You are on page 1of 17

Analisis Pasal 31 Uu No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang

Negara Dan Lagu Kebangsaan


Bab III tentang Bahasa Negara, khususnya Pasal 31 menyatakan bahwa:
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik
Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara
Indonesia. (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak
asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Analisis & Kritisi
1) Jika hendak menafsirkan dari ayat tersebut di atas, maka penggunaan Bahasa
Negara dalam pembuatan Nota Kesepahaman atau Perjanjian adalah menjadi
wajib apabila pembuatan Nota Kesepahaman atau Perjanjian tersebut
melibatkan; Lembaga Negara; Instansi Pemerintah RI; Lembaga Swasta
Indonesia; atau Perseorangan Warga Negara Indonesia.
Secara a-contrario, dapat ditarik kesimpulan jika tidak melibatkan salah
satu dari ke-empat unsur di atas, maka Bahasa Indonesia tidak wajib
digunakan dalam pembuatan Nota Kesepahaman atau Perjanjian. Namun
apakah ketidakwajiban tersebut dimungkinkan? Nampaknya tidak, mengingat
unsur paling sederhana dalam pembuatan Nota Kesepahaman atau Perjanjian,
yaitu orang perseorangan (WNI), juga termasuk dalam unsur yang disebutkan
dalam pasal ini. Dengan kata lain, sejauh pembuatan Nota Kesepahaman atau
Perjanjian tersebut melibatkan Subjek Hukum di Indonesia, maka pembuatan
Nota Kesepahaman atau Perjanjian tersebut adalah mutlak menggunakan
bahasa Indonesia.
2) Atas Nota Kesepahaman atau Perjanjian yang melibatkan pihak asing, maka
ketentuannya: Selain ditulis dalam Bahasa Indonesia, juga:
a. dalam Bahasa Nasional Pihak Asing tersebut; dan/atau

b. dalam Bahasa Inggris


Dengan demikian, dalam ayat ini bisa diberlakukan 2 (dua) ketentuan,
jika kita merujuk kata-kata dan/atau, yaitu sbb:
1. Pembuatan Nota Kesepahaman atau Perjanjian tersebut, menggunakan 2
bahasa, yaitu: Bahasa Indonesia dan Bahasa Nasional Negara asing yang
bersangkutan.
2. Pembuatan Nota Kesepahaman atau Perjanjian tersebut, menggunakan 3
bahasa; yaitu: Bahasa Indonesia, Bahasa Nasional Negara asing yang
bersangkutan, serta Bahasa Inggris.
Untuk Perjanjian Internasional, maka Perjanjian ditulis dengan mengikuti
ketentuan Pasal 31 (2) jo. Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun
2009, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Nasional Negara Asing yang
bersangkutan, dan/atau Bahasa Inggris.
Yang menjadi pertanyaan adalah:
1. Apakah dengan adanya UU ini, lantas membuat unsur-unsur syarat sahnya
Perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) menjadi dikesampingkan?
Bagaimana jika Para Pihak sepakat (unsur pertama dalam Pasal 1320
KUHPer) untuk menggunakan satu bahasa saja, misalnya Bahasa Inggris
sebagai dasar membuat Perjanjian?
Mengenai hal tersebut, maka kita dapat melihat Bagian Ketiga tentang
Akibat Persetujuan-persetujuan KUHPerdata, Pasal 1339 dimana
dikatakan bahwa suatu kesepakatan tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tapi juga terhadap segala
sesuatu yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.
Sehingga, walaupun Para Pihak telah menyepakati untuk menggunakan
satu bahasa saja (dalam kasus ini adalah Bahasa Inggris), maka itu tidak
dapat dibenarkan karena berarti tidak sesuai dengan Pasal 1339
KUHPerdata jo. Pasal 31 (2) UU 24 Tahun 2009 yang mengharuskan salah
satu naskah tersebut dibuat dalam Bahasa Indonesia.

Lain halnya jika, Para Pihak sepakat hanya menggunakan Bahasa


Indonesia dalam Perjanjian tersebut, maka berdasarkan Pasal 1339
KUHPerdata jo. Pasal 31 (2) UU 24 Tahun 2009, maka hal tersebut sahsah saja, hal itu karena dalam Pasal 31 (2) UU 24 Tahun 2009 dikatakan
Nota Kesepahaman ditulis juga dalam Bahasa Nasional pihak asing
tersebut dan/atau Bahasa Inggris, kata-kata ditulis juga dapat diartikan
bahwa penggunaan Bahasa Asing/Bahasa Inggris tersebut sifatnya tidak
wajib.
2. Bagaimana Kekuatan Hukum sebuah Perjanjian yang dibuat diantara Para
Pihak yang salah satunya WNI, tetapi Perjanjian tersebut seluruh
klausulanya menggunakan bahasa Inggris? Apakah status Perjanjian
tersebut menjadi Batal Demi Hukum atau Dapat Dibatalkan?
Kembali ke peraturan dasar, bahwa sepanjang syarat sahnya perjanjian
terpenuhi, maka Perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi
Para Pihak yang membuatnya (asas pacta sunt servanda). Namun, dalam
konteks ini, dikarenakan Para Pihak menyepakati membuat Perjanjian
dalam Bahasa Inggris, maka salah satu syarat sah Perjanjian menjadi tidak
terpenuhi (yaitu klausula sebab yang halal sebagaimana dipersyaratkan
dalam Pasal 1337 KUHPerdata jo. Pasal 31 UU 24 Tahun 2009), dengan
demikian, Perjanjian sebagaimana tersebut diatas adalah Batal Demi
Hukum.
3. Apakah ketentuan Pasal 31 ini bersifat mandatory? Apa akibat hukumnya
jika Pasal ini dilanggar?
Menurut hemat saya, Pasal 31 UU ini bersifat Mandatory karena
dengan jelas dinyatakan secara eksplisit kata-kata wajib dalam Pasal
tersebut. Namun yang menjadi kekurangan dari UU ini adalah tidak
mencantumkan sanksi apabila kewajiban tersebut dilanggar. Apakah yang
demikian dpat dikatakan terjadi kekosongan hukum? Kita tidak dapat serta
merta menyatakan demikian. Mari kita melihat ke dalam konteks yang
lebih umum, yakni ke salah satu syarat sah Perjanjian yaitu sebab yang

halal (Pasal 1320 Jo. 1337 KUHPerdata) yang menyatakan bahwa suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,. Dengan
kata lain, jika hal tersebut bertentangan dengan UU, maka Perjanjian yang
bersangkutan menjadi Batal Demi Hukum (karena salah satu syarat sah
Perjanjian tidak terpenuhi).

Analisis Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang PPh atas


Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan pengenaan pajak
penghasilan sebesar satu persen bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang
menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran omzet tidak melebihi Rp 4,8
miliar satu Tahun Pajak. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
No. 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yang terbit
tanggal 12 Juni 2013 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2013.
Satu cara, satu tarif dan satu persen dari omzet menjadi kampanye yang
paling melekat di balik terbitnya PP 46. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bertujuan
aturan ini merupakan suatu bentuk insentif. Pengenaan tarif 1% terhadap omset
jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tarif 25% terhadap laba. Kepala Seksi
Hubungan Eksternal Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Chandra
Budi mengasumsikan bahwa suatu usaha memiliki marjin laba sekitar 7% dalam
setahun, maka pajak yang harus dibayar dengan ketentuan ini adalah 1% dari 7%
atau hanya 14,3% dari laba.
Sebenarnya jika diteliti lebih jauh tarif ini memang sedikit lebih kecil
daripada tarif Pasal 17 UU PPh sebesar 15 persen untuk wajib pajak orang

pribadi dengan laba antara Rp 50 juta hingga Rp 250 juta setahun. Ada beberapa
yang perlu dikaji terkait PP 46 tahun 2013 ini, terutama aspek ability to pay yang
sebenarnya menjadi ruh dari pajak penghasilan karena lebih memperhatikan
keadilan dari pajak tidak langsung seperti PPN yang lebih memberatkan netralitas
pajak.
Kerugian dari usaha, tetap dikenakan tarif 1% dari omzet.
Seharusnya PP 46 tahun 2013 yang ditetapkan menjadi pajak final ini
didukung oleh Peraturan Menteri Keuangan untuk mengatur perkecualian yang
tidak dapat dijangkau oleh PP 46 ini. Misalnya kerugian yang diderita oleh UKM,
karena bersifat pajak final sehingga biaya usaha tidak dapat menjadi pengurang
penghasilan kena pajak padahal biaya usaha lebih besar daripada penghasilan
yang didapatkan.
Kerugian merupakan hal yang lazim dalam dunia usaha sehingga perlu aturan
khusus untuk memperlakukan pengusaha UKM yang mengalami kerugian.
Bentuk dari aturan khusus ini setidaknya membebaskan dari tarif 1% PP 46 tahun
2013 untuk pengusaha yang mengalami kerugian usaha (dengan syarat mampu
membuktikannya) ataupun bahkan mendapat kompensasi kerugian yang bisa di
kompensasikan untuk masa pajak berikutnya. Hal ini akan lebih dekat dengan
keadilan dan sesuai dengan asas equity yang disampaikan oleh Adam Smith.
Mengubah perilaku dunia usaha
PP 46 tahun 2013 akan mempunyai dampak yang tidak bisa dihindari,
karena setiap kebijakan akan mempunyai dampak positif maupun dampak negatif.
Kecenderungan negatif dari pengusaha akan menurunkan tarif atau menjaga
omzet untuk tidak lebih dari 4,8 M. Hal ini tentunya akan merugikan negara
karena akan menurunkan pendapat negara dari yang seharusnya diterima.
Pengusaha akan melakukan tax planning atas peraturan ini, bagaimana
bisa menghindari pajak (tax avoidance) untuk mendapatkan insentif tersebut.
Misalnya pengusaha akan menutup usaha pada bulan desember karena omzet

usahanya sudah mencapai 4,7 M tentunya perilaku ini merugikan konsumen dan
bahkan perekonomian. Dengan cara demikian pengusaha UKM akan
mendapatkan tarif pajak yang murah untuk memanfaatkan peraturan tersebut

Analisis Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan


Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Bila dilihat dari landasan filosofisnya Perpres Nomer 36 Tahun 2005 untuk
menggantikan Keppres No. 55 Tahun 2003 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Undang-undang untuk Kepentingan Umum sebagai Peraturan
pelaksana Undang-undang yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudoyono. Ternyata mendapat protes yang dilayangkan seiring terbitnya perpres
ini. Protes yang dilakukan oleh berbagai kalangan ini bukan tanpa alas an
( Timbul permasalahan Formil dan permasalahan materiil khusunya mengenai
pancabutan hak tanah oleh pemerintah). Mereka beranggapan bahwa peraturan
presiden ini mencerminkan sikap pemerintah yang represif dan otoriter karena
dalam pasal-pasal yang termuat dalam perpres tersebut, pemerintah dapat
mencabut hak atas tanah milik rakyat, dengan mengatamakan kepentingan umum
[Perpres No. 36 Tahun 2005, Bab II Pengadaan Tanah, Pasal 2, bagian (b)].

Selain itu, latar belakang ditetapkannya perpres ini, karena pemerintah


sudah terlanjur membuat komitmen pada Infrastructur Summit 2005, yang lebih
berpihak pada kaum pemodal (investor) ketimbang kepentingan umum (rakyat).
Setelah 1 tahun kemudian Presiden Susilo mengganti Perpres No. 36 Tahun 2005
dengan Perpres No. 65 Tahun 2006. Berita di Kompas bahwa Peraturan Presiden
Perubahan atas Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Perpres No 65/2006) terbit 5 Juni 2006.
dimana Perpres No. 65 Tahun 2006 merupakan tindaklanjut atas rekomendasi
Komisi II kepada Sekretaris Kabinet untuk mengubah Perpres No. 36 Tahun 2005.
Selain itu juga untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak
atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

Adapun Kelebihan dan kekurangan Perpres No 65 Tahun 2006 sebagai


berikut :
Kelemahan :
1.

Berpijak dari Naskah Akademis yang merupakan suatu acuan dalam


pembuatan peraturan sehingga peran masyarakat aktif Namun dalam Perpres
No 65 tahun 2006 serta yang sebelumnya tidak ada kejelasan akan naskah
tersebut sehingga tidak dapat diperoleh kejelasan tentang falsafah, orientasi,
dan prinsip dasar yang melandasinya. Hal ini sesuai dengan catatan, materi
dalam perpres harus dimuat dalam undang-undang.
Pada Perpres No. 65 tahun 2006 yang merupakan pembaharuan dari

2.

perpres no 36 tahun 2005 adanya pengurang pembangunan fasilitas umum


(termuat dalam pasal 5 ) dimana pada Perpres No. 36 tahun 2005 ada 21 model
pembangunan fasilitas umum tetapi sekarang pada perpres yang baru hanya ada
7 model pembangunan fasilitas Umum. Namun yang jadi pertanyaan disini,

apakah landasan pemikiran hal tersebut (Kekurangpastian akan dasar hukum


maupun filosofisnya) sehingga pasal tersebut seakan-akan cacat hukum.
Penitipan Ganti rugi ke Pengadilan Negeri bila proses musyawarah

3.

mengenai harga tanah tidak selesai. Masalah utamanya adalah mekanisme


penitipan ganti rugi kepada Pengadilan Negeri yang dapa pada pasal 10 Perpres
No.65 tahun 2006, permasalahan penitipan uang ganti kerugian kepada
Pengadilan Negeri (PN) bila lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan,
namun musyawarah tidak mencapai hasil setelah berlangsung 120 hari
kalender (sebelumnya 90 hari). Perlu ditegaskan, penerapan lembaga
penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan pada PN yang diatur
dalam Pasal 1404 KUH Perdata keliru diterapkan dalam perpres ini. Selain
keliru menerapkan konsep dan terkesan memaksakan kehendak sepihak, Pasal
10 ini tidak final. Secara hukum, Pasal 10 perpres ini tidak relevan karena
tanpa menitipkan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri, sudah ada jalan
keluar yang diatur dalam UU No 20/1961
4.
Yang perlu diperhatikan juga dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 tersebut
lebih mengemukakan atau mementingkan para investor ketimbang kepentingan
umum. Dan hanya digunakan sebagai alat legitimasi bagi Negara/pemerintah
untuk mengambil tanah rakyat secara paksa untuk kepentingan para investor.
"Keberadaan Perpres 65 tersebut bukan memastikan tanah untuk rakyat, tapi
bagaimana mengambil tanah dari rakyat,
Ketidakaktifan atau keikutsertaan anggota BPN (Badan Pertanahan

5.

nasional) dalam panitia pengadaan tanah bagi kepentingan umum masih


minim? kurang. Padahal yang tahu lebih banyak tentang seluk beluk
pertanahan di daerah tersebut adalah BPN setempat. Dengan adanya anggota
BPN tentunya ada lebih banyak pertimbangan positif dalam memilih areal
tanah untuk pembangunan kepentingan umum.
Kelebihan :
1. Berpijak dari pasal 1 ayat 3 dan pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah. Dibandingkan dengan perpres yang sebelumnya ada

poin tentang pencabutan hak atas tanah. Dengan pencabutan hak atas tanah ini
pemerintah memiliki kesempatan untuk mencabut hak atas tanah secara
sewenang-wenang. Dengan peyempurnaan pasal ini diharaphan mampu
menghilangkan kewenangan pemerintah mengenai pencabutan akan tanag
secara paksa dan sepihak menurut kehendak pemerintah
2. Menurut Pasal 3 perpres no 36 tahun 2005, dalam pasal 3 ayat 2 tersebut
termuat Pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf
b dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan benda-benda yang Ada Di
Atasnya. Namun ayat ini dihapus karena tidak sesuai dengan percabutan hak
tanah terhadap Hak kepemilikan tanah.
3. Cara pengadaan tanah yang diterapkan pada Perpres no 36 tahun 2005
memberi kesempatan kepada Pemerintah untuk melakukan cabut paksa
terhadap tanah milik masyarakat yang akan dijadikan areal pembangunan
untuk kepentingan umum. Hal ini karena masih ada cara pengadaan tanah
dengan pencabutan hak atas tanah. Jika tidak dihasilkan keputusan dari proses
perundingan ganti rugi dalam rangka penyerahan hak atas tanah, maka
pencabutan hak atas tanah. Cara ini banyak mendapatkan kritik dari
masyarakat, karena dianggap tidak adil dan aspiratif. Karena itulah untuk
melindungi kepemilikan atas tanah adanaya perubahan
4. Perpres No. 36 Tahun 2005, belum adanya hal yang mengatur mengenai Badan
Pertanahan Nasional, dimana kita ketahui bahwa lebih mengetahui seluk beluk
pertanahan di daerah tersebut. Tetapi dengan disahkanya perpres yang baru,
yaitu Perpres No. 65 Tahun 2006 pada pasal 6 ayat 5 menyatakan bahwa
Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait dan
unsur Badan Pertanahan Nasional. dari pasal ini bahwa perpres yang sekarang
sudah adanya Badan Pertanahan Nasional yang nantinya pelaksanaannya akan
lebih efektif dan efisien
5. Seperti yang termuat dalam pasal 7c Perpres No. 36 Tahun 2005 yaitu tersurat
bahwa dalam pasal tersebut menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi
atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan. Sehingga seakan-akan
adanya suatu permainan politik yang dilakukan oleh pemerintah dalam urusan
ganti rugi akan penyerahan hak atas tanahnya. (adanya ketidakpastian jumlah

ganti rugi). Namun dengan direvisinya Perpres No. 36 tahun 2005 menjadi
Perpres No. 65 tahun 2006, sehingga adanay perubahan yaitu pasal 7c yang
menjelaskan bahwa, menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya
akan dilepaskan atau diserahkan

Analisis Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No 8 Tahun 2007 tentang


Ketertiban Umum dan Strategi Pengembangan Ketertiban Umum

Kebijakan secara umum dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah


untuk membentuk suatu rangkaian atau pola tindakan bertujuan yang diikuti oleh
seorang atau sekelompok aktor dalam berurusan dengan suatu masalah atau suatu

hal tertentu. Oleh karena itu Kebijakan publik dalam beberapa teori dapat
diartikan sebagai Seperangkat keputusan yang saling berhubungan yang diambil
oleh seorang atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan pemilihan tujuan
dan sarana pencapaiannya dalam suatu situasi khusus dimana keputusankeputusan itu seharusnya, secara prinsip, berada dalam kekuasaan para aktor
tersebut untuk pencapaiannya. Secara teoritis penyusunan suatu kebijakan publik
dimana keterlibatan proses pembuatan kebijakan publik hanya berjalan antara
pemerintah dan DPRD dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas tidak
akan menjamin efektivitas dari penerapan suatu kebijakan publik dan punya
kecenderungan tinggi untuk melanggar rasa keadilan masyarakat.
Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
provinsi adalah penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketenteraman masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berkomitmen untuk menyelenggarakan
urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah, menjaga
ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya kota Jakarta sebagai kota jasa, kota
perdagangan dan kota pariwisata yang masyarakatnya nyaman, aman dan
tenteram.
Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan DPRD Provinsi DKI Jakarta
seharusnya diarahkan pada peningkatan upaya untuk dapat menjamin tercapainya
ketertiban umum tanpa menggunakan pola atau melakukan perumusan yang
mempunyai kecenderungan tinggi untuk overkriminalisasi. Pola kebijakan yang
dirumuskan tanpa partisipasi masyarakat secara luas juga mempunyai
kecenderungan untuk melanggar peraturan perundang-undangan yang berada di
atas Perda seperti UU No 10 Tahun 2004.

Suatu kebijakan publik yang baik dan dirumuskan dalam bentuk peraturan
perundang undangan yang baik seharusnya memuat asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik seperti (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau

organ pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (d)
dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan;
dan (g) keterbukaan dan materi dari perumusan aturan tersebut harus berpijak
pada asas (a) pengayoman; (b) kemanusiaan; (c) kebangsaan; (d) kekeluargaan;
(e)kenusantaraan; (f) bhinneka tunggal ika; (g) keadilan; (h) kesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan; (i) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau (j)
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
provinsi adalah penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketenteraman masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berkomitmen untuk menyelenggarakan
urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah, menjaga
ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya kota Jakarta sebagai kota jasa, kota
perdagangan dan kota pariwisata yang masyarakatnya nyaman, aman dan
tenteram.
Untuk itu Perda Tibum ini mempunyai posisi yang sangat strategis dan
penting untuk memberikan motivasi dalam menumbuhkembangkan budaya
disiplin masyarakat guna mewujudkan tata kehidupan kota Jakarta yang lebih
tenteram, tertib, nyaman, bersih dan indah, yang dibangun berdasarkan partisipasi
aktif seluruh komponen masyarakat.
Terkait dengan hal tersebut, maka dalam Peraturan Daerah ini mengatur
substansi materi muatan sebagai berikut: (1) tertib jalan dan angkutan jalan; (2)
tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; (3) tertib sungai, saluran, kolam dan
lepas pantai; (4) tertib lingkungan; (5) tertib tempat usaha dan usaha tertentu; (6)
tertib bangunan; (7) tertib sosial; (8) tertib kesehatan; (9) tertib tempat hiburan
dan keramaian; dan (10) tertib peran serta masyarakat.
Sebagaimana ketentuan lain, maka Perda Tibum juga mempunyai sanksi
pidana yang dibagi dalam dua jenis yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak
pidana kejahatan. Sanksi pidana ini diatur dalam Bab XIV yang terdiri dari 4

pasal. Secara umum variasi ancaman hukuman pidana untuk jenis tindak pidana
pelanggaran adalah pidana kurungan berada pada kerangka min 10 hari hingga
mencapai max 180 hari sementara pidana denda min Rp. 100.000 hingga
mencapai max Rp. 50.000.000.
Terdapat beberapa pihak terkait yang dapat menjadi rujukan dalam
perubahan kebijakan dalam memandang persoalan di seputar ketertiban umum
yaitu perumus dan pembuat kebijakan, yaitu pemerintah provinsi DKI Jakarta dan
DPRD DKI Jakarta, pelaksana kebijakan yang biasanya terdiri dari tiga pihak
yaitu Dinas Sosial, Dinas Tramtib, dan Satpol PP, dan yang paling terpenting
adalah objek dari kebijakan, yaitu masyarakat.
Pada tingkat perumus dan pembuat kebijakan diperlukan suatu strategi
kebijakan yang dapat mempengaruhi suatu proses perumusan dan pembuatan
kebijakan. Pilihan ini dapat diambil oleh masyarakat, karena jaminan terhadap
partisipasi masyarakat sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 53 UU No 10
tahun 2004 yang berbunyi Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang
dan rancangan peraturan daerah.
Para tingkat pelaksana kebijakan, perlu adanya suatu strategi pendekatan
untuk tidak hanya semata mata melakukan penegakkan hukum, akan tetapi
dapat ditekankan pada konsistensi penegakkan hukum sehingga tidak muncul
kesan adanya tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan diskriminatif
Pada tingkat objek kebijakan, perlu dirumuskan adanya strategi agar
masyarakat dapat mematuhi kebijakan yang telah ditetapkan namun di saat yang
sama masyarakat juga dapat tetap menjalankan mata pencaharian dan dorongan
untuk dapat berbuat dan berbagi terhadap kelompok masyarakat miskin di Jakarta
Terlepas dari persoalan tersebut, Peraturan Daerah No 8 Tahun 2007
tentang Ketertiban Umum (lebih dikenal dengan Perda Tibum), sejak awal sudah
menuai reaksi negatif dari masyarakat dan bahkan mengancam akan mengajukan
pengujian perda ke Mahkamah Agung. Reaksi penolakan yang juga diikuti dengan

langkah hukum dengan mengajukan pengujian perda tibum ini ke Mahkamah


Agung patut menjadi perhatian.
Setidaknya ada permasalahan penting dalam pandangan penulis terkait
dengan Perda Tibum ini yaitu persoalan Pedagang Kaki Lima dan persoalan
pengemis. Persoalan ini penting mengingat adanya pemidanaan tidak hanya
terhadap pedagang kaki lima namun juga terhadap konsumen dari pedagang kaki
lima tersebut (Vide Pasal 27 jo Pasal 61 ayat (1) Perda No 8 Tahun 2007) serta
adanya pemidanaan tidak hanya terhadap pengemis namun juga terhadap orang
yang memberikan sedekah kepada pengemis tersebut (Vide Pasal 40 jo Pasal 61
ayat (1) Perda No 8 Tahun 2007).

Analisis Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2011 Tentang


Tentang Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota
Medan
Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga pada Pemerintah Daerah
yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Pada Daerah Provinsi, Perangkat Daerah terdiri atas
Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah. Pada Daerah
Kabupaten/Kota, Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah,
Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan. Dasar utama penyusunan
perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib
dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan
pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib,
diselenggarakan oleh seluruh Provinsi, Kabupaten, dan Kota, sedangkan
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan hanya dapat

diselenggarakan oleh Daerah yang memiliki potensi unggulan dan kekhasan


Daerah, yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan memunculkan sektor unggulan masingmasing Daerah sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah
dalam rangka mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah, implementasi penataan kelembagaan perangkat
daerah menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas,
pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas,
efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas. Hal ini
dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam
menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi,
sinkronisasi dan simplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan
daerah. Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Peraturan daerah
mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat
daerah. Rincian tugas, fungsi, dan tata kerja diatur lebih lanjut dengan peraturan
Gubernur/Bupati/Walikota. Bahwa bentuk dan susunan Organisasi Perangkat
Daerah Kota Medan telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota
Medan. Peraturan daerah ini disusun dengan berpedoman kepada Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dalam
rangka pelaksanaan Urusan Pemerintahan Kota Medan sebagaimana telah
ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 yang disusun
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat


Daerah dan peraturan pelaksanaannya membuka ruang untuk melakukan
perubahan atas bentuk dan susunan organisasi perangkat daerah yang telah
ditetapkan dengan pertimbangan beban tugas maupun dalam penyelenggaraan
urusan pemerintah daerah masing-masing. Perubahan dan/atau penambahan juga
dapat dilakukan sebagai pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan dan tugas
pemerintahan umum lainnya. Dalam rentang dua tahun pelaksanaan Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tersebut di atas bahwa pada bidang penanganan
urusan pengelolaan keuangan yang semakin relatif besar memerlukan
pengembangan organisasi baik pada tingkat dan jumlah jabatan struktural yang
akan menangani tugas-tugas dimaksud sehingga diperlukan adanya perubahan.
Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tersebut juga dibutuhkan
dalam rangka menyahuti amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46
Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan
Bencana Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2009
tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Dewan Pengurus Korps
Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia Provinsi dan Kabupaten / Kota yang
setelah melalui pembahasan dan pertimbangan berbagai aspek, organisasi
perangkat daerah tersebut dibutuhkan pada Pemerintah Kota Medan.

You might also like