You are on page 1of 16

Laporan kasus

Status pasien
IDENTITAS PASIEN
Nama : subari
Umur : 77 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : paluh manis kecamatan gebag. Kabupaten langkat
Agama : Islam
Pekerjaan : wiraswasta
Status : kawin
Tanggal masuk : 22 maret 2011
Tanggal periksa : 22 maret 2011
Diagnosis masuk : Observasi abdominal pain susp peritonitis
Anamnesis
Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama : nyeri seluruh bagian perut
Os datang ke UGD RSU. Prof. dr boloni dengan keluhan nyeri seluruh bagian perut sejak 7 hri
SMRS.
Nyeri seperti ditusuk-tusuk, terus-menerus, dan semakin sakit apabila bergerak, perut terasa kaku
pada saat sakit. Pada awalnya nyeri dirasakan pada uluhati kemudian menjalar kesemua bagian
perut. Demam tinggi sejak 3 hari yang lalu, demam dirasakan terus menerus.
Os juga mengeluh perut kembung dan terasa penuh. Mual dan Muntah apabila diisi makanan.tidak
BAB sejak 2 hari yang lalu, begitu juga dengan buang angin. BAK sedikit.
Riwayat Penyakit Dahulu
-memiliki riwayat penyakit hipertensi
-Os memiliki riwayat penyakit asam urat

Riwayat pengobatan
Riwayat mengonsumsi obat-obatan bebas dan jamu dibenarkan, pasien mengaku sering membeli
obat warung bila asam uratnya kambuh.
Riwayat Keluarga
Os menyangkal keluarganya mempunyai penyakit dengan keluhan yang sama.
Riwayat alergi
menyangkal ada alergi obat.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis (22-03-2011)
Keadaan Umum : tampak sakit berat
Kesadaran : somnolen
Vital sign : TD : 150/90 mmHg
N : 96 x/menit
R : 40 x/menit
t : 38 C
KEPALA
Bentuk : Mesocephal, simetris
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor diameter 4 mm, reflek cahaya
(+/+)
Hidung : Discharge (-/-), deviasi septum (-/-)
Mulut : Bibir kering, tidak pucat
Telinga : Tidak ada kelainan bentuk, tidak ada discharge
Leher : Kelenjar thyroid tidak membesar, kelenjar limfe tidak membesar, JVP tidak meningkat
THORAX
Jantung
I
P
P

: ictus cordis tidak terlihat


: ictus cordis tidak teraba
: batas jantung kanan sonor ke redup ICS 4 garis parasternal dextra
Batas jantung kiri sonor ke redup ICS 5 garis axila sinistra
Pinggang jantung sonor ke redup ICS 3 garis parasternal dextra

: Bunyi jantung 1 dan 2 Normal, gallop (-) murmur (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler kanan dan kiri, suara tambahan (-)
ABDOMEN : Lihat Status lokalis
EKSTREMITAS
Superior : Edema (-/-), akral hangat
Inferior : Edema (-/-), akral hangat
Status Lokalis
REGIO ABDOMEN
Inspeksi : Perut distensi, gerakan pernafasan abdomen (-), darm countour (-), darm steifung (-),
sikatriks bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (-)/ menurun, metalic sound (-), borborigmi (-)
Perkusi : hiperTimpani di seluruh lapang abdomen, pekak hati menghilang, pekak beralih (-)
Palpasi : Defans muskular (+), nyeri tekan di seluruh lapang abdomen (+), nyeri tekan lepas (+)
(reboun tenderness)
REGIO UROLOGI
CVA : balotment (-), nyeri ketok (-/-), nyeri tekan (-/-)
Suprapubik : bulging (-), nyeri tekan (-)
OUE : terpasang DC no 16, urin warna kuning jernih, volume minimal
Pemeriksaan rectal toucher
Perenium : hemoroid grade II/III arah jam 5
Tonus m. spincter ani lemah
Mukosa licin
Ampula recti kolaps
Pole atas prostat teraba, taksiran berat prostat 20 gram
Nyeri tekan di seluruh jam
STLD (-), feses (-)

Penjajakan :
1.
2.
3.
4.

Rontgen thorax AP
rontgen abdomen 3 posisi
Pemeriksaan laboratorium darah rutin, kimia darah, elektrolite dan urine lengkap
EKG

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


Foto Rontgen Thorax AP:
Pulmo normal
Cor : cardiomegali ctr >50%
Foto abdomen :
LLD : didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi.
EKG : AV blok derajat IIb
Laboratorium Darah Rutin (23-3-2011 pagi hari)
WBC : 21,5 (3.5 10.0.10/mm )
Difcount : e = 2, s=90, b=0, bat=0, lim=3, mon 5
RBC : 3.85 (3.80 5.80.106/mm )
HGB : 13,1 (11.0 16.5 g/dl )
HCT : 38,9 (35.0 50.0 % )
PLT : 269 (150 390.10/mm )
MCV : 78 (80-97 H m )
MCH : 25,2 (26.5-33.5 %)
MCHC : 32,3 (31.5-35.0 gr/dl)
GOL. DARAH : B
BT : 250
CT : 405
Urine lengkap :
Warna : keruh
Protein : +
Reduksi : Urobilin : -

Bilirubin : Ph : 5,0
Berat jenis : 1,020
Sedimen
Eritrosit : penuh/lp
Lekosit : 20-30/lp
Epitel : 0-10 /lp
Laboratorium Kimia Darah (14-8-2008, pagi hari)
GDS : 146 mg% (<140)
Ureum : 130 (10-50)
Kreatinin : 3,1 (L: 0,9-1,2)
SGOT : 29 (L: 5-42)
SGPT : 31 (L: 5-32)
HBsAg : negatif
Faal ginjal :
Ureum : 120 mg/dl
Uria acid : 13,2 mg/dl
Creatinin : 2,88
Natrium : 143 meq
Kalium : 4,0 meq
Clorida : 105 meq
Diagnosis kerja :
1. diffused peritoneum due to
gastritis perforasi
PRO Laparatomi eksplorasi cito

puasa

infus RL guyur 2 liter (nmonitoring out put sampai .1cc/kgBB

NGT decompresi (cairan lambung volume minimal <30cc

Catheter (monitoring output)

Antibiotik inj merocef 1gr/12 jm

Antibiotik inj trichonazole 500mg/12jam

LAPORAN OPERASI

Diagnosa pra bedah : peritonitis e.c perforasi viskus.


Diagnosa pasca bedah : peritonitis e.c perforasi gaster.
Tindakan : laparotomi eksplorasi dengan wide excise
Golongan operasi : CITO, mayor
Anestesi : general anestesi
Laporan jalannya operasi:
o Pasien posisi supine, dalam stadium anestesi dilakukan prosedur aseptik-antiseptik.
o Dilakukan insisi meridian dan diperdalan hingga tampak peritoneum.
o Peritoneum dibuka, keluar cairan keruh (nanah).
o Dilakukan eksplorasi, tampak perforasi pada corpus gaster, diameter lebih kurang 2 cm.
o Dilakukan wide excise, hecting dan dilakukan omental reseksi.
o Kontrol perdarahan, pasang drain.
o Luka operasi dijahit lapis demi lapis.
o Operasi selesai.

INSTRUKSI POST OPERASI (rawat di ICU)


Awasi KU/ balance cairan
Puasa 3 hari, selanjutnya diet bertahap
IVFD RL 40 tpm
Pasang DC
pasang jvp
Inj merocef
Inj trichonazole
Cek Hb post operasi

LAMPIRAN TEORI

Terminologi abdomen akut telah banyak diketahui namun sulit untuk didefinisikan secara tepat.
Tetapi sebagai acuan adalah kelainan nontraumatik mendadak dengan gejala utama di daerah
abdomen dengan nyeri sebagai keluhan utama dan memerlukan tindakan bedah segera, misalnya
pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna
sehingga terjadilah peritonitis.
Banyak kondisi yang dapat menimbulkan abdomen akut. Secara garis besar, keadaan tersebut
dapat dikelompokkan dalam lima hal, yaitu:
1. Proses peradangan bakterial-kimiawi;
2. Obstruksi mekanis: seperti pada volvulus, hernia atau perlengketan;
3. Neoplasma atau tumor: karsinoma, polypus, atau kehamilan ektopik;
4. Kelainan vaskuler: emboli, tromboemboli, perforasi, dan fibrosis;
5. Kelainan kongenital
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran
infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka
tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri. Namun
adanya kontaminasi bakteri yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi tubuh yang
menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, kesemua hal ini merupakan faktorfaktor yang dapat memudahkan terjadinya peritonitis (radang peritoneum).
Peritonitis selain disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan
penyulitnya, juga oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh
cidera langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan
akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan
diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

DEFINISI

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum yang merupakan pembungkus visera dalam rongga
perut.Peritonitis dapat terjadi akibat suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang
disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri.

ANATOMI
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan,
mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat
entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Sedangkan
kedua rongga mesoderm, bagian dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm
tersebut kemudian akan menjadi peritoneum.
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Area permukaan total peritoneum sekitar dua meter persegi, dan aktivitasnya konsisten dengan
suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak menuju dua arah.
Molekul-molekul yang lebih besar kemudian akan dibersihkan ke dalam mesotelium diafragma
dan sistem limfatik melalui stomata-stomata kecil.
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu:
Gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan
appendix (intraperitoneum);
Pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).
ETIOLOGI
Secara umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infektif (umum) dan abses
abdomen (lokal). Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi atas:
Penyebab primer : peritonitis spontan (pada pasien dengan penyakit hati kronik, dimana 10-30%
pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami asites akan mengalami peritonitis bakterial spontan)

Penyebab sekunder : berkaitan dengan proses patologis dari organ visera (berupa inflamasi,
nekrosis dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi ulkus peptikum atau
duodenum, perforasi tifus abdominalis, perforasi kolon akibat divertikulitis, volvulus, atau
kanker dan strangulasi kolon asenden).
Penyebab tersier : infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat, timbul pada

pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya, dan pada pasien yang imunokompromais (riwayat
sirosis hepatis, TB).
Bila dilihat dari organ yang menyebabkan peritonitis, maka penyebabnya dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Esofagus: keganasan, trauma, iatrogenik dan sindrom Boerhaave;
Lambung: perforasi ulkus peptikum, adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma GIT, trauma dan
iatrogenik;
Duodenum: perforasi ulkus peptikum, trauma (tumpul dan penetrasi), dan iatrogenik;
Traktus bilier: kolesistitis, perforasi kolelithiasis, keganasan,ta duktus koledokus, trauma dan
iatrogenik;
Pankreas: pankreatitis (alkohol, obat-obatan batu empedu), trauma dan iatrogenik;
Kolon asendens: iskemia kolon, hernia inkarserata, obstruksi loop, penyakit crohn, keganasan,
divertikulum meckel, dan trauma;
Kolon desendens dan appendiks: iskemia kolon, divertikulitis, keganasan, kolitis ulseratif,
penyakit crohn, appendisitis, volvulus kolon, trauma dan iatrogenik;
Salping, uterus dan ovarium: radang panggul, keganasan dan trauma.
Sedangkan menurut agen-nya, peritonitis dapat dibedakan menjadi dua kelompok sebagai berikut:
Peritonitis steril atau kimiawi: disebabkan karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya getah
lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung, barium) dan substansi
kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (misalnya penyakit crohn)
tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen
Peritonitis bakterial:
o Peritonitis bakterial spontan, 90% disebabkan monomikroba, tersering adalah bakteri gram
negatif, yakni 40% Eschericia coli, 7% Klebsiella-pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus dan
lain-lain. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus pneumoniae 15%, Streptococcus
yang lain 15%, golongan Staphylococcus 3%, dan kurang dari 5% kasus mengandung bakteri
anaerob.
o Peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna
bagian atas, dapat pula gram negatif, atau polimikroba, dimana mengandung gabungan bakteri
aerob dan anaerob yang didominasi bakteri gram negatif.

PATOFISOLOGI
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra abdomen (meningkatkan) aktivitas
inhibitor aktivator plasminogen dan sekuestrasi fibrin dengan adanya pembentukan jejaring
pengikat, produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh,
dengan cara ini akan terikat bakteri dalam jumlah yang banyak di antara matriks fibrin.

Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh yang
melibatkan substansi pembentuk kuman itu sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen yang
steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu lagi
mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan membentuk
kompartemen-kompartemen yang kita kenal sebagai abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar
ini dapat berasal dari berbagai sumber. Yang paling sering adalah kontaminasi bakteri transien
akibat penyakit viseral atau intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen.
Selain itu, peritonitis juga terjadi akibat virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu proses
fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan netrofil. Keadaan makin buruk jika infeksinya
dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur. Saat ini peritonitis juga diteliti lebih lanjut
karena melibatkan respon imun tubuh hingga mengaktifkan systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF).
MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda tanda rangsangan
peritonium. Biasanya diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen
(akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum viseral)
kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasinya (peritoneum parietal).
Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat lainnya, yakni:
Demam tinggi, atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia
Takikardia, dehidrasi hingga menjadi hipotensi
Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum di tempat tertentu sebagai
sumber infeksi
Bising usus menurun sampai menghilang. Dinding perut akan terasa tegang (defans muskular),
biasanya karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasi yang
menyakitkan, atau bisa pula tegang karena iritasi peritoneum.
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri
tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Pada penderita wanita diperlukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat
radang panggul, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan pada keadaan peritonitis yang akut.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan tanda vital perlu diperhatikan status gizi, kemungkinan adanya gangguan
kesadaran, dehidrasi, syok, anemia, dan gangguan napas. Penderita dengan perdarahan, perforasi
atau obstruksi lambung atau duodenum sering datang dalam keadaan gawat.

INSPEKSI: kemungkinan adanya peritonitis akibat perforasi perlu dicurigai bila tampak
pernapasan torakal pada penderita yang abdomennya terlihat tegang. Distensi perut bagian atas
disertai peristaltik lambung menunjukkan adanya obstruksi pilorus. Tonjolan di epigastrium yang
tampak jelas sering disebabkan oleh tumor ganas lambung yang sudah lanjut yang tidak layak
dioperasi.
AUSKULTASI: pada peritonitis akibat perforasi, peristaltik sering lemah atau hilang sama
sekali karena terjadi ileus paralitik. Pada obstruksi pilorus didengar adanya kecipak air akibat
geseran gas dalam lambung yang distensi. Suara ini biasanya terdengar juga tanpa stetoskop.
PERKUSI: pekak hati yang hilang pada perkusi menunjukkan adanya udara bebas di bawah
diafragma dan ini menandakan terjadinya perforasi saluran cerna. Perkusi meteoristik yang
terbatas di bagian atas perut biasanya disebabkan oleh obstruksi tinggi.
PALPASI: untuk menentukan kelainan lambung dan duodenum hendaknya dipandu oleh
anamnesis tentang nyeri. Defans muskular menunjukkan adanya iritasi peritoneum, misalnya
karena perforasi. Bila perut tidak tegang, dengan palpasi yang cermat mungkin teraba adanya
massa tumor.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis,
salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dan lain-lain.

Pemeriksaan penunjang kadang perlu untuk mempermudah pengambilan keputusan. Beberapa uji
laboratorium dilakukan, nilai hemoglobin dan hematokrit untuk melihat kemungkinan adanya
perdarahan atau dehidrasi. Hitung leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan. Hitung
trombosit dan faktor koagulasi diperlukan untuk persiapan bedah.
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam
memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada kecurigaan adanya peritonitis perlu dilakukan
foto polos abdomen 3 posisi, yaitu sebagai berikut:
1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk (semi erect) atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.

Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos
abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu
atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah:
1. Pada posisi supine, didapatkan pre-peritonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan adanya
kekaburan pada cavum abdomen.
2. Pada posisi semi erect, didapatkan free air pada subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair
shadow).
3. Pada posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi.
Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen.
Foto kontras barium tetap merupakan pemeriksaan yang penting dalam membantu menegakkan
diagnosis kelainan lambung. Ketepatan diagnosis akan meningkat bila digunakan kontras ganda,
yaitu kontras positif (barium) dan negatif (udara).
Pemeriksaan Gastroduodenoskopi dilakukan bila ada keluhan dan tanda yang mencurigakan ke
arah penyakit lambung dan atau duodenum serta untuk tindak lanjutnya. Dengan endoskopi,
kelainan yang langsung dilihat dapat difoto untuk dokumentasi. Selain itu, jaringan atau cairan
patologis dapat diambil untuk pemeriksaan kimia, sitologi atau patologi.

TERAPI
Sejak zaman dahulu, peritonitis yang tidak diobati dapat menjadi sangat fatal. Penatalaksanaan
peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang menyebabkan radang di peritoneum. Secara
non-invasif dapat dilakukan dengan drainase abses dan endoskopi perkutan, namun yang lebih
umum dilakukan ialah laparotomi eksplorasi rongga peritoneum. Pada tahun 1926, prinsip-prinsip
dasar penatalaksanaan operasi telah mulai dikerjakan. Hingga kini tindakan operatif merupakan
pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah peritonitis. Selain itu, harus dilakukan pula tata
laksana terhadap penyakit yang mendasarinya, pemberian antibiotik dan terapi suportif untuk
mencegah komplikasi sekunder akibat gagal sistem organ.
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan
nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dan sebagainya) atau penyebab
radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan
nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume intravaskular
memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan.

Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan
resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur
keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang
cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Operasi
ini untuk mengontrol sumber primer kontaminasi bakteri. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal
digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta
ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Teknik operasi yang
digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat
dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan
kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka
dapat diberikan antibiotika (misal sefalosporin) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan
irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera
akan terisolasi atau terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi
kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terusmenerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
Komplikasi dini
o Septikemia dan syok septik;
o Syok hipovolemik;
o Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem;
o Abses residual intraperitoneal;
o Portal Pyemia (misal abses hepar).
Komplikasi lanjut
o Adhesi;
o Obstruksi intestinal rekuren.

Sedangkan komplikasi pembedahan dengan laparotomi eksplorasi memang tidak sedikit. Secara
bedah dapat terjadi trauma di peritoneum, fistula enterokutan, kematian di meja operasi, atau
peritonitis berulang jika pembersihan kuman tidak adekuat.
Namun secara medis, penderita yang mengalami pembedahan laparotomi eksplorasi membutuhkan
narkose dan perawatan intensif yang lebih lama. Perawatan inilah yang sering menimbulkan
komplikasi, dengan manifestasi sebagai berikut:
Pneumonia akibat pemasangan ventilator;
Sepsis;
Kegagalan reanimasi dari status narkose penderita pasca operasi.
PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum
prognosisnya mematikan akibat organisme virulen. Prognosis ini bergantung kepada:
Lamanya peritonitis;
o < 24 jam = 90% penderita selamat;
o 24-48 jam = 60% penderita selamat;
o > 48 jam = 20% penderita selamat.
Adanya penyakit penyerta;
Daya tahan tubuh;
Usia;
o Makin tua usia penderita, makin buruk prognosisnya.
Komplikasi.
PERFORASI VISKUS
Perforasi alat saluran cerna dapat dibagi dalam:
Perforasi non-trauma, misalnya pada ulkus ventrikuli, tifoid dan appendicitis;
Perforasi oleh trauma, akibat benda tajam atau tumpul.
Perforasi pada pasien ini terjadi akibat tukak peptik yang dideritanya. Secara prinsip tukak adalah
kerusakan mukosa akibat ketidakseimbangan antara faktor pertahanan mukosa dan factor perusak
asam lambung dan pepsin. Keadaan akan menjadi makin buruk mengkonsumsi nikotin, kopi,
alcohol, salisilat, OAINS, dan kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA
Tim penulis EGC. Kamus kedokteran Dorland. 2002. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tim editor EGC. Buku Ajar Ilmu Bedah De Jong. 2004. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

LAPORAN KASUS BEDAH

Disusun Oleh :

Nama

: ANGGRI SEPTIANTO

NPM

: 06310011

RSU Prof DR Boloni


SUMATERA UTARA
2011

You might also like