You are on page 1of 4

This post was published to OdyDasa at 1:32:00 02/03/2007

Kejawen (Bagian Awal)


Category

ngGedebus

Kejawen, pembentukan katanya berasal dari kata Jawa diimbuhi ke-an, menjadi
kejawaan (seperti pembentukan kata "kasepuhan") atau kejawan. Kata kejawan ini,
dengan keluwesan "lidah orang Jawa", meluruh menjadi kejawen . Kejawan atau
kejawen memiliki arti yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa --dalam
hal ini orang Jawa--, dalam segala sendi kehidupan.

Kejawen = Kultur Jawa

Kejawen memiliki kedekatan arti dengan kultur Jawa, yang berarti juga melingkupi
bagaimana seorang Jawa itu bertingkah polah menjalani hidup. Karena berupa
kultur, kejawen juga melingkupi pola pikir serta sikap dan pola kehidupan. Sehingga
orang Jawa yang memiliki pola pikir serta sikap dan pola kehidupan yang tidak
sesuai dengan kultur Jawa akan dianggap sebagai orang yang tidak Jawa (tidak
"njawani").
Pola-pola seperti andhap asor (santun), tepa slira (tenggang rasa), menghormati
orang lain, guyub dan suka menolong, bersahaja, hidup dalam harmoni, serta
mendekat dengan alam termasuk di dalamnya. Orang Jawa yang egois, kasar/
arogan, dan lupa dengan asal usulnya akan dianggap sebagai orang yang tidak
"njawani". Pembentukan diri agar memiliki pola pikir serta sikap kehidupan sebagai
orang Jawa, dilalui dengan berbagai pola kehidupan tertentu, misalkan lelaku
prihatin (untuk menempa diri agar kuat dan peka) dalam kehidupan sehari-hari.

Kejawen, Ritual, Klenik, dan Penyelewenganpenyelewengan Itu

Namun, pola hidup ini tidak identik dengan ritual. Orang yang ingin hidup bersahaja
hanya perlu menerapkan kebersahajaan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak
perlu dilalui dengan ritual tertentu yang berpeluang menjadi topeng kepalsuan.
Ritual berbagi rejeki untuk saling membantu, hanya akan menjadi kepalsuan bila
dalam kesehariannya dikenal sebagai orang yang pelit dan kikir.
Justru ritual-ritual yang palsu seperti ini pada dasarnya bukan asli Jawa, melainkan
bawaan dari budaya asing melalui asimilasi budaya Hindu, Budha, dan Islam.
Bahkan budaya Kristen pun ikut-ikutan berasimilasikan dan mengaku sebagai
budaya Jawa, dan dapat dilihat di berbagai wilayah di sekitar Magelang atau Kediri.
Ritual-ritual hasil asimilasi ini yang seringkali tidak dipahami "filsafat dan ilmu"-nya
oleh orang Jawa, sehingga terjadilah ritual-ritual tanpa ilmu yang akhirnya menjadi
klenik. (Tentang klenik, ada di posting sebelumnya)
Tanpa landasan pemahaman ilmu dan filsafat yang melatarbelakanginya,
pehamanan akan bergeser. Jika ingin menempa diri agar kuat dan peka, maka
pemahaman atas "kuat" ini menjadi bermacam-macam. Lelaku prihatin yang
awalnya agar menjadi kuat dalam menjalani hidup (kuat mental, kuat jiwa, kuat
spiritual, kuat keyakinan, kuat dalam niat dan kemauan, sembada, kuat dalam
pengendalian diri, dan seterusnya), termasuk kuat dalam arti fisik (kekuatan olah
ragawi dan kekuatan hasil olah kanuragan), kemudian bergeser hanya satu sisi saja,

misalkan hanya dipahami kuat dalam arti olah kanuragan. Akhirnya, proses lelaku
yang dijalani pun menjadi berbeda niatnya, dan lahirlah klenik.
Ketika hidup bersama alam, ditemukan adanya keseimbangan dan kehamonisan,
dan ini yang kemudian menjadi landasan dalam tatanan kehidupan, hidup yang
harmonis. Dalam usaha untuk memahami kehidupan, masyarakat Jawa menemukan
bahwa kehidupan itu tidak lepas dari hidup bermasyarakat. Sehingga,
penghormatan atas hadirnya individu lain, kesantunan, dan hidup saling
membutuhkan adalah syarat untuk harmoni dalam masyarakat. Sikap hidup yang
sesungguhnya menggambarkan adanya sikap egaliter dalam kehidupan masyarakat
Jawa.
Namun, ada beberapa hal yang kemudian dipahami secara salah. Hamonis
kemudian dipahami secara salah menjadi antikonflik yang membabi-buta.
Menghormati orang lain dipahami secara salah menjadi rendah diri yang
memalukan dan penjilatan kepada yang lebih berkuasa atau berharta.
Peka berarti harus memahami segala sesuatu yang tidak biasa, agar kemudian bisa
mawas diri. Ketika ada suatu kesalahan yang dilakukan, dan orang-orang di
sekitarnya justru diam, harus bisa dipahami bahwa sikap diam itu adalah cara agar
pelaku kesalahan menjadi peka atas apa yang telah dilakukannya. Mendiamkan ini
adalah upaya untuk memperkecil konflik. Jika tidak peka, maka hal itu dianggap
sebagai hal yang menyakitkan bagi orang lain. Semacam "kebangetan banget, sih.
Kok tidak sadar juga".
Untuk mereduksi konflik, sering kali orang Jawa bersikap: "ngalah, ngalih, ngamuk".
Pertama kali adalah mengalah, mendiamkan agar tidak terjadi konflik yang tidak
perlu. Jika masih belum sadar, maka "ngalih", menghindari, agar emosi tidak
merusak suasana. Kemudian, jika masih belum sadar, langkah tegas diperlukan
untuk itu, walau tidak harus berari "mengamuk".
Pemahaman yang salah terhadap hal ini juga sering terjadi, dan dikenalah orang
Jawa secara salah sebagai orang yang pendiam, tetapi pendendam. Namun, tidak
bisa dipungkiri, bahwa dibalik sikap yang rendah hati dan menghormati, tersimpan
pula sifat kasar dan ganas. (Mungkin pada dasarnya orang Jawa memang kasar dan
ganas, dan oleh sebab itu ada kejawen untuk meredam dan mengarahkan)
Dalam mawas diri dan pembentukan kepekaan diri, dikenal ada istilah "guru sejati".
Guru adalah yang dianggap mampu mendidik dan mengarahkan, dan guru yang
harus bisa mendidik dan mengarahkan adalah diri pribadi. Guru sejati menjadi
semacam "alter ego" yang mengawasi dan melakukan pengarahan terhadap "alter
ego" yang lain. Dalam klenik, guru sejati hanya dipahami sebagai pembentukan
"sosok lain", yang kemudian bersinggungan dengan "raga sukma", maupun
kemunculan "sosok kembaran" di tempat lain pada saat bersamaan.
Kepekaan diasah dengan usaha untuk bisa ikut merasakan sebagaimana yang
dirasakan oleh yang lain. Kebersahajaan (meninggalkan kemewahan) dan lelaku
prihatin (merasakan lapar dan kesusahan hidup), merupaan upaya untuk itu.
Namun, kemudian muncul ritual-ritual, seperti bertapa dan berbagai jenis puasa
(ngebleng, pati geni, mutih, ngrowot, dan seterusnya), yang jelas-jelas merupakan
asimilasi dari budaya asing.

Karena sebenarnya lelaku itu adalah keseharian, bukan ritual. Ritual yang dilakukan
secara rajin, tetapi dalam keseharian masih bergelimang kemewahan dan tidak
peduli akan kesusahan hidup yang dialami yang lain, hanyalah berupa topeng
kepalsuan, dan tidak akan mengupayakan kepekaan. Kepekaan diasah pula dengan
mendekatkan diri dengan alam, agar bisa menangkap tanda-tanda yang diberikan
oleh alam.
Salah satu hasil mengasah kepekaan ini adalah "ilmu titen", yang "niteni", meneliti,
mencermati berbagai tanda-tanda. Ilmu titen ini akan menjadi klenik, jika hanya
didasarkan atas hitung-hitungan saja, sedangkan tanda-tanda alam tidak lagi
dicermati. Hal yang praktis dalam "titen" ini adalah, orang Jawa biasanya
memetakan posisi dalam arah mata angin. Sehingga wajar jika menjelaskan posisi
dalam arah mata angin ("lor"/ utara, "kidul"/ selatan, "wetan"/ timur, dan "kulon"/
barat) dan bukan dalam arah kiri atau kanan. Misalkan untuk lokasi rumah, maka
bisa dijelaskan menjadi: dari perempatan terminal, ke utara, kemududian ada
belokan, ke barat sedikit terus ke utara lagi. Sayangnya, seringkali jika tidak paham
arah mata angin, maka akan merasa bingung dan disorientasi lokasi.
Ilmu "titen" yang lain, adalah memahami waktu tanpa bantuan jam. Jika pada siang
hari hal ini dapat dilakukan dengan bantuan matahari, maka di saat malam hari
pemahaman waktu dilakukan dengan mencermati kondisi alam dan isinya, misalkan
perilaku binatang, perilaku orang-orang, perubahan suhu, angin, atau cuaca. Akan
sangat kelihatan ketika berada di wilayah yang jauh dari keramaian. Jam 8 malam
biasanya bayi/ anak kecil sudah tidur, jam 10 malam angin mulai reda (bila ada
obor penerangan, api dan asap mulai lurus ke atas), jam 2 pagi suhu udara mulai
turun secara signifikan, dan seterusnya.
Untuk urusan bercocok tanam, karena sangat ditentukan oleh musim, perubahanperubahan kondisi alam menjadi hal yang dicermati, misalkan untuk
memperkirakan kedatangan musim hujan, musim angin digunakan sebagai tanda,
dan jika musim angin sudah mulai reda, maka musim hujan akan segera tiba.
Musim kemarau biasanya ditandai dengan perilaku hewan "gareng pung",
sebagaimana orang Jepang menandai musim semi berdasar perilaku cenggeret,
hewan yang sejenis. Pendanaan-penandaan musim ini kemudian diwujudkan dalam
sisem kalendar, dan Jawa adalah salah satu dari sedikit suku bangsa di dunia yang
memiliki sistem kalendar sendiri (walau pada perkembangannya mengalami
asimilasi dengan budaya lain), selain bahasa dan tulisan tersendiri.
Namun, jika hanya menyandarkan diri pada perhitungan-perhitungan, dan tidak lagi
mencermati tanda-tanda alam, maka terlahirlah lagi klenik, ritual-ritual yang
meninggalkan filosofi dan ilmu yang melandasinya. Mendekatkan diri dengan alam
adalah upaya untuk mengasah kepekaan juga, agar mampu hidup harmonis dengan
alam dan untuk keperluan-keperluan praktis, misalkan untuk orientasi lokasi,
orientasi waktu, dan keperluan pertanian.

Kejawen dan Perkembangan Jaman: Asimilasi,


Egoisme, atau Politik?

Dalam banyak sisi, kejawen selalu berkembang & menyesuaikan diri, mulai dari era
prapengaruh budaya asing, era kedatangan suku bangsa asing yang membawa
berbagai budaya dan teknologi (budaya Hindu & Budha, Cina, Timur Tengah dan

Asia Kecil, Islam, serta bangsa barat dan Kristen), hingga pengaruh budaya global
saat ini. Pun, kultur tidak hanya sebatas pola pikir dan tingkah laku, melainkan juga
produk dari kultur itu sendiri, misalkan bahasa, tulisan, sastera, dan ilmu-ilmu
lainnya. Konon, orang Jawa tidak akan mengenal berbagai peralatan dan teknologi
bertani (bahkan bajak), jika tidak ada pengaruh dari Cina
(http://kejawen.suaramerdeka.com/index.php?id=135).
Nah, jika sedari dahulu kejawen terasimilasi, tetapi tetap berciri khas Jawa, budaya
Hindu tapi Jawa, Budha tapi Jawa, orang Cina tapi Jawa, Islam tapi Jawa, Kristen tapi
Jawa. (Catatan mengenai Islam tapi Jawa dan bukan Arab, bisa dilihat di sini).
Sehingga, bukan tidak mungkin pada era ini kejawen akan bisa bertahan seperti
sebelumnya: modern tapi Jawa.
Walau perkembangannya, tidak hanya budaya asing yang berpengaruh, melainkan
juga kepentingan-kepentingan politik, mulai dari raja-raja Jawa (yang negatif:
ekseklusivitas, rasis, nonegaliter; yang positif: lahirnya ilmu-ilmu baru kejawen di
berbagai bidang), penjajah (yang suka memutar balik fakta sejarah, karena takut
budaya lokal jika nantinya maju), hingga yang sangat sangat khas dari seorang
Suharto (sebagaimana penjajah, dan suka senyum, yang dapat diartikan
sebagaimana diamnya orang Jawa: kayak gitu kok ndak nyadar-nyadar, to).
Mungkin, dari seorang Suharto dunia mengenal kejawen , tetapi juga melalui
seorang Suharto dunia tidak mengenal apa sesungguhnya kejawen .
Kejawen adalah cara untuk berpola pikir, bersikap, dan berpola hidup sebagaimana
seharusnya orang Jawa, dan tidak sama dengan klenik. Memahami kejawen tanpa
memahami kehidupan manusia dan dan memahami alam akan menjadi klenik.
Bacaan lebih lanjut tentang kejawen, serta pola pikir & sikap orang Jawa:
http://kejawen.suaramerdeka.com/

You might also like