Professional Documents
Culture Documents
html
BAB II
PEMBAHASAN
\
A.
DEFENISI
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung
KLASIFIKASI
terjadi. Ada tiga aspek yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening),
reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi gerakan lengan serta tungkai
(motor respons).
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat
diklasifikasikan menjadi:
1. Cedera kepala ringan, bila GCS 13 15
2. Cedera kepala sedang, bila GCS 9 12
3. Cedera kepala berat, bila GCS 3 8
Glasgow Coma Scale
a. Reaksi membuka mata
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
b.
Reaksi berbicara
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat
Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
c. Reaksi gerakan lengan/tungkai
Mengikuti perintah
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat
rangsangan
Rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
D.
a.
ETIOLOGI
Hal yang menyebabkan cedera kepala adalah
Terjatuh dari ketinggian, benturan, dan pukulan
b.
Kecelakaan kerja
c.
d.
Perkelahian, dll
E.
PATOFISIOLOGI
Cedera kepala diakibatkan karena adnya benturan kuat yang
mengakibatkan struktur intracranial (otak, darah, dan cairan serebrospinal)
menjadi rusak sehingga sukar diabsorbsi oleh muskuloligamentum(yang
menjaga kepala). Tulang tengkorak yang elastis pada anak-anak mengabsorbsi
energi secara langsung dan mempengaruhi kepala dan memberikan proteksi
pada struktur intracranial. Jaringan syaraf rentang tetapi biasanya untuk
sampai terjadi kerusakan berarti harus ada tekanan yang kuat. Benturan kuat
dapat diakibatkan pukulan langsung pada kepala maupun bagian tubuh lain
dengan efek pantulan keotak atau luka secara tidak langsung. Respon otak
terhadap benturan adalah berpindahnya rongga kranial kedepan otak apat
mementil atau berputar pada batang otak disebabkan oleh difusi pada luka
pergerakan otak ini dapat menyebabkan luka memar atau luka robek akibat
gerakan yang berlebihan pada permukaan kranial sebelah dalam frekuensi
kerusakan terbesar terjadi pada tulang frontal dan lobus temporal otak. Lokasi
/ daerah kulit kepala banyak aliran darah pada anak dapat terjadi perdarahan
yang menyebabkan kematian akibat adanya lacerasi yang hebatpada kulit
kepala.
F. MANIFESTASI KLINIS
a. Cedera Kepala Ringan
1) Cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tidak pingsang,
tidak muntah, tidak ada tanda tanda neurologik
2) Contusio serbri ditandai dengan tidak sadar kurang dari 10 menit, muntah,
sakit kepala, tidak ada tanda tanda nerologik kontisio cerebri
b. Cedera Kepala Sedang
Ditandai dengan pingsan 10 menit muntah dan anamnesa
retrogard dan tanda tanda neurologik
c. Cedra Kepala Berat
1) Lacerasi cerebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulanbulan, kelumpuhan anggota gerak biasanya disertai fraktur basis cranii.
2) Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-bentar kemudian sadar
lagi kemudian pingsan lagi, mata sembab, pupil anisokor bradikardi, tekanan
darah menurun, suhu tubuh meningkat.
3) Perdarahan subdural ditandai dengan nyeri kepala intrakranial meningkat dan
lumpuh.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Tes Diagnostik
CT-Scan Kepala
Foto Rontgen / Foto Kepala : untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak
b. Laboratorium
Leukosit, Pemeriksaan Darah Lengkap, Analisa Gas Darah, Hb, Elektrolit.
H.
PENANGANAN
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan :
a. Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder;
b. Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan
aman. Pendekatan tunggu dulu pada penderita cedera kepala sangat
berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting.
Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita
cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak
daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan
mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa
stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya
Faktor-faktor yang memperjelek prognosis ada 5, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup
menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita
dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan
napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu
tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini,
kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar
melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan
napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
8.
a.
b.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
PENATALAKSANAAN
Bedrest total
Pemberian Obat-obatan :
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan
berat ringanya trauma.
Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.
Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau
gliserol 10 %.
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,
hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3
hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua
dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan
diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai
ure nitrogennya.
ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN CIDERA KEPALA BERAT (CKB)
1) Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan
sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya.
Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :
a.
b. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah
simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya
liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem
persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit
keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif.
Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
c.
Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi
orang, tempat dan waktu.
Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk,
hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena
udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
d. Pemeriksaan Penunjang
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia
jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial
2) DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.
b.
c.
d.
e.
Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan terhambatnya aliran darah karena
adanya sol (hematom, perdarahan), edema otak.
Tidak efektifnya pola napas b/d penurunan kesadaran.
Keterbatasan aktifitas b/d penurunan kesadaran.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma.
Defisit keperawatan diri berhubungan dengan keterbatasan imobilisasi fisik.
3) INTERVENSI
a. Gangguan perpusi jaringan otak b/d odema otak.
Tujuan: Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Rencana tindakan:
1) Monitor dan catat status neorologis dengan menggunakan metode GCS.
Rasional : menentukan tingkat kesadaran, kemampuan berespon, reflek batang otak dan
menentukan area cedera.
2) Monitor tanda-tanda vital tiap 30 detik.
Rasional : peningkatan sistol penurunan diasto disertai penurunan tingkat kesadaran dan
tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial, adanya pernapasan yang irreguler indikasi
terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi tehadap infeksi untuk mengetahui
tanda-tanda syok akibat perdarahan.
3) Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Rasional : perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan vena jugularis
yang menghambat aliran darah otak sehingga dapat miningkatkan intra kranial.
4) Hindari batuk yang belebihan, muntah, mengedan, pertahankan urin dan hidrasi konstipusi
yang berkepanjangan.
Rasional : dapat mencetuskan respon otomatik pengangkatan intrakranial.
5) Observasi kejang dan lindungi klien dari cedera akibat kejang.
Rasional : kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia dan kejang dapat meningkatkan
tekanan intra kranial.
6) Berikan O2 sesuai dengan kondisi klien.
Rasional : dapat menurunkan hipoksia otak.
b. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tujuan : mempertahankan pola napas yang efektif melaui ventilator.
Rancana tindakan :
1) Hitung pernapasan klien satu menit penuh.
Rasional : pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan
pernapasan lambat meningkatkan tekanan PaCO2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
2) Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi.
Rasional : pada fase ekspirasi biasanya 2x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih
panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
3) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka garis jahitan daerah alat
yang dipasang invasi (terpasang infus dan sebagainya)
Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan
dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
4) Berikan perawatan perineal.
Rasional : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri/ infeksi yang
merambah naik.
5) Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Therapy profilaktik dapat digunakan untuk pasien mengalami trauma (perlukaan),
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya
infeksi nosokomial.
e.
1)
2)
3)
4)
5)
A. Patoflodiagram
Kecelakaan Lalu Lintas
Merangsang Perlepasan
benturan
kepala
destruksi lapisan kulit
mediator kimia,histamine
vasodilatasi PD
Thalamus
kerusakan permukaan
kulit
kerusaka
Kortex Cerebri
Nyeri Dipersepsikan
Edema cerebral
integritas kulit
Kompresi Pd PD otak
Nyeri
Hospitalisasi
Kesadaran menurun
stressor meningkat
mekanisme koping
tidak efektif
Ansietas
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Sudarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol-2, EGC, Jakarta, 2002.
Cholik dan Saiful, Buku Ajar Trauma Kepala Asuhan Keperawatan Klien dengan Cidera
Kepala,, Ardana Media, Yogyakarta, 2007.
Doengoes, Marilyn. E, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Pasien Edisi 3, EGC, Jakarta, 2000.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis Edisi VI, EGC, Jakarta, 1996.
Santosa, Budi (editor), Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-2006,Definisi dan
Klasifikasi, Prima Medika, Jakarta, 2005.
Suriadi, Yuliani, Rita, Asuhan Keperawatan pada Anak, Fajar Interpratama, Jakarta.
http://wacanamedis.blogspot.co.id/2013/12/askep-trauma-capitis-berat.html.
http://wacanamedis.blogspot.co.id/2013/12/askep-trauma-capitis-berat.html