Professional Documents
Culture Documents
Portofolio
Nama Wahana: RSUD Kabupaten Pacitan
Topik: Demam Berdarah Dengue
Tanggal (Kasus): 4 Mei 2016
Presenter: dr. Sarah Zoraya Mirza
Tanggal Presentasi:
Pendamping: dr. Joko, Sp. PD/dr. Masrifah
Tempat Presentasi:
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Deskripsi: Laki-laki, 16 tahun, nyeri perut kanan bawah
Tujuan: Diagnostik dan tatalaksanapada kasus appendicitis akut
Tinjauan
Bahan Bahasan:
Riset
Kasus
Audit
Pustaka
Presentasi dan
Cara Membahas:
Diskusi
Email
Pos
Diskusi
Data Pasien:
Nama: Tn. EL
Nomor Registrasi: 23.97.57
Data Klinik:
Telp:
Terdaftar Sejak: 4 Mei 2016
Data Utama untuk Bahan Diskusi
1. Diagnosis / Gambaran Klinis:
Demam 3 hari
2. Riwayat Pengobatan:
Pasien membeli obat penurun panas di apotek
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit:
Pasien datang pukul 20.15 WIB dengan keluhan demam 3 hari. Demam bersifat naik turun.
Demam turun dengan obat penurun panas. Os juga mengeluh nyeri kepala(+) dan nyeri
retroorbita(+). Hal ini juga disertai dengan mual (+), muntah (-), dan nyeri perut (+). Riwayat gusi
berdarah (-), mimisan (-), bintik merah diseluruh tubuh (-). BAK (+) normal. BAB (+) warna hitam.
4. Riwayat Keluarga:
Riwayat keluarga atau tetangga yang menderita DBD atau demam tifoid disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan dan Sosial:
Pasien adalah seorang karyawan swasta
6. Lain-lain
Kesadaran: Compos mentis/ tampak sakit sedang
GCS : E4M6V5
Tanda vital:
Tekanan darah: 120/80 mmHg. Nadi: 88x/menit. Pernafasan : 20x/menit. Suhu: 39,20C
Pemeriksaan Fisik:
Kepala Leher: mata konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), sianosis bibir(-), JVP 2cmH2O
Thoraks: Inspeksi : simetris
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), iktus kordis tidak teraba,
1
Perkusi
Auskultasi Jantung
Paru
: Suara napas vesikuler( +/+) , Rhonki (-/-) , Wheezing( -/-)
Abdomen: Inspeksi : datar
Palpasi : soepel(+), massa (-), hepar lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+)
Auskultasi: peristaltik (+) normal
Ekstremitas atas : akral hangat(+/+) edema (-/-)
Ekstremitas bawah: akral hangat (+/+), edema (-/-)
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium :
Pemeriksaan
WBC
Hasil
2.3 x 10^3/uL
Nilai Rujukan
4.0 10.0
Lymph
19.7%
20.0 40.0
Mid
6.4 %
3.0 15.0
Gran
73.9%
50.0 70.0
HGB
13.5 g/dL
12.0 16.0
RBC
4.40 x 10^6/uL
4.00 5.50
HCT
38.4%
40.0 54.0
MCV
87.3 fL
80.0 100.0
MCH
30.6 pg
27.0 31.0
MCHC
35.1 gr/dl
32.0 36.0
RDW-SD
38.9 fL
35.0 56.0
RDW-CV
12.0 %
11.0 16.0
PLT
94 x 10^3/uL
150 450
Hasil pemeriksaan IgM anti Dengue (+) dan IgG anti Dengue (+)
Diagnosis: Demam Berdarah Dengue
Rencana terapi:
Medika mentosa:
-
IVFD RL 28 tpm
Inj. Antrain 1gr/8 jam
2
Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh telapak kaki kirinya dirasa sangat nyeri dan
dirasa terus-menerus, hingga ia tidak bisa berjalan setelah digigit ular pukul 08.00 WIB.
Keluhan disertai telapak kaki kiri panas, baal (kesemutan) dan membengkak pada luka bekas
gigitan hingga betis kiri. Perdarahan tidak berhenti sejak pasien digigit ular. Pasien juga
mengeluh keluar keringat dingin (+) dan nyeri kepala (+).Pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah meningkat, pemeriksaan telapak kaki kiri : terdapat dua buah luka pada
telapak kaki kiri,bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm,
jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris sinistra berwarna
merah keunguan, edema (+),nyeri tekan (+), perdarahan (+). Pemeriksaan laboratorium
didapatkan hasil leukositosis, trombositopeni dan pemeriksaan PTT dan APTT memanjang.
Derajat
0
I
II
Venerasi
0
+/+
Luka gigit
+
+
+
Nyeri
+/+
+++
III
++
+++
IV
+++
+++
Udem/eritema
<3cm/12 jam
<3cm/12 jam
>12cm25cm/12jam
>25cm/12jam
Pada satu
ekstremitas
secara
menyeluruh
Tanda sistemik
0
0
+. Neurotoksik, mual,
pusing, syok
++,syok,
petekie,ekimosis
++, gangguan faal
ginjal, koma,
perdarahan
Tinjauan Pustaka
Luka Gigitan Ular/ Snake Bite
3.1.
Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia.
Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan khusus untuk
mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit kadang kala dapat
mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang beberapa lainnya
cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya1
3.2.
Etiologi
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang
bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan dari rahang
atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana
bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila manusia tergigit, bisa
biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular kobra yang meludah dapat memeras
bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan terhadap kedua mata
penyerang 2,3.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular,
jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk
kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi3.
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa
yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys
carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah
(Sibynophis geminatus).
Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae,
Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa
contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus
candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae
memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat
ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae
dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ),
yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan
(Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris)3
Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa
Bentuk Kepala
Gigi Taring
Bekas Gigitan
Warna
3.3.
Tidak berbisa
Bulat
Gigi Kecil
Lengkung seperti U
Warna-warni
Berbisa
Elips, segitiga
2 gigi taring besar
Terdiri dari 2 titik
Gelap
Bisa ular
7
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein,
termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek
klinis2 :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat pula
menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung beberapa
prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade pembekuan
darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah
secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah
gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi sangan rendah (koagulopati konsumtif)
sehingga darah tidak dapat membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi pembuluh
darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan fosfolipase A)
racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas membran sel dan
menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan membran sel
dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik ennzim ini dapat menghancurkan membran
sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) merupakan
phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan transmiter
asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin untuk
mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang mirip seperti
paralisis kuraonium2
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar
sel sehingga memudahkan penyebaran racun4.
1.4.
mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular
dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung
pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta
8
ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat
memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan
penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada
bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan
sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati
biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan
kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan
status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler
dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal5
1.5.
Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan
yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam
atau ditandai dengan perdarahan hebat.
3.6.Tatalaksana
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah3
1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum
korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain
yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat
penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum
mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang
membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban
yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara
mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan
atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah
bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan
terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan
pendarahan lokal.
10
3.6.
merupakan serum polivalen yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma kuda yang
dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan hematotoksik, yang
kebanyakan ada di Indonesia.
Kandungan Serum Anti Bisa Ular
Tiap ml dapat menetralisasi :
Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50
Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50
Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50
Mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet
Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular
Penyimpanan serum antibisa ular adalah pada suhu 20-80 C dengan waktu kadaluwarsa 2 tahun.
sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam
NaCl dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6
jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat
diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). Antiserum yang tidak diencerkan dapat
diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anakanak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah dengan menyuntikkan 2,5
ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada
kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam.
Efek Samping Serum Anti Bisa Ular
Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan memberikan
perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus hari-hati, mengingat
kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat berupa :
1. Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2. Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu, gatal-gatal, sesak
nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul bila digunakan serum yang sudah
dimurnikan
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena
4. Rasa nyeri pada tempat suantikan
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini terjadi dalam
pemberian 24 jam.
Hal-hal yang harus diperhatikan bila akan menyuntik serum
1. Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan antihistamin
2. Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan dari lemari es,
apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga suhunya sama dengan suhu
badan
3. Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan relax
4. Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling sedikit 30 menit
Tes hipersentivitas subkutan
Untuk mengetahui apakah serum dapat diberikan kepada seseorang, terlebih dahulu harus
dilakukan tes hipersensitifitas sbukutan sebagai berikut :
Suntikan 0,2 ml serum encerkan 1: 10, subkutan dan amati 30 menit.
Reaksi yang mungkin timbul dapat berupa tanda-tanda reaksi anafilaktik yang dini seperti
pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntahmuntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatalgatal, rasa tidak nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang. Reaksi
selama 30 menit.
Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan
Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara perlahan-lahan dan
amati 30 menit.
14
Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti atau dicurigai
mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih tanda berikut :
(tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan setelah tergigit pada jarijari. Pembengkakan yang meluas dan pembesaran kelenjar getah bening pada kelenjar getah
bening pada ekstremitas yang terkena gigitan.
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti tabel di bawah
ini :
Derajat
0
I
II
Venerasi
0
+/+
Luka gigit
+
+
+
Nyeri
+/+
+++
III
++
+++
IV
+++
+++
Udem/eritema
<3cm/12 jam
<3cm/12 jam
>12cm25cm/12jam
>25cm/12jam
Pada satu
ekstremitas
secara
menyeluruh
15
Tanda sistemik
0
0
+. Neurotoksik, mual,
pusing, syok
++,syok,
petekie,ekimosis
++, gangguan faal
ginjal, koma,
perdarahan
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU
Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat
melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama beberapa hari,
atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu atau lebih. Untuk itu,
pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi koagulopati persisten.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
16
3.8.
Penatalaksanaan
DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR
PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
4.
YA
TIDA
K
TIDA
K
YA
ULAR DIBAWA KE
TIDA
RS
K
TERDAPAT
TANDA
ENVENOMASI
(KERACUNAN)
TIDA
K
RAWAT
OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM
YA
YA
TIDA
K
TERDAPAT TANDA
ENVENOMASI
((KERACUNAN)
TANDA MEMENUHI
KRITERIA
PEMBERIAN
ANTIBISA
TANDA MEMENUHI
KRITERIA
PEMBERIAN
ANTIBISA1
TIDA
K
YA
TERSEDIA
ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
POLISPESIFIK
YA
OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM
YA
YA
TIDA
K
RAWAT
ULAR DAPAT
TERIDENTIFIKASI
BERIKAN
ANTIBISA
POLISPESIFIK
UNTUK SPESIES
ULAR YANG
BERADA DI AREA
GEOGRAFIS
ULAR
DITETAPKAN
TIDAK BERBISA
YA
TIDA
K
RAWAT
OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM
TIDA
K
YA
BERIKAN
ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
POLISPESIFIK
RAWAT
TENANGKAN KORBAN,
BERI SERUM
ANTITETANUS,
PULANGKAN KORBAN
RAWAT
TERAPI
KONSERVATIF**
17
Disadur dari WHO Guidelines for The ClinicalLIHAT RESPON
Management of Snake Bite in The South East
ULANGI DOSIS INISIASI
ADA PERBAIKAN :
TANDA
TIDAK ADA PERBAIKAN :
Asia Region 2005OBSERVASI*
RAWAT
ANTIBISARAWAT
(MAX 80-100
DI
OBSERVASI* DI RS
2
RS
TIDA
ENVENOMASI RUJUK YA
SEGERA
RAWAT
ml)
Reaksi
hipersensitivitas (-)
Injeksi adrenalin
1:1000
Reaksi
hipersensitivitas (+)
Reaksi
hipersensitivitas (-)
Serum jangan
diberikan
KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing,
perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntahmuntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat,
tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut,
sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang
18
Amati respon
terhadap serum
antibisa ular
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan
penunjang. Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan khusus di
ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan
memastikan proteksi jalan nafas.
19
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung dari
derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti
waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen
** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin, Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
3.9.
Komplikasi
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular. Komplikasi luka lokal
dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi
hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai
resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh
mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi ular
koral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat
20
(anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh
immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat
laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa
intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin,
pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2 minggu setelah
pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit,
sendi,
dan
ginjal
bertanggung
jawab
atas
timbulnya
arthralgia,
urtikaria,
dan
glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada sindrom
ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid4.
PROGNOSIS GIGITAN ULAR
Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik, memprediksi
prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Jika tergigit oleh ular tidak berbisa,
korban akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak berbisa meliputi gigi yang
tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka.
Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada lebih dari 20%
gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang disuntikan. Hal ini
disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang diakibatkan oleh elapid.
Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular) memiliki komplikasi yang sama dengan gigitan ular
tidak berbisa.
Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit sistemik lain sebagian
besar tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang sama dengan orang dewasa yang
sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang paling penting, antibisa ular, dapat
mempengaruhi bagaimana keadaan korban.
Daftar Pustaka
1. SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from :
www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
2. WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia
Region.
3. Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id
21
4. Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku Ajar
Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
5. Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
6. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
22