You are on page 1of 172

Q)

Q)

,.....;

P-4

OJ

OJ

Pot

....t

00
00

s::

....t
......
......

....t

~
OJ

~
~

n:I
Q"4 ....

-=

t::
Io&i

i::

::,

'-"
lIII'I:
......

fS

lIII'I:

:It:

Zulqayyim
Boekit Tinggi Tempo Doeloe --Zulqayyim, Padang: Andalas
University Press, Agustus 2006
156 halaman, i-xiv, 14,5 x 21 em

ISBN 979-1097-17-8

Cetakan Pertama, Agustus 2006

Diterbitkan oleh:
Andalas University Press
Kampus UNAND Limau Manis

Padang, Indonesia

Telp.
: 0751-71181

Website : http://www.unand.ae.id
Sampuloleh:

Eros dan Bahren

Setting dan Cetak oleh:

Nailil Printika Yogyakarta

Telp. 0274-580439, E-mail nailil@gmail.eom

lsi di luar tanggungjawab percetakan.

Prakata

Bismillahirrahmanirrahim

esungguhnya segala puji hanyalah milik Allah, yang


Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang kepada-Nya
jua penulis mengucapkan syukur karena telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehjngga buku ini
dapat sampai ke tangan pembaca yang budiman.
Buku ini berasal dari tesis S-2 penulis ketika mengikuti
program pascasarjana di Universitas Gadjah Mada dan
mengisahkan kota Bukittinggi tempo dulu, yang disebut olch
orang Belanda sebagai Parijs van Sumatra. Sekarang, kota ini
masih memberikan daya tarik yang kuat bagi wisatawan yang
datang ke Sumatra Barat, sehingga mereka menyebut
belumlah ke Sumatra Barat jika belum berkunjung ke
Bukittinggi.
Oleh karena itu pula penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih kepada semua guru penulis yang telah mcmbekali
penulis bukan saja dengan ilmu tetapi juga, yang lebih penting,
dengan kerifan, sejauh yang dapat penulis tangkap dari mereka
tentunya.

Ucapan terima kasih pertama-tama ditujukan kepada


Prof Dr. Sartono Kartodirdjo yang telah menyediakan
waktunya membimbing penulis dalam meretas jalan untuk
menjadi seorang sejarawan. Adalah suatu kebanggaan
memang dibimbing oleh beliau, maha guru para sejarawan
Indonesia, tetapi pada sisi lain hal itu memunculkan sebuah
kerisauan yang tiada berkesudahan pula untuk selalu dapat
menjaganya. Untuk mengurangi kerisauan itu pula lah penulis
memberanikan diri untuk menerbitkan buku ini.
Selanjutnya penulis pun sangat perlu menyebutkan guru
guru penulis lainnya: Prof Dr. Sulastin Sutrisno (almh.),
Prof. Dr. Umar Kayam (aIm.), Prof. Dr. Loekman Soetrisno
(aIm.), Prof.Dr.R.M. Soedarsono (aIm.), dan Prof. Dr. Teuku
Ibrahim Alfian (aIm.), yang telah lebih dahulu menemui
Khaliknya, se1anjutnya Prof. Dr. Nyi Darsiti Soeratman;
Prof.Dr. Djoko Suryo, Prof.Dr. Suhartono, dan Dr. Bambang
Purwanto, M.A. (sekarang: Profesor). Terima kasih atas semua
ilmu, pengetahuan, dan kehangatan yang telah diberikan dan
menjadi bekal penulis dalam mengatur langkah berikutnya.
Berikutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak
dan !bu karyawan Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional,
Pusat Dokumentasi Ilmiah Indonesia Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia PDII-LIPI), Perpustakaan di
lingkungan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Yayasan
Hatta, Perpustakaan Sono Budoyo, Perpustakaan Wilayah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas
Sastra Universitas Andalas, dan Pusat Dokumcntasi dan
Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padangpan
jang. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih atas
segala bantuan mereka yang telah meringankan beban pcnulis
selama melakukan penelitian.
Penulis juga amat berhutang budi kepada Prof Dr.
Mestika Zed yang telah menunjukkan "jalan" dan yang sclalu
dengan senang hati menerima penulis untuk berdiskusi.
Berikutnya, terima kasih yang setulusnya penulis sampaikan
kepada Ibu Dra. Erwiza Erman (sekarang: Doktor). Bc1iau
viii - Boekittinggi Tempo Doeloe

adalah dosen yang pertama kali memperkenalkan ilmu sejarah


ketika kami mulai menjejakkan kaki di Jurusan Sejarah Uni
versitas Anda1as. Pada kesempatan ini penulis tiada pula akan
Iupa menyebutkan nama Drs. Andi Asoka, M.Hum (aIm.),
sahabat penulis, yang terasa terlaiu cepat "berangkat".
Semoga semua ama1 ibadahnya diterima Allah SWT dan
arwahnya tenang di "a1am sana".
Pada kesempatan ini penulis juga ingin berterima kasih
kepada Panitia Penerbitan Buku Setengah Abad Universitas
Anda1as, juga kepada Yonni Saputra, Ferawati, dan Mu1yadi
serta semua pihak yang tidak tersebutkan namanya, yang
te1ah ikut membantu sampai buku ini dapat diterbitkan.
Seiring dengan itu penulis mendoakan: semoga semua yang
te1ah diberikan itu menjadi amal jariah.
Ucapan syukur dan terima kasih penulis tujukan untuk
"Apa" dan "Amak", yang dengan penuh kasih sayangnya
menghantarkan penulis sampai berada di sini sekarang.
Selanjutnya kepada: Syarifah, S.S. yang bersamanya penulis
mengarungi kehidupan ini; putri kami, Dhiya Sahara U1fa
(Dea), yang dengan caranya sendiri pula ikut menyemangati
kami bersama. Terimalah ucapan terima kasih yang tulus ini.
Tedepas dari semua itu, penu1is menyadari bahwa buku
sepenuhnya merupakan tanggungjawab penu1is dan semua
kelemahan dan kekurangan pastilah berasal dari diri penulis
sendiri. Oleh sebab itu pula penulis dengan tangan terbuka
menunggu kritik dan saran dari pembaca yang budiman untuk
perbaikan pada penerbitan berikutnya. Semoga buku ini
bermanfaat.
A 1 ham d u 1 ill a h ira b b i 1 'a 1 ami n.
Padang, Juni2006
Penulis

Pmk<1ta - ix

Daftar lsi

Prakata Daftar lsi - xi


Daftar Tabel dan Peta -

Xlll

Bah I Pendahuluan . 1

Latar Belakang - 1
Pendekatan dan Kerangka Analisis - 3
Sistematika Penulisan - 5
Bah II Latar Belakang Sosial Budaya Kota Bukittinggi

11
Lingkungan Geografis - 11
Dari Nagari Kurai ke Kota Bukittinggi - 16
Pertumbuhan Wilayah Kota Bukittinggi - 20
Penduduk Kota Bukittinggi - 26
Bah ill Pasar Bukittinggi dan Jaringan Perdagangan di
Daerah Dataran Tinggi - 39

Pemerintahan Hindia Belanda di Daerah Dataran Tinggi - 39


Perkembangan Pasar Bukittinggi - 50
Pengelolaan Pasar Bukittinggi - 64

Bab IV Pendidikan Barat dan Munculnya Golongan


Intelektual di Sumatra Barat - 79

Dari Sekolah Nagari sampai Sekolah Raja - 79


Sekolah Guru Percobaan - 84
Sekolah Guru sebagai Sekolah Raja - 89
Sekolah Guru Mendidik Pegawai - 94
Munculnya Elite Baru - 101
Bab V Bukittinggi dan Pergerakan Nasional di Sumatra
Barat - 109

Pergerakan Nasional di Sumatra Barat - 109


Kontribusi Kota Bukininggi dalam Pergerakan N asional- 111
. Konferensi Ulama se-Sumatra Barat - 112
Kongres Muhammadiyah ke-19 - 118
Kongres Persatuan Muslimin Indonesia - 119
Syekh Muhammad Jamil Jambek - 121
Berdirinya Bank Nasional - 125
Bab VI Epilog - 137

Kepustakaan - 141
Lampiran - 149
Tentang PenuIis - 155

xii - Boekittinggi

Doeloe

Daftar Tabel dan Peta

TabeI 1 Penduduk Kota Bukittinggi Tahun 1905, 1915,


1920, 1930, dan 1935 - 29
Tabe1 2 Penduduk Kota-kota di Sumatera Barat Tahun
1920 dan Tahun 1930 - 30
Tabel 3 Jumlah Regentschappen dan Nama-nama Regent di
Daerah Dataran Tinggi Sumatra Barat - 42
Tabe1 4 Jumlah Ke1arasan di Daerah Dataran Tinggi
Sumatra Barat Tahun 1823-1832 - 43
Tabel 5 Jumlah Kelarasan di Daerah Dataran Tinggi
Sumatra Barat Tahun 1837, 1870, 1887, dan
1914 - 45
Tabel 6 Nama-nama Kepala Laras (terakhir) di
Onderafdeeling Oud Agam - 46
Tabel 7 Nama-nama Demang Pertama di Onderafdeeling
Agam Tua Tahun 1914 - 48

Tabe18 Gudang-gudang Kopi Utama di Daerah Residensi


Padang Darat Tahun 1847 - 53
Tabel 9 Jumlah Kopi yang terkumpul di Gudang Kopi
Bukittinggi dan Gudang Kopi lainnya di Ajdeeling
Agam Tahun 1867-1869 - 54
Tabel10 Perkembangan Harga Kopi/pikul di Bukittinggi
Tahun 1867-1869 - 55
Tabel 11 Urutan Peringkat Laras Penghasil Kopi di
Onderafdeeling Agam Tua
Tahun 1869/1871-1888 - 57
Tabel 12 Daftar Mata Pelajaran Sekolah Melayu - 81
Tabel 13 Pekerjaan Orang Tua Murid Sekolah Nagari
Bukittinggi Tahun 1863-1869 - 84
Tabel 14 Alumni "Kweekschool" Bukittinggi
Tahun 1866 - 87
Tabel 15 Keadaan Murid-Murid "Kweekschool"
Bukittinggi Tahun 1866 - 88
Tabel 16 Jumlah Murid Sekolah Raja
Tahun 1877-1892 - 93
Tabel 17 Kurikulum Sekolah Raja untuk Murid Calon
Guru Tahun 1901 - 95
Tabel 18 Kurikulum Sekolah Raja Untuk Murid Calon
Pegawai Tahun 1901 - 97
Tabel 19 Nama-nama Pedagang
Pendiri Bank Nasional - 128
Peta 1 Sumatera Barat - 14
Peta 2 Bukittinggi dan N agari Kurai - 17
Peta 3 Afdeeling Agam - 71

xiv - Boekittinggi Tempo Doeloe

Bah I
Pendahuluan

Latar Belakang

ota Bukittinggi terletak di antara dua buah gunung:


Gunung Merapi dan Singgalang, dan satu lembah:
Ngarai Sianok. Di antara ketiganya itu terhamparlah
Dataran Tinggi Agam' dengan panorama alamnya yang indah
yang berhawa sejuk. Kondisi geografis yang demikian itu
telah membuat kota Bukittinggi terkenal dari dahulu sampai
sekarang sebagai kota wisata utama di Sumatra Barat. Bahkan,
orang menyebut belumlah berkunjung ke Sumatra Barat jika
tidak datang ke Bukittinggi.
Namun, sebutan bagi Bukittinggi yang seperti itu tidak
muncul secara tiba-tiba. Mengapa? Karena sebuah kota
tidaklah lahir dengan sendirinya, melainkan tumbuh melalui
proses sejarahnya yang relatifpanjang. 2 Sepanjang sejarahnya
itu, kota mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan
perubahan, baik pisik maupun non-pisik, yang pada tingkat
tertentu menunjukkan adanya kesinambungannya hmgga
sekarang. Selain tidak dapat dipisahkan dari masa lalunya itu,
proses sejarah yang telah dilewatinya itu juga ikut

menentukan keberadaannya sebagai sebuah kota. Sehingga,


dengan mengkaji masa Ialu dari sebuah kota sudah barang
tentu akan memberikan pemahaman bagaimana dinamika,
karakteristik, dan kecenderungan dari sebuah kota itu. J
Berbeda dengan kota-kota dataran tinggi lainnya di
Sumatera Barat, seperti Batusangkar, Payakumbuh, dan
Padangpanjang, maka Bukittinggi mengalami pertumbuhan
dan perkembangan yang Iebih pesat. Pada: hal keempat kota
itu, sama-sama hadir sejak pertengahan pertama abad ke-19
sebagai akibat dari adanya penjajahan Belanda di Sumatera
Barat. Sepanjang sejarahnya keberadaan kota Bukittinggi telah
memainkan berbagai peranan sebagai kota terpenting kedua
setelah Padang yang menjadi ibukota Sumatra Barat. 4
Keberadaan Bukittinggi itu semakin penting dan menarik
karena juga telah melahirkan tokoh Proklamator Bung Batta
dan banyak tokoh agama, politik, sastrawan, ilmuan, dan lain
lain, baik yang berkaliber nasional maupun intemasional.
Untuk itu Iah buku ini mencoba merekonstruksi
perjalanan sejarah kota Bukittinggi, terutama pada masa
kolonial Belanda, sejak terjadinya Perang Paderi (1821)5
sampai masuknya pendudukan Jepang, yang menggantikan
penjajahan Belanda (1942). Sungguhpun demikian batasan
temporal itu tidaklah bersifat mutlak, karena mengingat
bahwa suatu proses sejarah itu terjadi secara berkesinambung
an. Sehingga, perlu pula diIihat periode sebelumnya, yang
memberikan "wadah" untuk peristiwa berikutnya dan
sesudah itu sebagai yang mengikutinya. Pembatasan waktu
ini lebih dimaksudkan untuk menfokuskan perhatian kepada
terbentuknya struktur kota Bukittinggi, yang berlangsung
selama periode pemerintahan kolonial Belanda. 6
Adapun yang menjadi pokok bahasan dalam buku
adalah: Pertama, masyarakat Nagari Kurai yang kemudian
menjadi penduduk asli kota Bukittingi. Kedua, faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kota
Bukittinggi pada masa pemerintahan koloniaI Belanda. Ketiga,
perkembangan Sekolah Raja yang telah menjadi tempat
2 - Boekittinggi Tempo Doeloe

"persemaian" bibit golongan intelektual Minangkabau.


Keempat, peran Bukittinggi sebagai salah pusat gerakan Kaum
Muda dan sekaligus sebagai pusat pergerakan nasional di
Sumatera Barat.

Pendekatan dan Kerangka Analisis


Secara historis kota didefinisikan pertama kali dengan
simbol Niut, yang terdapat dalam sistem hieroglief pada
zaman Mesir Kuno. Kota digambarkan sebagai lingkaran
dengan palang bergaris ganda di dalamnya. Palang itu
menunjukkan persimpanganjalan dan lingkaran menunjukkan
suatu wilayah tertentu. 7 Berdasarkan definisi ini dapat
dikatakan, bahwa pada awalnya kota merupakan sebuah
tempat tertentu yang berfungsi untuk pertemuan orang dan
pertukaran barang atau informasi. 8
Akan tetapi, kota tumbuh dan berkembang menjadi
semakin kompleks, sehingga sulit mendefinisikan kota secara
komprehensif dan representatif. Kota tidak hanya
mengand ung aspek pisik, teta pi juga aspek non-pisik
(manusia). Aspek-aspek pisik yaitu geografis, topografis,
iklim, dan sebagainya. Aspck non pisik yaitu social, ekonomi,
politik, budaya, dan sebagainya. Oleh karena itu dapat
dipahami bahwa setiap pakar lebih cenderung mengemukakan
definisi kota menurut disiplin ilmunya masing-masing. 9
Permasalahan definisi kota dicoba oleh J.H. de Goode
mengatasinya dengan mengajukan ciri-ciri yang harus dimiliki
sebuah kota, yang sekaligus menentukan perkembangan kota
itu. Pertama, peranan besar yang dipegang olch sector
sekundcr (industri) dan tersier Uasa) dalam bidang kehidupan
ekonomi. Kedua,jumlah penduduk yang relatif besar. Ketiga,
heterogenitas susunan penduduknya. Keempat, kepadatan
penduduk yang relatif besar.'o
Adapun Gideon Sjoberg mengemukakan tiga faktor
pcnting yang menjadi syarat munculnya sebuah kota.
Pertama, adanya basis ekologis yang menguntungkan. Kedua,
Bab 1- 3

teknologi yang maju pada bidang pertanian maupun non


pertanian. Ketiga, organisasi social yang kompleks dan maju,
khususnya dalam bidang ekonomi dan politik.11 Berangkat
dari sudut histories ini, Sjoberg kemudian mengajukan sebuah
konsep tentang kota pra-industri. Menurut Sjoberg kota pra
industri dapat dipandang sebagai masyarakat tersendiri. Kota
pra-industri merupakan pusat masyarakat yang sudah agak
kompleks, akan tetapi masih bersuasana pedesaan.
Perbedaannya dengan desa adalah bahwa kehidupan kota pra
industri sudah mengalami skala dan difereniasi kerja dan
spesialisasi, sedang kegiatannya yang dominan adalah non
agraris. 12
Gejala perkotaan di Indonesia yang mulai tampak sejak
pertengahan prtama abad ke 19, disebabkan oleh faktor
ekstemal , yaitu adanya penjajahan Belanda. 15 Selain sebagai
pusat administratif pemerintahannya, pada awalnya kota-kota
juga berfungsi sebagai tempat pengumpulan hasil bumi daerah
sekitarnya. Berbagai infrastruktur, seperti birokrasi, pasar,
transportasi, sekolah, dan rekreasi, yang dibangun oleh
pemerintah Hindia Belanda ditujukan untuk kepentingan
kolonialnya. Oleh karena itu, kota-kota yang dibangun oleh
pemerintah kolonial Belanda lebih merupakan sebagai kota
kolonial. 13
Menurut Sutjipto, kota kolonial mempunyai tiga cirri.
Pertama, pemukiman sudah stabil, terdapat garnizun dan
pemukiman pedagang, serta tempat penguasa kolonial dalam
menyelenggarakan aktivitasnya. Kedua, lokasinya dekat
jaringan transportasi, seperti laut, sungai atau persilanganjalan.
Hal ini ditujukan untuk kemudahan mengangkut barang
barang, baik yang akan diekspor maupun impor. Ketiga, kota
kolonial ditekankan kepada pengembangan wajah pisik kota,
kegiatan ekonomi, dan penetaan infrastruktur yang meniru
model-model Eropa.l~
/"
('I
Tersedianya berbagai fasilitas pelayanan di kota, pad a
,Jgilirannya telah menjadi faktor penarik (push factor) bagi
.-' f),{) \penduduk daerah sekitarnya untuk melakukan urbanisasi.ls

V;, c"

'........
4 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Selain itu, urbanisasi juga disebabkan oleh adanya faktor


pendorong (pull factor) dari daerah sekitamya. Sebagai salah
satu kota yang terletak di daearah inti A/am Minangkabau,
maka faktor pendorong terjadinya urbanisasi ke Bukittinggi
adalah traisi merantau masyarakat Minangkabau. Oleh sebab
itu, dapat dikatakan bahwa timbulnya gejala perkotaan seiring
pula dengan dijadikannya rantau kota sebagai salah satu tujuan
merantau masyarakat Minangkabau. ~ C( i;J l'
Keberadaan kota itu telah memberikan lapangan kerja
baru dan kesempatan berusaha yang luas bagi penduduk
bumiputera. Kota telah memberikan peluang bagi mereka
untuk melepaskan diri dari keterikatannya dengan tanah
pertanian. Oleh karena itu, selain merupakan perpindahan
pisik, urbanisasi juga mengandung pengertian perubahan
i mental, karena menuntut adanya perubahan pola pikir,
bersikap, dan bertindak. Urbanisasi menuntut adanya
kemampuan gerak (mobilitas) yang dengan segera dapat
i menyesuaikan diri engan situasi dan lingkungan perkotaan. 16
!,
Pada konteks ini dapat dikatakan bahwa pertumbuhan
\dan perkembangan kota Bukittinggi, pada gilirannya telah
membawa perubahan sosial dan modernisasi bagi masyarakat
kota Bukittinggi khususnya dan masyarakat Minangkabau
(Sumatera Barat) umumnya. Hal ini dapat diamati dengan
berkembangnya kota Bukittinggi sebagai salah satu pusat
pergerakan Kaum Muda dan pergerakan Nasional di
Sumatera Barat. Pada konteks ini pula buku ini dapat dilihat
sebagai sejarah lokal dan sejarah sosial.

Sistematika Penulisan
Buku ini terdiri atas enam bagian yang satu dengan yang
lainnya memiliki kaitan dalam pembahasan historisnya. Oleh
karena itu kenam bagian itu dapat pula dilihat sebagai satu
kesatuan.
Bagian satu sebagai pendahuluan yang mencoba untuk
mengantarkan pembaca dalam memahami isi buku ini.
Bab I "5

Bagian dua menguraikan latar belakang sosial-budaya


Kota Bukittinggi dengan mengetengahkan kondisi geografis
Kota Bukittinggi dan masyarakat tradisional beserta Nagari
Kurai yang menjadi penduduk asli dan cikal-bakal wilayah
Kota Bukittinggi. Selanjutnya diteruskan mengenai
pertumbuhan wilayah serta penduduk kota Bukittinggi.
Bagian tiga mengetengahkan pertumbuhan dan
perkembangan Pasar Bukittinggi, yang menjadi urat nadi Kota
Bukittinggi dan kemudian berkembang pusat perdagangan
daerah dataran tinggi Sumatra Barat. Seiring dengan
perkembangan pasar yangjuga mendatangkan income itu telah
pula memunculkan konflik segitiga antara Nagari Kurai,
Nagari-nagari Agam Tuo (yang terletak di sekitarnya Nagari
Kurai), dan pemerintah kolonial Belanda.
Bagian empat membahas tentang lembaga pendidikan
Barat yang diperkenalkan oleh Belanda, khususnya Sekolah
Raja (Kweekschoof) dan telah menjadi prasarana mobilitas
vertikal bagi masyarakat pribumi untuk menduduki beberapa
jabatan dalam birokrasi colonial Belanda. Selain itu juga telah
menjadikannya sebagai tempat persemaian bibit golongan
intelektual Minangkabau. Sementara itu, keberadaan Sekolah
Raja itu telah menjadikan Bukittinggi sebagai pusat
pendidikan, karena sampai tahun 1914 menjadi lembaga
pendidikan yang tertinggi tertinggi di Pulau Sumatra.
Bagian lima menampilkan peran yang telah dimainkan
oleh kota Bukittinggi sebagai salah satu pusat pergerakan
Kaum Muda dan pergerakan nasional di Sumatra Barat.
Bagian enam berisi epilog mencoba menarik benang
merah dari masa "Boekittinggi Tempo DoeIoe" sampai masa
kini. Dengan demikian diharapkan buku ini bukan hanya
memberi informasi tetapi juga dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi pengambil kebijakan untuk menata
kehidupan masyarakat dan kota Bukittinggi ke depan.

6 - Boekittinggi Tempo Doeloc

Catatan Akhir
Secara tradisional daerah Dataran Tinggi Agam disebut juga dengan
Luhak Agam dan bersama-sama dengan dua luhak lainnya: Luhak
Tanah Data dan Limo Puluah Koto, membentuk kawasan Darek,
yang menjadi daerah inti Alam Minangkabau. Adapun daerah di
sekeliling Darek, yang terletak dipantai Barat dan Timur bagian
tengah Pulau Sumatera, disebut dengan Rantau. M.D. Mansoer, et
a1., Sedjarah Minangkabau (Djakarta: Bhatara, 1970), hIm. 2-3;
lihat juga A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Graffiti Press, 1984), hIm.
28.
2 R. Bintarto, Pengantar Geografi Kota (Yogyakarta: u.P. Spring,
1877), him. 8
3 Lihat Sartono Kartodirdjo, "Kata Pengantar", dalam Sartono
Kartodirdjo (ed.), Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok
Sosial (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977), hIm. 1-3.
Sungguhpun demikian studi sejarah perkotaan di Indonesia baru
mulai banyak mendapat perhatian sejarawan akademik sejak dua
dasa warsa terakhir. Hal itupun dengan titik perhatian yang relatif
lebih banyak diberikan kepada kota-kota pelabuhan (pamai) bila
dibandingkan dengan kota-kota pedalaman (dataran tinggi) Pada
kota-kota dataran tinggijuga mempunyai peranan yang tidak
kurang pentingnya dan bahkan sangat terkait dengan keberadaan
kota-kota pantai. Peter J.M. Nas, "Indonesia Cities, 1985-1995: A
Bibliography", dalam Peter J.M. Nas, (ed.), Issues in Urban De
velopment: Case Studies from Indonesia (Leiden: Reseach School
CNWS), 1995), hIm. 246-293.
Bukittinggi dijadikan oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai
pusat pemerintahannya di sumatera. Adapun pada masa revolusi
kota Bukittinggi dikenal sebagai ibukota republik kedua", setelah
Yogya dad sinilah Bung Hatta mengomandokan Perang
Kemerdekaan untuk daerah Pulau Sumatera. Kota Bukittinggi juga
pernah dijadikan sebagai ibukota provinsi Sumatera Tengah (1950
1958). Kementerian Penerangan, Provinsi Sumatera Tengah
(Djakarta: Kementerian Penerangan, 1958), hIm. 121-124.
Kemudian, meskipun sejak rahun 1958 ibukota Provinsi Sumatcra
Barat dipindahkan ke kota Padang, menyusul dipecahnya Provinsi
Sumatera Tengah menjadi tiga Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan
Jambi, namun kota Bukittinggi dalam beberapa hal tetap difungsikan
Bab I - 7

10
II

12

!3

sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat. Secara resmi kota


Bukittinggi baru dicabut sebagai ibukota provinsi Sumatera Barat
berdasarkan PP No. 29/1979. Marjani Martamin, et aL, Sejarah
Sumatera Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1978), him. 148-149.
Selama Perang Paderi (1821-1837), terutama setelah Belanda
mendirikan "Fort de Kock" pada tahun 1826, Bukittinggi dijadikan
sebagai basis operasi militemya di daerah Dataran Tinggi Sumatera
Barat. E.B. Kielstra, "Sumatera-Westkust van 1826-1832" dee I II,
BKI No. 37 Tahun 1888, him. 216-220
Adapun pada mas a pasca-kolonial kota Bukittinggi relatif tidak
ban yak mengalami perubahan yang berarti. Bahkan, Mochtar N aim
mensinyalirkan bahwa kota bukittinggi mengalami involusi, karena
arus urbanisasi dan diferensiasi social berjalan relatif sangat lamban.
Mochtar Nairn, "Perkembangan kota-kota di Sumatera Barat",
dalam Prisma NO.3 Tahun III 1973, hlm. 58-62. Laju pertambahan
pndudukkota Bukittinggi pada tahun 1980-1986 adalah 1,0. Angka
dibawah laju pertambahan penduduk kota di Sumatera barat
4,6 dan di Indonesia yaitu 4,3. Syahruddin, "Pola Pertumbuhan
Penduduk Perkotaan di Pusat Pertumbuhan Sumatera Barat",
Sebuah Laporan U ntuk Sekretariat Menteri N egara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup, Asisten IV (Padang: Pusat Studi
Kependudukan Universitas Andalas, 1987), him. 29-30.
J.W Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Negara-negara
Berkembang, Terjemahan R.G. Soekadjo (Jakarta: Gramedia,
1984), hIm. 263-264.
Max Weber, "Apakah yang disebut Kota", Terjemahan Darsiti
Soeratman, dalam Sartono Kartodirdjo, op. cit., him. 11-14.
P.J.M. Nas menyebutkan ada sembilan definisi kota. P.J.M. Nas,
Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi, Bagian Pertama,
Terjemahan Sukanti Suryochondro (Jakarta: Bhatara Karya aksara,
1979), him. 17; lihat juga Max Weber, op. cit., him. 11-39. R.
Bintarto, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1984),3536.
J. W Schroolr, op. cit., him. 264.
Gideon Sjoberg, The Pre-industri City: Past and Present, Third
Printing (New York: The Free Press, 1966), him. 27-31
Ibid., him. 54.15 P.J.M. Nas, op. cit., hal. 17.
Ibid. Pada bukunya yang lain Nas membagi perkembangan kota
kota di Indonesia atas empat tingkat, yaitu the Early Indonesian

8 - Boekittinggi Tempo Doeloe

14

IS

16

Town; the Indische Town; the Colonial Town; dan the Modern
Town. Peter J.M. Nas (Eds.), The Indonesian City (Dordrecht
Holland/Cinnaminson-USA: Foris Publications, 1986), hlm.5-13.
Sementara Mc. Gee membagi kota di Asia Tenggara atas tiga
kelompok, yaitu kota-kota pribumi yang agraris, kota puat dagang
pribumi, dan kota pusat kekuasaan kolonial. T.G. Mc. Gee, The
Southeast Asian City: A Social Geography of The Primate Cities
of Southeast Asia (London: G. Bell and ons, 1967), hlm. 44-45 dan
62.
F.A. Sutjipto, "Kota-kota Pantai di sekitar Selat Madura (Abad
XVII sampai medio Abad XIX)" , Disertasi Doktor (yogyakarta:
Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1983). hIm. 507.
Urbanisasi mengandung dua pengertian. Pertama, berarti proses
perkotaan itu sendiri, yaitu proses pengembangan den mengkotanya
suatu daerah desa menjadi kota. Kedua, pengertian urbanisasi adalah
perpindahan dan atau pergeseran penduduk dari desa ke kota. Kedua
pengertian urbanisasi ini saling terkait satu dengan Jainnya.
Rahardjo, Perkembangan Kota dan Pennasalahannya (Jakarta: Bina
Aksara, 1983), him. 55.
S. Menno dan Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan (Jakarta:
Rajawali Pers, 1992), hIm. 78.

Bab I - 9

Bab II
Latar Belakang Sosial Budaya
Kota Bukittinggi

Lingkungan Geografis

ukittinggi terletak sekitar 91 km sebelah utara Padang,


ibukota Sumatra Barat. ' 'Bukittinggi dan Padang
merupakan dua kota penting di Sumatra Barat, yang
mempunyai geografis berbeda. Bukittinggi terletak di daerah
dataran tinggi, sedangkan Padang terletak di daerah pesisir.2
Sungguhpun demikian, baik Kota Bukittinggi dan data ran
tinggi maupun Padang dan daerah pesisir lainnya saling
membutuhkan antara saw dan lainnya. Padang dan daerah
pesisir merupakan pintu keluar bagi Bukittinggi dan daerah
dataran tinggi. Sebaliknya, Bukittinggi dan daerah dataran
tinggi merupakan daerah pertanian dan perkebunan, yang
menghasilkan komoditi ekspor bagi Padang dan daerah
pesisir.3
Kelancaran hubungan antara Kota Bukittinggi dan
Padang sangat dibatasi oleh letak geografisnya yang berbeda.
Kondisi alamnya yang berbukit dan berlembah menyebabkan
jalannya mempunyai medan yang relatif sulit. Praktis jalan
itu berupa jalan setapak yang hanya dapat dilewati oleh pejalan

kaki. 4 Pengangkutan barang hanya dapat dilakukan dengan


mengandalkan tenaga manusia dan kuda beban, sehingga arus
bolak-balik barang dagangan menjadi terbatas jumlahnya.
Kondisi geografis yang seperti itu membuat
Pemerintahan Hindia Belanda tidak mempunyai pili han lain
ketika hendak memasuki daerah dataran tinggi Sumatra Barat.
Jalan yang harus dibangunnya harus mengikuti jalur tradisional
itu. Jalan itulah yang kemudian dan hingga sekarang menjadi
jalur utama yang menghubungkan Kota Padang dengan Kota
Bukittinggi. Oleh karena melewati lembah dan bukit, maka
jalannya mempunyai banyak tanjakan dan tikungan. Salah
satu yang paling berat medannya adalah Lembah Anai. S
Demikian pula halnya dengan jalan kereta api yang
dibangunnya pada tahun I 890-an, juga melewati Lembah
Anai itu sehingga relnya harus dibuat berjejer tiga. ReI bagian
tengah yang bergerigi berfungsi sebagai rem otomatis bagi
kerata api yang lewat di atasnya. 6
Letak astronomis Bukittinggi berada pada koordinat
0.22' - 00.29' LS dan 99.52' - 100.33' BT.7 Secara geografis
menunjukkan letak Bukittinggi berada di tengah-tengah
dataran tinggi Sumatra Barat, yang merupakan bagian dari
Pegunungan Bukit Barisan yang membujur sepanjang Pulau
Sumatra. Letak astronomisnya itu juga menunjukkan bahwa
Bukittinggi berada di bagian tengah Pulau Sumatra.
Posisi geografis Bukittinggi yang demikian itu cukup
strategis karena menjadikannya terletak di tengah dan menjadi
persimpangan untuk menghubungkan kota-kota dataran
tinggi lainnya, seperti Payakumbuh, Padangpanjang,
Batusangkar, dan Lubuksikaping. 8 Pertama, jalan ke arah
se1atan yang menuju ini menghubungkan Bukittinggi dengan
Padang, yang terletak di Pantai Barat Sumatra. Selain itu,
Padangpanjang juga menghubungkan Bukittinggi dengan
Solok dan kota-kota lainnya di bagian selatan Sumatra.
Kedua, jalan ke arah timur menuju Payakumbuh, yang
terletak sekitar 33 km dari Bukittinggi, menghubungkannya
dengan Pakanbaru, yang terletak di bagian timur Sumatra.
Ketiga, jalan ke arah utara menuju Lubuk Sikaping, yang
12 - Boekittinggi Tempo Doeloe

terletak sekitar 75 km, menghubungkan Bukittinggi dengan


kota-kota di bagian utara Sumatra. 9 Oleh karena itu,
Bukittinggi dapat dijangkau dalam waktu relatif singkat dari
daerah-daerah dataran tinggi lainnya. Itu pulalah sebabnya
pemerintah Hindia Belanda mempertahankan Kota
Bukittinggi sebagai pusat administrasi pemerintahannya untuk
daerah dataran tinggi Sumatra Barat. 10 Sehingga tidaklah pula
mengherankan jika Bukittinggi tumbuh dan berkembang
menjadi kota utama di daerah dataran tinggi itu.
Topografi Kota Bukittingi berbukit dan berlembah
dengan ketinggian yang bervariasi, antara 909 m sampai 941
m di atas permukaan laut. 1l Oleh karena letaknya yang
demikian maka Bukittinggi beriklim sejuk dengan suhu
berkisar antara 19 C pada malam hari dan 22 C pada siang
hari.13 Berdasarkan topografisnya ini, daerah Bukittinggi dapat
dibagi atas dua bagian: pertama, daerah bagian timur dan
selatan dengan daerah yang relatif datar. Tanah di daerah ini
diolah oleh penduduk setempat sebagai ladang untuk
menanam kopi, padi ladang, dan palawija. 12
Sebelah barat Bukittinggi terdapat Ngarai Sianok,
dcngan kedalaman yang bervariasi antara 75 m sampai 110
m di atas permukaan laut. Ngarai Sianok ini berbelok-belok
dan di dasarnya mengalir Batang Sianok dari arah selatan ke
utara. Batang Sianok ini merupakan huiu Batang Masang yang
bermuara ke Pantai Barat Sumatra (Samudera Indonesia).'4
Ngarai Sianok ini memisahkan antara Bukittinggi dengan
daerah sebelah baratnya. Oleh karena im, jika penduduknya
hendak pergi ke Bukittinggi harus terlebih dulu melewati
Ngarai Sianok.
Ada tiga jalur yang terdapat di Ngarai Sianok. Pertama,
jalan setapak yang menghubungkan Bukittinggi dcngan
Nagari-nagari di sebelah barat Ngarai Sianok, seperti Koto
Gadang, Sianok, Guguak, Balingka, dan Malalak. Kedua, jalur
darat yang menelusuri ke arah hilir Batang Sianok. Jalan ini
menghubungkan Bukittinggi dengan Nagari Matua,
Palembayan, Lawang, dan ManinjauY Ketiga, jalur yang
melewati Nagari Padanglua di sebelah selatan Bukittinggi. '11
Bab 1I

Peta 1

Sumatera Barat

.. "JII .........

........

..

c,........,. ........
-

"~

........ ,. ... ,

Ii
/

... ,1
\

;
I

... ...,,,,.

- .......
~--

' , ....

~ .....

"-1"

- - - ... J.!41\ kCfj:i.4CI"

.,.

./

bot~:u' fflidUoii

"\

"\

",

",..".l'''\~\tlW"
~........ ,..

...........

.'

",

.
."

..,.

....
...
\
\

,+
J;..

lr,

"t'

... ,

"'ttvf'9

-.............

~........ !I
~";<'I(it)r.

.- .."
'

Sumber: B. Schrieke, Indonesian Sosiological Studies (The


Hague: W. van Hoeve, 1955), hIm. lampiran; W, van
Gelder Lekkerkerker, SChoolatlas
van
landsch-Indie (Batavia: J.B. Wolter, 1938),
8; Ken Young, Islamic Peasants and the
Anti-tax Rebellion in West Sumatra (Hamden:
Southeast Asia Studies, 1995), hIm. 5.

Sebelah selatan Bukittinggi terdapat Gunung Merapi


(2850 m.) dan merupakan gunung tertinggi di Sumatra Barat. 17
Gunung Merapi ini disebut oleh orang Minangkabau sebagai
Sumarak Alam Minangkabau. IB Berjajar dengan Gunung
Merapi terdapat Gunung Singgalang (2688 m.) dan Gunung
Sago (2240 m.), yang masmgmasingnya terletak di sebelah
barat dan timur Gunung Merapi. Sekitar ketiga gunung inilah
terletak kampung halaman orang Minangkabau. '9 Ketiga
gunung ini dikenal dengan nama Tri Arga dan menjadi salah
satu sebutan bagi Kota Bukittinggi. 20
Berbeda dengan daerah sebelah barat, utara, dan barar
daya Bukittinggi yang lebih merupakan daerah perbukitan,
maka daerah sebelah timur, selatan, dan timur laut Bukittinggi
merupakan daerah dataran. Daerah dataran inilah yang
disebut dengan Lembah Dataran Tinggi Agam.21 Daerah
Agam ini dialiri oleh banyak sungai kecil yang bersumber
dari pinggang Gunung Merapi. Dua di antara sungai kecil itu,
Batang Agam dan Batang Tambuo melewati Bukittinggi.
Kedua anak sungai ini bertemu di daerah sebelah selatan
Bukittinggi dan membentuk sungai barn yang dinamakan
Batang Agam. Sungai ini merupakan salah satu huiu Sungai
Indragiri. Yang bermuara ke Pantai Sumatra Timur (Selat
Sumatra).
Perbedaan kedua daerah Luhak Agam ini menimbulkan
perbedaan kehidupan ekonomi masyarakatnya. N agarinagari
yang terletak di kaki Gunung Merapi dan Singgalang dapat
dikatakan sebagai desa perbukitan. Penduduk di daerah ini
lebih banyak menanam tanaman keras, seperti kopi, indigo,
kulit manis, dan tanaman sayursayuran, seperri ken tang dan'
buncis. Akan tetapi, karena lahan pertaniannya yang sempit,
maka sebagian penduduknya juga berusaha dalam bidang
industri rumah tangga, seperti menenun, membuat alat-alat
pertanian, kerajinan emas dan perak, dan berdagang.
Termasuk desa perbukitan ini antara lain, Nagari Canduang,
Sungai Pua, Pandai Sikek, Koto Gadang, Guguak, Malalak,
Balingka, Matua, dan Kamang. 22
Bab

n - 15

Adapun nagari-nagari yang terletak di daerah lembah


dapat disebut sebagai des a persawahan. Sahagian besar
tanahnya dijadikan areal persawahan. Sebagian kecil dari
penduduknya berusaha dalam bidang industri rumah tangga
dan perdagangan. Desa persawahan ini antara lain, Nagari IV
Angkek, Kapau, dan Tilatang. Keberadaan desa perbukitan
dan persawahan ini menjadi penopang bagi keberadaan
Bukittinggi. SebaIiknya, hasil-hasil bumi dan industri rumah
tangga penduduk kedua daerah perbukitan dan persawahan
itu dipasarkan di Bukittinggi.

Dari N agari Kurai ke Kota Bukittinggi


Nagari Kurai merupakan salah satu dari nagari yang
terletak dalam Luhak Agam. Adapun batas-batas Nagari
Kurai adalah: sebelah utara dengan Nagari Gaduik dan Nagari
Kapau; sebelah timur dengan Nagari IV Angkek; sebelah
selatan dengan Nagari Banuhampu dan Sungai Pua; sebelah
barat dengan Nagari Koto Gadang, Guguak, dan Nagari
Guguak.23 Nagari-nagari yang terletak di sekeliling Nagari
Kurai termasuk dalam Luhak Agam. Dengan demikian
Nagari Kurai terletak di tengah-tengah Luhak Agam.
Nagari Kurai terdiri dari lima jorong.24 Kelima jorong
itu yaitu Jorong Tigo Baleh, Jorong Mandiangin, Jorong Koto
Selayan, Jorong Aua Birugo, dan Jorong Guguak Panjang.
Batas-batas jorong ini dan terutama dengan nagari-nagari
tetangganya, pada mas a pra-kolonial ditumbuhi oleh aua,
sejenis tumbuhan bambu. Selain itu, tumbuhan bambu ini
juga betfungsi sebagai benteng, jika terjadi perang antarnagari.
Tumbuhan bambu ini menjadi ciri Nagari Kurai, sehingga
Nagari Kurai dikenaljuga dengan sebutan Kurai nan Salingka
Aua.

16 Boekittinggi Tempo Doeloe

Peta 2

Bukittinggi dan Nagari Kurai

t""''1-,

) rn\"
"~~
Nagarl Gaduik

Nagar1 Kapau

ks PayakutnO Uh /

Pakan.beru

Hagar!

~ IV Angkat

Nagar.!. Koto Gadano

NagAr!

GV9u~k

<eter.ng8n~

bates nag-sri
batss j01"on9
Puar

f'

Penduduk Nagari Kurai dipercaya berasal dari 13 o


rang ninik, yang pindah dari Nagari Pariangan Padangpanjang.
Menurut tambo, N agari Pariangan Padangpanjang merupakan
nagari tertua di Minangkabau. Nagari Pariangan Padang
panjang terletak di kaki Gunung Merapi sebelah selatan. 25
Setelah mengitari kaki Gunung Merapi ke arah timur dan
mereka lalu berbelok ke sebelah utara Gunung Merapi.
Daerah ini lalu mereka taruko (teruka) untuk dijadikan sebagai
pemukiman awal, yang dinamakan Koto Jolang. 26
Koto Jolang kemudian dikembangkan oleh ke-13 ninik
itu, sehingga menjadikannya perkampungan yang pertama.
Perkampungan itu dinamakan menurut jurnlah mereka, yaitu
Jorong Tigo Baleh. 27 Kemudian mereka berpencar menjadi
Bab II - 17

dua kelompok. Kelompok pertama yang terdiri dari 7 orang


bergerak ke arah utara. Daerah ini kemudian disebut Ikua
Koto. Keiompok kedua yang terdiri dad 6 orang lagi ke arah
selatan. Daerah ini kemudian disebut Kapalo KotO. 28
Penyebaran dari keturunan ke-13 ninik ini pada akhirnya
mendirikan 4 jorong lainya. Jorong-jorong itu adalah Jorong
Mandiangin, Jorong Gurun Panjang, Jorong Aur Birugo, dan
Jorong Koto Selayan. Kelima Jorong inilah yang kemudian
membentuksebuah nagari, yang dikenal dengan nama Nagari
Kurai V Jorong. 29 Adapun penduduknya disebut dengan
urang Kurai. Keturunan mereka iniiah sekarang yang menjadi
penduduk asli Kota Bukittinggi. Seiring dengan perkembangan
pemukiman itu, ke-13 ninik itu berkembang pula menjadi 26
panghulu (penghulu). Oleh karenajumlahnya 26 orang, maka
disebut dengan panghulu nan duo puluah anam. Mereka
dianggap sebagai peneruka dan pendiri Nagari Kurai. Sebab
itu pula mereka disebut juga sebagai panghulu pucuak. Mereka
menduduki posisi tertinggi dalam hierarki kepenghuluan
dalam Nagari Kurai. Sebagai pimpinan dari semua panghlllu
pucuak dipegang oleh Datuak Bandaro.
Kedua puluh enam panghulu pucuak itu terbagi atas
tiga tingkat, yang dibedakan berdasarkan upacara
pengangkatan-nya. Pertama, panghulu nan limo yang diangkat
dengan menyembelih seekor kerbau dan sekor lembu. Kedua,
panghulu nan sambi/an yang diangkat dengan menyembelih
seekor kerbau. Ketiga, panghulu nan duo baleh yang diangkat
dcngan menyembelih seekor lembu. J'
Adapun peiaksana daiam pemerintahan nagari sehari
hari dipegang oleh panghlllu pangkatllo nagari. Mcreka tcrdiri
dari 24 penghulu dan karena itu disebut panghu!t; nan dllo
pUlllh ampek.J2 Mereka disebut juga dengan panghll!u urek
tunggang. Gabungan kedua kelompok penghulu, panghu!u
nan duo puluah an am dan panghlliu nail duo pulllah
disebut sebagai pucuak bulek IIrek tunggang dalam N agari
Kurai. Merekalah penentu dalam bcrbagai
menyangkut tentang kemajuan dan kemaslahatan Nagari.
18 - Bockittinggi Tempo Dodoe

Masyarakat Kurai, sebagai bagian dari masyarakat


Minangkabau, hidup tersusun dalam suku-suku. Ada sembilan
suku yang terdapat dalam Nagari Kurai V Jorong. Kesembilan
suku itu adalah Suku Guci, Suku Pisang, Suku Sikumbang,
Suku Jambak, Suku Tanjung, Suku Selayan, Suku Koto, Suku
Simabur, dan Suku Melayu. Kesembilan suku ini merupakan
pemekaran dari salah satu dari empat suku induk, yaitu
Piliang. J3
Suku merupakan unit utama dalam struktur masyarakat
Minangkabau. Suku merupakan satu kesatuan geneologis,
yang diturunkan menurut garis matrilineal. 34 Suku menjadi
identitas bagi seorang Minangkabau. Seorang Minangkabau
tidak mempunyai suku. 3S
Suku dipimpin oleh seorang penghulu yang diberi ge1ar
datuak. Ia adalah mamak bagi seluruh anggota sukunya, yang
disebut kamanakan (kemenakan). Setiap suku terdiri dari
beberapa paruik yang masing-masingnya berasal dari satu
nenek. Paruik merupakan sebuah keluarga besar (extended
family) dan mendiami sebuah rumah gadang. Sebagai
pimpinan rumah gadang diangkat seorang laki-laki tertua
dalam keluarga itu. Ia disebut tungganai dan menjadi mamak
bagi kamanakan, yang terdiri dari seluruh anggota rumah
gadang. Hubungan mamak dan kamanakan yang terendah
adalah dari seorang laki-laki terhadap anak saudara perem
puannya. 36
Pada awalnya terdapat empat suku, yaitu suku Bodi,
Caniago, Koto, dan Piliang. Dari keempat suku ini kemudian
rnembelah, sehingga dewasa ini terdapat 96 sukuY Keempat
suku itu berpasangan dalam dua lareh (laras), yaitu Kelarasan
Koto-Piliang dan Bodi-Caniago. Kelarasan ini mengandung
makna hukum, yaitu tata cara adat turun-temurun. Perbedaan
yang pokok di antara kedua itu terletak pada tata susunan
nagari, pangkat kepenghuluan, dan pcmilihan penghulu.
Kelarasan Bodi-Caniago lebih bersifat de mokra tis.
Nagari-nagari yang menganut sistem ini dipimpin oleh para
penghulu secara kolektif.38 Oleh sebab itu, lantai (tempat
Bab I1- 19

duduk) balairung-nya datar, tidak bertingkat-tingkat. Setiap


penghulu mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
memimpin nagari. Sebagai pemimpin dipilih salah seorang
yang tertua di antara mereka. Adapun sistem pergantian
penghulunya didasarkan kepada kemampuan dan kecakapan
seseorang dari anggota sukunya.
Kelarasan Koto-Piliang lebih bersifat otokratis. Nagari
nagari yang menganut kelarasan ini dipimpin oleh para
penghulu dengan hierarki kepenghuluannya. 39 Oleh sebab itu,
lantai (tempat duduk) balairung-nya pun bertingkat-tingkat
menurut jumlah tingkat penghulu duduk, sesuai dengan
tingkat kepenghuluannya. Adapun tempat yang tertinggi
diduduki oIeh panghulu pucuk dan yang terendah diduduki
panghulu induk. Sistem pergantian penghulunya didasarkan
kepada garis keturunan langsung. Maksudnya, gelar
kepenghuluan diberikan kepada kamanakan kanduang
(kemenakan kandung), anak saudara perempuan kandung dari
penghulu yang bersangkutan.
Nagari Kurai merupakan salah satu dari nagari yang
mengikuti aliran Kelarasan Koto-Piliang. Hal ini disebabkan
sembilan suku yang terdapat dalam Nagari Kurai merupakan
pemekaran dari Suku Piliang. Selanjutnya, susunan penghulu
Nagari Kurai yang terdiri dari panghulu pucuak dan panghulu
urek tunggang menunjukkan adanya hierarki dalam pangkat
kepenghuluan. Bahkan dalam panghulu pucuak sendiri
terdapat hierarki kepenghuluannya, yaitu dengan adanya
panghulu nan limo, panghulu nan sambi/an dan panghulu nan
dua baleh.

Pertumbuhan WiIayah Kota Bukittinggi


Bukittinggi berasal dari kata bukik nan tatinggi (bukit
yang tertinggi).40 Bukit yang dimaksudkan itu bernama Bukik
Kubangan Kabau yang tingginya 936 m di atas permukaan
laut,41 BukikKubangan Kabau ini merupakan salah satu bukit
yang tertinggi di antara 27 bukit yang terdapat dalam wilayah
hukum adat Nagari Kurai V Jorang.
20

Boekittinggi Tempo Doeloe

Adapun ke-27 bukit itu adalah Bukik Kubangan Kabau,


Bukik Jirek, Bukik Sarang Gagak, Bukik Tambun Tulang,
Bukik Cubadak Bungkuak, Bukik Malambuang, Bukik
Mandiangin, Bukik Ambacang, Bukik Upang-Upang, Bukik '
Pauh, Bukik Lacir, Bukik Jalan Aua nan Pasa, Bukik Cindai,
Bukik Campago, Bukik Gumasik, Bukik Gamuak, Bukik
Guguk BuIek, Bukik Sangkak, Bukik Apik, Bukik Pinang nan
Sabatang, Bukik Cangang, Bukik Parit, Bukik Nantuang,
Bukik Sawah Laweh, Bukik Batarah, Bukik Pungguak. Bukik
Paninjauan, dan Bukik Gulimeh. 42
Bukik Kubangan Kabau terletak di bagian selatan dari
bukit-bukit itu. Letak bukit ini cukup strategis, yaitu
menghadap ke Lembah Dataran Tinggi Agam dan Gunung
Merapi. Oleh karena itu, Bukik Kubangan Kabau
sebagai tempat bermusyawarah oleh para penghulu Nagari
Kurai V Jorang.
Ada dua keputusan yang dimufakati oleh penghulu
dalam musyawarah itu dan menentukan perkembangan
Nagari Kurai V Jorang di masa mendatang. Pertama, bahwa
Bukik Kubangan Kabau, tempat para penghulu ber
musyawarah itu, dimufakati untuk ditukar namanya menjadi
Bukik nan Tatinggi. Penamaan Bukik nan Tatinggi
kemudian menjadi Bukik Tinggi (Bukittinggi)Y Nama
Bukittinggi ini kemudian juga ditujukan untuk menyebut
Nagari Kurai V Jorang. Adapun penduduk Nagari Kurai V
Jorang disebut dengan urani Kurai. Sekarang urang Kurai
menjadi penduduk asli Bukittinggi.
Kedua, bahwa para penghulu sepakat untuk mendirikan
sebuah pakan (pasar)44 di Bukik Kubangan Kabau. Pasar ini
dinamakan Pakan Kurai dan dilaksanakan setiap hari Sabtu.
Pasar ini berada di bawah pengawasan para penghulu Nagari
Kurai. Sebelum kedatangan Belanda di daerah dataran tinggi
Agam pada tahun 1823, Pakan Kurai telah ramai didatangi
oleh penduduk nagari-nagari yang berada di sekitar Nagari
Kurai. 45 Pakan Kurai pada gilirannya menjadi pakan bagi
daerah Agam dan disebut sebagai Koto Rang Agam.
Bab II

21

Pada tahun 1926 Kapten Bauer mendirikan benteng di


Bukittinggi dan diberi nama "Fort de Kock". 46 Ia adalah
Kepala Opsir Militer Belanda di daerah dataran tinggi Agam.
Benteng itu didirikan di atas bukit yang paling tinggi, yaitu
Bukik Jirek (941 m) dan terletak sekitar 800 m sebelah barat
Pakan Kurai. Sejak itu Bukittinggi secara resmi dinamakan
"Fort de Kock" oleh Pemerintah Hindia Be1anda. Sungguhpun
demikian, masyarakat Minangkabau tetap menamakannya
Bukittinggi. 47
Sejak berdirinya Benteng "de Kock" , perkembangan
Bukittinggi selanjutnya lebih ditentukan oleh kebijakan
pemerintah Hindia Belanda. 48 Lebih-lebih setelah Belanda
berhasil mengalahkan Kaum Paderi pada tahun 1837 dan
berkuasa di Sumatra Barat. Seiring dengan itu, Belanda
mengubah administrasi pemerintahannya. Sumatra Barat
dijadikan sebuah gubernemen, sedang sebelumnya berbentuk
residensi. Hal ini pada gilirannya berubah pula status
Bukittinggi. Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pemerintahan
Residensi Padangsche Bovenlanden (Padang Dataran
Tinggi).49
Perluasan "pemilikan" tanah di Bukittinggi ini dilaku
kan oleh Belanda dengan cara "meminjam" dan "membeli"
kepada penghulu Nagari Kurai. Bahkan pada kasus-kasus
tertentu, ada juga yang ditentukan secara sepihak oleh Belanda.
Sifat tamak pemerintahan Hindia Belanda itu menimbulkan
suatu ungkapan ketamakan bagi masyarakat Minangkabau.
Adapun bunyi ungkapan itu adalah "bak Bulando mintak
tanah, diagiah sajangka nak sadapo". 50 (seperti Belanda minta
tanah, diberi sejengkal maunya sedepa).
Bukik Jirek, tempat dibangunnya Benteng- "de Kock" ,
merupakan tanah yang pertama sekali diberikan oleh para
penghulu Nagari Kurai kepada Belanda. Beberapa waktu
kemudian Belanda membangun lagi di tanah sekitar Benteng
"de Kock". Peminjaman ini dilakukan dengan perjanj ian
bahwa Belanda juga akan membantu para penghulu Nagari
Kurai jika mendapat kesulitan. 51 Tanah ini dijadikan lokasi
22 - Boekittinggi

Doeloe

untuk membangun rumah opsir dan tangsi tentara. Lokasi


ini juga dijadikan kuburan Be1anda.
Pada tahun 1856 Belanda meminjam tanah perbukitan
yang terletak di sekitar Pakan Kurai. Tanah ini dipinjamkan
dengan hak pakai dan lamanya tidak ditentukan. Daerah
sekitar Pakan Kurai ini akan dikembangkan oleh Belanda
menjadi pusat perdagangan bagi daerah Agam dan sekitamya.
Jika tanah ini tidak diperlukan lagi, maka Belanda akan
mengembalikannya kepada para penghulu Nagari Kurai,52
Tanah ini meliputi 7 (tujuh) bukit yang bertautan satu
dengan lainnyaY Oleh karena itu, lokasinya mempunyai
lembah yang sempit. Bukit-bukit itu adalah Bukik Jirek, Bukik
Sarang Gagak, Bukik Tambun Tulang, Bukik Cubadak
Bungkuak, Bukik Bulek, Bukik Malambuang, dan Bukik
Parak Kopi.
Secara bertahap Belanda membangun berbagai
prasarana di lokasi ini untuk kepentingan kolonialnya, seperti
rumah dan kantor residen, gudang-gudang kopi, los-los pasar,
perkampungan Cina, India, dan Nias. 54 Mengikuti
perkembangan ini, ketujuh bukit ini segera pula menjadi pusat
Kota Bukittinggi.
Daerah perbukitan itu tidak hanya dimafaatkan untuk
pengembangan pasar saja, tetapi juga untuk kepentingan
pemerintahan sipil dan militer. Akan tetapi, daerah perbukitan
itu tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan
militer karena tidak adanya tanah yang datar dan luas. Oleh
karena itu, pada tahun 1861 Belanda membeli tanah di bagian
selatan Bukittinggi dengan harga f 46.090+.ss Daerah ini
relatif lebih datar, sehingga dapat dijadikan lapangan militer.
Selain itu dibangun pula asrama militer, tangsi militer, dan
rumah sakit militer.
Semakin lama Belanda di Bukittinggi, kedudukannya
semakin kuat. Pada tahun 1888 Belanda secara sepihak
menetapkan batas-batas daerah kekuasaannya tanpa
merundingkannya terlebih dalu dengan para penghulu Nagari
Kurai. Batas-batas yang ditetapkan oleh Belanda itu adalah:
Bi1b " - 23

a.

b.

c.
d.

Sebelah timur laut dan utara yaitu dari sebelah barat


Bandar Malang melalui pancang (tiang) yang bertanda
A pada jalan dekat Kuburan'Cina lama dengan pancang
bertanda I terletak di jalan ke Kampung Palupuh. Dan
darisini satu garis lurus lagi ke pancang (tiang) yang
bertanda B yang terdapat pada jalan kecil kuburan
Belanda baru.
Sebelah barat laut, sebelah barat dan tenggara ialahjalan
kecil (kuburan Belanda baru) tersebut di atas sampai
ke kuburan Belanda baru. Dari sini batas sebelah barat
daya dari kuburan Belanda tersebut sampai ke pancang
bertanda D berhubungan dengan sebuah pancang
berhuruf E. Berikutnya lebih kurang 240 m jauhnya di
sebelah barat jalan ke arah Padangpanjang.
Sebelah selatan, dari pancang F ditarik satu garis lurus
ke arah timur sampai dengan titik temunya jalan arah
ke Padangpanjang.
Sebelah timur, dari titik temu tersebut di atas mengalir
Banda (Bandar) Malang yang terbagi dua: pada bandar
yang sebelah barat sampai ke tempat pertemuan bandar
ini dengan jalan Payakumbuh.56

Batas-batas Bukittinggi ini merupakan batas wilayah


administrasi "de Kock" yang pertama ditetapkan. Penetapan
batas wilayah Kota Bukittinggi ini membuat pemerintah
Kolonial Belanda semakin berkuasa untuk mengembangkan
Kota Bukittinggi. Terlebih setelah status administrasi Kota
Bukittinggi ditetapkannya sebagai sebuah gemeente pada
tahun 1918. 57 Setahun kemudian, Gemeenteraad Bukittinggi
menetap-kan diberlakukannya Peraturan Sewa Tanah di
wilayah Gemeente Bukittinggi. Kebijakan pemerintah Kota
Bukittinggi ini berpengaruh positif terhadap pertambahan
penduduk Kota Bukittinggi, karen a dengan peraturan itu
terbuka pe1uang bagi pendatang untuk memiliki tanah dan
membangun rumah di wilayah Gemeente Bukittinggi.

24 - Boekittinggi Tempo Oo('loe

Pada tahun 1930 pemerintah Gemeente Bukittinggi


memperIuas lagi wilayah Kota Bukittinggi. Berdasarkan batas
batas Kota Bukittinggi yangbaru ini, maka luas wilayah Kota
Bukittinggi menjadi 5,2 km2.S8 Adapun batas-batas wilayah
Kota Bukittinggi yang barn itu adalah:
Sebelah utara: dari pancang yang bertanda A, yaitu
t.empat di mana jalan dari Kampung Pintu Kebun berbelok
ke Kampung Jirat, tepi utara jalan yang sekarang panjangnya
1470 m menuju ke timur sampai di pancang B (letaknya 50
m ke sebelah timur dari tempat di mana jalan berbelok ke
selatan, di atas ditarik ke selatan panjangnya 950 m, sampai
jalan Bukittinggi - Payakumbuh (pancang yang bertanda C).
Kemudian satu garis ditarik sepanjang 1875 m ke tenggara,
sampai di pancang yang ada sekarang dari Kampung Tarok
ke Kampung Aur, di sini bertanda C.
Sebe!ah selatan: tepi selatan jalan yang ada sekarang
dad pembelokan, pancang yang bertanda E, ke barat yang
panjangnya 555 m, sampai ke pancang yang bertanda F
(tempat yang letaknya 50 m ke barat dari jalan Bukittinggi Padangpanjang).
Sebelah barat daya dan barat: satu garis ditarik ke barat
laut panjangnya 790 m ke pancang yang bertanda G,
kemudian tepi selatan jalan kecil dari pancang yang bertanda
eke pancang bertanda H. Kemudian garis sambungan dari
pancang yang bermerek I, sepanjang pancang-pancang yang
sudah ada sekarang (yaitu dari 1 sampai 9 ke pancang yang
bermerek J sampai pancang yang bermerek K panjang
seluruhnya 800 m dan penghabisan tepi barat jalan dari
pancang K menuju ke utara panjangnya 575 m sampai di
pancang yang bertanda A. 59
Pada masa pemerintahan militer Jepang, daerah
Bukittinggi ini diperluas. Luas Bukittinggi yang ditetapkan
selain Nagari Kurai, juga termasuk 11 nagari yang terdapat
di sekelilingnya. Kesebelas nagari itu adalah Nagari Gaduik,
Nagari Kapau, Nagari Biaro Gadang, Nagari Ampang Gadang,
Nagari Balai Gurah, Nagari Batu Tebal, Nagari Taluk, Nagari
Bab II - 25

Guguak, Nagari Ladang Laweh, Nagari Koto Gadang, dan


Nagari Sianok,60 Kebijakan Pemerintahan Jepang ini
pula dengan menukar nama "de Kock" dengan Bukittinggi
Baru. 61
Setelah kemerdekaan, status wilayah Bukittinggi ini
menjadi masalah yang serius. Hal ini disebabkan pemerintah
an Hindia Belanda dan Jepang meninggalkan masalah
perluasan wilayah Bukittinggi. Selain itu disebabkan oleh
perubahan sistem pemerintahan dari Kolonial Belanda dan
pendudukan Jepang kepada pemerintahan Republik Indone
sia. Perubahan itu terjadi dari pemerintahan yang tertinggi
sampai yang terendah.
Jorong-jorong yang terdapat dalam N agari Kurai
dijadikan sebagai pemerintahan tersendiri dan bersifat
otonom. Demikian juga dengan nagari-nagari lainnya yang
termasuk dalam wilayah Kota Bukittinggi Baru pada zaman
Jepang. Bahkan, nagari-nagari itu tidak bersedia dijadikan
bagian dari Kota Bukittinggi Baru. Kota itu sendiri akhimya
dijadikan sebagai kotapraja yang juga otonom. 62
Pada masa awal kemerdekaan itu terjadi tumpang tindih
ruang lingkup wilayah Kota Bukittinggi. Ada tiga pengertian
wilayah yang diacu oleh Kota Bukittinggi, yaitu:
Pertama, Kota Bukittinggi yaitu kota yang menurut batas
batas gemeente tahun 1930.
Kedua, Kota Bukittinggi yaitu kota menurut batas-batas
Nagari Kurai.
Ketiga, Kota Bukittinggi yaitu kota menurut batas-batas kota
pada masa pemerintahan Jepang.
Keadaan itu diperuncing dengan bersatunya jorong
jorong dalam N agari Kurai pada tanggal 22 Maret 1947.
Persatuan ini diwujudkan dengan membentuk suatu otonomi
bagi kelimajorong. Dengan demikian, otonomi Nagari Kurai
dihidupkan kembali. 63 Adapun tujuan dari kebijakan ini
adalah untuk mengantisipasi bagi masuk atau tidaknya
wilayah hukum adat Nagari Kurai V Jorong ke dalam wilayah
Kota Bukittinggi.
26 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Situasi yang tidak menguntungkan bagi pembangunan


wilayah Kota Bukittinggi ini dicoba oleh Residen Sumatra
Barat untuk menengahinya. Residen Sumatra Barat mengan
jurkan supaya batas-batas Bukittinggi diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Pada tangga129 Mei 1947 disetujuilah bahwa
batas-batas Kota Bukittinggi adalah batas-batas Nagari Kurai.
Surat Keputusan ini disebut dengan "Naskah Kayu Kalek" .64

Pendndnk Kota Bnkittinggi


Jumlah penduduk Kota Bukittinggi sebelum sensus
tahun 1905, tidak dapat diketahui secara pasti, akan tetapi
dapat diperkirakan. Pada sensus yang pertama dilakukan di
Sumatra Barat tahun 1852, jumlah penduduk Afdeeling
Agam, tempat terdapatnya Kota Bukittinggi, adalah 197.217
jiwa. Perinciannya adalah Bumiputera: 196.927 jiwa; Eropa:
30 jiwa; Cina: 49; Asia lainnya: 190 jiwa; dan budak 21 jiwa. 65
Berkemungkinan besar pada umumnya orang Eropa, Cina,
dan Asia lainnya tinggal di Bukittinggi, karena Bukittinggi
merupakan pusat pemerintahan dan perdagangan Afdeeling
Agam.
Akan tetapi, jumlah penduduk Bumiputera di Bukit
tinggi sulit diperkirakan, disebabkan daerah Afdeeling Agam
itu terdiri dari empat onderafdeeling, sedangkan data yang
tersedia hanya untuk Afdeeling Agam. Sungguhpun demikian,
dari data jumlah orang tua murid Sekolah Nagari Bukittinggi
pada tahun 1863-1869 hampir dapat dipastikan bahwa telah
terdapat kelompok pedagang yang relatif mapan di Bukit
tinggi. Persentase jumlah mudd yang orang tuanya pedagang
paling tinggi di antara yang lainnya. 66
Tidak dilakukannya sensus penduduk di Bukittinggi
pada tahun 1852, berkemungkinan disebabkan oleh belum
ditentukannya batas wilayah BukittinggiY Secara adminis
traSi pemerintahan, Bukittinggi pada waktu itu termasuk ke
dalam wilayah hukum adat Nagari Kurai, yang merupakan
bag ian dari Kelarasan Banuhampu. Kelarasaan Banuhampu
Bab II - 27

merupakan salah satu dari 11 kelarasan dalam Onderafdeeling


Agam Tua.
Sensus penduduk untuk Bukittinggi dilakukan pertama
ka1i pada tahun 1905. Jum1ah penduduk Bukittinggi pada
tahun 1905 itu adalah 2.239 jiwa, yang terdiri dari 1.439 Bumi
putera, 258 jiwa Eropa, 347 Cina, dan 195 Timur Asing.68
Berdasarkan sensus tahun 1905, dapat diperkirakan bahwa
orang eina dan Timur Asing lainnya hampir semuanya tinggal
di Bukittinggi, Mereka umumnya masih terkonsentrasi di
ibukota afdeeling. Keadaan ini berbeda dengan tahun-tahun
sesudahnya, karena mereka sudah mu1ai tinggal di ibukota
onderafdeeling.
Pertumbuhan penduduk Bukittinggi yang terbesar
terjadi antara tahun 1920 dan 1930. Selama sepuluh tahun
ini penduduk Bukittinggi bertambah sebanyak 9.653 jiwa atau
151,81 %. Angka ini jauh di atas angka pertambahan
penduduk kota-kota di Sumatra Barat. Tabel 2 menunjukkan
peringkat kota-kota di Sumatra Barat berdasarkan angka
pertambahan penduduknya.

28 - Boekittlnggi Tempo Doeloe

'"

tv

:::::

0"

0>

iXI

:!.220 15.792

5.797

7.218

1930

1935

1.476

2.423

1920

-
174
281

-
225
266
310

1.500
3.899
13.015
13.012
310

1.439

pr.

Ik.

jmL

328

461

461

339

473

547

214

pro

319

lk.

Cina

399

215

258

IjmL

Eropa

Ik.

789

812

147

147

533 . 90

347

JmL

136

136

83

pro

283

283

173

650

195

jmL

Timur Asing

8.138

8.104

3.057

Ik.

6.566

6.553

1.947

pro

Jumlah

14.704

14.657

5.004

2.465

2.239

Jumlah

Encyclopedie Nederlandsch Indisch (US-gravenhagen: Martinus Nijhoff, 1917), hIm. 720.


Sumber: K%niaa/ Verslag (1907); Vo/stelling (1920); Volstelling (1930); dan Indisch Verslag (1935).

* Jumlah penduduk kota Bukittinggi tahun 1915 ini merupakan suatu perkiraan. Adapun jumlah orang Cina tidak
pula disebutkan tetapi digabungkan dalam kelompok Timur Asing. "Frot de Kock", dalam J. Paulus (ed.),

19"15*

pro

lk.

Bumiputra

1905

Tahun

Tabel1

Penduduk Kota Bukittinggi

1905, 1915, 1920, 1930, dan 1935

Tabel2

Penduduk Kota-kota di Sumatra Barat

Tahun 1920 dan 1930

,.------

Kota
Tahun

~-

Bumi-
putera

Eropa

Cina

Timur
Asing
lainnya

Jumlah

Persent
ase (%)

Bukit
tinggi
1920
. 1930

3.899
13.015

399
547

533
812

173
283

5.004
14.657

151,84

Solak
1920
1930

1.755
5.894

79
50

91
215

40
55

1.965
6,214

68,38

Padang
1920
1930

28.754
40,744

1.979
2,592

6,979
7.263

Ll64
1.455

38.169
52.054

36,04

Padang
panjang
1920
1930

6.057
8.917

279
293

475
374

31 25

6.842
9.609

28,80

Paya
kumbuh
1920
1930

4.280
4.959

57
26

736
871

48
58

14.353
15.146

13,40

---

f----

--

Sawah
lunto
1920
1930

13.326
13,962

f----- f----

530
639

496
520

---

2
25

14353
15.146

5,24
-~.---

Sumber : Volkstelling Tahun 1930.

Peningkatan angka pertambahan penduduk Bukittinggi


yang tinggi ini antara lain disebabkan oleh empat faktor.
Pertama, diberlakukannya peraturan hak sewa/beli tanah dan
bangunan di Bukittinggi, yang memberi peluang kepada para
pendatang untuk memiliki tanah dan bangunan rumah di sana.
30 - Boekittinggi Tempo Doe1oe

Sementara, sebelumnya pembe1ian tanah itu relatif sulit


dilakukan oleh pendatang. Tersebab tanah merupakan hak
ulayat/pusaka (kaum, suku, dan nagari) yang tidak boleh
diperjualbelikan, sebagaimana halnya berlaku di Minang
kabau. 69
Ke du a, pertambahan jumlah penduduk itu juga
dipengaruhi oleh diperluasnya Kota Bukittinggi. Pada bulan
Juni tahun 1930, sebelum dilakukan Sensus Penduduk Tahun
1930, Kota Bukittinggi diperluas menjadi 5,2 km 2 . 01eh
sebab itu, sebagian penduduk Nagari Kurai pada tahun 1920
termasuk dalam wilayah sensus Onderafdeeling Agam Tua,
sekarang dimasukkan ke dalam wilayah sensus Gemeente
Bukittinggi.
Faktor ketiga yang menjadi penyebab meningkatnya
jumlah penduduk Gemeente Bukittinggi adalah semakin
terbukanya kesempatan kerja dan peluang berusaha di
Bukittinggi. Dibentuknya Gemeente Bukittinggi sudah' tentu
membutuhkan lembaga-Iembaga lainnya sebagai penunjang
kelancaran administrasinya, yang pada gilirannya membutuh
kan tenaga kerja. Keempat, semakin tertatanya Pasar
Bukkittinggi itu juga dapat dijadikan alasan bertambahnya
minat orang untuk berdagang dan tinggal melalui urbanisasi
di Bukittinggi.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930 diketahui
persentase penduduk Bumiputera jauh lebih besar daripada
jumlah penduduk asing lainnya. Persentase penduduk
Bumiputera adalah 88,8 %, kemudian menyusul Cina 5,54
%, Eropa 3,73 %, dan Timur Asing lainnya I, 93 %. Menarik
pula dikemukakan ialah persentase penduduk berdasarkan
usianya. Dari jumlah keseluruhan penduduk Bukittinggi
terdapat 4.587 remaja dan 6.457 dewasa (term as uk orang tua)
atau sekitar 84,89 %, sedangkan anak-anak di bawah umur
15,11 %. Angka itu menunjukkan usia produktif dominan di
Kota Bukittinggi. Dapat diperkirakan bahwa tenaga kerja
terserap dalam bidang pemerintahan tidaklah begitu banyak.
Oleh karena itu, jumlah penduduk yang bergerak dalam
perdagangan, jasa, atau lainnya akan lebih dominan.
Bab II - 31

'''.

Setiap lOO orang penduduk lelaki dewasa terdapat 30,9


% bujangan, 63 % kawin, 1,8 % duda, dan 4,2 % bercerai.
SebaIiknya untuk setiap wan ita dewasa terdapat 5,5 % gadis,
70,7 % kawin, 13,2 %janda, dan 10,6% bercerai. Sungguhpun
demikian, tidak diinformasikan persentase penduduk
Bumiputera berdasarkan perantau dan penduduk asli, namun
dari tingginya perbedaaan per3'entasejumlah laki-Iaki bujangan
dengan wanita gadis, dapat dijadikan indikator bahwa para.
perantau yang datang ke Bukittinggi relatif cukup banyak
belum berkeluarga.
Adapun yang menarik dikemukakan di sini adalah
mengenai orang Jepang. Dalam daftar sensus orang Jepang
termasuk Timur Asing. Secara tegas tidak ada angka mengenai
jumlah orang Jepang di Bukittinggi. Akan tetapi, pada tahun
1905 di Residensi Padang Dataran Tinggi disebutkan orang
Jepang berjumlah 22 orang, yang terdiri dari 4 laki-Iaki dan
18 perempuan. 70 Dapat diperkirakan bahwa orang Jepang
telah tinggal di Bukittinggi pada tahun itu, karena Bukittinggi
merupakan ibukota Residensi Padang Dataran Tinggi. Selain
itu, Bukittinggi juga merupakan pusat perdagangan daerah
Dataran Tinggi Sumatra Barat.
Pada tahun 1930 terdapat 47 orang Jepang di
Bukittinggi. Adapun persamaannya ialahjumlah wanita lebih
banyak dari laki-Iaki Jepang, yaitu 15 : 32. Suatu pertanyaan
yang suEt dijawab mengapa jumlah wanita Jepang jauh
banyak dari pada jumlah laki-Iakinya, karena tidak ditemukan
data tentang jenis pekerjaan orang Jepang itu. 71 Menurut
beberapa informasi, mereka bekerja sebagai tukang foto,
pedagang kelontong, dan pedagang keliling.

32 - Boekittinggi

Doelot:!

Catatan Akbir
Daerah Sumatra Barat yang dimaksudkan adalah meliputi bagian
barat dati Sumatra Tengah, yang dapat diidentikkan dengan Provinsi
Sumatra Barat sekarang. Pada masa Kolonila Belanda daerah ini
disebut dengan Sumatra's Westkust. E.B. Kielstra, "Sumatra's
Westkust 1836-1840", deel IV, 13KINo. 39 Tahun 1890, hIm. 139
140.

Daerah dataran tinggi dan daerah pesisir dalam administrasi

pemerintahan Hindia Belanda, masing-masingnya disebut dengan

Padanqsche Bovenfanden dan Padanqsche Benedenlanden. Ibid.

Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang

sedang Berubah, Sumatra Tengah, 1784-1847, Terjemahan Lilian

Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1992), hIm. 14-35.

Ada empatjalur jalan setapak yang menghubungkan daerah dataran

tinggi dan pesisir. Keempat jalur itu adalah Jalan Saningbakar, Jalan

Bukit Ambacang, Jalan BukitTujuh, dan Jalan Jawi. Rusli Arman,

Sumatra BaratPlakat Panjang (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hIm.

305.

J alan Lembah Anai dibangun pada tahun 1833 oleh Belanda untuk

membawa pasukan artilerinya dalam rangka Perang Paderi. Eliza

beth E. Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial

Rule in the Nineteenth Century (Ithaca, New York: Cornell Mod

em Indonesia Project, 1981), hIm.56-57. Panjang Jalan Lembah

Anai ini sekitar 17 Km. Lembah Anai terletak sekitar 50 Km dad

Padang, yaitu antara NagariKayu Tanam dan Kota Padangpanjang.

Jalan kereta api Padang - Padangpanjang - Sawahlunto yang

dibangun pada tahun 1892 oleh pemerintah Hindia Belanda pada

awaInya dimaksudkan untuk mengangkut hasil tambang batu bara

Ombilin, Sawahlunto ke Padang. Akan tetapi.setelah melihat inilah

satu-satunya altematifangkutan massa ketika itu di Sumatra Barat,

maka pada tahun 1897 dibangunnya pula jalur kereta api dad

Padangpanjang ke Bukittinggi dan terus ke Payakumbuh.

Verslaqener Spoorweqaanleq in Midden Sumatra. Batavia, 1927.

Mohamad Hadjerat, Peringatan Penjerahan Djabatan (Memorie van

Overqave) Pemerintah Negeri Kurai Limo Djorong (Bukittinggi:

Tsamaratul Ikhwan, 1950), hIm. 3.

Lihat Peta 1.

Letak Bukittinggi yang sangat strategis ini pulalah kiranya yang

membuat Pemerintah Militer Jepang menjadikan Bukittinggi

...

Bab Il - 33

sebagai ibukota Sumatra, Sumatra Tengah, dan Sumatra Barat.


Kementrian Penerangan Republik Indonesia, Propiitsi Sumatra
Tengah (Djakarta: Kementrian Penerangan Republik Indonesia,
u.), hIm. 391-394.
10 Sebe1umnya Belanda memilih Batusangkar, kemudian
Padangpanjang sebagai pusat pemerintahannya. Sejak tah un 1847,
seiring'dengan dilakukannya pembaharuan administrasi
pemerintahan Belanda di Sumatra Barat, Bukittinggi resmi pula
dijadikan ibukota Residensi Padang Dataran Tinggi. E. B. Kielstra,
loc. cit,
II M. Joustra, Minangkabau : Overzicht van Land, Geschiedenis, en
Volk (,s-Gravenhage : Martinus Nijnhoff, 1923), him. 26.
12 Pada tah un 1947 tercatat Iuas areal persawahan di daerah Kota
Bukittinggi seluas 260.376,77 m 2 dan luas areal perladangan seluas
1.002.410,33 m 2 Data ini diolah dari Mohamad Hadjerat, op. cit.,
hIm. 9. Akan tetapi, Mohamad Hadjerat tidak merinci luas dan
jenis tanaman yang ditanam di areal perladangan itu. Adapun yang
disebutkannya adalah sebagian areal perladangan itu tidak diolah
oleh penduduk karena tanahnya kurang subur.
13 "Fort de Kock", dalam J. Paulus, Encyclopedie van Nederlansch
lndie(,s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1917). hal. 720-724.
14 "Oud-Agam", ibid., hIm. 187-189.
15 Handboek voor Toerism in Nederlansch-Indie Samenqestelt en
Uitqeqeven (Semarang: Java Motor Club, t.1.), hIm. 186. Jalan ini
diperbaiki oleh Belanda, Kemudian pembangunan jalan ini
dilanjutkannya dari Palemba yan ke Bonjol, ketika pasukan Belanda
hendak menyerangpusat Kaum Paderi di Bonjo!. Serangan Belanda
ini mengakhiri PerangPaderi pada tahun 1837.
16 Jalan inl dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda sekitar akhir
abad ke-19, Meskipun sudah dibangun jalan ini, namun penduduk
Nagari Koto Gadang, Guguak, dan Sianok yang letaknya
berseberangan dengan Bukittinggi masih memanfaatkan jalur jalan
setapak. Selain lebih cepat, juga lebih ekonomis, Jalan ini pulalah
yang selalu ditapaki oleh anak-anak Koto Gadang yang bersekolah
di Bukittinggi. K.A. James, "De Nagari Koto Gadang", TEE No.
49 Tahun 1915, him. 185,
17 J.L. Cluysenaer, "Mededelingen Omtrent de Topographie van een
Gedeelte der Padangsche Beneden en Bovenlanden", Tijdscrift
Aardrijkskundig Genootschap, No. ? Tahun 1879, hIm. 228.
18 Gunung Merapi dipercaya oleh orang Minangkabau sebagai tempat
34 - Boekittinggi Tempo Doeloe

19

20

2!

22
23

24

25

26

21

28

asal nenek moyang mereka. Hal ini termaktub dalam Tambo, yang
disebutkan dalam pepatah sebagai berikut: dari mano titiak palitol
dari te/ong nan barapi. Dan mano niniak kitoldari puncak Gunuang
Marapi. (Dari mana titik pelitaldari talang yang berapildari mana
nenek moyang kitaldari pinggang Gunung MerapL), Ahmad Dt.
Batuah dan A. Dt. Madjoindo, Tambo Minangkabau dan Adatnya
(Djakarta: Balai Pustaka, 1956), hal. 13.
Daerah ini terdiri dari riga Iembah dataran tinggi yang subur, yang
secara tradisional disebut Luhak Agam, Luhak Tanah Data, dan
Luhak Limo Puluah Koto. Ketiga luhak ini disebut dengan darek,
yang disebutjuga dengan daerah inti Minangkabau. Adapun daerah
yang terdapat di sekeliling darek disebut rantau. P.E. de J osselin de
Jong, Minangkabau and Negeri Sembi/an: Social-Political Struc
ture in Indonesia (Den Haag: Martinus Nijhoff, I952), hIm. 54
66.
Sekarang nama Tri Arga diberikan kepada Gedung Negara yang
terdapat di Bukittinggi.
Christine Dobbin, op. dt., him. 5-6
Lihat Peta 2.
Mohamad Hadjerat, op. cit., hIm. 3.
Jorong berasal dad kata "jorok", yang berarti daerah yang menjorok
dalam Nagari KuraL Ibid., hIm. 4.
Menurut Tsuyoshi Kato perpindahan ninik orang Minangkabau
dari Nagari Pariangan Padangpanjang terrnasuk periode merantau
tahap awal, yang dicirikan kepada usaha untuk mencari lahan
pertanian. Tsuyoshi Kato, Matriliny and Migration: Evolving
Minangkabau Traditions in Indonesia (Ithaca and London: Cornell
University Press, 1982), him. 21-25.
Jolang berarti awal atau yang pertama. Koto Jolang berarti daerah
pertama yang diteruka sebagai tempat tinggal mereka. Mohamad
Hadjerat, Sedajarah Negeri Kurai V Jorong sma Pemen'ntahannya,
Pasar, dan Kota Bukittinggi (Bukittingi: Tsamaratul Ikhwan, 1947),
him. 3.
SekarangJorongTigo Baleh merupakan salah satu kecamatan dalam
wilayah Kotamadya Bukittinggi
Koto merupakan pemukiman yang sudah besar teta pi belum dapat
dijadikan nagari, karena belum memenuhi syarat sebagai sebuah
nagari. Adapun syarat sebuah nagari adalah mempunyai empat suku,
berbalai, bermesjid, berlabuh (jalan), dan bertepian tempat mandi.
Ibid.
Bab II - 35

29

31

32
33

34

3S
36

37

38
39
40

41

42

43

44

45

46

47

48

Lihat Peta 2.

Ibid., hIm. 5-6.

Ibid., hIm. 32.

Tsuyoshi Kato, Op. cit. hIm. 50-62; lihatjuga Muhammad Radjab,

Sistem Kekerabatan di Minangkabau (Padang: Center for


Minangkabau Studies Press, 1969), hIm. 17.
Ibid., hIm. 20.
Ibid., hIm. 20.
A.A. Navis, Alam Terkambang ladi Guru: Adat dan Kebu-dayaan
Minangkabau (Jakarta: Graffiti, 1987), hIm. 87-96.
D.G. Stibbe, "Het Soekoebestuur in Padangsehe Bovenlanden" I
TNINo. ? Tahun 1968, hIm. 234-237.
P.E. de Josselin de Jong, op. cit., hIm. 52-55.
Ibid.
Azwar Dt Mangiang, "HariJadi Kota Bukittinggi, 18 Desember
1820), Makalah Seminar Hari Jadi Kota Bukittinggi (Bukittinggi:
1988), him. 1-9.
M. Joustra, lac. cit.
Mohamad Hadjerat (1950), op. cit., hIm. 3-4.
Ejaan yang dipakai dalam tulisan ini adalah Bukittinggi, sesuai
dengan ejaan yang disempumakan.
Pasar disebut oleh orang Minangkabau dengan pakan. Oleh karena
pakan dilaksanakan sekali dalam seminggu, maka seminggu disebut
pula dengan sapakan. Pakan ini dilaksanakan secara bergiliran
antara nagari-nagari yang berdekatan letaknya. Selain itu didirikan
pula pakan yang besar di antara pakan-pakan itu. Adapun penamaan
pakan itu dapat mengacu kepada nama hari atau nama nagari, waktu
atau temp at pakan dilaksanakan.
A. Knottenbelt, "De Rechtstoestand van de Gronden, Waarop de
Passer t Fort de Kock is Opgericht', KTNo. 30 Tahun 1941, hIm.
325.
Nama "de Kock" diambil dari Baron Hendrik Markus de Kock,
Komandan Militer dan Wakil Gubernur JendraI Hindia Belanda
pada waktu itu. D.H. Bereer, "Aan Merkingan Gehouden op een
Reize door Eenige Districten Padangsehe Bovenlanden",
Verhandelingen van het Koloniaal Instituut voor Taal, Land en
Volkenkunde, No. 16 Tahun 1939, hIm. 181-182.
A. Pruys van der Houven, Een Woord over Sumatra in Brieven
Verzameld en Uitgegeven, (Rotterdam: H. Nijgh, 1864), hal. 18
Pad a periode ke-2 Perang Paderi (1833-1837) Bukittinggi dijadikan

36 . Boekittinggi Tempo Ooelot::

49

50

51

52
53
54
55
56

57
58

59
60
61

62

63
64

65
66

67
68

69

sebagai pusat tentara Belanda. Christine Dobbin, op. cit., hlm.24S.


Sumatra Barat pada masa ini terdiri dari tiga residensi: Padangsche
Bovenlanden, Padangsche Benedenlanden, dan Tapanuli. E.B.
Kielstra, op. cit., hIm. 193194.
Sifat tamak Belanda ini disebut pula oleh orang Aceh dengan "Lagee
Olanda Lakee Tanoh". H.T. Damste, "Door Inlanders
Geoohrdeeld", IG No. 30 Tahun 1908, him. 922.
Pada masa ini Kaum Paderi sedang kuatkuatnya dan setiap waktu
dapat mengancam daerah Bukittinggi. Oleh karena itu, persekutuan
para penghulu Nagari Kurai dengan Belanda diharapkannya dapat
menangkis serangan Kaum Paderi. Periode Perang Paded (1821
1837) dapat dibagi atas dua periode, yaitu periode 1821-1833 dan
periode 1833-1837. M.D. Mansoer, et al., Sedjarah Minangkabau
(Djakarta: Bhratara, 1970), him. 133-ISO; lihatjuga Rusli Amran,
Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang (Jakarta: Sinar Harapan,
1981), him. 399-446.
Mohamad Hadjerat (1947), op. cit., him. 41.
Ibid.
Ibid. hal. 42-43.
"Besluit Gouverneur Generaal" No. 37, TanggalS Mei 1861.
"Besluit Gouverneur Generaal" No. I, Tanggal I Desember 1888.
"Staatblad van Nederlandsch-Indie" tahun 1918 No. 310.
"Besluit Gouverneur Generaal" No. 2S, Tanggal20 Mei 1930.
Ibid.
Mohamad Hadjerat (1947), op. cit., hIm. 29.
Harry J. Benda, et al., Japanase Militery Administration in Indonesia:
Selected Documents (Yale University Southeast Asian Studies, 1965).
hal. 66.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1947, No. 221.
Mohamad Hadjerat (1947), op. cit., him. 3S-3 7.
"Naskah Kayu Kalek" Bukittinggi, 29 Mei 1947, dalam Mohamad
Hadjerat (19S0), lampiran.
Elizabeth E. Graves, op. cit., hIm. 44.
Jumlah orang tua dari murid "Sekolah Raja" yang pedagang adalah
32 %, kemudian disusul oleh pegawai rendah 31 %, dan fungsionaris
adat 17 %. Sisanya adalah penghulu, tukang, dan ulama. Diolah
dari ibid, hIm. 90.
Batas wilayah Bukittinggi ditentukan pertama kali pada tahun 1888.

Lihat tabel 1.

Tanah pusaka itu hanya dapat digadaikan dalam keadaan yang sangat

Bab II 37

".,

70
11

terpaksa. Ami! Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam


dalam Lingkungan Adat Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung,
1984), hIm. 212-23l.
Koloniaal Verslag tab un 1907.
Volkstelling Tahun 1930.

38 . Boekittinggi Tempo Doeloe

Bab III
Pasar Bukittinggi
dan Jaringan Perdagangan
di Daerah Dataran Tinggi

Pemerintahan Hindia Belanda di Daerah Dataran


Tinggi

ebelum Belanda berkuasa di Sumatra Barat, masyarakat


Minangkabau tidak mengenal adanya struktur politik
pemerintahan yang lebih tinggi daripada nagari.
Meskipun kerajaan Minangkabau diakui keabsahannya, tetapi
kekuasaan Raja Minangkabau dianggap tidak lebih sebagai
simbol Alam Minangkabau dan penjaga ekuilibrium hubungan
antamagari. 1 Nagari merupakan organisasi sosial-politik yang
tertinggi dan bersifat otonom. Struktur pemerintahan nagari
terdiri atas para penghulu suku yang mewakili sukunya
masing-masing. Oleh karena itu, nagari dapat disebut sebagai
sebuah "republik" kecil dengan pemerintahan bersifat
kolektif dan demokratis. 2
Ketika Kaum Paderi berkuasa di wilayah inti Alam
Minangkabau pada dua dekade awal abad ke-19, sistem
pemerintahan nagari yang demikian tetap bertahan. Kaum
Paderi tidak membentuk sistem pemerintahan supra-nagari,
meskipun pengaruh wibawa para ulama Kaum Paderi

me1ebihi wi1ayah nagari. Perubahan po1itik yang dilakukan


Kaum Paderi 1ebih ditujukan kepada struktur pemerintahan
nagari dengan memasukkan unsur u1ama (golongan agama)
sebagai salah satu golongan fungsiona1, di samping penghulu
(golongan adat), da1am struktur politik-pemerintahan nagari. l
Struktur politik-pemerintahan nagari di Minangkabau
itu menyulitkan Belanda untuk menerapkan sistem politik
pemerintahan ko1onia1nya. Pemerintahan Belanda tidak
melihat adanya 1embaga pemerintahan loka1 yang dapat
dijadikan penyangga pemerintahannya dan penghubung
dengan rakyat Sumatra Barat. Kondisi ini berbeda dengan
Jawa, yang mempunyai hierarki dan sistem pemerintahan
kerajaan yang terpusat. 01eh karena itu, Be1anda menciptakan
struktur pemerintahan supra-nagari, yang tidak dikenal
masyarakat Minangkabau selama ini.
Perkembangan pemerintahan supra-nagari selama mas a
penjajahan Belanda seiring dengan kepentingan politik
ekonomi Belanda di Sumatra Barat. Secara periodik
perkembangan pemerintahan Be1anda di daerah itu dapat
dibagi atas tiga tahap, yaitu peri ode 1821-1837, 1837-1914,
dan 1914-1942. 4
Pada periode pertama (1821-1837). Sumatra Barat
dijadikan sebuah residen dengan sistem pemerintahan
desentralisasi. 5 Penataan birokrasi pemerintahan pada masa
ini di1akukan Be1anda seiring dengan perkembangan posisinya
da1am Perang Paderi. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda
pada periode pertama ini sering berubah untuk mencari
struktur pemerintahan yang dianggap cocok untuk Sumatra
Barat. Sungguhpun demikian, bagi daerah-daerah yang telah
dikuasainya 1angsung dijadikan sebagai bagian dari struktur
pemerintahannya.
Pada tahun 1823, Residensi Sumatra Barat dibagi atas
dua hoofdafdeeling yaitu Padang (untuk daerah pesisir) dan
Minangkabau (untuk daerah dataran tinggi) yang masing
masingnya dikepalai oleh seorang hoofdregent. Kedua jabatan
hoofregent ini diberikan kepada keluarga Kerajaan
40 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Minangkabau, yaitu Sultan Alam Bagagarsyah sebagai


Hoofdregent Minangkabau, dan Sultan Raja Mansursyah
sebagai Hoofdregent Padang.6 Belanda berharap dengan
pengangkatan kedua anggota Kerajaan Minangkabau ini dapat
rnembantu melernpangkan jalannya dalam rnelakukan
ekspansi di daerah pedalarnan Sumatra Barat.
Pernbagian wilayah hoofdafdeling baru dilakukan pad a
tahun 1823. Adapun wilayahwilayah di bawah hoofdafdeeling
secara berturutturut ialah regenschappen, kelarasan,7 dan yang
paling rendah adalah nagari. 8 Pernbentukan wilayah keregenan
dan kelarasan dilakukan secara bertahap, seiring dengan
keluasan wilayah yang dapat dikuasai Belanda. Oleh karena
jurnlah keregenan dan kelarasan pada pedode pertarna
ini cenderung rneningkat.
Sebagai pejabat regen (bupati) diangkat dari golongan
agarna dan adat, yang rnernihak Belanda dalarn Perang Paderi.
Adapun jabatan kapalo lareh (kepala laras) baru diciptakan
pada tahun 1825. Sebagai pejabat kepala laras diangkat
panghulu suku yang dapat diajak bekerja sarna dengan
Belanda. Keterlarnbatan pengangkatan ini disebabkan oleh
belurn adanya ketentuan pangangkatan kepala laras.
Pernbentukan kelarasan pada periode pertarna pernerintahan
Hindia Be1anda ini terbatas di daerah dataran tinggi.

Bab III 41

Tabel3

Jumlah Regentschappen dan Nama-nama Regent

di Daerah Dataran Tinggi Sumatra Barat

--No.

Regentschappen

Nama Regen

Tahun

1.

Minangkabau
(fanah Data)

Sultan Alam
Bagagarsyah

18231824

2.

Agam

Tuanku Samit

18241833

3.

Limo Puluah
Koto

Tuanku Cedok

1824 ?

4.

Batipuh

K.R. Dt. Pamuncak

18321841

5.

Rao

Tuanku Mudo

18331841

6.

Halaban

Intan Bakali
(fk. Halaban)

18331841

Sejak tahun 1824 regenschappen Minangkabau diganti namanya

dengan Tanah Data.

Tahun 1833 Sultan Alam Bagagarsyah berbalik melawan Belanda,

sehingga ia ditangkap dan dibuang ke Batavia.

Sumber: Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani


yang sedang Berubah, Terjemahan Lilian D. Tedjasudhana (Jakarta:
INIS, 1992), him. 185188; Elizabeth E. Graves, The Minangkabau
Response to Duth Colonial Rule in The Nineteenth Century (Ithaca,
New York: University Press, 1981), hIm. 148-153.

lumlah dan luas suatu kelarasan dapat berubah-ubah,


seiring dengan kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Pada
awal pembentukan laras tahun 1823, jumlah kelarasan di
Luhak Tanah Data adalah 27laras dan Luhak Agam sebanyak
9 laras, sedangkan di Luhak Limo Puluah Koto belum ada
karena daerah ini baru dikuasai Belanda pada awal tahun 1830
42 - Boekittinggi Tempo Doeloe

an. Tabel di atas menunjukkan bahwa di antara ketiga luhak,


maka Luhak Limo Puluah Koto merupakan yang terakhir
dikuasai Belanda, setelah Luhak Tanah Data dan Luhak
Agam.

Tabel4

Jumlah Kelarasan

di Daerah Dataran Tinggi Sumatra Barat

Tahun 1823-1832

1823

1825

1832

Tanah Data

27

29

29

2.

Agam

21

3.

Limo Puluah Koto

14

30

36

64

No.

Reqentschappen

1.

lumlah
~~~~~~~~~~

Sumber: "Instructie voor den Adsistend Residen van de Afdeeling der


Padangsche Bovenlanden", Arsip Nasional, SWK No. 143, lihat
juga Christine Dobbin, loe. cit.dan Herwandi, "Munculnya Para
Tuanku Laras di Minang- kabau pada Akhir Abad ke-19. Skripsi
Sarfana (Padang: lurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Andalas, 1987).

Pada periode kedua (1837-1914), bentuk pemerintahan


Sumatra Barat diubah dari residentie (residensi) menjadi
gouvernement (gubernemen).9 Se1ain itu, sistem pemerintahan
nya pun ditukar dari desentra1isasi menjadi sentra1isasi. Pada
awal periode ini kekuasaan Belanda di Sumatra Barat sudah
mulai mapan.
Jabatan regen sebagaijabatan tertinggi yang dijabat oleh
dihapuskan satu persatu. Penghapusan jabatan
sekaligus wilayah keregenan ini dilakukan dengan dua cara.
Bab III - 43

.....

Pertama, dengan tidak mengangkat pengganti bupati yang


meninggal, seperti pada Keregenan Agam dan Halaban. Kedua,

dengan mencopot jabatan regen karena melakukan


pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal ini
dialami oleh Regen Tanah Data, Sultan Alam Bagagarsyah
yang terlibat dalam perencanaan pemberontakan tahun
1833. 10 Pencopotanjabatan~regen inijuga dialami oleh Regen
Batipuh, Kali Rajo Dt. Pamuncak yang memimpin
Pemberontakan Batipuh tahun 1841. II
Wilayah keregenan yang dihapus segera diganti dengan
beberapa wilayah kelarasan. Kepala laras menjadi jabatan
tertinggi yang dipegang oleh pribumi. Secara hierarkis, di
bawah kepala laras terdapat panghulu kapalo (penghulu kepala)
yang memerintah suatu nagari. Jabatan penghulu kepaIa
dimaksudkan untuk mengepalai parapanghulu suku (penghulu
suku) yang terdapat dalam suatu nagari. Dengan demikian,
pemerintah nagari yang semula otonom ditarik ke daIam or
bit pemerintahan Hindia Belanda. Sistem pemerintahan nagari
yang selama ini otonom dan demokratis, sekarang diganti
dengan sistem pemerintahan yang paternalistis. Pejabat
pejabat pribumi ditumbuhkan menjadi aristokrasi baru dalam
masyarakat Minangkabau. 12
Pengangkatan kepala laras sampai pertengahan pertama
abad ke-19 banyak mengalami kegagalan. Para penghulu
merasa enggan diangkat sebagai kepala laras. Mereka
mendapat cemoohan dari masyarakat karena secara terang
terangan menunjukan diri sebagai "orang-orang" Belanda. 13
Para penghulu kehilangan prestise di mata masyarakat.
Sementara itu, pengaruh gerakan Paderi masih kuat terasa
dalam kehidupan masyarakat.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, pada
paruh kedua abad ke-19, jabatan kepala laras menjadi rebutan
para penghulu. Selain adanya jaminan kesejahteraan dengan
gaji yang cukup besar, prestise kepala laras juga mulai naik.
Belanda sengaja menciptakan suasana kompetitif dengan
melibatkan masyarakat dalam pemilihan kepala Iaras.
44 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Masyarakat diminta memilih para penghulu sebagai cal on


kepala laras untuk diajukan kepada pemerintah Hindia
Belanda. 14 Hal ini menimbulkan persaingan dan perselisihan
dalam masyarakat, terutama antarcalon kepala laras.

Tabel5

Jumlah Kelarasan di Daerah Dataran Tinggi

Sumatra Barat

Tahun 1837, 1870, 1887, dan 1914

No.

Regenschappen

1837

1870

1887

1908

,----

1.

Tanah Data

27

27

27

21

2.

Agam

19

23

19

15

3.

Limo Pu1uah Koto

14

16

15

13

4.

X dan XII Koto

14

12

11

5.

Batipuh dan X Koto

Jum1ah

60

87

80

67

Sumber: Rusli Amran. Sumatra Barat PIakat Panjang (Jakarta: Sinar


1985). hIm. 122-149. Rusli Amran. Sumatra Barat
Pemberontakan Pajak 1908: Perang Kamang, Bagian I (Jakarta; Gita
Karya. 1988). hIm. 243-249. Regeering Almanak van Nederlandsch
Indie Tahun 1888.

Persaingan semakin meningkat karen a timbul perbedaan


persepsi mengenai jabatan kepala laras, antara masyarakat
Minangkabau dengan pemerintah Hindia Belanda,'5 Para
penghulu menganggap bahwa pengangkatan kepala Iaras erat
sangkut pautnya dengan adat-istiadat, sehingga dapat
diwariskan menurut sistem matrilineal. Kalau seorang kepala
laras berhenti atau meninggal, maka kemenakannya dapat
menggantikan kedudukannya. Akan tetapi, pemerintah
Bab l'II

45

Hindia Belanda menetapkan bahwa kepala laras adalah


pegawai pemerintah yang diangkat dan diberhentikan dengan
Surat Keputusan. Oleh karenanya pengangkatan kepala laras
tidak ada sangkut paut dengan adatistiadat.

Tabel6

Nama-nama Kepala Laras (terakhir)

di Onderafdeeling Oud Agam

No.

Laras

Kepala Laras

1.

Kurai-Banuhampu

Marzuki Dt. Bandaro Panjang

2.

IV Angkek

Samad Dt. Sati

3.

St. Pamenan Dt. Rajo Labiah

. Kapau

4.

Salo

Ismael Dt. Tan panghulu

5.

Sungai Puar

Sulaiman Dt. Tumanggung

6.

Canduang

Tilatang

Jaar Dt. Batuah

8.

Kamang

Garang Dt. Parpatih

9.

Baso

Khatib st. Ameh

10.

rv Koto

~J Magek

I Yahya Dt.

Kayo

Ismael Dt. Tan Panghulu

-.

Sumber: RusJi Amran, Padang Riwayarmu Dulu (Jakarta: Mutiara


Sumber Widya), hIm. 207-211.

labatan kepala laras rnerupakan suatu POStS!


penghubung antara pemerintahan Hindia Belanda dengan
masyarakat pribumi. Pada satu sisi, kepala laras harus
melaksanakan kebijakan pemerintah Hindia Belanda di
daerahnya. Pada sisi lain, kepala laras harus pula
46 - Backittinggi Tempo Doeloc

memperhatikan rakyatnya. Akan tetapi, pada umumnya


kepala laras lebih cenderung hidup bergaya kebelanda
belandaan, sehingga mereka terpisah dari masyarakatnya.
Sementara itu, pemerintah Hindia Belanda tidak dapat
menerima mereka sepenuhnya. Oleh karena keterasingan
mereka itu, baik dari masyarakatnya maupun dari pejabat
Belanda sendiri, Taufik Abdullah menyebutnya schakel soci
ety.16
Pada periode ketiga (1914-19420) bentuk pemerintahan
Sumatra Barat dijadikan kembah sebagai residensi. Residensi
Sumatra Barat dibagi kepada 6 (enam) afdeeling dan setiap
afdeeling terbagi atas beberapa onderafdeeling. Setiap afdeeling
dikepalai oleh seorang asisten residen, sedangkan
onderafdeeling dikepalai oleh seorang controleur. Pejabat
residensi hingga onderafdeeling dipegang oleh orang Belanda. 17
Adapun jabatan tertinggi yang diduduki oleh pribumi
adalah demang, yang mengepalai sebuah distrik. Wilayah
distrik merupakan bagian dari oderafdeeling, sehingga yang
menjadi atasan langsung pejabat demang adalah pejabat
controleur. Setiap distrik terbagi atas beberapa onderdistrik, yang
dikepalai oleh seorang asisten demang. Wilayah terendah
adalah nagari yang dikepalai oleh seorang kapalo nagari (kepala
nagari).
Berbeda dengan kepala laras yang dipilih dengan lebih
berorientasi kepada para elit tradisional yaitu golongan adat
(panghulu), maka demang dipilih berdasarkan tingkat
pendidikan. Oleh karena itu, jabatan demang terbuka bagi
setiap orang Minangkabau yang mempunyai kapasitas dan
kapabilitas untuk itu, sehingga periode ketiga ini menandakan
lahirnya golongan baru. Yaitu, golongan cerdik-pandai yang
berakar dari pendidikan Belanda.
Pelaksanaan otonomi pada tingkat kenagarian dilakukan
dengan mengeluarkan peraturan, seperti yang dimuat dalam
Staatblad van Nederlandsch-Indie No. 774 tahun 1914. Dalam
peraturan ito nagari disebut sebagai pemerintahan yang
otonom. Dengan demikian, sistem pemerintahan nagari
Bab III - 47

dikembalikan kepada sistem pemerintahan semula, seperti


sebelum diintervensi Belanda.
Untuk merealisasikan peraturan itu segera dibentuk
Kerapatan Nagari. Anggota Kerapatan Nagari terdiri dari
penghulu dan sebagai ketuanya dijabat oleh kepala nagari.
Penghulu yang dapat menjadi anggota Kerapatan Nagari
adalah penghulu yang telah mendapat Surat Keputusan, yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Oreh karena itu, pemerintah
menetapkan bahwa penghulu yang diberi Surat Keputusan
adalah para penghulu inti.

Tabe17

Nama-nama Demang Pertama

di Onderafdeeling Agam Tua Tahun 1914

No.

Distrik

Nama

l.

Bukittinggi

Yahya Dt. Kayo

2.

IV Angkat

Samad Dt. Sati

3.

Tilatang

Jaar Dt. Batuah

4.

5.

..~

Maninjau

Dullah Dt. Panduko Alam

Matur

Intan Dt. Mangkuto Sati

Sumber: Rusli Amran, Sumatra Barat Pemberontakan Pajak J908: Perang


Kamang Bagian I (Jakarta: Gita Karya, 1988), hIm. 265-266.

Ada dua kriteria yang diteta pkan oleh pemerintah untuk


menentukan status penghulu inti. Pertama, penghulu sebagai
yang mempunyai garis keturunan dengan panaruko (penduduk
pertama) nagari. Kedua, penghulu yang telah diteliti dan
disahkan berdasarkan Surat Keputusan. 18 Point kedua
membuka peluang bagi pemerintah untuk mengangkat
seorang penghulu yang disukai. Oleh penduduk, penghulu
yang mendapat Surat Keputusan itu disebut dengan panghulu
basurek (penghulu bersurat).
48 - Bockittinggi Tempo Doeloe

Pengangkatan penghulu bersurat menjadi anggota


Kerapatan Adat Nagari, membedakan keotonomian
pemerintah nagari dengan sebelumnya. Pada pemerintah
nagari sebelum kedatangan Belanda, anggota Kerapatan
Nagari terdiri dari seluruh penghulu dan ditambah dengan
urang nan patuik dan urang nan ampek jinih. Akan tetapi,
akhirnya bukan hanya mereka yang disingkirkan dari
keanggotaan Kerapatan N agari, tetapi juga para penghulu yang
tidak disukai pemerintah. 19 Selain itu, dengan ditetapkan
bahwa kepala nagari juga menjabat sebagai ketua Kerapatan
N agari, maka peranan panghulu andiko atau panghulu pucuk
juga dikesampingkan. 20
Pembentukan pemerintahan nagari yang demikian
diharapkan terwujud pula ketertiban dan keamanan. Kepala
nagari merupakan fungsionaris lembaga yang menyaring
keputusan kerapatan. Sedangkan Kerapatan Nagari adalah
wadah untuk melaksanakan ide-ide kolonial. Kerapatan
N agari adalah yang mengatur dan memutuskan persoalan
nagari, sedangkan kepala nagari yang merangkap jabatan
sebagai kepala kerapatan nagari dan berfungsi sebagai
pelaksana dari keputusan kerapatan.
Pemisahan penghulu bersurat dan "penghulu biasa" telah
menimbulkan kecemburuan sosial di antara penghulu.
Adapun penyebabnya ialah penghulu bersurat dibebaskan dari
pajak rodi, sedangkan "penghulu biasa" sebaliknya. Selain
itu, penghulu inti ini pun mendapat tunjangan dan komisi
sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai anggota Kerapatan
Nagari. 21 Komisi diberikan setara dengan jumlah pajak yang
dipungut, sedangkan tunjangan diberikan sebagai uang hadir
dalam rapat nagari.
Perkembangan pemerintahan Hindia Belanda juga
diikuti dengan ditetapkannya Bukittinggi sebagai sebuah
gemeente. Pemerintahan Hindia Belanda juga menetapkan
dewan legislatifnya, yaitu Gemeenteraad atau Dewan
Kotapraja. 22 Gemeenteraad Bukittinggi ditetapkan sebanyak 9
orang. Kesembilan anggota itu tcrdiri dari: 5 orang Eropa; 3
Bab III - 49

orang Bumiputera; dan 1 orang Timur Asing. 23 Ketua


Gemeenteraad Bukittinggi dijabat oleh seorang Asisten Residen
Agam.
Sejak itu Gemeente Bukittinggi telah dapat mengatur
rumah tangganya sendiri,24 meskipun secara terbatas. Setahun
kemudian, Gemeenteraad Bukittinggi memberlakukan
Peraturan Hak Sewa dan Pengaturan Rumah. Kebijakan ini
telah memberi peluang bagi para pedatang untuk membeli
dan memiliki tanah maupun rumah di Bukittinggi. 25

Perkembangan Pasar Bukittinggi


Pasar disebut oleh orang Minangkabau dengan pakan.
Pada umumnya setiap nagari mempunyai pakan sendiri,
karena pakan merupakan salah satu syarat bagi berdirinya
suatu nagari. Biasanya pakan didirikan di lapangan dekat
balairung nagari itU. 26 Oleh karena itu, pengelolaan suatu
pakan sepenuhnya berada di bawah pengawasan pemerintahan
nagari setempat yang bersifat otonom. Adapun pe1aksanaan.
hari pakan suatu nagari dilakukan secara bergiliran di antara
nagari-nagari yang berdekatan. 27
Nama suatu pakan dapat mengacu kepada nama hari
atau nagari, dan waktu atau temp at penyelenggaraan pakan
itu. MisaInya, Pakan Kamih (Pasar Kamis), Pakan Sinayan
(Pasar Senen), dan juga Pakan Kurai (Pasar Kurai), Pakan
Baso (Pasar Baso). Bahkan, karen a hari pelaksanaan pakan
nya lebih dikenal, maka nama suatu nagari lebih melekat
dengan nama hari pasar itu. Misalnya, Nagari Pakan Kamih
dan Pakan Sinayan.
Pada masa-masa selanjutnya, suatu pakan dapat
berkembang baik at au lenyap sarna sekali. 28 Pakan yang
berkembang dapat pula tumbuh menjadi pusat pasar bagi
kawasan sekitar nagari itu. 29 Perkembangan suatu pakan nagari
menjadi pusat pasar, biasanya didukung oleh letak
geografisnya yang strategis, yaitu dapat dijangkau dengan
mudah dari seluruh nagari yang berdekatan.
50 -

Boe~i11inggi

Tempo Doeloe

Berdasarkan perkembangannya itu, pakan terbagi atas


dua jeni!>, yaitu Pakan Ketek/Kaciak dan Pakan Gadang.
Pakan Ketek adalah pasar yang ruang lingkup operasionalnya
melibatkan penduduk nagari setempat atau palingjauh nagari
tetangga yang terdekat. Pakan Gadangmerupakan pusat pasar
bagi pasar-pasar kecil yang terdapat di sekeIilingnya. Selain
melibatkan jumlah pedagang yang lebih ban yak dan lingkup
geografis yang lebih luas, di Pakan Gadang juga terjadi
interaksi sosial yang lebih kompleks. Salah satu di antara
Pakan Gadang atau pusat pasar yang terkenal pada awaI abad
ke-19 adalah Pasar Bukittinggi. 30
Cikal bakaI Pasar Bukittinggi merupakan sebuah pasar
nagari, yaitu Pakan Kurai. Pasar ini diadakan sekaIi seminggu,
yaitu setiap hari Sabtu. Kapan dimulainyaPakan Kurai ini
tidak dapat diketahui secara pasti, karena tidak ada
sumbernya. 31 Letak pasar ini strategis, karena terletak di
persimpanganjalan tradisional di daerah dataran tinggi. Maka,
awal abad ke-19 Pakan Kurai berkembang menjadi Pakan
Gadang di wilayah Luhak Agam. Selain itu, daerah di
sekeliling Bukittinggi juga merupakan daerah penghasil
tanaman ekspor, seperti kopi dan kayu manis. Pada tahun
1820 Bukik Kubangan Kabau, yang dijadikan lokasi Pakan
Kurai, diganti namanya menjadi Bukiktinggi (Bukittinggi).
Penggantian nama ini sekaligus mengganti nama Pakan Kurai
menjadi Pasar BukittinggiY
Bangunan pisik Pasar Bukittinggi pada masa itu masih
sangat sederhana, yakni berupa warung-warung yang
tonggaknya terbuat dari bambu atau kayu dan beratap daun
rumbia atau daun iIalang. 33 Warung-warung ini diberi dinding
separuh pada bagian bawahnya, sedangkan yang separuh lagi
dibiarkan terbuka, sehingga terIihat kerangkanya ketika pasar
telah usai. Warung ini ditinggalkan oleh pedagang selama
seminggu, sampai datang hari Sabtu, yaitu hari pasar
berikutnya. Bagi pedagang yang tidak mempunyai warung.
mereka biasanya menggelar dagangannya di atas tanah dengan
beralaskan katidiang (bakul) atau daun pi sang. 34
Bab III

51

Kondisi pisik Pasar Bukittinggi mulai mengalami


perubahan sejak Be1anda mendirikan Benteng "de Kock"
pada tahun 1826. 35 Benteng ini didirikan di atas Bukik Jirek,
bukit yang tertinggi (941 m) dan terletak sekitar 500 m di
sebelah barat laut Pasar BUkittinggi. Benteng "de Kock"
merupakan salah satu benteng Belanda yang utama di daerah
dataran tinggi. 36 Keberadaan Benteng "de Kock" berpengaruh
terhadap meningkatnya aktivitas perdagangan di Pasar
Bukittinggi. Berbagai jenis kebutuhan serdadu Belanda
disediakan di sini, mulai dari kebutuhan sehari-hari sampai
penunjang perlengkapan perang, seperti beras, daging, dan
kuda. Seiring dengan perkembangan fungsinya itu, Pasar
Bukittinggi akhirnya bekembang pula menjadi Pasar Gamizun
(Pasar Gamisun).37
Perkemqangan Pasar Bukittinggi ini juga membawa
pengaruh terhadap kehidupan penduduk nagari-nagari
sekitamya. Nagari-nagari itu bukan saja berfungsi sebagai
pemasok bahan makanan (pangan) dan bahan bangunan
(papan), tetapijuga para penjualjasa lainnya, seperti pengrajin,
tukang kayu, tukang batu, dan tukang angkat. Pada tahun
1837 Pasar Bukittinggi telah dikunjungi sekitar dua ratus
sampai tiga ratus orang pada hari biasa dan ribuan pada hari
pasamya, yaitu setiap hari Sabtu. Para pedagang India dan
Cina juga telah mulai mapan di Bukittinggi. Pada waktu
berakhirnya Perang Paderi, Bukittinggi telah menyerupai
sebuah kota: " ... telah menjadi kota kedl" .38
Seiring dengan perkembangan pemerintahan Hindia
Belanda setempat,39 Bukittinggi dijadikan sebagai pusat
administrasi pemerintahan40 dan pengumpulan kopi wilayah
Afdeeling Agam, Onderafdeeling Agam Tua. Pacta tahun 1837
gudang-gudang kopi mulai dibangun di Pasar BUkittinggi.
Sepuluh tahun kemudian gudang-gudang kopi semakin
ditingkatkan jumlahnya, seiring dengan diberlakukannya
Sistem Tanam Paksa Kopi di Sumatra Barat pada tahun
1847.41

52 - Bockittinggi Tempo Doeloe

TabeI8

Gudang-gudang Kopi Utama

di Daerah Residensi Padang Darat Tahun 1847

Personil

Gudang Kopi

Bumiputera
No.

Besar

I.

2.

Kedl

Padangpanjang

1
~

l5.
Jml

--

r~

K.G.

Pemb.

Clerks

---~

4.
I---

Eropa

Batusangkar

-~-

3.

Tempat

Bukittinggi

Payakumbuh

3
-

.--~

-,-~

Solok

20
-

Keterangan:
K.G
: Kepala Gudang atau Pakhuis Meester~
Pemb. : Pembantu.
Sumber:Mestika Zed, "Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial
dalam Sistem Tanam Paksa Kopi di Minangkabau Sumatra Barat
(1847-1908)" ThesisMA. (Jakarta, 1983), him. 100; Rush Amran,
Sumatra Barat PIa kat Panjang(Jakarta: Sinar Harapan, 1985}, him.
99.
I

Selain gudang-gudang besar itu,42 pemerintah Hindia


Belanda juga mendirikan gUdang-gudang kedl yang tersebar
di seluruh wilayah Sumatra Barat. Jika dibandingkan, jumlah
gudang yang terdapat di wilayah Residensi Dataran Tinggi
lebih banyak daripada di wilayah Residensi Dataran Rendah.
Persebaran gudang-gudang kopi di daerah Residensi Dataran
Tinggijuga tidak merata. Pembangunan gudang-gudang kopi
ini sangat ditentukan oleh produksi kopi suatu daerah.
Bab III - 53

Tabel9
.' Jumlah Kopi yang terkumpul
di Gudang Kopi Bukittinggi
dan Gudang Kopi lainnya
di Afdeeling Agam Tahun 1867-1869
---

Hasil Pikul
No.
1.

Nama Tempat
Bukittinggi

_J

1.867

1.868

1.869

14.205

13.182

11.011

9.634

8.784

6.263

4.319

3.836

1. 919

-- ---

2.

Baso

3.

Maninjau

-----

4.

Matur

3.618

3.817

2.756
1

5.

Palembayan

6.

Pisang

3.830

3.355

2.459

805

520

281

36.209

33.494

24.689

---

Jumlah

Sumber: Mestika Zed, "Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Koionial


dalam Sitema Tanam Paksa Kopi di Minangkabau Sumatra Barat
(1847 -1908)", Thesis MA. (Jakarta: Fakultas Pascasarjana U niver
sitas Indonesia, 1983), hIm. 113.

Seiring dengan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Kopi,


kondisi jalan-jalan di daerah dataran tinggi juga ditingkatkan.
Pada mulanya,jalan-jalan itu merupakanjaringan perdagangan
tradisional yang hanya dapat dilewati oleh pejaJan kaki dan
kuda beban. Jalan-jalan ini telah diperbaiki Belanda selama
Perang Paderi untuk memperkuat jaringan pertahanan
militernya. 43 Bahu jalan dilebarkan dan kerusakan supaya
dapat dilalui oleh kereta roda yang inembawa peralatan militer
Belanda. Sekarangjalan itu diperbaiki dan difungsikan untuk
menghubungkan nagari-nagari produsen kopi dengan pusat
pusat pengumpulan kopi.
54 - Bockittinggi Tempo Doeloe

Tabell0

Perkembangan Harga Kopi/pikul di Bukittinggi

Tahun 1867-1869

I~~ I
2.

Tahun
1833
184011841

Harga
f 6," - 8+

f 9, - - 12.5+

3.

1844

f 3,5,-" 4+

4.

1848

f 7+

5.

1854

f 8,40+

6.

1858

f 9,20+

7.

1862

f 11,50+

8.

1866

f 12.50+

1875

f 14.00+

10.

1891

f 17.50+

Sumber: Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani


yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847, Terjemahan Lilian
D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1992), hIm. 130, 272, dan 278;
RusH Amran, Sumatra Bamt Plakat Panjang (Jakarta: Sinar Harapan,
1985), hIm. 114-115.

Akan tetapi, untuk jaringan transportasi dari daerah


dataran tinggi ke daerah pesisir harus dibangun rute jalan yang
baru. Jalur-jalur dagang tradisional yang menghubungkan
kedua daerah ini penuh tanjakan yang curam dan rawan.
Selain itu kondisijalannyajuga sangat sederhana, hanya dapat
dilalui oleh pejalan kaki dan kuda beban.44 Pada tahun 1833
Belanda membangun jalur Lembah Anai untuk menunjang
ekspansi politiknya ke daerah dataran tinggi. Selain relatif
lebih pendek daripada jalur lainnya, jalur Lembah Anai juga
langsung ke pusat daerah dataran tinggi. 45
Bab III - 55

Panjang jalan ini sekitar 17 krn dan rnenaiki bukit


setinggi 2000 kaki, yang sebagian besar terdiri dari batu
karang. 46 Oleh karena itu, jalan ini rnernpunyai banyak
tanjakandan tikungan. Sungguhpun dernikian,jalan ini ramai
dilewati oleh para pedagang. Pada tahun 1836 sekitar 2000
orang rnenggunakan jalan ini setiap hariY Padangpanjang
yang terletak di ujung sebelah dataran tinggi serta rnerta
turnbuh pula rnenjadi titik perbatasan antara daerah dataran
tinggi dan pesisir. Setelah diterapkan Sistern Tanarn Paksa
Kopi kondisi jalan ini ditingkatkan, sehingga dapat dilalui
kereta roda yang ditarik oleh kuda (bendi) atau kerbau
(pedati). Jalan Anai ini rnenjadi jalur transportasi utarna yang
rnenghubungkan daerah dataran tinggi dan daerah pesisir. 48
Peningkatan pernbangunan jalan pada awal pelaksanaan
Tanarn Paksa Kopi, serta rnerta rneningkatkan rnobilitas
penduduk. Tidak hanya antara nagari-nagari danpakan-pakan
kecil serta pusat-pusat pengurnpulan kopi, tetapi juga antara
daerah dataran tinggi dan daerah pesisir. Perkernbangan
juga rnernpengaruhi peranan Bukittinggi hingga rnenjadi
sernakin luas, baik sebagai pusat pernerintahan, maupun
sebagai pusat perekonornian di daerah dataran tinggi.
Bukittinggi sernakin rarnai dikunjungi, baik oleh pejabat
pernerintahan rnaupun pedagang, petani, dan para penjualjasa
lainnya. Perkernbangan Bukittinggi yang dernikian rnernbawa
darnpak bagi keberadaan Pasar Bukittinggi. Kondisi Pasar
Bukittinggi yang sederhana itu rnenjadi kurang rnernadai untuk
rnenarnpung transaksi jual beli.
Pada tahun 1858 pernerintahan Hindia Belanda
rnengernbangkan lokasi Pasar Bukittinggi. Kebijakan Belanda
ini disetujui oleh Kepala Laras Kurai, para Penghulu Kepala,
para Penghulu Suku, dan para Penghulu Nagari Kurai lainnya. 49
Karena, sebelurnnya pihak pernerintah Hindia Belanda te1ah
diberi hak pakai atas tanah-tanah di sekitar Benteng "de
Kock" dan Pasar Bukittinggi. Daerah ini terdiri dari 7 (tujuh)
bukit, yang kernudian berkernbang rnenjadi pusat Kota
Bukittinggi. 50
56 - Boekittinggi

Doeloe

0:;
!
IJ"

6.

Jumlah

Kamang

Baso

5.

30.838

1.936

1.431
16.382

I 12.038

2.781

2.470

1.431

: 2.031

1.620

3.795

4.777

4.747

1874177

16.382

17.655

1.247

2.310

2.116
998

2.859

3.497

3.128
2.328

3.825

3,917

1881/83

4.090

3.722

1878/80

11.423

J.l75

1.387

1.567

2.577

2.024

2.693

1884

10.863

809

1.370

1.398

1.971

2.432

2.883

1887

9.976

750

1.658

1.268

1.772

2.319

2.409

1888

119.508

9.318

16.205

16.865

22.397

27.005

27.718

Jumlah/pikul

Sumber: RusH Amran, Sumarera Barat PIa kat Panjang (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), him. 351-352

3.355

Bahuhampu

4.
2.522

3.728

Tilatang

3.
!

4.944

4.944

Candung

2.
1.929

3.024

4,323

1872174

1863171

IV Koto

Nama Laras

I.

No,

Tabell1

Urutan Peringkat Laras Penghasil Kopi

di Onderafdeeling Agam Tua

Tahun 186911871-1888

Upaya pertama yang dilakukan Belanda untuk


mengembangkan Pasar Bukittinggi adalah mendatarkan
puncak bukit Bukik nan Tatinggi. Berikutnya dibangunjalan
jalan dan selokan-selokan di sekeliling Pasar Bukittinggi.
Lokasi Pasar Bukittinggi menjadi lebih luas dan baik.
Bangunan gudang-gudang kopi ditambah untuk menampung
produksi yang semakin meningkat. Untuk mengerjakan
semua itu dikerahkan tenaga kerja paksa (rodi) yang berasal
dari nagari-nagari dalam wilayah Onderafdeeling Agam Tua,
seperti Nagari Banuhampu, Padanglua, Sariak, Guguak,
Kototuo, dan IV Angkek. Selain itu, dipekerjakan juga para
tahanan yang mendekam dalam Tangsi Bukittinggi. 51
Pembangunan Pasar Bukittinggi terus dilanjutkan
meskipun produksi kopi sudah mulai menurun sejak awal
tahun 1880-an.52 Akan tetapi, pihak Penghulu Nagari Kurai
mulai tidak diikutsertakan lagi dalam menentukan
pengembangan Pasar Bukittinggi. Hal ini dilakukan pihak
pemerintah Hindia Belanda setelah mengklaim wilayah
kekuasaannya atas Bukittinggi pada tahun 1888. 53 Pemerintah
Hindia Belanda menetapkan batas-batas Bukittinggi secafa
sepihak. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda merasa
berhak sepenuhnya untuk mengembangkan Pasar Bukittinggi.
Pada tahun 1890 dibangun sebuah loods (los) di Pasar
Bukittinggi. Lokasi bangunan los ini terletak di tengah Pasar
itu. Keberadaan los itu sebagai bangunan utama serta merta
menjadi pusat Pasar Bukittinggi. Los itu dinamakan
masyarakat dengan Loih Galuang (Los Galuang). Besi
penyangga atapnya dibuat melengkung sehingga atapnya pun
berbentuk melengkung, setengah lingkaran. 5ol
Pembangunan Los Galuang ini menghabiskan biaya
yang banyak, sehingga tidak dapat dipenuhi oleh Pasar Fonds.
01eh karena itu, dipinjam uang kepada Singgalang Fonds ss
sebanyak f 400+. Dana pinjaman ini khusus untuk membeIi
bahan bangunan, seperti besi, semen, dan seng yang dipcsan
dari Belanda. Adapun bahan-bahan bangunan lainnya, seperti
kayu, pasir, dan batu dibcbankan kepada nagari-nagari yang
58 - Boekittinggi Tempo Docloe

termasuk dalam wilayah Onderafdeeling AgamTua. Sebagai


pekerjanya, dikerahkan pula rakyat dari nagari-nagari
Mereka dipekerjakan sebagai tenaga kerja paksa (rod i)
bersama-sama dengan para tahanan di Tangsi Bukittinggi. 56
Akan tetapi, kapasitas los ini belum mencukupi,
sementara jumlah pedagang dan pengunjung Pasar Bukittinggi
semakin meningkat. Bahkan, pada tahun 1879 saja
pengunjung Pasar Bukittinggi telah berjumlah sekitar 15.000
orang pada hari biasa (sic !),51 Oleh karena itu, tahun 1896
dibangun sebuah los lagi.58 Los ini terletak di sebelah timur
los yang pertama. Proses pengerjaan los ini sarna dengan los
yang pertama. Kedua los ini diperuntukkan bagi semua jenis
dagangan, kecuali ikan, daging, dan sejenisnya.
Pada tahun 1900 dibangun sebuah los yang khusus
untuk menjual daging dan disebut Loih Dagiang (Los
Daging).59 Akan tetapi, di dalam los yang khusus ini juga
ditempatkan para penjual ikan basah, baik ikan air tawar
maupun ikan laut. Los Daging ini terletak di lereng Bukik
nan Tatinggi sebelah timur, yang te1ah didatarkan terlebih
dahulu. Penempatan lokasi Los Daging di sini supaya kotoran
dan air limbahnya dapat mengalir langsung ke banda (bandar /
selokan) yang mengalir di kaki bukitnya. Dengan demikian,
kebersihan Los Daging ini dapat terjaga.
Pembangunan Pasar Bukittinggi dilakukan secara besar
besaran pada masa pemerintahan Controleur Westenenk.
Lokasi pasar diperluas dengan mendatarkan tanah di sekitar
pasar, bahkan lereng bukit di sebelah timur pasar itu juga
didatarkan. Selain itu, warung-warung yang tidak teratur
letaknya dirobohkan. 60 Setelah itu dibangun los-los yang baru
di tanah-tanah yang telah didatarkan im. Sehingga, topografi
Pasar Bukittinggi menjadi bertingkat-tingkat di sebelah
timurnya.
Untuk biaya perbaikan dan pembangunan Pasar
Bukittinggi diperlukan banyak uang. Dana yang didapat dari
sewa los dan pajak pasar tidak mencukupi. Oleh karena
Controleur Westenenk meminjam uang kepada N.r. Escompto
Bab III

59

Maatschappij sebanyak f 12.000+ dan memborohkan Pasar


Bukittinggi sebagaijaminannya. 61 Dana pinjaman itu terutama
digunakan untuk membeli bahan-bahan bangunan. Adapun
sebagai pekerjanya didatangkan penduduk dari nagari-nagari
Agam Tua. Mereka dipekerjakan sebagai tenaga kerja paksa
(rodi) di Pasar Bukittinggi,
Jumlah los yang dibangun adalah sebanyak 6 buah dan
letaknya berpencar. Tiga los dibangun bersebelahan dengan
dua los sebelumnya, yang menjadi pasar utama Bukittinggi.
Satu los dibangun di punggung Bukik nan Tatinggi sebelah
timur, yang telah didatarkan terlebih dahulu. Tepatnya lokasi
bangunan los ini berada di sebelah timur laut dari Los Galuang.
Akan tetapi, letaknya lebih rendah dari pada Los Galuang
itu. Los ini dibangun khusus untuk menampung pedagang
ikan kering, sehingga masyarakat menyebutnya dengan Loth
Maco (Los Maca).
Terakhir, dua los lagi dibangun di sebelah timur laut
kaki Bukik Kubangan Kabau. Dua los ini yang letaknya lebih
rendah daripada lainnya dinamakan Pasar Bawah. Kedua los
dibangun berjajar dan sarna-sarna membujur dari utara ke
selatan. Kedua los ini diperuntukkan bagi pedagang kelapa,
beras, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Beberapa tahun kemudian Pasar Bawah dikembangkan
pula dengan membangun dua lokasi pasar lagi, yaitu Pasar
Aua Tajungkang dan Pasar Banta. Pasar Aua Tajungkang
terletak di sebelah selatan Pasar Bawah, yang dibatasi oleh
sebuah jalan menuju ke Jorong Gurun Panjang. Pasar Aua
Tajungkang digunakan untuk menampung para pedagang
bahan bangunan dan kebutuhan sehari-hari. 62 Adapun Pasar
Banta terletak di seberang jalan sebelah utara dari Pasar
Bawah. Pasar Banta dijadikan sebagai pasar hewan ternak,
seperti sapi, kerbau, dan kambing.
Sementara itu, sejak pemerintahan Hindia Belanda
mengklaim wilayah kekuasaannya atas Bukittinggi pada
tahun 1888, para pedagang diberikan hak sewa atas tanah
dan mereka diizinkan untuk mendirikan kios sendiri. 63
Sehingga, bcrmunculan kios-kios para pedagang di Pasar
60

Boekittinggi Tempo Dodot'

Bukittinggi.. Akan tetapi, mereka tidak dapat menentukan


sendiri Iokasi kios. Tanah yang ditetapkan sebagailokasi kios
kios para pedagang adalah di sisi barat dan timur Pasar Atas
Bukittinggi.
Proses pembangunan kios-kios oleh para pedagang
menarik dikemukakan di sini, karena mempengaruhi
spesialisasi para pedagang. Setelah pedagang memperoieh hak
sewa dari pemerintah, ia belum boleh langsung membangun
kiosnya. Ia terlebih dahulu diharuskan untuk minta izin
kepada pedagang di sebelahnya dan mengatakan jenis barang
dagangannya. Sete1ah ada kecocokan dengan pedagang lama,
bolehlah pedagang baru itu mendirikan kiosnya. Kebijakan
ini secara tidak langsung mengatur pengelompokan pedagang,
baik dari segi jenis dagangannya maupun nagari asalnya.
Sehingga, dikenal adanya Los Maninjau, Los Balingka, Los
IV Angkek, Los Kumango, Los Sungai Pua, dan los-los
lainnya.
Pada tahun 1923 kios-kios pedagang yang terdapat
sisi barat dan timur Pasar Atas dibangun menjadi rumah toko
(ruko). Bangunan ruko merupakan bangunan permanen. Di
sebelah barat terdapat ruko yang berjajar dua dan terdiri dari
6 (enam) blok, dan lokasi ini dinamakan Muko Pasa (muka
pasar). Tiga blok paling barat sebagian besar digunakan
menjual barang-barang perhiasan. Adapun tiga blok lainnya
digunakan untuk menjual barang-barang perala tan pertanian
dan pertukangan. Di sebelah timur juga berjejcr dua lokasi
yang terdiri dari 5 (lima) blok. Lokasi ini dinamakan Balakang
Pasa (belakang pasar). Ruko pada blok ini digunakan untuk
penjualan barang-barang kodian, minyak tanah, minyak
makan, dan kapuk.
Lokasi bangunan Pasar Atas dan Pasar Bawah
dipisahkan oleh kondisi topografi Pasar Bukittinggi. Pasar Atas
berada di atas bukit sedangkan Pasar Bawah berada di kaki
di sebelah timur Pasar Atas. Untuk mencapai Pasar
Bawah dari Pasar Atas dapat menempuh jalan dan tangga.
Jalan terdiri dari dua jalur, yaitu jalur utara dan jalur selatan.
Bab!ll

61

Jalur utara dimulai dari sisi timur bag ian utara Pasar
Atas menuju ke arah timur dan setelah sekitar 40 m berbelok
ke arah selatan. Kemudian, jalan ini menu run melewati sisi
timur Los Maco, lalu terus mel(:!wati sisi barat Los Daging.
Jalan ini lebih rendah daripada Los Maco, tetapi lebih tinggi
daripada Los Daging. Di ujung selatan Los Dagingjalur utara
ini bertemu dengan jalur selatan.
Jalur selatan mulai dari sisi timur sebelah se1atan Pasar
Atas menurun dan berbelok ke arah timur laut. Kemudian,
setelah bertemu dengan jalur utara di ujung selatan Los
Daging, jalan ini terus melewati sisi timur Los Daging. Jalan
ini berada lebih rendah daripada Los Daging. Kemudian, terus
ke arah timur laut menuruni lereng bukit, hingga sampai di
Pasar Bawah.
Pada had pasar, yaitu setiap hari Sabtu, pinggir kiri,
kanan, dan bahu jalan sekitar Los Daging dipergunakan oleh
penduduk untuk berjualan. Mereka menggelar dagangan
berupa jajanan, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lain-lain.
Lokasi ini dinamakan Pasa Teleng, karena terletak di
kemiringan, yaitu di pinggang bukit. Jadi, dapat dikatakan
bahwa Pasar Teleng merupakan penghubung antara Pasar Atas
dan Pasar Bawah.
Tangga yang menghubungkan Pasar Atas dan Pasar
Bawah terdiri atas dua kelompok tangga. Pertama, kelompok
tangga yang terdapat di sebelah utara Pasar Atas. Kelompok
tangga ini terkenal dengan nama Janjang Empek Puluh, karena
jumlah kelompok anak tangganya yang pertama terdiri dari
40 anak tangga. Setelah itu disambung oleh kelompok anak
tangga yang masing-masing-masingnya terdiri dari 3 (tiga)
anak tangga. Rangkaian anak tangga ini berbelok ke arah
timur dan turun di sisi barat pertigaan jalan raya. Di seberang
pertigaan itu terdapat Pasar Bawah.
Kedua, kelompok-kelompok tangga terletak di sisi timur
bagian selatan Pasar Atas. Kelompok tangga ini terdiri dari 5
kelompok anak tangga. Antara anak tangga kedua dan ketiga
dikelingi olehjalan darijalur utara. Demikianjuga anak tangga
keempat dan kelima diselingi oleh jalan dari jalur selatan.
62 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Kelompok anak tangga pertama persis turun di pojok


barat sebelah selatan Los Ikan Kering. Kelompok anak tangga
dari pojok timur sebelah selatan Los Ikan Kering, turun ke
pinggir barat jalan yang membentang dari utara ke selatan
Galur utara).
Kelompok anak tangga ketiga dimulai dari pinggir bar a t
jalan Galur utara) itu turun persis dari pojok utara Los Daging.
Kemudian, dilanjutkan dengan tangga keempat yang turun
ke pinggir barat jalan yang membentang dari arah selatan ke
timur laut (jalur selatan). Di pinggir timur jalan ini terdapat
dua pilihan menuju ke Pasar Bawah. Pertama, dengan
menuruni kelompok anak tangga, yang terdapat di pinggir
barat jalan dan turun jalan raya yang membentang dari arah
selatan ke utara.
Kedua, melewati Jembatan Gantung, yang berada di sisi
selatan kelompok tangga kelima itu. Ujung sebelah timur
Jembatan Gantung terdiri dari sekelompok anak tangga, yang
turun persis di pojok barat bagian selatan Pasar Bawah. Di
bawah Jembatan Gantung ini membentang jalan raya dari
arah selatan ke utara. Selain itu, persisdi bawah anak tangga
dari Jembatan Gantung terdapat pula sebuah selokan,64 yang
juga mengalir dari arah selatan ke utara. Jembatan Gantllng
ini dibangun oleh Controleur Wl Cator pada tahun 1932.
Selain tangga-tangga yang telah diseblltkan, terdapat
beberapa tangga lainnya. Masing-masing tangga ini diberi
nama berdasarkan posisi Ietaknya, yaitu Janjang Balakang
Pasa, Janjang Gudang, Janjang Minang, dan Janjang
Kampuang Cino. Janjang Balakang Pasa adalah kelompok
anak tangga yang terdapat di antara biok pertokoan belakang
pasar sebelah timur. Tangga ini berjejer persis di pertigaan
dari pertemuan jalan jalllr selatan dan jalur utara scbelah
selatan Los Daging.
Janjang Gadang dinamakan demikian karena terletak
di dekat gudang-glldang kopi. Tangga ini ter1etak di sebelah
utara Pasar Atas menurun ke jalan raya yang menllju ke arah
selatan. Janjang Minang terletak di sebelah utara Pasar Atas
Bab III - 63

dan menghubungkan Pasar Atas dengan Kampuang Cino.


Janjang Kampuang Cino terdapat di sisi utara Kantor Gemeente
turun ke pertigaan Kampuang Cino.
Selain pedagang pribumi, pemerintah Hindia Belanda
juga memberi izin kepada pedagang Cina dan Keling (India)
untuk mendirikan kios-kios. Mer,eka juga diberikan hak sewa
tanah maupun untuk membangun toko dan rumah mereka
di atasnya. Akan tetapi, lokasipembangunan kios mereka
telah ditentukan secara tersendiri. Para pedagang Cina
ditempatkan di kaki Bukik Kubangan Kabau sebelah barat,
yang menurun dari arah selatan ke utara. Daerah inilah yang
kemudian dikenal dengan nama Kampuang Cino (Kampung
Cina/Pecinan) .
Adapun pedagang India (Kaliang/Keling) ditempatkan
di kaki BukikKubangan Kabau sebelah utara, yang melingkar
dari arah timur ke barat. Daerah ini kemudian dikenaI dengan
nama Kampuang Kaliang. Kedua kampung ini bertemu di
pojok barat dan utara Bukik Kubangan Kabau. Mereka
membangun kios-kios dalam bentuk ruko. Bagian bawah
digunakan sebagai toko dan bagian atasnya sebagai rumah
tempat tinggal.

Pengelolaan Pasar Bukittinggi


Suatu pasar perlu dikelola supaya dapat berjalan lancar
dan tertib. Pengelolaan suatu pasar mencakup peraturan
penggunaan lokasi pasar, sewa, pajak pasar, dan keamanan
pasar. Semua unsur ini saling menunjang antara satu dan
lainnya. Ketertinggalan salah satu di antaranya dapat
mengganggu kelancaran proses transaksi jual-beli.
Pengelolaan Pasar Bukittinggi pada tahap pertama
dilakukan sepenuhnya oleh Rapat (Dewan) Penghulu Nagari
Kurai. Sewa warung dan pajak pasar merupakan sumber
pemasukan utama untuk anggaran belanja nagari. 65 Selain itu,
juga ada pajak "bantai" yang dikenakan kepada setiap orang
yang menjual ternaknya, seperti kambing, sapi, atau kerbau.
64

Boekittinggi Tempo Doeloe

Sebagian besar dari jumlah yang masuk ke dalam kas nagari


itu digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan anak
Nagari Kurai. Sebagian lagi untuk biaya pemeliharaan dan
keamanan pasar.
Pengelolaan Pasar Bukittinggi mulai dicampuri oleh
pihak Hindia Belanda ketika diberlakukannya penarikan pajak
pasar pada tanggal 1 April 1825. 66 Penarikan pajak ini
dikenakan terhadap semua jenis barang dagangan?termasuk
makanan?yang dibawa ke Pasar Bukittinggi. Besar pajak yang
ditarik adalah 5% dari harga setiap barang dagangan. Pajak
pasar ini tidak dilakukan sendiri oleh Belanda, tetapi oleh
orang Cina yang memenangkan tender kontrak penarikan
pajakY Dewan Penghulu yang sesungguhnya memiliki
otoritas terhadap pasar nagari tidak lagi mempunyai
wewenang penuh seperti sebelumnya.
Kebijakan Belanda ini tidak lama berlangsung. Pada
tahun 1829 pihak penghulu menolak penarikan pajak itu dan
tidak mau menerima orang Cina. Bahkan, ada orang Cina
yang diusir dan dibunuh ketika memungut pajak besar.68
Penarikan pajak ini dirasakan oleh orang Cina sebagai
pekerjaan yang mempunyai resiko tinggi. Sehingga, orang
orang Cina melepaskan diri dari tugas itu dan mengembalikan
kepada Belanda. Pada tahun 1831 pengelolaan Pasar
Bukittinggi diserahkan kembali kepada Dewan Penghulu
Nagari Kurai.
Pada mas a Perang Paderi itu, kegiatan perdagangan di
Pasar Bukittinggi semakin berkembang dan tumbuh pula
menjadi Pasar Garnisun. Kebutuhan harian para serdadu
Belanda harus pula dapat dipenuhi. Sehingga, Rapat (Dewan)
Penghulu Nagari Kurai V Jorongsepakat untuk meningkatkan
hari pelaksanaan Pasar Bukittinggi menjadi setiap hari.Pasar
harian ini disebut dengan Pakan Borong-borong, untuk
membedakannya dengan Pakan Gadang yang dilaksanakan
setiap hari Sabtu.
Sungguhpun pengelolaan pasar telah diserahkan kembali
kepada para penghuiu, namun pemerintah Hindia Belanda
Bab III - 65

tidak melepaskan campur tangannya, terutama dalam


penggunaan hasil pajak pasar. Pemerintah Hindia Belanda
meminta supaya sebagian hasH pajak pasar diberikan kepada
para Kepala Laras dan Penghulu Kepala dalam wilayah
Onderafdeeling Agam Tua. Kebijakan ini diambil karena
pemerintah Hindia Belanda belum mempunyai anggaran
untuk menggaji Kepala Laras dan Penghulu Kepala, sebagai
pejabat Indalandsche Bestuur (1. B). 69
Akan tetapi, kebijakan Belanda ini juga tidak
berlangsung lama. Pada tahun 1833 pemerintah Hindia
Belanda terpaksa mencabutnya, menyusul terjadinya Perang
Paderi tahap ketiga (1833-1837), yang menggoncangkan
keberadaan kekuasaan Belanda di Sumatra Barat. Para
penghulu yang selama ini berkolaborasi dengan Belanda,
sekarang berpihak kepada Paderi.70 Oleh karena itu,
pemerintah Hindia Belanda segera memberi gaji kepada
Kepala Laras dan Penghulu Kepala. Kebijakan Belanda ini
juga ditujukan untuk menarik simpati para penghulu dan
penduduk setempat. Konsentrasi Belanda lebih terfokus untuk
secepatnya mengakhiri dan memenangkan Perang Paderi.
Setelah Perang Paderi berakhir tahun 1937 dan berhasil
menguasai Sumatra Barat, pemerintah Hindia Belanda mulai
memperhatikan Pasar Bukittinggi. Kali ini berkaitan dengan
perdagangan kopi yang menjadi primadona perdagangan di
Sumatra Barat pada waktu itu. Belanda meminta konsensi
kepada Penghulu N agari Kurai untuk membangun gudang
kopi di Pasar Bukittinggi. Selain itu, juga diminta supaya
gudang kopi Belanda itu dibebaskan dan sewa dan pajak pasar.
Hak istimewa ini dapat dikatakan sebagai campur tangan
yang "halus" dari Belanda karen a secara langsung telah
mengurangi pemasukan bagi kas Nagari Kurai V Jorong.
Kepentingan politik dan ekonomi Belanda di Bukittinggi
semakin besar, setelah diberlakukannya Sistem Tanam Paksa
Kopi di Sumatra Barat (1847). Selain dijadikan sebagai pusat
pemerintahan, Bukittinggi juga dijadikan sebagai salah satu
pusat perekonomian di daerah Padang Darat. Permintaan
66 - Boekittinggi Tempo Doeloe

tanah oleh Belanda kepada Penghulu Nagari Kurai pun


semakin luas. Belanda membangun tiga buah gudang kopi
berukuran besar di Pasar Bukittinggi untuk menampung kopi
dari daerah sekitar Bukittinggi, terutama daerah Onderafdeeling
Agam Tua dan daerah Afdeeling Agam. Lokasi bangunan
gudang kopi ini berada di sebelah tenggara Pasar Bukittinggi.
Sementara itu, pemerintah Hindia Belanda juga
mengamati perkembangan Pasar Bukittinggi yang semakin
pesat. Prospek Pasar Bukittinggi tentu akan baik, jika
lokasinya ditata sedemikian rupa. Oleh karena itu, Controleur
Agam Tua meminta kepada Penghulu Nagari Kurai untuk
diberi kuasa mengembangkan Pasar Bukittinggi. Pihak
Penghulu Nagari Kurai bersedia memberi kuasa dengan
mengajukan beberapa "catatan" dan pihak pemerintah
Belanda menyanggupi. Pihak Belanda terlebih dahulu harus
bermusyawarah dengan pihak penghulu sebelum memutuskan
suatu kebijakannya. Selain itu, pengelolaan Pasar Bukittinggi
tetap dipegang oleh Penghulu Nagari Kurai. Penghasilan pasar,
berupa sewa warung, pajak pasar, dan pajak "bantai" dipungut
dan dimanfaatkan oleh para Penghulu Nagari Kurai.
Pada tahun 1858 dimulailah penataan lokasi Pasar
Bukittinggi. Puncak Bukit nan Tatinggi, yang selama
dijadikan lokasi pasar mulai didatarkan. Rencana Belanda
untuk menata lokasi Pasar Bukittinggi dapat disetujui oleh
Penghulu Nagari Kurai. Penduduk Nagari Kurai dibebaskan
dari kerja rodi di Pasar Bukittinggi. Untuk itu, Belanda
merekrut penduduk nagari-nagari Agam Tua sebagai pekerja
rodinya.
Perekrutan tenaga kerja paksa ini dilakukan secara
hierarkis jabatan Inlandsche Bestuur dalam struktur birokrasi
kolonial. Mulai dari kepala laras, penghulu kepala, dan terakhir
penghulu suku rodi. Penghulu suku rodi ditugaskan untuk
merekrut orang-perorangan dalam sukunya, kemudian
menyerahkan mereka kepada penghulu kepala dari nagarinya.
Penghulu kepala ditugaskan untuk mengantar calon pekcrja
rodi ke Bukittinggi. Adapun Kepala laras ditugaskan sebagai
Bab III - 67

...

"

pengawas pekerja rodinya, yang lokasi kerjanya telah dibagi


bagi menurut kelarasannya. Dengan demikian, selain
mengerjakan kebun kopi penduduk juga diwajibkan untuk
melakukan rodi di BUkittinggi. Kategori rodi yang terakhir
ini termasuk kedalam heerendiensten, yaitu untuk kepentingan
umum. 71
Para pekerja rodi ditugaskan untuk mendatarkan tanah
pasar dan membuat jalan-jalan menuju pasar serta selokan
selokan di sekitar Pasar Bukittinggi. Selain itu, para pekerja
rodi itu juga ditugaskan untuk membangun 11 (sebelas) rumah
pesanggrahan, sebanyak jumlah kelarasan di Onderafdeeling
Agam Tua. Adapun biaya untuk membeli bahan-bahan
bangunannya dibebankan kepada masing-masing kelarasan.
Rumah pesanggrahan dapat ditempati sewaktu-waktu,
yaitu ketika para pejabat kepala laras, penghulu kepala atau
penghulu suku rodi berkunjung ke Bukittinggi. Dapat
dipastikan bahwa setiap hari Sabtu rumah pesanggrahan itu
tidak pemah kosong, karena pada hari itu adalah hari Pakan
Gadang di Bukittinggi. Paling tidak, salah seorang dari pejabat
kepala laras, penghulu kepala, atau penghulu kepala suku rodi
akan datang berkunjung ke Pasar Bukittinggi. Dengan
memberikan fasilitas rumah pesanggrahan di Bukittinggi ini,
Beianda berharap dedikasi jajaran pejabat Bumiputera dapat
meningkat. Para kepala laras, penghulu kepala, dan penghulu
suku rodi merupakan ujung tombak dalam Sistem Tanam
Paksa Kopi. Kesuksesan pelaksanaan Tanam Paksa Kopi
sangat tergantung kepada mereka.
Pengerahan tenaga kerja rodi dari nagari-nagari Agam
Tua ke Bukittinggi, pada sisi lain telah menjadi andil nagari
nagari Agam Tua di Pasar Bukittinggi. Beberapa bulan setelah
peminjaman tanah pasar kepada Belanda, Kelarasan Kurai
disatukan dengan Kelarasan Banuhampu. Seiring dengan itu,
posisi para Kepala Laras Agam Tua disamakan dengan Kepala
Laras Kurai-Banuhampu. Kepada masing-masing kepala laras
diberi giliran untuk berjaga gadang,72 setiap Pakan Gadang,
yaitu hari Sabtu. Jika ada orang membantai kambing, lembu
68 . Boekittinggi Tempo Doeloe

atau kerbau, maka kepalanya dipersembahkan kepada Kepala


Laras yang "bertugas" waktu itu.
Sementara itu, pihak pemerintah Hindia Belanda juga
mulai mengendalikan pengelolaan Pasar Bukittinggi. Bahkan,
sejak pengklaiman kekuasaanya atas Bukittinggi pada tahun
1888, pihak pemerintah Hindia Belanda mulai meninggalkan
pihak Penghulu Nagari Kurai. Sebaliknya, para kepala laras
dalam wilayah Onderafdeeling Agam Tua semakin dilibatkan
dalam pengelolaan Pasar Bukittinggi.
Pada tahun 1896 Controleur 1. van Hangel membentuk
Pasar Fonds. Anggotanya terdiri dari pejabat Kepala Laras
Kurai-Banuhampu, IV Koto, Sungai Puar, dan IV Angkat,
sedang Controleur Agam Tua bertindak sebagai Ketua Fasar
Fonds. 73 Lembaga ini dibentuk untuk menghimpun dana
masyarakat, yang akan dijadikan modal pengembangan Pasar
Bukittinggi. Sebagai modal dasar Pasar Fonds dipungut
sumbangan wajib ke nagari-nagari dalam keempat kelarasan
itu. Sehingga, keberadaan Pasar Fonds tidak dapat dipisahkan
dari nagari-nagari Agam Tua. Atas dasar ini, nagari-nagari
Agam Tua mempunyai andil dalam pembangunan Pasar
Bukitinggi.
Los-los yang dibangun dengan menggunakan dana dari
Pasar Fonds dan pinjaman dari Singgalang Fonds disewakan
oleh Controleur 1. van Rangel. Besarnya harga sewa setiap
petak adalah f 1+Ibulan. Selain itu, tanah-tanah di sekitar
pasar di kapling dan kemudian disewakan seharga f 1+ I
kapIing/bulan. 74 Dengan demikian, penghasiIan pasar
semakin bertambah, karena selama ini hanya mengandalkan
pemasukan dari pajak pasar dan sewa warung. Penghasilan
Pasar Bukittinggi ini sebagian digunakan untuk pcmbayar
hutang kepada Singgalang Fonds dan sebagian lagi menjadi
kas Pasar Fonds.
Pengelolaan Pasar Bukittinggi mulai ditata sccara ad
ministratif. Pasar Fonds diberi wewenang olch Controleur 1.
van Rangel sebagai pengelolanya. Dua orang opas pasar
diangkat untuk memelihara keamanan, ketcrtiban, dan
Bab

!lI - 69

kebersihan pasar. Para pedagang ditentukan lokasi


berjualannya, sesuai dengan jenis dagangannya. Ternpat
perhentian alatalat transportasi, seperti pedati, bendi, dan
gerobak dorong, juga disediakan ternpatnya yang khusus.
Masing-rnasing opas diberi gaji sebesar f 15+ Ibulan. 75 Selain
itu, diangkat pula seorangjuru tulis pasar. Ia bertugas rnencatat
segala hal yang berhubungan dengan kegiatan pasar, seperti
jurnlah pedagang, harga barang, dan pendapatan pasar. Juru
tulis pasar ini diberi gaji f20+ Ibulan. 76 Pajak "bantai" sebesar
f 4+ I ekor yang sernula diterirna oleh Penghulu Nagari Kurai,
sekarang dihapuskan.77
Kebijakan Controleur J van Hangel ini rnenyirnpang dari
"kebiasaan" yang dijalankan pernerintah selarna ini.
"Persetujuan" tahun 1858 antara Penghulu Nagari Kurai dan
pernerintah Hindia Belanda, yang berisi perninjarnan tanah
pasar dan sekitarnya tidak diindahkan lagi. Penghulu Nagari
Kurai tidak diikutsertakan dalarn rnenentukan kebijakan Pasar
Bukittinggi. Keuntungan pasar yang diperoleh dari sewa toko,
tanah, gudang, warung, los, dan pajak pasar cukup besar untuk
dilepaskan oleh pernerintah Belanda. Oleh karena Hu,
Penghulu Nagari Kurai rnerasa dipinggirkan, sehingga rnereka
rnenggugat pernbangunan los pasar itu yang didirikan di atas
tanah ulayat Nagari Kurai. Mereka juga rnenggugat berbagai
kebijakan pernerintah yang banyak rnerogikan Nagari Kurai.

70 - Boekittinggi Tempo Doeloe

~)r9
I

"
\

,,
'

--

IJ")(JI~

J<1}',,!

6" .n-..p+v .s ~~q


-

+-+

Catatan Akhir

P.E. de Josselin de Jong, Minangkabau and Negeri Sembi/an: Socia/


Political in Indonesia (Denhaag: Martinus Hoff, 1952), hIm. 15-19.
J.e. van Leur, Indonesia Trade and Sodety: Essay in Asian Sodal and
Economic History (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hIm. 77-78.
B.J.a. Schrieke, "Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah
Sumbangan Bibliografi", Terjemahan Soegarda Poerbakawatja
(Jakarta: Bhratara, 1973), hIm. 11-23.
Mestika Zed, "Struktur Birokrasi Kolonial di Indonesia dan
Perkembangannya di Sumatra Barat Abad ke-19 dan ke-20",
Makalah Seminar (Padang: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Univer
sitas Andalas, 1986), him. 20-34.
Be1anda menyebut wilayah kekuasaannya di sini dengan Sumatra:s
Westkust (Pantai Barat Sumatra), yang kemudian lebih dikenal
dengan Sumatra Barat. Nama inilah "diwarisil> oleh Provinsi
Sumatra Baratsekarang untuk wilayah yang sarna dan sebagai bagian
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Extract uit Register der Handelingen Resoloiten van den
Gouverneur Generaal in Rade 4 November 1923 1>, Arsip Nasiona/,
SWK. No. 143. Sultan Alam Bagagarsyah adalah Raja Minangkabau
yang terakhir, yang berhasil meloloskan diri dari peristiwa Koto
Tangah pada tahun 1808. Adapun Sultan Mansur Alamsyah adalah
kemenakan dari Sultan Alam Bagagarsyah. Rusli Amran, Sumatra
Barat Hingga Plakat Panjang (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hIm.
392-398 dan 584. Lihatjuga Herwandi, "Munculnya Para Tuanku
Laras di Minang- kabau pada Akhir Abad ke-19. Skripsi Saljana
(Padang: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas,
1987).
Pembentukan wilayah kelarasan ini mengacu dua sistem sosial
politik tradisional Minangkabau, yaitu kelarasan Bodi-Caniago dan
Koto- Piliang. P.E. de Joselin de Jong, op. cit., him. 76-79.
"Provissioneel Reglement op het Binenlandsch Bestuur in dar der
Financien de Residentie Padang en Onder Hoorigheden ", Arsip
Nasional, SWK, No. 143.
Gouvernement Sumatra Barat dibagi atas tiga residensi, yaitu
Residensi Padangsche Benedenlanden, Residensi Padangsche
Bovenlanden, dan Residensi Tapanuli. Adapun wilayah di bawah
residensi secara berurutan adalah afdeeling, onderafdeeling, kelarasan,
dan terakhir nagari. E. B. Kielstra, "Sumatra's Westkust van 1836

72 - Boekittinggi Tempo Doeloe

10

II

12

IJ
14

15
16

17

18

19

20
21
22
13
24

25
26

1840", bag. IV, BKI, No. 39, Tahun 1890, him. 193-194.
RusH Amran, op. cit., him. 581-592. Christine Dobbin, op. cit.,
him. 125-130.
Rusli Amran, Sumatra Barat PlakatPanjang (Jakarta: Sinar Harapan,
1985, him. 122-149.
Rusli Amran, op. cit., him. 188-189.
RusH Amran, ibid.
RusH Amran, Padang Riwayatmu Dulu (Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, 1986), him. 195-196.
Elizabeth E. Graves, op. cit., him. 40.
Taufik Abdullah, "The Making of Schake! Society: The
Minangkabau in the Late of 19 th Century", dalam Papers ofthe
Dutch-Indonesian Historical Conference (Lei den I Jakarta: The Bureau
ofIndonesia Studies Uflder Auspices ofDutch and Indonesian Steer
ing Committees of the Indonesian Studies Program, 1978), him.
143-153.
Perubahan sistem pemerintahan Hindia Be1anda di Sumatra Barat
ini berkenaan dengan timbulnya gagasan baru, yang dikenal dengan
politik Batiq Slot. Ada tiga point yang diajukan dalam rangka
pelaksanaan politik Batiq Slot ini. Pertama, pendelegasian kekuasaan
dari pemerintahan Kerajaan Belanda (negeri induk) ke pemerintahan
Hindia Be1anda (negerijajahan); dari pemerintahan ke departemen;
dari pejabat Belanda (Iokal) ke pejabat pribumi. Kedua, menciptakan
lembaga-Iembaga otonom yang mengatur urusan sendiri. Ketiga,
pemisahan keuangan negeri induk dengan negerijajahan. Dengan
adanya desentralisasi dan memperbesar otonomi daerah.
Staatsblad van Nederlandsch-IndieTahun 1914 No. 774
H. W. Stap, "De Nagari Ordonantie ter Sumatra's Westkust", KT,
No.5, Th. 1917, him. 743.
Staatsblad van Nedrlandsch-Indie Tahun 1914 No. 774.
H.w. Stap, op. cit., 741.
Staatsblad van NederlandschIndie tahun 1918 No. 320.
Ibid.
Lihat Pauline Doublin Milone, Urban Area in Indonesia: Administrasi
and Census Concept (Berkeley: Institut ofInternational Studies Uni
versity of California, 1966), him. 19.
Ibid.
Berdasarkan lokasi pasar disebut juga dengan balai. Dalam hal ini
ucapan pergi ke balai sinonim dengan pergi ke pakan atau ke pasar.
A.A. Navis, Alam Terkembang ladi Guru: Adat dan Kebudayaan
Bab III - 73

Minangkabau (Jakarta: Grafiti Press, 1986), hIm. 92. Balai


mempunyai 4 (empat) pengertian, yaitu balai pakan, balai medan,
balaigelanggang, dan balairung. Datoek Soc!an Maharadja, "Tambo

dan Oendang-oendang Adat Alam Minangkabau" dalam


Adatrechtbundel, Bagian V, JiM XXVII, Tahun 1928, hIm. 304
27

28

29

30

31

32
J3

34
35

306.
Berdasarkan peIaksanaan pakan yang sekali seminggu ini, orang
Minangkabau menyebut seminggu dengan sapakan (sepekan).
Pergiliran hari pakan ini juga telah menjadikan pedagang dapat
bekerja sepanjang hari dari satu pakan ke pakan berikutnya.
Sekarang terlihat ada nagari yang mempunyai pakan sendiri dan
ada pula yang tidak. Nagari Balingka misaInya, sekarang tidak
mempunyai pakan lagi. Padahal, menurut penuturan para tetua
kampung pada masa lalu Nagari Balingka mempunyai sebuah pakJ:m.
Lokasi pasar itu masih dapat ditunjukkan sekarang.
Pusat pasar ini kemudian dijadikan pusat pemerintahan dan
perdagangan oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkembangan dari
kedua fungsi ini, kemudian menjadikannya tumbuh sebagai sebuah
kota. Mochtar Nairn, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau
(Jakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), hIm. 73-77.
Pada tahun 1825 diperkirakan di Luhak Agam terdapat 15 pasar, di
Luhak Tanah Data 29, dan di Luhak Limo Puluah Koto 14 pasar.
Masing-masing luhak mempunyai Pakan Gadangnya sendiri,
sedangkan pasarnya masing-masing berbeda. Pasar Bukittinggi
untuk Luhak Agam, yang dilaksanakan setiap hari Sabtu; Pasar
Batusangkar untuk Luhak Tanah Data, yang dilaksanakan setiap
hari Kamis; Pasar Payakumbuh untuk Luhak Limo Puluah Koto,
yang dilaksanakan setiap hari Ahad (Minggu). E.B. Kielstra,
"Sumatra's Westkust van 1819-1825", BKI, deel I No. 36 Tahun
1887, hIm. 1888-189.
Azwar Dt. Mangiang, "Hari Jadi Kota Bukittinggi, 18 Desember
1820", Makalah Seminar Hari Jadi Kota Bukittinggi(Bukittinggi:
t.p., 1988), him. 1-9.
Ibid.
Kondisi pasar ini masih terlihat oleh M. Buys. M. Buys, Twee farm
op Sumatra's Westkust(Amsterdam:.A. Akkering, 1886), hIm. 47
53.
Ibid.
Nama de KockdiambU dari nama Hendrik Markus de Kock, pejabat
Komandan MUiter dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda

74 - Boekittinggi Tempo Doeloe

36

37

l8
39

40

41

~2

~3

pada masa itu. D.H. Bereer, "Anmerkingengehouden op een Reize


door Eenige Districten Padngsehe Boven1anden", dalam
Verhandelingen van het Koloniaal Instituut voor Taal-, Lan-, en
Volkenkunde, No. 16 (Denhaag: 1836), hIm. 181-182.
Markas gamisun Belanda yangsatu lagi adalah Benteng "van der
Cappelen" (Batusangkar), ibid.
Christine Dobbin, op. cit., him. 186.
Ibid.
Reorganisasi pemerintahan Belanda di Sumatra Barat dilakukan
pada tahun 1837, setelah berhasil dalam Perang Paderi. Sumatra
Barat dijadikan sebuah gubememen yang terdiri dari dua residensi,
yaitu Residentie PadangscheBovenlanden (Padang Darat) untuk daerah
dataran tinggi dan Padangsche Benedenlanden (Padang Pesisir) untuk
daerah dataran rendah atau pantai. Residensi Padang Darat terdiri
dari tiga afdeeling. Salah satu di antaranya adalah Afdeeling Agam .
.R.B. Kielstra, "Sumatra's Westkust van 1836-1840" deel IV, BKI
No. 39 Tahun 1890.
Ibukota Residensi Dataran Tinggi pada mUlanya adalah Batusangkar
(Fort van der Capellen), kemudian pada tahun 1837 dipindahkan
ke Padangpanjang. Tiga tahun kemudian dipindahkan lagi (umuk
seterusnya) ke Bukittinggi (Fort de Koek). RusH Amran, op. cit.,
hIm. 201.
Sistem Tanam Paksa Kopi mulai diberlakukan oleh Gubernur Sipil
dan Militer A. V. Michaels pada tanggal 1 N overmber 1847.
Mengenai perkembangan dan kegagalan Sistem Tanam Paksa Kopi,
serta akibat-akibat yang ditimbulkannya di Sumatra Barat, lihat
Mestika Zed, "Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial dalam
Sistem Tanam Paksa Kopi di Minangkabau, Sumatra Barat (1847
1908)", Thesis MA. (Jakarta: Fakultas Paseasarjana Universitas
Indonesia, 1983); lihat juga RusH Amran, op. cit., hIm. 91-115;
Rusli Amran, op. cit,; Christine Dobbin, op. cit, hIm. 265-289.
Pusat-pusat pengumpulan kopi inilah yang menjadi cikal bakal
'kota" di daerah dataran tinggL Muehtar Nairn, "Perkembangan
Kota-kota di Sumatra Barat", Prisma, No.4, Tahun 1972, hIm. 32
39.
Jalan-jalan ini menghubungkan benteng-benteng Belanda, seperti
Benteng "de Koek", Tanjung Alam "van der Cappellen", Guguk
Malintang, dan lain-lain. Terakhir, pada tahun 1837 dibangun jalan
yang menghubungkan Bemeng " Fort de Koek" dengan Bonjo!.
Jalan ini menelusuri Ngarai Sianok terus ke Matur, Palembayan,
Bab III - 75

44

45

46

47

48

49

so

Sipisang dan Bonjol. Christine Dobbin, op. cit., hIm. 187.


Ada empat jalur tradisional, yaitu Padang - Singkarak via
Gantungdri; Kayutanam - Batipuh via Bukitambacang, Sipinang,
dan Tambangan;Jalan "Jawi", yaitu menelusuri sebelah tenggara
hingga selatan lereng Gunung Singgalang; dan Jalan "Bukit Tujuh"
yang melewati vi Koto. Rusli Amran, op. cit., him. 464.
Pada akhir tahun 1850-an hubungan daerah dataran tinggi dan pesisir
ditingkatkan dengan membangun rute baru, yaitu Tiku - Maninjau,
Air Bangis - Rao, Lubuk Selasih - Padang, Pulot-pulot - Painan.
Elizabeth E. Graves, The Minangkabau Respons to Dutch Colonial
Rule in TheNineteenth Century (Ithaca, New York: Cornell Modern
Indonesia Project, 1981), him. 67.
Tsuyoshi Kato, Matdliny and Migration: Evolving Minangkabau Tra
ditions in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University, Press,
1982), hlm. 89.
/bid; lihat juga Albert S. Bickmore, Travels in the East Indian Archi
pelago (London: John Murry, 1868), hIm. 388-389.
Sampai sekarangjalan ini merupakanjalur transportasi utama yang
menghubungkan Padang dan kota-kota pantai lainnya dengan
Bukittinggi dan kota-kota pedalaman lainnya.
Sejak Be1anda memperkenalkan sistem pemerintahan supra-nagari
pad a tahun 1823, keberadaan Dewan Penghuh.l sebagai lembaga
pemerintahan nagari yang otonom dipinggirkan. Jabatan kepaJa
laras dan penghulu kepala sebagai bagian dari sistem pemerintahan
kolonial, pada gilirannya te1ah memunculkan golongan aristokrat
baru dalam masyarakat.
Ketujuh bukit itu adalah Bukik Jirek, Bukik Sarang Gagak, Bukik
Malambuang, dan Bukik Parak Kopi. Mohamad Hadjerat, Sedjarah
Negeri Kurai V Djorong serta Pernerintahannya, Pasar dan Kota

5t

52

53

54

Bukittinggi(Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1947), him. 47.


A. Kottenbelt, "De Rechtstoestand van de Gronten Warop de Pasar
te Fort de Kock is Opgericht", KTNo. 30, Tahun 1941, him. 330
335.
Ketika diterapkan sistem perkebunan swasta Sumatera Barat, dari
33 perkebunan swasta kopi di Sumatera Barat, di daerah Agam
hanya ada satu, yaitu di Simarasap, Baso. RusE Amran, op. cit.,
him. 353-354.
Mengenai batas-batas wilayah yang diklaim oleh Belanda, lihat
bab II, sub-bab B.
Mohamad Hadjerat, op. cit., him. 40.

76 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Sumber dana dari Singgalang Fonds pada awalnya berasal dari


penduduk daerah dataran tinggi. Mereka diwajibkan membayar
jika tidak dapat melakukan kerja rodi untuk membuat jalan AnaL
Nama Singgalang Fonds diambil karena sungai yang mengalir di
Lembah Anai berasal dari Gunung Singgalang. Bahkan, tanjakan
tertinggi yang terdapat di Lembah Anai dinamakan dengan
Singgalang Kariang. Dana ini terus bertambah seiring dengan
banyaknya jalan-jalan yang dibangun. Penggunaan dana ini
terutama untuk mengongkosi pembuatan jalan-jalan lainnya di
daerah dataran tingi. Elizabeth E. Graves, op. cit., hIm. 222.
56 Peraturan mengenai redi di Sumatra Barat dapat dilihat dalam
Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1877 No. 708 dan
StaatbladschIndieTahun 1914 No. 731
51 Lulofs, "Koffiecultuur en Belastingen ter Sumatra's Westkust", IG
No.2, Tahun 1904, him. 1658-1661.
58 A. Kottenbelt, op. cit., him. 331-335.
59 Ibid.
60 Mohamad Hadjerat, op. cit., hIm. 43-44.
61
Ibid.
62 Adapun di sebelah timur kedua pasar itu melintas reI kereta api
yang berbelok ke arah timur menuju Payakumbuh. Di sebelah timur
Pasar Aua Tajungkangjuga terdapat stasi un kecil kereta api.
63 Mohamad Hadjerat, op. cit., him. 23.
64
Selokan inilah tempat pembuangan kotoran dan air Iimbah dari los
khususnya dan seluruh pasar umumnya.
65
Akira Oki, "Social Change in The West Sumatra Village: 1908
1945", Ph. D. Dissertation (Canbera: The Australian National Uni
versity, 1977, hIm. 21-22.
66 Pajak pasar ini berlaku untuk seluruh pasar yang telah dikuasai
Belanda, yaitu 29 pasardi LuhakTanah Data dan 15 pasardi Luhak
Agam, dan 14 pasardi Luhak Limo Puluah Koto. H.M. de Lenge,
Het Nederlandsch Oost-Indisch Lergerter Sumatra's Westkust 1819-1845
(Den Haag: 's Hertogenbosch, 1852), him. 309311. Lihat juga
E.B. Kielstra, "Sumatra's Westkust van 18191825", BNKINo. 36
Tahun 1887, hIm. 123125.
61 H.M. de Lenge, loc. cit.; lihatjuga E.B. Kielstra, loc. cit.,
68
H.M. de Lange, op. cit., hIm. 311-313.
69 Pada masa inijuga Belanda memerlukan dana yang banyak untuk
mcnghadapi Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (18251830).
Rusli Amran, op. cit., him. 102-105.

SS

Bab III - 77

70

71
72

73
74
75

76
77

Periode Perang Paderi yang ketiga ini disebut oleh Christine Dob
bin sebagai proto-nasionalisme Minangkabau. Christine Dobbin,
op. cit., hIm. 227-250. Adapun penyebab terjadinya persatuan
rakyat Minangkaba u ini adalah diberiakukannya pajak pasar dan
dijadikan surau atau mesjid sebagai markas Belanda. Se1ain ltu,
banyak pula gadis-gadis yang diperkosa oleh pasukan Be1anda.
Akibatnya, banyak penghuiu yang merasa direndahkan dan
dikurangi haknya. Lihat juga Rusli Amran, op. cit., hIm. 540-580.
StaatbladvanNederlandsch-Indie, Tahun 1914No. 731.
Bajaga gadang secara terminologi berarti berjualan besar.
Maksudnya, para kepaia Iaras pada hari Sabtu itu dianggap mereka
yang berjualan di Pasar Bukittinggi. Mohamad Hadjerat, op. cit.,
hIm. 53.
A. KnottenbeIt, loc. cit., hIm. 75.
Mohamad Hadjerat, op. cit., hIm. 45-47.
P.A.. Hondius van Herwerdawn, "Bestuursreorganisatie in het
Gouvernement Sumatra's Westkust", KTNo. 1, bg. II, Th. 1912,
hIm. 1082-1083.
Ibid.
Mohamad Hadjerat, op. cit., hIm. 45.

78 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Bab IV
Pendidikan Barat dan
Munculnya Golongan Intelektual
di Sumatra Barat

Dari Sekolah Nagari sampai Sekolah Raja

ebelum berdirinya sekolah, sebagai lembaga pendidikan


formal (Barat) di Minangkabau (Sumatera Barat) telah
dikenal lembaga pendidikan tradisional Islam, yaitu
surau. Pendidikan surau dapatdibagi atas dua tingkat. Pertama,
tingkat pendidikan membaca Alquran dan dasardasar ajaran
Islam. Surau seperti yang dimaksudkan ini terdapat di setiap
kampung atau nagari. Kedua, tingkat pengajian kitab, yaitu
pendalaman terhadap ajaran-ajaran Islam. I Pendidikan surau
yang kedua ini merupakan lanjutan dari pendidikan surau yang
pertama. 2 Akan tetapi, tidak semua anak-anak yang
melanjutkan ke tingkat pengajian kitab ini. Oleh karena
keberadaan surau pengajian kitab ini sangat tergantung kepada
kedalaman ilmu gurunya, maka pada masa ini tidak ban yak
surau pengajian kitab yang terdapat di Minangkabau. Adapun
yang terkenal di antaranya adalah Surau Syekh Burhanuddin
Ulakan (Pariaman) , Surau Syekh Koto Tuo (Agam), Surau
Syekh Pamansiangan (Tanah Datar),3 Pada prinsipnya surau
berfungsi untuk mensosialisasikan nilai-nilai agama Islam
kepada anak-anak Minangkabau.

Pendiran sekolah oleh pemerintah Hindia Belanda di


Sumatera Barat pada dasarnya tidak terlepas dari politik
kolonialnya. Pemerintah Hindia Belanda membutuhkan
pegawai rendahari dalam birokrasi pemerintahan. Akan tetapi,
penduduk Sumatera Barat tidak ada yang dapat membaca
dan menulis (Latin) serta berhitung. Mereka hanya dapat
menulis dan membaca huruf Arab, yang diajarkan oleh guru
guru mereka di surau-surau. 4 Oleh karena itu, pemerintah
Hindia Belanda merasa perlu mendirikan sekolah untuk anak
anak Bumiputera di Sumatera Barat. 5
Pada tahun 1843 didirikan pula sebuah sekolah di
Bukittinggi dengan nama Sekolah Melayu (Malaische School).
Sekolah Melayu ini merupakan sekolah Bumiputera yang
pertama didirikan di Bukittinggi dan juga yang pertama
didirikan di daerah Residensi Padang Darat. Pendirian Sekolah
Melayu ini diprakarsai oleh c.P.c. Steinmetz, Residen Padang
Darat (1837-1848). Lebih jauh Steinmetz mengharapkan
kehadiran Sekolah Melayu ini dapat mensosialisasikan nilai
nilai budaya dan gaya hidup Barat (Be1anda) kepada anak
anak Minangkabau. 6 Sehingga, setelah mereka menjadi
pegawai nantinya, akan dapat menyesuaikan diri dan
berintegrasi ke dalam birokrasi Kolonial Belanda. Jadi,
Sekolah Melayu tidak hanya akan mendidik anak-anak
Minangkabau agar dapat membaca dan menulis (Latin), serta
berhitung, tetapi sekaligus akan dapat menyerap budaya
Barat: berpikir, bersikap, dan bertingkah laku sebagai orang
Barat. 7
Sebagai ruang belajarnya digunakan "bagian bawah"
dari Rumah Bicara, yang keadaannya cukup representatif.
Peralatan sekolahnya, seperti bangku, meja, dan papan tulis
disediakan oleh Dewan Nagari Kurai. Biaya operasionalnya
juga dibebankan kepada Dewan Nagari Kurai. 8 Murid-murid
tidak dikenakan biaya apapun, kecuali kebutuhan alat-alat
tubs yang harus mereka sediakan sendiri. Murid-muridnya
terdiri dari anak-anak penghulu dan pedagang, yang pada
umumnya berasal dari nagari-nagari sekitar Bukittinggi.
80 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Sebaliknya, masyarakat Nagari Kurai kurang menunjukan


minatnya unfuk menyekolahkan anak-anak mereka di Sekolah
yang mereka biayai sendiri. Sebagai gurunya diangkat juru
tulis pemerintah.
Jenjang kelas Sekolah Melayu terdiri dari empat
tingkatan. Tingkatan atau kelasnya dimulai dengan IV
kemudian seterusnya sampai ke yang tertinggi kelas 1. Adapun
pelajarannya terdiri dari membaca, menulis, berhitung,
mengarang, tata buku, dan ilmu bumi. Lebih lanjut mengenai
jenjang kelas dan mata pelajaran yang diajarkan di Sekolah
Melayu, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 12

Daftar Mata Pelajaran Sekolah Melayu

No.

Kelas

Mata Pelajaran

1.

IV

Pengenalan huruf abjad Latin


Membaca

2.

Membaca (lanjutan)
Menulis

3.

II

Membaca (lanjutan)
Menulis
Berhitung

4.

Mengarang
Berhitung (lanjutan)
Dasar-dasar Tata Buku
Dasar-dasar Ilmu Bumi
-

Surriber: Diolah dari Reqlement voor Inn'chting der Malaische Scholen in


de Padangsche Bovenlanden. Fort de Kock, den 25 November 1843.
art. 4. ArsipNasional SWKNo. 257.

Pada tabel 12 terlihat bahwa mata pelajaran yang


diberikan Sekolah Melayu hanya bcrupa pengetahuan dasar.
Bab IV - 81

Pelajaran agama (Islam) sarna sekali tidak diberikan. Adapun


bahasa pengantar yang digunakan dalam proses belajar
mengajar adalah bahasa Melayu,9 yang menjadi rumpun
bahasa Minangkabau. Hal ini memudahkan murid-murid
sekolah Melayu untuk berkomunikasi dan menyerap
pelajaran yang diberikan gurunya.
Pengembangan sekolah Melayu di daerah kekuasaan
nya oleh Residen Steinmetz, disambut dengan antusias oleh
masyarakat. Se1ama tiga tahun sejak didirikan tahun 1843,
jumlah sekolah Melayu telah mencapai 12 buah di Sumatera
Barat. Pendirian kedua belas sekolah Melayu ini dimulai di
pusat-pusat pemerintahan, seperti Batusangkar (Afdeeling
Tanah Datar), Payakumbuh (Afdeeling Limo Pu1uah Koto) ,
dan Solok (Afdeeling X dan XII Koto), kemudian diikuti oleh
daerah-daerah penghasi1 kopi seperti Bonjol, Sungaipuar,
Puardatar, Buo, Singkarak, Maninjau, Sijunjung, dan Rao. 'o
Kebijaksanaan ini dilakukan karena di daerah-daerah seperti
itulah tersedia pegawai yang dapat dijadikan tenaga guru.
Adapun jumlah murid yang diterima pada tahun 1846 itu
sebanyak 416 orang. 11
Guru sekolah Melayu terdiri dari pegawai-pegawai
pemerintah, seperti juru tu1is atau kepala gudang kopi, yang
ditugaskan di daerah itu. 12 Mereka tidak memiliki kualifikasi
sebagai seorang guru dan sarna sekali tidak mengenal ilmu
mendidik. lronisnya, proses belajar-mengajarnya lcbih
ditentukan guru-guru itu. Keadaan ini dengan sendirinya
mempengaruhi keberadaan dan mutu suatu Sekolah Melayu.
Sebagaimana halnya Sekolah Melayu di Bukittinggi,
Sekolah Melayu yang lainnya juga diusahakan oIeh Dewan
Nagari, tempat didirikannya Sekolah Melayu itu. Adapun
pejabat pemerintah Hindia Belanda (Asisten Rcsiden atau
Controleur) hanya bertugas sebagai pengawas pelaksananya. '3
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa Sekolah Melayu ini
bersifat otonom. Oleh karena itu, tepat pula kiranya kalau
masyarakat Minangkabau menamakan Sekolah Melayu ini
dengan Sekolah Nagari.
82 - Boekittinggi Tempo Doe)oe

Sekolah Nagari Bukittinggi merupakan sekolah yang


terbaik di antara keduabelas Sekolah Nagari yang ada. Posisi
Bukittinggi sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan di
daerah Residensi Padang Darat, berpengaruh positifterhadap
keberadaan Sekolah Nagarinya. Pelaksanaan Sekolah Nagari
Bukittinggi dapat dipantau secara langsung oleh Residen
Padang Darat. Selain itu, pendanaannya juga diperoleh dari
pajak Pasar Bukittinggi, sehingga kelangsungan Sekolah
Nagari Bukittinggi dapat lebih terjamin. Tidak mengherankan
Sekolah Nagari Bukittinggi selalu dijadikan model bagi
Sekolah-sekolah Nagari lainnya.
Pada tahun 1850-an Sekolah Nagari telah berdiri dan
tersebar di seluruh Sumatera Barat. Kesadaran masyarakat
tumbuh karena me1ihat terbukanya peluang untuk melakukan
mobilitas vertikal. Pada umumnya tamatan Sekolah Nagari
diterima sebagai pegawai atau juru tulis di kantor-kantor
pemerintah atau swasta. Selain itu, kesejahteraan mereka lebih
terjamin dengan gaji yang diterima setiap bulan. Kehadiran
Sekolah Nagari ini pada gilirannya membawa implikasi
terhadap perubahan sosial-ekonomi masyarakat Minang
kabau.

Bab IV - 83

Tabel13

Pekerjaan Orang Tua Murid

Sekolah Nagari Bukittinggi Tahun 1863-1869

No.

Pekerjaan orang Tua

--------

1.

32%

Pedagang

2.

31 %

Pegawai

3.

17 %

Fungsionaris adapt

4.

12%

Penghulu

5.

3%

Pegawai tinggi

6.

3%

Tukang

7.

2%

---

-------

--------

,-

UIama
--_.-

Sumber: Diolah dari Elizabet E Grave, The Minangkabau Respons to


Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century (Ithaca, New York:
Cornell Modem Project. 1981). hlm. 90.

Akan tetapi, pada umumnya kondisi Sekolah Nagari


itu kurang menggembirakan. Buddigh, pejabat penyelidik
pendidikan pada mas a itu melaporkan, bahwa kondisi
sebagian besar Sekolah Nagari sangat buruk. Penyebabnya
yang paling besar adalah tidak tersedianya tenaga pendidik
yang dibutuhkan, selain kekurangan dana untuk mendukung
penyelenggaraannya. Oleh karena itu, ia menganjurkan untuk
mendirikan Sekolah Guru yang biayanya ditanggung oleh
pemerintah. 14 Kehadiran Sekolah Guru ini. pada gilirannya
diharapkan akan dapat meningkatkan mutu Sekolah Nagari
dan sekaligus untuk menampung animo masyarakat Sumatera
Barat dalam dunia pendidikan.

Sekolah Guru Percobaan


Pada tanggal 1 April 1856 didirikanlah "Kweekschool"
atau "Normalschool" (Sekolah Guru) di BukittinggiY
84 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Keberadaan "Kweekschool" Bukittinggi pada periode 1856


1873 ini, tidak lebih sebagai sebuah Sekolah Guru
percobaan. 16 Oleh karena itu, "Kweekschool" Bukittinggi
belum dapat disebut sebagai sebuah Sekolah Guru yang
sesunguhnya. 11 Ruang belajarnya sangat sederhana, yaitu
ruangan di bawah Rumah Bicara, bekas ruangan Sekolah
Nagari Bukittinggi. Sebagai Direktur "Kweekschool"
Bukittinggi yang pertama diangkat J.A.W. van Ophuysen,
Asisten Residen Solok yang mempunyai perhatian terhadap
pengajaran anak-anak Melayu.'8 Ia dibantu oleh seorang guru
bahasa Melayu, yaitu Abdul Gani gelar Rajo Mangkuto. 19
Setahun kemudian Abdul Gani digantikan oleh Abdul Latif
gelar Khatib Sutan Dinagari, yang juga ditugaskan sebagai
guru harian "Kweekschool" Bukittinggi. Ia diberi gaji f . 40,
Ibulan. 20
AdapunjumIah murid "Kweekschool" Bukittinggi yang
diterima untuk pertama kaIinya adalah 10 orang. Daya tarik
masuk menjadi murid "Kweekschool" Bukittinggi, yaitu
setiap murid diberi uang saku f 10+ Ibulan. Selain itu, mereka
juga diberi alat-alat tuIis.21 Jadi, bukan hanya dibebaskan dari
pembayaran uang sekolah, seperti yang dilakukan pada
Sekolah-sekolah Nagari.
Sepuluh murid "Kweekschool" Bukittingi yang pertama
itu dibagi dua kelompok, masing-masing keIompok terdiri
dari 5 murid. Kedua kelompok ini dipisahkan waktu
be1ajarnya. Kelompok pertama belajar dari pukul 07.00
10.00. Kemudian dilanjutkan oleh kelompok kedua yang
belajar dari pukul 10.30 - 01.30. 22 Mereka belajar setiap hari,
kecuali hari Minggu. Kurikulum yang digunakan
"Kweekschool" Bukittinggi ini belum jelas. Mata pelajaran
pokoknya terdiri dari berhitung, membaca, menuIis, dan
bahasa Melayu. Kegiatan belajar-mengajar "Kweekschool"
Bukittinggi sering pula terganggu, karena "lantai atas" Rumah
Bicara sering digunakan untuk rapat oleh pemerintah.
Kesepuluh murid "Kweekschool" Bukittinggi itupada
umumnya berasal dari Nagari-nagari sekitar Bukittinggi.
Bab IV - 85

.."

Mereka murid-murid Sekolah-sekolah Nagari dan diterima


tanpa melalui proses penyeleksian terlebih dahulu. Jika telah
memenuhi persyaratannya, yaitu berusia minimal 14 tahun
dan telah pandai menulis, membaca, dan berhitung, maka
mereka dapat diterima sebagai murid "Kweekschool"
Buki ttinggi. 23
Pada tahun-tahun selanjutnya, murid yang diterima di
"Kweekschool" Bukittinggi relatif bervariasi. Penerimaan
murid "Kweekschool" Bukittinggi dikembangkan dengan
menggunakan sistim jatah bagi daerah-daerah di Sumatera
Barat. Akan tetapi, peluang ini tidak dijalankan oleh daerah
daerah itu menu rut semestinya. Pengiriman calon murid dari
setiap daerah itu hanya sekedar untuk memenuhi jatah yang
telah disediakan, tanpa melihat kemampuan calon muridnya
terlebih dahulu. 24 Bahkan, pengiriman calon murid-murid itu
dilakukan pada waktu tidak bersamaan. 25 Rekrutmen murid
murid seperti ini menimbulkan konsekuensi tidak meratanya
kemampuan murid-murid "Kweekschool" Bukittinggi.
Keadaan ini menambah berat beban mengajar gurunya.
Murid "Kweekschool" Bukittinggi yang pertama
menyelesaikan pendidikannya ialah Saidina Asin gelar Khatib
Lebe. Ia sesungguhnya belum menamatkan seluruh pelajaran
nya. Akan tetapi, karena telah dianggap cakap untuk
mengajar, Saidina Asin dibolehkan untuk tidak merampung
kan pendidikannya. Ia diangkat sebagai guru Sekolah Nagari
diPayakumbuh, kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Setelah
itu, sejak tahun 1869 Saidina Asin ditunjuk menjadi guru di
"Kweekschool" Bukittinggi untuk menggantikan gurunya.
Abdul Latif. 26 Saidina Asin merupakan alumni "Kwcek
school" yang pertama dan guru Melayu ketiga yang mengajar
di "Kweekschool" Bukittinggi.
Selama sepuluh tahun pertama, 50 muridnya telah
menamatkan pendidikan di "Kweekschool" Bukittinggi.
Akan tetapi, hanya 13 orang yang menjadi guru, selebihnya
37 orang memilih untuk menjadi pegawai, seperti juru tulis,
pakhuismeester, mantri kopi, dan mantri cacar.27 Tingginya
86 - Boekittinggi Tempo Doeloe

minat alumni "Kweekschool" Bukittinggi menjadi pegawai


didorong oleh tingginya gaji pegawai dibanding gaji guru. Gaji
seorang guru Sekolah Nagari pada masa itu tidak banyak
berbeda dengan gaji seorang opas ata u tukang kuda
Controleur. 28 Penyimpangan ini agaknya ditolelir oleh
pemerintah Hindia Belanda, karena mereka yang relatif cukup
terampil juga dibutuhkan sebagai pegawai.
Ketiga belas alumnus "Kweekschool" Bukittinggi yang
menjadi guru di Sekolah Nagari itu, dapat dilihat pada Tabel
14 di bawah ini.

Tabe114

Alumni "Kweekschool" Bukittinggi Tahun 1866

No.
I---

Nama

Tempat Mengajar

--

I.

Saidina Asin gelar Khatib Lebe

Payakumbuh

2.

Moeh. Taib

Bukittinggi

3.

Moeh. Saleh

Bukittinggi (wafat 1866)

4.

Lipek gelar Raja Malenggang

Payakumbuh dan Puar Datar


---~--

5.

Imam Batuah

Batusangkar
--

6.

Khatib Bandaro

Halaban

7.

Sutan Mahakum

Halaban

8.

Bagindo Sutan

Solok

9.

Jumbang

Painan

10.

Si In gelar Rumah Panjang

Air Bangis

11.

Sutan Kalabiah

Lubuk Sikaping

--

12. Paca gelar Sutan Majalelo


--
13. Si Sore

Puar Datar
Panti

Sumber: Diolah dari Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang


(Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hIm. 178.
Bab IV - 87

Tabel15

Keadaan Murid-Murid "Kweekschool"

Bukittinggi Tahun 1866

~~~~-

No.

Nama/Usia Masuk

Pekerjaan
Orang Tua

Tanggal Masuk

Pongah (17)

Penghulu Suku

14 September 1861

2.

Limbago (20)

Penghulu Suku

27 Agustus 1862

3.

Puncak (24)

Pengo Andiko

27 Agustus 1862

4.

Bandaro (13)

Kepala Laras

16 April 1863

5.

Suwit (20)

Pedagang

1 Agustus 1864

6.

Moeh. Taib (17)

Pemborong

1 Agustus 1864

7.

Masut (20)

Swasta

1 September 1864

8.

Ombak (20)

Tuo Kampung

30 September 1865

9.

Abdul Wahid (18)

Pedagang

16 Agustus 1865

10. Raden Antar (IS)

Kepala Devisi

18 Agustus 1865

11.

Raden Syarif (22)

Kepala Devisi

18 Agustus 1865

12.

Bustam (17)

Pedagang2

13.

Usman (18)

Pedagang

9 Januari 1866

14.

Abdul Jamil (16)

Pakus

24 Maret 1866

15.

Sutan Sarif (18)

Kepa1a Laras

7 Mei 1866

16.

Pakah (18)

Pengo Kampung

7 Mei 1866

17.

Sail (20)

Pandai Emas

30 Juni 1866

18.

Tuwah (14)

Peng. Kamp ung

23 Juni 1866

19.

Moeh. Taib (16)

Pengo Kepa1a

31 Agustus 1866

Oktober 1865

Sumber: RusH Amran, Sumatera Barat PIakat Pflnjang (Jakarta: Sinar


Harapan, 1985), hIm. 177.
88 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Kondisi "Kweekschool" Bukittinggi itu dikecam -oleh


Mr. J.A. van der Chijs, Inspektur Pendidikan Bumiputera,
yang melakukan inspeksi pada tahun 1866. Ia menyatakan
bahwa "Kweekschool" Bukittinggi tidak ada bedanya dengan
Sekolah Nagari atau Sekolah Rendah Bumiputera lainnya.
Pelajaran ilmu mendidik yang seharusnya diajarkan tidak
diberikan kepada mudd-murid. Gurunya juga dinilai kurang
berkualitas. Selain itu, pengawasan terhadap pelaksanaan
belajar mengajamya tidak dilakukan oleh pejabat pemerintah
setempa t secara tertulis. 29
Keadaan seperti yang dilaporkan oleh van der Chijs itu
masih berlangsung sampai tahun 1872. Bahkan, pada tahun
1872 dilaporkan bahwa murid-murid membeli alat-alat
tulisnya dengan menggunakan uang saku yang diberikan
kepadanya,30 Oleh karena itu, supaya "Kweekschool"
Bukittinggi dapat mengemban misinya sebagai lembaga
pendidikan guru yang yang dimaksudkan, maka harus
diadakan perubahan total atas "Kweekschool" Bukittingi.
Van der Chijs mengusulkan supaya pemerintah
mendirikan sebuah Kweekschool saja untuk wilayah Sumatera.
Untuk itu ia merekomendasikan supaya Kweekschool didirikan
di Bukittinggi atau Padang,3l Pilihan ini diambil karen a van
der Chijs ini melihat banyaknya jumlah Sekolah Nagari di
daerah Sumatera Barat, yang sekaligus menunjukkan
tingginya animo masyarakat Sumatera Barat terhadap
pendidikan. Dari dua "kotal! yang diusulkan yaitu Bukittinggi
dan Padang, maka pili han dijatuhkan kepada Bukittinggi.
Selain telah adanya Sekolah Nagari yang cukup baik, posisi
dan geografis BUkittinggijuga mendukung dan dianggap
kondusifbagi pendidikan. Dengan demikian, "Kweekschool"
Bukittinggi yang telah dirintis sebelumnya, sekarang tinggal
mengembangkannya.

Sekolah Gum sebagai Sekolah Raja


Kecaman juga dilontarkan oleh van der Chijs terhadap
. kurikulum Kweekschool yang tidak sarna antara satu dan
l3ab IV

89

Iainnya. Untuk itu, ia menyarankan supaya dibuat kurikulum


standar Kweekschool, sehingga kualitas lulu san setiap
Kweekschool tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnya.
Berdasarkan Iaporan dan saran dari van der Chijs itu, maka
tanggal 16 Desember 1872 dikeluarkanlah Keputusan
Gubernur Jendral No. 275, yang berisi peraturan pelaksanaan
Kweekschool di seluruh Hindia Belanda.
Dalam rangka Keputusan Gubernur Jenderal itu
ditetapkan bahwa guru Kweekschool terdiri atas :
1.
Seorang guru Belanda, yang menjadi kepala
2.
Seorang guru Belanda, yang menjadi guru kedua
3.
Seorang guru Belanda, yang menjadi guru ketiga
4.
Seorang atau beberapa orang guru Melayu
Ditentukan pula kualifikasi guru kepala dan guru kedua
adalah orang yang telah memperoleh akta Hoofdonderwijs,
Bahasa Melayu, Ilmu Mengukur Tanah, daan Ilmu Bertanam.
Sementara guru ketiga dan guru Melayu tidak dituntut setinggi
itu. Guru Melayu mengajar menulis, membaca, berhitung,
dan bahasa Melayu. Adapun mata pelajaran yang diajarkan
di Kweekschool adalah Bahasa Belanda, Bahasa Melayu,
Berhitung, Ilmu Mengukur, Ilmu Bumi, Tambo (Hikayat
Hindia, Negeri Belanda, dan Dunia), Ilmu Alam, Ilmu
Bertanam, Ilmu Mengajar, Bernyanyi, dan Olah Raga.32
Pembaruan Kweekschool Bukittinggi mulai dilakukan
pada tanggal 1 Maret 1873,33 yang sekaligus menunjukkan
awalnya sebagai Sekolah Guru yang sesungguhnya. Sejak
peraturan yang ketat juga diterapkan terhadap murid
muridnya. 34 Mereka harus berpakaian rapi: baju dan celana
putih, pakai peci atau dester, selempangan, dan sepatu.
Mereka harus menjaga penampilan di tempat-tempat umum,
sehingga keberadaan mereka tampak berbeda dari
lingkungannya. Keadaan ini menimbulkan kebanggaan
tersendiri bagi murid-murid Kweekschool yang berasal dari
anak-anak pejabat Bumiputera, elite tradisional atau orang
kaya. Oleh karena itu, masyarakat Minangkabau menamai
Kweekschool Bukittinggi dengan Sekolah Raja. 3S
90 - Bockittinggi Tempo Doeloe

Berbagai fasilitas Sekolah Raja dibangun secara


bertahap. Adapun pertama dibangun adalah ruangan belajar
Sekolah Raja, yang terletak berdekatan dengan Rumah Bicara.
Akan tetapi, karena rumah sekolah itu baru selesai pada
tanggal 1 Juni 1873, maka untuk sementara tetap dipakai
"ruang bawah" Rumah Bicara. Seiring dengan itu, dibangun
pula kamar untuk masing-masing muridnya, yang terletak di
be1akang rumah sekolah. Dengan demikian, kegiatan murid
murid Sekolah Raja di luar jam sekolah dapat dipantau oleh
guru-gurunya. 36
Lokasi bangunan Sekolah Raja itu agaknya kurang ideal,
karena terletak di lereng bukit di sebelah utara Bukittinggi
dan tidak dapat dikembangkan menjadi suatu kompleks
sekolah. Oleh karena itu, lima tahun kemudian dibangun
sebuah kompleks Sekolah Raja Bukittinggi yang terletak di
sebelah Selatan Bukittinggi, yang topografisnya relatif datar.
Kompleks ini terletak di Sapiran, di sebelah baratjalan menuju
Padang dan berseberangan dengan bangunan Tangsi
Kompeni. 37 Bangunan utamanya terdiri dari sebuah gedung
sekolah. Pada sebelah belakang gedung sekolah itu dibangun
50 kamar untuk murid-murid dan 2 rumah dinas untuk guru
Melayu. Jumlah kamar ini dibangun lagi, seiring dengan
pertambahanjumlah muridnya. Pada tahun 1908, jumlahnya
telah mencapai 74 buah. 38
Kemudian berturut-turut pada tahun 1880, 1881, 1882
dibangun 3 buah rumah dinas, yang masing-masingnya untuk
guru ketiga, guru kedua, dan guru kepala. Pada tahun 1880
itu juga dibangun sebuah rumah Sekolah Privat
(Externenschoof) di samping gedung Sekolah Raja, sebagai
tempat praktek bagi muridmuridnya. Dengan demikian,
murid-murid Sekolah Raja tidak perlu pergi praktek ke rumah
Sekolah Agam, yang jaraknya relatif jauh.
Penerimaan murid Sekolah Raja pada peri ode pertama
ini juga belum diatur. Sistem penjatahan bagi daerah-daerah,
khususnya daerah luar Sumatera Barat tetap diberlakukan.
Sehingga, jumlah murid Sekolah Raja selalu berubah setiap
bulannya. Pada awal dibukanya tahun 1873, murid Sekolah
Bab IV - 91

Raja Bukittinggi berjumlah 15 orang, yang terdiri dari 9 or


ang murid lama dan 6 orang murid baru. Kemudian berturut
tumt bertambah pada bulan April 4 orang, Mei 3 orang, Juni
1 orang, Juli 3 orang dan Agustus 2 orang. 39 Mereka berasal
dari luar Sumatera Barat, seperti Bengkulu, Nias (Tapanuli),
dan Lampung.
Ketidakstabilan jumlah murid ini mengganggu
kelancaran proses belajar-mengajar. Apalagi tingkat
kemampuan mereka tidak sarna, karena ada di antara mereka
yang baru duduk di kelas 1 atau kelas 2 Sekolah Rendah.
Bahkan, ada yang belum pandai membaca sarna sekali.
Keadaan ini dicoba diatasi oleh Direktur Sekolah Raja dengan
mengadakan ujian kemampuan murid-murid Sekolah Raja
pada tanggal 9 Oktober 1873. Hasilnya adalah murid-murid
yang dapat diterima hanya 18 orang, yang dibagi atas dua
kelas, kelas rendah 6 orang dan kelas tinggi 13 orang.40
Adapun yang tidak lulus sebanyak 10 orang dipulangkan ke
daerah asal mereka masing-masing.
Pada tahun 1877 dilakukan sistem penerimaan mudd
bam. Setiap calon murid Sekolah Raja hams melalui dua kali
seleksi. Pertama, seleksi yang dilaksanakan oIeh Komisi
Sekolah daerah asal calon murid, untuk menentukan utusan
daerahnya. Kedua, seleksi yang dilakukan oleh Sekolah Raja
sendiri terhadap calon-calon murid dari utusan berbagai daerah
itu. Melalui sistem dari penerimaan murid yang baru
diharapkan tingkat kemampuan murid-murid Sekolah
yang diterima relatif sarna, dan pada gilirannya dapat
membantu kelancaran proses be1ajar-mengajarnya.
Murid-murid mulai belajar teratur dan dapat
menggunakan buku-buku yang lebih lengkap. Disiplin belajar
ditanamkan secara ketat, baik pada waktu jam sekolah
maupun di luar jam sekolah. Kegiatan murid-murid di luar
jam sekolah selalu dikontrol oleh gum-gurunya. Jika ada yang
melanggarperaturan sekolah, maka murid itu akan dikenakan
sanksi oleh Direktur Kwekschool Bukittinggi. Hal ini
dimaksudkan supaya tamatan sekolah ini benar-benar dapat
diandalkan. 41
92 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Akan tetapi, jumlah murid yang berasal dari daerah


Sumatera Barat tetap mendommasi jumlah murid Sekolah
Raja. Adapun jumlah murid dari luar daerah Sumatera Bariit
relatif tidak stabil, bahkan cenderung menurun. U ntuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabe116 di bawah ini.

Tabel16

Jumlah Murid Sekolah Raja

Tahun 1877-1892

No.

Daerah

1877

1882

1887

1892

l.

Sumatera Barat

35

37

43

40

2.

Bengkulu

3.

Lampung

4.

Palembang

5.

Riau

6.

Belitung

48

49

49

46

Jumiah

Sumber: Elizabet E Grave, The Minangkabau Respons to Dutch Colonial


Rule in the Nineteenth Century (Ithaca, New York: Cornell Indone
sia Modem Project, 1981), hIm. 116.

Pada tahun 1884pemerintah Belanda mengirim A.M.P.


Verkerk Pistorius untuk melakukan inspeksi terhadap sekolah
sekolah di Hindia Belanda. Ia melaporkan bahwa telah terjadi
kemunduran pendidikan Bumiputera, yang disebabkan oleh
rendahnya gaji guru, penghematan anggaran pendidikan,
pengeluaran yang tidak perIu, dan mutu guru yang rendahY
Khusus Kweekschool dikatakannya, bahwa murid-murid
dibebani dengan mata pelajaran yang kurang menunjang
profesi gurunya. Oleh karena itu, Pistorious menyarankan
untuk menghapus beberapa mata pelajaran, seperti Bahasa
Bab IV 93

Belanda, Ilmu Bertanam, dan Olah Raga. Secara umum ia


mengusulkan supaya dilakukan reorganisasi pendidikan
Bumiputera di seluruh Hindia Belanda, baik untuk pendidikan
tingkat rendah maupun tingkat lanjutan.
Setelah usul Pistorius itu dibahas oleh pemerintah pada
tahun 1891 dikeluarkan Peraturan tentang pendidikan dasar
dan lanjutan bagi Bumiputera.43 Dalam peraturan itu
disebutkan, bahwa pendidikan dasar Bumiputera dibagi atas
2 bagian. Pertama, Sekolah Kelas I untuk anak-anak kepala
pribumi, bangsawan, pegawai Belanda, dan orang kaya. Kedua,
Sekolah Kelas II untuk anak-anak Bumiputera biasa. 44 Hal
ini sekaligus menunjukan berbedanya fasilitas Sekolah Kelas
I dan Kelas II, baik kurikulum, jumlah dan kualitas guru,
maupun masa pendidikan. Perbedaan ini sekaligus
menunjukkan, bahwa pemerintah Hindia Belanda secara tegas
membagi masyarakat Bumiputera atas dua lapisan. Pertama,
yaitu lapisan yang atas yang terdiri dari golongan bangsawan,
pegawai Belanda, dan orang kaya. Kedua, lapisan bawah yang
terdiri dari rakyat biasa, seperti petani, buruh, atau golongan
rendah lainnya. 45
Sejalan dengan pembaharuan pendidikan itu,
pemerintah Hindia Belanda membagi wilayah Indonesia atas
lima resort pendidikan, yang didasarkan atas keberadaan
Kweekschool di daerah itu. Kelima resort itu adalah Bandung,
Magelang, Probolinggo, Fort de Kock (Bukittinggi), dan
Ambon. Masing-masing resort dikepalai oleh seorang
Inspektur Pendidikan dan dibantu oleh seorang Ajudan
Inspektur Pendidikan. Pejabat pendidikan di bawah resort
pendidikan adalah Komisi Sekolah, yang terdiri dari pejabat
pemerintah daerah setempat, baik orang Belanda maupun
Bumiputera. 46

Sekolah Guru Mendidik Pegawai


Pembaharuan sistem pendidikan pada tahun 1894
menyangkut peraturan tentang keberadaan Kweekschool
Bukittinggi atau Sekolah Raja ditingkatkan dari 3
94 - Boekittillggi Tempo Doeloe

menjadi 4 tahun. Penerimaan calon murid Sekolah Raja juga


diperketat. Dua persyaratan utamanya yaitu setiap calon
murid harus telah lulus Sekolah Kelas I atau Kelas II. Setelah
usia calon murid tidak boleh lebih dari 18 tahun.

Tabel17

Kurikulum Sekolah Raja

untuk Murid Calon Guru Tahun 1901

Lama Pemberian Pelajaran Perminggu


No

Mata Pelajaran
Kls I

Kls II

KlsIII

Kls IV

Kls V

1.

Bahasa Belanda

18

18

16

15

15

2.

Bahasa Melayu

3.

Ilmu Berhitung

4.

Ilmu Mengukur

5.

I1mu Mengukur Tanah

6.

Ilmu Bumi

7.

Sejarah

8.

Ilmu Alam

9.

Iimu Bintang

10

Ilmu Tumbuh-tumbuhan

II.

Ilmu Guru

12.

Menggambar

13.

Menulis

14.

Menyayi

L __

Sumber: R. Friederich, Gedenboek Samengesteld by' Gelegen-heid van her


35-jarig bestaan der KweekschooI yoor lnlandsche Onderwijjzers te Fort de
Kock (Arnhem: Threme, 1908), hIm. 40.

Bilb IV - 95

Akan tetapi, penyimpangan juga dilakukan oleh


Sekolah RajaY Lembaga pendidikan yang semula ditujukan
untuk mendidik calon guru, ternyata juga mendidik calon
pegawai. Hal ini dilakukan secara resmi oleh Sekolah Raja
sejak tahun 1901. Penyimpangan ini menimbulkan
konsekuensi, bahwa kurikulum dan proses belajar
mengajarnya harus pula disesuaikan. Sampai kelas 3 semua
murid Sekolah Raja, baik murid calon guru maupun murid
calon pegawai, mengikuti pelajaran yang sarna. Pemisahan
antara guru dan pegawai itu dilakukan pada kelas 4.
Bahasa Belanda yang sejak tahun 1894 dihapuskan,
sekarang diajarkan kembali. Bahkan, Bahasa Belanda
dijadikna mata pelajaran utama denganjumlahjam pelajaran
yang jauh lebih banyak daripada mata pelajaran lainnya.
Kebijakan ini didasarkan atas instruksi yang dikeluarkan oleh
Direktur Pengajaran, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda,
yang berkedudukan di Batavia. 48
Bagi calon guru yang telah duduk di kelas 4 dan 5
diberikan mata pelajaran Ilmu Guru. Setelah menyelesaikan
kelas 5, murid calon guru diharuskan mengikuti praktek
mengajar selama satu tahun, yang dilakukan di Sekolah Privat,
Sekolah Agam, Sekolah Kelas I atau Sekolaah Kelas II yang
terdapat di Bukittinggi. Untuk mendapatkan Surat Diploma
dan Surat Pengangkatan sebagai guru, mereka harus
dalam mengikuti ujian akhir yang dilakukan dihadapan
Komisi Sekolah. Penempatan dinas mereka terbatas di daerah
resort Bukittinggi, yaitu Sumatera dan Kalimantan Barat. 49

96 - Boekittinggi Tempo Doeloe

TabeI18

Kurikulum Sekolah Raja

Untuk Murid Calon Pegawai Tahun 1901

Lama Pemberian Pelajaran Perminggu


No.

Mata Pelajaran
K1s I

K1s II

K1sIII

K1s IV

K1s V

1.

Bahasa Belanda

18

18

16

15

15

2.

Bahasa Me1ayu

3.

Ilmu Berhitung

4.

Hmu Mengukur

5.

Hmu Mengukur Tanah

f--

------

Ilmu Bumi

6.
'---'

------

7.

Sejarah

8.

nmu Alam

Ilmu Bintang

Ilmu Tumbuh-tumbuhan

------

9.
f--

10
f----

II.

Menggambar

12.

Menulis

0
""-,

13.

Menyayi

14.

lImu Hukum

1
""'-

a
----

5
.""

IS.

Hukum Tata Negara dan


Administrasi Negara

16.

Ilmu Ekonomi

Sumber: R. Friederich, Gedenboek Samengesreld bi} Gelegen-heid van her


35-jarig bestaan der Kweekschool VOOI: Inlandsche Onderrvijjzers te Fort de
Kock (Arnhem: Threme, /908) dan Concept-leerplan voor de Ambrenaar
Cursus re Kweekschool te Fort de Kock (Fort de Kock, 1900). Arsip
Nasional SWK. No. 175.
Bab IV - 97

Adapun lama studi untuk murid calon pegawai adalah


5 (lima) tahun. Pada kelas 4 dan 5 diberikan mata pelajaran
yang berhubungan dengan Ilmu Pemerintahan, seperti
Rechtsweten- schap (Ilmu H ukum), Staats-en AdministratiefRecht
(Hukum Tata Negara), Staatshuishoudkunde (Ilmu
Ekonomi).50 Setelah menyelesaikan kelas 5, mereka akan
diberi Diploma oleh Komisi Sekolah.
Pendidikan pegawai yang dilakukan di Sekolah Raja,
(Opleidingschoolen voor Inlandsche Amptenaaren) di Sumatera
Barat. Sementara, tenaga pegawai semakin banyak dibutuh
kan, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan Politik Etis. Pada
tahap awal, yang diterima sebagai murid calon pegawai di
Sekolah Raja adalah yang berasal dari Sumatera Barat dan
Tapanuli. Kemudian, barulah diterima dari daerah Sumatera
lainnya dan Kalimantan Barat. Murid calon pegawai tidak
mendapat beasiswa, seperti halnya murid calon guru. Mereka
harus membayar seluruh biaya sekolahnya. Akan tetapi,
mereka tetap dapat tingga1 di asrama Sekolah Raja.
Akan tetapi, pada tahun 1908 Sekolah Raja tidak lagi
menerima ca10n pegawai, karena pegawai di daerah Sumatera
Barat dan Tapanu1i sudah mencukupi. Bagi murid calon
pegawai yang masih belajar pada tahun 1908, dialihkan
menjadi calon guru. Kebijakan ini tidak berlaku bagi mudd
calon pegawai yang berasal dari Aceh, karena daerah Aceh
masih membutuhkan pegawai. Pendidikan murid calon
pegawai asal Aceh baru dihentikan pada tahun 1916, setelah
Hollandsche Inlandsch School (HIS) didirikan di Aceh, yang
tamatannya dapat diangkat menjadi pegawai. S1 Bagi murid
murid yang belum dapat menyelesaikan pendidikannya pada
tahun 1916, mereka dipulangkan ke Aceh dan kebijakan
selanjutnya diserahkan kepada pemerintahan Hindia Belanda
di Aceh. 52
Memasuki abad ke-20 ini, Pemerintah Hindia Belanda
memperketat bantuan keuangan kepada Kweekschool. Subsidi
yang diberikan pemcrintah kepada setiap Kweekschool mulai
tahun 1900 adalah sebanyak f 100+ Ibulan. Subsidi ini
digunakan untuk membcli berbagai alat-alat tulis dan
98 - Boekittinggi Tempo Doeloe

pemeliharaan sekolah. 53 Subsidi ini kurang dari jumlah yang


diberikan selama ini. Pada tahun 1856, ketika Kweekschool
Bukittinggi masih dalam masa percobaan, jumlah subsidi yang
diterima sebanyak f 1.680+/tahun atau f 140+/bulan. 54
Demooan pula halnya dengan beasiswa yang diberikan kepada
murid-murid Sekolah Raja. Sebelum tahun 1900 jumlah
beasiswa yang diterima murid-muridnya sebanyak f 12+ sid
f 15 + Ibulan, sedangkan pad a tahun ini sebanyak f 10+ I
bulan. 55 Tindakan pemerintah Hindia Belanda ini tampak
bertentangan dengan Politik Etis yang sedang dijalankannya.
Pada tahun 1922, pemerintah Belanda melakukan
perubahan lagi terhadap Sekolah Raja. Perubahan itu
menyangkut lama studi di Sekolah Raja, yaitu dari 6 tahun
menjadi 4 tahun. Akan tetapi, kurikulum Sekolah Raja juga
ditambah dengan mata pelajaran dasar-dasar IImu
Kesehatan. 56
Perubahan lebih lanjut dilakukan oleh Pemerintah
Hindia Belanda dengan mendirikan Sekolah Guru Bumiputera
atau Hollandsche-Inlandsch Kweekschool (H.I.Kw.). Seiring
dengan itu, jumlah Kweekschool akan dikurangi dari 11
Kweekschool menjadi 5 Kweekschool. Kelima Kweekschool yang
tinggal itu akan langsung dijadikan H.I.Kw. Untuk itu,
dibentuk tim penilai Kweekschool, yaitu Werkcommissie voor
het Kweekschool, yang terdiri dari 5 Lid Onderwijsraad. Lembaga
ini ditugaskan untuk mempelajari segala sesuatu yang
menyangkut perubahan dan penciutan jumlah Kweekschool. 57
Mereka diberi waktu untuk merumuskan rancangan itu dari
tanggal 22 Februari 1922 sid 7 Maret 1927. 58
Sekolah Raja Bukittinggi merupakan salah satu
Kweekschool yang terkena likuidasi. Sebagai gantinya, untuk
resort Sumatera dan Kalimantan Barat akan didirikan H.I.Kw.
di Medan. 59 Rencana ini disampaikan o1ch Komisi Kerja
ketika berlangsung penerimaan murid baru di Sekolah Raja
pada tanggal 1 September 1922. Penerimaan mudd
sekaligus merupakan penerimaan murid H.W.Kw. Sementara
itu, murid-murid itu "dititipkan" di Sekolah Raja Bukittinggi.
Bab IV - 99

Adapun sebagai ganti Sekolah Raja nantinya akan didirikan


M.D.L.o. di Bukittinggi.
Masyarakat Minangkabau merasa keberatan dengan
rencana kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu. Sekolah
Raja telah dianggap sebagai "pelita yang menerangi alam
Minangkabau". Usaha menolak kebijakan likuidasi
Kweekschool itu disusul dengan mengirim utusan kepada
Gubernur Jenderal di Bogor. Gubernur Jenderal diminta untuk
meninjau kembali kebijakan itu.
Pada saat yang sarna, pada tanggaI 1 Mei 1927 diadakan
pertemuan di Bukittinggi untuk membahas permohonan
kepada pemerintah supaya H.I.Kw. didirikan di Bukittinggi.
Rapat ini dipimpin oleh Nawawi gelar Sutan Makmur sebagai
Ketua dan Abdul Munit sebagai sekretaris. Keduanya,
Nawawi dan Abdul Munit adalah guru Sekolah Raja. Rapat
ini dihadiri oleh sekitar 30 orang, yang terdiri dari berbagai
lapisan masyarakat.
Setelah mendengar pendapat yang dikembangkan
dalam rapat itu, disepakati oleh semua peserta rapat untuk
mempertahankan Sekolah Raja Bukittinggi, yang telah
menjadi "trade mark" Kota Bukittinggi. Karena itu diusulkan
kepada Komisi Kerja dari Kweekschool untuk mendirikan
H.I.Kw. di Bukittinggi. Kepada Gubernur JenderaI di Bogor
diminta untuk meninjau kembali kebijakan pemerintah untuk
melikuidasi Sekolah Raja. 60
Permintaan masyarakat $umatera Barat (Minangkabau)
untuk mendirikan H.I.Kw. di Bukittinggi tidak mendapat
perhatian dari pihak Gubernur Jenderal. Pemerintah tetap
berpegang kepada keputusan untuk mendirikan H.I.Kw. di
luar daerah Sumatera Barat. Bahkan, rencana untuk
mendirikan H.I.Kw. di Medan pada akhirnyajuga dibatalkan.
H.I.Kw. yang dimaksudkan akan dipindahkan ke Bandung. 61
Sementara itu, Sekolah Raja direncanakan akan ditutup
pada tahun 1933. Selama masa peralihan itu Sekolah Raja
tetap menjalankan fungsinya sebagai Sekolah Guru. 62 Setelah
tahun 1933, murid-muridnya dapat memilih melanjutkan ke
100 - BoekiUinggi Tempo Doe!oe

H.LKw. Bandung, atau tetap di Bukittinggi untuk melanjutkan


ke MULa. Pilihan lainnya ialah murid-murid Sekolah,Raja
dapat juga melanjutkan ke Sekolah Guru Padang.:atau
Padangpanjang yang dikelola oleh swasta.

MuncuInya Elite Barn


Kehadiran lembaga pendidikan Barat (sekolah) di
Sumatera Barat umumnya dan Bukittingi khususnya, tidak
hanya menimbulkan aktivitas intelektual yang berdampak
kultural-ideologis, melainkanjuga mempunyai dampak sosial,
politik, dan ekonomi. Dampak kultural atau ideologisnya
yaitu dengan pendidikan mereka mengenal dan menyerap ide
ide mengenai modemisasi/westemisasi sebagai jalan keluar
dari ikatan-ikatan tradisi yang menghambat kemajuan. 63
Dampak sosialnya yakni dengan pendidikan itu mereka
mempunyai peluang untuk melakukan mobilitas vertikal, yang
sekaligus menerobos tatanan sosial tradisional maupun
rasional. 64 Dampak ekonominya ialah dengan pendidikan itu
mereka dapat memasuki lapangan pekerjaan di sektor-sektor
Barat yang secara ekonomi lebih baik daripada sektor-sektor
tradisional. 65 Pekerjaan ini didasarkan atas achieve status, bukan
dengan ascribe status seperti yang terjadi dalam masyarakat
tradisional. Dengan memasuki pekerjaan di sektor-sektor
Barat, khususnya birokrasi kolonial, kelompok intelektual
yang bersangkutan sekaligus dapat memperoleh kekuasaan. M
Van Niel bahkan mengatakan, bahwa kelompok elite baru
ini mernpakan pemimpin barn yang lebih dinamis daripada
elite tradisional. 67
Sekolah Guru Bukittinggi, baik pada Periode Percobaan
(1856-1873) maupun pada Periode Sekolah Raja (1873-1933),
pada awalnya didirikan untuk memenuhi kebutuhan guru di
Sumatera Barat. Akan tetapi, para tamatannya lebih banyak
yang tertarik untuk menjadi pegawai pemerintah atau swasta.
Bahkan, sejak dibukanya Peradilan Barat di Sumatera Barat
pada tahun 1875, banyak pula tamatan Sekolah Raja yang
memilih menjadi jaksa. 68
Bub IV - 101

Terlepas dari itu, yang penting diungkapkan di sini adalah


Sekolah Raja telah menghadirkan elite baru, yaitu golongan
intelektual dalam masyarakat Minangkabau. Mereka
dikondisikan untuk "berbeda" dengan masyarakat
tradisionalnya. Akan tetapi, pemerintah Hindia Belanda
dengan rasialisasi tetap menganggap mereka sebagai golongan
Bumiputera. Penempatan mereka dalam birokrasi
pemerintahan lebih sebagai perpanjangan tangan pemerintah
Kolonial Hindia Belanda. Dalam hal ini, pemerintah
menjadikan mereka sebagai aristokrat baru. Taufik Abdullah
menyebut mereka dengan schakel society, golongan yang
menjadi perantara antara bangsa Belanda dan Bumiputera. 69
Sungguhpun demikian, golongan intelektual inilah yang
mampu merumuskan struktur masyarakat Hindia Belanda.
Memasuki abad ke-20, mereka merupakan golongan yang
paling sadar akan keberadaan Bangsa Belanda di Indonesia.
Mereka melihat hubungan antara bangsa Belanda dan rakyat
Indonesia, tidak lebih sebagai bangsa penjajah dan terjajah.
Selain itu, golongan ini menawarkan strategi baru dalam
rangka menghadapi bangsa Belanda, yaitu organisasi, untuk
berhadapan dengan Belanda.

102 - Boekittinggi Tempo Docloe

Catatan Akhir

Sidi Ibrahim Buchari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Is


lam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga,

1981), hIm. 69-75.

Dalam pendidikan surau ini dikenal beberapa tingkatan guru yang

didasarkan atas ketinggian ilmu agamanya. Berturut-turut dad

tingkat yang tertinggi ilmunya adalah Syekh, Tuanku, Guru Tuo,

dan yang paling rendah Guru Mudo. Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup

Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Ulama di Sumatera

(Jakarta: Umida, 1984), hIm. 36.

Lebih lanju tentang perkembangan Iembaga pendidikan tradisional

di Minangkabau, Iihat Azyumardi Azra, "Surau and the Early Re

fonn Movents in Minangkabau ", Mizan no. 3 Tahun II/1990, hIm.

65-85.

H.E. Steinmetz, "Inlandsche Ondetwijs van Overheidwege in de


Padangsche Bovenlanden voor 1850", BKJ, Nop. 64 Tahun 1924,
hIm. 311-312.
Sekolah yang pertama didirikan di Sumatera Barat adalah pada
tahun 1825 di Padang. Pendirian sekolah diprakarsai oleh de Stuers,
Residen Sipil dan Militer Sumatera Barat (1823-1829). Sekolah ini
diperuntukkan bagi anak-anak Belanda, serdadu, dan peranakan.
Pada prinsipnya sekolah ini juga dapat menerima anak-anak
Bumiputera. Akan tetapi, kehadiran sekolah ini kurang mendapar
perhatian dari masyarakat Minangkaba u. Para orang tua
Bumiputera beranggapan bahwa sekolah Belanda itu akan mendidik
anak-anak mereka menjadi Kristen atau serdadu Belanda. Lihat
Rusli Amran, Sumatra Barat Plakat Panjang (J akarta: Sinar Harapan
, 1985), hIm. 150-153.
Elizabeth E. Grave. The Minangkabau Response to Dutch Colonial
Rule in the Nineteenth Century (Ithaca, New York: Cornell Modern
Indonesia Project, 1981), him. 79.
Reglement voor Inrichting der Malaische Scholen in de Padal1g

Bovenlanden. Fort de Kock, den 25 November 1843. Art. 5.

Nasional SWKNo. 275. Lihatjuga Yunul Masri, "Sekolah Raja di

Bukittinggi: Perkembangan setelah Pembaruan Pendidikan 1894"

(Padang: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas,

1994), hIm. 26-48.

Rusli Amran, op. cit., him. 160.

"Reglement voor inrichting der Malaische Scholen in de Padangschc

Bab IV - 103

10
II

12

13

14

IS
16

11

18

19
20

21
22
23

24

2S
26
27

Bovenlanden", Fort de Kock, den 25 November 1843. Art. 1. Arsip


Nasional SWKNo. 257.
RusH Amran, op. cit., him. 154162.
Akan tetapi, tidak semuanya yang melanjutkan ke kelas berikutnya.
Sebanyak 106 murid meninggalkan seko1ah dengan berbagai alasan.
Adapun yang mengikuti pendidikan sampai akhir hanya 75 orang.
Ibid,. hIm. 152.
Berdasarkan kebutuhan dan tersedianya tenaga guru bagi Sekolah
sekolah Nagari, dapat pula dipetakan bahwa penyebaran Sekolah
sekolah N agari sejajar dengan penyebaran gudang-gudang kopi yang
dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda.
"Reglement voor Inriehting der Malaisehe Seholen in de Padangsehe
Bovenlanden" I Fort de Koek, den 25 November 1843. Art. 4. Arsip
Nasional SWKNo. 257.
V. Verbrugge, "Het Inlandseh Onderwijs in Nederlandseh Indie
Volgens het Verslag over 1866", TNINo. 3 Tahun 1869. him. 296.
Besluitvan Gouve,neurGeneraal, No. 13 Tanggall April 1856.
"Kweeksehool" Bukittinggi ini merupakan Seko1ah Guru yang
pertama didirikan di Iuar Jawa. Berturut-turut Kweekschool yang
didirikan di Hindia Be1anda adalah Kweekschool Surakarta (1852),
Bandung (1866), Tondang (1873), Ambon (18740, Probolinggo
(1875), Banjarmasin (1875), dan Padangsidempuan (1879). Rush
Amran, Ibid., hIm. 176.
01eh karen a untukmembedakan "Kweeksehoo1" Bukittinggi pra
Seko1ah Raja atau sebelum tahun 1873 diberi tanda petik, sedangkan
Kweekschool atau Sekolah Raja Bukittinggi sesudah tahun 1873,
dimiringkan.
Elizabeth E. Grave, op. cit., hIm. 96.
Rush Amran, op. cit., him. 164.
Selain mengajarbahasa Melayu, Abdul Latifjuga mengajar menulis,
membaca, dan berhitung. R. Friederich, Gedenboek Samengsteld bi)
Gelegenheid van het 35Jariq Bestaan der Kweekschool voor Inlandsche
Onderwijzers te Fort de Kock (Arnhem: Thereme, 1908), hIm. 10.
Ibid.
Ibid.
Ibid., him. 12.
Ibid.
Lihattabell5.
Rush Amran, op. cit., hIm. 164165 dan 177.
R. Freiderieh, op. cit., hIm. 11.

104 - Boekittinggi Tempo Doeloe

28
29

30
31

32

33
34

35
36

37

38

39
40

41

42
43

44

4S
46

Rusli Amran, Op. cit., hIm. 163.


Van der Chijs, "Bijdragen tot de Geschiedenis V h Inlandsch
OndelWijs in Nederlandsch Indie aan Officieele Bronnenentleend",
TBG No. 16 Tahun 1867. Ia malah memuji Kweekschool yang
didirikan oleh William Iskandar di Tanah Bato pada tahun 1865.
William Iskandar adalah seorang lulusan Sekolah Guru di Negeri
Belanda. Lihat H. Kroeskamp, Early Schoolmasters in a Developing
Country: A History o/Experiment in School Education on 1911 Century
Indonesia (Assen: van Goecum, 1938), hIm. 322-323.
R. Freiderich, op. cit. hIm. 14.
Kweekschool Tanah Bato ditutup pada tahun 1874. Lihat juga
Fahzulmiardi, "Sekolah Raja di Bukittinggi Tahun 1873-1892".
Skripsi Sarjana. Padang: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universi
tas AndaIas, 1993), hIm. 35-50 dan Yunul Masri, loc.cit.
R. Freiderich,_op. cit., hIm. 15-17.
Ibid., hIm. 17.
Murid-murid harus mentaati peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan oleh sekolah. Lihat "Huishoudelijk Reglement" dalam
Ibid., him. 59-65. Peraturan ini terdiri dari 14 ayat keterangan dan
tambahan.
Lihat Elizabeth E. Grave, op. cit., hIm. 112-117.
R. Freiderich, op. cit., him. 19.
Rumah Sekolah lama yang terletak di dekat kuburan Belanda
dijadikan rumah Sekolah Nagari, yang diberi nama Sekolah Agam.
Sekolah Agam ini dijadikan tempat praktek bagi murid-murid
Kweekschool Bukittinggi. Ibid. hIm. 24-25.
Pada awal tahun ajaran akan dibangun lagi beberapa kamar untuk
murid-murid dan sebuah rumah dinas guru Belanda, yang ditegaskan
untuk menjaga murid-murid Sekolah Raja itu. Bangunan itu terletak
di seberangjalan didepan Sekolah Raja. Ibid. hIm., 55.
Ibid., him. 19.

Ibid.
RusH Amran, op. cit., him. 163.
R. Freiderich, op. cit., him. 21-25.
StaadsbladvanNederlandsch.IndieTahun 1891 No. 125.
Adapun di Sumatera Barat Sekolah Kelas I disebut oleh masyarakat
Minangkabau Sekolah Gubernement dan Sekolah Kelas II disebut
dengan Sekolah Nagari.
StaatssbladvanNederlandch-IndieTahun 1893 No. 125.
Ibid.
Bab IV 105

Penyimpangan tujuan didirikan Sekolah Raja Sesungguhnya secara


tersembunyi telah berlangsung lama. Bahkan, dari 50 tamatan
"Kweekschool" Bukittinggi selama satu dasa warsa pertamanya.
hanya 13 orang yang memilih menjadi guru. Lihat Tabel 14.
Keadaan ini ditoledr oleh pemerintah Hindia Belanda, meskipun
murid-murid calon guru itu diberi beasiswa. Oleh karena itu,
penyimpangan ini secara prinsipnya adalah pengakuan secara for
mal, bahwa tamatan Sekolah Raja diberi kesempatan tidak hanya
untuk menjadi guru.
48 Secara resmi Bahasa Belanda diajarkan kembali pada tahun 1904.
R. Freiderich, op. cit., hIm. 28.
49 Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1912 No. 18I.
so Ibid.
Sl "Telegram Gouvernements Secretaris" tangga128 Juni 1916 No.
954. Arsip Nasional SWK. 175.
52 Ibid.
53 StaatsbladvanNederlandsch-IndieNo. 133. Tahun 1900.
54 V. Verbrugge, "Het Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch Indie
Volgents het Verslag over 1866", dalam TNINo. 3 Tahun 1869,
hIm. 398-400.
55 Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1902 No. 432.
56 Staatsblad van Nederlandsch-IndieTahun 1922 No. 807.
57 Lid Onderwijsraad ini mengambil keputusan dan rancangan yang
terdiri dari 9 pasal, yaitu; aturan urn urn tentang pe1ajaran, program
examen acte, leerplllan, syarat-syarat buat masuk Kweekschool,
reglemen, axamen, dan syarat-syarat menjadi guru HIS. Aboean
Goeroe-Goeroe No.5, Mei 1927, hIm. 5253.
58 Secara berangsur-angsur 6 Kweekschoo/lainnya secara perlahan akan
dihapuskan, mulai dari Kweekschool Muara Enim, Unggaran,
Probolinggo, Bukittingi, dan Magelang. Aboen Goeroe-Goeroe No.6
Juni 1927, him. 61.
59 Medan dipilih karena merupakan ibukota Provinsi, relatif jauh
lebih ramai, mudah dijangkau daerah Ria u, Bangka, dan Kalimantan
Barat.
60 Ibid, him. 64.
61 Aboen Goeroe-GoeroeNo. 10, Oktober 1927, him. 142.
62 StaatsbladvanNederlandsch-IndieTahun 1933 No. 308.
63 Mestika Zed, "Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu
Pengetahuan: Suatu Perspektif Sejarah" dalam Forum Pendidikan
No.3 Tahun 1986.
47

106 - Boekittinggi Tempo Doeloe

64

65

66

67

68

69

W.E Wertheim, Indonesia Society in Transition Study of Social Change


(The Hague dan Bandung, 1956),hlm.127-128.
Sartono Kartodirdjo, Modern Indonesia: Tradistion and Transforma
tion (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1984), hIm. 126.
Ibid. him., 126.
Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesia Elite (The
Hague dan Bandung: Sumur Bandung, 1960), hlm. 89.
Tentang terbentuknya Pengadilan Barat ini Iihat Rusli Amran, op.
hlm. 221-244.
Taufik Abdullah, "The Making of Schakel Society: The
Minangkabau in the Late of 19 th Century", dalam Papers ofthe
Dutch - Indonesian Historical Conference (LeidenlJakarta: The Bu
reau ofIndonesia Studies Under Auspices of Dutch and Indone
sian Steering Commitees ofthe Indonesiaan Studies Program, 1978).
Him. 143-153.

Bab IV - 107

Bab V
Bukittinggi dan
Pergerakan NasionaI
di Sumatra Barat

Pergerakan N asionaI di Sumatra Barat

ergerakan nasional di Sumatra Barat terkait erat dengan


modernisasi Islam yang telah berkembang lebih awal.
Modernisasi Islam yang dilakukan oleh Kaum Muda l
sejak awal abad ke-20, pada paruh kedua tahun 191O-an mulai
mendapat pengaruh pergerakan nasionaJ. Modernisasi Islam,
yang juga merupakan gejala perkotaan,2 pada gilirannya
berkembang menjadi dasar bagi pergerakan nasional di
Sumatra Barat.
Ada tiga kota di Sumatra Barat yang menonjol peranan
nya, baik sebagai pusat pembaharuan Islam maupun sebagai
pusat pergerakan nasional. Ketiga kota itu adalah Bukittinggi,
Padangpanjang, dan Padang. Berbeda dengan Padangpanjang
dan Padang, peranan Bukittinggi dalam bidang politik mulai
menonjol setelah Peristiwa Silungkang tahun 192611927.
Awalnya adalah ketika dilakukannya Konferensi Ulama se
Sumatra Barat di Bukittinggi pada tahun 1928. Kesuksesan
Konferensi Ulama ini dalam menolak pelaksanaan Ordonansi
Guru Tahun 1925 di Sumatra Barat, telah mampu
menghapuskan trauma Peristiwa Silungkang Tahun 19261
1927.

Pada awalnya modernisasi Islam yang dilakukan oleh


Kaum Muda menimbulkan pertentangan dengan elite
tradisional adat (golongan penghulu) dan agama (golongan
ulama). Berbeda dengan golongan penghulu, golongan ulama
merasa lebih ditantang oleh Kaum Muda. Hal ini disebabkan
karena modernisasi Islam memang lebih ditujukan untuk
memumikan pelaksanaan ajaran Islam dengan berdasarkan
hanya kepada al-Quran dan Hadist. Ajaran-ajaran Islam yang
dianggap menyimpang dan telah menyebabkan kemunduran
Islam haruslah ditinggalkan. 01eh karena itu, golongan
u1amalah sebagai pemegang otoritas. Pelaksanaan ajaran Is
lam merasa terusik dengan kehadiran Kaum Muda. Pada
konteks inilah dapat dipahami penamaan Kaum Muda sebagai
golongan modernis atau reformis, dan Kaum Tua sebagai
golongan konservatif atau tradisionalis. 3
Keduanya, Kaum Muda dan Kaum Tua, terlibat dalam
petentangan ide yang diselenggarakan melalui tabligh dan
media cetak. Selain ltu, Kaum Muda 1ebih terbuka dibanding
Kaum Tua dalam menerima ide-ide dari Barat. Oleh karena
itu, tidak mengherankan kalau Kaum Muda kemudian
mengadopsi sistem pendidikan Barat (Belanda) dalam
pendidikan Islam. Kaum Muda memodernisasi sistem
pendidikan surau yang telah mereka bina sebelumnya, atau
dengan mendirikan sekolah agama.
Pengaruh pergerakan nasional mulai masuk ke Sumatra
Barat pertama kali dibawa oleh para perantau (golongan
intelektual dari Barat). Organisasi yang dijadikan alat sckaligus
menjadi ciri pergerakan nasional diperkenalkan pertama kali
oleh Bagindo lama1uddin Rasyad kepada murid-murid
Sekolah Sumatra Thawalib dan Diniyyah di Padangpanjang
pada tahun 1918. Ketika itu, Bagindo lamaluddin Rasyad
menyampaikan pentingnya organisasi untuk mencapai tujuan
bersama. Ia juga menyampaikan, bahwa dalam hal ini lawa
telah 1ebih dulu mendirikan "Budi Utomo" dan "long lava'.
Pidato Bagindo lamaluddin Rasyad itu berpcngaruh
cukup besar, sehingga telah mengilhami murid-murid Sumatra
110 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Thawalib untuk mendirikan sebuah organisasi, yang


dinamakan dengan "Perkumpulan Sabun". Penamaan
organisasi ini sesuai dengan fungsi yang diembannya, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan sehari-had para mudd Sumatra
Thawalib, seperti sabun, teh, kopi, dan lain-lainnya. Pada tahun
1918, kegiatan organisasi ini diperluas dengan mengadakan
diskusi antarmurid Sumatra Thawalib. "Perkumpulan Sabun"
diubah namanya menjadi Debating Club. Peminatnya tidak
hanya dari kalangan mudd-murid dan guru-guru Sumatra
Thawalib, tetapi juga masyarakat luas lainnya.
Seiring dengan perkembangan itu, masih pada tahun
1918, didirikanlah organisasi "Sumatra Thawalib", yang
berarti persatuan murid-murid (kecil) Sumatra. Penambahan
nama Sumatra didasari karena murid-murid Sumatra Thawalib
berasal dari seluruh Sumatra. Bahkan, ada di antara mereka
yang berasal dari Malaysia dan Singapura. Maka, mulailah
organisasi itu dijalankan menurut manajemen organisasi.
Sementara itu, di Jawa telah tumbuh pula berbagai organisasi,
baik yang bersifat sosial, kepemudaan, maupun politik dengan
skala kedaerahan atau nasional. Tidak dapat dipungkiri, bahwa
pergerakan nasional di Sumatra Barat dipengaruhi oleh
pergerakan nasional di Jawa. Perbedaannya ialah gerakan
nasionalterkotak dalam ideologi nasional, Komunis, dan Is
lam. Sedangkan di Sumatra Barat, pengkotakan demikian
relatif tidak kentara. Sungguhpun begitu, kehadiran Kaum
Muda di Sumatra Barat sejak awal abad ke-20 mendominasi
suasana pergerakan nasional. Sejak tahun 1920-an generasi
kedua Kaum Muda dapat pula menjembatani ketiga ideologi
itu. Bahkan, tidak dapat disangkal keterlibatan murid-murid
Kaum M uda dalam Pemberontakan Silungkang cukup intens.

Kontribusi Kota Bukittinggi


dalam Pergerakan Nasional
Pembicaraan dalam sub-bab ini difokuskan kepada aksi
aksi yang dilakukan di Bukittinggi, yang mempunyai gaung,
Bab V-Ill

baik untuk tingkat daerah Sumatra Barat maupun nasional


(Indonesia). Sehubungan dengan itu, ada tiga peristiwa yang
dapat dianggap representatifuntuk dikemukakan lebih lanjut.
Pertama, Konferensi Ulama se- Sumatra Barat yang diadakan
pada tanggal19 Agustus 1928. Kedua, Kongres Muhamadiyah
ke-19 yang di1aksanakan pada tanggal 14-21 Maret 1930.
Ketiga, Kongres Permi I diselenggarakan pada tanggal 24-27
Mei 1930.

Konferensi Ulama se-Sumatra Barat


Pada tahun 1928 Pemerintah Hindia Belanda merenca
nakan untuk menerapkan Ordonansi Guru Tahun 1925 di
daerah Sumatra Barat. Rencana ini termasuk yang terakhir,
karena di daerah lain, seperti Aceh, Sumatra Timur, Tapanuli,
Riau, Palembang, Menado, dan Lombok. Ordonansi Guru
Tahun 1925 telah dilaksanakan sejak tanggal I Januari 1927.~
Bahkan, di daerah Jawa dan Madura Ordonansi Guru Tahun
1925 telah diberlakukan tidak lama setelah dikeluarkan, yaitu
sejak tangga11 Juni 1925. 5
Ordonansi Guru Tahun 1925 merupakan peraturan
tentang keharusan bagi setiap ulama atau guru agama Islam
untuk memberi tahu pemerintah setempat sebelum melaksana
kan tugasnya. 6 Kebijakan pemerintah Kolonial Belanda ini
ditujukan untuk dapat mengontrol lembaga pendidikan Is
lam, karena disinyalimya, bahwa ulama dan guru agama dapat
menimbulkan rasa permusuhan rakyat dan mengakomodimya
untuk menentang pemerintah. Sehingga, pada gilirannya akan
dapat mengganggu rust en orde. Pelaksanaan Ordonansi Guru
Tahun 1925 di Sumatra Barat, cukup mendesak karena melihat
Peristiwa Silungkang tahun 192611927, yang melibatkan
banyak guru dan murid sekolah agama. 7
Pemberlakuan Ordonansi Guru Tahun 1925 ini
mendapat kecaman dari berbagai organisasi sosial dan politik,
seperti dari Serikat Islam dan Muhammadiyah. Akan tetapi,
penolakan Ordonansi Guru Tahun 1925 yang lebih keras dan

112 - Boekittinggi Tempo Doeloe

berhasil dilakukan adalah di Sumatra Barat. Sebelum reneana


pemberlakuan Ordonansi Guru Tahun 1925 di daerah
Sumatra Barat, seeara terpisah ulama Kaum Muda telah
menyatakan sikap penolakannya. Penolakan ini dinyatakan
oleh Syekh Abdul Karim Amrullah, ketika mendapat kabar
dari menantunya, A.R. Sutan Mansyur yang baru kembali
dari menghadiri Kongres Muhamadiyah ke-17 di Pekalongan
pada tahun 1927.
Penolakan lebih meningkat setelah Dr. L. de Vries,
pejabat Urusan Pribumi yang ditugaskan untuk menjejaki
pelaksanaan Ordonan~i Guru Tahun 1925 di Sumatra Barat.
Ia berusaha untuk mendekati para pejabat Bumiputera dan
penghulu serta pengikut Kaum Tua. Di daerah rantau seperti
di Lubuk Sikapiang, Sawahlunto, Muaro Labuah, Balai Selasa,
dan Kerinei, de Vries dapat meyakinkan bahwa Ordonasi Guru
Tahun 1925 bermaksud baik. Akan tetapi, di daerah darek,
terutama di kota-kota: Bukittinggi, Padangpanjang,
Payakumbuh, dan Batusangkar, de Vries mendapat kesulitan
karena daerah darek ini merupakan basis gerakan Kaum Muda.
Kota Bukittinggi memegang peranan sentral dalam
menolak Ordonansi Guru Tahun 1925 di Sumatra Barat.
Peranan Bukittinggi mulai sejak pertama sekali dicetuskan
penolakan Ordonansi Guru Tahun 1925, yaitu ketikan
diadakan rap at tertutup di Surau Syekh Muhammad Jamil
Jambek, BUkittinggi. Rapat itu di prakarsai oleh Syekh Abdul
Karim Amrullah dengan mengundang dua puluh orang ulama
Kaum Muda dan bekas muridnya. Agenda pokok rapat adalah
membahas pengorganisasian penolakan Ordonansi Guru
Tahun 1925. Adapun bentuk penolakan itu diputuskan dengan
mengadakan Konferensi Ulama se-Sumatra Barat.
Pada tanggal 19 Juli 1928 diadakanlah rapat ke-2 di
tempat yang sarna, di Surau Syekh Muhammad Jamil
Jambek, Bukittinggi. Peserta rapatnya teIah meluas dengan
hadimya sejumlah ulam Kaum Tua dan penghulu. Bahkan,
yang terpilih sebagai Ketua Panitia Konferensi adalah H.
Abdul Majid Abdullah, seorang pengikut Kaum Tua. 8 Selain
BabV-I13

itu, disepakati pula bahwa Bukittinggi dijadikan sebagai


tempat Konferensi Ulama se-Sumatra Barat. Adapun tempat
dan waktunya ialah di Surau Syekh Muhammad Jamil
Jambek, pada tanggal 19 Agustus 1928. Keputusan yang
terakhir yaitu ditunjuknya beberapa guru dan murid Sumatra
Thawalib untuk menyampaikan undangan kepada para ulama
dan guru agama di seluruh Sumatra Barat. 9 Untuk menjawab
pertanyaan ini perlu kiranya diuraikan latar belakang politik
di Sumatra Barat. Ada tiga kota yang menonjol peranannya
dalam maraknya konflik Kaum Muda dan Kaum Tua dan
pergerakaan nasional di Sumatra Barat. Ketiga kota itu adalah
Padang, Padangpanjang, dan Bukittinggi. Hubungan ketiga
kota itu semakin intensif setelah dibukanya jalur kereta api
sejak akhir abad ke-19 di Sumatra Barat.
Sejak peristiwa Silungkang tahun 1926/1927 peran
Padangpanjang sebagai pusat pendidikan Islam yang selama
ini lebih dominan, sekarang mulai surut. Meskipun pemerintah
Hindia Belanda telah "mengamankan" para guru dan murid
Sumatra Thawalib Padangpanjang yang terlibat, namun
kecurigaannya tetap saja tinggi. Sehingga kalau Padangpan
jang dijadikan sebagai tempat Koferensi diramalkan akan
menghadapi kendala yang cukup berarti. Selain itu, kondisi
Kota Padangpanjang yang ditimpa musibah gempa bumi
masih porak poranda.
Semen tara Kota Padang, ibukota Resic!.ensi Sumatra
Barat kurang menguntungkan karena diperkirakan dukungan
masyarakatnya relatif kecil. Meskipun Syekh Abdullah
Ahmad, seorang ulma Kaum Muda berdomisili di Padang,
akan tetapi ia telah menampakkan sikapnya untuk menerima
Ordonansi Guru Tahun 1925. Selain itu, ditinjau dari sudut
geografis, Padang kurang strategis bila diakaitkan dengan
keterbatasan sarana transportasi pada masa itu.
Adapun Bukittinggi dapat dianggap cukup ideal sebagai
tempat pelaksanaan Konferensi Ulama se-Sumatra Barat.
Dukungan yang penuh dati Syekh Muhammad Jamil Jambek
merupakan faktor yang cukup menentukan. Ia disegani oleh
114 - Boekittinggi Tempo Doeloe

pemerintah Hindia Belanda, sehingga sangat membantu


untuk menghilangkan kecurigaannya. Sebagai pusat LU,hak
Agam, yang penduduknya sangat fanatik dengan agama.Js
lam, tentu akan memberi dukungan yang kuat. Selain ltU,
posisi geografis Bukittinggi yang berada ditengah-tengah
wilayah Sumatra Barat akan lebih mudah dijangkau oleh para
undangan. Adapun secara politis, Bukittinggi boleh dikatakan
"bersih" dari Peristiwa Silungkang tahun 1926/1927.
Hamka, salah seorang yang ditugaskan untuk menyam
paikan undangan ke daerah Kerinci, menuturkan kisahnya:
"Kawan-kawan yang lain pergi ke derah lain pula, empat
penjuru. Berjalan mesti dengan diam-diam, kalau perIu
hendaklah dengan menyamar. Maka seteIah diikat dengan
sumpah, dan dikeluarkan ongkos dengan gotong royon,
besoknya berjalanlah kami menuju tugas masing-masing.
Saya sendiri dengan memakai pakaian saudagar kedl terus
berangkat ke Bandar Sepuluh dan terus ke Kerinci. Dengan
menyamar didatangi ulama di tempat itu, diterangkan
bagaimana bahayanya ordonasi itu kalau dijalankan, dan
diseru mereka hadir dalam rapat 18 AgustuS."IO
Usaha mengumpulkan ulama dan guru agama yang
diprakarsai oleh Syekh Karim Amrullah membuahkan hasil.
Sekitar 800 orang ulama dan guru agama yang mewakili 115
organisasi umat Islam di seluruh Sumatra Barat hadir pada
waktu itu. Selain itu, hadir juga pejabat pemerintah setempat,
seperti Asisten Residen Groeneveld dan Dr.L. de Vries sendiri.
Konfrensi Ulama ini merupakan yang terbesar pada masa
pemerintahan Kolonial Belanda.
Adapun yang terpenting adalah Konferensi Ulama itu
berhasil merumuskan mosi penolakan Ordonansi Guru Tahun
1925. Suasana konferensi berlangsung alo,t, karena ada
beberapa ulama yang belum menentukan sikapnya, antara
menerima, memikirkan dulu, atau menoIak,l1 Akan tetapi,
pidato Syekh Abdul Karim Amrullah telah memberikan
pengaruh bagi peserta konferensi umumnya. Ia menyampaiBab V - 115

kan dalam pidatonya:


"Saya yakin pemerintah agung tidak bermaksud hendak
menyinggung perasaan kita. Tetapi peraturan ini akan
dijalankan adalah karena kesalahan kita selama ini. Kita,
ulama-ulama selalu berpecah, selalu bersilang selisih !...
(Ketika itu airmata beliau titik iring-gemiring). Inilah
bahaya yang mengancam kita dan akan banyak bahaya
lagi, selama kita berpecah !" Semua yang hadir
bergarungan, menitikkan air mata, sampai ada yang
melulung. Para wakil pemerintah menyaksikan sendiri
dengan mata kepala, bagaimana hebatnya keadaan hari
Kalau salah-salah bertindak, bahaya besarlah yang
akan mengancam. "Sudikah tuan-tuan bersatu 1" "Sudi"
jawab mereka dengan suara gemuruh. Kepada Dr. de Vries
kemudian ia berkata: "Sampaikanlah kepada pemerintah
tinggi, janganlah dijalankan ordonansi itu di sini, kami
tidak berpecah lagi. Kami telah bersatu !"12
Konferensi itu pada akhirnya melahirkan sebuah mosi
penolakan Ordonansi Guru Tahun 1925. 13 Adapun alasan
yang dijadikan dasar penolakan itu adalah berhubungan
dengan kewibawaan agama Islam dan keotoriteran pemerintah
Kolonial Belanda dalam melaksanakan kehendaknya.
Ketentuan yang terrnuat dalam ordonansi itu dianggap sebagai
suatu bahaya bagi penyiaran Islam. Agama Islam adalah
agama Allah dan tidak satu kekuatan pun di dunia ini yang
dapat menguasainya.
Mosi itu disampaikan kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda di Bogor dengan mengirim dua orang utusan, yaitu
H. Abdul Majid dan Datuk Simangkuto. Keduanya dianggap
mewakili dua kelompok elite tradisional, yaitu .ulama dan
penghulu. '4 Beberapa lama sebelum berangkat, datuk
Simangkuto terlebih dahu.lu mengambil inisiatif untuk
berkirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di
Bogor. IS
Selain surat Datuk Simangkuto, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda juga menerima surat dari Dr. L. de Vries,
116 - Boekittinggi Tempo Doeloe

pejabat urusan pribumi yang ditugaskan oleh pemerintah


pusat untuk menjajaki pelaksanaan Ordonansi Guru di
Sumatra Barat. Pada awalnya beberapa pejabat Bumiputera
di Sumatra Barat, yang dihubungi sebelum Komperensi
Ulama, dapat menyetujui pelaksanaan Ordonansi Guru Tahun
1925 itu. Akan tetapi, setelah ia melihat sendiri suasana
Konferensi Ulama yang menolaknya, maka Dr. de Vries
menyarankan supaya pemerintah pusat mengundurkan
pelaksanaan Ordonansi Guru Tahun 1825 di Sumatra Barat. 16
Gejolak yang mewarnaijalannya Konferensi Ulama se
Sumatra Barat itu telah pula memberikan kesan kepada
Residen Gongr~p dan Asisten Residen Groeneveld, bahwa
masyarakat Sumatra Barat bersikukuh untuk menolak
berlakunya Ordonansi Guru Tahun 1925. Seperti Dr.
de
Vries, kedua pejabat pemerintah daerah itu juga menganjurkan
kepada Gubernur Jenderal untuk mencabut rencana
pelaksanaan Ordonansi Guru Tahun 1925 di Sumatra Barat. 17
Berdasarkan masukan dari pejabat-pejabat pemerintah Hindia
Belanda dan keberatan dari masyarakat Sumatra Barat sendiri,
maka pemerintah pusat mencabut rencana pelaksanaan
Ordonansi Guru Tahun 1925 untuk daerah Sumatra Barat.
Kesuksesan yang diperoleh itu mempunyai dampak
psikologis bagi rakyat Bukittinggi khususnya dan Sumatra
Barat umumnya. Rakyat Bukittinggi sebagai pusat pergerakan
dapa! mengatasi Padangpanjang dan Padang. Rakyat Sumatra
Barat bangkit kembali dengan semangat pergerakannya,
setelah mengalami trauma politik akibat peristiwa Silungkang
1926/1927.18 Kemenangan besar ini segera menjadi "mitos
politik" baru dalam sejarah Minangkabau (Sumatra Barat)
dan mempengaruhi arah pergerakan politik berikutnya di
Minangkabau (Sumatra Barat).19
Pada tanggal 4 November 1928 Surau Syekh Jambek
dijadikan tempat petemuan kembali. Pada pertemuan ini yang
dibahas adalah penangkapan Syekh Thaher Jalaluddin yang
dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda 20 dan pelarangan
peredaran dan penyitaan buku Tafsir al-lawahir fi Tafsir al
BabV-117

Quran al Karim dan al-Quran wa 'Ulm Asjriyah. Kedua buku


karangan Syekh Thantawi Jauhari itu dinilai oleh de Vries
bernada sangat nasionalis dan anti Barat. Jumlah peserta rapat
sekitar 1.500 orang yang dihadiri oleh ulama Kaum Muda
dan Kaum Tua. Rapat ini dipimpin oleh Sutan Mangkuto,
pimpinan Muhammadiyah. Dalam rap at diputuskan untuk
membentuk sebuah federasi yang mencakup semua
kelompok sosial dan organisasi di Minangkabau. 21

Kongres Muhammadiyah ke-19


Peristiwa penting lainnya yang terjadi di Bukittinggi
adalah Kongres Muhammadiyah ke-19. Kesuksesan Konfe
rensi Ulama se-Sumatra Barat dalam menolak Ordonansi
Guru tidak dapat dilepaskan dari peran Muhammadiyah.
Meskipun Syekh Abdul Karim Amrullah dan Syekh
Muhammad Jamil Jambek bukan anggota Muhammadiyah,
tetapi keduanya adalah penganjur Muhammadiyah di
Sumatra Barat. Menantu H. Rasul, A.R. Sutan Mansyur dan
anaknya Hamka merupakan aktivitis Mtihammadiyah.
Demikianjuga putra-putra Syekh Muhammad Jamil Jambek:
Abdul Gafar, Muhammad Zen, dan Muhammad Saleh adalah
aktivis-aktivis pertama Muhammmadiyah di Bukittinggi.
Bahkan, surau Syekh Muhammad Jamil Jambek di Tengah
Sawah Bukittinggi dijadikan markas Muhammadiyah
Bukittinggi.
~
Secara jumlah dan dukungan, Bukittinggi kalah jauh
dibanding Padangpanjang. Selain itu, sebagai pusat
penyebaran Muhammadiyah di Sumatra Barat, Padangpan
jangjuga mempunyai anggota yang banyak. Bahkan, nagari
nagari di sekitar Padangpanjang telah mendirikan ranting
Muhammadiyah. Sementara, cabang Muhammadiyah
Bukittinggi baru dibentuk beberapa bulan sebelumnya.
Organisasi inijuga barn akan melebarkan sayapnya ke nagari
nagari sekitar. Sungguhpun demikian, Bukittinggi tetap dipilih
sebagai tempat diselenggarakannya Kongres Muhammadiyah
118 - Boekittinggi Tempo Doeloe

ke-19. Apa potensi Bukittinggi sehingga dipilih sebagai tempat


penyelenggaraan Kongres Muhammadiyah ke-19 ?
Sukses Konferensi Ulama se-Sumatra Barat sekaligus
memberi kepercayaan pimpinan pusat Muhammadiyah
Sumatra Barat untuk melaksanakan Kongres ke-19. Ini
merupakan Kongres Muhammadiyah yang pertama diadakan
di luar Jawa. Keputusan ini disambut dengan antusias o1eh
PMM (Persatuan Muhammadiyah Minangkabau). Untuk
mempersiapkan segaia sesuatunya, maka diadakan "Kongres
Daerah" Muhammadiyah di Bukittinggi pada tanggal 14-17
Agustus 1929. Se1ain menetapkan Saleh Sutan Mangkuto,
pimpinan Muhammadiyah Padangpanjang sebagai ketua
panitia Kongres, juga menetapkan Bukittinggi sebagai tempat
Kongres. Sejak itu. suasana Kota Bukittinggi mulai diliputi
oleh persiapan Kongres Muhammadiyah.
Pada tanggal 14-21 Maret 1930 diadakanlah Kongres
Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi. Kongres ini merupakan
Kongres Muhammadiyah yang terbesar hingga saat itu. Pada
rapat umum yang diselenggarakan pada tangal15 Maret 1928
dihadiri oleh sekitar 15.000 hingga 20.000 orang. Kongres
ini dihadiri oleh 24 waki1 dari 99 cabang di Jawa, satu di
Kalimantan, dan satu di Sulawesi. Sedangkan dari
Minangkabau hadir IS cabang. Setelah itu hadir pula 158
utusan dari 30 seksi Aisyiyah.

Kongres Persatuan Muslimin Indonesia


Organisasi yang cukup terpukul akibat peristiwa
Silungkang tahun 1926/1927, yang dimotori oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI) ada1ah Sumatra Thawalib. Hal ini
disebabkan banyaknya murid yang telah terpengaruh oleh
Komunisme, yang diajarkan oleh Datuk Batuah, salah seorang
guru Sumatra Thawalib. 22 Bahkan, mereka dapat mem
pengaruhi sebagian besar murid Sumatra Thawalib. Oleh
.karena itu, pemerintah Hindia Belanda menangkap sejumlah
murid dan guru-gurunya yang dianggap terlibat dalam
Bab V -119

peristiwa Silungkang itu. Bopet Merah, tempat berkumpul


kelompok Datuk Batuah ditutup oleh pemerintah.
Akan tetapi, pada sisi lain penangkapan orang-orang
Komunis sekaligus telah membersihkan Sumatra Thawalib
dari pengaruh Komunisme. Sehingga, Sumatra Thawalib dapat
berbenah kembali, baik dalam pendidikan maupun dalam
organisasi. Pada tangga121 Januari 1928 diadakan pertemuan
di Parabek, Bukittinggi, yang menghasilkan dibentuknya
Dewan Pusat dan Dewan Penasehat Sumatra Thawalib. 23
Selama kampanye untuk Konferensi Ulama tahun
1928, dua tokoh Sumatra Thawalib, H. Jalaluddin Thaib 24
dan H. Ali Imran Jamil,25 juga memanfaatkannya untuk
memprakarsai penyatuan Sumatra Thawalib. Seperti yang
telah diungkapkan di atas, ketika pengaruh Komunisme
semakin kuat di Sumatra Thawalib Padangpanjang, Sumatra
Thawalib yang lainnya mencoba untuk memisahkan diri dari
induk organisasinya. Keduanya, H. Jalaluddin Thaib dan Ali
Emran Djamil adalah guru muda di Sumatra Thawalib
Padangpanjang dan Parabek, Bukittinggi. H. Jalaluddin Thaib
adalah pimpinan Sumatra Thawalib Padangpanjang,
sedangkan Ali Emran Djamil adalah pimpinan Sumatra
Thawalib Parabek, Bukittinggi.
Melihat sukses Kongres Muhammadiyah ke-19 di
Bukittinggi, Sumatra Thawalib yang telah dua kali
mengadakan konferensi di Padangpanjang dan Batusangkar,
pada tahun 1930 berencana pula untuk mengadakan
konferensi di Bukittinggi. Konferensi Sumatra Thawalib ini
direncanakan sebagai konsolidasi kekuatannya dan sekaligus
untuk merumuskan program politiknya secara eksplisit.
Perkembangan internal Sumatra Thawalib mencapai
klimaks pada konferensi ketiganya itu, yang diadakan di
Bukittinggi pada tanggal 20-21 Mei 1930. Ini adalah
konferensi terbesar dan terakhir dari Sumatra Thawalib. 26
Keputusan utamanya adalah transformasi Sumatera Thawalib"
menjadi Persatuan Muslim Indonesia (secara inisial disingkat
dengan PMI, tetapi kemudian lebih dikenal dengan Permi).
120 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Konferensi ini kemudian disebut juga sebagai Kongres Permi


yang pertama.
Periode tahun 1928-1930 memperlihatkan masa transisi
dalam pergolakan nasional di Sumatra Barat. Program dan
kegiatan mereka pada tingkat tertentu dipengaruhi oleh
perkembangan di Jawa, seperti popularitas partai politik yang
meningkat. Intensiflkasi konflik an tara Muhammadiyah dan
(PSII), perpecahaan yang makin mendalam antara kelompok
reformis dan tradisionalis. Sebelum akhir tahun 1930,
kelompok terpelajar Kaum Muda juga sedang dipengaruhi
oleh kembalinya murid-murid dari Timur Tengah dan
beberapa perantau yang telah aktif dalam pergerakan politik
diJawa.

Syekh Muhammad Jamil Jambek


Syekh Muhammad Jamil Jambek (disebut Syekh
Jambek atau Inyiak Jambek)27 merupakan salah seorang
pemuka ulama Kaum Muda dan tokoh tertua di antara ulama
Kaum Tua. Meskipun demikian, Syekh Jambek dapat
"diterima" oleh Kaum Tua dan golongan penghulu. 28 Bahkan,
Syekh Jambek mempunyai hubungan baik dengan pejabat
pemerintah Belanda. 29 Ia sering pula mengundang orang-or
ang Cina dan Bumuputera yang bukan beragama Islam untuk
melakukan dialog di suraunya. Sikap dan kebijakan Syekh
Jambek ini mempunyai dampak positif bagi keberadaan Kota
Bukittinggi, yang dijadikannya sebagai basis perjuangannya.
Syekh Muhammad Jamil Jambek dilahirkan pada tahun
1860 di Bukittinggi. Bapaknya, Muhammad Saleh gelar Dt.
Maleka, adalah Penghulu Kepala Jorong Gurun Panjang,
Nagari Kurai (Bukittinggi). Lingkungan keluarganya
(golongan adat) mempengaruhi pendidikan Syekh Jambek
pada waktu ia masih kanak-kanak. Meskipun ia diserahkan
untuk mengikuti pendidikan surau di kampungnya, akan
tetapi ia tidak sampai mempelajari secara mendalam tentang
ajaran-ajaran Islam. 30 Bapaknya menginginkan Muhammad
Bab V

121

Jamil menjadi seorang pegawai pemerintah. Untuk itu


Muhammad Jamil dimasukan ia ke Sekolah Nagari Bukitting
gi, sebagai persiapan untuk melanjutkan ke Sekolah Raja
Bukittinggi.
Akan tetapi, Muhammad Jamil lebih tertarik pada
kehidupan parewa. 31 Selain itu, ia juga seorang tukang sihir,
dan bahkan pernah mengisap candu. 32 Pendidikan formalnya
hanya sampai pada tingkat Sekolah N agari. Kehidupan parewa
ini dijalaninya sampai ia berusia 22 tahun, ketika perhatiannya
mulai tertarik untuk mempelajari ajaran Islam secara intensif.
Melihat perubahan sikapnya yang demikian, maka pada
tahun 1896 ia dibawa bapaknya ke Mekah untuk mendalami
ajaran Islam. 33 Ia kembali pulang pada tahun 1903, setelah
bermukim selama sekitar 7 tahun di Mekah.
Pada awal kepulangannya, Syekh Muhammad Jamil
Jambek masih sering mengikuti kehidupan parewa. Pada
beberapa kesempatan ia bahkanjuga mengajarkan ilmu sihir,
yang sempat dipelajarinya di Mekah. Selain itu, ia juga
mengajarkan tarikat, sehingga ia dianggap sebagai seorang
yang beraliran tarikat. Perubahan sikap Syekh Jambek terjadi
setelah bapaknya meninggal pada tahun 1905. la meninggal
kan semua pekerjaannya itu dan menjadi seorang pemuka
ulama Kaum Muda. 34
Berbeda dengan ulama Kaum Muda lainnya, Syekh
Jambek tetap mempertahankan sistem pendidikan tradisional
surau. Ia mendirikan sebuah surau di Kampung Tengah Sawah,
Jorong Guguk Panjang. 35 Sistem halaqah 36 tetap dipertahan
kannya, meskipun masing-masing ulama Kaum Muda: lainnya
telah memodernisasi sistem pendidikan suraunya. Pendidikan
surau ini tidak mengenal kelas, tetapi dibagi atas beberapa
tingkat sesuai dengan kemampuan membaca al-Quran.
Tingkat-tingkat itu mulai dari alif-ba-ta (pengenalan huruf
huruf dan kaidah huruf-huruf Arab), Juz Amma, sampai tingkat
tajwid (seni baca al-Quran). Setiap tingkat dapat terdiri
beberapa halaqah, tergantung dari jumlah muridnya.
Kenaikan tingkat lebih ditentukan oleh kemampuan
seorang murid dalam membaca al-Quran. Jika murid tingkat
122 - Boekittinggi Tempo Doeloe

dasar dianggap telah mampu, maka ia dinaikan ke tingkat


lebih tinggi. Ia dianggap selesai menamatkan membaca
(khatam) al-Quran. Biasanya seorang anak menamatkan
beberapa kali al-Quran, yang sekaligus untuk memperlancar
dan memperindah irama bacaannya. Mereka inilah yang
diangkat menjadi Guru Tua,37 sebagai pembantu untuk
mengajar bagi-adik-adik tingkatnya.
Pendidikan surau ini dilaksanakan pada malam han,
karena pada siang hari anak-anak membantu orang tua
mereka atau bersekolah. Adapun lamanya pendidikan surau
yang ditempuh oleh seorang anak sangat relatif, karena sangat
tergantung dari kemampuan dan keinginan si murid. Biasanya
seorang anak mulai diserahkan mengaji pada saat usia sekitar
5 tahun. 38
Surau Syekh Muhammad Jamil Jambek merupakan
surau yang terkenal di Bukittinggi. Murid-muridnya banyak,
sehingga setiap tingkat terdiri dari beberapa halaqah dan setiap
halaqah yang terdiri dari 8-10 orang murid. Setiap halaqah
diajar oleh seorang Guru Tua. Mohammad Ratta, yang
menjadi salah seorang murid Syekh Jambek menuturkan
pengalamannya:
"Pagi-pagi aku besekolah, malam hari sesudah magrib aku
belajar mengaji dengan berlagu untuk menanamkan
perasaan agama ialah belajar mengaji denganb berlagu
dalam jiwa anak-anak. Cara belajar dalam surau yang
penuh itu teratur dengan baik. Jika didengar dari luar surau
berbagai macam bacaan sekali terdengar, sebab ban yak
sekali macam tingkatan golongan yang mengaji. Tctapi,
dalam mengaji perhatian guru dan murid hanya tertuju
kepada bacaan dalam golongan masing-masing. Dan kalau
diperhatikan benar-benar; irama yang terdengar dad surau
itu hampir sama rata, sekalipun ayat dan surah yang
berlain-Iain, seolah-olah ada dirigen yang gaib memimpin
segala bacaan dengan berlagu itu. Dcngan mengaji bcrsama
itu tertanamlah rasa persaudaraan dan semangat
kekeluargaan agama yang tak mudah lepas. '9

Bab V -123

Se1ain itu, Syekh Jambek membedkan ceramah


ceramah atau tabligh-tabligh ke berbagai nagari sekeliling
Bukittinggi:1O Pusat perhatiannya terutama terletak pada
usaha untuk meningkatkan keimanan dan keislaman
seseorang. Ia mengemukakan kecamannya secara bijaksana,
tanpa me1ukai perasaan masyarkat yang masih menggan
drungi ajaran tarekat dan cara-cara tradisional.
Tidak heran kalau ia tetap mempunyai hubungan yang
baik dengan kelompok adat dan Kaum Tua. Bahkan, ia sering
mengundang mereka makan bersama, yang dimanfaatkannya
untuk membicarakan berbagai masalah dan berusaha
memperoleh dukungan mereka terhadap pendapatnya. Selain
itu, iajuga mempunyai hubungan yang erat dengan pelajaran
pelajaran Sekolah Raja dan para pejabat pemerintah setempat.
Tokoh-tokoh itu malahan tidak beragama Islam (orang Indo
nesia dan Cina) termasuk dalam daftar yang ia undang untuk
membicarakan masalah agama tadi. Dengan bahasa sekarang
barangkali boleh dikatakan bahwa ia telah mulai melaksana
kan dialog antaragama. 41
Pada tahun 1918 Syekh Jambek meningkatkan aktivitas
suraunya dengan mengadakan pengajian bagi orang-orang
dewasa. Pengajian ini dilakukan pada siang hari dan pada hari
Rabu dan Sabtu dikhususkan bagi para pedagang. Metode
pengajian (ceramah) ini masih berlangsung sampai sekarang,
yang dikenal dengan nama pengajian surau Inyiak Jambek.
Selain itu, surau inijuga dijadikan sebagai pusat kegiatan dan
pertemuan berbagai organisasi Islam. Bahkan, surau ini
dijadikan sebagai kantor cabang Muhammadiyah Bukittinggi.
Syekh Jambek tidak lah ban yak menu lis. Karangannya
sekali-kali muncul dalam Majalah al-Munir. Ia merupakan
satu-satunya ulama Sumatra Baratyang ahli dalam ilmu falak,
piawai menyusun jadwal shalat dan imsakiyah Ramadhan
sepanjang tahun. 42 Jadwal shalat dan imsakiyah Ramadahn
ini diterbitkan setiap tahun sejak tahun 1911. Penetapan
jadwal shalat dan imsakiyah Ramadhan merupakan salah satu
masalah yang menjadi pokok pertentangan antara Kaurn
124 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Muda dan Kaum Tua. Kaum Tua masih menggunakan


metode tradisional, yaitu dengan cara rukyat, "melihat" bulan
terlebih dahulu untuk mengetahui masuk dan habisnya bulan
Ramadhan.
Kira-kira tahun 1913 Syekh Jambek mendirikan sebuah
percetakan di Bukittinggi. Percetakan ini dikelola melalui
organisasi yang bersifat sosial, yang diberi nama "Tsamaratul
Ikhwan". Percetakan "Tsamaratul Ikhwan" menerbitkan kita
kitab kedl dan brosur-brosur tentang pelajaran agama. Akan
tetapi, setelah percetakan "Tsamaratul Ikhwan" dirubah
menjadi usaha komersial pada tahun 1920-an, Syekh Jambek
nielepaskan dirinya dari usaha ini.
Syekh Jambek tidak terikat dengan salah satu organisasi
yang didirikan oleh Kaum Muda, seperti Muhammadiyah
dan Permi. Akan tetapi, Syekh Jambek memberikan dorongan
untuk kemajuan kedua organisasi itu. 43

Berdirinya Bank Nasional


Pembangunan pasar Bukittinggi yang dilakukan oleh
pemerintah Kolonial Belanda, pada gilirannya telah
melahirkan golongan pedagang Bumiputera. Golongan peda
gang ini dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu pedagang
petani,44 pedagang keliling,45 dan pedagang profesional.
Adapun peagang profesinal yang dimaksudkan di sini
adalah pedagang yang dalam arti telah menetap tinggal di
Bukittinggi. Mereka menggantungkan hidupnya dari hasil
perdagangannya. Tidak seperti pedagang-petani dan pedagang
keliling yang juga masih terikat dengan tanah pertaniannya.
Pedagang~profesional berkembang seiring dengan
pembangunan pasar Bukittinggi. Pembangunan los pasar telah
pula memungkinkan mereka berjualan barang-barang yang
sejenis. Dalam hal ini, pedagang-profesional ini dapat
dibedakan atas: Pertama, pedagang yang menjual barang
barang hasil industri nagarinya, sepcrti pcrhiasan cmas dan
perak, peralatan pertanian dan pertukangan, dan sebagainya.
Kedua, pedagang yang menjual barang-barang yang be"iasal
Bab V - 125

dari luar Sumatra Barat, seperti kain, buku-buku dan alat-alat


tulis, dan sebagainya.
Jika dibandingkan dengan pedagang petani, pedagang
keliling, maka pedagang-profesioanal inilah yang paling
merasakan akibat depresi ekonomi yang terjadi pada tahun
1930. Pemerintah Hindia Belanda mulai mengurangi
pemberian kredit pada pedagang Bumiputera. 46 Perusahaan
perdagangan Be1anda juga memutuskan hubungan kerjasama
dengan para pedagang Bumiputera. Mereka lebih suka bekerja
sarna dengan pedagang Cina, yang mempunyai modal re1atif
besar.47
Akibat dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu,
para pedagang Bumiputera menjadi tergantung kepada
pedagang Cina. Keuntungan yang diperoleh oIeh pedagang
Bumiputera menjadi re1atif kedl. Persaingan antara pedagang
Bumiputera dengan pedagang Cina menjadi semakin tajam. 48
Kondisi yang demikian menyadarkan para pedagang
Minangkabau bahwa modal merupakan aset utama da1am
perdagangan. Untuk mengatasi masalah itu, para pedagang
lalu mendirikn sebuah organisasi pada tahun 1930 di Padang.
Organisasi itu diberi nama Himpunan Saudagar Indonesia (
HIS ). Tidak lama kemudian, pada tahun 1930 itu juga
didirikan cabang HIS di BUkittinggi. 49
Berawal dari cabang HIS di Bukittinggi ini muncullah
ide untuk mendirikan sebuah bank Bumiputera. Langkah
awalnya adalah dengan mendirikan sebuah badan simpan
pinjam yang diberi nama Abuan Saudagar pada tanggal 27
Desember 1930. 50 Abuan Saudagar ini didirikan atas inisiatif
dari 10 orang pedagang Bukittinggi. Kesepuluh orang itu
adalah Anwar St. Saidi, H. Muhammad Yatim, Marzuki Dt.
Mangulak Basa, H. Syamsuddin, H.Mhd. Thaher, H.M.S.
Sulaiman, Jamain Abd. Murad Tk. Mudo, H. Syarkawi
Khalidi, Rasyid St. Tumanggung, Malin Sulaiman, dan B. St.
Burhaman. sl
Kehadiran Abuan Saudagar dirasakan bagi para
pedagang Bumiputera. Abuan Saudagar menjadi wadah
126 - Boekittinggi Tempo Doeloe

penolong bagi para pedagang Bumiputera yang waktu itu


tengah mengalami depresi ekonomi. Oleh karena itu, dalam
waktu yang relatif singkat Abuan Saudagar sudah menjadi
wadah kerja sarna bagi para pedagang Bumiputera di
Bukittinggi. Pada tahun 1931 Abuan Saudagar diubah.
Wujudnya menjadi Bank Nasional. 52 Dengan demikian,
lapangan usahanya diperluas dan tidak hanya terbatas pada
usaha simpan-pinjam.
Perubahan nama Abuan Saudagar menjadi Bank
Nasional diilhami oleh Bank Nasional yang didirikan di
Surabaya pada tahun 1929. Anwar St. Saidi, salah seorang
pendiri Abuan Saudagar adalah seorang pedagang kain di
Bukittinggi. Ia sering bepergian ke Surabaya untuk urusan
perdagangannya. Selain itu, iajuga menjalin hubungan dengan
Dr. Sutomo yang mendirikan Bank Nasional di Surabaya pada
tahun 1929. Ketika hendak memakai nama Bank Nasional,
Anwar St. Saidi meminta izin kepada Dr. Sutomo terlebih
dahulu.
Kehadiran Bank Nasional telah memberi manfaat bagi
para pedagang di Bukittinggi. Selain itu, kehadiran Bank
Nasional sebagai bank Bumiputera yang pertama di Sumatra
Barat, juga telah melengkapi fungsi Kota Bukittinggi sebagai
kota perdagangan regional.

BabV -127

Tabel19

Nama-nama Pedagang Pendiri Bank Nasional

----------------

Nama

Taggallahir

Pendidikan

Negeri
Asal

Barang
Dagangan

I.

Anwar St. Saidi

19/4/1920

Gouveme
ment

Sungai
Puar

Kain

2.

H. Mhd. Yatim

1898

SR

Sungai
Puar

Kain Batik

3.

Marzuki Dt.
Mangulak Basa

1886

SR

Bukit
tinggi

Buku

4.

H. Syamsuddin

7/9/1901

SR

Sungai
Landir

Kelontong

5.

H. Mhd. Thaher

1870

Surau

Manin
jau

Kelontong

6.

H.M.S. Sulaiman

1880

Surau

Sungai
Puar

Buku
Agama

7.

Dj. Abd. Murad


Tk. Mudo

4/6/1890

Surau

Sungai
Puar

Penerbitan
buku

8.

H. Sy. Khalidi

1904

SR

Sungai
Puar

Buku

No.

9.

Rasyid St.
Tumanggung

1890

SR

Balingka

Kain batik

10.

Malin Sulaiman

1887

Thawalib

Kapau

Pcnerbitan
buku

II.

B.St. Burhaman

1909

NormalSc
hool

Kubang
Putih

Agen
Perusahaan

Sumber: Diolah dari Buku Peringatan 40 Tahun PT Bank Nasional


(Bukittinggi: PT Bank Nasional, 1970). him. 349-375.
128 - Boekittinggi Tempo Doeloe

CatatanAkhir

Istilah Kaum Muda pertama kali digunakan oleh Dt. Sutan Maha
raja ketika ia dan kelompoknya pada awal abad ke-20 melancarkan
serangan kepada para aristokrat di kota-kota pantai. Nama ini
dillhami oleh gerakan Turki Muda yang menentang penguasa pada
waktu itu. Akan tetapi, nama ini kemudian lebm populer untuk
menyebut keloropok ulama modernis yang muncul pada awal abad
ke-20. B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatra Barat:
Sebuah Sumbangan Bibliografi, terjemahan Soeganda
Poerbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1974), hIm. 42-43 dan 54-58.
Tauflk Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Move
ment in West Sumatra 1927-1933 (Ithaca. New York: Cornell
Modern Indonesia Project, 1971), him. 10-11.
Go1ongan Ulama yang menjadi lawan Kaum Muda ini lebih populer
disebut dengan Kaum Tua. Kaum Muda yang relatifberusia muda
lebih terbuka akan kemajuan, sedangkan Kaum Tua yang berusia
relatiftua 1ebih menutup diri terhadap kemajuan.
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Be1anda: Het Kantoor voor
Inlandsche Zaken (Jakarta: LP3ES, 1985), hIm. 51-58; lihat juga
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942
(LP3ES, 1990), hIm. 195
Ordonansi Guru Tahun 1925 (Staatsb1ad van Nederlandsche-Indie
Tahun 1925 No. 550) merupakan penyempurnaan dari Ordonansi
Guru 1905 (Staatsb1ad van Nederlandsche-Indie Tahun 1905 No.
219). Ada dua perbedaan antara Ordonansi Guru Tahun 1905 dan
Ordonansi Guru Tahun 1925.
Pertama. Pada Ordonansi Guru Tahun 1905, guru agama harus
mendapat izin terlebih dulu dari pemerintah setempat sebelum
menjalankan tugasnya, sedangkan pad a Ordonansi Guru Tahun
1925 cukup memberitahu saja.
Kedua, Ordonansi Guru Tahun 1905 diberlakukan khusus untuk
daerah Jawa dan Madura, kecuali daerah Yogyakarta dan Surakarta,
sedangkan Ordonansi Guru Tahun 1925 dikeluarkan untuk seluruh
wilayah Hindia Belanda. Lihatjuga Napisah binti Ramli, "Reaksi
Masyarakat Minangkabau terhadap Goeroe Ordonantie 1928",
Skripsi Sarjana (Padang: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universi
tas Andalas, 1992).
Ordonansi Guru Tahun 1925 pasall.
Peristiwa Silungkang yang terjadi pada malam pergantian tahun
Bab V -129

8
9

10

II

12

1)

14

192611927 dimotori oleh PKI. Lebih jauh dapat dilihat: B.


Schrieke, "The Causes and Effects of Communism in the West
Coast ofSumatra" , dalam Indonesia Sociological Studies: Selected
Writing of B. Schrieke, part one {The Hague: W. van Hoeve, 1955;
H. Benda dan R.T. Mc Vey (eds), The Communist Uprisings of
1926-1927 in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University
Modern Indonesia Project, 1960; lihat juga Hendrik
Eeniqe Beschouwing over de Ontwikkkeling van het Indonesisch
Nationalisme op Sumatra Weskust (Batavia: Wolter, 1949), him.
50-78.
Taufik Abdullah, op. cit., him. 149.
A. Emran Djamil dan H. Abdul Malik Karim (eds), Peringatan
(Verslag) dad MadjJis Permoesyarawatan Oelama Minangkabau
Membicarakan Goeroe Ordonantie pada tanggal19 Agustus dan 4
November 1928.
Hamka, op. cit., 168. tanggal 18 Agustus yang dimaksudkan oleh
Hamka sebagai Hari Pelaksanaan Konferensi Ulama bertentangan
dengan verslag Mosi penolakan Ordonansi Guru yang diedit oleh
Hamka sendiri. Lihat A. Emran Djamil dan H. Abdul Malik Karim
(eda), op. cit., Iihat juga Surat Asisten Agam kepada Asistensi
Residen Sumatra Barat, Nomor 98 tertanggaI 3 September 1928.
Bandingkan dengan Aqib Suminto, op. cit., hIm. 56. Suminto
mengutip dari Hamka.
Para ulama Kaum Tua, seperti Syekh Khatib Ali, Syekh Sulaiman
ArrasuIi, dan Syekh Djamil Djaho, lebih cenderung menerima
Ordonansi Guru Tahun 1925. Satu-satunya ulama Kaum Muda
yang mendukung pelaksanaan 0 rdonansi Guru Tahun 1925 adalah
Syekh Abdullah Ahmad. Ia mempunyai hubungan baik dengan
pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, Sekolah Adabiyah yang
didirikannya di Padang pada tahun 1909 mendapat subsidi dari
pemerintah Hindia Belanda. Deliar Noer, op. cit., hIm. 196.
Hamka, op. cit., him. 152-153. Iihat juga Deliar Noer, op. cit.,
him. 178; dan Aqib Suminto, op. cit., him. 56-59.
Mosi itu terdiri dari 5 butir, yang menekankan supaya rencana
peIaksanaan Ordonansi Guru Tahun 1925 dibatalkan. A. Emran
dan H. Abdul Malik Karim (eds.), loc.
Surat Groeneveldt, Asisten Residen Agam kepada Gonggrijp,
Residen Sumatra Barat. Afsscriff No. 98, Fort de Kock, 3 Septem
ber 1928. Arsip NasionaI SWK. No. 205.

130 - Boekittinggi Tempo Doeloe

15

16

17

18

19
20

21
22

23

24

25

26

Surat Singomangkuto kepada Gubemur Jenderal Hindia Belanda.


Fort de Kock, 19 Agustus 1928. Arsip Nasional SWK. No. 205.
Surat Dr. de Vries tertanggal 5 September 1928. Afschrijf No. 411
Geheim Eigenhadig. Fort de kock, Arsip Nasional SWK. No. 205.
Surat Gonggrijp tertanggal 26 September 1928. Arsip Nasional
SWK. No. 205.
Setelah Peristiwa Silungkang yang terjadi pada tahun 1926/1927,
banyak orang yang "dianggap" terlibat ditangkap pemerintah Hindia
Belanda. Kebijakan ini sengaja dilakukan sebagai psikoterapi bagi
rakyat Sumatra Barat, supaya tidak mencoba-coba memberontak
Iagi.
Tafik Abdullah, op. cit., hIm. 154-155.
Syekh Thaher Ja1a1uddin dilahirkan di Ampek Angkek, Bukit-tinggi
pada tahun 1869. 1a menetap di Malaya sejak pulang dari Mekah
pada tahun 1900. la mengunjungi Minangkabau pada tahun 1923
dan 1927. Syekh Thaher merupakan guru dan sahabat dari kaum
Ulama Muda. Penangkapan Syekh Thaher karena ia dianggap
terlibat dalam peristiwa Silungkang tahun 1926/1927. Lihat Deliar
Noer, op. cit., hIm. 40-42.
Ibid., hIm. 156.
Datuk Batuah dan Natar Zainuddin merupakan dua orang
propagandis Komunisme di Sumatra Thawalib Padangpanjang.
Kedua orang ini menggunakan cara propaganda seperti golongan
Kaum Muda, yaitu tabligh dan penerbitan-penerbitan. Deliar Noer,
op. cit., hIm. 57.
Dewan Pusat Sumatra Thawalib diketuai oleh Ali Imran Jamil,
sedangkan Dewan Penasehat Sumatra Thawalib terdiri dari Syekh
Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, H.
Jalaluddin Thaib, H. Abdul Latif Syakur, Abdul Aziz Sutan
Kenaikan, dan Dr. Ahmad Saleh. Dua orang terakhir termasuk
kalangan cerdik-pandai. Deliar Noer, op. cit., hIm. 58-59.
H. Jalaluddin Thaib dilahirkan di Balingka, Bukittinggi pada tahun
1903. Setelah menamatkan pendidikannya di Sumatra Thawalib,
ia mengabdikan diri sebagai guru di sekolah itu.
Ali Emran J amil dilahirkan di Bukittinggi pada tah un 1897. setclah
menamatkan pendidikannya di Sumatra Thawalib Parabek,
Bukittinggi, ia memilih untuk menjadi guru dan memimpin
organisasi Sumatra Thawalib Parabek.
Panitia Kongres Permi I tanggal Permi I tanggal 2427 Mei 1930
adalah:
BJb V . Dl

27

28

29

30

31

Ketua
: Ali Imran
WakilKetua
: H. Udin Rahmani
Sekretaris
: Darwis Thaib
Pembantu
: H. Jalaluddin Thaib
Lihat Mardjani Martamin, et. aL, Sejarah Pergerakan Nasional
Sumatra Barat (Jakarta: Depdikbud, 1977/1978), hIm. 65-66.
Jambek merupakan gelar yang diberikan kepada Syekh Muhammad
Jamil karena ia memelihara jambang atau jambek (bahasa
Minangkabau). Jambang ini menjadikan penampilannya khas dan
berbeda dengan ulama-ulama lainnya. Hamka, op. cit., hIm. 279
281.
Hubungan Syekh J ambek dengan Kaum Tua disebabkan ia pernah
menjadi guru tarikat sepulang ia dad Mekah. Adapun hubungan
dengan golongan penghulu lebih ditentukan karena bapaknya
seorang Penghulu Kepala Nagari Gurun Panjang, Kurai
(Bukittinggi).
Ketegangan kelompok yang sesungguhnya iaJah sikap berseberangan
mereka dengan Syekh J ambek ini disebabkan karena sepulang Syekh
Jambek dari Mekah, ia mengajarkan kepada mereka ilmu-ilmu
"kebatinan" yang juga ia dipelajari di Mekah. Oleh karena
untuk beberapa hal Syekh Jambek dianggap guru oleh pengikut
..
tarikat.
Berbeda dengan ulam-ulama lainn"ya yang dari kecil telah
diperkenalkan secara intensif dan mendalam dengan ilmu
keislaman.
Tentang kehidupan parewa, Hamka seorang yang mengenal baik
daerah Minangkabau, menceritakan: "Oi Minangkabau memang
ada satu golongan orang-orang muda yang bergelar parewa. Mereka
tidak mau mengganggu kehidupan kaum keluarga. Hidup mereka
adalah dari berjudi, menyabung ayam, dan lain-lain. Mereka juga
ahli dalam pencak dan silat. Pergaulan mereka sangat luas, di antara
parewa di kampung anu dengan kampung yang lain harga
menghargai dan besar-membesarkan. Tetapi, mereka sangat kuat
mempertahankan kehormatan nama suku dan kampung. Kalau
men!ka bersahabat, sampai mati mereka akan mempertahankan
sahabatnya, saudara sahabatnya menjadi saudaranya, seakan-akan
seibu, sesaudara, sekemenakan. Kata-kata "muda" terhadap
perempuan tidak boleh sekali-kali. Kalau ada yang kalah dalam
permainan sehingga habis harta bendanya, maka oleh dia yang dibcri
pakaian dan uang sekedarnya, disuruh pulang dengan ongkos

132 - Bockittinggi Tempo Doeloe

32

33

35

36

tanggungan yang menang itu sendiri. Kepada orang-orang alim


mereka hormati, dan kadang-kadang mereka dermawan. Mereka
setia dan sudi menolong" .
Syekh Jambek belajar di Koto Mambang, Pariaman dan Batipuh
Baruh, Padangpanjang. Tidak diketahui guru-gurunya, tetapi
tentulah mereka tergolong kalangan tradisional. Deliar Noer, op.
cit., 42-43.
Sidi Ibrahim Buchari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan
Islam dan Pegerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung
Tiga, 1981), 42-43.
Guru-gurunya di Mekah termasuk Syekh Tahir Jalaluddin, Syekh
Bafadhal, Syekh Serawak, dan Syekh Ahmad Khatib. Meskipun
Syekh Ahmad Khatib berusaha agar Jambek mengikutijalan hidup
yang baik, tetapi ia masih saja belajar ilmu sihir kepada seorang
Maroko di Taanah Suci. Ia masih tetap mempratekkan ilmu silurnya
sekembalinya di Tanah Air. Ia baru meninggalkan ilmunya itu pada
pad a tahun 1905. Deliar Noer, op. cit., 42-43.
Syekh Muhammad Jamil Jambek bersama Syekh Abdul Karim
Amrullah dan Syekh Abdullah Ahmad merupakan tiga orang
pemuka ulama Kaum Muda. Syekh Abdul Karim Amrullah
berdomisili di Padangpanjang, sedangkan Syekh Abdullah Ahmad
berdomisili di Padang. Hamka, op. cit., him. 67-68.
Mohammad Hatta menuturkan dalam memoamya tentang surau
ini:
" Di tengah-tengah kumpulan sawah itu kira-kira lebih sedikit dad
setengah km jaraknya dari rumah kami, terletak 'Kampung Sawah'.
Dalam kampung itu terdapat rumah dan surau Syekh Muhammad
Djarnil Djambek, seorang ulama besar yang terkenal sampai keluar
daerah. Beliaulah yang membimbing langkahku yang pertama ke
jalan pengetahuan Islam. Mengaji Qur'an sampai tamat dipimpin
oleh murid-muridnya yang sudah khatam Qur'an beberapa kali,
diangkat beliau menjadi 'Guru Tua'. Sesudah itu nanti untuk
menanamkan pengertian agama Islam, beliau sendiri yang
mengajarkannya. Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas,
1982), him. 6.
Sistem halqah adalah murid-murid duduk di lantai mengelilingi
guru mereka. Pada pelajaran pertama, guru membacakan pelajaran
lalu ditirukan oleh murid-murid secara bersamaan. Kemudian setiap
murid mendapat giliran untuk membaca, sementara guru
memperhatikan bacaannya dan murid-murid lainnya menyimak.
Bab V - 133

Setelah semuanya dianggap mampu barulah ditambah pelajaran


berikutnya.
)) Pembagian guru-guru dalam sistem pendidikan surau adalah Guru
Muda, Guru Tua, dan Guru Gadang. Guru Gadang adalah Syekh.
sedangkan Guru Tua dan Guru Muda adalah pembantu Guru
Gadang. Guru Tua lebih tinggi posisinya dari Guru, Muda.
Kriterianya didasarkan kepada kemampuan dan kedalaman
ilmunya, meskipun segi usianya Guru Muda lebih tua daripada
Guru Tua.
38 Mohammad Hatta mulai "mengaji" di surau Syekh Muhammad
Jamil Jambek pada usia sekitar 5 atau 6 tahun. Perhitungan ini
diperoleh karen a sekitar 6- 7 bulan kemudian ia sudah dapat
diterima di Sekolah Rakyat. Ibid., him. 22-23. Hal ini berarti satu
tahun lebih awal daripada masuk Sekolah Rakyat, yang hanya dapat
menerima seorang anak yang telah berusia 6 tahun.
39 Ibid., hIm. 23.

40 B.J.o. Schrieke, op. cit., hIm. 34.

41 Ronkel menyebutnya sebagai seorang yang praktis dan sangat


bijaksana. Ph. Van Ronke!, Rapport Betreffendde de Qodsdienstiqe
Verschijnselen ter Sumatra's Westkust (Batavia: Landsdrukkerij,
1916), hIm. 24.
4l Syekh Jambek menerbitkan almanak (kalender) yang dilengkapi
denganjadwal shalat wajib dan imsakiyah bulan Ramadhan. Ibid.
43 Syekh Jambek meninggal pada tahun 1947 dan dimakamkan di
depan suraunya di Tengah Sawah. Tamar Jaya, Pusaka Indonesia:
Orang-orang BesarTanah Air (Bandung: G. Kollf & Co, 1951),
him. 290-291.
44
Pedagang-petani adalah petani yangjuga bertindak sccara langsung
sebagai pedagang. Mereka membawa dan menjuai sendiri hasil
pertaniannya di pasar Bukittinggi.
45 Pedagang keliling adalah pedagang yang mengunjungi pasar
Bukittinggi pada had pasar besar di Bukittinggi, yaitu Rabu dan
Sabtu. Selain hari Rabu dan Sabtu itu mereka berjualan di pasar
pasar kecillainnya.
46
Selanjutnya pedagang-profesional disebut dengan pedagang
Bumiputera atau pedagang Minangkabau.
4)
Buku Peringatan 40 Tahun PT. Bank Nasional (Bukittinggi: PT Bank
Nasional, 1970), hIm. 37.
48 Ibid
49 Ibid. him. 41.
134 - Boekittinggi Tempo Doeloe

50

51

52

Abuan merupakan suatu perkumpulan yang dimaksudkan untuk


mengumpulkan uangdarisisa pendapatan. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), hIm. 6. Abuan Saudagar dapat diartikan sebagai
suatu perkumpulan para peagang di Bukittinggi yang ditujukan untuk
saling membantu sesama pedagang. Abuan saudagar dapat juga
dikatakan sebagai suatu badan gotong-royong para pedagang.
Sungguhpun demikian, tanggal didirikannya Abuan Saudagar retap

hari Iahirnya Bank Nasional di Bukittinggi.

Sungguhpun demikian, tanggal didirikannya abuan saudagar retap

dijadikan hari lahirnya Bank N asional di Bukittinggi.

Bab V- 135

Bah VI

Epilog

ukittinggi merupakan sebuah kota dataran tinggi, yang


mempunyai posisi geografis yang strategis, udara yang
sejuk, dan pemandangan alam yang indah. Pada satu
sisi, faktor alam ini telah menjadi pendukung bagi pertumbuh
an dan perkembangannya, sehingga menjadikannya kota
terpenting kedua di Sumatra Barat. Sebaliknya, faktor alam
ini pun menjadi penghambat perkembangan keruangannya,
kecuali ke bagian selatan yang daerahnya relatif datar dan
juga terbuka karena menuju ke arah Kota Padang yang
menjadi pintu gerbang Sumatra Barat keldari dunia luar.
Cikal-bakal Kota Bukittinggi dapat dirunut kepada pasar
tradisioI?-al Nagari Kurai, yang kemudian tumbuh dan
berkembang menjadi inti kota. Pasar itu telah berdiri jauh
sebelum Benteng "de Kock" didirikan oleh pemerintah
kolonial Belanda di Bukittinggi pad a tahun 1826. Sungguh
pun demikian, gejala kekotaannya baru mulai tampak pada
tahun 1837, setelah fungsi Bukittinggi dikembangkan oleh
pemerintah Hindia Belanda dari pusat operasi militernya
menjadi sebuah kota kolonial sekaligus sebagai pusat

pemerintahannya untuk kawasqn Dataran Tinggi Sumatra


Barat. Seiring dengan itu, daerah (nagari-nagari) sekitar Kota
Bukittinggi dikembangkannya pula menjadi tulang punggung
atau daerah penyangganya. Selain sebagai basis produksi
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat kota itu,
nagari-nagari inijuga memproduksi tanaman komoditi ekspor,
terutama kopi dan kulit manis.
Kemudian secara bertahap di Bukittinggi dibangun
berbagai infrastruktur, seperti jaringan transportasi dan
komunikasi, pasar, sekolah, dan rekreasi. Pada perkembangan
berikutnya, memasuki pertukaran abad ke-l9 dan abad ke
20 fungsi Kota Bukittinggi menjadi semakin kompleks:
sebagai kota administrasi pemerintahan, kota perdagangan
regional, kota pendidikan, dan kota pariwisata.
Keberadaannya yang demikian itu telah menjadi faktor
penarik urbanisasi penduduk daerah (nagari-nagari)
sekitamya. Arus urbanisasi ini disebabkan pula oleh faktor
pendorong, yaitu tradisi merantau masyarakat Minangkabau.
Tersedianya lapangan kerja baru di kota, seperti jaksa, guru,
juru tulis, pedagang, dan penjual jasa lainnya, telah membuat
rantau kota menjadi alternatif baru bagi masyarakat
Minangkabau sejak penghujung abad ke-19.
Seiring dengan itu para perantau tumbuh pula sebagai
"golongan menengah". Mereka mempunyai akses terhadap
perkembangan informasi, sehingga mampu memahami
realitas yang dihadapi masyarakatnya dan dapat melihat
kecenderungan arah perubahan yang sedang dan akan terjadi.
Mereka dapat juga disebut sebagai broker ofidea, seperti yang
dinyatakan oleh P.lM. Nas, terhadap masyarakat nagari
asalnya. Oleh karena itu, tidak pula mengherankan bahwa
denyut pergerakan Kaum Muda dan pergerakan nasional di
Sumatra Barat, yang merupakan gejala perkotaan, dirasakan
sampai ke nagari-nagari sekitamya.
Berkuasanya pemerintah kolonial Belanda juga telah
membawa perubahan dalam kepemilikan tanah di Kota
Bukittinggi (Nagari Kurai), dati milik komunal menjadi indi
138 - Boekittinggi Tempo Doeloe

vidual. Individualisasi kepemilikan tanah ini telah mulai


berlangsung sejak pertengahan kedua abad ke-19, ketika
diperkenalkannya sistem ekonomi uang dan Undang-undang
Agraria oleh pemerintah Kolonial Belanda. Tanah komunal,
yang lebih dikenal dengan harta pusaka atau tanah ulayat
(kaum, suku, Nagari Kurai), sekarang bukan hanya dapat
digadaikan, tetapi juga dapat disewakan dan bahkan
diperjualbelikan.
Individualisasi pemilikan tanah komunal merupakan
suatu yang dilematis. Pada satu sisi, individualisasi ini
diperlukan karena akan dapat merangsang pertumbuhan dan
perkembangan Kota Bukittinggi. Pada sisi lain, kepemilikan
tanah komunal juga diperlukan untuk mempertahankan
kekokohan sistem matrilineal. Tanah komunal merupakan
salah satu unsur dari sistem matrilineal, sehingga
individualisasi kepemilikan tanah akan dapat melemahkan
sistem matrilineal. Dalam konteks ini, kiranya dapat dipahami
keengganan penduduk nagari-nagari sekitarnya dalam
menerima pemekaran wilayah Kota Bukittinggi. Tampaknya,
penduduk yang nagarinya terkena perluasan Kota Bukittinggi,
tidak ingin mengalami nasib seperti Urang Kurai, yang
sekarang menjadi penduduk asli dan juga "terpinggirkan",
meskipun pemerintah yang berkuasa sekarang adalah
bangsanya sendiri. Oleh karena itu, kiranya dapat pula
dipahami mengapa proses perluasan Kota Bukittinggi sampai
sekarang belum juga menemukan titik terang, meskipun telah
dicanangkan sejak tahun 1974.
Selanjutnya, dapat pula dikatakan bahwa pertumbuhan
dan perkembangan sebuah kota berlangsung sebagai hasil
"dialog" antara kedua faktor: manusia dan alam lingkungan
nya. Bukittinggi telah tumbuh dan berkembang secara dinamis
sebagai kota dataran tinggi yang diwarnai oleh kebudayaan
Minangkabau. Selain itu, pengembangan keruangan yang
dilakukan oleh pemerintah Gemeente Bukittinggi, secara tepat
guna dan efektif telah menampilkan sosok kota yang alami
dan berwawasan lingkungan. Akan tetapi, keasrian Kota
Bab VI - 139

Bukittinggi ini sekarang terabaikan, karena pembangunan yang


dikembangkan oleh pemerintah sekarang lebih mengutama
kan dimensi ekonomi daripada dimensi sosial-budaya dan
lingkungan alamnya. Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa
pembangunan Kota Bukittinggi, seperti pembangunan kota
kota di Indonesia lainnya, terlihat kurang memiliki perspektif
sejarah.
Salah satu yang menarik untuk diamati sekarang adalah
fungsi Kota Bukittinggi sebagai kota pendidikan. Didirikannya
Sekolah Raja (Kweekschool) pada tahun 1873, telah
menjadikannya lembaga pendidikan yang tertinggi di Pulau
Sumatra hingga tahun 1914. Kehadiran Sekolah Raja telah
ikut mewarnainya sebagai pusat pendidikan, baik
daerah Sumatra Barat maupun Pulau Sumatra, yang memberi
andil. dalam melahirkan banyak tokoh nasionaI dalam
berbagai bidang. Oleh karena itu, ditinjau dari sudut dunia
pendidikan sekarang, sudah selayaknya Kota Bukittinggi
mempunyai sebuah universitas atau institut, yang pada
gilirannya dapat melanjutkan peranan sejarahnya
Prospek pembangunan Kota Bukittinggi pada mas a
mendatang tidak dapat terlepas dari pembangunan regional
Pulau Sumatra. Sebagai sebuah kota yang terletak ditengah
tengah Pulau Sumatra, Bukittinggi selama ini telah
berkembang menjadi pusat perdagangan konveksi dan tujuan
pariwisata. Akan tetapi, potensi daerah (nagari-nagari) sekitar
Kota Bukittinggi yang sangat coeok untuk pertanian
holtikultura belum dikembangkan seeara optimal. Pada satu
sisi, sebagai komoditi ekspor pertanian holtikultura
diharapkan Kota Bukittinggi dapat berpartisipasi dalam
kerjasama perdagangan antara Singapura, Johor, Riau, dan
Sumatra Barat. Pada sisi lain, hal ini akan dapat menghambat
laju arus urbanisasi.
Pada akhimya, penulisan buku sejarah Kota Bukittinggi
dapat dikatakan sebagai sebuah pendahuluan. Oleh karena
itu, diharapkan dapat diterbitkan buku-buku berikutnya,
terutama mengenai perkembangan Kota Bukittinggi sejak
masa kemerdekaan.
140 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Kepustakaan

'Advies van de Passarcommissie uit de Gemeente te Fort de Kock",


Fortdekock, 13Juli 1919. ArsipNasionalSWK. No. 194.
Besluit Van GouvemeurGeneraalNo. 13,1 April 1856
Besluit Van Gouverneur GeneraalNo. 37, 5 Mei 1861
Bestuit Van Gouverneur Generaal No.1, 1 Desember 1888
Besluit Van Gouverneur GeneraalNo. 7, 27 Juni 1916
Besluit Van Gouverneur Generaal No. 25, 20 Mei 1930
Besluit van de Resident van Sumatra's Westkust No. 706, 2 Spetember
1935
"Concept-Ieerplan voor de Ambtenaar cursus te Kweeksschool te Fort
de Kock", Fort de Kock, 1900. Arsip Nasional SWK. No. 175.
"Extract uit het Register der Handelingge en resoloiten van de
Gouverneur Generalin Rade 4 November 1923". Arsip Nasional
SWKNo.143.

"Instructie voor den Asistend Residen van de Afdeeling der Padangsche


Bovenlanden" ArsipNasional SWK. No. 143
"Nota van de controleur van Oud Agam". (geheim), No. 901/8, Fort
de Kock, 19 September 1906. ArsipNasional SWK. No. 193.
"Provissioneel reglement op het Binnenlansch Bestuur in dat der
Financien de residentie Padang en Onder Hoorigheden". Arsip
Nas/onal SWKNo. 257.

" Reglement Voar inrichting der Malaische sholen in de Padangche


Bovenlanden", Fort de Kock, den 25 November 1843. Arsip
Nasional SWK. No. 257.
"Surat Residen Padang Darat, A.K. Derx kepada Controleur Agam
Tua, L.c. Westenenk, No. 75618, Fort de Kock, 4 Agustus
1909. Arsip Nasional SWK. No. 193.
" Telegram Gouvernements Secretaris, 28 Juni 1916, No. 954, Arsip
Nasional SWK. No. 175.
Puplikasi Resmi Pemerintah
J. Ballot, Memorievan Overgave, tangga131 Juli 1915.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1877 No. 708

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1892. No. 125.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1900 No. 133.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1902 No. 432.

StaatsbladvanNederlandsch-IndieTahun 1912 No. 181.

StaatsbladvanNederlandsch-IndieTahun 1914 No. 774

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1918 No. 310.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1922 No. 807.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1933 No. 308.

Regeerings Almanak van Nederlansch-Indie 1882-1942

Kolonial VerslagTahun 1907.

Indisch VerslagTahun 1930.

VolkstellingTahun 1930.

Encyclopaedie van Nederlandsch-IndieTahun 1917.

Lembar Negara Repulik Indonesia Tahun 1947 No. 122.

Buku-buku
Ahmad Dt. Batuah dan A. Dt. Majoindo. 1956. Tambo A/am
Minangkabau dan Adatnya. Djakarta: Balai Pustaka.
J.R. Chaniago. "Penduduk Bukittinggi sebelum Perang: Sebuah
Kerangka Studi", dalam Anhar Gonggong (ed.). Komunikasi
Antar Daerah Suku Bangsa. Jakarta: Departemen Pendidik dan
Kebudayaan.
Aqib Suminto. 1985. PoUtik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor Voor
Inlanshe Zaken. Jakarta: LP3ES.
A.A. Navis. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press.
A.
Emran JamiJ dan H. Abdul, Malik Karim (eds.). PeTingatan
(Verslag) daTi "MadjIis Permoesyawaratan Oelama Minangkabau"
142 - Boekittinggi Tempo Doeloe

Membicarakan "Goeroe Ordonantie", pada tanggal 19 Agustus dan


4 November 1928.
Benda, Harry J, et aL 1965. Japanase Military Administration in Indone
sia: Selected Dokuments. Yale University.
Bickmore, Albert S. 1868. Travels in the East Indian Archipelago. Lon
don: John Murry.
Bouman, Hendrik. 1949. Eeniqe Beschouwing over de Ontwikkeling van
het IndonesischNationalismeop Sumatra Westkust. Batavia: Wolter.
Buku Peringatan 40 Tahun PT Bank Nasional. 1970 Bukittinggi: PT.
Bank Nasioanl
Deliar Noer. 1990. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942.
Jakarta: LP3ES.
Dobbin, Christine. 1992. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang
sedang Berubah. Terjemahan Lilian D. Tedjasudhana. Jakarta:
INIS
Friederich, R. Gedenkboek Samenqesteld dij Gelegenheid van het 35.jaring
bestaan der Kweeksschool voor Inlandshe Ondenvijzers te Fort de Kock
( Arnheirri: Threme, 1908).
Graves, Elizabeth E. 1981. The Minangkabau Respons to Dutch Colo
nial Rule in Nineteeth Century. Ithaca, New York: Cornell Mod
em Indonesia Project.
Hamka. 1984. Ayahku; Riwayat Hidup Dr. H Abdul Karim Amrullah dan
PerjuanganKaum Ulamadi Sumatera. Jakarta: Uminda
Hoeven, A. Pruys van der. 1864. Een Woord over Sumatra in Brienven
Verzamelin en uit Gegenven. Rotterdam: H. Nijgh
Ishag Thaher, eta!. 1983/1984. Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat.
Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Jong, P.E. de Josselin. 1952. Minangkabau and Negri Sembilan: Socio
Political Stucture in Indonesia (Den Haag: Martinus Nijhoff.
Joustra, M. 1923. Minangkabau Overzicht van Land-Geschiedenis, en
Volk. The Hague: Martinus Nijhoff.
Kato, Tsuyoshi. 1982. Martn'finy and Migration: Envolving Minangkabau
Tradition in Indonesia. Ithaca, London: Cornell University Press.
Kementerian Penerangan, Propinsi Sumatra Tengah (Djakarta:
Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1958).
Kroeskamp, H. 1938. Early Shoolmasters in a Developing Country: a His
tory ofExperiment in School Education on 19" Century in Indone
sia. Assen: van Goecum,
Lange, H.M. de. 1852. Het Nederlandsch Oost-Indisch Legerter Sumatra's
Westkust 1819-1825. Den Haag: Hertogenbosch.
Bab I - 143

"-.

Leur, J.e. van. 1960. Indonesia Trade and Society: Essay in Asian Social
Economic History. Bandung: Sumur Bandung.
Marjani Martamin, et al. 197711978, Sedjarah Pergerakan Nasional
Sumatera Barat(Jakarta: Departemen Pendidikan Kebudayaan),
___________ , 1978. Sejarah Sumatera Barat. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mc.Gee, TG. 1969. The South East Asian in Indonesia: Administrative
and Census Concept. Reseach of the Primate Cities of Southeast
Asian. London: G. Bell and Sons.
Milone, Pauline D. 1966. Urban Areas in Indonesia: Administrative an
Cencus Concept. Reseach Series ro. Berkeley: Institut of Inter

national Studies University of California.


Mochtar Naim. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau.
Yogyakarta: Gajahmada University Pres.
Mohammad Hatta. 1982. Memoir. Jakarta: Tintamas.
Muhammad Hadjerat. 1947. Sedjarah Negeri Kurai V Djorong serta
Pemerintahannya, Pasar, dan Kota Bukittinggi. Bukittinggi:
TsamaratuI Ichwan.
_ _ _ _ _ _ _ _. 1950. Peringatan Negeri Kurai V Djorong serta
Pemerintahannya, Pasar, dan Kota Bukittinggi. Bukittinggi:
Tsamaratul Ichwan.
Muhamad Radjab. 1969. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang:
Center for Minangkabau Studies Press.
Muijzenbreg, Otto d. von den Peter lm Nas (Eds.). 1986. The Indone
sia City: Studies in Urban Development and Planning. Dodrecht,
Hooland: Foris Publications.
M.D. Mansur, et aL 1970. Sedjarah Minangkabau. Djakarta: Bhratara.
Nas, PJ.M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosio{ogl: Bagian
Pertama. Terjemahan Sukati Suryochondro. Jakarta: Bhratara
Karya Aksara.
Nas, Peter lM.1995, Issues in Urban Development: Case Studies from
Indonesia. Den Haag: Leiden University.
NieI, Robert van, 1960, The Emergence of the Modern Indonesia Elite.
The Haque dan Bandung: Sumur Bandung.
Rahardjo. 1982. Perkembangan Kota dan Beberapa Permasa{ahannya.
Yogyakarta: Seksi Penerbitan Fakultas IImu SosiaI dan Ilmu
Palitik Universitas Gadjah Mada,
Rankel, PhS van. 1916. Rapport BettreJfendede Godsdienste Verschijnsr:len
ter Sumatra's Westkust. Batavia: Landrukkerij.

144 - Boekittinggi Tempo Dodoe

RusliAmran.1981. SumatraBaratHinggaPlakatPanjang. Jakarta: Sinar


Harapan.
_____. 1985. Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar
Harapan
_____. 1986. Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta: Sinar Harapan.
_____. 1988. Sumatra Barat Pemberontakan Pajak 1908: Bagian
Pertama, PerangKamang. Jakarta: Gita Karya.
R. Bintarto. 1977. Per/gantar Geografi Kota. Yogyakarta: u.P. Spring
1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Sartono Kartonodirdjo (ed.). 1977. Masyarakat Kuno dan Kelompok
kelompok Sosial. Jakarta: Bhratara.
Sartono Kartodirdjo. 1984. Modern Indonesia: Tradition and Transfor.
mation. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
_ _ _ _ _ _ _. 1987. Per/gantar Sejarah Indonesia Barn: 1500- 1900
Dari Emporium ke Imperium. lilid 1. Jakarta: Gramedia.
________________ . 1988. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas-Studi
Sosia1-Universitas Gadjah Mada.
_ _ _ _ _ _ _. 1990. Per/gantar Sejarah Indonesia Barn: SeJarah
Pergerakan Nasionaldari Kolonialisme sampat' Nasionalisme. lilid

2. Jakarta: Gramedia.
Schrieke, B.J.o. 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah
Sumbangan Bibliografi. Terdjemahan Soegarda Purbakawatja.
Djakarta: Bhratara.
Schoor1, 1. W.1984. Modernisasi: Per/gantar Sosiologi Negara-Negara
Berkembang. Penterjemah R.G. Soekadjo. Jakarta: Gramedia.
Sidi Ibrahim Boechari. 1981. Pengaruh Timbal Balik Per/didikan Islam
dan Pergerakan Nasional di Minangkabau. Jakarta: Gunung Tiga.
Sjoberg, Gideon. 1965. The Preindustrial City: Past and Present. New
York: The Free Press.
Syahruddin. 1987. "Po1a Pertumbuhan Penduduk Perkotaan di Pusat
Pertumbuhan Sumatera Barat", Sebuah Laporan untuk
Sekretariat Mentri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup, Asisten IV. Padang: Pusat Studi Kependudukan.
S. Menno dan Mustamin A1wi. 1992. Antropologi Perkotaan. Jakarta:
Rajawali Pers.
Tamar Djaja. 1951. Pusaka Indonesia: Orang-orang Besar Tanah Air.
Bandung: G. Kolff & Co.
Taufik Abdullah. 1971. Schools and Politics: 7111! Kawn Movement il1
BabI -145

West Sumatera 1927-1933. Ithaca, New York: Cornell Modern


Indonesia Project.
_ _ _ _ _ _. "The Making ofSchakel Society: The Minangkabau
Region in the Late Nineteenth Century", dalam Paper Dutch
Indonesian Histodcal Conference. }978. LeidenlJakarta: The Bu
reau ofIndonesia Studies under a{jspices ofDutch and Indone
sia Steering Commitees ofThe Indonesian Studies Program.
Taufik Abdullah (Ed.). 1985. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Westenenk, L.c. Verslag van de Eerste laarmark- Tentoonstelling te Fort de
Kock, 9-17 Juni 1960. Tanpa penerbit.

Disertai, Tesis, dan Skripsi yang tidak diterbitkan


Fahzulmiardi. 1993. "Sekolah Raja di Buldttinggi Tahun 1873- I 892".
Skripsi Satjana. Padang: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Uni
versitas Andalas.
F. A. Sutjipto Tjiptoatmodjo. 1983. "Kota-kota Pantai disekitar Selat
Madura (Abad XVI sampai medio Abad XIX)", Disertasi Doktor.
1983. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada.
Herwandi. 1987. "Munculnya Para Tuanku Laras di Minang- kabau
pada Akhir Abad ke-19. Skripsi Satjana. Padang: Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Andalas.
Mestika Zed. 1983. "Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial dalam
Sistem Tanam Paksa di Minangkabau, Sumatera Barat (1847.
1908), Thesis MA. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indone
sia.
Napisah binti Ramli. 1992. "Reaksi Masyarakat Minangkabau
terhadap Goeroe Ordonantie 1928". Skripsi Satjana. Padang:
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas.
Old, Akira. 1977. "Social Change in West Sumatera Village 1900
1945". Ph. D. Disertation. Canberra: Australian National Uni
versity.
YunuI Masri. 1994. "Sekolah Raja d:j Bukittinggi: Perkembangan
setelah Pembaruan Pendidikan 1894". Padang: Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Andalas.

146 - Bockittinggi Tempo Doeloe

Artikel, Makalahdan Majalah


Azwar Dt. Mangiang. "Hari Jadi Kota Bukittinggi, 18 Desember
1820". Makalah Seminar HariJadi Kota Bukittinggi. Bukittinggi,
20 Desember 1988. .
Aboean Goeroe-goeroe. No.5 Tahun 1927.
Aboean Goeroe-goeroe. No.6 Tahun 1927

Aboean Goeroe-goeroe. No. 10 tahun 1927.


Azyumardi Azra, "The Surau and The Early Reform Movement in
Minangkabau". Mizan No.3 Tahun II? 1990. Hlm.65-85.
Bercer, D.H. "Aanmerkingen gehouden op een Reize door eenige
Districten Padangsche Bovenlanden", Veerhendelingen van het
Koloniaallnstituut voor Taal-Land-, en volken- leunde No. 16 Tahun
1836. HIm. 181-182.
Besseling, O.P. "De Hoofdelijke Belastingen in de Padangshe
Bovenlanden", TBE. No.28 Tahun 1905. HIm. 386-394.
Chijs, van der. "Bijdragen tot de Geschiedenis V h Inlansch Onderwijs
in Nederlandsch Indie aan Officieele Bronnenen tleend". TBB.
No. 16 Tahun 1867. HIm.
Datoek Sutan Maharadja. "Tambo dan Oendang-oendang Adat Alam
Minangkabau" I dalam Adatrechtbudel. Bag. V Jilid XXVII Tahun
1928. HIm. 304-306. ;
Goubert, Pierre, "Local History". Daedalus, Journal of The American
Academy of Art and Sciences, Spring 1971. Him. 113- I 24.
Herwerdown, P.A. Hondinus van. "Bestuursreorganisatie in her
Gouvernement Sumatra's Westkust". KT. No. I Bag. II tahun
1912. Him. 1082-1083.
Kielstra, E.B. "Sumatra's Westkust van 1826-1832" deel II. BKI. No.
37 Tahun 1888. HIm. 216-380.
_ _ _ _ _. "Sumatra's Weskust van 1836-1840" deel IV. BKI. No.
39 Tahun 1890. Him. 127-221,263-348.
Knottenbelt, A. "De rechtstoestand van de Gronden, waarop de Passer
No. 30 tahun 1941. HIm.
te Fort de Kock is opgericht"
330-335.
Lulofs. "Koffiec!-~.uur en Belastingen t~r Sumatra's Westkust", IG.
No.2 Tahun 1904. Him. 1658-1661.
Mestika Zed. "Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi IImu
Pengetahuan: Suatu Perspektif Sejarah", Forum Pendidikan No.
3 Tahun 1986.
Bab I - 147

"

__________ . "Struktur Birokrasi kolonial di Indonesia dan


perkembangannya di Sumatera Barat Abad ke-I9 dan ke-20",
Makalah disampaikan pada Seminar Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra Universitas Andalas. Padang, 23 Pebruari 1986.
Mochtar N aim. "Perkembangan Kota-kota di Sumatera BaratH Prisma
NO.3 Tahun II/1973. HIm. 5~-65.
Stap, H.W "De Nagari Ordonantie ~er Sumatra's Westkust", TBB.
No. 53 Tahun 1917. HIm. 702-704.
Steinmetz, H.E. "Inlandsche Onderwijs van Overheidwege in de
Padangche Bovenlanden voor 1850", BKINo. 64 Tahun 1924.
HIm. 301-312.
,:y~
Stibbe, D.G. "Het Soekoebestuur in ~angsche Bovenianden", TN!
No.? tahun 1868. HIm. 230-243.
Verbrugge, V. "Het Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch indie
Volegens hetVerslagover 1866", TN!. No.3 tahun 1869. Him.
283-301.
I

148 - Boekittinggi Tempo Doeloe

....;. ~:.t

r:' :0
tV ::""
X:.

fl)

0'

CJ
ofl)

STADIA Pr.RKr:MB,,-i~G/J~ KOTA


'UKI7rINGOI, 1889-1984

j..~

~~\.

STADIA Pff:!:fflJ!I1IGNf I
0

lAHUl( " "

~.

Vt t t) v1 t

Svt:\btf'

D~-

STADIA PERKE/'\B~JIG"-~ II
'TAHi.m 19~3

$IJmbtr

III

S~~btr

I. Ptlll

iHI Gur:! T.tr.h Dints


Al)raria OT.I1 Eukltttt'l991 Isel
Surv~t

lllP'ftgJR

152 Boekittinggi Tempo Doeloe

(;J

U1

Tubel
InI3'~19',J7

quru,

~1d{li.}h

J,H:lli'lil

t.:ll:-".tatl seturuh $cY..olah


Ea)d
dar).
t:~;h\Jn
1S7::'{-l9Q7
3<";8 or."ll1g. Sa 1 Alh $eor~"no '..1:l an t:nranya o.3dill ~.h WAn ita.

# Sai.')h '.:;t:.~or-."lnq oi an tara t~:tmatan Eeio';ulah


Haj;,t
tiiihun
1907
':'l(l.alah SU'f:H'""r.g .... anita. lel {J."!""r1<,.lV,h,l Syar"ii'<1h.
Ia
merup<"ok,an
"Iutllni w~;n.ittl pErcama dari ~;f.;:k(}!.:lh Raj,;.

Pild;!

l.lhun
1906
s.plain
IT>el,J(lJ'""kan
murirl
r:<llon
Sr}j:oL1;, R.'Iji~ j\.J~F' rm.'tuluskan (;'l'~lri~j calon peg;)w."})..

Di)ft.)r Tam .. t.ln S~kC.11.1h Rdj.;

Tentang Penulis

UlqaYYim dilahirkan di Ba1ingka pada tanggal 11 Sep


tember 1963 dan pada tahun 1988 menamatkan
pendidikan S-l pada Jurusan Ilmu Scjarah Fakultas
Sastra Universitas Andalas. Scte1ah menjadi asisten dosen
(1987-1988), pda tahun 1989 diangkat sebagai dosen di
almamatemya dan melanjutkan pcndidikan (S-2) pada Pro
gram Studi Sejarah, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Program
Pascasarjana UGM (1996) dengan judul tesis ~~Sejarah Kota
Bukittinggi (1837-1942)". Menjadi pcnyusun buku
"Menelusuri Jejak Mclayu-Minangkabau" bersama
Hasanuddin dan Gusdi Sastra (2002); Co-editor buku: "Dua
Sejoli Yang Dipatuan Maharaja Alam Sati dan Pnan Gadih
Puti Reno Indaswari" (2003), sebuah buku yang
dlpersembahkan kepada Sultan Hamcngkubuwono X dan
Ratu Hemas; bersama Andi Asoka dan kawan-kawan lainnya
menerbitkan buku "Sawahluntoi Dulu, Kini, dan Esok:
Mcnuju Kota Wisata Tambang yang Bcrbudaya" (2004).
Artikclnya yang berjudul "Pembangunan Infrastruktur Kota
Bukittinggi Pada Masa Kolonial Belanda" diterbitkan dalam

buku Frede Colombijn dkk (eds.), "Rota Lama Kota Barn:


Sejarah Kota-kota di Indonesia scbdum dan sesudah
Kemerdekaan" (2005). Semenjak menyelcsaikan S-2 1ebih
menfokuskan perhatian dan peneIitian dalam bldang sejarah
kota dan masalah perkotaan. Sementara itu pada tahun 2005
dipercaya sebagai Ketua Pusat Studi Humaniora Fakultas
Sastra Universitas Andalas.

156 - Bockittinggi Tempo Docloc

You might also like