You are on page 1of 45

BAB 1

PENDAHULUAN
Hati merupakan organ terbesar di dalam tubuh manusia,terletak di rongga
perut sebelah kanan dan mempunyai fungsi amat penting pada proses
metabolisme. Fungsi hati antara lain: Metabolisme zat-zat gizi seperti Protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, Memproduksi dan menyimpan energi,
sintesis (pembentukan) beberapa jenis protein, dan mengubah senyawa beracun
menjadi tak beracun. Oleh karena itu apabila terjadi kerusakan sel-sel parenkim
hati akut maupun kronik yang berat,fungsi-fungsi tersebut akan mengalami
gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan seperti sirosis hati dan
ensefalopatik hepatik.1
Sirosis hepatis (SH) merupakan konsekuensi dari penyakit hati kronis
yang ditandai dengan penggantian jaringan hati oleh fibrosis, jaringan parut dan
nodul regeneratif (benjolan yang terjadi sebagai hasil dari sebuah proses
regenerasi

jaringan

yang

rusak)

akibat

nekrosis

hepatoseluler,

yang

mengakibatkan penurunan hingga hilangnya fungsi hati. Hepatitis viral B dan C


dapat menyebabkan sirosis. Sekitar 20% dari penderita Hepatitis B kronik akan
berkembang menjadi sirosis, sementara 20-30% penderita Hepatitis C kronik
akan bekembang menjadi sirosis dalam 20-30 tahun (Bacon 2008). 2 Konsekuensi
patofisiologi sirosis diantaranya perubahan aliran darah hepatik yaitu hipertensi
portal, dan menurunnya massa sel fungsional, yang menyebabkan berkurangnya
sintesa albumin, protein koagulasi, dan menurunnya detoksifikasi bilirubin,
ammonia dan obat obatan.

Diagnosis klinis SH dibuat berdasarkan kriteria

Soedjono dan Soebandiri tahun 1973, yaitu bila ditemukan 5 dari 7 keadaan
berikut: eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral atau varises esofagus, asites
dengan atau tanpa edema, splenomegali, hematemesis dan melena, rasio albumin
dan globulin terbalik.3 Timbulnya

komplikasi-komplikasi seperti asites,

ensefalopati, varises esofagus menandai terjadinya pergantian dari SH fase


kompensasi yang asimtomatik menjadi SH dekompensasi.
1

Menurut laporan

rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis hepatis


adalah 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat dibangsal penyakit dalam atau ratarata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Di negara-negara maju
seperti Inggris Raya dan Amerika Serikat, jumlah kematian akibat SH meningkat
setiap tahun.4
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat
terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi,
mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan
intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang
mendasarinya. Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui
dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi
pada 30%-84% pasien sirosis hepatis.3 Data dari Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar 63,2% pada tahun
2010. Data pada tahun 2004

mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar

14,9%.5 Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien
yang tidak menjalani transplantasi hati.5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2

2.1.

SIROSIS HEPATIS

2.1.1. Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.6
2.1.2. Epidemiologi
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis
ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi.
Keseluruhan inisidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000
penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholoik maupun
infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan
menyebabkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH, prevalensi 4%) dan berakhir
dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3%. Prevalensi sirosis hati akibat
steatohepatitis alkoholik dilaporkan 0,3% juga. Di Indonesia data prevalensi
sirosis hati belum ada, hanya dari laporan-laporan beberapa pusat pendidikan saja.
Di RS dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien
yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun. Di Medan
dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien
dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.6
2.1.3. Etiologi
Sirosis memiliki banyak penyebab. Bisa karena kerusakan langsung pada
sel hepar (seperti Hepatitis) atau dari kerusakan tidak langsung melalui inflamasi
atau obstruksi kantung empedu.6

Penyebab umum dari kerusakan langsung sel-sel hepar meliputi6:


1. Penyakit hati alkoholik kronis.
2. Hepatitis virus kronik (tipe B, C dan D).
3

3. Hepatitis autoimun.
Penyebab umum yang melalui kerusakan kantung empedu meliputi6:
1. Sirosis empedu primer
2. Kolangitis sklerosis primer
3. Atresia bilier
Penyebab yang sangat jarang dari sirosis meliputi reaksi terhadap obat (Vitamin
A, Dilantin, Methotrexate, amiodarone), terpapar toxin lingkungan. Terdapat 2
penyakit keturunan yang menyebabkan kerusakan jaringan hepar
1. Penyakit Wilson
2. Hemokromatosis
2.1.4. Patofisiologi

Gambar 2.1 Patofisiologi Asites

dan sirosis6:

Gambar 2.2 Patofisiologi Varices Bleeding

Gambar 2.3 Hipertensi Porta7


2.1.5. Gejala klinis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang
ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau
5

karena kelainan penyakit lain. Gejala awal pasien dengan sirosis sering
memiliki beberapa gejala seperti6:
1. Kelelahan
2. Kehilangan nafsu makan, sering disertai dengan mual dan penurunan
berat badan
3. Impotensi, Ginekomasti
4. Abnormalitas menstruasi
5. Akibat penurunan fungsi hepar, protein yang diproduksi oleh hepar
menurun. Seperti, penurunan produksi albumin, protein, menyebabkan
terjadinya akumulasi cairan di kaki (edema) atau abdomen (asites).

Gambar
2.4 Sirosis
dan Hipetensi
Porta
Bila sudah lanjut
(sirosis
dekompensata),
gejala-gejala
lebih menonjol
terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi
hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin
disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,
gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat,
6

muntah darah dan/ atau melena. Pasien dengan sirosis tahap lanjut sulit untuk
mencerna protein, itu yang menyebabkan tingginya kadar ammonia dalam darah.
Kondisi ini disebut Hepatic Encephalophaty dan gejalanya dapat dimulai

dari

gangguan pola tidur dan kesulitan konsentrasi dan koma.6


Temuan Klinis
Temuan klinis sirosis meliputi, spider angio maspiderangiomata (atau
spider telangiektasis), suatu lesi vascular yang dikelilingi beberapa vena kecil.
Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya
tidak

diketahui,

ada

anggapan

dikaitkan

dengan

peningkatan

rasio

estradiol/testosterone bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil,


malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walau umumnya lesi
berukuran kecil.6
Eritema Palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak
tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolism hormone estrogen.
Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan,
arthritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.6
Hepatomegali, ukuran hati sirotik bisa membesar, normal atau mengecil.
Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.6
Splenomegali, sering ditemukan terutama pada sirosis hepatisyang
penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien
karena hipertensi porta.6
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi
porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta.6
Fetor hepatikum, bau nafas yang khas pada psien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang berat.6

Ikterus , ikterus pada kulit dan membrane mukosa akibat bilirubinemia.


Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urine gelap
seperti air teh.6
2.1.6. Diagnosis
Sirosis didiagnosa dengan pemeriksaan fisik, berbagai macam tes
laboratorium, CT atau ultrasound dan biopsy hepar. Tes fungsi hati meliputi
aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin,
albumin, dan waktu protrombin.6
Asparat Aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat
(SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat
transminase (SGPT) meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih

meningkat dari

ALT, namun bila transaminase normal tidak menyampingkan adanya sirosis.6


Alkali Fosfatase meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer
dan sirosis bilier primer.6
Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya
alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati
alkoholik kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatic,
juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.6
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi
bisa meningkat pada sirosis yang lanjut.6
Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun
sesuai dengan perburukan sirosis.6
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin.6

Waktu protrombin menunjukkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati,


sehingga pada sirosis memanjang. Natrium serum menurun terutama pada sirosis
dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.6
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam,
anemia

normokrom,

normositer,

hipokrom

mikrositer.

Anemia

dengan

trombositopenia, lekopeni, dan netropenia akibat splenomegali kongestif


berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.6
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk
konfirmasi adanya hipertensi porta. Ultrasonografi sudah secara rutin digunakan
karena

pemeriksaannya

non

invasive

dan

mudah

digunakan,

namun

sensitivitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang dapat dinilai dengan USG meliputi
sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis
lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular, dan ada peningkatan
ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa untuk melihat asites,
splenomegali, thrombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta skrining
adanya karsinoma hati pada pasien sirosis. Tomografi komputerisasi, informasinya
sama dengan USG, tidak rutin digunakan karena biayanya relatif mahal.6

Gambar 2.5 Biopsi Hati


2.1.7. Penatalaksanaan
1. Penanganan umum
a. Penanganan umum adalah :

1. Memberikan diet yang benar dengan kalori yang cukup sebanyak


2000-3000 kkal/hari dan protein (75-100 g/hari).
2. Bilamana tidak ada koma hepatik dapat diberikan diet yang
mengandung protein 1g/kg BB.
3. Jika terdapat encephalopathy hepatic (koma hepatik), konsumsi protein
diturunkan sampai 0,5g/hari.
4. Disarankan mengkonsumsi suplemen vitamin. Multivitamin yang
mengandung thiamine 100 mg dan asam folat 1 mg.
5. Diet ini harus cukup mineral dan vitamin; rendah garam bila ada
retensi garam/air , bila ada asites, komsumsi cairan dibatasi < 1000 cc /
hari.
Bahan makanan yang tidak boleh diberikan adalah sumber lemak, yaitu semua
makanan dan daging yang banyak mengandung lemak. Diet pada sirosis hepatis
bertujuan memberikan makanan secukupnya guna mempercepat perbaikan faal
hati tanpa memberatkan pekerjaannya. Syarat diet ini adalah kalori tinggi, dan
protein disesuaikan dengan tingkat keadaan klinik pasien. Diet diberikan secara
berangsur-angsur disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi pasien terhadap
pasien terhadap protein.
2. Terapi pasien berdasarkan etiologi
Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati
dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa
menghambat kolagenik.
a. Hepatitis autoimun
Hepatitis autoimun adalah sistem kekebalan tubuh yang tidak terkendali
sehingga membuat antibodi terhadap sel-sel hati yang dapat menyebabkan
kerusakan

dan

sirosis.

Bisa

diberikan

steroid (kortokosteroid)

atau

imunosupresif dengan dosis 40-60 mg per hari.


Penyakit hati non alkoholik adalah kondisi di mana lemak menumpuk di
hati sehingga menciptakan jaringan parut dan sirosis. Kelebihan berat badan
10

(obesitas) meningkatkan risiko terjadinya sirosis hepatis. Menurunkan berat badan


dapat mencegah terjadinya sirosis hepatik.
Hemokromatosis
a) Flebotomi setiap minggu sampai kadar besi menjadi normal dan diulang sesuai
kebutuhan.
b) Hepatitis virus B
Interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupaka terapi utama.
Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama
satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan
mutasi pada DNA polimerase virus sehingga dapat mengakibatkan
resistensi terhadap lamivudin.
c) Hepatitis virus C kronik
Kombinasi interferon

dengan

ribavirin

merupakan

terapi

standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga
kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.
Pengobatan fibrosis hati.
Pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada
peradangan

dan

tidak

terhadap

fibrosis.

Pengobatan dilakukan

dengan menempatkan sel stelata sebagai target dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktivasi dari sel stelata bisa
merupakan salah satu pilihan. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti
peradangan dan mencegah anti fibrosis dansirosis. Metotreksat dan vitamin A juga
dicobakan sebagi anti fibrosis.
3. Pengobatan Sirosis Dekompensata.
a. Asites
1. Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam 5,2 gram atau 90
mmol/hari atau 400-800 mg/hari.
2. Diet rendah garam dikombinasikan dengan obat-obatan diuretik, awalnya
dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari.
11

3. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan


0,5kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1kg/hari bila edema kaki
ditemukan.
4. Bila pemberian

spironolakton

belum

adekuat

maka

bisa

dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari.


5. Pemberian furosemid bisa ditambahkan dosisnya bila tidak ada
respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari.
6. Parasintesis dilakukan jika jumlah asites sangat besar.
7. Pengeluaran
asites bisa
hingga
4-6
liter

dengan

pemberian albumin.
b. Ensefalopati hepatik
Ensefalopati hepatik merupakan keadaan gangguan fungsi sistem saraf pusat
disebabkan hatigagal untuk mendetoksikasi bahan-bahan toksik dari usus
karena disfungsi hepatoselular dan portosystemic shunting.Laktulosa membantu
pasien untuk mengurangi amonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi
bakteri usus penghasil amonia. Diberikan dengandosis 2-4 gramDiet protein
dikurangi sampai 0,5 gr/kgBB per hari. terutama diberikan yang kaya asam
aminorantai cabang.
c. Varises esofagus
1. Sebelum terjadi perdarahan dan sesudah perdarahan dapat diberikan
obat penyekat beta (propanolol).
2. Pada pasien yang tidak tahan terhadap pemberian beta bloker dapat
diberikan isosorbide mononitrate.
3. Beta bloker dapat diberikan kepada pasien sirosis hati yang beresiko
tinggi terjadinya perdarahan, yaitu varises yang besar dan merah.
4. Profilaksis skleroterapi tidak boleh dilakukan kepada pasien yang
belum

pernah

mengalami perdarahan varises

esofagus

karena

berdasarkan penelitian, skleroterapi dapat meningkatkanangka


kematian daripada pengguna beta bloker.
5. Waktu perdarahan akut bisa diberikan preparat somatostatin atau
okterotid, diteruskan dengantindakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi.
6. Pencegahan perdarahan kembali dapat dilakukan skleroterapi atau
ligasi, beta bloker nonselektif (propanolol, nadolol) 20 mg sebanyak
12

2 kali sehari atau 40-80 mg sekali sehari,isosorbide mononitrate


dapat diberikan 10 mg sebanyak 2 kali sehari sehari atau 20-40
mgsebanyak 2 kali sehari.
2.1.8. Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas
hidup

pasien

sirosis

diperbaiki

dengan

pencegahan

dan

penanganan

komplikasinya. Komplikasi yang sering dijumpai antara lain Peritonitis bacterial


spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi
cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra
abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan
nyeri abdomen.6
Sindrom Hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelaiann organic ginjal. Kerusakan
hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan
filtrasi glomerulus.6
Hipertensi Porta, salah satu manifestasi hipertensi porta varises
esophagus. 20-40% pasien sirosis dengan varises esophagus pecah yang
menimbulkan

perdarahan.

Angka

kematiannya

sangat

tinggi,

sebanyak

duapertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan


tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan berbagai cara.6
Ensefalopati hepatic, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi
hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya
dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.6
2.2.

HEPATIC ENCEPHALOPHATY

2.2.1. Definisi

13

Hepatic Ensefalopati adalah disfungsi otak yang disebabkan oleh


insufisiensi hati dan / atau PSS; yang bermanifestasi kelainan neurologis atau
kejiwaan mulai dari perubahan subklinis sampai koma.8
2.2.2. Epidemiologi
Lebih dari sepertiga pasien sirosis menjalani rawat inap karena
ensefalopati hepatik. Prevalensi terjadinya ensefalopati hepatic adalah sebesar 3040% dari pasien sirosis hati sedangkan untuk ensefalopati hepatik minimal
sebanyak 20-80%. Sebanyak 30% pasien ensefalopati hepatic mengalami
kematian. Angka prevalensi ensefalopati hepatik yang

berobat di RS Dr.

Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1999 dilaporkan 14,9%, sedangkan di Rumah


Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Derajat 1 jika terdapat gangguan kognitif dan
perilaku Soetomo Surabaya sebanyak 14,7% pada tahun 1997 dengan angka
kematian 44,7%.9

2.2.3. Stadium Hepatic Ensefalopati berdasarkan klinis


Tabel 2.1 Stadium Hepatic Ensefalopati Berdasarkan Klinis11

14

2.2.4. Patofisiologi
Tabel 2.2 Hipotesis Dari Pathogenesis Ensefalopathy Hepatic11

15

Banyak hipotesis diajukan untuk menerangkan mekanisme EH, yang


paling banyak diterima adalah teori peningkatan amonia akibat berkurangnya
fungsi hati dan pintasan portosistemik.
Kadar amonia dalam otak, cairan serebrospinal, dan arteri berkorelasi baik
dengan stadium klinik EH. Progresivitas penyakit hati dan degenerasi hepatoma
mengakibatkan

penurunan

fungsi

cadangan

hati,

sehingga

kemampuan

metabolisme toksin oleh hati ikut ber kurang. Pada sirosis hati, sering terjadi
perlambatan transit makanan di saluran cerna, sehingga paparan dengan bakteri
usus terjadi lebih lama, mengakibatkan produksi ammonia meningkat.
Norenberg (2006) mengajukan teori patogenesis EH yang melibatkan
reseptor benzodiazepine perifer (PBR/Peripheral Benzodiazepine Receptor) dan
neurosteroid. Dikemukakan bahwa amonia adalah toksin utama pada EH dan
astrosit adalah target utama. Peningkatan amonia mengakibatkan peningkatan
jumlah reseptor PBR, termasuk pada astrosit. PBR kemudian meningkatkan
produksi radikal bebas (ROS/Reactive Oxygen Species). Radikal bebas ini
menimbulkan stres oksidatif pada mitokondria, sehingga terjadi disfungsi
mitokondria. Disfungsi mitokondria ini kemudian mengakibatkan disfungsi
astrosit.

16

Gambar 2.7 Terjadinya Disfungsi Astrosit akibat


Hiperamonemia10

Gambar 2.8 Patofisiologi Encephalopathy Hepatic12


17

Gambar 2.9 Metabolisme ammonia dari berbagai organ tubuh12

Amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia merupakan hasil produksi koloni
bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram negatif
anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium. Enzim urease bakteri akan
memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh
usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme
glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamate dan amonia.
Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara
fisiologis, amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot
dan ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot
rangka memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan
amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase.
Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi
oleh keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim
18

glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia.


Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion
amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang
dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion
amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan
laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion
amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses
detoksifiaksi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati
periportal yang memetabolisme ammonia menjadi urea melalui siklus KrebsHenseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan
digabungkan kembali menjadi glutamin. Pada keadaan sirosis, penurunan massa
hepatosit fungsional dapat menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh
hati ditambah adanya shunting portosistemik yang membawa darah yang
mengandung ammonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati. Peningkatan
kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya
permebialitas sawar darah otak untuk ammonia pada pasien sirosis menyebabkan
toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme
amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang
ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan
molekul osmotik sehingga menyebabkan pembengkakan astrosit.
Amonia secara langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif
pada astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan
disfungsi mitokondria dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan
pori-pori transisi mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan
aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada
peningkatan aktivitas sitokin dan repson inflamasi sehingga mengganggu aktivitas
pensignalan intraselular.
2.2.5. Diagnosis
19

Tes diagnostik yang awalnya digunakan untuk EHM adalah tes


psikometrik dan elektrofi siologik. Tes elektrofi siologik yang meliputi visualevoked, somatosensory-evoked, dan brain stem auditory evoked potentials. 12
Tes psikometrik yang meliputi 5 tes, yaitu the digit symbol test (DST), the
number connection test A (NCTA), the number connection test B (NCT-B), the
serial dotting test (SDT), dan the line drawing test (LDT), direkomendasikan
sebagai baku emas diagnosis EHM. 12
Kelima tes

yang dinamakan PHES (the Psychometric

Hepatic

Encephalopathy Score) ini juga ternyata tidak mudah dalam pelaksanaan nya,
karena memerlukan waktu lama dan sangat dipengaruhi oleh tingkat edukasi dan
usia penderitanya.12
Pemeriksaan radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta
elektroensepalography akan menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi
gelombang alfa) aktifitas otak pada pasien dengan EH. Pemeriksaan kadar
ammonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan kadar
ammonia dalam darah (>100mg/100ml darah) dapat menjadi keparahan pasien
pada EH.12

2.2.6. Penatalaksanaan
Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar
penatalaksanaan EH adalah: identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH,
pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan perburukan kondisi pasien, dan
penilaian rekurensi ensefalopati hepatik.12
Tatalaksana Farmakologis
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan
dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia
dilakukan dengan penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate,
probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya. 12,13
- Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
20

Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH. Sifatnya


yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan
menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin. Selain itu, laktulosa
diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber
makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain
yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga
memberikan ion hydrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari
amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik
amonia dari darah menuju lumen. Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat
bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi ammonia dibandingkan
dengan penggunaan antibiotik. Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang
lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan
perbaikan tes psikometri pada pasien dengan EH minimal. 12,13
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-45 ml/oral atau nasogastric
tube setiap 1-2jam sampai BAB, kemudian 15-45 ml/oral 2-4 kali sehari;laktulosa
enema (300ml dalam 1 liter air) setiap 6-8 jam sampai pasien bisa minum obat per
oral. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa
dan kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode
EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan
hiponatremia. 12,13
- Antibiotik
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan
pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai
salah satu faktor presipitasi EH. Selain itu, antibiotic juga memiliki efek antiinflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase. Antibiotik yang menjadi
pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.
Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.
Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan
HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycin
oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
antibiotik lainnya. 12,13
21

- L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)


LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja
sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan
glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme ammonia di hati dan otot, sehingga
menurunkan amonia di dalam darah. Selain itu, LOLA juga mengurangi edema
serebri pada pasien dengan EH. LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada
siklus urea, menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. Lornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan -ketoglutarate menjadi
glutamat,

melalui

ornithine

aminotrasnferase

(OAT)

dan

aspartate

aminotransferase (AAT), berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat


digunakan untuk menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk
glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian, glutamine dapat
dimetabolisme

dengan

phosphate-activated

glutaminase

(PAG),

dan

menghasilkan ammonia kembali. 12,13


Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari
pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status
mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA
diperkirakan hanya sementara. Beberapa penelitian RCT (Kirchets dkk, 1997 dan
Ahmad dkk, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara
intravena dapat memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada. Studi metaanalisis
terkini (Jiang Q, 2009 dan Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada pasien
EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH dengan menurunkan konsentrasi
amonia serum. 12,13
- Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup
yang bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah
lama dipikirkan berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan
oleh flora dalam usus sehingga manipulasi floran usus menjadi salah satu strategi
terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan
menekan substansi untuk bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir
fermentasi yang berguna untuk bakteri baik- Probiotik Probiotik didefinisikan
22

sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat untuk nutrisi


pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lama dipikirkan berperan penting
dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga
manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja
probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk
bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna
untuk bakteri baik. 12,13

BAB 3
STATUS PASIEN

No. Reg. RS : 23.68.42


Nama Lengkap : Tn. Rapotan Siregar
Tanggal Lahir :

Umur : 59 Tahun

02 Oktober 1956

23

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Huta Raya Parlombuan, Kecamatan

No. Telepon : -

Sipaholon
Pekerjaan : Agen Terminal

Status: Menikah

Pendidikan : SMA

Jenis Suku : Batak

Agama : Kristen Protestan

Toba

Dokter Muda : Murni Handayani


Peniel Hutabarat
Cynthia Donarta Tarigan
Ester R.W. Tobing
Rian Putra Laia
Dokter

: dr.Yunita Tampubolon, Sp.PD

Tanggal Masuk: 04 Januari 2016

ANAMNESIS

Automentesi

Heternoment

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Keluhan Utama
Deskripsi

: Gelisah

Dialami 1 hari ini. Pasien sulit diajak berkomunikasi. Keluarga tidak tahu
kronologisnya.Sebelumnya pasien pernah mengeluhkan kepada keluarga kalau
BABnya warna hitam. Dialami pasien 2 hari SMRS. BAB hitam seperti ter/aspal.
24

Pasien juga mengeluhkan perut membesar dan kedua kaki bengkak dialami 4
bulan SMRS. Pasien mengeluhkan buah pelir bengkak yang dialami 2 bulan
SMRS. Badan pasien juga kuning. Perut juga nyeri dalam 2 hari ini.
Pasien merupakan peminum alkohol selama betahun-tahun. Minuman
yang sering dikonsumsi tuak, bir putih, dan bir hitam.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Tanggal

Penyakit

Tempat Perawatan Pengobatan dan


Operasi

RIWAYAT KELUARGA
Laki-laki

Perempuan

X Meninggal (sebutkan sebab meninggal dan umur saat meninggal

Kakek-Nenek
Ayah-Ibu
Pasien

25

Anak

RIWAYAT PRIBADI
Riwayat imunisasi

Riwayat alergi
Tahun

Bahan / obat

Gejala

Tahun

Jenis imunisasi

Hobi

:-

Olah Raga

:-

Kebiasaan Makanan : Tidak teratur, sering mengkonsumsi daging dan sayur


Merokok

: (+), 1 bks/hari, jenis filter

Minum Alcohol

: (+), sudah puluhan tahun, lebih sering tuak, bir putih, bir

hitam
Hubungan Seks

: Tidak ditanyakan

ANAMNESIS UMUM (Review of System)


Berilah Tanda Bila Abnormal Dan Berikan Deskripsi
Umum : Gelisah

Abdomen : Perut membesar

Kulit: -

Ginekologi: 26

Kepala dan leher: -

Alat kelamin : Pembesaran pada buah


pelir

Mata: Kuning

Ginjal dan Saluran Kencing: Tidak ada


keluhan

Telinga: Tidak ada Keluhan

Hematology: Tidak ada keluhan

Hidung: Tidak ada keluhan

Endokrin / Metabolik: Tidak ada


keluhan

Mulut dan Tenggorokan: Tidak ada

Musculoskeletal: Kedua kaki bengkak

Keluhan
Pernafasan : Tidak ada Keluhan

System syaraf: tidak ada keluhan

Payudara: Tidak ada Keluhan

Emosi : Tidak ada Keluhan

Jantung: Tidak ada Keluhan Ringan

Vaskuler
: Tidak ada Keluhan
Sedang
Berat

DESKRIPSI UMUM
Kesan Sakit
Gizi: Cukup
Berat Badan : 60 Kg Tinggi Badan: 160 cm
RBW : BB/TB-100 x 100% = 99,6 %
27

IMT: BB/ (TB2)2 kg/m2 = 23,4 kg/m2 kesan: Normoweight


TANDA VITAL
Kesadaran

Apatis

Deskripsi: Gelisah

Nadi

Frekuensi 112 x/i

regular, t/v cukup

Tekanan darah

Berbaring:

Duduk:

Lengan kanan: 110/70 mmHg Lengan kanan: - mmHg


Lengan kiri

: - mmHg

Temperatur

Aksila: 36,5 0C

Pernafasan

Frekuensi: 24 x/menit

Lengan kiri : - mmHg

Deskripsi: Abdominaltorakal

KULIT : Sawo Matang ,Pucat (-), Sianosis (-), Ikterik (+)


KEPALA DAN LEHER :
Simetris, rambut: putih dan tidak mudah dicabut, distribusi

merata. TVJ R-

2cmH20, trakea deviasi (-), pembesaran KGB (-), struma (-)


TELINGA:
Meatus aurikula externus : tidak ditemui kelainan, serumen (-/-), gangguan
pendengaran -/HIDUNG: deviasi septum (-/-), konkha hiperemis (-/-), sekret (-/-)
RONGGA MULUT DAN TENGGOROKAN :
Mukosa bibir kering (+), lidah kotor (-), sianosis (-), hiperemis (-), edema (-)
MATA
28

Conjunctiva palp. inf. Pucat +/+, sklera ikterik +/+ ,


RC +/+, Pupil isokor, ki=ka, 3 mm
TORAKS
Depan

Belakang

Inspeksi

Simetris fusiformis

Simetris fusiformis

Palpasi

SF : stem fremitus ki=ka

SF : stem fremitus ki=ka

Kesan Normal

Kesan Normal

Sonor

Sonor pada kedua lapang paru

Perkusi

Batas Paru Hati :


Relatif ICS VI
Absolut ICS VI
Auskultasi

SP: vesikuler

SP: vesikuler

ST: -

ST: -

JANTUNG
Batas Jantung Relatif: atas

: ICR II klavikularis sinistra

kanan : ICR IV parasternalis dekstra


kiri

: ICR V 1 cm ke arah medial mid klavikularis


sinistra

Jantung : HR : 112 x/i,reguler , M1>M2, A2 >A1, P2>P1, A2>P2, desah(-)


29

ABDOMEN
Inspeksi

: Simetris membesar

Auskultasi

: Peristaltik (+) normal , double sound (+), bruit (-)

Perkusi

: Timpani, pekak hati (+), pekak beralih (+)

Palpasi

: Soepel, Hepar membesar membesar, 5 jari BAC, nodular,


konsistensinya keras, pinggirannya tidak rata, L/R -/-

PUNGGUNG
tapping pain (-), ballotement (-)
EKSTREMITAS:
Superior: oedem -./-, palmar eritema +/+
Inferior: oedem +/+
Kelemahan (-), kekuatan motorik eks. Superior = Inferior
ALAT KELAMIN:
Pembesaran pada skrotum
REKTUM: Tidak dilakukan pemeriksaan
NEUROLOGI: Tidak dilakukan pemeriksaan
BICARA: Ngawur
PEMERIKSAAN LAB

Darah Rutin:
30

Tanggal
04 Januari 2016

Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan
Golongan Darah/ Rh
Darah
Perifer Hemoglobin
Hematokrit
Lengkap
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
PDW
RDW-SD
MPV
Index
MCV
MCH
MCHC
Differential
LYM %
MO %
GRA %
Jumlah Total Sel
LYM
MO
GRA
Kesan: Anemia Mikrositer Normokrom, Trombositopenia

Nilai
5,7 g/dL
17,0 %
5,7 ribu /mm3
95 ribu/uL
2,08 juta / uL
18,9 fL
16,3 fL
7,5 fL
81,7 fL
27,4 pg
33,5 g/dL
22,9 %
11,1 %
66,0 %
1,30 ribu/ uL
0,6 ribu / uL
3,80 ribu/ uL

KGD adrandom - mg/ dl


RFT : ureum 89 mg/Dl, kreatinin 1 mg/dL, asam urat 7,6 mg/dL
LFT : SGOT 132 IU/L, SGPT 85 IU/L

Elektrolit :
PEMERIKSAAN
Elektrolit
Kalium
Natrium
Klorida
Kesan: Hiponatremia

HASIL

SATUAN

NILAI NORMAL

4,3
128
105

mmol/L
mmol/L
mmol/L

3.50-5.10
136-145
97-111

PEMERIKSAAN
Alkalin Fosfatase

HASIL
113

SATUAN
U/L

NILAI NORMAL
A: <110-727
P: 120-935
W: 120-448
>50
tahun:

31

Bilirubin total
Bilirubin direk
Gamma GT

3
1,2
46

mg/dL
mg/dL
U/L

Protein total
Albumin
Globulin
Amilase
KGDN

7,3
3,5
3,8

g/dL
g/dL
g/dL
g/dL
U/L

100-290
<1
<0.25
P: 10-45
W: 5-32
6.0-7.8
3.5-5.2
2.6-3.6
<86

Urinalisa Ruangan : Tidak dilakukan


Faeces rutin
Diagnosis

: Tidak dilakukan
: Hepatic Ensefalopathy ec PSMBA ec Varicel Bleeding ec Sirosis

Hepatis Stadium Dekompensata


Pemeriksaan Penunjang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

DPL
USG Abdomen
LFT
RFT
Elektrolit
KGDs
EKG

Teraphy

1. Mobilisasi
2. Diet hati III
3. IVFD Dextrose 5% + 2 fls L-ornithine-L-Aaspartate 20 tpm s/s Dextrose
5% s/s Aminofucin Hepa 1 fls/hari 20 tpm
4. Inj. Furosemid 20 mg/8 jam
5. Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
6. Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam
7. Spironolaktone 3x10mg
8. Propanolol 2x10mg
9. KSR 3x100mg
10. Restriksi cairan
32

RESUME DATA DASAR


(Diisi dengan Temuan Positif)
Dokter Muda: Murni Handayani
Peniel Hutabarat
Cynthia Donarta Tarigan
Ester R.W. Tobing
Rian Putra Laia
33

Nama Pasien: Tn. Rapotan Siregar

No. RM : 23.68.42

1.KELUHAN UTAMA : BAB berdarah


2. ANAMNESIS

: (Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit

Dahulu, Riwayat Pengobatan, Riwayat Penyakit Keluarga , DLL).


Dialami 1 hari ini. Pasien sulit diajak berkomunikasi. Keluarga tidak tahu
kronologisnya.Sebelumnya pasien pernah mengeluhkan kepada keluarga kalau
BABnya warna hitam. Dialami pasien 2 hari SMRS. BAB hitam seperti ter/aspal.
Pasien juga mengeluhkan perut membesar dan kedua kaki bengkak dialami 4
bulan SMRS. Pasien mengeluhkan buah pelir bengkak yang dialami 2 bulan
SMRS. Badan pasien juga kuning. Perut juga nyeri dalam 2 hari ini.
Pasien merupakan peminum alkohol selama betahun-tahun. Minuman yang sering
dikonsumsi tuak, bir putih, dan bir hitam.
RENCANA AWAL
Nama Penderita : Tn. Rapotan Siregar

No. RM. :

Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (melipu


dan edukasi)
No.

Masalah

Rencana Diagnosa

Rencana Terapi

1.

BAB warna hitam

Hepatic

Mobilisasi

Gelisah
Perut membesar
Kedua kaki bengkak

Encephalopaty ec
PSMBA ec Varicel
Bleeding ec Sirosis
Hepatis Std.
dekompensata

Nyeri seluruh

IVFD Dextrose 5% 10 tpm + 2 fls Lornithine-L-Asparte 20 tpm, s/s


Dextrose 5% s/s Aminofucin Hepa 1
fls 20 tpm
Inj. Furosemid 1 amp / 8 jam

bagian perut

Inj. Ranitidine 1 amp / 12 jam


Inj. Cefotaxim 15 mg/ 12 jam
34

Lactulose syr 3 x 1 cth


Curcuma 3 x 1
Propanolol 2 x 10 mg

Tanggal
05 Januari 2016

Gelisah

TD

Perut membesar

mmHg

Therap
Diet hat

: 100/60 Hepatic
Encephalopaty

IVFD d

Nyeri pada seluruh SPO2 : 98 %

ec PSMBA ec ornithin

bagian perut

HR

: 90 x / menit

Varicel Bleeding Dextros

Kedua kaki bengkak

RR

: 20 x / menit

ec

BAB hitam

: 36,3 0C

Hepatis

Hb: 5,7 g/dL

BAK : -

Sirosis Hepar 1

Std. Inj. Furo

dekompensata

BAB : -

Inj. Cef

Inj. Tran

Inj. Ran

KSR 3 x

Spirono

Lactulo

Curcum

Propano

Transfu

IVFD D

Dulcola
Gelisah
06 Januari 2016

Hepatic

BAB tidak lancer

TD

BAB hitam

mmHg

ec PSMBA ec Inj. Tran

Kedua kaki bengkak

SPO2 : 97 %

Varicel Bleeding Inj. Ran

35

: 110/70 Encephalopaty

Inj. Furo

Inj. Cef

HR

: 86 x / menit

ec

Sirosis KSR 3 x

RR

: 24 x / menit

Hepatis

: 38 0C

dekompensata

Std. Spirono

Lactulo

BAK : 9 kali

Curcum

BAB : -

Propano

Inj. Furo

Inj. Cef

Inj. Tran

Inj. Ran

KSR 3 x

Spirono

Lactulo
Kaki

bengkak

dan

keram
07 Januari 2016

Pasien sudah sadar


Perut

TD: 100/70 mmHg

masih SpO2: 98%

Hepatic

Curcum

Encephalopaty

Propano

ec PSMBA ec Periksa
Varicel Bleeding

membesar

HR: 83 x/i

ec

Sirosis Diet hat

BAB masih hitam

RR: 24x/i

Hepatis

Masih nyeri perut

T: 36,50C

dekompensata

Std. Three w

Kedua kaki bengkak


berkurang

Inj. Furo

Inj. Cef
Lingkar

Pinggang

Inj. Ran

Tidur: 100 cm
Urin

output:

KSR 3 x
1000

Spirono

cc/24 jam

Lactulo

Propano
Hepatic
Sulit BAB

Encephalopaty

Sakit perut

ec PSMBA ec

08 Januari 2016
36

TD: 100/70

Varicel Bleeding Diet hat

SpO2: 98

ec

Sirosis Three w

HR: 75 x/i

Hepatis

Std. Inj. Furo

RR: 24 x/i

dekompensata

T: 36,20 C

Inj. Cef

Inj. Ran

KSR 3 x
Lingkar

Pinggang

Spirono

Tidur: 99 cm
Urin

output:

Lactulo
1400

Propano

cc/24 jam

Restriks

Diet hat

Skrotum membesar

Hepatic

Three w

Encephalopaty

Inj. Furo

ec PSMBA ec Inj. Cef

Varicel Bleeding Inj. Ran


09 Januari 2016

TD: 90/60

ec

Sirosis KSR 3 x

SpO2: 98

Hepatis

HR: 83 x/i

dekompensata

Std. Spirono

RR: 22 x/i

Propano

T: 36,80 C

Restriks

Lingkar

pinggang

tidur: 99 cm
BAB: 4x setelah Aff
kateter

Hepatic

BAK: 2x ( 1000cc)

Encephalopaty
ec PSMBA ec

Perut membesar
10 Januari 2016

Varicel Bleeding

Skrotum membesar

TD: 90/60

ec

Kaki bengkak

SpO2: 96

Hepatis

HR: 83 x/i

dekompensata

RR: 24 x/i
37

Lactulo

Sirosis
Std.

T: 360 C
Lingkar

Pinggang

Tidur: 100 cm
Urin output: >1000 cc
(urin

ditampung

dalam botol)
DAFTAR MASALAH
Nama Penderita : Tn. Rapotan Siregar

No. RM

Masalah
No

Tanggal

M ASALAH

Ditemukan
1

04 Januari 2016

BAB warna hitam

Selesai/

Terkontr

Tanggal

Tanggal

05 Janua

Gelisah
Perut membesar
2

05 Januari 2016

Nyeri pada seluruh bagian

06 Janua

perut

Gelisah
3

06 Januari 2016

07 Janua
BAB tidak lancer

07 Januari 2016

Kaki bengkak dan keram

08 Janua

Sulit BAB
5

08 Januari 2016
Sakit perut

09 Januari 2016

Skrotum membesar

10 Janua

10 Januari 2016

Perut membesar

10 Janua

Skrotum membesar
38

Kaki bengkak

39

Kesimpulan dan Prognosis :


Tn. Rapotan Siregar di diagnosis Hepatic Encephalopaty ec PSMBA ec Varicel
Bleeding ec Sirosis Hepatis Std. dekompensata

Prognosis :
- Ad Vitam

: Bonam

- Ad Functionam

: Dubia ad Malam

- Ad Sanactionam

: Dubia ad Malam

VERIFIKASI

Dokter Ruangan

Tanda Tangan

40

Chief Of Ward

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1

Resume
Seorang pasien bernama Tn. Rapotan Siregar, usia 59 tahun, diantar
keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan BAB berdarah sejak 2 hari
yang lalu sebelum masuk RS. Darah berwarna merah kegelapan. Frekuensi
BAB berdarah merah gelap sudah 2 kali dialami pasien. Pasien juga
mengeluhkan pembesaran pada perut dan pembengkakan pada kaki yang
sama-sama dialami sudah 4 bulan yang lalu. Pasien bekerja sebagai agen
terminal, sehingga pasien sering makan makanan dari warung. Pasien juga
peminum alkohol selama bertahun-tahun dan juga perokok dengan
frekuensi 1 bungkus/hari.

4.2

Diskusi

PEMBAHASAN
Dari anamnesa diketahui BAB

TEORI
Hal ini sesuai dengan teori Soedjono

berdarah sejak 2 hari yang lalu darah

dan Soebandiri yaitu bila ditemukan 5

berwarna merah kegelapan,

dari 7 keadaan berikut: eritema

pembesaran pada perut dan

palmaris, spider nevi, vena kolateral

pembengkakan pada kaki

atau varises esofagus, asites dengan


atau tanpa edema, splenomegali,
hematemesis dan melena, rasio
albumin dan globulin terbalik.

41

Mobilisasi

Hal ini sesuai dengan teori Mullen KD

IVFD Dextrose 5% 10 tpm + 2 fls

Tatalaksana

Farhepa 20 tpm, s/s Dextrose 5%

dengan derajat EH yang terjadi. Dasar

Aminofucin Hepar 1 fls 20 tpm

penurunan kadar amonia merupakan

Inj. Furosemid 1 amp / 8 jam

salah satu strategi yang diterapkan

Inj. Ranitidine 1 amp / 12 jam

dalam

Inj. Cefotaxim 15 mg/ 12 jam

modalitas untuk menurunkan kadar

Lactulac syr 3 x 1 cth

amonia dilakukan dengan penggunaan

Curcuma 3 x 1

laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-

Propanolol 2 x 10 mg

Aspartate,

EH

diberikan

tatalaksana

probiotik,

terapi potensial lainnya

42

EH.

dan

sesuai

Beberapa

berbagai

BAB 5
KESIMPULAN
1. Berdasarkan anamnesis yang didapat yaitu BAB berdarah
berwarna merah gelap, disertai pembesaran pada perut dan
pembengkakan pada kaki dan skrotum yang merupakan gejala dari
sirosis hepatis.
2. Pada pasien ini diberikan terapi dengan penggunaan laktulosa,
antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi
potensial lainnya untuk menurunkan kadar ammonia.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Bacon BR. Cirrhosis and Its Complications. In: Longo D and Fauci AS
(Eds). Harrisson's Gastroenterology- Hepatology . New York: McGraw
Hill Medical; 2012 : pp. 419-343

43

2. M. Kobayashi. 2008. Natural history of compensated cirrhosis in the Child


Pugh class A compared between 490 patients with hepatitis C and 167 with
3.

B virus infection. Journal of Medical Virology. 78(4): 459-65.


Moreau R, Valla DC, Durand-Zaleski I. 2008. Comparison of outcome in
patients with cirrhosis and ascites following treatment with albumin or a
synthetic colloid: a randomised controlled pilot trail. Liver International

26:4654
4. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). 2010. Sirosis Hepatis.
Available on http://pphi-online.org
5. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy:
Review of the Latest Data from EASL 2010. Gastroenterol Hepatol.
2010;6(7):1-16
6. Nurdjanah,Siti. Sirosis Hati: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadribata M, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Interna
Publishing. Jakarta; 2009. Hal.668-672.
7. Liver cirrhosis.Emmanuel A Tsochatzis, Jaime Bosch, Andrew K
Burroughswww.thelancet.com.Published

online

January 28, 2014

http://dx.doi.org/10.1016/ S0140-6736(14)60121-5.
8. Practice Guideline Hepatic Encephalopathy in Chronic liver disease: 2014
Practice Guideline by AASLD and EASL.Vilstrup,Hendrik; Amodio,Piero;
Wong,philip.The

American

Association

for

the

study

of

liver

diseases.2014.
9. Suyoso, Syifa Mustika, Harijono Achmad Laboratorium Ilmu Penyakit
Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar Malang.Ensefalopati
Hepatik pada Sirosis Hati: Faktor Presipitasi dan Luaran Perawatan di
RSUD dr.Saiful Anwar Malang.2015.
10. Ndraha, Suzanna Ahli Penyakit Dalam, Konsultan Gastroenterohepatologi,
Fakultas Kedokteran Ukrida. Ensefalopati Hepatikum Minimal. CDK234/Vol.42

no.11,

th

2015.

Jakarta,

Indonesia.

http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_234CME
%E2%80%93Ensefalopati%20Hepatikum%20Minimal.pdf
11. QUEVEDO J et al.Pathogenesis of hepatic encephalopathy - a role for the
benzodiazepine receptor. Medicina, Ribeiro Preto, 32: 82-96

44

12. http://cme.medicinus.co/file.php/1/LEADING_ARTICLE_Enselofati_Hep
atik_APa_Mengapa_dan_Bagaimana.pdf
13. Diagnosis and Management of Hepatic Encephalopathy. Januari 2016.

45

You might also like