You are on page 1of 3

Akademisi ketika Birokrat dan Politisi campur tangan

Oleh : Rizki Ramadhani


Studi kasus berujung pemecahan masalah yang sering dilakukan oleh
mahasiswa calon cendikiawan dan kemudian dikritisi oleh akademisi,
menghasilkan suatu solusi kerap kali mendapat applause dari pelbagai
lapisan status sosial dari tukang becak sampai pilot. hubungan antara
mahasisawa dan dosen lebih asik dinikmati dari kaca jendela kampus,
lengkap dengan pelantang membuat suasana semakin bergemuruh ketika
didalam ruangan.
Dalam kasus ini, penulis mendapat tantangan untuk menemukan
permasalahan yang ada di kota/desa. Sebagai mahasiswa arsitektur harus
mampu menemukan akar dari permasalahan dan kemudian memberikan
solusi (entah kepada siapa) untuk ditanggapi agar dilaksanakannya Rencana
Tindak Lanjut (RTL), semoga hal ini tidak berakhir di atas kertas. Aku lebih
baik berkumpul dengan pembuat kopi yang mau berbuat dengan kopinya
daripada pembuat makalah yang tidak mau berbuat dengan makalahnya,
Munir.
Arsitektur

yang

berperan

sebagai

lingkungan

binaan

pada

kenyataannya akan menyerap dan diserap oleh keadaan sosiokultural


lingkungannya. Pada kenyataannya, arsitektur selalu mempunyai relasi
antara politik dan kekuasaan. Arsitektur yang berkembang di nusantara
misalnya, dimulai dari peninggalan candi-candi hingga munculnya monumen
nasional

menggambarkan

kekuasaan

dan

peradaban

yang

tengah

berlangsung pada masa itu.


Lalu apa korelasi antara arsitektur (dalam hal ini bisa disebut
akademisi),

birokrat

dan

politisi?

Arsitekrur

yang

berperan

sebagai

penggagas terdepan dalam pemunculan dan pengembangan ide sebuah


kota, harus mampu memberikan hipnotis kepada birokrat dan politisi untuk

menjadikan sebuah kota yang berorientasi pada rakyat, bukan penguasa.


Dalam hal ini, arsitek harus memimpin rancangan (desain) perkotaan dalam
suatu susunan pembangunan. Kesepakatan publik dalam perencanaan kota
tidak dapat dijamin hanya dengan repesentasi perwakilan di DPRD saja,
melainkan perlu melibatkan akademisi yang mumpuni di bidangnya. Bukan
malah sebaliknya, kerap kali terjadi kepentingan politik lebih mendominasi
ketimbang kreativitas, ide dan visi dalam menciptakan ruang dan bangunan.
Perencanaan kota dan politik memiliki kaitan yang kuat. Meski dalam
prakteknya dua hal ini sulit untuk dipertemukan dan seringkali tidak dapat
dilihat secara kasat mata oleh publik. Adanya keberagaman kepentingan dari
berbagai kelompok

yang menyangkut keputusan tata guna lahan, zoning

dsb yang menyebabkan perencanaan kota mau tidak mau memasuki ranah
politik.
Antasan Kecil Timur, Banjarmasin, merupakan salah satu dari sekian
banyak kawasan yang memiliki potensi wisata budaya yang masih memiliki
kearifan local. Meski pada kenyatannya mulai bergeser menuju modernisasi
mengikuti arus perkembangan jaman. Beralihnya focal point yang dulunya
adalah sungai, sekarang mulai bergeser menjadi jalan sebagai focal point.
Hal ini tentu mengakibatkan istilah sungai di anak tirikan oleh pemerintah.
Betapa tidak, sungai sekarang ini hanya sebagai simbolis bagi kota seribu
sungai. Jalan raya dimanjakan oleh fasilitas-fasilitas mewah yang tentu
datangnya dari pemerintah. Sungai hanya anak tiri yang hanya sesekali
mendapat perhatian dari sang bapak.
Warga yang terlena akibat dimanjakannya jalan oleh pemerintah,
membuat mereka ikut-ikutan meng-anak tirikan sungai. Menjadikan sungai
hanya sebatas aliran air seperti halnya kota-kota besar lainnya. Banjarmasin
yang notabenenya adalah kota seribu sungai tentu saja memiliki karakter

sungai yang berbeda dari kota lainnya, sungai sebagai produk kearifan lokal
harus dilestarikan sampai kapanpun.
Upaya yang tepat

adalah mengembalikan focal point Banjarmasin

kembali ke sungai. Warga diajak kembali untuk bergantung pada sungai,


menghargai kehadirannya dan memelihara seperti anak kandung sendiri.
Dengan melibatkan akademisi di bidangnya, sungai akan dikembalikan
sebagaimana mestinya, permukiman warga dikembalikan untuk berkiblat
pada sungai. Pengadaan sarana dan prasarana sungai yang tidak sedikit
memakai

biaya

dan tentunya

melibatkan

para

akademisi

yang

ahli

dibidangnya. Lagi-lagi hal seperti ini harus berurusan dengan para penguasa.
Pada kenyataannya kerap kali perencanaan menjadi bidang yang
sangat teknis yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil ahli atau individu yang
memiliki akses terhadap kekuasaan.
Desain perkotaan yang baik memang memerlukan politisi dan birokrat untuk
mengatur parameter dan kemudian keluar dari masalah. Jika akhir dari
proses ini adalah suara publik, harusnya biarkan publik yang memutuskan.
Peran kota adalah memungkinkan para ahli untuk menciptakan visi, dalam
kerangka pedoman yang ditetapkan.
Perkotaan diciptakan oleh pemimpin sipil yang kuat yang memahami proses
ini. Mereka memotong birokrasi dan memeluk ide-ide arsitek. Masukan publik
diadopsi ke dalam proses, menjamin bahwa para pengembang dan arsitek
memahami

kepentingan

masyarakat.

Peran

birokrat

adalah

untuk

memindahkan proses kreatif jauh dari badai kepentingan golongan.


Arsitek harus diizinkan untuk merancang. Biarkan ia menciptakan ruang dan
bangunan yang berfungsi sebagaimana mestinya dan mengubah kota. Beri
mereka pedoman yang jelas kemudian membiarkan mereka menggunakan
bakat mereka.

You might also like