar dengan
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 118

kemampuan penalaran siswa. Akan tetapi, dalam pertanyaan yang ke-2


(Tulislah mana yang menarik dan tidak menarik dari cerita tersebut)
terlihat masih sangat relatif bagi siswa. Dengan kerelatifan seperti itu
tentu siswa akan sulit membayangkan jawaban atau perintah yang harus
dikerjakan.
Sebagai bagian dari pelajaran sastra, bahan ajar jenis sastra
drama akan lebih baik kalau bahan itu juga dilengkapi dengan deskripsi
tentang naskah-naskah drama lain, khususnya naskah drama yang ada
dalam sejarah sastra drama Indonesia. Hal ini dimaksudkan sebagai
upaya memberikan apresiasi yang lebih sempurna terhadap keberadaan
jenis sastra drama bagi siswa di sekolah dasar.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 119

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Dari pengamatan terhadap Kurikulum Pendidikan Dasar
(Landasan Program dan Pengembangan dan GBPP SD 1994) sebagaimana diuraikan dalam bab 2-- dan buku-buku ajar bahasa Indonesia
yang diterbitkan oleh lima penerbit di Indonesia sebagaimana
diuraikan dalam bab 3-- dapat disimpulkan bahwa keberadaan sastra
Indonesia di tingkat sekolah dasar --khususnya kelas 5 dan 6-- belum
memenuhi harapan yang dicita-citakan atau --lebih tegasnya-- tersisih.
Kenyataan tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa hal berikut.
(a) Meskipun selama Orde Baru Kurikulum Pendidikan Dasar
telah direvisi beberapa kali (1968, 1975, 1984, dan 1994), hingga
sekarang --dalam sistem pendidikan di Indonesia-- sastra Indonesia
belum diakui sebagai bidang pengetahuan yang mampu berdiri sendiri;
hal itu terbukti sastra Indonesia tidak menjadi mata pelajaran tersendiri
seperti halnya Matematika, IPA, IPS, PPKn, atau Kerajinan Tangan dan
Kesenian, tetapi menjadi bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia.
(b) Meskipun dalam GBPP subbab rambu-rambu telah
ditegas-kan bahwa porsi pelajaran sastra Indonesia harus seimbang
dengan pelajaran bahasa Indonesia, pada kenyataannya pelajaran bahasa
Indo-nesia jauh lebih dominan; dan hal itu terbukti --sebagaimana
diungkap-kan dalam GBPP subbab pengertian, fungsi, tujuan,
dan ruang lingkup, keberadaan pengajaran sastra Indonesia hanyalah
diprogram-kan sebagai penunjang keberhasilan pengajaran bahasa
Indonesia.
(c) Dengan adanya kenyataan seperti dalam (b), akibatnya
keberadaan sastra dalam buku-buku ajar yang ada --baik buku wajib
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 120

terbitan pemerintah (Balai Pustaka) maupun buku pelengkap terbitan


swasta (Intan Pariwara, Tiga Serangkai, Yudhistira, dan Erlangga)-belum memenuhi harapan pula. Disimpulkan demikian karena dalam
buku-buku ajar itu (1) jumlah bahan ajar sastra yang disajikan jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan bahan ajar bahasa, (2) bahan ajar sastra -puisi, prosa, drama-- cenderung hanya digunakan untuk kepentingan
peng-ajaran bahasa, (3) pembelajaran sastra tidak semata-mata untuk
mencapai tujuan apresiasi sastra dan menumbuhkan minat baca; hal itu
tampak pada pertanyaan, tugas, dan soal-soal yang diberikan cenderung
keluar dari konteks apresiasi dan mematikan kreativitas, dan (4) bahan
ajar sastra yang disajikan sama sekali tidak memperhatikan sejarah
perkem-bangan sastra (anak-anak) Indonesia yang ada.
(d) Kendati di satu sisi kenyataan menunjukkan demikian -seperti tampak dalam (a), (b), dan (c)-- dan di sisi lain alokasi waktu
yang disediakan dalam pembelajaran di sekolah sangat terbatas, sastra
Indonesia sampai saat ini tetap tidak diprogramkan sebagai salah satu
kegiatan ekstrakurikuler yang harus dilakukan di sekolah seperti halnya
pramuka, UKS, atau olah raga.
(e) Dari hasil pengamatan di lapangan dan wawancara terhadap
guru-guru kelas disimpulkan bahwa selama ini sebagian besar guru
hanya mengajarkan sastra sesuai dengan bahan ajar yang ada dalam
buku ajar; mereka tidak berusaha mengembangkannya lebih lanjut.
Kenyataan tersebut terjadi tidak hanya karena faktor sumber daya dan
kemampuan guru yang --dalam hal sastra-- masih sangat terbatas, tetapi
juga karena selama ini belum ada buku pedoman atau pegangan khusus
yang memuat bahan ajar sastra lengkap dengan contoh dan cara atau
metode penyampaiannya; padahal buku semacam itu sangat diperlukan
guru sekolah dasar yang sejak semula memang tidak dipersiapkan untuk
menjadi guru sastra.
4.2 Saran/Usulan
Berdasarkan kenyataan bahwa selama ini keberadaan sastra di
sekolah dasar masih jauh dari harapan, perlu kiranya segera dilakukan
langkah-langkah berikut.
(a) Pemerintah (Depdikbud) hendaknya segera menerbitkan
buku panduan atau pedoman khusus untuk sekolah dasar yang berisi
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 121

bahan ajar sastra lengkap dengan cara dan atau teknik pembelajarannya;
dan buku itu disebarluaskan ke seluruh sekolah di Indonesia.
(b) Pemerintah hendaknya menambah jumlah terbitan bukubuku sastra modern, terutama cerpen, novel, dan naskah drama anakanak, tidak hanya sastra tradisional (cerita rakyat, dongeng, mite,
legenda, dll.), sehingga bahan bacaan sastra di sekolah lebih lengkap
dan bervariasi.
(c) Pemerintah hendaknya segera menyelenggarakan penataran,
penyuluhan, atau bengkel sastra bagi guru secara rutin sebelum mengangkat guru khusus pemegang mata pelajaran sastra seperti halnya guru
olah raga atau agama.
(d) Pemerintah hendaknya memanfaatkan potensi para seniman,
sastrawan, dan atau kritikus sastra untuk turut berpartisipasi mengembangkan sastra di sekolah-sekolah, tidak terkecuali di sekolah dasar.
(e) Pemerintah hendaknya segera melakukan revisi baik kurikulum (GBPP) maupun buku ajar yang selama ini telah digunakan di
sekolah-sekolah dengan harapan keberadaan bahan ajar sastra tidak
tersubordinasi oleh bahan ajar bahasa.
(f) Pihak sekolah --dengan bantuan pemerintah-- hendaknya
segera membenahi perpustakaan sekolah yang selama ini masih terlalu
banyak yang terbengkalai.
(g) Para guru sekolah dasar diharapkan mulai memanfaatkan
buku-buku sastra (anak) yang telah dikirimkan oleh pemerintah ke
masing-masing sekolah --yang menurut catatan Depdikbud-- sebanyak
kurang lebih 2.500 judul.
(h) Dalam menerbitkan buku, baik buku ajar maupun buku
bacaan sastra, hendaknya para penerbit (swasta) melibatkan para pakar
dari berbagai perguruan tinggi atau lembaga yang bergerak di bidang
kesastraan.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 122

DAFTAR PUSTAKA

Alim, Djeniah. 1996. Lancar Berbahasa Indonesia 3. Jakarta: Balai


Pustaka.
Allen, Edward David dan R.M. Valette. 1977. Classroom Techniques.
New York: Harcourt Brace Javanivich Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kurikulum Pendidikan
Dasar: Landasan Program dan Pengembangan. Jakarta: Depdikbud.
--------. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar: Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar (Kelas 5 dan 6). Jakarta: Dep-dikbud.
Lukman, H.D. dan Trihasmoro, L. 1996. Pelajaran Bahasa Indonesia
(5a, 5b, 5c, 6a, 6b, 6c). Jakarta: Yudhistira.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 1995. Kurikulum 1994: Pengajaran Sastra.
Dalam Widyaparwa, nomor 44. Yogyakarta: Balai Penelitian
Bahasa.
Soewandi, Slamet. 1998. Menelusuri Pelajaran Bahasa Indonesia SD
dari Kurikulum ke Kurikulum. Dalam Widya Dharma (Majalah
Ilmiah Universitas Sanata Dharma), nomor 2, April 1998.
Sugono, Dendy. 1996. Lancar Berbahasa Indonesia 4. Jakarta: Balai
Pustaka.
Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 123

Surana. 1994. Aku Cinta Bahasa Indonesia (5A, 5B, 6A, 6B). Sala: Tiga
Serangkai.
Tim Bina Karya Guru (Nurhayati dkk.). 1996. Pandai Berbahasa
Indonesia (5A, 5B, 6A, 6B). Jakarta: Erlangga.
Tim Penyusun Pelajaran Bahasa Indonesia SD. 1993. Pelajaran Bahasa
Indonesia (5a, 5b, 5c, 6a, 6b, 6c). Klaten: Intan Pariwara.

Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia...

Page 124

You might also like