You are on page 1of 54

BAB I

PATOLOGI ANATOMI
DASAR-DASAR NEOPLASMA DAN PERAN PERAWAT

A. Definisi Neoplasma
Neoplasia secara harfiah berarti proses pertumbuhan baru dan suatu
pertumbuhan baru disebut neoplasma. Menurut Price dan Wilson, neoplasma
ialah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus
menerus secara tidak terbatas, tidak berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya,
dan tidak berguna bagi tubuh. Pada neoplasma terjadi proses proliferasi
neoplastik, yang mempunyai sifat progresif, tidak bertujuan, tidak
memperdulikan jaringan sekitarnya, dan tidak ada hubungan dengan
kebutuhan tubuh dan bersifat parasitic. Proliferasi neoplastik menimbulkan
massa neoplasma, menimbulkan pembengkakan atau benjolan pada jaringan
tubuh membentuk tumor.
Dalam klinik, neoplasma sering disebut dengan istilah tumor. Istilah
tumor sendiri sering digunakan untuk semua tonjolan dan diartikan sebagai
pembengkakan, yang dapat disebabkan baik oleh neoplasma maupun oleh
radang, atau perdarahan. Sel- sel neoplasma berasal dari sel - sel yang
sebelumnya adalah sel- sel normal, namun menjadi abnormal akibat
perubahan neoplastik (Price dan Wilson, 2006).
B. Etiologi Neoplasma
Faktor penyebab neoplasma di setiap negara berbeda. Namun, faktor
penyebab yang paling sering adalah faktor makanan (kelebihan kalori,
kelebihan lemak, dan kekurangan serat) dan akibat asap rokok ataupun
merokok. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penyebab neoplasma dapat
digolongkan menjadi 4, yaitu
1. Virus
Virus yang bersifat karsinogen disebut virus onkogenik. Virus DNA
dan RNA dapat menimbulkan transformasi sel. Mekanisme transformasi
sel oleh virus RNA adalah setelah virus RNA diubah menjadi DNA
provirus oleh enzim reverse transeriptase yang kemudian bergabung
dengan DNA sel penjamin. Setelah mengenfeksi sel, materi genitek virus
1

RNA dapaat membawa bagian materi genitek sel yang di infeksi yang
disebut V-onkogen kemudian dipindahkan ke materi genitek sel yang lain.
Beberapa virus yang dapat menyebabkan neoplasma antaralain:
Epstein-barr Limfoma burkitt
Ca NasofaringHerpes simplex virus (HPV) tipe 16,18 Ca servix uteri
Hepatitis B virus Ca Hepatoseluler
Limfotropik sel-T manusia (HTLV-1) Leukimia limfositik
Limfoma
Human Immunodeficiency virus Sarkoma Kaposi
2. Kimia
Bahan kimia penyebab neoplasma dapat bersal dari bahan alami dan
sintetik atau semi sintetik.
Bahan alami
Aflatoksin B1 adalah karsinogen alami. Alfatoksin B1 adalah
mitoksin yang berasal dari Aspergillus Flavus yang mudah tumbuh
pada berbagai butiran tanaman serelia atau tanaman kacang kacangan,
misalnya kacang tanah yang di simpan dalam suasana lembap. Bahan
ini merupakan promotor kuat bagi neoplasma (karsinoma) pada

pengidap sirosis hati.


Bahan sintesis
Vinilklorida yang merupakan bahan antara dalam industri
plastik, dapat menginduksi angiosarkoma hepatis, terutama pada
karyawan di industri plastik, sedangkan bahan antara pada industri
bahan celup, yaitu 2-naftilamin adalah suatu karsinogen yang
menimbulkan

neoplasma

(karsinoma)

pada

kandung

kemih.

Benzo(a)piren, suatu pencemar lingkungan yang terdapat di manamana, berasal dari pembakaran tak sempurna pada mesin mobil dan
mesin lain (jelaga dan ter), terkenal sebagai suatu karsinogen untuk
binatang, dan mungkin sebagai suatu karsinogen untuk binatang, dan
mungkin sekali juga bersifat karsinogen pada manusia.
Penyebab agen kimia yang paling sering adalah akibat penggunaan
tembakau.

Tembakau

merupakan

karsinogen

kimia

poten

yang

menyebabkan sedikitnya 35% kematian akibat kanker pada paru-paru,


kepala, leher, mesofagus, pankreas, serviks dan kandung kemih. Tembakau
bekerja sinergis dengan substansi lain seperti alkohol, asbestos, uranium

dan virus. Kondisi ini seringkali menyebabkan insidensi Ca cavum oris


meningkat.
Sementara itu, agen kimia lainnya adalah zat warna amino aromatik
dan anillin, arsenik, jelaga, tar, asbestos, benzen, pinang dan kapur sirih,
kadmium, senyawa kromium, nikel, seng, debu kayu, senyawa berilium
dan polivinil klorida. Agen-agen kimia ini dalam dosis yang berlebihan
membahayakan tubuh karena akan merusak struktur DNA terutama pada
bagian-bagian tubuh yang jauh dari pajanan zat kimia seperti hepar, paru,
dan ginjal karena organ-organ ini berperan untuk melakukan detoksifikasi
zat-zat kimiawi (Chrestella, 2009).
3. Biologi
Secara biologi faktor penyebabnya dikarenakan oleh adanya faktor
genetik, hormon, mikitoksin, dan parasit. Secara genetik kerusakan DNA
pada sel yang pola kromosomnya abnormal dapat membentuk sel-sel
mutan. Pola kromosom yang abnormal dan neoplasma berhubungan
dengan kromosom ekstra, jumlah kromosom yang terlalu sedikit dan
adanya translokasi kromosom. Contoh: limfoma burkitt, leukimia
mielogenus, meningioma, retinoblastoma, tumor wilm.
Faktor predisposisi kanker :
Predisposisi keturunan, pada masa anak-anak dan dewasa dan pada
berbagai tempat dalam satu organ atau sepasang organ.
Predisposisi herediter pada saudara dekat/sedarah dengan tipe kanker
yang sama.
Contoh lain jenis kanker yang berkaitan dengan faktor genetik:
retinoblastoma,

ca

mammae,

nefroblastoma,

ca

prostat,

feokromositoma, ca paru, nefrofibromatosis, ca gaster, leukimia, ca


kolorektal.
Sementara itu pengaruh hormon adalah sebagai promotor terjadinya
keganasan; ini terbukti secara ekspremental maupun secara klinis.
Beberapa

jenis

hormone

menjadi

salah

satu

co-faktor

pada

karsinogenesis. Sebagai contoh estrogen membantu pembentukan kanker


endometrium dan payudara. Hormone steroid merangsang pembentukan
neoplasma (karsinoma) sel hati.
Pengaruh lain adalah adanya parasit Schistosoma hematobium
menyebabkan karsinogen planoseluler, dan bukan karsinoma sel transisel

yang lazim terdapat di buli-buli akibat serbuan parasit yang ke dinding


buli-buli usia 25-40 tahun. Schistosoma dan Clonorchis sinensis adalah
parasit yang dihubungkan dengan tejadinya kanker kandung kemih dan
infeksi Clonorchis sinensis yang dihubungkan dengan terjadinya kanker
pada kandung empedu (Noorwati, 2007).
4. Radiasi ion dan non-ion
Radisai on dan non-ion dapat digolongkan dalam karsinogen kontak
langsung. Hal ini karena penggunaan sinar radiasi adalah memajan ke
tubuh secara langsung. Proses pemajanan dengan sinar radiasi secar terus
menerus dapat menjadi sebuah karsinogen yaitu terjadi kemungkinan
karsinogenesis iatrogen, yaitu yang disebabkan oleh tindakan kedokteran,
umpamanya eksposisi pada sianr tembus yang merupakan sinar ionisasi
atau

ultraviolet

yang

digunakan

revalidasi.

Radiasi,

dimanapun

sumbernya (UV, sinar x, fisi nuklir, radionuklida) merupakan karsinogen


karena dapat menyebabkan neoplasma berupa kanker kulit.
Dari beberapa penyebab utama di atas, penyebab yang sering adalah
faktor makanan yang dapat menjadi pemicu terjadinya beberapa penyebabpenyebab di atas tersebut. Asupan kalori yang berlebihan terutama yang
berasal dari lemak binatang dan kebiasaan makan makanan yang kurang serat
meninggikan resiko terhadap berbagai keganasan, sperti karsinoma payudara
dan karsinoma kolon (Chrestella, 2009).
C. Klasifikasi Neoplasma
1. Berdasakan sifat biologi
a. Jinak (Belinga)
Tumor jinak tumbuhnya lambat dan biasanya mempunyai kapsul.
Tidak tumbuh infiltratif, tidak merusak jaringan sekitarnya dan tidak
menimbulkan anak sebar pada tempat yang jauh. Tumor jinak pada
umumnya disembuhkan dengan sempurna kecuali yang mensekresi
hormone atau yang terletak pada tempat yang sangat penting,
misalnya disumsum tulang belakang yang dapat menimbulkan
paraplesia atau pada saraf otak yang menekan jaringan otak.
b. Ganas (Maligna)
Tumor ganas pada umumnya tumbuh cepat, infiltratif. Dan
merusak jaringan sekitarnya. Disamping itu dapat menyebar keseluruh

tubuh melalui aliran limpe atau aliran darah dan sering menimbulkan
kematian.
c. Intermediet
Diantara 2 kelompok tumor jinak (Belinga) dan tumor ganas
(Maligna) terdapat segolongan kecil tumor yang mempunyai sifat
invasive lokal tetapi kemampuan metastasisnya kecil. Tumor seperti
ini disebut sebagai tumor agresif lokal tumor ganas berderajat rendah.
Sebagai contoh ialah karsinoma sel basal kulit.
2. Berdasakan sel/jaringan (histogenesis)
a. Sel Totipoten
Sel totipoten memiliki prototipe yang mampu berdeferensiasi
menjadi sel apapun adalah zigot. Zigot kemudian akan tumbuh
menjadi embrio dan fetus. pasca kelahiran satu-satunya sel totipoten
adalah sel germinal, yang paling sering ditemukan di gonadnamun
dapat juga ditemukan di retroperitoneum, mediastinum, dan region
pineal.
Neoplasma sel germinal dapat berbentuk sebagai sel tidak
berdifensiasi, contohnya: Seminoma atau diseger minoma, yang
berdiferensiasi minimal contohnya: karsinoma embrional, yang
berdiferensiasi kejenis jaringan termasuk trofobias misalnya chorio
carcinoma, dan yolk sac carcinoma serta yang berdiferensiasi somatic
adalah teratoma (Kumar dkk, 2003).
b. Sel embrional pluripoten
Sel embrional pluripoten ditemukan pada periode fetal dan hanya
beberapa tahun pasca kelahiran sehingga neoplasma ini terjadi pada
masa anak-anak dini dan sangat jarang pada orang dewasa.
Neoplasma dari sel ini sering disebut dengan embriona atau blastoma.
Blastoma tidak dapat terdeferensiasi sama sekali dan terdiri dari sel
yang kecil, malignan, hiperkromatik (Taylor dkk, 2001).
c. Sel yang berdiferensiasi
Neoplasma epitelia
Neoplasma yang jinak dinamakan adenoma, yang berasal
dari permukaan epitel disebut papiloma. Neoplasma epitel
malignan dinamakan karsinoma, bila berasal dari kelenjar
dinamakan adenokarsinoma.
Neoplasma mesenkimal

Tumor jinak mesenkin sering ditemukan meskipun


biasanya kecil dan tidak begitu penting dan diberi nama asal
jaringan (nama latin) dengan akhiran oma. Misalnya tumor
jinak jaringan ikat (latin fiber) disebut fibroma. Tumor jinak
jaringan lemak (latin adipose) disebut lipoma.
Tumor ganas jaringan mesenkin yang ditemukan kurang
dari 1 persendiberi nama asal jaringan (nama latin) dengan
akhiran sarcoma sebagai contoh tumor ganas jaringan ikat
tersebut Fibrosarkoma dan berasal dari jaringan lemak diberi
nama Liposarkoma (Taylor dkk, 2001).
Klasifikasi Histologik Tumor
Jaringan Ssal
Jaringan Epitel :
Epitel permukaan skaumosa
Epitel kelenjar
Epitel villus chorallis (placenta)
Jaringan Mesoderm :
Jaringan ikat
Jaringan miksomatosa
Jaringan lemak
Tulang rawan
Tulang
Otot polos
Otot serat lintang
Pembuluh darah
Pembuluh limfa
Jaringan hemapoetik
a. Sumsum tulang
b. Jaringan limfoid
Jaringan saraf :
Neuroglia
Jaringan epithelium :
Melanoblas
Jaringan embrional :
Sel totipoten

Tumor Jinak

Tumor Ganas

Papiloma
Adenoma
Mola Hidatidosa

Karsinoma
Adenokarsinoma
Choriokarsinoma

Fibroma
Mixoma
Lipoma
Chondroma
Osteoma
Leiomyoma
Rhabdomyoma
Hemangioma
Lymphagioma

Fibrosacroma
Mixosacroma
Liposacroma
Chondrosacroma
Osteogenic sacroma
Leiomyosacroma
Rhabdomyosacroma
Hemangiosacroma
Lymphangiosacroma

Tidak dikenal

Leukimia
Myoma multiple
Lympoma malignum
Lymposacroma

Glioma (jarang)

Glioma

Nevus pigmentosus

Melanoma malignum

Kista dermoid

Teratoma solidium

D. Sifat Neoplasma
1. Diferensiasi dan Anaplasia
Istilah diferensiasi dipergunakan untuk sel parenkim tumor.
Diferensiasi yaitu derajat kemiripan sel tumor (parenkim tumor). Jaringan

asalnya yang terlihat pada gambaran morfologik dan fungsi sel tumor.
Proliferasi neoplastik menyebabkan penyimpangan bentuk, susunan, dan
sel tumor. Hal ini menyebabkan sel tumor tidak mirip sel dewasa normal
jaringan asalnya. Tumor yang berdiferensiasi baik terdiri atas sel-sel yang
menyerupai sel dewasa normal jaringan asalnya, sedangkan tumor
berdiferensi buruk atau tidak berdiferensiasi menunjukan gambaran sel
primitive dan tidak memiliki sifat sel dewasa normal jaringan asalnya.
Semua tumor jinak umumnya berdiferensiasi baik. Sebagai contoh
tumor jinak otot polos yaitu leiomioma uteri. Sel tumornya menyerupai sel
otot polos. Demikian pula lipoma yaitu tumor jinak berasal dari jaringan
lemak, sel tumornya terdiri atas sel lemak matur, dan menyerupai sel
jaringan lemak normal.
Tumor ganas berkisar dari yang berdiferensiasi baik sampai kepada
yang tidak berdiferensiasi. Tumor ganas yang terdiri dari sel-sel yang tidak
berdiferensiasi disebut anaplastik. Anaplastik berasal tanpa bentuk atau
kemunduran, yaitu kemunduran dari tingkat diferensiasi tinggi ke tingkat
diferensiasi rendah.
Anaplasia ditentukan

oleh

sejumlah

perubahan

gambaran

morfologik dan perubahan sifat, pada anaplasia terkandung 2 jenis


kelainan organisasi yaitu kelainan organisasi sitologik dan kelainan
organisasi posisi. Anaplasia sitologik menunjukkan pleomorfi yaitu
beraneka ragam bentuk dan ukuran inti sel tumor. Sel tumor berukuran
besar dan kecil dengan bentuk yang bermacam-macam. Mengandung
banyak DNA sehingga tampak lebih gelap (hiperkromatik). Anaplasia
posisionalmenunjukkan adanya gangguan hubungan antara sel tumor yang
satu dengan yang lain. terlihat dari perubahan struktur dan hubungan
antara sel tumor yang abnormal (Emil dkk, 2003).
2. Derajat pertumbuhan
Tumor jinak biasanya tumbuh lambat sedangkan tumor ganas
tumbuh cepat, tetapi derajat kecepatan tumbuh tumor jinak tidak tetap,
kadang kadang tumor jinak tumbuh lebih cepat daripada tumor ganas.
Hal ini tergantung pada hormone yang mempengaruhi dan adanya suplai
darah yang memadai. Pada dasarnya derajat pertumbuhan tumor berkaitan

dengan tingkat diferensiasi sehingga kebanyakan tumor ganas tumbuh


lebih cepat daripada tumor jinak.
Derajat pertumbuhan tumor ganas tergantung pada 3 hal, yaitu :
Derajat pembelahan sel tumor
Derajat kehancuran sel tumor
Sifat elemen non-neoplastik pada tumor
Pada pemeriksaan mikroskopis jumlah mitosis dan gambaran
aktivitas metabolisme inti yaitu inti yang besar, kromatin kasar dan anak
inti besar berkaitan dengan kecepatan tumbuh tumor.
Tumor ganas yang tumbuh cepat sering memperlihatkan pusatpusat daerah nekrosis/iskemik. Hal tersebut disebabkan oleh kegagalan
penyajian daerah dari host kepada sel-sel tumor ekspansif yang
memerlukan oksigen (Emil dkk, 2003).
3. Invasi lokal
Hampir semua tumor jinak tumbuh sebagai massa sel yang kohesif
dan ekspansif pada tempat asalnya dan tidak mempunyai kemampuan
mengilfiltrasi, invasi atau penyebaran ketempat yang jauh seperti pada
tumor ganas. Sifat yang tumbuh dan menekan secara perlahan-lahan
menyebabakan adanya batas jaringan ikat yang tertekan yang disebut
kapsul atau simpai. Kapsul atau simpai ini memisahkan jaringan tumor
dari jaringan sehat sekitarnya. Simpai sebagian besar timbul dari stroma
jaringan sehat diluar tumor, karena sel parenkim atropi akibat tekanan
ekspansi tumor. Akibat adanya simpai, maka tumor jinak terbatas tegas,
mudah digerakkan pada operasi. Tetapi tidak semua tumor jinak
berkapsul,ada tumor jinak yang tidak berkapsul misalnya hemangioma.
Tumor ganas tumbuh progresif, invasive, dan merusak jaringan
sekitarnya. Pada umumnya terbatas tidak tegas dari jaringan sekitarnya.
Namun demikian ekspansi lambat dari tumor ganas dan terdorong ke
daerah jaringan sehat sekitarnya. Pada pemeriksaan histologik, massa yang
tidak berkapsul menunjukkan cabang-cabang invasi seperti kaki kepiting
mencengkeram jaringan sehat sekitarnya.
Kebanyakan tumor ganas invasive dan dapat menembus dinding
dan alat tubuh berlumen seperti usus, dinding pembuluh darah, limfe atau
ruang perineural. Pertumbuhan invasive demikian menyebabkan reseksi
pengeluaran tumor sangat sulit. Pada karsinoma in situ misalnya di serviks

uteri, sel tumor menunjukkan tanda ganas tetapi tidak menembus


membrane basal. Dengan berjalannya waktu sel tumor tersebut akan
menembus membrane basal (Emil dkk, 2003).
4. Metastasis atau penyebaran
Metastasis adalah penanaman tumor yang tidak berhubungan
dengan tumor primer. Tumor ganas menimbulkan metastasis sedangkan
tumor jinak tidak. Infasi sel kanker memungkinkan sel kanker menembus
pembuluh darah, pembuluh limfe dan rongga tubuh,kemudian terjadi
penyebaran. Dengan beberapa perkecualian semua tumor ganas dapat
bermetastasis. Kekecualian tersebut adalah Glioma (tumor ganas sel glia)
dan karsinoma sel basal, keduanya sangat infasif, tetapi jarang
bermetastasis.
Umumnya tumor yang lebih anaplastik,lebih cepat timbul dan
padanya kemungkinan terjadinya metastasis lebih besar. Namun banyak
kekecualian. Tumor kecil berdiferensiasi baik, tumbuh lambat, kadandkadang metastasisnya luas. Sebaliknya tumor tumbuh cepat ,tetap
terlokalisir untuk waktu bertahun-tahun (Emil dkk, 2003).
Karakteristik tumor jinak dan tumor ganas sebagai berikut:
Karakteristik
Difrensiasi/anaplasia

Tumor Jinak
Berdiferensiasi

Tumor Ganas
baik; Sebagian

tidak

stuktur

khas berdiferensiasi

disretai

mungkin

jaringan asal.
Laju pertumbuhan

anaplasia; stuktur sering

tidak khas.
Biasanya progresif dan Tidak
terduga

dan

lambat; mungkin berhenti mungkin

atau

tumbuh

atau

menciut; lambat; gambaran mitotik

gambaran mitotik jarang mungkin


Invasi lokal

dan normal.
Biasanya kohesif
infasil;
tegas

massa
yang

menginvasi

cepat
banyak

abnormal.
dan Invasif

lokal,

bebatas menginfiltrasi
tidak normal

di

jaringan
sekitarnya;

atau kadang-kadang

menginfiltrasi jaringan di kohesif


sekitarnya.

dan

dan

tampak
ekspansil

tetapi dengan ekspansi


mikroskopik.
9

Metastatis/penyebaran
(Kumar dkk, 2003)

Tidak ada

E. Peran Perawat
Pada setiap kasus atau masalah keperawatan yang muncul, seorang
perawat dituntut untuk melakukan tindakan mandiri ataupun tindakan
kolaborasi dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tindakan yang
diberikan tersebut haruslah sesuai dengan kondisi pasien dan dapat
menaikkan derajat kesehatan pasien. Namun, selain melakukan tindakan
keperawatan juga dilakukan beberapa penatalaksanaan dan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut:
a. Penatalaksanaan
1. Pada neoplasma kecil dan tidak menimbulkan keluhan, tidak diberikan
terapi hanya diobservasi tiap 3 6 bulan untuk menilai
pembesarannya.
2. Radioterapi
3. Pemberian GnRH agonis selama 6 minggu
4. Miomektomi dengan atau tanpa histerektomi bila uterus melebihi
seperti kehamilan 12 14 minggu
5. Estrogen untuk pasien setelah menopause dan observasi setiap 6
minggu.
b. Pemeriksaan penunjang
1. Laporoskopi: untuk mengetahui ukuran dan lokasi tumor
2. USG abdominal dan transvaginal
3. Biopsi: untuk mengetahui adanya keganasan
4. Dilatasi serviks dan kuretase akan mendeteksi adanya fibroid
subserous.
Sementara itu, dari kasus neoplasma dapat muncul beberapa masalah
keperawatan yaitu gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan efek
sekunder dari neoplasma, resiko defisit volume cairan berhubungan dengan
perdarahan, dan defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik,
keterbatasan pergerakan. Setelah muncul beberapa masalah keperawatan
tersebut perawat selanjutnya melakukan intervensi yang sesuai dengan
kondisi dan kemampuan pasien.
1. Masalah keperawatan 1
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan efek sekunder dari
neoplasma.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri hilang dan
berkurang
10

Kriteria hasil: pasien mengungkapkan nyeri yang dirasakan dapat


berkurang, ekspresi wajah rileks dan tenang
Intervensi :
a. Kaji tingkat dan kerakteristik nyeri, termasuk kualitas, frekuensi,
durasi, lokasi dan intensitasnya.
b. Ajarkan pasien latihan teknik relaksasi nafas dalam.
c. Berikan pasien posisi yang nyaman.
d. Kontrol tanda-tanda vital pasien.
e. Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi.
2. Masalah keperawatan 2
Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan volume cairan
dalam kondisi seimbang
Kriteria hasil : tidak terjadi hipovelemi (oliguri, kapilarirefil menurun,
turgor jelek), tanda-tanda vital dalam batas normal (TD
120/80 mmHg, nadi 69 100 x/menit, RR 16 24 x/menit,
suhu 37 C)
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda vital.
b. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran cairan.
c. Catat perdarahan baru setelah berhentinya perdarahan awal.
d. Catat respon fisiologis individual pasien terhadap perdarahan, misal
perubahan

mental,

kelemahan,

gelisah,

pucat,

berkeringat,

peningkatan suhu.
e. Barikan cairan baik roral maupun parenteral sesuai program.
f. Monitor jumlah tetesan infus.
3. Masalah keperawatan 3
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik, keterbatasan
pergerakan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan perawatan diri
terpenuhi
Kriteria hasil : pasien merasa nyaman dan kebutuhan perawatan diri
terpenuhi
Intervensi :
a. Kaji kondisi klien.
b. Motivasi klien untuk melakukan perawatan diri.
c. Bantu klien untuk kebutuhan personal hygiene.
d. Libatkan keluarga dalam pemehunan perawatan diri.
e. Ajarkan pada klien cara untuk perawatan diri.
Selain intervensi-intervensi yang disebutkan di atas, peran perawat
lainnya adalah ada pada fase promotif sampai dengan rehabilitatif pasien.
Beberapa peran pada fase tersebut antara lain:
Memberi dukungan klien terhadap prosedur diagnostik
Mengenali kebutuhan psiko sosial dan spiritual
11

Memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi klien


Memberi bantuan bagi klien yang mendapat

kanker/terhadap keganasan
Membantu klien fase penyembuhan/rehabiltasi
Membantu klien untuk tindak lanjut pengobatan
Berpartisipasi dalam koleksi data penelitian/registrasi kanker

12

pengobatan

anti

BAB II
PATOLOGI KLINIK
PLEBOTOMI DAN PERAN PERAWAT
A. Definisi Plebotomi
Plabetomi (bahasa inggris: phlebotomy) berasal dari kata Yunani phleb
dan tomia. Phleb berarti pembuluh darah vena dan tomia berarti
mengiris/memotong (cutting). Dahulu plabetomi dikenal dengan istilah
venasectie (Belanda), venesection atau venisection (Inggris). Sedangkan
plebotomist adalah seorang tenaga medic yang telah mendapat latihan dan
memiliki kompetensi khusus untuk mengeluarkan dan menampung spesimen
darah dari pembuluh darah vena, arteri, atau kapiler.
Plebotomi sudah ada sejak 2000 tahun yang lalau pada zaman Yunani
kuno. Pada saat itu plabetomi dilakukan untuk mengeluarkan darah dengan
tujuan untuk menyembuhkan pasien. Cara pengeluaran darah(cara kuno)
dilakukan dengan menggunakan cupping: mangkuk khusus dengan alat
hisap (dry cupping atau wet cupping) yang terlebih dahulu dilakukan
penorehan vena (venesection) dan ditampung pada mangkuk atau dengan
menggunakan gigitan lintah (Leeches biting).
Akhir-akhir ini, dikenal lagi suatu teknik microcollection. Dalam
praktek laboratorium klinik, teknik microcollection untuk memperoleh darah
ada 3 macam, yaitu: melalui tusukan vena (venipuncture), tusukan kulit
(skinpuncture), dan tusukan arteri atau nadi. Cara yang paling umum adalah
dengan menggunakan venipuncture. Hal ini karena dengan menggunakan
dapat diperoleh spesimen darah yang memenuhi syarat uji laboratorium
dengan ketentuan prosedur pengambilan sampel darah harus dilakukan
dengan benar, mulai dari persiapan peralatan, pemilihan jenis antikoagulan,
pemilihan letak vena, teknik pengambilan sampai dengan pelabelan.
Sementara itu cara skinpuncture digunakan untuk mengambil darah kapiler
(pada ujung jari pada dewasa atau tumit pada bayi) (Kee, 2007).
B. Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada Plabetomi
Menginggat setiap pekerjaan memiliki resiko termasuk pekerjaan
sebagai seorang tenaga kesehatan, maka prinsip kesehatan dan keselamatan
13

kerja (K3) wajib dilakkan setiap melakukan tindakan. Maka dari itu,
pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, dan bebas dari
pencemaran lingkungan. Salah satu tujan K3 adalah dapat mengurangi dan
atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan
petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam
dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
beberapa

negara

maju

(dari

beberapa

pengamatan)

menunjukan

kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering


terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan
pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko
kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah
tersedia (PPNI, 2012).
Alat-alat pengaman yang digunakan saat melakukan plabetomi antara
lain adalah jas, handscoon (sarung tangan), dan masker. Alat-alat tersebut
dapat melindungi plabetomist dari infeksi dimana sebelum melakukan
tindakan didahului deangan melakukan cuci tangan. Sementara itu untuk
melindungi terjadinya infeksi pada pasien digunakan lanset atau jarum yang
tajam dan sekali pakai serta penanganan jika terjadi komplikasi atau
dekontaminasi.
Dekontaminasi yang sering terjadi adalah jika seorang plabetomist
terkena percikan darah dan terjadi needle stick injury. Terjadinya needle stick
injury ini karena kesalahan teknik saat menutup jarum suntik. Teknik
menutup jarum suntik benar adalah jarum suntik harus ditutup dengan cara
meletakkan penutupnya di meja kemudian jarum suntuik dimasukkan ke
dalam penutupnya, bukan menutup dengan memasukkan penutup ke jarum
suntiknya. Beberpa perkiraan resiko akibat needle stick injury antara lain
adalah:
Hbe Ag positif
HCV PCR positif
HBs Ag positif
HCV positif (PCR negatif)

30% - 40%
10%
2% - 6%
1%

14

HIV positif
0,3%
(Direktorat Laboratorium Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2004).
C. Alat dalam Melakukan Plabetomi
Berikut ini merupak alat-alat yang digunakan dalam melakukan
plabetomi, yaitu:
1. Spuit
Adalah alat yang digunakan untuk pengambilan darah atau
pemberian injeksi intravena dengan volume tertentu. Spuit mempunyai
skala yang dapat digunakan untuk mengukur jumlah darah yang akan
diambil, volume spuit bervariasi dari 1ml, 3ml, 5ml bahkan ada yang
sampai 50ml yang biasanya digunakan untuk pemberian cairan sonde atau
syring pump.
2. Tourniquet
Merupakan bahan mekanis yang fleksibel, biasanya terbuat dari
karet sintetis yang bisa merenggang. Digunakan untuk pengebat atau
pembendung pembuluh darah pada organ yang akan dilakukan penusukan
plebotomy. Tujuan dari pembendungan ini adalah untuk fiksasi,
pengukuhan vena yang akan diambil dan juga untuk menambah tekanan
vena yang akan diambil, sehingga akan mempermudah proses penyedotan
darah kedalam spuit.
3. Kapas alkohol
Merupakan bahan dari wool atau kapas yang mudah menyerap dan
dibasahi dengan antiseptic berupa etil alkohol. Tujuan penggunaan kapas
alkohol adalah untuk menghilangkan kotoran yang dapat mengganggu
pengamatan letak vena sekaligus mensterilkan area penusukan agar resiko
infeksi bisa ditekan.
4. Needle, Wing Needle
Adalah ujung spuit atau jarum yang digunakan untuk pengambilan
secara vakum. Needle ini bersifat non fixed atau mobile sehingga mudah
dilepas dari spuit serta container vacuum. Penggantian needle
dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan besarnya vena yang akan
diambil atau untuk kenyamanan pasien yang menghendaki pengambilan
dengan jaru kecil.
5. Vacuum Tube
Tabung vakum disebut juga dengan Vacutainer. Jenis tabung ini
berupa tabung reaksi yang hampa udara, terbuat dari kaca atau plastik.

15

Ketika tabung dilekatkan pada jarum, darah akan mengalir masuk ke


dalam tabung dan berhenti mengalir ketika sejumlah volume tertentu telah
tercapai.
6. Blood Container
Tabung tempat penampungan darah yang tidak bersifat vakum
udara. Tabung ini biasa digunakan untuk pemeriksaan manual, dan
dengan keperluan tertentu misalnya pembuatan tampungan sendiri untuk
efisiensi biaya. Tabung ini memiliki warna tutup tabung yang
menunjukkan perlakuan dan prosedur berbeda. Waran-warna tersebut
adalah:
Warna Tutup

Perlakuan

Tabung
Merah

Tabung ini tanpa penambahan zat additive, darah akan


menjadi beku dan serum dipisahkan dengan pemusingan.
Umumnya digunakan untuk pemeriksaan kimia darah,

Kuning

imunologi, serologi dan bank darah (crossmatching test).


Tabung ini berisi gel separator (serum separator tube/SST)
yang fungsinya memisahkan serum dan sel darah. Setelah
pemusingan, serum akan berada di bagian atas gel dan sel
darah berada di bawah gel. Umumnya digunakan untuk

Hijau Terang

pemeriksaan kimia darah, imunologi dan serologi


Tabung ini berisi gel separator (plasma separator tube/PST)
dengan antikoagulan lithium heparin. Setelah pemusingan,
plasma akan berada di bagian atas gel dan sel darah berada
di bawah gel. Umumnya digunakan untuk pemeriksaan

Ungu atau

kimia darah.
Tabung ini berisi EDTA. Umumnya digunakan untuk

Lavender
Biru

pemeriksaan darah lengkap dan bank darah (crossmatch).


Tabung ini berisi natrium sitrat. Umumnya digunakan untuk

Biru Gelap

pemeriksaan koagulasi (mis. PPT, APTT).


Tabung ini berisi EDTA yang bebas logam, umumnya
digunakan untuk pemeriksaan trace element (zink, copper,

Abu-abu
Terang

mercury) dan toksikologi.


Tabung ini berisi natrium fluoride dan kalium oksalat,
digunakan untuk pemeriksaan glukosa.

16

Hitam

berisi bufer sodium sitrat, digunakan untuk pemeriksaan

Pink

LED (ESR).
berisi potassium EDTA, digunakan untuk pemeriksaan

Putih

imunohematologi.
potassium
EDTA,

digunakan

untuk

pemeriksaan

molekuler/PCR dan bDNA.


(Kee, 2007).
7. Plester
Digunakan untuk fiksasi akhir penutupan luka bekas plebotomi,
sehingga membantu proses penyembuhan luka dan mencegah adanya
infeksi akibat perlukaan atau trauma akibat penusukan.
Adapun beberapa hal penting yang diperhatikan saat melakukan
penampungan sampel darah, yaitu:
Darah dari syring atau suntikan harus dimasukkan ke dalam tabung
dengan cara melepas jarum lalu mengalirkan darah perlahan-lahan
melalui dinding tabung. Memasukkan darah dengan cara disemprotkan,
apalagi tanpa melepas jarum, berpotensi menyebabkan hemolisis.
Memasukkan darah ke dalam tabung vakum dengan cara menusukkan
jarum pada tutup tabung, biarkan darah mengalir sampai berhenti sendiri

ketika volume telah terpenuhi.


Homogenisasi sampel jika menggunakan antikoagulan dengan cara
memutar-mutar tabung 4-5 kali atau membolak-balikkan tabung 5-10 kali

dengan lembut. Mengocok sampel berpotensi menyebabkan hemolisis.


Urutan memasukkan sampel darah ke dalam tabung vakum adalah:
1. Botol biakan (culture) darah atau tabung tutup kuning-hitam.
2. Tes koagulasi (tabung tutup biru).
3. Tabung non additive (tutup merah)
4. Tabung tutup merah atau kuning dengan gel separator atau clot
activator.
5. Tabung tutup ungu/lavender (EDTA).
6. Tabung tutup hijau (heparin).
7. Tabung tutup abu-abu (NaF dan Na oksalat).

D. Prosedur Plabetomi
1. Prosedur pengambilan darah arteri atau kapiler
a. Terangkan prosedur dengan jelas kepada pasien dan kondisikan pasien
pada kondisi yang nyaman serta cek identitas pasien.
b. Siapkan alat-alat yang diperlukan.
c. Cuci tangan dan gunakan handscoon (sarung tangan).
17

d. Cara pengambilan
Darah tidak boleh diambil dari daerah yang terinfeksi, mis: bisul,
luka, radang, atau kulit yang dingin dan pucat. Bila kulit dingin dan
pucat hangatkan dengan kompres air hangat.
e. Lokasi pengambilan
Pada orang dewasa biasanya pada ujung jari manis atau jari tengah
dibagian tepi, sebab didaerah tersebut banyak pembuluh kapilernya
dan kurang sensitif. Sementara itu, pada bayi atau anak kecil dapat
dilakukan pada tumit atau ibu jari bagian pinggir.
f. Bersihkan ujung jari pasien dengan kapas alkohol 70% biarkan kering
selama 30 detik.
g. Pegang bagian yang akan ditusuk supaya tidak bergerak, lalu ditekan
sedikit. Tusuk dengan lanset 3mm ( pada bayi tidak boleh lebih dari
2,5 mm ). Darah harus keluar dengan sendirinya tanpa ditekan.
h. Tetesan pertama dihapus dengan tisu atau kapas kering, tetesan
berikutnya dapat dipergunakan.
i. Dokumentasi.
2. Prosedur pengambilan darah vena
a. Terangkan prosedur dengan jelas kepada pasien dan kondisikan pasien
pada kondisi yang nyaman serta cek identitas pasien.
b. Siapkan alat-alat yang diperlukan.
c. Cuci tangan dan gunakan handscoon (sarung tangan).
d. Pilih bagian atau lokasi yang akan dilakukan penusukan.
Pembuluh vena yang dapat dilakukan pengambilan darah adalah venavena pada:
Fossa cubiti (antecubital)
Lengan bawah
Pergelangan tangan
Punggung tangan
Kaki dan pergelangan kaki (jika tidak ada vena lain yang dapat

ditusuk)
Pada bayi terletak pada vena jugularis superficial dan vena sinus

sagitalis superior
Karakteristik vena yang dapat dilakukan pemgambilan darah adalah
vena yang besar, menonjol, dan mudah didapat.
e. Pasang tourniquet 7,5 10 cm di atas bagian tusukan vena, harus pas
tepat. Jika terlalu ketat menyebabkan darah tidak keluar, jika terlalu
terlalu longgar menyebabkan tidak efektif, dan jika terlalu lama (> 1
menit) menyebabkan hemokonsentrasi/stasis vena.
18

f. Desinfeksi area venipuncture pakai kapas alkohol dengan gerakan


memutar dari tengah ke tepi (sirkuler), biarkan 30 detik untuk
pengeringan alkohol.
g. Menusukkan jarum ke dalam vena.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah:
Posisi lubang jarum menghadap ke atas dengan sudut 15 - 30.
Selama jarum di dalam vena usahakan gerakan seminimal

mungkin.
Segera lepaskan tourniquet setelah darah mengalir, kecuali vena

kolaps.
Tarik perlahan-lahan penghisap dan biarkan spuit terisi darah.
h. Lepaskan jarum perlahan-lahan dan pasang penutup jarum, segera
tekan tempat tusukan dengan kapas selama 3-5 menit, kemudian
plester bagian tsb dan lepas setelah 15 menit.
i. Pemindahan darah dari spuit ke tabung/botol:
Lepaskan jarum dari spuit, hati-hati jangan sampai darah keluar.
Masukkan darah ke dalam botol atau tabung secara perlahan sesuai
dengan pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan.
j. Buang spuit dan jarumnya ke wadah pembuangan khusus (sampah
medis).
k. Ucapkan terima kasih kepada pasien dan berikan informasi yang
diperlukan seperti:
Kapan boleh makan kembali.
Petunjuk khusus, misalnya glukosa 2 jam PP.
l. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.
m. Dokumentasi.
(Direktorat Laboratorium Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2004).

Gambar vena
pada lengan:

19

Gambar vena
Pada kaki:

E. Komplikasi Plebotomi
Setiap tindakan medis yang dilakukan pasti memiliki resiko atau
komplikasi baik itu persentasenya kecil ataupun besar. Tindakan plabetomi
juga tidak terlepas dari terjadinya komplikasi tersebut. Komplikasi akibat
plabetomi dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu kegagalan/komplikasi pada
pasien dan kegagalan/komplikasi pada bahan (darah).
Kegagalan/komplikasi pada pasien antaralain adalah:
1. Syncope
Syncope adalah keadaan dimana pasien kehilangan kesadarannya
beberapa saat atau sementara waktu sebagai akibat menurunnya tekanan
darah. Gejala dapat berupa rasa pusing, keringat dingin, nadi cepat,
pengelihatan kabur atau gelap, bahkan bisa sampai muntah. Syncope
merupakan komplikasi yang sering terjadi.
Hal ini biasanya terjadi karena adanya perasaan takut atau akibat
pasien puasa terlalu lama. Rasa takut atau cemas bisa juga timbul karena
pasien tersebut kurang percaya diri. Oleh karena itulah, sebelum
melakukan plebotomi plebotomis perlu memberikan penjelasan kepada
pasien tentang tujuan pengambilan darah dan prosedur yang akan
dialaminya.
Tidak hanya faktor dari pasien itu sendiri yang bisa menyebabkan
syncope, faktor plebotomis juga dapat menyebabkan terjadinya syncope.
Hal ini karena penampilan dan prilaku seorang plebotomis juga bisa
mempengaruhi keyakinan pasien sehingga timbul rasa curiga/was-was
ketika proses pengambilan darah akan dilaksanakan. Oleh karena itu,

20

penampilan dan prilaku seorang flebotomis harus sedemikian rupa


sehingga tampak berkompetensi dan profesional.
Cara mengatasi dan mencegah terjadinya syncope:
Cara Mengatasi
Hentikan pengambilan darah.

Pasien

Cara Mencegah
diajak bicara

supaya

perhatiannya dapat dialihkan.


Baringkan pasien ditempat tidur, kepala Pasien yang akan dirawat syncope
dimiringkan kesalah satu sisi.

sebaiknya

dianjurkan

berbaring

Hentikan pengambilan darah.

pada waktu pengambilan darah.


Kursi pasien mempunyai sandaran
dan tempat/ sandaran tangan

Tungkai bawah ditinggikan (lebih tinggi


dari posisi kepala).
Longgarkan baju yang sempit dan ikat
pinggang.
Minta pasien menarik nafas panjang
Hubungi dokter
Pasien yang tidak sempat dibaringkan,
diminta

menundukan

kepala

diantara

kedua kakinya dan menarik nafas panjang.


2. Rasa nyeri
Rasa nyeri yang timbul terjadi akibat alokohol yang belu kering
dan penarikan jarum yang terlalu kuat. Rasa nyeri yang timbul ini tidak
terlalu lama sehingga tidak perlu dilakukan penanganan yang khusus.
Namun ada beberapa pencegaha secara umum yaitu:
Memastikan bahwa alkohol benar-benar mengering

seelum

pengambilan darah (alkohol dibiarkan mengering selama 30 detik).


Pada saat pengambilan darah penarikan jarum tidak terlalu kuat.
Memberikan penjelasan atau gambara terkait dengan nyeri yang

sesungguhnya.
3. Hematoma
Hematoma dalah terkumpulnya massa darah dalam jaringan
sebagai akibat robeknya pembuluh darah. Faktor yang menyebabkan
hematoma adalah:
Penusukan yang sering
Kelainan dinding pembuluh darah
Vena terlalu kecil untuk jarum yang dipakai

21

Jarum menembus seluruh dinding vena


Jarum hanya menembus sebagian vena
Jarum dilepaskan pada saat tourniquet masih dipasang
Penekanan yang tidak adekuat setelah venipuncture
Adapun beberpa cara untuk mengatasi hematoma yaitu, jika dalam

proses pengambilan darah terjadi pembengkakan kulit disekitar tempat


penusukan jarum segera:
1. Lepaskan turniket dan jarum.
2. Tekan tempat penusukan jarum dengan kain kasa.
3. Angkat lengan pasien lebih tinggi dari kepala (+- 15 menit).
4. Kalau perlu kompres hangat untuk mengurangi rasa nyeri.
5. Cari pembuluh vena lainnya.
4. Pendarahan
Terjadinya pendarahan adalah salah satu komplikasi yang sering
pula terjadi. Pendarahan ini terjadi karena sistem koagulasi pendarahan
pasien yang buruk. Sistem koagulasi darah yang buruk terebut terjadi
karena penggunaan obat-obat antikoagulan oleh pasien, pasien memiliki
riwayat gangguan pembekuan darah trombositopenia, defisiensi factor
pembeku darah misalnya hemofilia), dan pasien memiliki riwayat
penyakit

hati

yang

berat

(pembentukan

protrombin,

fibrinogen

terganggu).
Cara yang tepat untuk mengatasi pendarahan adalah dengan
melakukan penekakan pada tempat yang mengalami pendarahan dan
melakukan kolaborasi untuk penangganan selanjutnya. Penekakan dapat
dilakukan lebih lama untuk pasien-pasein yang mengalamai pendarahan.
Sementara itu, cara untuk mencegah terjadinya pendarahan adala
melakukan pengkajian atau anamnesis yang teliti kepada pasien.
5. Alergi
Alergi bisa terjadi akibat bahan-bahan yang dipakai dalam
plebotomi, misalnya terhadap zat antiseptic/desinfektan, latex yang ada
pada sarung tangan, turniket atau plester. Gejala alergi bisa ringan atau
berat, berupa kemerahan, rhinitis, radang selaput mata; kadang-kadang
bahkan bisa (shock). Cara pencegahan alergi yang dapat dilakukan adalah
dengan anamnesis riwayat alergi dan menggunakan sarung tangan tanpa
bahan latex.
6. Trombosis

22

Trombosis terjadi karena pengambilan darah yang berulang kali


ditempat yang sama sehingga menimbulkan kerusakan dan peradangan
setempat dan berakibat dengan penutupan (occlusion) pembuluh darah.
Hal ini juga terlihat pada kelompok pengguna obat (narcotics) yang
memakai pembuluh darah vena. Cara pencegahan yang dilakukan adalah
tidak mengambil darah di tempat yang sama.
7. Radang tulang
Radang tulang sering terjadi pada pasein bayi. Hal ini karena pada
bayi jarak kulit dan tulang yang sempit sementara lanset atau jarum yang
digunakan

berukuran

panjang.

Pada

prosedur

plebotomi

harus

menggunakan ukuran lanset dan jarum yang sesuai. Penyesuaian ini


dilakukan berdasarkan pengelompokkan usia pasien yang akan diberikan
tindakan plebotomi.
8. Anemia
Komplikasi ini juga terjadi pada kelompok usia bayi terutama pada
bayi yang baru lahir. Anemia terjadi karena volume darah sedikit,
pengambilan darah berulang. Selain itu pengambilan darah kapiler pada
bayi terutama yang bertulang dapat menyebabkan selulitis, abses,
osteomielitis, jaringan parut dan nodul klasifikasi. Nodul klasifikasi
tersebut mula-mula tampak seperti lekukan yang 4-12 bulan kemudian
akan menjadi nodul dan menghilang dalam 18-20 bulan.
9. Komplikasi neurologis
Komplikasi neurologis dapat bersifat local karena tertusuknya
syaraf dilokasi penusukan, dan menimbulkan keluhan nyeri atau
kesemutan yang menjalar ke lengan, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya.
Kegagalan/komplikasi pada bahan (darah) antaralain adalah:
1. Hemokonsentrasi
Hemoknsentrasi terjadi karena pembendungan/pemasangan
turniket yang ketat dan lama (> 1 menit), atau mengepal telapak tangan
dengan pemijatan atau massage. Hal ini akan menyebabkan peningkatan
kadar hematokrit dan elemen seluler lainnya, protein total, GOT, lipid
total, kolestrol dan besi (Fe). Mengepalkan tangan berulang akan
meningkatkan kalium, Flosfat dan lakat.

23

2. Hemodelusi
Terjadi karena pengambilan darah dilengan dimana terdapat
pemberian cairan intra vena (infus). Pengambilan darah di sisi influs
harus di hindari, jika tidak memungkinkan, hentikan infuse 3-5 menit,
ambil darah dibagian distal tempat infuse dan buang 3-5 cc darah yang
pertama diambil. Beberapa hal yang dapat menyebabkan hemodilusi
antara lain:
Kontaminasi oleh cairan interstitial/cairan jaringan pada pengambilan

darah didaerah udem atau pada pasien obeis.


Kontaminasi alcohol yang belum kering pada pengambilan darah

kapiler.
Rasio darah: antikoagulan yang tidak sesuai.
3. Hemolisis
Terjadi karena pengambilan darah dengan jarum yang terlalu kecil,
pengambilan darah yang sulit dimana dilakukan manipulasi jarum,
menarik penghisap terlalu cepat, mengeluarkan darah dari jarum dengan
menekan secara keras/kasar, mengocok tabung dengan kuat, kontaminasi
alcohol

dan pemakaian

torniket terlalu

lama.

Hemolisis

akan

menyebabkan peninggian analit-analit yang banyak terdapat intrasel


seperti LDH, kalium, magnesium, Fe dan Fosfor anorganik.
4. Masuknya faktor jaringan
Pengambilan darah yang sulit seperti pada vena yang kecil, orang
tua, anak kecil, dan pasien dengan edem atau obesitas, akan
menyebabkan pelepasan faktor jaringan yang akan mengaktifkan factor
pembekuan darah dan mengakibatkan perubahan nilai pemeriksaan
hemostasisi. Sebaiknya pengambilan darah untuk koagulasi dilakukan
dengan dua tabung.
5. Kontaminasi sampel/bahan
Pada pemeriksaan kultur darah, tindakan asepsis yang tidak
adekuat atau pengambilan darah pada lokasi yang mengalami peradangan
akan menimbulkan kontaminasi.
(Riswanto, 2009)
F. Peran Perawat
Pada tindakan plabetomi peran perawat adalah sebagai plabetomis.
Plabetomis adalah seoarang tenaga medis yang telah mendapat latihan untuk
mengeluarkan dan menampung specimen darah dari pembuluh darah vena,

24

arteri atau kapiler. Selain seorang perawat, tenaga medis yang berhak
melakukan plebotomi adalah dokter, bidan, dan analisis laboratorium.
Mengingat plabotomi adalah tindakan yang memiliki resiko tinggi,
maka tidak semua orang atau bahkan tenaga medis dapat melakukanya. Ada
beberapa kompetensi dan keterampilan yang harus dipenuhi untuk menjadi
seorang plabetomis. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah
mengetahui apakah tugas-tugas sebagai plebotomis itu sendiri. Sehingga
kesalahan, kegagalan, bahkan malpraktik tidak terjadi saat melakukan
plebotomi.
Kompetensi dan tugas dari seorang tenaga kesehatan termasuk seorang
plabetomis sangat berkaitan erat. Tanpa mengetahui tugas-tugas seorang
plebotomis tidak akan diketahui apa sajakah kopetensi yang harus dimiliki
dan dipenuhi oleh seorang plebotomis. Berikut ini adalah beberapa tugastugas seorang plabetomi, yaitu:
1. Melakukan identifikasi terhadap pasien dengan tepat dan benar.
2. Mengambil darah dengan jumlah yang tepat dan teknik yang benar
(venipuncture, skinpuncture).
3. Memilih tabung dan antikoagulan sesuai dengan tes.
4. Melakukan labelisasi dan dokumentasi yang benar.
5. Melakukan transportasi yang benar serta tepat waktu.
6. Melakukan interaksi secara profesional dengan pasien maupun klinis.
7. Melakukan pencatatan baik secara manual atau secara elektronik.
8. Mematuhi peraturan keselamatan.
9. Melakukan update secara profesional.
10. Berpenampilan profesional.
Sementara itu, beberapa kompetensi sebagai seorang plebotomis, yaitu:
1. Memiliki skill dasar laboratorium dan skill plabetomi (Dapat melakukan
veni puncture dan melakukan skin puncture).
2. Menerapkan pengetahuan
Yang dimaksud adalah pemahaman dan penggunaan stilah medic, prinsip
prosedur, sumber kesalahan, dasar-dasar pengendalian infeksi, prosedur
pelaksanaan standar (SOP), dan sifat biologic dasar.
3. Melakukan pemilihan yang sesuai.
Yang
dimaksud
adalah
sesuai
dengan

urutan

tindakan,

peralatan/metodik/prosedur, dan lokasi pengambilan darah.


4. Menyiapakan pasien dan peralatan.
5. Menilai keadaan pasien dan sample, kemungkinan sumber kesalahan,
masalah teknis/prosedur, metodik dan tindakan yang sesuai, tindakan
perbaikan.

25

6. Kompetensi lainnya merupakan kompetensi tambahan guna memudahkan


flebotomis melaksanakan pekerjaannnya:
Melakukan komunikasi dengan pasien.
Melakukan aktifitas tata-usaha.
Menjaga kebersihan tempat kerja

(membantu

penghambatan

penyebaran penyakit).
7. Memiliki pengetahuan tentang pencegahan/kontrol infeksi.
8. Dapat melaksanakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di
laboratorium.
9. Memiliki tanggung jawab sebagai phlebotomis.
Dari beberapa kompetensi yang telah disebutkan di atas, kompetensi
yang paling penting adalah memiliki etika profesional. Hal ini karena etika
profesional memiliki tujuan untuk melindungi pasien atau masyarakat
pengguna jasa kesehatan utamnya. Apa-apa saja yang termasuk dalam etika
profesiona sudah tercantum dalam kode etik tenga kesehatan.
Salah satu yang termasuk dalam kode etik adalah nilai profesional.
Profesional berkaitan dengan tingkah laku dan menunjukkan keluhuran suatu
profesi. Beberapa perilaku yang dimaksud profesinal yaitu:
1. Keinginan yang tulus dalam perawatan kesehatan
Yang dimaksud dalam hal ini adalah keinginan melayani pasien,
keinginan

memiliki

pengetahuan

berkenaan

dengan

pengambilan

specimen darah, dan memiliki kestabilan dan kematangan emosi dalam


berkomunikasi dengan pasien.
2. Rasa tanggung jawab untuk melakukan tugas dengan baik untuk menjaga
keutuhan profesi.
Yang dimaksud dalam hal ini adalah melaksanakan tugas/prosedur dengan
baik (tidak hanya pada waktu ada pengawasan), tanggung jawab terhadap
kesehatan diri sendiri (kebersihan tempat kerja, sering cuci tangan), dan
melaksanakan sampling tepat waktu.
3. Pengabdian kepada kinerja bermutu tinggi.
Meningkatkan dan memelihara keterampilan, mempelajari dan menguasai
teknik

dan

prosedur

keselamatan

baru,

peralatan

baru,

dan

perubahan/perkembangan ilmu pengetahuan, rajin bertanya dan minta


bantuan dalam situasi yang sulit, dan menghormati hak pasien dalam hal
keleluasaan dan kerahasiaannya.
4. Kecenderungan untuk selalu bersih

26

Bersih dalam hal ini adalah melindungi diri sendiri dari pasien dan
meyakinkan bahwa teknik yang steril, kebersihan individu serta tempat
kerja yang baik berpengaruh kepada keselamatan dan perawatan
kesehatan bermutu.
5. Kepuasan profesi dapat dicapai.
Kepuasan profesi dalam hal ini dapat dicapai dengan cara:
Peningkatan keterampilan dan pengetahuan professional secara

berkesinambungan.
Menyadari bahwa orang lain tergantung kepada keberhasilan kerja

flebotomis.
Menyadari bahwa keterampilan flebotomis berperan serta dalam

perbaikan pasien.
(Kahar, 2007).

27

BAB III
RADIOLOGI
PRINSIP RADIASI, KOMPLIKASI, DAN PERAN PERAWAT
A. Sejarah
Wilhem Cornad Roentgen adalah seorang profesor fisika dari
Universitas Wuzrburg, Jerman. Beliaulah oarang yang pertama kali
menemukan sinar-x. Saat itu beliau melihat timbulnya sinar fluoresensi yang
berasal dari Kristal barium platinosianida dalam tabung Crookes-Hittorf yang
dialiri listrik. Pada akhir tahun 1901 mendapat hadiah nobel atas penemuan
sinar-x tersebut.
Saat ini penggunan sinar-sinar radiasi di bidang kedokteran semakin
berkembang. Hal ini terlihat dari penggunaanya yang sudah mulai banyak
digunakan. Pada awalnya sina-sianr radiasi hanya digunakan untuk
melakukan terapi (radioterpi) pada penyakit-penyakit tertentu. Namun
sekarang penggunaannya saat itu juga sebagai diagnosti (radio-diagnostik)
untuk mengetahui penyakit tertentu yang dialami oleh seorang pasien.
Secara umum tujuan radiasi terbagi dua yaitu:
1. Radioterapi definitif
Merupakan bentuk pengobatan yang bertujuan untuk kemungkinan
bertahan hidup setelah pengobatan yang adekuat.
2. Radioterapi paliatif
Merupakan bentuk pengobatan dimana tidak ada lagi harapan untuk hidup
pasien untuk jangka panjang.
Selain itu kegunaan radioterapi adalah untuk mengobati, mengotrol dan
membantu mengurangi gejala, dan membantu pengobatgan lain terutama pada
pasien post operasi atau pasein dengan kemoterapi (Nana, 2008).
B. Terapi radiasi
Radioterapi adalah cara pengobatan yang menggunakan reaksi sinarsinar tertentu dengan panjang gelombang tertentu yang kemudian
menghasilkan rekasi pengion di dalam tubuh. Reaksi ion yang terjadi terjadi
akibat adanya radiasi cairan dan tubuh oleh sinar-sinar tersebut sehingga
menghasilkan ion H+ dan ion OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi
dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi:
1. Reaksi ganda DNA pecah.
28

2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA.


3. Perubahan basa yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel
(Kirk dan Ribbans, 2004).
Sebuah pengobatan pasti diusahakan untuk mencapai hasil yang
optimal termasuk pada radioterapi ini. Salah satu cara yang paling prinsipil
pada radioterapi ini adalah menentukan dosis sinar yang digunakan agar
hasilnya optimal. Pada tahun 1908, diduga bahwa radiasi dihitung dengan
mengukur ionisasi yang dihasilkan dalam udara atau beberapa gas lain
dengan paparan radiasi standar, dan oleh karena itu diciptakan unit roentgen.
Namun, unit roentgen ini hanay dapat menentukan jumlah ionisasinya bukan
jumlah dosis yang dapat diabsorbsi oleh tubuh (Sjahriar, 2005).
Akhirnya pada tahun 1953, Kongres Radiologi Internasional ketujuh
mengambil rad (dosis radiasi yang diabsorpsi) sebagai unit dosis yang
diabsorpsi. Rad tidak tergantung pada jenis radiasi dan menunjukkan dosis
yang diabsorpsi 100 erg per gram dari berbagai bahan penyinaran. Jumlah
radiasi yang diberikan pada penderita biasanya ditunjukkan secara klinik
dalam rad jaringan (Sjahriar, 2005).
Saat ini sistem Internasional (SI) dari dosis yang diabsorpsi telah
diubah menjadi gray (Gy), yang didefinisikan sebagai satu joule per kilogram.
Subunit, sentrigray (cGy) seringkali digunakan. Hubungan antara unit-unit
tersebut diatas adalah
1 Gy (gray) = 100 rad
1 rad = 10-2 Gy = 1 sentigray (cGy) (Sjahriar, 2005).

C. Jenis-jenis

Sinar

yang

Digunakan

sebagai

Radioterapi

dan

Radiodiagnostik
Sinar-sinar yang digunakan dalam radipterapi adalah:
1. Sinar Alfa
Sinar alfa adalah sinar korpuskuler atau pertikel dari inti atom. Inti atom
terdiri dari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan
tidak banyak dipakai dalam radioterapi.
2. Sinar Beta
Sinar beta adalah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif
yang mempunyai energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5
mm. Digunakan untuk terapi lesi yang superfisial.
3. Sinar Gamma

29

Sinar gamma adalah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat
menembus tubuh. Daya tembusnya tergantung dari besar energi yang
menembus sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya,
makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya.
Radioisotop yang digunakan antara lain:
Calcium 137 : sinar gamma
Cobalt 60 : sinar gamma
Radium 226 : sinar alfa, beta, gamma
(Kirk dan Ribbans, 2004).
D. Jenis-jenis Radiodiagnostik
1. Radiografi Kinvensional
Jenis radiodiagnostik ini menggunakan sinar-x (Roentgen) dan
hasil pencitraanya berupa film. Pencitraan film menghasilkan sebuah
kontras waran hitam (kontras + atau radiopaque) dan putih (kontsa atau
radiolusent). Warna hitam terbentuk akibat sinar radiasi melewati udara
dan udara menyerap sinar radiasi tersebut sehingga terjadi pajanan pada
film secara maksimal dan menghasilkan warna hitam. Sementara itu,
warna putih terbentuk akibat sinar radiasi melewati bagian tubuh seperti
tulang yang menyebabkan sinar radiasi tersebut diserap oleh tulang
sehingga pajanan film menjadi minimal dan menghasilkan warna putih.
Keunggulan
Mudah, cepat, dan biaya relatif lebih murah.
Penyulit
Terkadang gambaran yang dihasilkan tidak terlalu jelas, karena
superposisi (tumpang-tindih) dengan organ lain. Untuk beberapa jenis
pemeriksaan, harus dilakukan dengan mengubah posisi pasien, agar

diperoleh gambaran yang jelas.


Pemakaian klinis
Pemeriksaan tanpa double kontras, dapat dilakukan pada jantung dan
paru, serta tulang tulang pada seluruh bagian tubuh. Pemeriksaan
dengan kontras, lebih lanjut dapat digunakan untuk memeriksa saluran
cerna, saluran kemih, organ kandungan, saluran kelenjar liur,

pembuluh darah, saluran getah bening, dan sumsum tulang belakang.


Terminologi yang digunakan
a. Hiperradiolusen : udara bebas
b. Radiolusen : Paru normal, lemak

30

c. Intermediate : Soft tissue/ cairan, jantung,hepar, gnjal, ascites,


urine, darah, dsb.
d. Radiopak : Ca-density / Bone density, tulang perkapuran.
e. Hyperradiopak : Metal density, logam
2. CT Scan
CT Scan menggunakan sinar-x tetapi saat ekspos sinar tidak
langsung mengenai film tetapi ditangkap oleh detektor diteruskan ke
komputer monitor lalu ke printer. Ukuran gambar (piksel) yang didapat
pada CT Scan adalah Radiodensitas ukuran tersebut menggunakan skala
Houndsfield Unit (HU). HU sendiri adalah pengukuran densitas jaringan.
Pemeriksaan dengan menggunakan CT Scan dapat mendeteksi
kelainan-kelainan seperti perdarahan otak, tumor otak, kelainan-kelainan
tulang, kelainan di rongga dada & rongga perut dan khususnya
mendeteksi kelainan pembuluh darah jantung (koroner) dan pembuluh
darah umumnya (seperti penyempitan pembuluh darah ginjal). Lama
pemeriksaan mulai dari beberapa detik sampai 2 jam.
Keunggulan
Dapat memberikan gambaran penampang tubuh yang tidak mungkin
dilihat

dengan

menggunakan

alat

Rontgen

biasa.

Dengan

menggunakan sistem komputer, maka dapat juga dibuat gambaran


secara 3 dimensi. Dapat menghitung perkiraan jumlah perdarahan

pada kasus kasus tertentu.


Penyulit
Radiasi yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan radiologi
konvensional, biaya yang harus dikeluarkan pun relatif lebih mahal,
sulit diterapkan pada pasien yang memiliki fobia pada tempat sempit

(Klaustrofobi).
Pemakaian klinis
Dapat digunakan untuk melihat berbagai organ tubuh seperti tulang
tulang kepala, otak, jantung dan paru, perut, pada berbagai kasus

seperti kecelakaan (trauma), tumor, infeksi, dan lain lain.


Terminologi yang digunakan
a. Isodens : Jaringan Otak Normal
b. Hipodens : Abses otak, infark
c. Hiperdens : perdarahan Otak
(Madyawati, 2009).
3. MRI (Magnetik Resonancy Imaging)

31

MRI adalah suatu alat diagnostik teknologi tinggi yang digunakan


untuk membuat visualisasi dari penampang tubuh manusia. MRI atau
Magnetic Resonance Imaging menggunakan medan magnit dan frekuensi
radio, jadi tidak mengionisasi jaringan, tidak ada efek biologik. Istilah
isointens, hipointens, hiperintens, kekuatan magnit disebut dengan satuan
TESLA (1 Tesla= 10.000 Gauss) sebagai satuan ukuran dosisnya. Proses
pemeriksaanya adalah 20 menit 1.5 jam.
Pemeriksaan MRI memakai prinsip magnetik, tidak menggunakan
sinar-x (tidak ada radiasi). Melalui pemeriksaan ini dapat mendeteksi
kelainan-kelainan saraf & jaringan lunak seperti pada keluhan: sakit/nyeri
kepala, sakit daerah punggung, pinggang, nyeri/bengkak daerah
persendian, kelainan payudara, kelainan pembuluh darah, kelainan pada
abdomen (perut), dan lain-lain. Semetara itu MRI memberikan hasil yang
diperlukan oleh dokter untuk menegakkan diagnosa atas penyakit yang
diderita oleh pasien dan juga menentukan rencana pengobatan yang tepat
sesuai dengan indikasi penyakit yang diderita oleh pasien (Madyawati,
2009).
Keunggulan
Memberikan gambaran yang dapat menunjukkan perbedaan sangat
jelas dan lebih sensitif untuk menilai anatomi jaringan lunak, terutama
otak, sumsum tulang belakang, dan susunan saraf dibandingkan

dengan pemeriksaan sinar-x biasa.


Penyulit
Tidak dapat digunakan (kontraindikasi) pada pasien dengan alat pacu
jantung, alat dengar implan, pasien dengan pen-logam, pasien fobia

ruangan sempit (Klaustrofobia).


Pemakaian klinis
Digunakan untuk menilai anatomi jaringan lunak, seperti otak,
sumsum tulang belakang, susunan saraf. Selain itu, dapat juga untuk
menilai jaringan lainnya seperti otot, ligamen, tendon, tulang rawan,

ruang sendi.
(Suswati dan Notosiswoyo, 2004).
4. USG (Ultrasonografi)
Pemeriksaan menggunakan gelombang suara/ultrasound untuk
mendeteksi kelainan kelainan di organ perut (hati, kandung empedu,

32

limpa, ginjal), payudara, kandungan, kehamilan, dan pembuluh darah.


Khususnya pada kehamilan, USG 3D/4D dapat melihat rupa janin seperti
sebuah foto dan dapat melihat gerakan bayi yang dapat direkam dalam
CD. Sedangakan untuk payudara, USG biasanya dipakai untuk skrinning
benjolan/keluhan pada wanita-wanita usia < 35 tahun atau sebagai
pemeriksaan pelengkap dan atau lanjutan setelah dilakukan mammografi
pada wanita usia > 35 tahun.
Keunggulan
Tidak menggunakan radiasi sinar-x, sehingga aman bagi wanita hamil.
Penyulit
Tidak dapat digunakan untuk melihat bagian tubuh seperti tulang atau

ruangan berongga yang berisi gas, seperti usus.


Pemakaian klinis
Digunakan untuk menemukan dan menentukan letak massa dalam
rongga perut/panggul, membedakan kista dengan massa padat,
mempelajari pergerakan organ maupun pergerakan dan pertumbuhan

janin.
Terminologi yang digunakan
a. Isoechoic atau normoechoic, misalnya untuk hepar, lien, atau
ginjal yang normal.
b. Hypoechoic atau echopoor atau echoluscent, misalnya abses hepar
dan tumor uterus.
c. Hyperechoic atau echorich atau echodens misalnya batu ginjal dan
adanya kalsifikasi di suatu jaringan.
d. Unechoic atau echofree (hitam), misalnya urine, ascites dan darah.

E. Komplikasi
Penggunaan radioterapi merupakan sala satu solusi yang baik untuk
menyembuhkan dan mendeteksi penyakit-penyakit tertentu. Saat melakukan
radioterapi pasien tidak akan merasakan sakit sedikit pun tetapi efeknya
terasa setelah beberapa kali melakukan radioterapi tersebut. Penggunaan
radioterapi dengan perawatan paliatif dosis rendah, menyebabkan sedikit atau
tidak ada efek samping, walaupun rasa sakit jangka pendek terasa dalam harihari setelah perawatan karena untuk edema mengompresi saraf-saraf di
daerah yang dirawat. Sementara itu, perawatan untuk dosis yang lebih tinggi
menyebabkan berbagai efek samping selama pengobatan (efek samping akut),
bulan

atau

tahun-tahun

setelah
33

perawatan

(efek

samping

jangka

panjang/kronis), atau setelah re-treatment (kumulatif efek samping). Tingkat


keparahan dan lamanya efek samping tergantung pada organ-organ yang
menerima radiasi, pengobatan sendiri (jenis radiasi, dosis, fractionation,
kemoterapi bersamaan), dan pasien (news-medical.net, 2013).
Seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu efek samping dari
radioterapi adalah efek samping jangka pendek/akut. Efek samping akut ini
terjadi selama 6-8 minggu dengan ditandai adanya inflamasi. Secara general
dan lokal tanda dan gejalanya sebagai berikut:

General
Badan terasa sakit
Depresi hemopotitik
Mual
Pusing
Muntah

Lokal
Erytema
Diskumulasi mukositis
Iritasi kulit
Mulut kering
Disuria

Terjadinya kerusakan permukaan epitel, perandangan, dan infertilitas


merupakan efek samping akut yang terjadi akibat proses radoiterapi (newsmedical.net, 2013).
Efek samping lainnya adalah efek samping jangka panjang/kronis. Efek
samping ini terjadi selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan
umumnya terjadi lebih dari 8 minggu. Secara general dan lokal tanda dan
gejalanya sebagai berikut:
General
Hematologic disorder

Lokal
Pigmentasi
Atrophy
Fibrosis
Nekrosis
Ulcerasi
Teleangectasis

Beberapa efek samping jangka panjang/kronis dari radioterapi adalah sebagai


berikut:
1. Fibrosis
Fibrosis merupakan kurang elastisnya jaringan setelah diradiasi secara
terus-menerus dan akibat pemumpukan jaringan parut baur.
2. Rambut rontok

34

Ini merupakan efek samping yang sering terjadi dan bersifat


permanen.namun biasanya hanya terbatas pada bagian tubuh yang
dilakukan radiasi saja.
3. Kekeringan
Kekeringan yang dimaksud adalah mulut kering (xerostomia) dan mata
kering (xerophthalmia). Hal ini terjadi karena kelenjar liur dan kelenjar air
mata memiliki toleransi radiasi sekitar 30 Gy 2 Gy dan jika melebihi akan
pecah. Selain itu kekeringan juga terjadi pada kelenjar keringat yang bisa
bekerja, dan mukosa vagina alami lembab sering kering setelah iradiasi
panggul.
4. Kelelahan
Kelelahan merupakan gejala umu yang terjadi dan dapat berlangsung
selama beberapa bulan atau beberapa tahun. Hal tersebut dipengaruhi oleh
jumlah pengobatan radioterapi yang dilakukan. Kelelahan menyebabkan
kekurangan energi sehingga dapat menurunkan altivitas pasien.
5. Kanker
Radiasi adalah penyebab potensi kanker, dan keganasan sekunder terlihat
di minoritas yang sangat kecil dari pasien, umumnya terjadi bertahuntahun setelah telah menerima radioterapi. Pada sebagian besar kasus,
risiko ini sangat sebanding dengan pengurangan risiko yang diberikan
oleh mengobati kanker.
6. Penurunan kognitif
Efek samping ini terjadi pada radoiterapi untuk kepala.
7. Kematian
(news-medical.net, 2013).
F. Peran Perawat
Setiap tindakan medis tidak terlepas dari peran tenaga kesehatan
termasuk dalam radoiterapi ini. Tenga kesehatan seperti dokter staff radiasi,
perawat, ahli gizi, dan apoteker memiliki perannya masing-masing dalam
radioterapi. Peran tenaga kesehatan tidak terlepas dari tujuan untuk
memberikan pelayanan dan membantu pasien mencapai level kesehatan yang
optimal.
Terkait dengan radioterapi peran perawat adalah menjelaskan prosedur
terapi, menjelaskan efek samping yang bisa terjadi, dan menjelaskan
tambahan antiradiasi jiak diperlukan. Sementara itu peran perawat lainya
adalah untuk iiradiation sebelum dilakukanya radisai, yaitu:

35

1. Menjaga area yang akan diradiasi tidak belh terkena air


2. Menghindari penggunaan salep atau creams
3. Jika ada kotoran di area yang akan diradiasi, dibersihkan dengan
menggunakan air seminimal mungkin dan dikeringkan dengan handuk
kering
4. Untuk radiasi nasopharynx
Hindari penggunaan dencture
Memastikan bahwa asien tidak sedang sakit gigi
Hindarkan pasien dari konsumsi makan makanan yang panas
Berikan antifungal oral
Post pull out teeth > 2 minggu
Peran perawa lainnya yang tidak kalah pentingya adalah membantu
pasien radioterapi dalam memperoleh informasi tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan terkait kondisinya dan melakukan follow up serta
kontrol setelah radiasi. Berikut ini kektentuan melakukan follow up dan
kontrol setelah radiasi:
Durasi radiasi
Check up setiap 5 kali melakukan radiasi. Check up yang dilakukan
terkait dengan Hb, leukosit, trombosit, kondisi normalnya, dan
komplain atau terjadinya efek samping.

Setelah radiasi
a. 2 minggu setelah radiasi
b. 1 bulan setelah radiasi
c. 3 bulan setelah radiasi; setelah 3 bulan radiasi dihentikan untuk
dilakukan check Lab. PA untuk mengetahui perkembangan
penyakitnya
d. 6 bulan setelah radiasi dan secara kontinu setiap 6 bulan sekali

(news-medical.net, 2013).

36

BAB IV
FARMAKOLOGI
FARMAKODINAMIKA OBAT

A. Pengertian Farmakodinamika
Farmakodinamika dalam ilmu farmakologi adalah ilmu yang berfokus
membahas dan mempelajari seputar efek obat-obatan itu sendiri di dalam
tubuh baik dari segi fisiologi maupun biokimia berbagai organ tubuh serta
mekanisme kerja obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh manusia.
Farmakodinamik juga sering disebut dengan aksi atau efek obat. Efek Obat
merupakan reaksi Fisiologis atau biokimia tubuh karena obat, misalnya suhu
turun, tekanan darah turun, kadar gula darah turun.
Pada farmakodinamik dikenal 2 variabel yan, yaitu variabel utama dan
variabel sekunder. Variabel utamanya adalah dosis, frekuensi dan lama
pemakaian obat. Sementara itu variabel sekundernya adalah kondisi pasien
(fisiologis,patologis, dan tingkat morbiditas). Kedua variabel ini berpengaruh
terhadap efek kerja obat dalam tubuh (Katzung dkk, 2009).
B. Mekanisme Kerja Obat
Keefektifan keja sebuah obat dapat dilihat dari mekanisme kerja obat
tersebut. Mekanisme kerja obat terjadi setelah obat tersebut berekasi di organ
tubuh dan di dalam tubuh itu sendiri. Reaksi obat di organ tubuh dan di dalam
tubuh dapat terjadi secara kimia dan fisik. Secara kimia obat misalnya adalah
Maagnesium Hidroksida atau antasida yang dapat meningkatkan asam
lambung dan menetralkan asam lambung secra kimia. Smentara itu secara
fisik misalnya diuretik osmotik (Magnesium sulfat), karena sifatnya yang
lambat sekali diresorbsi usus akan mengalami proses osmotik menarik air dari
sekitarnya sehingga terjadilah pembesaran feses di usus dan merangsang
dinding usus secara mekanis untuk mengeluarkan isinya.
Mekanisme kerja obat yang mendasari berbagai kerja obat adalah
menghambat atau mengaktifkan enzim tubuh sendiri, mempengaruhi proses
transpor, mempengaruhi biosintesis dalam mikroorganisme, efek osmotik,

37

pembentukan kompleks, dan reaksi netralisasi. Berikut ini contoh mekanisme


kerja obat:
No.
1.

Jenis Mekanisme
Pengaruh
a.Inhibisi enzim

Contoh
a.Penghambatan

terhadap enzim

asetilkorinesterase oleh
parasimpatomimetika
tak langsung
b.Aktivasi enzim oleh ion-

b.Aktivitas enzim
2.

Pengaruh
terhadap

on logam
a. Meningkatkan

a. Meningkatkan
proses

transpor

ketelapan

ketelapan membran
ion asetilkolin
b.Menurunkan ketelapan b.Menghambat aliran masuk
membran

dan juga aliran keluar


natrium dan kalium oleh
anastetik lokal
c.Memudahkan masuknya

c.Pengaruh

terhadap

mekanisme pembawa

glukosa ke dalam sel


oleh insulin
d.Menghambat

transpor

aktif natrium dan kalium


d.Pengaruh

terhadap

transpor aktif

oleh

dosis

toksis

glikosida jantung dan


menghambat
pengembalian
noradrenalin

3.

Pengaruh
terhadap
biosintetis dalam
mikroorganisme
Efek Somatik

5.

Pembentukan

oleh

nomifensin
a.Inhibisi sintetis dinding a.Kerja bakterisida dalam
sel bakteri
b.Gangguan

golongan penisillin
sintesis b.Kerja
bakteriostatik

protein normal bakteri


golongan tetrasiklin
c.Gangguan sintetis asam c.Kerja
bakteriostatik
folat

4.

kembali

Kompleks

sulfonamida
a. Osmodiuretika
b. obat pencahar garam
a.Penghambatan pembekuan
darah oleh natrium sitrat

38

akibat

pembentukan

kompleks dengan ion


kalium
b.Penggunaan

kalsium

edetal sebagai antidot


pada keracunan logam
6.

berat
a.Netralisas asam lambung

Reaksi Netralisasi

oleh antasida
b.Meniadakan kerja heparin
oleh protamin sulfat
(Katzung dkk, 2009).
C. Reseptor Obat
Obat merupakan stuktur yang spesifik baik secara kimia ataupun
fisiknya, maka dari itu agar obat dapat bekerja dan menghasilkan efek perlu
adanya sebuah reseprot obat di dalam tubuh. Reseptor obat merupakan suatu
protein spesifik pada sel yg reseptif terhadap ligand/obat dengan spesifisitas,
afinitas dan selektifitas serta sensitifitas tertentu (khusus). Penyusun resptor
adalah protein yang terdiri dari tiga makromolekul yaitu, protein enzim,
protein struktural dan asam nukleat. Ketiga akan menyokong konsep reserptor
sebagai berikut:
a. Obat bekerja pada kadar yang rendah
b. Aktifitas obat mudah dipengaruhi dengan merubah struktur kimianya
c. Aksi menahan dan antagonis juga dipengaruhi oleh perubahan struktur
kimianya
Secara keseluruhan reseptor obat dapat digolongkan dalam 4 macam,
yaitu reseptor ion (Kanal Ion), reseptor second messenger generation (terikat
Protein G), reseptor protein kinase (Tyrosine Kinase), dan reseptor intraseler.
1. Reseptor Kanal Ion
Pada resepotor ion obat akan masuk bersamaan dengan
masuknya ion ke dalam tempat kerja obat tersebut. Reseptor ini juga
disebut juga sebagai reseptor ionotropik. Sementara itu pada reseptor
kanal ion, reseptor berupa suatu reseptor membrane yang langsung
terhubung dengan suatu kanal ion dan memperantarai aksi sinaptik yang
cepat. Contoh reseptor ion adalah Na+ dan Cl- dan contoh reseptor kanal

39

ion adalah reseptor asetilkolin nikotinik, reseptor GABAa, dan reseptor


glutamate.
2. Reseptor Terikat Protein G
Reseptor terikat protein G atau GPCR (G-Protein Coupled
Receptor) atau 7TM Receptor (7 Trans Membrane Receptor) ini
merupakan golongan reseptor yang memiliki jumlah anggota yang
paling banyak. Sesuai dengan namanya, rangkaian peptida penyusun
reseptor ini. Rangkaian peptida tersebut melintasi membrane sebanyak
tujuh kali dan terikat dengan sistem efektor yang disebut protein G.
Reseptor ini memperantarai beberapai aksi neurotransmitter dan
hormon secara lambat. Contoh reseptor ini misalnya reseptor asetil
kolin muskarinik, reseptor adrenergic, reseptor histamine, reseptor
dopaminergik, dan reseptor serotonin.
3. Reseptor Tyrosine Kinase
Reseptor ini merupakan reseptor single trans membrane (hanya
melintasi membrane satu kali) yang memiliki aktibitas kinase dalam
transduksi sinyalnya. Cobtoh dari reseptor ini adalah reseptor sitokinin,
reseptor growth factor, dan reseptor insulin.
4. Reseptor Intra Seluler
Reseptor intra seluler merupakan satu-satunya kelompok
reseptor yang tidak terletak di membrane sel tetapi terletak di dalam
sitoplasmik atau nukleus. Reseptor ini bekerja dengan menggunakan
hormon-hormon seperti hormon tyroid dan corticosteroid.
Dari keempat reseptor tersebut, reseptor ion, second massenger generation,
dan protein kinase merupakan reseptor yang berada di dlam membaran sel
dan melintasi membran. Sementara itu, reseptor intraseleler berada di dalam
sel lebih tepatnya adalah berada di dalam sitoplasma atau nukleus.
Jika dilihat dari tipe reseptor-ligandnya, obat dapat digolongkan
menjadi 3 jenis, yaitu agonis, antagonis dan parsial agonis.
1. Agonis
Obat ini diproduksi uutk memberikan efek yang sama dengan
endogenus ligand. Obat agonis memiliki afinitas intrinsik dan aktifitas
intrinsik. Aktifitas intrinsik dari agonis kebanyakan dinyatakan sebagai
aktifitas intrinsik relatif . Ini sebanding dengan kuosien dari efek EA
yang dihasilkan oleh agonis dan efek EM yang paling maksimum yang
dihasilkan dalam sistem biologi:
40

EA/EM
Sementara itu, aktifitas intrinsik (i.a) yang relatif maksimum dihasilkan
jika EA/EM=1. Agonis dengan i.a = 1 merupakan agonis sempurna.
Agonis masih bisa digolongkan menjadi 2 jenis sebagai berikut:
Agonis I
Agonis II
Mengikat reseptor yang sama dengan Mengikat reseptor yang sama dengan
reseptor endogenus ligand.
Efeknya

sama

dengan

reseptor endogenus ligand tetapi pada


sel yang berbeda dengan agonis I.
endogenus Efeknya meningkatkan endogenus

ligand.
Contoh: morphine

ligand.
Ikatannya berbeda.

2. Antagonis
Merupakan senyawa yang menurunkan kerja obat karena
memblokir reseptor untuk berikatan dengan ligand sehingga agonis
tidak dapat masuk. Antagonis dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Antagonis kompetitif
Antagonis sama dengan agonis, berikatan dengan reseptor
tertentu. Senyawa ini memiliki aktifitas terhadap reseptor, tetapi
senyawa ini tidak mampu menimbulkan efek jika berikatan dengan
reseptor. Jadi, senyawa ini disebut sebagai antagonis kompetitif
karena bersaing dengan agonis untuk berikatan dengan reseptor
yang sama dan masing-masing dapat mengusir yang lain dari
reseptor akibat kenaikan konsentrasi dari salah satu senyawa.
b. Antagonis tidak kompetitif
Senyawa ini mampu melemahkan kerja agonis denga cara
yang berbeda. Senyawa ini juga menyebabkan perubahan
konformasi makromolekul dan karena itu kondisi untuk agonis pada
tempat reseptornya berubah atau dapat diartikan bahwa reseptor
yang diikat oleh agonis sekarang bukan reseptor yang seharusnya.
Kemungkinan lain dari penghambatan tak kompetitif adalah bahwa
proses yang sedang berlangsung dipengaruhi setelah pembentukan
kompleks obat reseptor. Pada konsentrasi yang rendah senyawa ini
dapat menjadi antagonis kompetitif. Suatu antagonis tak kompetitif
yang khas adalah papaverin.

41

c. Antagonis fungsional
Fungsional jika antagonis ini sebagai agonis melalui
efeknya yang berlawanan menurunkan kerja suatu agonis kedua,
yang bekerja pada sistem sel yang sama tapi berikatan dengan
reseptor yang berbeda. Contohnya, antagonisme antara senyawa
kolinergik atau senyawa histaminergik dan obat -andrenergik pada
otot bronkhus.
d. Antagonis kimia
Merupakan senyawa yang bereaksi secara kimia dengan zat
tertentu dan dengan demikian akan menginaktifkannya pula, serta
tidak bergantung pada reseptor. Hasil utama antagonisme kimia
adalah penurunan konsentrasi zat tertentu dalam biofase.
Antagonis bisa digolongkan menjadi 2 tipe sebagai berikut:
Antagonis I
Antagonis II
Menghalangi ikatan antara reseptor dan Menghalangi ikatan antara reseptor dan
agonis dalam 1 sel saja.
Reseptor + Antagonis I + Agonis

agonis dalam sel yang berbeda.


Sel 1 :
Reseptor + agonis
Sel 2 :
Reseptor + antagonis

Efek yang ditimbulkan adalah sama yaitu menghambat atau menghalangi efek
kerja obat.
Selain itu reseptor juga masih bisa digolongkan bnerdasarkan sifat
spesifitas dan selektifitasnya. Pengolongan tersebut adalah sebagai berikut:
No

Jenis Spesifitas dan

Keterangan

.
1.

Selektifitas
Spesifik

Reseptor hanya spesifik berikatan dengan 1

2.

Tidak spesifik

senyawa obat saja.


Reseptor dapat berikatan denga berbagai

Selektif Spesifik

jenis senyawa obat.


Satu obat hanya mempengeruhi satu jenis

3.

reseptor yg terdapat pada satu organ, mis.


Salbutamol pada resptor beta 2 dalam
4.

Spesifik Tidak selektif

saluran nafas
Satu obat hanya mempengaruhi satu jenis

42

reseptor ,tetapi reseptor ini terdapat pada


berbagai organ,mis. Atropin.
Reseptornya
sama,
tetapi

tempat

reseptornya berbeda-beda.
Dapat menimbulkan efek samping.
(Katzung dkk, 2009).
D. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interkasi yang terjadi antara obat
dengan obat dimana obat tersebut dapat memiliki efek yang sama, antagonis,
atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena
adanya kompetisi reseptor atau terjadi antara obat-obata yang bekerja pada
sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari
pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (Katzung dkk,
2009).
Berikut ini merupakan interaksi farmakodinamk, yaitu:
1. Interaksi aditif atau sinergis
Interaksi ini terjadi ketika 2 obat yang memiliki efek farmakologis
yang sama diberikan secara bersaman sehingga efeknya bisa menjadi efek
aditif. Pada keadaan tertentu efek aditif menyebabkan toksik (misalnya
aditif

ototoksisitas,

nefrotoksisitas,

depresi

sumsum

tulang

dan

perpanjangan interval QT). Contoh dari interkasi aditif adalah alkohol


yang menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi
normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain),
dapat menyebabkan mengantuk berlebihan (Katzung dkk, 2009).
2. Interaksi antagonis atau berlawanan
Interaksi ini terjadi ketika 2 obat yang memiliki efek yang berbeda
diberikan

secara

bersamaan.

Contohnya

adalah

kumarin

dapat

memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif


menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari
antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal,
sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Katzung
dkk, 2009).
E. Efek Kerja Obat
Efek kerja obat terjadi setelah adanya mekanisme kerja obat di dalam
tubuh. Efek kerja obat dapat digolongkan menjadi 2 yaitu, efek kerja obat
yang dapat diperkirakan dan efek kerja obat yang tidak dapat diperkirakan.
43

Efek kerja obat yang dapat diperkirakan adalah efek utama obat (efek
trapeutik), efek farmakologi yang berlebihan (efek toksik)., gejala
penghentian obat, dan efek yang bukan efek utama obat (efek samping).
Sementara itu, efek kerja obat yang tidak diperkirakan adalah efek alergi, dan
reaksi idiosinkratik (Katzung dkk, 2009).
1. Efek kerja obat yang dapat diperkirakan
a. Efek utama obat (efek trepeutik).
Efek ini disebut juga sebagai efek primer, dimana respon
fisiologis obat yang diharapkan atau yang diperkirakan timbul. Efek ini
bersifat memberikan terapi bukan menimbulkan adanya efek samping
kepada pasien. Jadi, pemberian obat yang sesuai dengan dosis dan
keadaan pasien akan memeberikan efek terapi.
b. Efek famakologi yang berlebihan (efek toksik).
Efek ini dapat disebabkan karena dosis relatif yang diberikan
terlalu berlebihan untuk pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat
terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya
perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok
tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan
faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, dan genetik, sehingga
sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif
terlalu besar pada pasien-pasien tertentu. Selain itu efek ini juga bisa
terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar
obat yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih
besar.
c. Gejala penghentian obat (withdrawal syndrome).
Gejala penghentian obat adalah reaksi pembalikan terhadap
efek farmakologik obat sehingga dapat menyebabkan munculnya
kembali gejala penyakit semula. Gejala ini terjadi selama proses
adaptasi tingkat respeptor, dimana adaptasiini menyebabkna toleransi
terhadap

farmakologi

obat

sehingga

pasien

umumnya

akan

memerlukan dosis yang semakin lama semakin besar. Reaksi seperti


demikian dapat disebut juga seebagai toleransi obat.
Cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan reaksi
penghentian obat atau toleransi obata ini adalah dengan menghentikan
pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan dosis secara

44

berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat sejenis yang


mempunyai aksi lebih panjang atau kurang, dengan gejala penghentian
obat yang lebih ringan.
d. Efek yang bukan efek utama obat (efek samping).
Efek ini disebut juga efek sekunder, dimana efek ini akan
muncul setelah efek trapeutik. Efek samping ini dapat diprediksi
kemunculannya. Selain itu, efek samping ini dapat bersifat berbahaya
atau bahkan menimbulkan cedera.
2. Efek kerja obat yang tidak dapat diperkirakan
a. Reaksi alergi
Reaksi alergi tejadi karena adanya reaksi imunologik. Reaksi
ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak
tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi
yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk
yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat
berupa syok anafilaksi yang bisa fatal.
Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya,
yaitu:
Gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya,
Seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap

obat dengan timbulnya efek,


Reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan

sejumlah sangat kecil obat,


Reaksi hilang bila obat dihentikan,
Keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi
imunologik, misalnya rash (ruam) di kulit, serum sickness,

anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll.


Berikut ini adalah manifestasi klinis terjadinya reaksi alergi:
Ringan; skin rash, urticaria, sakit kepala, mual, muntah, dan

demam.
Berat; anaphilaksis, ganggnuan sister pernafasan, dan gangguan

sistem peredaran darah.


b. Reaksi idiosinkratik
Reaksi ini merupakan reaski tidak normal terhadap obat dan
tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi.
Namun, reaksi ini relatif jarang terjadi.
(Katzung dkk, 2009).

45

46

BAB V
MIKROBIOLOGI DAN PARASITOLOGI
PENGENDALIAN MIKROBA
A. Tujuan Pengendalian Mikroba
Tujuan utama dari pengendalian mikroba adalah untuk mencegah
terjadinya penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada
inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh
mikroorganisme. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
melakukan sterilisasi, desinfeksi, teknik aseptik, dan yang lainnya. Namun
cara yang paling mudah adalah dengan melakukan cuci tangan bersih
sebelum dan sesudah melakukan tindakan medis ataupun kegiatan sehari-hari
pada umunya adalah sebelum makan (Pelczar, 2005).
Pengendalain mikroba sangat perlu dilakukan terutama pada aplikasi
klinik, laboratorium mikrobiologi, dan industri. Pertama, pada aplikasi klinik
bertujuan unutk mencegah penyebaran infeksi pada komunitas maupun di
rumah sakit. kedua, pada laboratorium mikrobiologi bertujuan untuk
mencegah komunitas mikroba dari peralatan dan medium kultur dari
meikroba yang tidak diiginkan. Sementara itu, pada industri pengendalian
mikroba bertujuan untuk mencegah dekomposisi obat, makanan, dan untuk
mensterilkan peralatan medis (Pelczar, 2005).
B. Istilah dalam Pengendalian Mikroba
Berikut ini merupakan istilah yang sering digunakan dalam pegendalian
mikorba:
1. Sterilisasi
Adalah destruksi atau penghancuran atau penghapusan semua organisme
yang layak dari sebuah benda atau dari lingkungan tertentu. Destruksi ini
dilakukan dari semua bentuk mikroba dan endospora. Cara yang paling
umum adalah dengan mealkukan pemanasan.
2. Disinfeksi
Adalah pembunuhan, penghambatan, atau penghapusan mikroorganisme
patogen (biasanya pada benda mati). Desinfeksi bertujuan untuk merusak

47

mikroba dalm bentuk vegetatifnya. Cara ini dapat dilakukan dengan


menggunakan bahan kimia, radiasi uv, dan boiling water.
3. Sanitasi
Adalah pengurangan populasi mikroba ke tingkat yang aman yang
ditetapkan oleh standar kesehatan masyarakat atau dalam arti sempit dapat
diakatan meminimalkan transmisi penyakit dari satu orang ke orang
lainnya.
4. Antisepsis
Adalah pencegahan infeksi jaringan hidup oleh mikroorganisme.
5. Agen antimikroba jatuh ke salah satu dari dua kategori besar
dilambangkan dengan akhiran yang menunjukkan efeknya.
a. Akhiran cide atau sidik; menunjukkan bahwa agen akan membunuh
jenis organisme yang bersangkutan (misalnya, viricide, fungisida).
b. Akhiran statis atau satik; menunjukkan bahwa agen akan mencegah
pertumbuhan

jenis

organisme

yang

bersangkutan

(misalnya,

bakteriostatik, fungistatic).
(Kusnadi dkk, 2003).
C. Keadaan yang Mempengaruhi Pengerndalian Mikroba
1. Jumlah mikroba
Populasi populasi ukuran lebih besar membutuhkan waktu lebih lama
untuk membunuh dari populasi yang lebih kecil.
2. Sifat mikroba
Populasi terdiri dari spesies yang berbeda atau sel pada tahap
perkembangan yang berbeda (misalnya, endospora versus sel vegetatif
atau sel muda versus sel tua) berbeda dalam kepekaan mereka untuk
berbagai agen. Jadi, metoda pengendalian mikroba yang digunakan harus
sesuai dengan sifat dari endospora, vegetatfi, dan sifat kima atau fisiknya.
3. Konsentrasi
Intensitas konsentrasi antimikroba agen-tinggi atau intensitas umumnya
lebih efisien, tetapi hubungan ini tidak linier.
4. Durasi paparan-paparan
Semakin lama, semakin besar jumlah organisme mati. Namun, akan
dibutuhkan waktu yang lama pula untuk membunuh mikroba yang
resisten/endospora.
5. Suhu
Suhu yang lebih tinggi biasanya akan (tetapi tidak selalu) meningkatkan
efektivitas membunuh.
6. Faktor lingkungan
48

Lingkungan yang dimaksud adalah seperti pH, viskositas, dan konsentrasi


bahan organik dapat sangat mempengaruhi efektivitas agen antimikroba
tertentu.
(Kusnadi dkk, 2003).
D. Pola Kematian Mikroba
Ada dua macam pola kematian mikroba, yaitu:
1. Mikroorganisme tidak tewas seketika bila terkena agen mematikan,
melainkan populasi berkurang dengan fraksi konstan pada interval
konstan (pembunuhan eksponensial).
2. Suatu mikroorganisme biasanya dianggap mati ketika tidak dapat tumbuh
dalam kondisi yang biasanya akan mendukung pertumbuhan dan
reproduksi.
(Pelczar, 2005).
E. Metode Pengendalian Mikroba
Metode yang digunakan

dalam

pengendalian

mikroba

dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu metode pengendalian secara fisik dan kimia.
Pada metoda pengendalian mikroba secara fisik perlakuannya dengan
menggunakan suhu (pemanasan basah dan pemanasan kering), flitrasi,
radiasi, pengeringan, dan tekanan osmose. Sementara itu, pada metode
pengendalian mikroba secara kimia perlakuannya menggunakan bahan-bahan
kima (Pelczar, 2005).
Metode pengendalian mikroba secara fisik efek yang ditimbulakn harus
lebih ditujukan kepada objek yang disterilkan dari mikroba. Oleh karena hal
ersebut maka pertimbangan pemilihan metode dan pertimbangn ekonomis
juga harus diperhatikan. Berikut ini merupakan metode pengendalian mikorba
secara fisik:
1. Pemanasan Basah
Pemanasan basah merupakan pemanasan yang berkontak
langsung dengan air, dimana proses pengendalian mikorba menggunkan
uap air. Kematian mikroba pada metode ini dikarenakan proses koagulase
dari protein mikroba sehingga menyebabkan putusnya ikatan hidrogen
yang mempertahankan struktur tiga dimensi dari protein tersebut.
a. Pemanasan/Pendidihan
Proses ini menggunakan suhu uap 100oC pada tekanan 1 atm.
Metode ini akan membunuh vegetatif bakteri patogen, viru, dan jamur

49

beserta sporanya dengan membutuhkan waktu 10 menit setelah uap


mendidih pada suhu 100oC.
b. Autoklaf
Suhu yang digunakan adala 121oC dengan tekanan 5 Kg/cm2
dengan waktu standart adalah 15 menit. Proses ini digunakan untuk
mensterilkan media kultur, peralatan dressing, larutan, syringer, alat
gelas, dan alat serta bahan lain. Peralatan yang bisa dilakukan
sterilisasi proses ini adalah peralatan yang tahan terhadap suhu tinggi
dan selama prosesnya alat dan bahan yang disterilkan harus kontak
langsung dengan uap air.
c. Pasteurisasi
Proses ini didasarkan pada waktu kematian termal bagi tipe
patogen yang paling resisten untuk dibasmi. Pada proses pasteurisasi
ini yang terbunuh hanyalah bakteri patogen dan bakteri penyebab
kebusukan namun tidak pada bakteri lainnya. Suhu yang digunakan
adalah 63oC dalam waktu 30 menit. Pasteurisasi biasanya dilakukan
untuk susu, rum, anggur dan makanan asam lainnya. Contoh bakteri
yang dapat terbunuh oleh proses ini adalah Mycrobacteiurm
Tuberculosis.
d. Tindalisasi
Proses ini menggunakan suhu 63oC dan dalam waktu 30 menit.
Proses ini dilakukan selam 3 hari berturut-turut, dimana pada
terbunuhnya mikroba terjadi secara bertahap degan memberikan
endospora tumbuh menjadai vegetatif sehingga tidak akan ada
endospora yang tersisa pada hari ketiga. Proses ini untuk makanan dan
minuman kaleng.
e. HTST (High Temperature Short Time)
Proses ini menggunakan suhu 72oC dalam waktu 15 detik.
Proses ini kan langsung menurunka total jumlah bakteri.
f. UHT (Ultra High Temperature)
Proses ini menggunakan suhu 140C dalam waktu kurang dari 1
detik. Proses ini biasanya digunakan pada produk susu kemasan.
g. LTLT (Long Temperature Long Time)
Dengan menggunakan suhu 61 C dengan waktu 30 menit.
(Pelczar, 2005).
2. Pemanasan Kering

50

Pada metode ini mikroba akan mati karena proses oksidasi di


dalam tubuh mikroba tersebut.
a. Flaming
Proses ini dilakukan dengan cara melewatkan alat-alat yang
disterilkan di atas api. Api yang digunakan biasanya hasil dari
pembakaran bunsen. Contoh alat yang dilakukan sterilisasi dengan
proses ini adalah skapel, pinset, dan waskom (Pelczar, 2005).
b. Read Heat
Pemanasan langsung di atas api bunsen burner (pembakar
spiritus)

sampai

berpijar

merah.

Biasanya

digunakan

untuk

mensterilkan alat yang sederhana seperti jarum ose (Pelczar, 2005).


c. Hot Air Sterilitation
Pada proses ini bahan atau alat diletakkan di dalam oven
dengan menggunakan suhu 170oC dalam waktu 2 jam. Proses ini
cocok untuk alat-alat seperti gelas, larutan minyak, lemak, bedak, dan
alat logam yang tahan suhu tinggi. Namun, penggunaan untuk tekstil
dan cotton tidak bisa karean akan membakar tekstil dan cotton
tersebut (Pelczar, 2005).
3. Filtrasi
Metode ini dilakukan dengan cara melewatkan bahan melalui
saringan dengan pori-pori yang dapat menahan mikoorganisme. Biasanya
dapat dilakukan dengan menggunakan Vacum Pump untuk menarik cairan
melalui saringan tersebut. Metode ini digunakan untuk media kultur,
larutan enzim, vaksin dan antibiotika.
Filtrasi untuk udara dapat dilakukan dengan menggunakan HEPA
(High Efficiency Particular Air). Baisanya digunakan di ruang perawatan
luka bakar unutk menurunkan jumlah mikroba yang berasal dari udara.
Membaran yang digunakan sebagai saringan adalah berasal dari ester
selulosa atau polimer plastik dengan ukuran 0,22 miumeter dan 0,45
miumeter (untuk bakteri) serta 0,01 miu meter (untuk virus) (Pelczar,
2005).
4. Radiasi
Metode radiasi sangat bergantung pada panjang gelombang,
intensitas perlakuan, dan lama perlakuan. Prinsip dari metode ini adalah

51

dengan membunuh bentuk vegetatif dari mikroba. Metode radiasi dibagi


menjadi dua yaitu;
a. Ionizing
Sinar ionisasi yang digunakan adalah sinar X, sinar alfa, sinar
beta, dan sinar gamma. Prinsip kerja dari sinar-sinar tersebut akan
mengionkan mol air yang ada dalam mikroba sehingga terbentuk
radial hidroksil yang kemudian akan menyerand DNA dan akjirnya
DNA tersebut rusak dan mikroba mati. Metode ini memerlukan biaya
yang besar dan biasanya hanya digunakan pada industri famrasi
maupun industri kedokteran (Pelczar, 2005).
Berikut ini merupakan sifat dari sinar X, sinar alfa, sinar beta,
dan sinar gamma, yaitu:
Sinar X
: Daya penetrasi baik namun perlu energi besar.
Sinar alfa
: Memiliki sifat bakterisidal tetapi tidak memiliki
daya penetrasi.
: Daya penetrasinya sedikit lebih besar daripada

Sinar beta

sinar X.
Sinar gamma : Kekuatan radiasinya besar dan efektif untuk

sterilisasi bahan makanan.


b. Non-Ionizing
Pada metode ini digunakan sinar ultraviolet (UV) dengan
panjang gelombang 260 nm. Prinsipnya DNA mikroba kan menyerap
sinar

UV

(260

nm)

dan

sinar

UV

akan

merusak

DNA

denganmembentuk ikatan antara thymin yang berdekatan dalam rantai


DNA. Akibat

adanya

ikatan

antara

thymin

replikasi

DNA

akanterhambat selama proses reproduksi mikroba. Metode ini


digunakan untuk kontrol mikroba di udara, disinfeksi vaksin, dan pada
indutri medis (Pelczar, 2005).
Namun, penggunaan sinar ini masih terdapat kekurangannya,
yaitu:

Sinar UV penetrasinya rendah


Hal ini berakibat mikroba yang terbunuh hanya yang
langsung terpapar oleh sinar UV dan mikroba yang

terlindungi oleh benda padat tidak dapat dipengaruhi.


Sinar UV dapat merusak mata dan kontak yang lama akan
memberikan efek terbakar serta kanker kulit pada manusia.

52

5. Suhu Rendah
a. Suhu Refigerator
Suhu refigrator adalah 0oC 7oC, dimana pada suhu tersebut
metabolisme mkroba akan ditekan sehingga miroba tidak tumbuh dan
berkembang dengan cepat (Pelczar, 2005).
b. Suhu Subfreezing
Suhu sunbfreezing berada di bawah 0oC, yaitu dengan suhu
milai dari -20oC sampai -195oC. Pada suhu ini mikroba akan dormant
tetapi tidak membunuh mikroba tersebut (Pelczar, 2005).
6. Pengeringan
Metode ini dilakukan tidak menggunakan air. Prinsipnya
menyebabkan mikroba tidak dapat tumbuh dan tidak dapat merkemang
biak namun mikroba masih tetap hidup. Salah satu metode pengeringan
adalah Lyophilization yang berfungsi unutk mengawetkan mikroba
(Pelczar, 2005).
7. Tekanan Osmose
Metode ini menggunaka konsentrasi tinggi dari gula atau garam
yang memiliiefek mengawetkan. Efek mengawetkan tersebut akan
mejadikan lingkungan hipertonis yang menyebabkna air keluar dari dalam
sel mikroba dan menyebabkan membran plasma lisis atau plasmo lisis.
Metode ini biasanya digunakan untuk mengawetkan makanan (Pelczar,
2005).
Metode selanjutnya yang digunakan adalah metode kimia. Bahan
kimayang digunakan memiliki agan kima yang memiliki kemampuan untuk
membunuh mikroba secara cepat dengan dosis yang rendah tanpa merusak
bahan atau alat disinfeksi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
efektivitas agen kimia di dalam mengendalikan mikroba, yaitu

(Pelczar,

2005):
a. Konsentrasi agen kimia yang digunakan.
Semakin tinggi konsentrasinya maka efektivitasnya semakin meningkat.
b. Waktu kontak.
Semakin lama bahan tersebut kontak dengan bahan yang disterilkan
maka hasilnya akan semakin baik.
c. Sifat dan jenis mikroba.
Mikroba yang berkapsul dan berspora lebih resisten dibandingkan yang
berkapsul dan berspora.
d. Adanya bahan organik dan ekstra.

53

Adanya bahan-bahan organik dapat menurunkan efektivitas agen kimia.


e. pH atau derajat keasaman.
Efektivitas bahan kimia dapat berubah seiring dengan perubahan pH.
Prinsip kerja dari bahan kimia digolongkan berdasarkan sifat agennya.
Prinsip kerjanya adalah sebagai berikut:
a. Agen Kimia yang merusak membran sel
Contoh dari agen ini adalah:
Golongan Surfaktans (Surface Active Agents), yaitu golongan

anionik, kationik dan nonionik.


Golongan fenol; bertindak dengan

denaturasi

protein

dan

mengganggu membran sel dan dapat melarutkan membran lipid.


b. Agen Kimia merusak enzim
Golongan logam berat seperti arsen, perak, merkuri, dll. Efektif
tetapi biasanya beracun, bertindak dengan menggabungkan diri

dengan protein miroba dan menonaktifkan mikroba tersebut.


Golongan oksidator seperti golongan halogen, peroksida hidrogen
dan

formaldehid.

Prinsip

tindakannya

adalah

mengoksidasi

konstituen sel dan iodinating protein sel.


c. Agen Kimia yang menyebabkan denaturasi protein
Agen kimiawi yang menyebabkan terjadinya koagulasi dan presipitasi
protoplasma, seperti alkohol, gliserol dan bahan-bahan asam dan alkalis.
(Pelczar, 2005)

54

You might also like