You are on page 1of 25

Gifted terlambat bicara

VS
autisme dan atau ADHD/ADD
Bagaimana pendidikannya?1
Julia Maria van Tiel
Orangtua gifted visual spatial learner
Pembina kelompok diskusi anakberbakat@yahoogroups.com2

Pendahuluan
Kelompok diskusi anakberbakat@yahoogruops.com sejak berdiri tahun 2001,
menerima hampir 600 anggota yang umumnya merupakan orangtua dari anak-anak cerdas
yang terlambat bicara dengan diagnosa yang berganti-ganti dari satu pendiagnosa ke
pendiagnosa yang lain. Umumnya diagnosa yang diterima adalah saat anak-anak ini belum
bicara menerima diagnosa ASD, atau juga PDD-NOS. Saat ia bisa berbicara mendapatkan
diagnosa ADHD, dan saat sudah dapat bersekolah dengan prestasi baik mendapatkan
diagnosa autisme Asperger. Jika tidak berprestasi dari ADHD menjadi ADD. Atau jika tidak
berprestasi juga mendapatkan diagnosa Learning Disabilities, bahkan beberapa diantaranya
menerima diagnosa brain injury dan retardasi mental.
Mengapa ada satu anak diagnosanya bisa berubah-ubah, padahal gangguan-gangguan
tersebut sudah dinyatakan gangguan yang disebabkan karena adanya cacat neurologis yang
masalah dan bentuk kecacatannya sudah dinyatakan akan disandang seumur hidup. Tetapi
kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda, ada anak yang kemudian keluar dari
kriteria dan dinyatakan sembuh, ada anak yang berganti diagnosanya, bahkan ada anak yang
semakin parah? Bahkan kini muncul pendapat yang hampir mapan di masyarakat, bahwa
demikianlah anak berkekhususan itu alamiahnya memang diagnosanya bisa berganti-ganti.
Benarkah? Dari kenyataan di lapangan itu, muncullah suatu fenomena dimana ada bentuk
terapi yang digunakan untuk semua bentuk gangguan tanpa lagi perlu memandang spesifikasi
gangguannya.
Ataukah, berarti jika demikian halnya maka kita bisa pula berpendapat bahwa:
1) mungkin pendiagnosanya yang sudah salah menginterpretasi gejala;
2) mungkin kriterianya yang memang sudah salah atau kurang tepat;
3) ataukah si anak memang mempunyai dual diagnosis, yaitu gifted plus autisme, ataupun
gifted plus ADHD/ADD, gifted plus gangguan belajar, atau gifted plus retardasi mental?
Ketiga kemungkinan itu bisa saja terjadi, apalagi hingga saat ini berbagai macam
diagnosa anak berkekhususan hanyalah menggunakan sistem penegakan diagnosa yang
subjektif yaitu dengan menggunakan penilaian terhadap perilaku, misalnya pada ADHD,
ADD, dan autisme. Terhadap learning disabilities juga tidak menggunakan tes-tes objektif
1

Dibawakan dalam Seminar dan Workshop Program Inklusi Magister Psikologi Unika SoegiyapranataSemarang 31 Juli 20010.
2
Kelompok diskusi orangtua anak gifted (gifted children) dengan segala permasalahannya,

tetapi menggunakan tes-tes kemampuan belajar (didaktif). Tes objektif itu misalnya
penciteraan otak, pemeriksaan darah, dan pemerikaan laboraturium lainnya. Namun hingga
kini berbagai pemeriksaan itu masih belum dapat digunakan untuk melacak masalah anak
berkekhususan ini. Apalagi bagaimana mekanisme terjadinya LD masih belum dipahami,
begitu juga teori untuk menjelaskan perilaku autisme belum bisa ditegakkan. Hanya pada
gangguan ADHD sudah disepakati bahwa gangguan ADHD disebabkan karena masalah
sistem inhibisi pada fungsi eksekutif yang terletak pada otak bagian depan (lobus frontal).
Tetapi bagaimana melacaknya dengan menggunakan metoda penciteraan otak, masih belum
ada kepastian kesimpulannya ( Patternotte & Buitelaar, 2006 ). Karena itu sekalipun di
berbagai negara (maju) pelacakan ADHD/ADD masih menggunakan kriteria perilaku.
Namun kemungkinan bahwa gifted plus autisme (sekalipun asperger syndrome yang
dikenal ada yang mempunyai inteligensi baik hingga tinggi) tidaklah mungkin, sebab kedua
kekhususan mempunyai karakteristik inteligensi yang sungguh berkebalikan. Pada anak-anak
gifted mempunyai kekuatan pada kemampuan pemecahan masalah, sedangkan pada anakanak autisme justru mengalami keterbatasan kemampuan pemecahan masalah ( Webb dkk,
2005).
Gifted plus retardasi mental, tentu saja tidak mungkin.
Selain diagnosa ADHD/ADD, dan autisme tadi, anak-anak ini juga banyak yang
mendapatkan diagnosa brain injury dan bahkan retardasi mental. Hal ini disebabkan karena si
anak ini mengalami keterlambatan bicara dan memperoleh prestasi tes IQ yang masih
mempunyai deskrepansi yang besar antara verbal IQ dan performasi IQ, namun sudah diambil
kesimpulan melalui total skor IQ. Jelas diagnosa retardasi mental dan brain injury ini adalah
kesalahan dalam interpretasi hasil tes IQ. Kesimpulan seperti ini sering sekali dijumpai
dalam mailinglist anakberbakat@yahogroups.com .
Terapi yang sering diterima, mulai dari terapi medikamentosa untuk ADHD/ADD
ataupun autisme, vitamin dosis tinggi, smart drugs, terapi-terapi gerak atau motoric
patterning (seperti paket Sensory integration therapy, Doman-Delacato, Brain Gym, Muscle
touch), terapi diet, terapi hipnotis, food supplement, chelation/detoksifikasi, dan berbagai
terapi alternatif lainnya. Pada umumnya menerima terapi yang non-EBP/EBM. Akhir-akhir
ini ada kecendrungan memberikan terapi yang sama untuk segala bentuk kekhususan, yaitu
Sensory Integration Therapy dan terapi okupasi, karena munculnya pemahaman di lapangan
bahwa masalah anak-anak berkekhususan disebabkan karena masalah pada sensoriknya, yang
tentu saja tidak ada bukti secara ilmiahnya (Stephenson, 2004).
Pendidikan yang diterima anak-anak ini di Indonesia, sangat beragam, terbanyak
masuk sekolah dasar umum dengan pendekatan khusus, namun sebagiannya mengalami
kesulitan menempuh pembelajaran, tidak diterima di sekolah, masuk SLB, atau
homeschooling. Karena belum diterimanya diagnosa gifted terlambat bicara secara formal
baik di bidang psikologi dan kedokteran, maka anak-anak ini melandas di sekolah menjadi
diagnosa ADHD, Asperger, PDD-NOS, ASD, gangguan belajar (Learning Disabilities), atau
lamban belajar. Umumnya tidak menerima layanan keberbakatannya, yang lebih banyak
disebabkan karena pihak sekolah hanya menyediakan layanan kelas akselerasi. Tentu saja hal
ini sungguh sangat memprihatinkan kita semua.

Terlambat bicara?
Umumnya orangtua dalam mailinglist anakberbakat@yahoogroups.com melaporkan
anak-anaknya pada awalnya sudah mulai bicara beberapa kata, namun bersamaan dengan
perkembangan motorik kasar dan eksplorasinya (di sekitar usia 18 bulan) anak mengalami
kemunduran prestasi bicara. Ia semakin menyendiri, asyiek dengan mainannya, tidak
merespon dan semakin sulit diajari. Motorik kasarnya semakin berkembang luar biasa diikuti
dengan tingkat aktivitas yang tinggi. Kemudian orangtua mencari bantuan karena dirasa
anaknya sulit dikendalikan, baik motorik (banyak gerak dengan tingkat aktivitas yang tinggi)
maupun emosinya, terutama disebabkan karena anaknya tidak mengalami perkembangan
bicara sebagaimana teman sebayanya. Sekalipun anak-anak ini tidak mampu berbicara namun
ia masih bisa menangkap perintah-perintah yang diberikan orangtuanya. Ia juga sangat
mampu membangun relasi yang hangat dengan orangtuanya. Kebingungan yang sering
disampaikan orangtua adalah, si anak tidak merespon jika dipanggil (jikapun merespon hanya
merespon sekilas saja), terutama saat ia asyiek bermain sendiri. Ia akan mulai bicara lagi di
usianya yang ke tiga bahkan ada yang mulai lagi di usianya yang ke empat. Kondisi tidak
bisa berkomunikasi dengan baik akan berlangsung hingga anak masuk usia sekolah dasar dan
di usia itu anak sudah mulai bisa diajak bicara dua arah. Anak-anak yang kini sudah mulai
remaja, pada kenyataannya mempunyai IQ yang luar biasa tinggi dan mempunyai prestasi
yang baik di sekolah. Walau demikin sebagiannya mempunyai masalah sosial, emosi, dan
bahkan ada juga yang sulit mencapai prestasi yang baik sekalipun dalam tes-tes psikologi
menunjukkan mempunyai potensi inteligensi yang sangat baik.
Berbagai literature yang berlatarbelakang keilmuan patologi bahasa menyebut
gangguan bicara dan bahasa ini disebutnya dengan nama Specific Language Impairment
(SLI). Istilah SLI bisa kita temukan misalnya dari literature yang dikeluarkan oleh Dorothy
M Bishop atau oleh Gina Conti-Ramsden.
Selanjutnya Goorhuis & Schaerlakens (2008) dua orang profesor ahli THT dalam
kekhususan audiologi dari Belanda, menyebutnya juga sebagai gangguan bicara dan
bahasa spesifik (SLI). Dalam hal ini gangguan bicara dan bahasa yang terjadi adalah
merupakan gangguan primer, yang artinya murni karena perkembangannya. Kemudian
kondisi ini biasa disebut gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik yang
disebabkan karena gangguan perkembangannya sendiri. Karena itulah kemudian disebut
spesifik. Dalam hal ini gangguan hanya akan mengenai pada produksi bahasa (ekspresif),
tidak pada penerimaan bahasa (reseptif), kadang juga diikuti dengan gangguan pemahaman
bahasa. Mekanismenya tidak diketahui secara jelas, namun dikatakan bahwa penyebabnya
adalah genetik. Si anak bukan merupakan anak yang mengalami retardasi mental, bukan anak
yang mengalami gangguan sosial dan perilaku, pendengarannya baik, dan tidak ada gangguan
pada penerimaan bahasa (tidak ada gangguan reseptif). Dalam pemeriksaan neurologis juga
tidak menunjukkan adanya gangguan/cacat neurologik, juga tidak ada masalah psikiatrik.
Dengan kata lain ia merupakan anak yang tidak boleh diberi diagnosa apa-apa (Goorhuis
& Shaerlakens, 2008).
Faktor genetik misalnya adanya faktor bawaan pada lemahnya mempelajari bahasa
bisa jadi juga mempunyai peranan yang besar. Demikian juga terjadinya variasi kematangan

neurologis sejak masih kecil, turut mempunyai peranan, sekalipun tidak semua anak
menunjukkan gejala yang sama.
Gangguan bahasa dan bicara spesifik ini oleh Charles Nyiokiktjien dan Xavier Tan
dua orang psikiater dan sekaligus juga neurolog dari Vrij Universiteit Amsterdam, dari
keilmuan neurologi diberi istilah pure developmental dysphasia (Tan, 2004)3. Ia menjelaskan
bahwa pada dasarnya anak-anak ini tidak mempunyai gejala adanya gangguan (kecacatan) di
otak atau bentuk yang sejenisnya, baik dalam gejala mayor maupun minor. Tetapi lebih
setengahnya diikuti juga dengan masalah gejala yang menunjukkan adanya gangguan
neurologis sebagai komorbidoitas (gangguan lain yang mengikutinya), kondisi inilah yang
menyebabkan parahnya masalah si anak.
Gangguan lain yang sering menyertainya sebagai komorbiditas adalah gangguan
motorik dan konsentrasi. Gangguan ini seringkali juga bukan hanya merupakan keterlambatan
kematangan namun seringkali juga mengikutinya hingga ia dewasa dan tua, yang artinya
merupakan gangguan (kecacatan) neurologis. Komorbiditas inilah menambah parahnya
masalah gangguan perkembangan bicara dan bahasa ekpresif ini (Goorhuis & Shaerlakens,
2008).
Sebetulnya Nyiokiktjien sudah melakukan penelitiannya sejak lama lebih dari 20
tahun lalu, namun hingga saat ini masalah anak dengan keterlambatan bicara yang disebabkan
karena perkembangannya sendiri itu, masih saja kurang dipahami, yang disebabkan karena
memang kurang banyak hasil penelitian yang dapat menjelaskannya. Kurang banyak yang
melakukan penelitian yang dalam pada kelompok ini karena kurang dianggap mendesak, dan
ia mempunyai prognosa yang baik. Karenanya dianggap kurang mendesak jika dibandingkan
dengan masalah gangguan lain yang lebih parah.
Dalam DSM IV kita akan menemukan kelompok ini dengan istilah Gangguan bicara
dan bahasa ekspesif. Gangguannya hanya mengenai kemampuan ekspresif yaitu
mengemukakan pikiran dalam bentuk ekspresi bahasa. Sementara itu reseptifnya lebih baik
daripada ekspresifnya. Sekalipun reseptifnya lebih baik, namun kadang kita juga manemukan
anak-anak ini mengalami kesulitan reseptif terutama dalam bentuk perintah yang lebih dari
satu (Greenspan, 1995, Nijenhuis, 2003).

Specific Langauge Impairment = Gifted visual spatial learner?


Dahulu tidak pernah disangka bahwa keterlambatan bicara adalah jalan yang harus
ditempuh oleh anak-anak gifted visual spatial learner. Dengan kata lain, bahwa terlambat
bicara merupakan pola tumbuh kembang anak-anak gifted visual spatial learner ini. Karena
itulah banyak dari anak-anak ini dulu masuk panti rehabilitasi anak-anak bermasalah, karena
disangka mengalami brain damage (Mnks & Ypenburg, 1995).
Greenspan (1995) dan Levine (2002) menjelaskan bahwa sekalipun ada anak-anak yang
mengalami keterlambatan bicara namun bila si anak mempunyai kemampuan dimensi yang
baik, maka ia tidak akan mengalami masalah pada perkembangan inteligensinya terutama
dalam kemampuan higher order thinking (inteligensi tinggi seperti kemampuan analisasintesa, pemecahan masalah, dan membuat kreasi sesuatu yang baru). Anak-anak ini akan
3

Untuk penggunaan istilah-istilah yang membingungkan ini (padahal anaknya sama, yang itu itu juga) lihat buku
Handboek Taalontwikkeling, Taalpathologie, en Taaltherapie oleh SM Goorhuis & Shaerlakens (2008).

sangat pandai dalam matematika, ilmu-ilmu murni, dan sains (Reuver, 2004; Greenspan,
1995; Levine, 2002 ; Silverman, 2002).
Di Belanda, sejarah mulai dikembangkannya pengertian tentang visual learner diawali
oleh Maria J Krabbe di tahun 1930-an. Ia adalah seorang terapis wicara yang banyak
menerima anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara. Anak-anak ini cerdas dan tidak
tuli. Dari pengamatannya ia melihat bahwa anak-anak ini mempunyai caranya sendiri dalam
mengemukakan apa yang tengah dipikirkannya. Ia juga melihat adanya perbedaan yang
mencolok antara berbagai perkembangan yang dimiliki anak-anak ini, karena sekalipun ia
mengalami kesulitan berbicara tetapi mempunyai kemampuan lain yang melebihi anak-anak
lainnya. Dalam menghadapi fenomena ini ia berupaya mencari-cari jawaban dengan
melakukan penelaahan berbagai bacaan dan melakukan pengamatan yang mendalam terhadap
klien-klien kecilnya itu. Semua yang ia temui itu ia tulis dalam sebuah buku yang kemudian ia
beri judul: Beelddenken and woordblindheid (Visual learner and wordsblindness). Bukunya
terbit di tahun 1940-an. Maria J Krabbe kemudian banyak memberikan ceramah-ceramah
tentang visual learner ini (de Groot & Paagman, 2003).
Di tahun 1944, seorang guru sekolah dasar Montessori untuk kelas-kelas rendah di
Bussum sebuah kota kecil di Belanda, bernama Nel Ojemann membuat skripsi dalam rangka
pendidikan orthopedagoginya dengan judul: Het verschil in de wijze van uitwerking van het
wereldspel door het al dan niet dyslectische kind (Perbedaan cara kerja permainan
wereldspel oleh anak penyandang disleksia dan tidak disleksia). Skripsi Nel Ojemann ini
menggunakan dasar-dasar pemikiran dari Maria J Krabbe tentang visual learner tadi.
Skripsinya telah menarik perhatian seorang psikiater anak L N J Kamp, yang kemudian
mencobanya untuk digunakan sebagai alat untuk menegakkan diagnosa. Dari sini ia melihat
bagaimana perbedaan perkembangan anak-anak normal dibandingkan dengan teman-teman
sebayanya. Dalam debut karirnya, Nel Ojemann akhirnya bekerja sebagai tenaga remedial
teacher dan menyelesaikan pendidikannya dalam bidang pedagogi dan psikologi, serta
bekerja sebagai dosen pertama untuk remedial teacher di Belanda. Sampai pensiun ia tetap
bekerja sebagai remedial teacher untuk anak-anak normal yang mempunyai kesulitan belajar.
Ia juga menjadi pendiri yayasan yang bergerak dalam membantu anak-anak visual learner di
Belanda, yaitu Stichting Maria J Krabbe. Penerus Nel Ojemann juga semakin banyak, antara
lain Prof Roel de Groot seorang orthopedagog yang banyak melakukan penelitian terhadap
anak-anak gifted yang visual learner (de Groot & Paagman, 2003).
Pemahaman tentang visual learner ini seringkali juga menjadi salah interpretasi
terutama yang diluncurkan oleh Ron Davis dari Amerika yang memperkenalkan bahwa
disleksia adalah sebuah anugerah. Ron Davis adalah seseorang yang pernah mengalami salah
terdiagnosa sebagai anak mental retarded dan juga pernah terdiagnosa sebagai penyandang
disleksia. Namun ternyata ia dapat menyelesaikan studinya menjadi insinyur penerbangan dan
bekerja di NASA. Ia menjelaskan bahwa dengan metodanya ia dapat menolong dirinya dari
disleksia tersebut. Metodanya masuk ke pasaran luas dengan nama Davis Method untuk
mengatasi disleksia. Namun, apa yang diperkenalkan oleh Davis sebagai disleksia itu,
menurut t Veld & de Groot (2005) sebenarnya adalah visual learner. Sebab, menurut Veld
& de Groot, belum tentu visual learner akan menjadi penyandang disleksia. Bisa saja terjadi
bahwa visual learner mengalami gangguan disleksia, tetapi hal itu merupakan masalah lain.
Artinya tidak ada hubungan antara visual learner dan disleksia (Von Krolyi & Winner,
2004). Dari pemeriksaan melalui CT Scan juga menunjukkan bahwa gambaran antara
penyandang disleksia dan visual learner juga berbeda. Artinya bahwa, apa yang dikemukakan

oleh Ron Davis adalah tidak benar (t Veld & de Groot, 2005). 4 Sayang pemahaman Ron
Davis yang keliru itu terkenal di berbagai penjuru dunia, yang menawarkan terapi disleksia.
Profesor Roel de Groot, guru besar orthopedagogi dari Universitas Groningen adalah
seseorang yang kini sangat terkenal sebagai salah seorang pemerhati anak cerdas yang visual
learner ini. Dalam bukunya Denkbeelden over beelddenken, een beeld zegt meer dan duizend
woorden. Theorie en praktijk rond beelddenkers: over opvoeden, begeleiden, en hun
speciefieke taal problemen (Gambaran berpikir tentang visual learner, sebuah gambar bicara
lebih dari seribu kata. Teori dan praktik seputar visual learner: tentang pendidikan,
bimbingan, dan masalah gangguan bahasa spesifik) tahun 2003, menjelaskan bahwa anakanak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa spesifik ini mempunyai visual spatial
giftedness. Anak-anak ini juga mempunyai gaya berpikir (cognitive style) tersendiri yaitu
gestalt, dan simultan. Dalam perkembangannya anak-anak ini juga mempunyai perkembangan
berpikir primer yang lebih dominan dengan gejala keras kepala, bila menginginkan sesuatu
harus sekarang juga, dan sulit menunggu giliran. Dalam pendidikannya hingga sekolah
menengah atas pertama umumnya masih mengalami kesulitan dalam pendidikan dan
pelajaran berbahasa.
Dalam area patologi bahasa, masalah gangguan bicara dan bahasa spesifik atau SLI ini
banyak dibicarakan oleh de Jong dari Universiteit van Amsterdam. Ia membuat disertasi,
berbagai penelitian, dan banyak artikel tentang masalah anak-anak SLI ini. De Jong (2005)
menjelaskan bahwa anak-anak ini dalam perjalanan perkembangan pendidikannya akan
mengalami masalah dalam kemampuan gramatika, kesulitan mencari daftar kata dalam
memori ( finding words), gangguan pemahaman bahasa (masalah sematik) karena masih
keterbatasan dalam jumlah vokabulari yang berakibat pada masalah penggunaan bahasa
(masalah pragmatik). Sampai kapan masalah ini dapat diatasi, Aldenkamp dkk (2003) dari
keilmuan neurologi mengatakan bahwa kelompok anak-anak yang mengalami keterlambatan
perkembangan ini akan mengalami normalisasi perkembangan sebelum masa pubertas. Linda
Kreger Silverman (2002) menyebutnya sebagai the late bloomer dan akan berkembang
harmonis setidaknya di usia pubertas. Linda Kreger Silverman lah yang memperkenalkannya
dengan istilah gifted visual spatial learner.

Gejala dan komorbiditas


Dalam literature misalnya Goorhuis & Shaerlakens (2008), menjelaskan bahwa pada
anak dengan gangguan bicara dan bahasa spesifik ini adalah anak yang normal, hanya saja
perkembangannya berbeda. Ia mengalami ketertinggalan perkembangan bicara karena ia
tengah berkonsentrasi ke arah perkembangan lain. Misalnya tengah melatih perkembangan
motoriknya (berjalan dan berlari). Mnks & Knoers (2000) menjelaskan bahwa anak-anak ini
sedang dalam fase eksplorasi.
Selanjutnya Goorhuis & Shaerlakens (2008), memberikan syarat bahwa seorang anak
dapat disebut sebagai gangguan bicara dan bahasa spesifik (SLI) jika tidak diikuti dengan
hal-hal di bawah ini:
Inteligensi di bawah rata-rata. Bila anak-anak ini diberi tes IQ dengan tes Weschler
untuk anak-anak (WISC), maka IQ performansi tidak boleh di bawah normal (di
bawah skor 85).

Ron Davis menulis dua buah buku yaitu The Gift of Dyslexia, dan The Gift of Learning. Ia mendirikan Davis
Dyslexia Association International. Lembaganya memberikan kursus-kursus terapi disleksia menurut metoda
atas namanya sendiri.

Tidak ada gangguan pendengaran, dimana batas ambang pendengaran adalah 25


dBHL. Anak-anak dengan gangguan perkembangan bicara dan bahasa ekspresif ini,
ambang dengarnya tidak boleh lebih dari 25 dBHL.
Bukan akibat dari gangguan pada organ-organ bicara, seperti misalnya gangguan otototot mulut, bibir sumbing dan langit-langit subing, gangguan otot-otot pernafasan
serta gangguan pita suara.
Tidak ada gejala parah maupun ringan cacat/gangguan neurologis (sistem syaraf
pusat atau otak) 5
Tidak ada gangguan kontak sosial seperti halnya autisme
Tidak terdapat adanya sajian bahasa yang sangat kurang, atau karena menggunakan
beberapa bahasa sekaligus (multibahasa), atau disebabkan karena sakit sangat lama
sehingga tidak dapat mengembangkan kegiatan berbicara dan berbahasa.

Sebelum mengarahkan kepada gejala gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik,
maka faktor-faktor di atas harus disingkirkan terlebih dahulu.
Sekalipun anak-anak gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik ini telah
mendapatkan perawatan medis, mendapatkan terapi wicara, maupun mendapatkan terapi
edukasi, namun masalah keteringgalan perkembangan bicara dan bahasanya tetap ada.
Artinya, kita memang harus menunggu kematangan perkembangan neurobiologisnya.
Dengan demikian gejala dari gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik (SLI)
adalah (Goorhuis & Shaerlakens, 2008; de Jong, 2005; Tan, 2004):
1. Mempunyai perkembangan bahasa reseptif yang baik atau normal dibanding dengan
kemampuan rata-rata anak seusianya (pemahaman bahasa lebih baik daripada produksi
bahasa).
2. Gangguan pada gangguan bahasa ekspresif (produksi bahasa lebih rendah daripada
pemahaman bahasa, gangguan kesulitan menyampaikan pikiran dalam bentuk verbal).
3. Komunikasi dialog lebih sulit daripada berbicara spontan, sebab komunikasi dialog berada
di bawah situasi komando6.
4. Terganggunya kelancaran bicara terutama yang menyangkut pencarian daftar kosa kata
dalam memori ( finding words), dan kesulitan menyatukan elemen dalam sebuah cerita.
5. Kesulitan membangun kalimat dan bentuk kata-kata.
6. Menyampaikan sesuatu dengan menunjuk-nunjuk, menarik-narik, atau dengan suarasuara: aahuuhhuuhhuuuuh
Gejala-gejala di atas adalah gejala yang dapat kita lihat secara langsung dalam suatu
pengamatan atau observasi.
Sekalipun berbagai literature mengatakan bahwa anak-anak ini mempunyai perilaku
yang relatif normal, tidak ada cacat neurologis, tidak ada gangguan kontak, namun dalam
kenyataan di lapangan yang kami temui dalam kelompok anakberbakat@yahoogroups.com
anak-anak ini mempunyai banyak masalah. Mereka bagai anak yang hiperaktif, gangguan
konsentrasi, emosi yang mengalami turbulensi, tidak/kurang merespon jika dipanggil,
berperilaku seperti autisme yaitu seperti perilaku repetitif, masalah belajar, masalah
komunikasi, sulit bekerja dalam kelompok, bermain sendiri, bermain dengan cara yang aneh
dan seterusnya. Sehingga tidak heran jika anak-anak ini juga cocok dengan segala macam
5

Gejala adanya cacat/gangguan neurologis pada sistem syaraf pusat di otak dapat dilihat melalui pemeriksaan
fisik seperti sistem refleks dan motorik, maupun pemeriksaan melalui pencitraan otak.
6
Dalam komunikasi dialog, misalnya tanya jawab, maka ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan orang lain. Situasi ini artinya berada di bawah komando orang lain.

kriteria anak bergangguan, dan bisa berubah dari satu pendiagnosa ke pendiagnosa yang
lainnya.
Dalam hal ini Nyiokiktjien (1990; 1993) dan Goorhuis & Shaerlakens (2008)
menjelaskan bahwa setengah dari populasi anak-anak ini mengalami masalah gangguan
ikutan (komorbiditas) yang bisa jadi apabila masalahnya tidak menghilang berarti ia memang
mengalami komorbiditas gangguan neurologis. Namun hal ini memerlukan pemeriksaan yang
lebih seksama.
Gangguan lain yang sering menyertainya adalah gangguan motorik (terutama motorik halus)
dan gangguan konsentrasi (Goorhuis & Shaerlakens, 2008).
Tentang masalah perkembangan emosi yang mengalami turbulensi ( misalnya mudah
temper tantrum dan keras kepala) banyak dijelaskan de Groot & Paagman (2003) dan Tan
(2005). De Groot & Paagman (2003) menjelaskannya sebagai perkembangan dalam bentuk
proses berpikir primer. Sedang Xavier Tan (2005) menjelaskan dari sudut neurologis dengan
apa yang disebutnya sebagai metamorfose hemisfer.
Bentuk proses berpikir primer (De Groot & Paagman, 2003). Dalam dunia
pengasuhan dan pendidikan dikenal adanya pengetahuan tentang bentuk perilaku yang disebut
reaksi primitif atau reaksi primer dari seorang anak kecil. Bentuk perilaku ini dipengaruhi
oleh bentuk primer proses berpikirnya. Pada anak kecil (dan orang dewasa) yang masih
memiliki proses berpikir primernya dapat kita lihat jika ia menginginkan sesuatu ia
menginginkan apa yang dimintanya itu dengan segera harus didapatkannya. Semakin dewasa
atau semakin bertambah usia, bentuk seperti ini akan semakin menurun. Jika pola perilaku
yang ingin segera mendapatkan keinginannya itu masih muncul diluar batas normal di usia
anak yang agak besar, sering dikatakan bahwa ia mengalami keterlambatan kematangan
perilaku. Orangtua yang mempunyai anak seperti ini seringkali merasa frustrasi dan
menganggap anaknya menyusahkannya.
Karena pada dasarnya anak-anak visual learner lebih melihat dunia ini secara konkrit
dan global, dan ia mempunyai dominasi pada proses berpikir primer, maka anak-anak ini
selalu meminta segala sesuatu apa yang dilihatnya sebagai kebutuhannya agar segera
didapatkannya. Jika kebutuhannya ini ditolak, hal ini justru tidak sesuai dengan dasar-dasar
perkembangannya.
Pemahaman tentang proses berpikir primer dan skunder ini pertama-tama
dikemukakan oleh Sigmund Frued dan dilanjutkan oleh Rapaport di tahun 1970, yang
menjelaskan tentang bagaimana organisasi kerja dari sistem pemrosesan informasi berjalan. Ia
meletakkan proses berpikir sebagai awal dari upaya manusia untuk mendapatkan sesuatu. Jika
sesorang menginginkan sesuatu dan tidak mendapatkannya, maka ia akan berpikir bagaimana
cara agar mendapatkan apa yang diinginkannya itu. Berpikir bagaimana caranya agar
keinginannya itu dapat dicapai adalah suatu proses berpikir sekunder.
Pada anak-anak visual learner ini menurut Ojemann (1987), mempunyai proses
berpikir primer yang sangat kuat. Dalam model psikoanalisa yang diajukan oleh Ojemann
bahwa anak-anak visual learner ini dalam upayanya melakukan pemrosesan informasi lebih
banyak menggunakan proses berpikir primer.
Metamorphose hemisfer (Tan, 2005).Pertanyaannya adalah, jika anak-anak ini
mempunyai perkembangan yang berbeda, lalu menjelaskannya bagaimana? Mengapa oleh
para audiolog, speech patolog, dan neurolog, anak-anak ini dianggap normal, padahal
mempunyai perkembangan yang berbeda.

Untuk menjelaskan bagaimana terjadinya fenomena anak-anak ini sehingga ia


mengalami gangguan perkembangan bicara dan bahasa ekspresif, Xavier Tan (2005) seorang
psikiater anak dari Universitas Amsterdam menjelaskan7 tentang sebuah eksperimen yang
dilakukan oleh seorang neurolog Amerika bernama Dennis Molfese di tahun 1972. Molfese
melakukan eksperimen untuk melihat gelombang otak pada bayi. Caranya adalah bayi diberi
stimulus berbagai bunyian, seperti kata-kata, musik, dan suara gaduh, yang kemudian diukur
dengan menggunakan alat pengukur gelombang. Eksperimen ini bernama AERP (Auditory
Event Related Evoked Potential). Hasilnya memperlihatkan bahwa pada anak-anak bayi,
reaksi yang terjadi adalah pada bagian otak sebelah kanan, yaitu jika ia diberi bunyian berupa
bunyian musik dan suara gaduh.
Artinya bahwa perkembangan otak bayi tidak simetris. Kelak secara pelahan, otak
sebelah kiri juga akan berkembang. Dimana otak sebelah kiri ini akan bekerja yang berkaitan
dengan kata-kata atau auditori/pendengaran. Sedang sebelah kanan mempunyai fungsi kerja
yang berkaitan dengan visual atau penglihatan. Artinya lagi, bahwa saat bayi masih sangat
muda, mereka akan lebih didominasi oleh otak sebelah kanan yang lebih mempunyai fungsi
kerja yang berkaitan dengan visual dan suara-suara musik. Kondisi asimetris dan hanya
didominasi oleh otak sebelah kanan ini akan berlangsung hingga usia minggu ke 29. Kelak
saat berusia 6 tahun dominasi akan berubah ke otak sebelah kiri, sehingga anak akan lebih
menguasai bicara dengan kemampuan kerja auditori yang diatur oleh otak sebelah kiri. Di
usia 10 tahun pergerakan ini akan berakhir, dan masa krisis anak berakhir. Keadaan yang
dijelaskan ini adalah untuk anak perkembangan normal.
Pada anak-anak dengan gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik,
perkembangannya akan berbeda. Dominasi otak sebelah kanan jauh lebih besar daripada
perkembangan normalnya, sekalipun bukan berarti bahwa otak sebelah kiri akan mengalami
fungsi yang kurang, bisa juga normal, tetapi bisa juga kelak pada saatnya akan berkembang
dengan kapasitas kerja yang lebih besar dari normal. Namun akibat dari pola perkembangan
yang berbeda ini, maka berbagai aspek tumbuh kembangnya juga akan berbeda. Ia dapat
mengalami ketertinggalan kematangan kemampuan bersosialisasi, karena kemampuan ini
diatur oleh otak sebelah kiri yang fungsinya tertinggal dari teman-teman sebayanya.
Perkembangan yang lebih banyak dipengaruhi oleh otak sebelah kanan ini akan
menyebabkan anak-anak ini lebih banyak menggunakan matanya untuk melakukan kegiatan
pencanderaan atau observasi, sehingga anak-anak ini lebih giat melakukan eksplorasi daripada
anak-anak lainnya. Ia lebih banyak bergerak kian kemari, melihat, memegang, menarik, dan
memutar-mutar segala benda yang ditemuinya. Perkembangan motorik kasarnya baik, atau
bahkan sangat baik.
Jika anak-anak lain di usia 18 bulan akan mulai menanyakan berbagai benda di
sekitarnya dan menanyakan nama-nama benda, serta orang-orang disekitarnya, maka anakanak ini akan lebih banyak memperhatikan bentuk-bentuk benda dan wajah-wajah orangorang di sekitarnya, bukan nama-namanya. Dengan sendirinya ia akan tertinggal dalam
pemilikan jumlah kosa kata.
Bagaimana anak-anak ini mengembangkan berbagai kemampuannya? Kita lihat
bagaimana fungsi belahan otak dalam tabel di bawah ini.
7

Lihat penjelasan dalam buku Xavier Tan (2005):Dysfatische Ontwikkeling (theorie, diagnostiek, behandeling),
Suyi pub, Amsterdam.

Spesialisasi fungsi belahan otak kanan dan kiri pada orang dewasa
Fungsi
Belahan otak kiri
Belahan otak kanan
8
Visual
Analisa sintesa
Menyimpan memori visual
Mengenali objek secara
simultan
Pendengaran
Analisa sintesa
Pengenalan suara, intonasi,
Penciuman
nada, dan ritme
Pengecapan
Mengenali rasa, bebauan dan
Perabaan
taktil
Kronologis dan sekuensial Fungsi waktu
Global, dibayang-bayangkan,
(berurutan)
mengalir
Fungsi bahasa dan bicara
Formal
Bahasa bicara, puisi, bahasa
bayi, menirukan suara-suara,
berteriak-teriak, memaki
Fungsi berpikir
Rasional
Sebab akibat
Pengembangan pikiran dalam
bentuk kata-kata
Penyajian
kata
secara
simbolik

Pengaturan
motorik Motorik
berdasarkan perintah verbal
Pengaturan gerak sehari-hari

Intituif
dalam
bentuk
bayangan
Pengembangan pikir secara
multisensorik9
Kreatif
Logika matematika
Kemampuan pandang ruang
Pengaturan
motorik
berdasarkan perasaan/intuisi
Selalu bergerak
Pengaturan mimik

Diadopsi dari: Xavier Tan (2005): Dysfatische Ontwikkeling, theorie diagnostiek behandeling, Suyi uitgeverij,
Amsterdam.

Walaupun dikatakan bahwa seorang anak akan didominasi oleh otak sebelah kanan,
bukan berarti bahwa belahan otak sebelah kirinya tidak bekerja. Ia tetap bekerja secara
normal, namun kemampun-kemampuan pada otak sebelah kanan akan lebih memberikan
karakteristik utama baginya. Karakteristik utamanya yaitu ia akan lebih baik jika belajar
melalui metoda visual daripada auditori (sekuensial). Ia akan lebih berpikir global (gestalt)
daripada detil. Dalam menempuh pelajaran ia akan lebih mahir dalam pelajaran ilmu pasti
seperti fisika, matematika, dan sains. Anak-anak seperti ini kemudian sering disebut anak
dengan gaya belajar visual atau visual learner. Karena memang mempunyai kemampuan
dimensi yang baik yang kemudian disebut sebagai kemampuan spasial maka oleh Linda
Silverman dalam buku-bukunya disebut gifted visual spatial learner.

Analisa adalah melakukan penguraian dari sebuah keadaan atau kondisi, dalam hal ini berbagai informasi yang
masuk melalui panca indera (mata, hidung, kulit, telinga, lidah). Misalnya mendengar berbagai suara-suara di
tengah pasar, maka ia bisa menguraikan suara apa saja yang didengarnya.
Sintesa adalah menggabungkan atau mengkristalisasikan berbagai informasi yang diterima melalui inderanya.
9
Penyajian pikir secara multisensorik artinya, saat ia menyampaikan pemikirannya semua sensor (yang
berkaitan) yang dimilikinya turut bekerja, ia membayangkan kejadian, memvisualisasikannya dengan kata-kata
(ia akan berbahasa visual yang serba menjelaskan), tangannya dan badannya memberikan gambaran penjelasan
apa yang tengah dipikirkan.

Kata visual spatial learner ini bisa kita temui melalui artikel-artikel yang ditulis oleh
Linda Kregger Silverman. Sedang berbagai penulis lain sering menggunakan istilah visual
learner. Visual learning adalah cara berpikir secara visual (bayangan/gambaran) pada
berbagai kejadian. Para penyandang visual learning memakna berbagai kejadian alam bukan
melalui perangkat kata-kata. Ia melihat berbagai kejadian di kepalanya, yang secara
bersamaan muncul seolah olah di depan matanya, segera kesemuanya diprosesnya yang pada
akhirnya dengan cepat memberikan informasi baru secara menyeluruh yang penuh dengan
pengertian baru. Kejadian ini merupakan kejadian berpikir yang simultan dan non-verbal yang
dimanipulasi melalui perwujudan kemampuan pandang ruang.
Kelompok visual learner ini merupakan kelompok kecil, diperkirakan berjumlah
sekitar 25 persen (dengan berbagai kualitasnya) dari jumlah populasi yang lahir. Mereka
berkemampuan dimensi, dan berpikir tanpa kata-kata. Dengan begitu cara berpikir ini tidak
tahap pertahap tetapi secara simultan dan global, tanpa ia kehilangan makna detilnya. Selain
cara berpikirnya berupa makna pengertian yang saling berhubungan, seringkali juga diwarnai
dengan emosi. Bahasanyalah yang seharusnya pertama-tama menggantikan berpikir visualnya
agar ia mampu berkomunikasi dengan orang lain. Artinya ia harus mencari kata-kata yang
tepat, tetapi hal ini bisa menyita waktu yang banyak.
Kemampuan visual learning adalah kemampuan yang menyulitkan, karena hal ini juga
menghasilkan kemampuan kreativitas, dan bakatnya dalam kemampuan pandang ruang,
musik, seni (melukis dan seni patung), tetapi juga memungkinkan risiko disleksia, gangguan
perkembangan bahasa dan bicara, dan gangguan kemampuan berhitung hapalan. Kebanyakan
kondisi ini akan sangat bermasalah saat berada di sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama.
Anak penyandang visual learning melakukan pemrosesan informasi adalah dengan
caranya sendiri. Caranya sering berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru di sekolah,
karena itu banyak dari anak-anak ini mengalami kesulitan menempuh pelajaran di sekolah
konvensional yang memberikan pelajaran yang sebetulnya tidak cocok untuk anak-anak
visual learner. Karenanya ia perlu mendapat perhatian pelajaran apa saja yang menurutnya
sulit dan pelajaran apa saja yang menurutnya mudah, agar ia dapat dibantu menggunakan
cara-cara pemrosesan informasi yang dipunyainya. Maksudku, banyak pelajaran yang
membutuhkan kemampuan hapalan, namun hal ini baginya akan sangat menyulitkan,
karenanya ia perlu diajak belajar mengenal dan mengingat berbagai hal dengan cara
memanfaatkan keunggulannya berkemampuan visual dan analistis. Jadi pemberian metoda
pembelajaran baginya membutuhkan metoda yang berbeda dengan anak-anak lainnya, dimana
anak-anak lain akan sangat mudah belajar dengan cara menghapal.
Dari pengalaman saya dan pengalaman para orangtua yang sama-sama mempunyai
anak-anak visual learner, umumnya anak-anak ini sangat menyukai pelajaran geografi,
terutama peta-peta, matematika, dan tergila-gila dengan komputer, tetapi tidak untuk pelajaran
bahasa dan berhitung hapalan. Banyak yang bercerita, seperti juga anak saya, bahwa begitu
pandainya ia akan pelajaran geografi, topografi, dan sangat menyukai peta, anak-anak ini
sangat menyukai menjadi co-pilot jika sedang melakukan perjalanan dengan mobil.
Pengalaman saat kami melakukan liburan di kota Paris, beberapa hari sebelum berangkat ia
sibuk mempelajari peta kota Paris. Dan selama berada di hotel, ia masih saja membaca peta
secara detil. Saat jalan-jalan, ialah yang menjadi petunjuk jalan, dan dengan mudah
menemukan arah jalan kembali jika kita tersasar. Ia menjelaskan beberapa patokan gedung
penting, dan menjelaskan bahwa jika mengikuti jalan yang ditunjuk yang nama-namanya ia
ingat dari peta maka kita akan dapat menemukan kembali jalan yang pernah kita liwati.
Betapa uniknya, seorang anak 9 tahun dapat menyimpan data demikian detilnya.

Anak-anak visual learner selalu dikatakan mempunyai cara berpikir (cognitive style)
yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak-anak ini mempunyai gaya berpikir
yang disebut gestalt, yaitu berpikir secara simultan dalam bentuk gambar/visual, dan sirkuler.
Sirkuler artinya cara berpikirnya tak pernah berhenti, jika ia mendapatkan suatu informasi
maka segera informasi yang masuk akan diolah bersama-sama dengan informasi yang sudah
berada dalam rekaman memorinya, dan secara cepat dianalisa untuk kemudian menjadi
pertanyaan baru, dan di dalam otaknya segeralah ia membuat perkiraan pemecahan
masalahnya. Apabila dalam melakukan pemrosesan informasi yang baru itu tidak sesuai
dengan berbagai data rekaman di kepala, dengan serta merta ia akan segera menanyakan pada
seseorang yang tengah memberinya informasi tersebut. Sebelum ia menemukan jawaban yang
sesuai dengan data yang dimiliki, ia tidak akan menerima informasi tersebut. Situasi ini setiap
hari bisa dirasakan, dalam bentuk ia selalu membantah, dan keras kepala tidak bisa menerima
berbagai instruksi maupun informasi yang kami sebagai orangtua berikan. Agak sulit juga
memberinya tambahan-tambahan informasi apalagi jika panjang lebar, sementara informasi
yang dimilikinya masih sangat terbatas. Kesulitan memberinya tambahan informasi adalah
karena rentang perhatiannya masih pendek, dan ia masih mengalami kesulitan dalam
otomatisasi pemrosesan informasi dalam bentuk auditory ke dalam bentuk gaya berpikirnya
yang gestalt. Dalam hal ini orangtua perlu memperbesar ruang-ruang kesabarannya.

Perkembangan inteligensi
Hal yang sangat dari khas dari gifted visual spatial learner ini adalah mempunyai
profil IQ yang mempunyai deskrepansi yang besar antara profil verbal yang rendah dan profil
performansinya yang tinggi. Keadaan dengan kondisi tidak harmonis ini dilaporkan oleh
Silverman (2002) bisa membaik hingga saat usia pubertas. Dari segi perkembangan emosi dan
perilaku Aldenkamp dkk (2004) menjelaskan normalisasi perkembangan akan diperolehnya
di usia menjelang pubertas. Kecuali pada anak-anak yang mengalami komorbiditas yang
parah yang merupakan juga komorbiditas dalam bentuk cacat neurologis, ia akan mengalami
kesulitan yang terus menerus semasa hidupnya (Tan, 2004; Goorhuis & Shaerlakens, 2008).
Karena itu kepada semua anak-anak terlambat bicara ini sangat penting dilakukan
pemeriksaan yang seksama pada saat menjelang sekolah dasar, dan evaluasi yang terus
menerus hingga setidaknya di usia sekolah menengah. Hal ini semua untuk melihat mana
gangguan yang bisa menghilang, menipis, kronis, bahkan bertambah parah.
Kesulitan yang di temui di lapangan pada pemeriksaan inteligensi dengan
menggunakan tes-tes inteligensi seperti misalnya IQ tes adalah karena anak-anak ini tidak
bisa menggunakan time limit; tidak bisa dengan tes kelompok artinya harus per individu;
anak sering kurang konsentasi/sulit diajak konsentrasi/ sulit diajak komunikasi; memerlukan
cross-check tes-tes lain; dan memerlukan interpretsi per subtes secara canggih. Karena itu
untuk melengkapi tes dan mengurangi kekeliruan interpretasi hasil tes, diperlukan observasi
mendalam jangka panjang (dapat dibantu oleh sekolah), wawancara mendalam dengan
orangtua, dan laporan tumbuh kembangnya (Mnks & Katzko, 2005 ).
Banyak buku-buku terutama buku-buku lama yang yang menjelaskan bahwa pada
anak-anak cerdas yang mempunyai deskrepansi yang besar dalam profil IQ nya adalah bentuk
gifted dengan learning disabilities. Tetapi dari penelitian yang dilakukan oleh Reuver (2004)
dari sejumlah 776 anak (539 anak laki, 237 anak perempuan), umur 6 16 tahun;
kesemuanya klien Centrum voor Begaafdheid Onderzoek Katholieke Universiteit van

Nijmegen, dari tahun 1992 sampai tahun 2002, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara masalah ketidak harmonisan profil ini dengan terjadinya learning disabilities.
Dari pengalaman sebagai orangtua dengan anak gifted visual spatial learner
memberikan petunjuk betapa besar peranan orangtua dalam turut mengamati perkembangan
inteligensi anak-anaknya. Karena usia balita saat mana belum dapat dilakukan pemeriksaan
dengan IQ tes dengan hasil memuaskan, maka laporan orangtua berupa catatan-catatan seharihari dan berbagai hasil karya, permainan, kesukaan anak, dapat digunakan untuk memberikan
gambaran bagaimana sebenarnya perkembangan inteligensi anak. Hal ini sangat penting
karena di usia balita inilah si anak seringkali justru mendapatkan diagnosa yang keliru.
Dari pengalaman di lapangan dalam kelompok anakberbakat@yahoogrpus.com di
usia sekolah dasar, dalam tes inteligensinya menunjukkan adanya deskrepansi yang besar
antara inteligensi potensial (menggunakan Ravens matrics tes) dengan inteligensi aktualnya
(menggunakan Weschler tes). Kondisi ini dapat kita pahami sebagai bahwa anak-anak ini
bagai anak yang kurang mampu berprestasi dalam inteligensi aktualnya. Potensinya lebih
tinggi daripada aktualnya. Bisa jadi kondisi ini disebabkan karena kurang stimulasi atau salah
stimulasi (masalahnya berada di lingkungan), namun juga dapat berarti bahwa masih ada
penghambat prestasi yang disebabkan oleh masalah perkembangannya yang belum harmonis
(masalahnya ada pada dirinya sendiri). Karena itu kepada anak-anak ini perlu ditelusuri lagi
apa yang menyebabkan munculnya masalah deskrepansi antara potensi dan aktualnya.
Kesalahan yang paling sering ditemui di lapangan dalam kelompok
anakberbakat@yahoogroups.com adalah, kepada anak-anak yang mengalami keterlambatan
bicara ini kepadanya tidak disyaratkan untuk dilakukan pemeriksaan psikologi terutama tes
inteligensi yang cocok baginya. Jika pun orangtua mempunyai inisiatif sendiri, seringkali
perlakuan pemberian tes tidak dengan pendekatan individu, tidak ada dukungan pengamatan
dan wawancara mendalam, bahkan hasil tes dibaca sebagaimana membaca bagi tes anak
normal yang akhirnya hanya mendapatkan kekeliruan interpretasi. Misalnya hanya diberi
laporan skor total yang justru seringkali hasilnya mengarah pada kesimpulan bahwa si anak
mempunyai kemampuan inteligensi di bawah normal dan lambat belajar. Dengan saran agar si
anak di sekolahkan di SLB untuk anak lambat belajar. Tentu saja saran seperti ini dapat
membahayakan diri anak dan masa depannya.
Sementara itu, tes inteligensi juga sebetulnya dapat memberikan bantuan tambahan
dalam keperluan penegakan diagnosa, apakah anak ini memang autisme ataukah bukan
autisme (Volkmar dkk, 2004; Vermeulen, 1999, Vermeulen, 2009 ) . Secara jelas Vermuelen
(2009) memaparkan bagaimana bedanya antara perkembangan kognitif autisme terutama
asperger, jika dibandingkan dengan anak gifted. Ia menjelaskan bahwa gaya berpikir autisme
merupakan gaya berpikir yang sangat khas, yaitu sangat harafiah dan sulit melihat hubungan
sesuatu dengan konteksnya secara global. Ciri seperti ini disebutnya sebagai contextblindness.
Contextblindness ini disebabkan karena adanya keterbatasan kreativitas berpikir pada autisme,
yang menyebabkannya juga kesulitan pada pemecahan masalah dan keluwesan dalam
mengahadapi sesuatu. Pada anak gifted justru mempunyai keluwesan berpikir dan
kemampuan pemecahan masalah. Secara tegas ia pun menjelaskan bahwa seharusnyalah datadata pemeriksaan psikologi seperti tes-tes untuk melihat perkembangan inteligensi dapat
digunakan sebagai bahan tambahan dalam penegakan diagnosa.
Umumnya anak-anak ini dalam kenyataannya di lapangan di Indonesia, selalu saja
dikelompokkan ke dalam kelompok Asperger. Pengambilan kesimpulan Asperger hanya

berdasarkan melihat dua kondisi: anak berprestasi di sekolah (sebagai anak cerdas) tetapi
mempunyai masalah sosial. Dari dua kondisi ini disimpulkan bahwa anak-anak ini adalah
penyandang autisme kelompok Asperger syndrome. Padahal seorang anak Aperger
mengalami keterbatasan pada kemampuan analisa dan keterbatasan kreativitas, sekalipun ia
mempunyai IQ yang tinggi. Klin dkk ( 2000 ) Volkmar, dkk (2004), dan Vermeulen (2009)
menjelaskan bahwa apabila ada anak mempunyai gejala yang mirip dengan autisme tetapi
mempunyai kemampuan pemecahan masalah (autism mengalami deficit dalam kemampuan
visual spatial) maka untuk kepentingan pendidikan ia harus dikeluarkan dari kelompok
autisme.

Klin dkk ( 2000 ) Volkmar dkk (2004), dan Vermuelen (2009) menjelaskan bahwa apabila
ada anak mempunyai gejala yang mirip dengan autisme tetapi mempunyai kemampuan
pemecahan masalah (autism mengalami deficit dalam kemampuan visual spatial) maka untuk
kepentingan pendidikan ia harus dikeluarkan dari kelompok autisme.

Pengalaman dengan anak saya, yang dilakukan tes inteligensi dengan menggunakan
IST (Inteligence Struktur Test) oleh Centrum voor Begaafheid Onderzoek Katholieke
Universiteit van Nijmegen saat ia berusia 12 tahun menunjukkan bahwa total skor inteligensi
anak saya mempunyai tingkat inteligensi rata-rata anak gifted Belanda ( di atas 130 skala
Weschler), sekalipun dinyatakan belum berkembang secara penuh. Hal ini dapat terlihat dari
struktur inteligensinya sangat bervariasi dan terdapat scatter plot yang masih tajam di
berbagai tempat terutama dalam skala verbalnya. Misalnya saja ia memperoleh peraihan
kemampuan tiga dimensional yang luar biasa tinggi yaitu di atas 98 persentil, tetapi normal
dalam kemampuan dua dimensi. Dari kenyataan ini bisa dipahami bahwa ia akan lebih handal
dalam kemampuan matematika, mekanika, daripada aljabar linier. Dalam pendidikannya juga
kondisi ini dapat terlihat dimana prestasi peraihan matematika akan biasa-biasa saja bahkan
kadang kurang bagus dalam pelajaran aljabar linier.
Sementara itu prestasinya dalam peraihan hasil tes inteligensi dengan menggunakan
IST itu, di usianya yang ke 12 masih mengalami kesulitan dalam kemampuan analogi bahasa
yang prestasinya jauh berada di bawah rata-rata anak seusianya. Dengan demikian juga
bagaimana ia melakukan pemilihan kata-kata yang tepat untuk suatu keadaan juga masih
mengalami kesulitan. Dari tes orthopedagogi yang dilakukan di tempat lain, menunjukkan
bahwa dalam usianya yang ke 12 ia masih mengalami kesulitan dalam penguasaan vokabulari.
Disamping itu penguasaan vokabulari yang dikuasainya juga berbeda dari teman sebayanya.
Ia lebih banyak menguasai bahasa tehnik komputer, bahasa Pandora (film avatar), dan bahasa
dari outer space.... Pemeriksaan dengan menggunakan Ojemann tes di usianya yang ke 12 itu
juga, untuk melihat seberapa besar kemampuan visual learnernya yang dilakukan oleh
lembaga orthopedagogi yang bernaung di bawah Stichting Maria J Krabbe di Alkmaar,
menunjukkan bahwa ia mempunyai kemampuan visual spatial learner yang sangat kuat, yaitu
65 persen.
Hasil peraihan prestasi di sekolahnya menunjukkan masih terjadi hambatan dalam
pemahaman bahasa, bahasa ekspresi dalam menuliskan cerita, mengalami kesulitan gramatika
dan penyampaian dalam bentuk tulisan, yang menyebabkan hasil-hasil tes bahasa dan

pelajaran yang banyak menggunakan teks yang kurang memuaskan. Berbeda dengan peraihan
matematika, ilmu alam, sains, dan kimia. Ia mampu mencapai prestasi di atas rata-rata.
Artinya disini bahwa sebagaimana juga apa yang dikemukakan oleh CBO dan
berbagai literature bahwa di usianya yang ke 12 sekalipun ia sudah mampu bersosialisasi
dengan baik, namun peraihan prestasinya masih bervariasi diakibatkan oleh hambatan
perkembangan berbahasa.

Prevalensi
Berapa jumlah anak-anak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa spesifik ini?
Penelitian Yudianita Kesuma ( 2009 ) pada anak-anak usia taman kanak-kanak seluruh TK
di Palembang menunjukkan prevalensi yang sangat tinggi yaitu, 12, 9 %. Di UK, diketahui
anak yang bergangguan ekspresif saja berjumlah 3 persen (Archibald & Gathercole, ---), di
Amerika dengan prevalensi 7,4 % (Tomblin dkk, 1994). Sedang penelitian di Belanda
menunjukkan sejumlah 37 56 % anak usia menjelang sekolah dasar mengalami masalah
keterlambatan bicara (TNO raport, 2005), namun dalam penelitian ini tidak lagi diidentifikasi
dalam berbagai macam gangguan bicara dan bahasa. Berbagai perbedaan antara berbagai
negara dan berbagai peneliti itu bisa jadi disebabkan karena menggunakan alat-alat ukur yang
berbeda, dan perbedaan karakteristik masing-masing bahasa yang harus dipelajari oleh
masayarakat setempat.
Bila kita melihat prosentasi betapa tingginya masalah anak terlambat bicara (SLI) ini
bila kita bandingkan dengan gangguan perkembangan autisme yang publikasinya sering kita
dengar bahwa 1 dari setiap 150 anak (1: 150 ) atau 0,6 % adalah anak penyandang
autisme, dengan demikian apabila masalah anak SLI ini dijadikan autisme, maka bisa kita
bayangkan betapa banyaknya jumlah anak yang sebetulnya mempunyai prognosa baik ini
tetapi menjadi korban kesalahan diagnosa. Bukan hanya memprihatinkan, namun juga
membahayakan sejumlah besar nasib anak-anak pemilik visual spatial giftedness ini.

Membedakannya dengan autisme atau dengan ADD/ADHD?


Gifted visual spatial learner yang masa kecilnya mempunyai beberapa perilaku yang
mirip dengan autisme, ataupun dengan ADD/ADHD ini tentu saja tidak bisa diperlakukan
sama dengan autisme dan atau dengan ADD/ADHD. Mengingat selain neurobiologisnya
berbeda, ia juga mempunyai karakteristik kemampuan belajar serta cognitive style (gaya
berpikir) yang berbeda. Dalam menempuh pendidikannya ia juga membutuhkan metoda
pendidikan yang berbeda. Bagaimana bedanya?
Gifted plus masalah sosial emosional.
Anak-anak dengan gangguan bicara dan bahasa spesifik ini, dilaporkan oleh de Jong
(2005) Bishop (2006), dan Conti-Ramsden (2004) dalam perkembangan berbahasanya akan
mempunyai masalah juga sebagaimana autisme, yaitu ia akan mengalami masalah semantik
(pemahaman bahasa) dan juga masalah pragmatik (penggunaan bahasa). Dari sudut ilmu
patologi bahasa hal ini juga merupakan masalah pada anak-anak autisme. Sehingga jika anakanak ini dilihat dari masalah gangguan berbahasa (semantik dan pragmatik), memang mirip.
Namun perlu diperhatikan juga masalah reseptifnya. Pada anak-anak gangguan bicara dan
bahasa spesifik ini tidak mengalami masalah pada kemampuan reseptifnya walaupun
seringkali kesulitan karena memang vokabularinya masih kurang. Namun dalam perjalanan

waktunya masalah ini akan menghilang saat mana ia sudah menguasai daftar vokabulari yang
cukup banyak.
De Jong (2005) menjelaskan bahwa seringkali terjadi, hanya karena si anak masih
mengalami kesulitan pada kemampuan pragmatik dan semantik lalu diklaim sebagai anak
bergangguan autisme. Disamping itu juga hanya karena si anak mengalami masalah berbahasa
ekpspresif akibat dari masalah pragmatik dan semantik yang masih menyertainya,
menyebabkan si anak mengalami masalah bersosialisasi. Akibatnya si anak juga diklaim
sebagai anak bergangguan autisme. Padahal menurut de Jong (2005) masalah gangguan
perkembangan bersosialisasi ini bagi anak-anak bergangguan bicara dan bahasa spesifik
hanyalah masalah sekunder. Jika masalah primernya yaitu masalah berbahasa dapat diatasi
dengan bimbingan yang baik, masalah bersosialisasinya juga dapat diatasi.
Webb dkk (2005) menjelaskan bahwa pada dasarnya penyandang Asperger yang
mempunyai kemampuan dan inteligensi yang tinggi mempunyai kesamaan dengan
kelompok gifted (gifted children), yaitu :
o kedua kelompok (Asperger dan gifted) sama-sama mempunyai memori luar
biasa dan kemampuan bicara yang baik;
o mereka juga sama-sama selalu menanyakan sesuatu secara terus menerus;
o mereka membicarakan suatu bidang yang intelektual, dan sejak kecil mereka
sudah mulai melakukannya;
o mereka sangat cepat menerima sesuatu yang diminatinya, selalu mencari
tentang fakta-fakta dan pengetahuan tentang apa yang menjadi minatnya itu,
sekalipun demikian seorang penyandang Asperger tidak membuat hubungan
dengan makna yang ada dalam fakta dan pengetahuan itu;
o kedua kelompok sangat menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, sekalipun
pada Asperger hal itu lebih kepada hal yang menurutnya logik daripada sesuatu
yang menyangkut pada masalah yang emosional;
o kedua kelompok baik kelompok Asperger maupun kelompok gifted
mempunyai masalah konsentrasi karena mereka hanya ingin terfokus pada apa
yang memang mereka ingin fokuskan sehingga diluar itu mereka mengalami
kesulitan berkonsentrasi;
o kedua kelompok sama-sama mempunyai rasa humor yang datar/halus, mudah
terangsang dengan stimulus (misalnya suara), tekstur, cahaya, bau-bauan, dan
rasa;
o kedua kelompok sering dipandang oleh orang lain sebagai anak yang sangat
halus, rentan, sensitif, dan berbeda;
o keduanya mempunyai pola perkembangan yang asinkroni (pada kelompok
Asperger kondisi asinkroninya akan sangat ekstrim nampak pada perilakunya
yang lebih aneh dan lebih bagai potongan puzzle yang tidak tahu dimana
tempat yang pas baginya) ;
o keduanya mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan model
pendidikan konvensional;
o keduanya mempunyai masalah pada keterampilan sosial, merasa tidak nyaman
di tengah orang banyak;
o keduanya mempunyai kepribadian yang menarik diri.
Sekalipun ada persamaannya namun juga ada perbedaannya. Jika kita mencari-cari
persamaannya kita akan menemukan persamaannya yang luar biasa banyak. Namun agar kita

tepat memberikan pendidikannya, pengasuhan, dan intervensinya, perlu dilihat apa saja
perbedaannya. Dalam hal ini Webb dkk (2005) juga memberikan acuannya.
Sebetulnya memang akan sangat sulit melihat perbedaan antara keduanya, sebab
persamaannya memang banyak. Apalagi baik anak gifted maupun anak Aspeger seringkali
juga diikuti dengan gejala-gejala gangguan lainnya, seperti ADHD dan OCD (Obsessive
Compulsive Disorder), yang menyebabkan penegakan diagnosa menjadi semakin sulit.
Sekalipun demikian, kita tetap perlu mengingat bahwa perkembangan seorang anak gifted
yang secara alamiah memang mengalami perkembangan yang tidak sinkron, dapat
menyebabkan pola perilaku yang sering dipandang aneh, tidak sebagaimana anak normal.
Namun pola perkembangan yang aneh ini pada anak-anak gifted akan mengalami normalisasi
perkembangan saat menjelang pubertas, kecuali jika memang ia mengalami komorbiditas
dengan gangguan lain. Sementara itu pada kelompok Asperger akan mengalami gangguan
yang kronis, terus menerus dan akan dibawanya hingga dewasa dan tua.
Dalam hal ini sangat penting artinya untuk meletakkan diagnosa yang tepat, sebab jika
seorang penyandang Asperger hanya dianggap sebagai anak gifted yang aneh dan terlalu
sensitif, maka ia artinya tidak akan mendapatkan terapi yang tepat bagi masalah gangguan
autismenya. Sebaliknya, jika seorang anak gifted mendapatkan diagnosa Asperger, maka ia
akan mendapatkan salah penempatan dalam pendidikannya, disamping juga mendapatkan
berbagai terapi autisme yang sebetulnya tidak dibutuhkannya.
Nasihat Webb dkk (2005) ada dua kunci yang terpenting bagaimana agar kita dapat
membedakan antara Asperger dan gifted:
1. Amati dan lakukan pemeriksaan dengan teliti pada perilaku anak saat mana ia melakukan
berbagi ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada teman-teman sebayanya. Pada anak
Asperger akan menunjukkan perilaku dimana ia mengalami kesulitan membangun kontak
sosial dengan cara menarik perhatian teman sebayanya agar mendengarkan dan tertarik
pada objek cerita yang disampaikannya. Cara penyampaiannya dengan cara yang
kekanakan (terasa kurang matang), serta monoton. Ia akan bercerita terus tanpa
memperhatikan apakah orang lain sudah bosan. Objek yang dibicarakannya juga
seringkali tidak pada hal-hal yang bersifat sosial, misalnya tentang bermacam-macam
mesin cuci, tentang planet, atau dinosaurus. Sebaliknya pada anak gifted walau kadang
membosankan namun ia juga mempunyai minat pada masalah budaya ataupun masalah
kemanusiaan dan politik. Ia juga mencoba agar orang lain tertarik dengan apa yang
dibicarakannya. Ia mengajak orang lain untuk memahami apa yang dipikirkannya. Pada
kelompok Asperger tidak, karena ia sendiri karena keterbatasannya pada kemampuan
berbahasa simbolik maka ia kesulitan membaca pikiran orang lain, sehingga ia juga
mengalami kesulitan bagaimana agar orang lain tertarik pada apa yang menjadi
pikirannya. Ia akan berbicara terus menerus tanpa menghiraukan apakah orang lain bosan
apa tidak.
2. Amati dan periksa baik-baik pada waktu berbagi ilmu pengetahuan itu, apakah anak
mempunyai intuisi untuk melihat orang lain dan juga apakah orang lain melihat pada
dirinya.
Seorang anak gifted pada dasarnya mempunyai intuisi yang tajam terhadap situsai sosial
dan selalu ingin tahu apakah orang lain melihat dirinya atau tidak; sedang pada anak
dengan Asperger Syndrome tidak mempunyai intuisi seperti ini. Secara umum dapat
dikatakan bahwa seorang anak gifted selalu sadar bahwa dirinya berada di tengah orang
banyak dan sering justru mengalami stress jika ia tidak mampu menyesuaikan diri di
tengah orang banyak. Ia sangat sensitif terhadap bagaimana pandangan orang lain. Anak
gifted bila mendapatkan teman yang seichwan, ia dapat berkomunikasi dengan baik dan
akan terjadi komunikasi timbal balik yang bisa berisi muatan nuansa empathi dan emosi.

Kenyataan di lapangan juga sering terjadi bahwa anak-anak gifted yang mempunyai
kepribadian menarik diri, seringkali menerima diagnosa sebagai penyandang autisme
Asperger. Bukan berarti bahwa jika didapati seorang anak yang menarik diri dan mengalami
kesulitan bersosialisasi artinya ia adalah penyandang autisme. Sebab gangguan bersosialisasi
dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Pada autisme gangguan bersosialisasi pada
dasarnya disebabkan karena adanya gangguan atau keterbatasan pada emosi sosial dan
keterbatasan kemampuan memahami bahasa mimik (Vermuelen, 2002).
Dalam pendidikan, kesulitan anak autisme Asperger lebih disebabkan karena
keterbatasannya dalam kemampuan kreativitas, kemampuan berpikir analisa dan pemecahan
masalah, hal-hal yang abstrak, serta kemampuan berfantasi dan imajinasi (Baltussen dkk,
2003). Hal itu jugalah yang menyebabkan keterbatasan pada pengembangan bidang minatnya.
Dengan kata lain, bidang minatnya sangat sempit. Dalam situasi sosial ia juga sangat kesulitan
dalam situasi yang tak terstruktur seperti misalnya di lapangan bermain saat keluar main, di
mana di lapangan segala hal dapat saja terjadi tanpa diduga.
Apabila kita mendapatkan anak kita mempunyai gejala-gejala yang tidak cocok
sebaliknya sebagiannya juga cocok dengan baik gejala anak gifted, dan juga penyandang
Asperger, maka hal ini perlu diadakan pengamatan yang dalam, secara multidisiplin dalam
berbagai bidang keilmuan terutama neurologi, psikatri, psikologi, dan orthopedagogi.
Diharapkan semua profesi juga memahami masalah baik pada anak gifted maupun pada anak
autisme. Dalam hal ini bila mendapatkan anak dengan diagnosa Asperger dan kita ragu-ragu
akan diagnosa tersebut, Webb dkk (2005) juga memberikan beberapa beberapa butir dalam
daftar di bawah ini (gejala di bawah ini adalah gejala untuk seorang anak gifted):
Menunjukkan adanya kemampuan hubungan interpersonal pada saat ia berbagi bidang
minatnya.
Mempunyai pengetahuan yang sangat dalam dan intensif dalam bidang yang
diminatinya, tetapi tanpa perilaku yang berkaitan dengan Asperger.
Akan sangat tertarik pada ide-ide yang abstrak, dalam situasi tak terstruktur, dan
mampu membangun ide-ide yang inovatif.
Mempunyai gerakan-gerakan yang atipikal namun dalam kontrol dan kesadaran10.
Mempunyai gerakan yang aneh yang lebih disebabkan karena stress atau pelepasan
energi.
Tidak mempunyai gangguan motorik.
Mempunyai intuisi untuk membangun kontak emosi dengan orang lain dan kontak
interpersonal dengan orang lain.
Mempunyai emosi yang sesuai dengan topik pembicaraan.
Dapat menunjukkan empathi dan simpathi dalam berbagai situasi.
Gaya bicara dan humornya seringkali lebih mirip orang dewasa.
Memahami humor dan menggunakan humor dalam situasi sosial secara timbal balik,
bukan hanya humor sepihak saja, bermain kata, dan searah.
Mempunyai kesadaran akan dirinya, dan sangat memahami apa akibat dari
perilakunya terhadap orang lain bagi dirinya sendiri.
Sadar bila diamati orang lain, dan tahu bagaimana perilaku akan memberikan efek
pada orang lain.
Dapat mentoleransi bila tiba-tiba ada perubahan, atau bersikap pasif terhadap
perubahan itu.
Bisa memahami makna bahasa kiasan.
10

Gerakan atipikal atau kegiatan yang berulang-ulang pada anak gifted seringkali merupakan gerakan mencobacoba seringkali salah diinterpretasi sebagai gerakan stereotipik dan repetitif pada autisme.

Mengalami kesulitan perhatian bila suatu ide datang dari orang lain, daripada bila
datangnya dari pikirannya sendiri.

Namun bagaimana jika didapatkan anak mempunyai gejala perkembangan kognitif


sebagai anak gifted namun mempunyai gejala perilaku autisme yaitu sangat menarik diri dan
mengalami kesulitan dalam pergaulan, maka kelompok anak ini juga disebut sebagai
kelompok anak gifted plus, yaitu gifted dengan masalah sosial emosional. Bukan gifted plus
autisme, karena kedua kelompok mempunyai karakteristik yang berkebalikan. Apabila kita
dapati seorang anak mempunyai kedua gejala sekaligus, yaitu beberapa gejala mirip dengan
autisme namun juga mempunyai kemampuan pemecahan masalah, maka anak ini perlu
dikeluarkan dari kelompok autisme (Klin dkk, 2000). Hal ini dimaksudkan demi menyusun
strategi pendidikannya, dimana perlu strategi pemberian materi yang berbeda (Baltussen dkk,
2003)

Gifted plus masalah konsentrasi


Konsentrasi adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi anak untuk belajar.
Belajar apa saja, baik belajar bicara, olah raga, maupun belajar di sekolah. Konsentrasi juga
ditentukan oleh sistem kesadaran manusia terhadap dirinya bahwa ia tengah berhubungan
dengan dunia luar untuk menerima informasi.
Dalam kaitannya dengan masalah belajar bicara ini, laporan dari Goorhuis &
Shaerlakens (2008) bahwa sebagian anak-anak ini memang mempunyai masalah dalam
mengkonsentrasikan diri untuk belajar bicara. Namun kita dapat memakluminya, karena
sebagaimana yang dikemukakan oleh de Groot & Paagman (2003), Silverman (2002) maupun
Tan (2004) bahwa anak-anak ini mempunyai gaya berpikir gestalt (simultan) yang kuat
terutama saat anak-anak ini masih balita. Padahal untuk belajar bicara dibutuhkan
kemampuan konsentrasi yang baik agar seorang anak bisa mendengarkan informasi yang
masuk melalui telinganya secara berurutan (sekuensial). Silverman (2002) menjelaskan
sebagai kelemahan dalam bentuk kemampuan auditory skeunsial.
Dalam mailinglist anakberbakat@yahoogroups.com juga banyak orangtua yang
melaporkan si anak mempunyai konsentrasi yang kacau. Ia tidak bisa diajak suatu permainan
dalam waktu yang cukup lama. Ia selalu cepat berpindah-pindah dari satu permainan ke
permainan lain sebelum mainannya selesai atau terwujud. Namun jika si anak menemukan
permainan yang menarik baginya, maka si anak tak bisa lepas lagi permainan itu. Ia justru
akan sangat terfokus, bahkan hiperfokus. Disinilah masalah yang sering ditemui orangtua.
Anak hanya berkonsentrasi pada hal-hal yang menjadi minatnya saja, sementara untuk hal lain
yang tidak menjadi minatnya ia nampak bagai anak yang tidak bisa berkonsentrasi yang
menyebabkan ia bisa terjerat dalam diagnosa anak bergangguan konstrasi.
Gangguan konsentrasi plus hiperaktif, dalam DSM IV diidentifikasikan sebagai
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Sementera itu banyak sudah pemikiran
para ahli yang berkecimpung dalam anak-anak bermasalah psikiatri, mengetengahkan bahwa
ADHD tidaklah mungkin kemudian berubah menjadi ADD (Attention Deficit Disorder),
sebab masalah ini adalah masalah gangguan/cacat neurologis. Sehingga pada anak ADHD,
gangguan ini akan dibawanya seumur hidup, dan tidak bisa hilang. Gangguan konsentrasi
sendiri kemungkinan merupakan gangguan yang akan menyertai semua gangguan psikiatri
(Patternote & Buitelaar, 2006). Artinya disini bila orangtua mendapatkan anaknya berubah
diagnosa dari ADHD ke ADD, maka perlu dipertanyakan kembali bagaimana dengan
diagnosa tersebut.

Penyebab ADHD sendiri dipahami sebagai gangguan neurologis di pusat perencanaan


perilaku dan sistem inhibisi (sistem rem), yaitu executive function yang letaknya di lobus
frontal (Aldenkamp dkk, 2003). Karenanya masalah yang muncul pada anak penyandang
ADHD/ADD akan muncul di semua setting (di sekolah, di rumah, maupun di tempat
bermain).
Sementara itu Webb dkk tahun 2005 melaporkan bahwa di Amerika setengah dari
anak yang mendapatkan diagnosa ADHD ternyata bukan ADHD tetapi anak-anak gifted.
Masih menurut Webb dkk (2005) anak gifted dapat terjerat ke dalam diagnosa ADHD, karena
kriteria diagnosa yang digunakan untuk menegakkan diagnosa ADHD yaitu kriteria diagnosa
ADHD menurut DSM IV, tidak mempunyai kriteria diagnosa pembanding dengan perilaku
anak gifted.
Sidney M Moon psikolog ahli anak gifted, dalam artikelnya Gifted children with
attention deficit hyperactivity disorder, yang ditulis bersama dengan beberapa kolega lainnya
dalam sebuah buku berjudul The social and emotional development of gifted children, what
do we know tahun 2002, menjelaskan bahwa karena adanya beberapa gejala yang mirip antara
ADD/ADHD dengan karakteristik perilaku anak gifted, maka seringkali justru anak-anak ini
mendapatkan penanganan sebagaimana penyandang ADD/ADHD sekalipun anak-anak ini
secara siknifikan tidak memenuhi kriteria ADD/ADHD. Menurutnya kesalahan identifikasi
seperti ini justru akan memberikan konsekuensi yang negatip terhadap perkembangan sosial
emosional anak gifted itu sendiri. Selain itu kebutuhan yang sebenarnya perlu diberikan bagi
perkembangan anak ini tidak akan terpenuhi, disamping itu ia juga harus menerima
penanganan yang tidak semestinya, misalnya pemberian obat-obatan psikotropika.
Sebaliknya menurut Moon lagi, bahwa seringkali juga terjadi pada anak-anak gifted
ini, justru keberbakatannya menutupi atau menyelubungi gangguannya, dalam hal ini
ADD/ADHD yang disandangnya. Sehingga ADD/ADHD yang ada padanya cukup sulit
diidentifikasi.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan Moon (2002) mengapa terhadap anak-anak
ini sering terjadi kesalahan identifikasi, baik keberbakatannya maupun gangguan
ADD/ADHD yang disandangnya.
Pertama. Ada penelitian yang pernah dilakukan oleh Castellanos, tahun 2000 (dalam
Moon, 2002) , yang menyatakan bahwa semakin tinggi IQ anak tersebut, diagnosa
ADD/ADHD akan semakin lambat bisa ditegakkan. Ia menyebut keadaan seperti ini sebagai
hidden ADD/ADHD atau ADD/ADHD yang kasat mata. Keterlambatan ini justru akan
memunculkan konsep diri negatip pada anak tersebut. Sebab sekalipun ia mencoba untuk
mengatasi masalahnya sekuat tenaga, namun hanya akan menghasilkan efek yang kecil
terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan akibat ADD/ADHD nya itu. Seperti misalnya,
disorganisasi, day dreaming, terlalu banyak bicara, tidak bisa diam, dan kekurang matangan
sosial. Sekalipun keberbakatannya dapat teridentifikasi, namun apabila ADD/ADHD yang
disandangnya tidak teridentifikasi, maka akibat gangguannya itu, akan mudah memunculkan
masalah gangguan belajar. Begitu juga jika prestasi anak ini ternyata hanya berada di batas
rata-rata teman sekelasnya (prestasi rendah relatif), maka keduanya baik keberbakatannya
maupun gangguannya tidak akan teridenfikasi.
Kedua. Melakukan identifikasi keberbakatan terhadap anak-anak ini dengan
menggunakan alat ukur tes IQ, menurut banyak psikolog ahli gifted juga sangat sulit. Sebab
kondisi gangguan konsentrasi dan perhatiannya akan menyebabkan ketidak efisienan dalam
proses kognitifnya yang dapat menghasilkan skor menjadi berada di bawah kemampuan yang
sebenarnya. Menurut berbagai laporan penelitian yang dicatat oleh Moon, skornya bisa

berada di bawah 5 hingga 10 point dari skor normalnya. Terutama performansi IQ bisa justru
menunjukkan berada 10 40 point di bawah verbal IQ nya. Maka bila prosedur penentuan
anak-anak gifted menggunakan tes IQ saja, anak-anak ini tidak akan teridentifikasi sebagai
anak gifted.
Ketiga. Kesulitannya lagi adalah, karakteristik anak gifted yang mempunyai pola
ADD/ADHD justru akan lebih memberikan hasil yang lebih baik jika ia mendapatkan tekanan
sebagai stimulan yang bisa meningkatkan minatnya, dan kemauan atau motivasinya. Artinya
anak-anak ini justru akan bekerja lebih serius jika tugas yang diberikan cukup menantang,
memikat, berada di bawah tekanan waktu atau deadline, serta cepat. Sayangnya anak-anak
seperti ini akan mengalami kesulitan beradaptasi dalam sebuah kelas konvensional yang berisi
anak-anak campuran dengan berbagai tingkat kecerdasan. Dengan bentuk kelas seperti ini ia
akan mengalami kefrustrasian dan hanya akan memunculkan gejala ADD/ADHD nya. Sedang
dengan tugas yang menantang, memikat dan mampu meningkatkan motivasinya justru ia akan
membangun konsentrasi sangat baik, bahkan hiperfokus, dan gejala ADD/ADHD dapat
menghilang. Artinya disini bahwa ia mempunyai profil kerja yang mempunyai deskrepansi
atau perbedaan, jika bekerja di bawah tekanan waktu dan stimulasi, dengan jika tidak
mendapatkan tekanan dan stimulasi. Kelompok anak seperti ini justru sering menyebabkan
para guru menjadi frustrasi dan dapat menghantarnya untuk tidak terpilih sebagai anak gifted
agar dapat menerima program keberbakatan.
Perilaku repetitif pada autisme VS perilaku trial and error pada anak gifted
Kesalahan diagnosa anak-anak gifted visual spatial learner ini seringkali juga sudah
salah terdiagnosa sejak dini sekali, yaitu di usianya yang kedua. Keadaan ini nampaknya
hampir menyeluruh. Hal yang menjadi perhatian utama adalah karena anak-anak ini terlambat
bicara dan diinterpretasi mempunyai gejala perilaku repetitif tanpa melihat lagi kemampuankemampuan lain seperti misalnya kemampuan berbahasa simbolik dan kehangatan relasi ibu
dan anak (anak tidak mengalami gangguan kontak).
Perilaku yang sering ditunjuk sebagai perilaku repetitif autisme adalah perilaku cobacoba yang sangat intensif di fase eksploratif yang dilakukan oleh anak-anak gangguan bicara
dan bahasa spesifik ini. Di usianya yang ke 18 bulan hingga usianya yang ketiga, dilaporkan
oleh para orangtua anakberbakat@yahoogroups.com umumnya anak-anak ini melakukan
kegiatan eksplorasi dengan mencari-cari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Dipegang,
diputar, dicolok-colokkan ke lubang-lubang, bahkan dibanting-banting. Umumnya sangat
menyukai benda-benda yang bergerak (seperti kipas angin, air mengalir), yang dapat diputarputar (seperti roda mobil), dan dibanting-banting (seperti bola, pintu). Kegiatan seperti ini
dalam berbagai literature gifted children disebut kegiatan eksplorasi dan mencoba-coba (trial
and error) untuk menemukan sesuatu yang menarik baginya (Mooij, 1991). Perilaku trial and
error ini memang sangat menghawatirkan para orangtua, karena si anak akan melakukannya
terus menerus berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulanan dengan kegiatan yang sama. Ia
asyiek bermain dengan bentuk perilaku itu, namun bagi dirinya merupakan kegiatan yang
menggembirakan. Misalnya ia menyusun balok-balok sampai tinggi lalu disepak agar jatuh.
Setiap hari ia bermain hal itu, dan ia akan sangat gembira jika balok-balok itu jatuh
berantakan, tertawa gembira sambil bertepuk-tepuk tangan. Bentuk perilaku ini di usianya
yang ketiga seringkali sudah mulai menghilang atau bertambah luas dan kaya dengan
beragam kegiatan lain. Di usianya yang ketiga biasanya si anak sudah bisa bermain konstruksi
tiga dimensional.

Bentuk perilaku repetitif pada autisme dinyatakan oleh para ahli sebagai perilaku yang
berulang-ulang tanpa tujuan. Hal ini lebih disebabkan oleh masalah gangguan neurologis
(Baltussen dkk, 2003).

Memerlukan pendidikan dalam kelas inklusi


Dari pengalaman di Belanda memilih pendidikan bagi anak dengan anak gifted visual
spatial learner, (demikian juga orangtua lain di dalam mailinglist
anakberbakat@yahoogroups.com) kesulitannya adalah menentukan bentuk sekolah yang
bagaimana yang cocok untuknya. Banyak dari anak-anak ini di Belanda juga mengalami
kesulitan di tempatkan di kelas-kelas reguler (sekalipun dengan pendekatan inklusi) yang
disebabkan karena beratnya masalah komorbiditas tadi, serta masalah perkembangan anakanak gifted yang akhir-akhir ini diketahui bahwa mempunyai perkembangan yang sangat
krusial (mengalami disinkronitas). Orangtua, pihak sekolah, dan profesi yang terkait perlu
duduk bersama menentukannya (Mnks & Pfuger, 2005 ).
Namun saat menentukannya sering terjadi konflik antara pihak sekolah dan orangtua.
Disini peranan para ahli sungguh sangat dibutuhkan, untuk memberikan pemahaman pada
orangtua dan pihak sekolah. Hal yang sering terjadi adalah, pihak sekolah menolak menerima
si anak alasannya si anak mempunyai masalah yang parah (yang sebetulnya tidak, dimana
kemungkinan masalah yang muncul adalah akibat tidak terlayaninya giftednessnya yang
mengakibatkan munculnya masalah perilaku dan emosi). Atau sebaliknya orangtua
menganggap anaknya tidak parah (yang sebenarnya memang parah) dan menginginkan di
sekolah reguler tanpa pendekatan khusus.
Ada hal yang sungguh sangat menarik untuk dikaji, adalah sikap orangtua terhadap
kondisi anak. Sekalipun anak mempunyai potensi keberbakatan yang luar biasa, dan dapat
ditunjukkan dengan adanya sinyal-sinyal tumbuh kembang, sinyal kepribadian, dan sinyal
keberbakatan, namun jika anak tidak menunjukkan prestasi yang baik, bahkan ada masalah
dalam bersosialisasi dan emosi, maka orangtua akan malu menerima diagnosa si anak sebagai
anak gifted, sekalipun disebut sebagai gifted plus masalah yang mengalami underachievement
(prestasi rendah). Akibatnya anak juga kurang mendapatkan bimbingan keberbakatannya
yang menjadikan masalahnya semakin parah.
Diantara anak-anak itu ada yang mengalami kesulitan di tempatkan di sekolah reguler
(sekalipun dengan pendekatan inklusi) disebabkan karena masalah yang disandangnya
memang sulit ditangani di sekolah ini. Sehingga sekolah reguler dengan pendekatan inklusi11
ini tidak dapat menangani anak-anak gangguan bicara dan bahasa spesifik yang memang
mempunyai gangguan ikutan yang parah. Akhirnya anak-anak ini sering dikirim ke sekolah
untuk anak-anak dengan gangguan perkembangan bicara dan bahasa yang parah, misalnya
kelompok anak penyandang autisme dan anak-anak yang gangguan bicara dan bahasa karena
gangguan inteligensi (di bawah 80). Dengan begitu penanganan bagi anak-anak ini
diutamakan penanganan pada masalahnya. Namun kerugiannya adalah di sekolah seperti ini
tidak disediakan program untuk pengembangan keberbakatan tinggi.

11

Pendekatan inklusi di Belanda dibatasi untuk anak-anak dengan inteligensi normal ke atas, dan terbatas pada
masalah-masalah ADHD, autisme, disleksia, dan gifted children. Anak-anak gangguan bicara dan bahasa
spesifik adalah anak-anak normal (tanpa cacat neurologis), tidak ada diagnosa baginya, sehingga
penempatannya diberikan di sekolah reguler ini.

Jalan keluar yang kini tengah ditempuh oleh para orangtua untuk sekolah dasar adalah
bersama sekolah-sekolah dengan pendekatan onderwijs op maat12 ( sekolah yang sesuai
dengan kebutuhan anak), yaitu dengan cara membangun kelas-kelas khusus untuk anak-anak
gifted dengan segala permasalahannya. Hingga kini bentuk kelas ini masih merupakan kelas
alternatif dan belum mendapatkan subsidi dari pemerintah, karena peraturan dan pedomannya
masih dalam taraf pengusulan. Salah satu yang menjadi kerugian dalam bentuk kelas khusus
ini adalah anak-anak gifted ini tidak bergaul dengan anak-anak normal lainnya. Padahal
kelompok anak gifted terlambat bicara adalah anak yang mempunyai prognosa yang baik, dan
dikelompokkan dalam kelompok anak normal (tidak bergangguan/cacat neurologis).
Nyiokiktjien & Xavier Tan (2005) menjelaskan bahwa anak-anak dengan gangguan
bicara dan bahasa spesifik yang murni hanya karena perkembangannya saja (pure dysphatic
development) untuk menempuh pendidikannya, ia dapat diberikan program yang sama dengan
anak-anak lain. Hal ini mengingat bahwa reseptif anak-anak ini memang baik, dan tidak ada
masalah lain. Namun jika si anak mempunyai masalah lain, maka diperlukan adanya
pendekatan individual sesuai dengan masalah yang ada. Untuk ini anak memerlukan metoda
sendiri dengan menggunakan Individual Education Program (IEP) dan juga guru-guru
remedial untuk membantu mengatasi masalah yang ada.
Tercapainya pendidikan inklusi bagi anak gifted dengan masalah, memang membutuhkan
guru kelas yang memahami persoalan. Bukan hanya memberikan materi pengkayaan,
pendalaman, atau percepatan, namun juga bagaimana berbagai aspek perkembangan yang lain
mendapatkan perhatian. Beberapa kompetensi yang diperlukan adalah ( Montgomery, 2009):
Pengetahuan tentang metoda pengajaran.
- guru perlu memahami tujuan inti pendidikan, terutama tujuan inti setiap
tahun ajaran, serta tujuan antara untuk mencapai tujuan inti tersebut;
- guru perlu memahami berbagai metoda yang harus diberikan pada murid,
serta struktur dan fungsinya.
Pengetahuan tentang teori mengajar dan berbagai cara belajar
- untuk mengembangkan strategi kerja serta strategi mengajar bukan saja
hanya memberikan metoda-metoda pendalaman, pengkayaan, dan
percepatan, namun juga metoda-metoda lain yang dibutuhkan sesuai gaya
belajar serta kesulitan yang dihadapi anak;
- guru harus juga memperhitungkan berbagai perbedaan gaya belajar anak,
serta gaya belajar yang sangat individual yang dapat mempengaruhi caracara pemberian pelajaran pada anak. Ia harus mampu secara luwes dan
fleksibel melayani gaya belajar anak yang berbeda-beda.
Pengetahuan tentang metoda pembelajaran seorang anak gifted
- guru perlu memahami berbagai kategori metoda pembelajaran gifted
(pengkayaan, pendalaman, dan percepatan);
- guru mempunyai persediaan materi belajar yang dapat diberikan kepada
murid;

12

Onderwijs op maat, adalah bentuk sekolah yang menyediakan tawaran pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan anak (sekolah yang adaptif) dengan pendekatan inklusi. Sekalipun dalam garus besar pendidikan
sudah ada pedoman bahwa semua sekolah harus melaksanakan onderwijs op maat, namun siapa saja yang dapat
masuk ke bentuk sekolah ini tergantung dari SDM yang dimiliki sekolah.

guru selalu siap selama proses pembelajaran dalam mencapai tujuan belajar
baik terhadap materi-materi reguler maupun materi tambahan dalam
pegkayaan, pendalaman maupun percepatan.
Pengetahuan tentang anak berkekhususan
- guru perlu memahami berbagai karakteristik anak didiknya yang mempunyai
kekhususan, gangguan dan kesulitan dalam pembelajaran;
- guru perlu memahami bagaimana metoda pembelajaran bagi anak-anak
berkekhusuan;
- guru perlu memahami dan mampu tentang cara-cara mengatasi jika terjadi
kedaruratan pada anak didik (misalnya terjadi peledakan emosi pada anak).
Manajemen kelas yang efektif
- guru mempunyai kemampuan menguasai kelas dengan berbagai pola
perilaku maupun kebutuhan;
- guru mampu memberikan struktur yang jelas bagi berbagai macam pola
kemampuan dan gaya belajar murid (struktur waktu, struktur materi, dan
struktur ruang);
- guru mampu memberikan materi berbeda-beda (kurikulum berdiferensiasi)
- guru mampu menguasai kelas selama proses belajar sedapat mungkin dalam
keadaan tidak ada ketegangan.

PENUTUP
1. Mengingat banyaknya terjadinya kesalahan diagnosa bagi anak-anak gangguan
perkembangan bicara dan bahasa spesifik (Specific Language Impairment) yang mana
anak-anak tersebut mempunyai visual spatial giftedness dengan pola tumbuh kembang
dan perilakunya yang khusus, maka perlu diusulkan kepada pihak keilmuan yang
mengupas anak-anak gifted visual spatial learner (yaitu keilmuan psikologi) untuk
memberikan informasi secara formal kepada profesi kedokteran (ilmu kedokteran anak,
ilmu kedokteran jiwa, dan ilmu kedokteran syaraf), serta membangun kesepakatan
bersama tentang interpretasi tampilan gejala. Kesalahan-kesalahan yang terjadi
disebabkan karena di pihak profesi kedokteran hingga saat ini memang tidak memberikan
diagnosa pembanding (differential diagnosis) bagi gangguan ADHD dan autisme dengan
anak-anak gifted.
2. Hingga saat ini tidak ada ceklist baku untuk menjaring anak-anak gifted yang sudah
standar dan diakui secara internasional, hal ini disebabkan karena pola tumbuh kembang
anak-anak gifted yang memang sangat krusial. Karena itu untuk menghindari kesalahan
diagnosa diperlukan wawancara mendalam, observasi longitudinal, pemantauan tumbuh
kembang, dan melihat berbagai sinyal-sinyal yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini
secara kualitatif bagi seorang anak gifted. Sinyal-sinyal itu adalah sinyal tumbuh
kembang, sinyal kepribadian, dan sinyak keberbakatan.
3. Pendidikan yang paling cocok untuk anak-anak ini adalah pendidikan yang
memperhatikan keunikan anak, yaitu pada faktor lemah anak dan juga faktor kuat anak.
Faktor lemah anak yaitu kesulitan perkembangan berbahasa, dan masalah perkembangan
sosial emosional anak. Sedang faktor kuatnya adalah visual spatial giftedness nya. Ia
memerlukan pendidikan dengan kurikulum berdiferensiasi, yang menantang dan sesuai
dengan keberbakatannya. Anak-anak gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik
ini mempunyai kekuatan dalam ilmu-ilmu yang presisi seperti matematika, mekanika,
fisika, geografi/topografi, dan sains. Namun lemah dalam mata ajaran yang banyak

menggunakan teks/bahasa, serta kelemahan dalam hapalan serta aljabar linier. Bentuk
kelas seperti ini adalah kelas inklusi.
Daftar bacaan
Bishop,DM (2003): Autism, neural basis and posibilities, Wiley, Chibester (Novaritas Fondation Symposium
251) p 213 254.
Greenspan, S.J (1995): The challanging Child, Addison-Wishley Company, Massachusetts
Mnks, JF & Katzko, MW ( 2005): Giftedness & gifted education, dalam Conception of giftedness, ed:
Sternberg, RJ & Davidson, J E, Cambridge University Press, New York.
Mnks JF & Ypenburg,I (1995): Hoogbegaafde kinderen thuis en op school, Samson HD Tjeenk Willink,
Alpheen aan de Rijn.
Monks,JF & Knoers,AMP (2000): Ontwikkeling psychologie, van Gorcum, Assen.
Mnks, JF & Katzko, MW ( 2005): Giftedness & gifted education, dalam Conception of giftedness, ed:
Sternberg, RJ & Davidson, J E, Cambridge University Press, New York.
Mnks,JF & Pflger, R (2005): Gifted Education in 21 European Country: Inventory and Persfective, Radboud
University Nijmegen, The Netherland.
Montgomery, D (2009): Able, gifted, and talented underachiever, Wiley-Blackwel, West Sussex.
Mooij, T (red) (1991): Onderwijs aan hoogbegaafde Kinderen, Dick Coutinho Muiderberg.
Mooij, T (1991): Schoolproblemen van hoogbegaafde kinderen, richtlijnen voor passend onderwijs, Dick
Coutinho - Muiderberg.
Mooij, T., Hoogeveen, L., Driessen, G., van Hell, J., Verhoeven, L. (2007): Succescondities voor onderwijs aan
hoogbegaafde leerlingen, Eindverslag van drie deelonderzoeken, Radboud Universiteit Nijmegen
Neihart,M; Reis, SM; Robinson, NM; Moon,SM (2005): The social emosional development of gifted children,
what do we know?, Prufrock Press,Inc.Texas.
Nyiokiktjien, C (2005): De relatie tussen taalontwikkelingstornissen en autisme, Wettenshaplijk Tijdshrieft
Autisme, jaargang 2005, nummer 2.
Ojemann, P.J (1987): Woordblindheid en beelddenken, compentatie, correctie, preventie, Van Loghum
Slatereus, Deventer.
Paternotte, A & Buitelaar,JK (2006): Het is ADHD, alles over kenemerken, diagnose, behandeling, en aanpak
thuis en op school, vereniging Balans/Bohn Stafleu van Loghum, Bilthoven.
Tomblin JB; Record NL; Buckwalter P, Zhang X; Smith E & OBrien M (1997): Prevalence of specific language
impairment in kindergarten children, J Speech Lang Hear Res. 1997 Dec;40(6):1245-60.
Reuver, J (2003): de WISC-RN als presenteerblaadje? Een onderzoek naar het vaststellen van schoolproblemen
bij kinderen op basis van het verschil tussen hun verbal en performal IQ, Doctoralscriptie opleiding
pedagogische wetenschappen afstududeerichting orthopedagogiek, Universiteit Leiden.
Reuver,J & Peters,W (2004) : Verbaal-Performaal Discrepanties en Schoolprobelemen, Talent, Mei 2004.
Silverman, LK (2002): Upside-Down Brilliance, The Visual Spatial Learner, DeLeon Pub., Denver, Colorado.
Stephenson, J (2004): A Teachess guide to controversial therapy, Special Education Perspectives, Volume 13,
Number 1, pp. 66-74, 2004
Tan, X (2005) Dysfatische Ontwikkeling, Suyi Publicaties, Amsterdam.
TNO Raport (2005) : http://tno-kwaliteit-van-leven.adlibsoft.com/docs/spraaktaalont.pdf
Volkmar,F; Lord C; Bailey A; Schultz RT; Klin A (2004): Autism Pervasive Development Disorder, Journal of
Child Psychology and Psychiatry, 45 1(2004) p 135 - 170
Webb,JT; Armend,ER; Webb,NE;Goerss,J; Beljan,P; Olenchak,FR (2005): Misdiagnois and Dual Diagnosis of
Gifted Children and Adults, Great Potential Pers,inc., Scottsdale, Arizona.
Vermeulen,P (1999): Brein bedriegt, als autisme niet op autisme lijk, Vlaamse Dienst Autisme en Uitgeverij
EPO, Berchem.
Vermeulen,P (2009): Autisme als contextblindheid, Uitgeverij Epo, Berchem.
Von Krolyi, C & Winner, E (2004): Dyslexia and visual spatial talents: are they connected? Dalam: Student
with both gifts and learning disabilities, identification, assessment, and outcomes, ed. Newman, TM. &
Sternberg, RJ., Kluwer Academic/Plenium Publisher, NewYork/Boston/Dordrecht/London/Moscow.
Yudianita Kesuma, Rismarini, Theodorus, Mutiara Budi Ashar (2009): Association between specific language
impairmaint with behavioural disorder among preschool children in Palembang, Dept of child health
University of Sriwijaya/Dr. Moh. Hoesin, Palembang.

You might also like