You are on page 1of 23

CASE REPORT

BAGIAN PENYAKIT DALAM


PENYAKIT JANTUNG KORONER

Oleh :
Andika Tryadi
Fadli Fadil Ramadhan Rochmani
Farah Malahayati

Pembimbing :
Dr. Husni Adnan, Sp.D

Kepaniteraan Bagian Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Subang
Peiode 2013
1|Page

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SUBANG

STATUS PASIEN PENYAKIT DALAM


I.
KETERANGAN UMUM
Nama
: Tn. Surlan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 01/07/1953 ( 59 Tahun 10 Bulan 5 Hari
Alamat
: Kampung Leleus Kulon
RT/RW
: 20/05
Kelurahan
: Leleuskulon
Kecamatan
: SagalaHerang
Pekerjaan
: Pegawai swasta
Pendidikan
: SD /sederajat
Agama
: Islam
Tanggal Pemeriksaan
: 17 April 2013
II.

KELUHAN UTAMA
Nyeri dada kiri sampai ke punggung.

III.

ANAMNESIS KHUSUS
Pasien datang ke IGD RSUD Subang dengan keluhan nyeri pada dada kiri. Nyeri dada
tersebut sudah dirasakan pasien sejak satu minggu SMRS. Nyeri dada yang pasien rasakan
dirasa panas seperti terbakar disertai sesak nafas. Nyeri dada dirasakan menjalar ke lengan,
bahu, leher, rahang bahkan ke punggung dan epigastrium. Nyeri dada disertai perasaan mualmuntah.Nyeri dada didapati ketika sedang beraktifitas. Keluhan terjadi sekitar dua puluh
sampai Tiga puluh lima menit dan berkurang setelah berisitirahat. Pasien merasa sesak saat
berbaring sehingga pasien lebih memilih tidur dengan tiga bantal bahkan dengan posisi duduk
sehingga pasien merasa kesulitan untuk tidur karena seringnya pasien terbangun ditengah
malam menjelang subuh.
Keluhan ini baru dirasakan oleh pasien, sebelumnya pasien memiliki riwayat maag
walaupun pasien mengakui bahwa pasien selalu makan tiga kali sehari dengan jumlah yg
cukup. Pasien juga memiliki kebiasaan merokok dan minum kopi, untuk rokok . Pasien
mengakui bahwa orangtua pasien pernah mengalami gejala yang sama. Pasien juga memiliki
riwayat hipertensi dan asam urat.
IV.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran

Tanda Vital

2|Page

Tekanan darah

: 150/90 mmHg

Nadi = Heart Rate

: 68 x/menit, iregular, equal, isi lebih

Respirasi

: 20 x/menit, torakoabdominal

Suhu

: 38,5oC

: Kompos mentis.

Kepala
Rambut : warna hitam, sedikit rontok
Mata

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflex pupil +./+

Hidung : terdapat pernafasan cuping hidung, sekret tidak ada, tidak ada deviasi
septum
Telinga : sekret (-) , nyeri tekan mastoid (-), tinnitus (+)
Mulut

: sianosis perioral (-), mukosa mulut dan lidah basah tidak kotor, papil
lidah tidak atrofi

Leher

Inspeksi : jugular venous pressure 5 + 3 cmH2O

Palpasi : kelenjar getah bening tidak membesar, deviasi trakea tidak


ada

Kulit
ikterik

: turgor kulit baik, tidak ada sianosis, tidak ada petekhie, dan

Toraks
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: bentuk
sedikit sekung, gerakan dinding dada
hemitoraks simetris kanan dan kiri pada saat statis dan
dinamis
: fremitus taktil dan fremitus vokal simetris kanan dan
kiri, nyeri tekan (-)
: sonor pada seluruh lapang paru, peranjakan paru (+)
: vesikuler pada lapang paru, wheezing -/-, ronki -/-.

Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: iktus kordis tidak terlihat


: iktus kordis teraba di ICS VII linea midclavikula
sinistra
: Batas jantung kanan ICS VI linea axilaris anterior
dextra
Batas jantung kiri ICS VI linea parasternalis sinistra
Batas jantung atas ICS II linea parasternal sinistra

Auskultasi

: bunyi reguler, murmur ada, gallop tidak ada

: Buncit lembut, nyeri tekan (+)

Abdomen

3|Page

Inspeksi
Auskultasi
Perkusi

: Timpani di 4 kuadran, pekak samping (-) ruang troube

Palpasi

Kosong
: Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba
Ginjal ballotement (-)
Nyeri tekan pada epigastrium (+)

Ekstremitas
Akral hangat, sianosis -/- , edema -/V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan : 17 April 2012
Glukosa sewaktu

: 94 mg/dl (Normal = 70-150 mg/dl)

Ureum

: 28 mg/dl (Normal = 10-50 mg/dl)

Creatinin

: 1.0 mg/dl (Normal = 0.6-0.9 mg/dl)

b. EKG

4|Page

c. Foto rontgen toraks

VI.

RESUME
Pasien datang dengan dispneu, serta adanya orthopneu, dispneu deffort dan
paroksisimal nokturnal dispneu. Adanya nyeri dada yang dirasakan menjalar ke daerah
punggung. Nyeri dada yang disertai sesak nafas dirasakan pasien ketika sedang beraktifitas.
Keluhan utama ini baru dirasakan oleh pasien, pasien memiliki riwayat maag. Pasien juga
memiliki kebiasaan merokok dan minum kopi. Pasien mengakui bahwa orangtua pasien
pernah mengalami gejala yang sama. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi dan asam urat.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nafas cuping hidung dengan JVP meningkat. Pada rontgen
toraks didapatkan jantung yang membesar.
VII.

DIAGNOSIS BANDING
Infark Miokard Akut
Angina Pektoris Tidak Stabil
Angina Pektoris Stabil
Pericarditis akut
Emboli paru
Diseksi aorta akut
Kostokondritis

VIII.

DIAGNOSIS KERJA
Infark Miokard Akut

IX.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Creatinie kinase (CKMB)
Cardiac specific tro[onin (cTn) atau (cTn1)

X.

PENATALAKSANAAN
Diet rendah garam
O2 dengan sanutrasi oksigen <90%
Infus D5 20 tetes/menit
Lasix 1 x1
ISDN 3 x 5 mg tab sublingual

5|Page

XI.

Ranitidin 2 x 1 tab
Aspilet 1 x1 tab
Vomiple 1 x1

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: dubia ad bonam

PEMBAHASAN

6|Page

Gagal Jantung merupakan sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala) yang
ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh
kelainan struktur atau fungsi jantung.
Beberapa Istilah dalam gagal jantung yaitu :
1. Gagal Jantung sistolik dan diastolic
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga
curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas
fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik adalah
gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel.
2. Low output dan High Heart Failure
Low output dan HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup
dan perikard. High output HF ditemukan pada penurunan resistensi vascular sistemik
seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan. Kedua kelainan ini sangat sulit untuk
dibedakan.
3. Gagal Jantung Akut dan Khronik
Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma dan infark miokard luas. Curah jantung yang menurun tiba-tiba
menyebabkan penurunan tekanan darah disertai dengan edema perifer.
Contoh gagal jantung khronis adalah kariomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular
yang terjadi secara perlahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah
masih terpelihara dengan baik.
4. Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan penderita sesak nafas dan ortopneu.
Gagal jantung kanan terjadi bila kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti
pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru khronis sehingga
terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema vena perifer, hepatomegali,
dan distensi vena jugularis.

7|Page

PATOGENESIS
Gambar 1 memberikan suatu kerangka konseptual umum dalam pertimbangan perkembangan
dan progresif gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun. Seperti terlihat, HF dapat
digambarkan sebagai suatu gangguan progressif yang dimulai setelah kejadian penanda, baik
kerusakan pada otot jantung, dengan rusaknya myosit kardiak fungsional, maupun adanya
gangguan terhadap kemampuan myokard untuk menciptakan tekanan, sehingga mencegah
terjadinya kontraksi normal. Kejadian penanda ini dapat berupa onset yang mendadak, seperti
pada kasus IM; dapat pula berupa onset gradual atau perlahan, seperti pada kasus overload
tekanan hemodinamik atau volume overload; dan dapat pula herediter, seperti pada banyak
kasus kardiomyopati genetic. Tanpa mempertimbangkan sifat dari kejadian merusak ini,
gejala yang serupa dari setiap kejadian penanda adalah bahwa gejala ini, pada beberapa cara,
menghasilkan penurunan pada kapasitas pompa pada jantung. Pada kebanyakan keadaan,
pasien tidak mengalami gejala apapun atau dengan gejala minimal setelah mengalami
penurunan kapasitas pompa jantung, atau gejala berkembang hanya setelah disfungsi ini
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga, jika ditinjau dari kerangka
konseptual ini, disfungsi ventrikel kiri berperan penting, namun tidak cukup, untuk
perkembangan kumpulan gejala pada HF.

Gambar 1. Patogenesis gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun.


Gagal jantung bermula setelah kejadian penanda menghasilkan penurunan awal pada
kapasitas pompa jantung. Akibat terjadinya penurunan kapasitas ini, berbagai mekanisme
kompensasi terjadi, termasuk sistem saraf adrenergic, sistem renin-angiotensin-aldosteron,
dan sistem sitokin. Dalam jangka pendek, sistem ini dapat mengembalikan fungsi
kardiovaskuler ke derajat homeostatik yang normal dan menyebabkan tidak adanya gejala
pada pasien (asimptomatis). Namun, seiring dengan waktu aktivasi sistem kompensasi yang
8|Page

berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan organ dalam ventrikel, disertai dengan


remodelling pada ventrikel kiri yang memburuk, dan pada akhirnya dekompensasi kardiak.
Walaupun alasan yang tepat mengapa pasien dengan disfungsi LV dapat tetap
asimptomatis belum dipastikan, salah satu penjelasannya kemungkinan karena beberapa
mekanisme kompensasi menjadi aktif dengan keberadaan jejas pada jantung dan/atau
disfungsi LV, dan sepertinya hal ini dapat dipertahankan dan mengatur fungsi LV selama
beberapa bulan atau tahun.
Daftar mekanisme kompensasi yang telah dijelaskan diatas termasuk
1) Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dan sistem saraf adrenergic,
dimana berperan dalam menjaga kardiak output dengan meningkatkan retensi
garam dan ait (Gambar 2),
2) Meningkatkan kontraktilitas myokard. Disertai dengan aktivasi dari molekul yang
menghambat vasodilatasi, termasuk peptida natriuretik otak dan atrial (ANP dan
BNP), prostaglandin (PGE2 dan PGI2), dan nitric oxide (NO), yang menimbulkan
vasokonstriksi vaskuler perifer yang berlebihan.
Latar belakang genetis, jenis kelamin, umur, dan lingkungan dapa mempengaruhi
mekanisme kompensasi tersebut, dimana dapat memodulasi fungsi LV dalam suatu
homeostatik yang fisiologis, pada keadaan demikian, kapasitas fungsional dari pasien dapat
dijaga atau hanya sedikit menurun. Sehingga, pasien dapat menjadi tetap asimpomatis atau
dengan gejala minimum untuk jangka waktu beberapa bulan bahkan tahun. Namun, pada
suatu poin,vpasien akan mendapatkan gejala yang jelas, disertai dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas. Walaupun mekanisme pasti yang berperan dalam transisi ini tidak
diketahui, seperti yang dijelaskan dibawah, transisi antara HF asimptomatik menjadi
simptomatik diikuti oleh adanya peningkatan aktivasi sistem neurohormonal, adrenergik, dan
sitokin yang mengakibatkan beebrapa perubahan adaptif dalam myokard yang secara
keseluruhan disebut LV remodelling.

Gambar 2. Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal ginjal.


9|Page

Penurunan cardiac output pada pasien HF menghasilkan pengehentian dari


baroreseptor tekanan tinggi pada ventrikel kiri (lingkaran) pada ventrikel kiri, sinus karotis,
dan arcus aorta. Efek ini menghasilkan pembentukan sinyal aferen terhadap sistem saraf
pusat (CNS) yang menstimulasi pusat cardioregulator pada otak yang menstimulasi pelepasan
arginine vasopression (AVP) dari hipotalamus posterior. AVP [antidiuretic hormone (ADH)]
merupakan vasokonstriktor kuat yang meningkatkan permeabilitas dari duktus koligens renal,
menyebabkan reabsorbsi air. Sinyal aferen ini juga mengaktivasi sistem simpatetik eferen
yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal.
Berbeda dengan pengetahuan kita mengenai patogenesis HF dengan penurunan EF,
pemahaman mengenai mekanisme yang berperan dalam perkembangan HF dengan EF yang
normal masih diteliti. Walaupun disfungsi diastolic diketahui merupakan mekanisme tunggal
yang berperan dalam perkembangan HF dengan EF normal, penelitian berbasis komunitas
menyatakan bahwa mekanisme tambahan lainnya, seperti peningkatan kekakuan vaskuler dan
ventrikuler, dapat berperan penting pula.

Patogenesis terjadinya Gagal Jantung

10 | P a g e

MANIFESTASI KLINIS
Gejala
Gejala kardinal dari HF adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah lelah
dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada HF, sepertinya abnormalitas otot
skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya (mis. anemia) juga berkontribusi terhadap
gejala ini. Pada tahap HF yang dini, sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat (dyspneu
deffort); namun semakin penyakit ini berkembang, sesak napas juga dialami pada aktivitas
ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat beristirahat.
Banyak faktor yang menyebabkan sesak napas pada HF. Mekanisme paling penting
adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan interstitial atau intraalveolar,
yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan menstimulasi pernapasan cepat dan
dangkal yang khas untuk sesak napas kausa penyakit jantung. Faktor lain yang berperan
terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat adalah menurunnya komplians
pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas, kelemahan otot napas atau/dan diaphragma,
dan anemia. Sesak napas dapat menjadi lebih jarang dengan adanya onset kegagalan
ventrikuler kanan dan regurgitasi tricuspid.
A. Orthopnea
Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring,
biasanya merupakan manifestasi lanjut dari HF dibandingkan dyspneu deffort. Hal ini
terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah
kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler
pulmoner.
Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari) merupakan gejala yang sering
terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan gejala HF yang lain. Orthopneu
umumnya meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari 1 bantal.
Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik pada HF, ini
dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan pasien
dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan posisi
tegak.
B. Paroxysmal Nocturnal Dyspenea (PND)
Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang
biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3
jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau
wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial
menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial
yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara.
Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien
PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka
mengaku telah duduk tegak. Cardiac asthma sepertinya berhubungan dekat dengan
PND, ditandai dengan adanya wheezing akibat bronchospasme, dan harus dapat
dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner lainnya yang menimbulkan
wheezing.

11 | P a g e

C. Pernapasan Cheyne-Stokes
Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan CheyneStokes umum terjadi pada HF berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak
ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada
pusat respirasi terhadap tekanan PCO2.
Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial
meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat
pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase
apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak
napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.
D. Edema Pulmoner Akut
Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat,
tachynepa, tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat kompresi
saluran udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi biasanya terjadi
akibat pelepasan cathecolamine endogenous.
Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada edema
paru akut. Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik dan
diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q wave yang
berubah yang biasanya diagnostic untuk infark myokard dan sebaiknya dilakukan
protocol infark myokard dengan segera dan terapi reperfusi arteri koroner. Kadar
brain natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna, mendukung gagal jantung
sebagai etiologu sesak napas akut dengan edema pulmoner .
E. Gejala Lainnya
Pasien dengan HF dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal. Anorexia,
nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan gejala
yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau
kongesti hepar dan regangan kapsulnya yang dapat mengakibatkan nyeri pada
kuadran kanan atas. Gejala serebral, seperti disorientasi, gangguan tidur dan mood,
dapat pula diamati pada pasien dengan HF berat, terutama pasien lanjut usia dengan
arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun. Nocturia umum terjadi
pada HF dan dapat berperan dalam insomnia.

12 | P a g e

Klasifikasi gagal jantung menurut NYHA (New York Heart Association) :


Kapasitas
Fungsional

Penilaian Objektif

CLASS I

Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan pada aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri
anginal

CLASS II

Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik


ringan. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik biasa
mengakibatkan kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.

CLASS III

Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan keterbatasan bermakna pada


aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik yang
lebih ringan dari biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, dan nyeri
anginal.

CLASS IV

Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk


menjalani aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal jantung
atau sindroma angina dapat dialami bahkan pada saat istirahat. Jika aktivitas fisik
dilakukan, maka rasa tidak nyaman semakin meningkat.

DIAGNOSIS
Kriteria Framingham dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria mayor:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Paroksismal nocturnal dyspnea


Distensis vena lehar
Ronki basah di basal paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Irama derap S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular

Kriteria minor:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan Kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardi (>120x/mnt)

13 | P a g e

Mayor atau minor


Penurunan berat badan > 4,5 Kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosa ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus
ada pada saat yang bersamaan.
PENATALAKSANAAN GAGAL JANTUNG
Apabila sindroma gagal jantung belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi
ventrikel kiri/ LV dysfunction (tahap asimptomatik), maka keluhan seperti fatik, sesak napas,
edema, peningkatan vena jugularis, asites, kardiomegali dan hepatomegali kurang jelas. Oleh
karena itu dapat digunakan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menopang diagnosis
seperti pemeriksaan foto rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.
Terapi dalam gagal jantung diuretic oral maupun parenteral tetap merupakan ujung
tombak pengobatan gagal jantung sampai oedem atau asites hilang (tercapai euvolemik).
Ace-Inhihitor atau Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah
euvolemik tercapai sampai dosis optimal. Beta blocker sampai optimal dapat dimulai setelah
diuretic dan ACE-inhobitor itu diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT
lainnya) atau ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi
digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin yang meningkat)
atau kadar kalium yang rendah (kurang dari 3,5 meq/L).
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretic atau pada pasien
dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan
pemberian obat jenis ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretic-vasodilatasi seperti Brain Natriuretic Peptide
(Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat bantu seperti Cardiac Resynchronization
Therapy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrilator) sebagai
alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia atau non-iskemi dapat
memperbaiki status fungsional atau kualitas hidup, tetapi biayanya sangat mahal. Berikut
adalah Algoritma yang mungkin bisa digunakan untuk terapi pada gagal jantung.

14 | P a g e

PENYAKI T JANTUNG KORONER


Pembuluh darah koroner merupakan penyalur aliran darah (membawa 02 dan
makanan yang dibutuhkan miokard agar dapat berfusi dengan baik. penyakit Jantung Koroner
adalah salah satu akibat utama arteriosklerosis (pengerasan pembuluh darah nadi) yang
dikenal sebagai atherosklerosis. Pada keadaan ini pembuluh darah nadi menyempit karena
terjadi endapan-endapan lemak (atheroma dan plaques) pada didindingnya.
Faktor-faktor resiko untuk terjadinya keadaan ini adalah merokok, tekanan darah
tinggi, 1`Dpeninggian nilai kolesterol didarah, kegemukan stress, diabetes mellitus dan
riwayat keluarga yang kuat untuk Penyakit Jantung Koroner. Dengan bertambahnya umur
penyakit ini akan lebih sering ada. pria mempunyai resiko lebih tinggi dari pada wanita, tetapi
perbedaan ini dengan meningkatnya umur akan makin lama makin kecil.
Faktor-faktor resiko PJK
Faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner dikenal sejak lama berupa:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Hipertensi
Kolesterol darah
Merokok
Diet
Usia
Sex
Kurang latihan
Turunan

Pada tahun 1772 Herbeden menemukan suatu sindroma gangguan pada dada berupa
perayaan nyeri terlebih-lebih waktu berjalan, mendaki atau segera sesudah makan.
Sebenarnya perasaan nyeri seperti ini tidak saja disebabkan oleh kelainan organ didalam
toraks, akan tetapi dapat juga berasal dari otot, syaraf, tulang dan faktor psikis. Dalam
15 | P a g e

kaitannya dengan jantung sindroma ini disebut Angina Pectoris,yang disebabkan oleh karena
ketidak seimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dengan penyediaannya.
Penyediaan oksigen
Oksigen sangat diperlukan oleh sel miokard untuk mempertahankan fungsinya, yang
didapat dari sirkulasi koroner yang untuk miokard terpakai sebanyak 70-80 sehingga wajarlah
apabila aliran koroner perlu ditingkatkan. Aliran darah koroner terutama terjadi sewaktu
diastole pada saat otot ventrikel dalam keadaan istirahat.
Banyaknya aliran koroner dipengaruhi oleh beberapa hal seperti tekanan diastolik
aorta. lamanya setiap diastole dan ukuran pembuluh aretri terutama arteriole. Jadi
pengurangan aliran koroner umumnya disebabkan oleh kelainan pembuluh koroner,
rendahnya tekanan diastolik aorta dan meningkatnya denyut jantung.
Pemakaian Oksigen
Ada beberapa hal yang dipengaruhinya yaitu :
1. Denyut jantung
Apabila denyut jantung bertambah cepat maka keperluan oksigen permenit akan
meningkat.
2. Kontraktilitas
Dengan bekerja maka banyak dikeluarkan katekolamin (Adrenalin dan Nor
Adrenalin), sehingga akan menambah tenaga kontraksi jantung.
3. Tekanan sistolik ventrikel Kiri
Makin tinggi tekanan ini, makin banyak pemakaian oksigen.
4. Ukuran jantung
Jantung yang besar memerlukan oksigen yang banyak.
Etiologi:
Adanya aterosklerosis koroner dimana terjadi kelainan pada intima bermula berupa
bercak fibrosa (fibrous plaque) dan selanjutnya terjadi ulserasi, pendarahan, kalsifikasi dan
trombosis. Perjalanan dalam kejadian aterosklerosis tidak hanya disebabkan oleh faktor
tunggal, akan tetapi diberati juga banyak faktor lain seperti : hipertensi, kadar lipid, rokok,
kadar gula darah yang abnormal.
A. Angina Pectoris
Adanya Angina Pectoris dapat dikenal secara:
1) Kwalitas nyeri dada yang khas yaitu perasaan dada tertekan, merasa terbakar atau
susah bernafas.
2) Lokasi nyeri yaitu restrosternal yang menjalar keleher, rahang atau mastoid dan turun
ke lengan kiri.
3) Faktor pencetus seperti sedang emosi, bekerja, sesudah makan atau dalam udara
dingin.
4) Rasa seperti tertarik pada kerongkongan
a) Stable Angina Pectoris
Kebutuhan metabolik otot jantung dan energi tak dapat dipenuhi karena terdapat
stenosis menetap arteri koroner yang disebabkan oleh proses aterosklerosis. Keluhan nyeri
16 | P a g e

dada timbul bila melakukan suatu pekerjaan. sesuai dengan berat ringannya pencetus dibagi
atas beberapa tingkatan :
1.
2.
3.
4.

Selalu timbul sesudah latihan berat.


Timbul sesudah latihan sedang ( jalan cepat 1/2 km)
Timbul waktu latihan ringan (jalan 100 m)
Angina timbul jika gerak badan ringan (jalan biasa)

Diagnosa Angina Pectoris stabil:


1.
2.
3.
4.

Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan Ekokardiografi
Uji latihan fisik (Exercise stress testing)
Angiografi koroner

Terapi:
1.
2.
3.
4.
5.

Menghilangkan faktor pemberat (aktivitas fisik yg berat, dsb)


Mengurangi faktor resiko (menurunkan BB, berhenti merokok, dsb)
Aspirin, atau klopidogrel untuk pengganti aspirin yang terkontraindikasi mutlak.
Beta Blocker
Antagonis Kalsium

b) Unstable Angina Pectoris


Disebabkam primer oleh kontraksi otot poles pembuluh koroner sehingga
mengakibatkan iskemia miokard. patogenesis spasme tersebut hingga kini belum diketahui,
kemungkinan tonus alphaadrenergik yang berlebihan (Histamin, Katekolamin
Prostagglandin).
Selain dari spame pembuluh koroner juga disebut peranan dari agregasi trobosit.
penderita ini mengalami nyeri dada terutama waktu istirahat, sehingga terbangun pada waktu
menjelang subuh. Manifestasi paling sering dari spasme pembuluh koroner ialah variant
(prinzmental).
Angina jenis ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Beratnya angina:

Kelas I : Angina yang berat untuk pertama kali atau makin bertambah beratnya
nyeri dada.
Kelas II : Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan tetapi
tak ada serangan angina dalamwaktu 48 jam terakhir.
Kelas III : Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik
sekali atau lebih dalam waktu 48 jam terakhir.

Keadaan klinis:

Kelas A : Angina tak stabil sekunder karena adanya anemia, infeksi lain atau febris
Kelas B : Angina tak stabil yang primer, tidak ada factor ekstra kardiak

17 | P a g e

Kelas C : Angina yang timbul setelah infark jantung

Terapi:
1. Nitrogliserin subligual dosis tinggi
2. Untuk frokfikasis dapat dipakai pasta nitroglisrerin, nitrat dosis tinggi ataupun
antagonis kalsium
3. Bila bersama dengan aterosklerosis, maka diberikan kombinasi nitrat, antagonis
kalsium, dan penghambat beta
B. Infark miokard akut (IMA)
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot
jantung terganggu. Hal ini selalu terjadi akibat penyumbatan total arteri koronaria oleh
trombus yang terbentuk pada plaque aterosklerosis yang tidak stabil, juga sering mengikuti
ruptur plaque pada arteri koroner. Terjadinya trombus disebabkan oleh rupturnya plaque
tersebut.
Manifestasi Klinis
Keluhan khas ialah nyeri dada retrosternal seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk,
panas atau ditindih barang berat. Nyeri dada serupa dengan angina, tetapi lebih intensif dan
menetap (> 30 menit). Nyeri dapat menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu, leher, rahang
bahkan ke punggung dan epigastrium. Nyeri dapat disertai perasaan mual-muntah, sesak,
pusing, keringat dingin, berdebar-debar atau sinkope. Nyeri berlangsung lebih lama dari
angina pektoris biasa dan tidak responsif terhadap nitrogliserin. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan muka pucat, takikardi, dan bunyi jantung III (jika disertai gagal jantung
kongestif). Distensi vena jugularis umumnya terdapat pada infark ventrikel kanan.
Patofisiologi
Arteri koroner kiri memperdarahi sebagian terbesar ventrikel kiri, septum dan atrium
kiri. Arteri koroner kanan memperdarahi sisi diafragmatik ventrikel kiri, sedikit bagian
posterior dan ventrikel serta atrium kanan. Nodus SA lebih sering diperdarahi oleh arteri
koroner kanan daripada kiri (cabang sirkumfleks).
Nodus AV 90% diperdarahi oleh arteri kanan dan 10% dari sisi kiri (cabang
sirkumfleks). Kedua nodus SA dan AV juga mendapat darah dari arteri Kugel. Jadi jelaslah,
obstruksi arteri koroner kanan. Tetapi bila obstruksi telah terjadi di banyak tempat dan
kolateral-kolateral terlah terbentuk, lokasi infark mungkin tidak dapat tercerminkan oleh
pembuluh asal mana yang terkena.
Dua jenis komplikasi penyakit IMA terpenting ialah komplikasi hemodinamik dan
aritmia. Segera setelah terjadi IMA, daerah miokard setempat akan memperlihatkan
penonjolan sistolik (diskinesia) dengan akibat penurunan ejection fraction, isi sekuncup
(stroke volume) dan peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri.
Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga
naik. Peningkatan tekanan atrium kiri di atas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan
trasudasi cairan ke jaringan interstitial paru. Perburukan hemodinamik ini bukan saja
disebabkan karena daerah infark, tapi juga daerah iskemik di sekitarnya. Miokard yang masih
relatif baik akan mengadakan kompensasi, khususnya dengan rangsang adrenergik, untuk
mempertahankan curah jantung tetapi dengan akibat peningkatan kebutuhan oksigen
18 | P a g e

miokard. Bila infark luas dan miokard yang harus berkompensasi sudah buruk akibat iskemia
atau infark lama, tekanan akhir diastolik ventrikel kiri akan naik dan gagal jantung terjadi.
Laboratorium
Peningkatan kadar enzim merupakan indikator spesifik untuk IMA, kadar titer enzimenzim ini mencerminkan luas IMA.
A. CK (Kreatinin Fosfokinase)
Pada IMA konsentrasi dalam serum meningkat 6-8 jam setelah onset infark,
mencapai puncak setelah 24 jam dan turun kembali dalam waktu 3-4 hari. Enzim ini
juga banyak terdapat pada paru, otot skelet, otak, uterus, sel, pencernaan dan kelenjar
tiroid. Selain pada infark miokard, tingkat abnormalitas tinggi terdapat pada penyakit
otot, kerusakan cerebrovaskular dan setelah latihan otot.

B. SGOT (Serum Glutamic Oxalo-acetic Transaminase)


Terdapat terutama di jantung, otot skelet, otak, hati dan ginjal Dilepaskan oleh
sel otot miokard yang rusak atau mati. Meningkat dalam 8-36 jam dan turun kembali
menjadi normal setelah 3-4 hari.

C. LDH (Lactat Dehidrogenase)


Enzim ini terdapat di jantung dan eritrosit dan tidak spesifik. Dapat meninggi
bila ada kerusakan jaringan tubuh. Pada IMA konsentrasi meningkat dalam waktu 2448 jam, mencapai puncaknya dalam 3-6 hari dan bisa tetap abnormal 1-3 minggu.
Isoenzimnya lebih spesifik.
Sebagai indikator nekrosis miokard dapat juga dipakai troponin T, suatu
kompleks protein yang terdapat pada filamen tipis otot jantung. Troponin T akan
terdeteksi dalam darah beberapa jam sampai dengan 14 hari setelah nekrosis miokard.
Radiologi
Pemeriksaan radiologi tidak banyak menolong untuk menegakan diagnosis infark
miokard akut. Walau demikian akan berguna bila ditemukan adanya bendungan pada paru
(gagal jantung). Kadang-kadang dapat dilihat adanya kardiomegali.
A. Elektrokardiogram
Perubahan pada Elektrokardiogram cukup spesifik, tetapi tidak peka untuk
diagnosa IMA pada fase dini.Walaupun diagnosis IMA tidak didasarkan semata-mata
dengan EKG, tetapi rekaman EKG sangat membantu diagnosis. Gambaran EKG yang
abnormal pada IMA selalu transien dan berevolusi, karena itu diagnosis EKG dari
infark tergantung pada observasi saat perubahan dengan waktu (rekaman serial ).
Gambaran yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST
dan inversi gelombang T. walaupun mekanisme pasti dari perubahan EKG ini belum
diketahui, diduga perubahan gelombang Q disebabkan oleh jaringan yang mati,

19 | P a g e

kelainan segmen ST karena injury otot dan kelainan-kelainan gelombang T karena


iskemia.
Sadapan dimana gambaran infark terlihat tergantung pada lokasi. Berdasarkan
gelombang Q patologis dan elevasi ST pada sedapan EKG, IMA dapat dibagi menjadi
:
Q-wave / Elevasi

A. Koroner

Anteroseptal

V1 dan V2

LAD

Anterior

V3 dan V4

LAD

Lateral

V5 dan V6

LCX

Anterior ekstrinsif

I, a VL, V1 V6

LAD / LCX

High lateral

I, a VL, V5 dan V6

Posterior

V7 V9 (V1, V2*)

Inferior

II, III, dan a VF

Right ventrikel

V2R V4R

Lokasi Infark
ST

LCX
LCX, PL
PDA
RCA

* Gelombang R yang tinggi dan depresi ST di V1 V2 sebagi mirror image dari


perubahan sedapan
V7 V9
LAD

= Left Anterior Descending artery RCA = Right Coronary Artery

LCX

= Left Circumflex

PL

= PosteriorDescending Artery

Diagnosis IMA
Pada kebanyakan kasus, diagnosis berdasarkan atas karakter lokasi dan lamanya sakit
dada. Sakit daad yang lebih dari 20 menit dan tidak ada hubungan dengan aktivitas atau
latihan, serta tidak hilang oleh pemberian nitrat, biasanya dipakai untk membedakan dengan
angina pektoris.
Adanya perubahan EKG, didukung oleh tingkat serum enzim yang abnormal
mempercepat diagnosis IMA. Diagnosis IMA dapat ditegakkan bila memenuhi 2 dari 3
kriteria :
1. Nyeri dada khas infark
2. Evolusi EKG khas infark (elevasi segmen ST)
3. Kenaikan serum enzim lebih dari setengan kali nilai normal
Penanggulangan
Intervensi dini IMA ditujukan pada :
1. Mengatasi rasa nyeri dan perasaan takut
2. Menstabilkan hemodinamik
20 | P a g e

3. Referfusi miokard secepat dan mungkin dengan trombolitik, guna mencegah


terjadinya nektosis jaringan dan membatasi perluasan infark.
4. Mencegah komplikasi.
Mengatasi Rasa Nyeri dan Perasan Takut
1) Beri O2 2-4 ltr/menit untuk meningkatkan suplai oksigen
2) Beri nitrat oral atau intravena untuk angina, dan morfin atau pethidin untk nyeri infark
3) Beri diazepam 2 atau 5 mg tiap 8 jam.
Menstabilkan Hemodinamik
Penderita dipuasakan 8 jam pertama serangan kemudian makanan lunak, dan diberi
laksansia agar tidak mengedan. Selain itu penderita diharuskan istirahat dengan tirah baring
24 jam bebas angina. Tekanan darah dan laju jantung harus dikontrol secara ketat dengan blocker, Ca-antagonis atau ACE-Inhibitor.
Referfusi Miokard
a.

Trombolitik
Penelitian menunjukan bahwa secara garis besar semua obat trombolitik
bermanfaat.Trombolitik awal (kurang dari 6 jam) dengan strptokinase atau
tissue Plasminogen Activator (t-PA) telah terbukti secara bermakna
menghambat perluasan infark, menurunkan mortalitas dan memperbaiki fungsi
ventrikel kiri.

Indikasi :

Umur < 70 tahun


Nyeri dada khas infark, lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan
pemberian nitrat.
Elevasi ST lebih dari 1 mm sekurang-kurangnya pada 2 sadapan EKG

Saat ini ada beberapa macam obat trombolisis yaitu streptokinase, urokinase,
aktivator plasminogen jaringan yang direkombinasi (r-TPA) dan anisolated
plasminogen activator complex (ASPAC). Yang terdapat di Indonesia hanya
streptokinase dan r-TPA. R-TPA ini bekerja lebih spesifik pada fibrin
dibandingkan streptokinase dan waktu paruhnya lebih pendek.
Kontraindikasi :

b.
21 | P a g e

Perdarahan aktif organ dalam


Perkiraan diseksi aorta
Resusitasi kardio pulmonal yang berkepanjangan dan traumatic
Trauma kepala yang baru atau adanya neoplasma intracranial
Diabetic hemorrhage retinopathy
Kehamilan
TD > 200/120 mmHg
Telah mendapat streptokinase dalam jangka waktu 12 bulan

Antikoagulan dan antiplatelet

Beberapa hari setelah serangan IMA, terdapat peningkatan resiko untuk terjadi
tromboemboli dan reinfark sehingga perlu diberikan obat-obatan pencegah.
Heparin danAspirin referfusion trias menunjukkan bahwa heparin (intravena)
diberikan segera setelah trombolitik dapat mempertahankan potensi dari arteri
yang berhubungan dengan infark.
Pada infus intravena untuk orang dewasa heparin 20.000-40.000 unit dilarutkan
dalam 1 liter larutan glukosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan dalam 24 jam.
Untuk mempercepat efek, dianjurkan menambahkan 500 unit intravena langsung
sebelumnya. Kecepatan infus berdasarkan pada nilai APTT (Activated Partial
Thromboplastin Time). Komplikasi perdarahan umumnya lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan pemberian secara intermiten.
Mencegah Komplikasi
Usaha penanggulangan yang telah diuraikan di atas sebenarnya juga merupakan usaha
pencegahan terhadap komplikasi. Komplikasi yang paling sering pada hari-hari pertama IMA
ialah aritmia dan gagal jantung. Komplikasi yang lain adalah shock cardiogenic, ruptur atau
dinding ventrikel, perikarditis, myocard stunning, dan thromboemboli.
Rehabilitasi Sesudah IMA
Tujuan rehabilitasi sesudah IMA pada umumnya adalah untuk mencapai kembali
keadaan fisik, mental dan sosial secara optimal. Harus dihilangkan cara berpikir bahwa
seorang pasien sesudah IMA merupakan seorang cacat (invalid). Pemikiran bahwa seorang
pasien IMA biasanya dapat hidup serta bekerja normal kembali merupakan basis usaha
rehabilitasi. Hal ini mungkin berdasarkan pemikiran bahwa sedikitnya 70% pasien pasca
infark miokark akut mempunyai cukup cardiac reserve untuk bekerja kembali seperti semula.
Pembagian fase rehabilitasi setelah IMA:
1. Fase IA di ICCU dengan mobiliassi pada hari kedua
2. Fase IB di Ruang Intermediate Zone pada akhir minggu kedua dilaksanakan
naik tangga dengan telemetri, lalu dipulangkan.
3. Fase II (Convalesence Phase = di rumah) pada akhir minggu ketiga dilakukan
low insent exercise test, pada akhir minggu ke-6 atau ke-8 pasien sudah dapat
bekerja kembali.
4. Fase III rehabilitation maintenance melalui klub jantung yang sudah ada.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa rehabilitasi dini dengan memperhatikan syaratsyaratnya dibawah pengawasan medis, tidak berbahaya bahkan keuntungan dari rehabilitasi
dini ini:
1. Mengurangi resiko infark miokard berulang (rekuren), komplikasi IMA
dengan pencegahan sekunder.
2. Mengurangi beban ekonomi pada pasien dan keluarganya dengan mengurangi
jumlah perawatan di RS
3. Bekerja kembali dengan perasaan aman.
4. Memperbaiki gaya hidup (quality of life) sesudah IMA

22 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam indonesia. Panduan Pelayanan Medik.


Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
2. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, ed
4. Jakarta: EGC. 1995
3. Sudoyo Aru, Satiyohadi Bambang, Idrus Alwi, Simadibrata Macellus, Setiati Siti. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.

23 | P a g e

You might also like