Professional Documents
Culture Documents
MELLITUS TIPE 2
OLEH :
SURAT KETERANGAN
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Menyatakan telah menerima makalah ilmiah atas nama :
Nama
NIP
Pangkat/ Gol
Judul
Makalah ilmiah tersebut telah dipresentasikan dalam acara seminar ilmiah pada
Jurusan Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat pada tanggal 5 Mei 2004
Demikian Surat Keterangan ini diberikan kepada yang bersangkutan untuk
dipergunakan sebagaimana mestinya
Makassar, 16 Mei 2004
Mengetahui :
Dekan FKM Unhas
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat Penulisan
BAB II KAJIAN PUSTAKA DIABETES MELITUS TIPE 2
A.
B.
C.
D.
E.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembangunan kesehatan Indonesia diarahkan guna mencapai pemecahan masalah
kesehatan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal. Masalah kesehatan dapat dipengaruhi oleh pola hidup, pola makan,
lingkungan kerja, olahraga dan stres. Perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar,
menyebabkan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung,
hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus (DM) dan lain-lain (Waspadji, 2009).
Diabetes Melitus merupakan penyakit menahun yang ditandai oleh kadar gula darah
yang tinggi dan gangguan metabolisme pada umumnya, yang pada perjalanannya bila tidak
dikendalikan dengan baik akan menimbulkan berbagai komplikasi baik yang akut maupun
yang menahun. Kelainan dasar dari penyakit ini ialah kekurangan hormon insulin yang
dihasilkan oleh pankreas, yaitu kekurangan jumlah dan atau dalam kerjanya ( Isniati,2003).
Jumlah Penderita diseluruh dunia Jumlah penderita di seluruh dunia tahun 1998 yaitu 150
juta, tahun 2000 yaitu 175,4 juta diperkirakan tahun 2010 yaitu 279 juta (Murwani,
2007).
Berdasarkan Riskesdas
diagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 0,7% sedangkan prevalensi DM (D/G) sebesar 1,1%.
Data ini menunjukkan cakupan diagnosis DM oleh tenaga kesehatan mencapai 63,6%, lebih
tinggi dibandingkan cakupan penyakit asma maupun penyakit jantung. Prevalensi nasional
Penyakit Diabetes Melitus adalah 1,1% (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala).
Menurut konsensus Pengelolaan Diabetes melitus di Indonesia penyuluhan dan
perencanaan makan merupakan pilar utama penatalaksanaan DM. Oleh karena itu
perencanaan makan dan penyuluhannya kepada pasien DM haruslah mendapat perhatian
B.
6.
7.
8.
9.
C. Manfaat Penulisan
informasi
kepada
masyarakat
khususnya
kaum
pembaca
terlebih
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DIABETES MELITUS TIPE 2
diabetes (bukan yang absoult) defisiensi insulin. Orang dengan jenis diabetes ini biasanya
resisten terhadap insulin. Ini adalah diabetes sering tidak terdiagnosis dalam jangka waktu
yang lama karena hiperglikemia ini sering tidak berat cukup untuk memprovokasi gejala
nyata dari diabetes. Namun demikian, pasien tersebut adalah risiko peningkatan
pengembangan komplikasi macrovascular dan mikrovaskuler (WHO,1999). Faktor yang
diduga menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini adalah adanya
kombinasi antara kelainan genetik, obesitas, inaktifitas, faktor lingkungan dan faktor
makanan (Tjekyan, 2007).
B. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-10
menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin
yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah
sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi
glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu
meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta
menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun
menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa
meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan
menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan adanya hubungan
antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah
puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa
darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi
lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun.
Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin
terhadap produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga
produksi glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang
didapat (acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan
dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose
toXicity) (Schteingart, 2005 dikutip oleh Indraswari, 2010).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin dalam
beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap
kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang
lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen,
dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada perkembangannya. Selain
resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini
juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya
aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan
perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin (Indraswari, 2010).
C. Etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif
dan adanya resistensi insulin. Pada pasien-pasien dengan Diabetes Mellitus tak tergantung
insulin (NIDDM), penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. NIDDM ditandai
dengan adanya kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya
kelihatan terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula
mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselular yang meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-
pasien dengan NIDDM terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Ini
dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsive insulin pada
membrane sel. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin
dengan sistem transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu
yang cukup lama dengan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin
menurun, dan jumlah insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan
euglikemia. Sekitar 80% pasien NIDDM mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan
dengan resistensi insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes
mellitus yang pada akhirnya terjadi pada pasien-pasien NIDDM merupakan akibat dari
obesitasnya. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam
sensitivitas insulin dan pemilihan toleransi glukosa (Rakhmadany,2010).
D. Gambaran Klinis
Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah (Agustina, 2009):
Keluhan Klasik
a. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus
menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk
ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk
kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel
lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga
menjadi kurus.
b. Banyak kencing
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak
kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu
penderita, terutama pada waktu malam hari.
c. Banyak minum
Rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar
melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalah tafsirkan. Dikira sebab rasa haus
ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus
itu penderita minum banyak.
c. Banyak makan
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi glukosa dalam
darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita selalu merasa lapar.
Keluhan lain:
a. Gangguan saraf tepi / Kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu
malam, sehingga mengganggu tidur. Gangguan penglihatan Pada fase awal penyakit
Diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang mendorong penderita untuk
mengganti kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik.
b. Gatal / Bisul
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah
lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya
bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele
seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.
c. Gangguan Ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara terus
terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang
masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau
kejantanan seseorang.
d.
Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan dan
Tabel 1.
Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dl)
Plasma Vena
Darah Kapiler
Plasma Vena
Darah Kapiler
90 - 109
DM
200
200
DM
126
110
200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk
kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu
kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal,
baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO 1985
1)
2)
3)
4)
5)
terhadap insulin.
Changeable risk factor
1. Stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang
manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin otak.
Serotonin ini memiliki efek penenang sementara untuk meredakan stress,
tetapi gula dan lemak itulah yang berbahaya bagi mereka yang beresiko
terkena diabetes mellitus.
2. Pola Makan yang Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan keduanya meningkatkan resiko
terkena diabetes mellitus. Kurang gizi (malnutrisi) dapat merusak pankreas,
sedangkan berat badan lebih (obesitas) mengakibatkan gangguan kerja insulin
( resistensi insulin).
3. Minimnya Aktivitas Fisik
BAB III
PENANGGULANGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2
A. Strategi Penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2
Adapun stategi penanggulangannnya sebagai berikut (Moh Joeharno,2009):
1. Primordial prevention
Primordial prevention merupakan upaya untuk mencegah terjadinya risiko atau
mempertahankan keadaan risiko rendah dalam masyarakat terhadap penyakit secara
umum. Pada upaya penanggulangan DM, upaya pencegahan yang sifatnya primordial
adalah :
a. Intervensi terhadap pola makan dengan tetap mempertahankan pola makan
masyarakat yang masih tradisional dengan tidak membudayakan pola makan cepat
saji yang tinggi lemak,
b. Membudayakan kebiasaan puasa senin dan kamis
c. Intervensi terhadap aktifitas fisik dengan mempertahankan kegiatan-kegiatan
masyarakat sehubungan dengan aktivitas fisik berupa olahraga teratur (lebih
mengarahkan kepada masyarakat kerja) dimana kegiatan-kegiatan masyarakat
yang biasanya aktif secara fisik seperti kebiasaan berkebun sekalipun dalam
lingkup kecil namun dapat bermanfaat sebagai sarana olahraga fisik.
d. Menanamkan kebiasaan berjalan kaki kepada masyarakat
2. Health promotion
Health promotion sehubungan dengan pemberian muatan informasi kepada
masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Dan pada upaya pencegahan DM,
tindakan yang dapat dilakukan adalah :
a. Pemberian informasi tentang manfaat pemberian ASI eksklsif kepada masyarakat
khususnya kaum perempuan untuk mencegah terjadinya pemberian susu formula
yang terlalu dini
b. Pemberian informasi akan pentingnya aktivitas olahraga rutin minimal 15 menit
sehari
3. Spesific protection
Spesific protection dilakukan dalam upaya pemberian perlindungan secara dini
kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Pada beberapa penyakit
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk
menderita DM. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.
Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus
diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu memasukkan upaya
pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak
masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya kegiatan
jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu
gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan
yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM.
Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular yang
merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Skrinning
Skrinning dilakukan dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa,
dan GIT. Skrinning direkomendasikan untuk :
b. Pengobatan
Pengobatan diabetes mellitus bergantung kepada pengobatan diet dan
pengobatan bila diperlukan. Kalau masih bisa tanpa obat, cukup dengan
menurunkan berat badan sampai mencapai berat badan ideal. Untuk itu perlu
dibantu dengan diet dan bergerak badan.
Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi
medik masih merupakan pengobatan utama, tetapi bilamana hal ini bersama
latihan jasmani/kegiatan fisik ternyata gagal maka diperlukan penambahan obat
oral. Obat hipoglikemik oral hanya digunakan untuk mengobati beberapa
individu dengan DM tipe II. Obat ini menstimulasi pelapisan insulin dari sel
beta pancreas atau pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.
Tabel 2
Aktivitas Obat Hipoglisemik Oral
Obat
Klorpropamid (diabinise)
Glizipid (glucotrol)
Gliburid (diabeta, micronase)
Tolazamid (tolinase)
Tolbutamid (orinase)
Lamanya jam
60
12-24
16-24
14-16
6-12
Dosis lazim/hari
1
1-2
1-2
1-2
1-3
c. DIET
Diet adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan
yang masuk harus dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari kehari.
Adalah sangat penting bagi pasien yang menerima insulin dikordinasikan antara
makanan yang masuk dengan aktivitas insulin lebih jauh orang dengan DM tipe II,
cenderung kegemukan dimana ini berhubungan dengan resistensi insulin dan
hiperglikemia. Toleransi glukosa sering membaik dengan penurunan berat badan.
(Hendrawan,2002).
1) Modifikasi dari faktor-faktor resiko
Menjaga berat badan
Tekanan darah
Kadar kolesterol
Berhenti merokok
Membiasakan diri untuk hidup sehat
Biasakan diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik
yang terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang
berulang untuk mencapai kebugaran.
Hindari menonton televisi atau menggunakan komputer terlalu lama, karena
hali ini yang menyebabkan aktivitas fisik berkurang atau minim.
Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan. garam
yang tinggi. Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar karbohidrat
dan lemak tinggi.
Konsumsi sayuran dan buah-buahan.
3. Pencegahan Tersier
merekomendasikan bahwa semua individu yang berisiko tinggi terjangkiti diabetes tipe-2
dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan oportunistik oleh dokter, perawat, apoteker dan
dengan pemeriksaan sendiri. Profesor George Alberti, mantan presiden IDF sekaligus penulis
bersama konsensus baru IDF mengatakan: Terdapat banyak bukti dari sejumlah kajian di
Amerika Serikat, Finlandia, Cina, India dan Jepang bahwa perubahan gaya hidup (mencapai
berat badan yang sehat dan kegiatan olahraga yang moderat) dapat ikut mencegah
berkembangnya diabetes tipe-2 pada mereka yang beresiko tinggi. Konsensus baru IDF ini
menganjurkan bahwa hal ini haruslah merupakan intervensi awal bagi semua orang yang
beresiko terjangkiti diabetes tipe-2, dan juga fokus dari pendekatan kesehatan penduduk.
(Rachmadany,2010).
Pilar Pengelolaan DM yaitu (Perkeni, 2006):
a. Edukasi
Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan
partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan
motivasi.
Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang:
1) Penyakit DM.
2) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM.
3) Penyulit DM.
4) Intervensi farmakologis dan non farmakologis.
5) Hipoglikemia.
6) Masalah khusus yang dihadapi.
7) Perawatan kaki pada diabetes.
8) Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran keterampilan.
9) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah
merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan Perilaku hampir sama
dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi,
b.
sampai saat ini tidak ada satu pun perencanaan makan yang sesuai untuk semua
pasien. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut kebiasaan masing-masing
individu. Yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung, serat.
Faktor yang berpengaruh pada respon glikemik makanan adalah cara memasak,
proses penyiapan makanan, dan bentuk makan serta komposisi makanan
(karbohidrat, lemak, dan protein). Jumlah masukan kalori makanan yang berasal
dari karbohidrat lebih penting daripada sumber atau macam karbohidratnya. Gula
pasir sebagai bumbu masakan tetap diijinkan. Pada keadaan glukosa darah
terkendali, masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5
% kebutuhan kalori.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
1) Karbohidrat 45 65%
2) Protein
10 20 %
3) Lemak
20 25 %
Makanan dengan komposisi sampai 70 75% masih memberikan hasil yang
baik. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari, diusahakan lemak
berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh MUFA (Mono Unsurated Fatty Acid),
dan membatasi PUFA (Poli Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah
kandungan serat 25 g / hari, diutamakan serat larut.
Jumlah kalori disesuaikan dengan status gizi,umur , ada tidaknya stress akut,
kegiatan jasmani. Untuk penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa tubuh
(IMT) dan rumus Broca.
Petunjuk Umum untuk Asupan Diet bagi Diabetes:
1) Hindari biskuit, cake, produk lain sebagai cemilan pada waktu makan.
2) Minum air dalam jumlah banyak, susu skim dan minuman berkalori rendah
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Tabel 3.
<90cm (Pria)
<80cm (Wanita)
>90cm (Pria)
>80cm (Wanita)
Risk of co-morbidities
Rendah
Rata-rata
Rata-rata
Meningkat
BB Kurang
<18,5
BB Normal
18,5-22,9
BB Lebih
>23,0 :
- Dengan risiko : 23,0-24,9 Meningkat
- Obes I
: 25,0-29,9 Sedang
- Obes II
: 30
Berat
Sedang
Berat
Sangat berat
dilakukan 3 hari dalam seminggu, sedang 2 hari yang lain dapat digunakan untuk
melakukan olah raga kesenangannya. Olah raga yang teratur memainkan peran
yang sangat penting dalam menangani diabetes, manfaat manfaat utamanya
sebagai berikut:
a) Olah raga membantu membakar kalori karena dapat mengurangi berat
badan.
b) Olah raga teratur dapat meningkatkan jumlah reseptor pada dinding sel
tempat insulin bisa melekatkan diri.
c) Olah raga memperbaiki sirkulasi darah dan menguatkan otot jantung.
d) Olah raga meningkatkan kadar kolesterol baik dan mengurangi kadar
kolesterol jahat.
e) Olah raga teratur bisa membantu melepaskan kecemasan stress, dan
ketegangan, sehingga memberikan rasa sehat dan bugar.
Petunjuk Berolah Raga Untuk Diabetes Tidak Bergantung Insulin
a) Gula darah rendah jarang terjadi selama berola raga dan arena itu tidak perlu
untuk memakan karbohidrat ekstra
b) Olah raga untuk menurunkan berat badan perlu didukung dengan
c)
f)
secara umum
Manfaat olah raga akan hilang jika tidak berolah raga selama tiga hari
berturut-turut
g) Olah raga bisa meningkatkan nafsu makan dan berarti juga asupan kalori
bertambah. Karena itu sangat penting bagi anda untuk menghindari makan
makanan ekstra setelah berolah raga.
h) Dosis obat telan untuk diabetes mungkin perlu dikurangi selama olah raga
teratur.
d. Intervensi Farmakologis
Apabila pengendalian diabetesnya tidak berhasil dengan pengaturan diet dan gerak
badan barulah diberikan obat hipoglikemik oral. Di Indonesia umumnya OHO yang
dipakai ialah Metformin 2 3 X 500 mg sehari. Pada pasien yang mempunyai berat
badan sedang dipertimbangkan pemberian sulfonilurea.
Pedoman pemberian sulfonilurea pada DM usia lanjut :
1)
2)
awal setengah tablet sehari, kalau perlu dapat dinaikkan 1 2 kali sehari.
5) Dosis oral pada umumnya bila dianggap perlu dapat dinaikkan tiap 1 2 minggu.
Untuk mencegah hipoglikemia pada pasien tua lebih baik tidak memberikan dosis
maksimum.
6) Kegagalan sekunder dapat terjadi setelah penggunan OHO beberapa lama. Pada
kasus sperti ini biasanya dapat dicoba kombinasi OHO dengan insulin atau
langsung diberikan insulin saja.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin
untuk metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan secara
efisien. Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah meningkat.
Dalam patofisiologi diabetes melitus tipe 2, dimulai dengan gangguan fase earlypeak yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase sekresi insulin dimulai 20 menit
setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu
meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. NIDDM ditandai dengan adanya kelainan
dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin.
Gambaran klini terjadinya DM tipe 2 ini yaitu melalui keluhan klasik seperti
penurunan berat badan, banyak kencing, banyak minum, banyak makan. adapun keluhan lain
yang terjadi yaitu gangguan saraf tepi / kesemutan, gatal / bisul, gangguan ereksi dan
keputihan. dalam menegakkan diagosis dm dapat dilakukan berdasarkan cara pelaksanaan
TTGO menurut WHO 1985.
Faktor risiko DM tipe 2 seperti genetik, usia, stres, minim gerak, pola makan yang
salah, dan obesitas. Pencegahannya dilakukan pada tiga level, yaitu primer berupa
penyuluhan pada faktor risiko; sekunder berupa diagnosis dini (skirning), pengobatan, dan
diet; tersier berupa tindakan rehabilitatif untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.
Adapun strategi penanggulangan
DM yaitu
spesific protection, early diagnosis and prompt treatmen, disability limitation dan
rehabilitation. Tindakan penanggulangan iaalah pengendalian DM yang lebih diprioritaskan
pada pencegahan dini melalui upaya pencegahan faktor risiko DM seperti upaya promotif
dan preventif dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Dan adapun faktor
penanggulangan Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu melalui Edukasi, Perencanaan Makan,
Aktivitas fisik dan Pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Adhi , Bayu.T1, Rodiyatul F. S. dan Hermansyah,2011. An Early Detection Method of Type-2
Diabetes Mellitus in Public Hospital. Telkomnika, Vol.9, No.2, August 2011, pp. 287~294.
Agustina, Tri ,2009.Gambaran Sikap Pasien Diabetes Melitus Di Poli Penyakit Dalam Rsud
Dr.Moewardi Surakarta Terhadap Kunjungan Ulang Konsultasi Gizi. KTI D3. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Indraswari, Wiwi.2010. Hubungan Indeks Glikemik Asupan Makanan Dengan Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2 Di Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu Gizi , Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Isniati, 2003, Hubungan Tingkat Pengetahuan Penderita Diabetes Militus Dengan
Keterkendalian Gula Darah Di Poliklinik Rs Perjan Dr. M. Djamil Padang Tahun. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, September 2007, I (2).
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006 .2006.
http://penyakitdalam.files.wordpress.com/2009/11/konsensus-pengelolaaln-dan-pencegahandiabets-melitus-tipe-2-di-indonesia-2006.pdf
Mohjuarno.2009. Makalah Kontenporer Konsentrasi Epidemiologi
Penanggulangan Diabetes Melitus. Makassar :Universitas Hasanuddin.
Pasca
Sarjana:
Murwani, Arita dan Afifin Sholeha, 2007. Pengaruh Konseling Keluarga Terhadap Perbaikan
Peran Keluarga Dalam Pengelolaan Anggota Keluarga Dengan Dm Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kokap I Kulon Progo 2007. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta. Ilmu
Keperawatan Stikes Surya Global Yogyakarta.
Nadesul, Hendrawan. 2002. 428 Jawaban untuk 25 Penyakit Manajer dan Keluhan-keluhan
Orang Mapan. Kompas.
Perkeni.2011. Empat Pilar Pengelolaan Diabetes.[online]. (diupdate 11 November 2011).
http://www.smallcrab.com/ .[diakses 20 November 2011].
Rakhmadany, dkk. 2010. Makalah Diabetes Melitus. Jakarta : Universitas Islam Negeri
Shahab, Alwi,2006.Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus (Disarikan Dari
Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Di Indonesia : Perkeni 2006).Subbagian
Endokrinologi Metabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fk Unsri/ Rsmh Palembang,
Palembang.
Tjeyan, Suryadi R.M, 2007.Risiko Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Kalangan Peminum
Kopi Di Kotamadya Palembang Tahun 2006-2007. Department Of Public Health And
Community Medicine, Medical Faculty, Sriwijaya University, Palembang 30126, Indonesia.
Makara, Kesehatan, Vol. 11, No. 2, Desember 2007: 54-60 Hal 54.
Waspadji, Sarwono dkk., 2009. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.
WHO, 1999. Defenition, Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus and Its Complication.