Professional Documents
Culture Documents
PATOLOGI ANATOMI
DASAR-DASAR NEOPLASMA DAN PERAN PERAWAT
A. Definisi Neoplasma
Neoplasia secara harfiah berarti proses pertumbuhan baru dan suatu
pertumbuhan baru disebut neoplasma. Menurut Price dan Wilson, neoplasma
ialah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus
menerus secara tidak terbatas, tidak berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya,
dan tidak berguna bagi tubuh. Pada neoplasma terjadi proses proliferasi
neoplastik, yang mempunyai sifat progresif, tidak bertujuan, tidak
memperdulikan jaringan sekitarnya, dan tidak ada hubungan dengan
kebutuhan tubuh dan bersifat parasitic. Proliferasi neoplastik menimbulkan
massa neoplasma, menimbulkan pembengkakan atau benjolan pada jaringan
tubuh membentuk tumor.
Dalam klinik, neoplasma sering disebut dengan istilah tumor. Istilah
tumor sendiri sering digunakan untuk semua tonjolan dan diartikan sebagai
pembengkakan, yang dapat disebabkan baik oleh neoplasma maupun oleh
radang, atau perdarahan. Sel- sel neoplasma berasal dari sel - sel yang
sebelumnya adalah sel- sel normal, namun menjadi abnormal akibat
perubahan neoplastik (Price dan Wilson, 2006).
B. Etiologi Neoplasma
Faktor penyebab neoplasma di setiap negara berbeda. Namun, faktor
penyebab yang paling sering adalah faktor makanan (kelebihan kalori,
kelebihan lemak, dan kekurangan serat) dan akibat asap rokok ataupun
merokok. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penyebab neoplasma dapat
digolongkan menjadi 4, yaitu
1. Virus
Virus yang bersifat karsinogen disebut virus onkogenik. Virus DNA
dan RNA dapat menimbulkan transformasi sel. Mekanisme transformasi
sel oleh virus RNA adalah setelah virus RNA diubah menjadi DNA
provirus oleh enzim reverse transeriptase yang kemudian bergabung
dengan DNA sel penjamin. Setelah mengenfeksi sel, materi genitek virus
1
RNA dapaat membawa bagian materi genitek sel yang di infeksi yang
disebut V-onkogen kemudian dipindahkan ke materi genitek sel yang lain.
Beberapa virus yang dapat menyebabkan neoplasma antaralain:
Epstein-barr Limfoma burkitt
Ca NasofaringHerpes simplex virus (HPV) tipe 16,18 Ca servix uteri
Hepatitis B virus Ca Hepatoseluler
Limfotropik sel-T manusia (HTLV-1) Leukimia limfositik
Limfoma
Human Immunodeficiency virus Sarkoma Kaposi
2. Kimia
Bahan kimia penyebab neoplasma dapat bersal dari bahan alami dan
sintetik atau semi sintetik.
Bahan alami
Aflatoksin B1 adalah karsinogen alami. Alfatoksin B1 adalah
mitoksin yang berasal dari Aspergillus Flavus yang mudah tumbuh
pada berbagai butiran tanaman serelia atau tanaman kacang kacangan,
misalnya kacang tanah yang di simpan dalam suasana lembap. Bahan
ini merupakan promotor kuat bagi neoplasma (karsinoma) pada
neoplasma
(karsinoma)
pada
kandung
kemih.
Benzo(a)piren, suatu pencemar lingkungan yang terdapat di manamana, berasal dari pembakaran tak sempurna pada mesin mobil dan
mesin lain (jelaga dan ter), terkenal sebagai suatu karsinogen untuk
binatang, dan mungkin sebagai suatu karsinogen untuk binatang, dan
mungkin sekali juga bersifat karsinogen pada manusia.
Penyebab agen kimia yang paling sering adalah akibat penggunaan
tembakau.
Tembakau
merupakan
karsinogen
kimia
poten
yang
ca
mammae,
nefroblastoma,
ca
prostat,
jenis
hormone
menjadi
salah
satu
co-faktor
pada
ultraviolet
yang
digunakan
revalidasi.
Radiasi,
dimanapun
tubuh melalui aliran limpe atau aliran darah dan sering menimbulkan
kematian.
c. Intermediet
Diantara 2 kelompok tumor jinak (Belinga) dan tumor ganas
(Maligna) terdapat segolongan kecil tumor yang mempunyai sifat
invasive lokal tetapi kemampuan metastasisnya kecil. Tumor seperti
ini disebut sebagai tumor agresif lokal tumor ganas berderajat rendah.
Sebagai contoh ialah karsinoma sel basal kulit.
2. Berdasakan sel/jaringan (histogenesis)
a. Sel Totipoten
Sel totipoten memiliki prototipe yang mampu berdeferensiasi
menjadi sel apapun adalah zigot. Zigot kemudian akan tumbuh
menjadi embrio dan fetus. pasca kelahiran satu-satunya sel totipoten
adalah sel germinal, yang paling sering ditemukan di gonadnamun
dapat juga ditemukan di retroperitoneum, mediastinum, dan region
pineal.
Neoplasma sel germinal dapat berbentuk sebagai sel tidak
berdifensiasi, contohnya: Seminoma atau diseger minoma, yang
berdiferensiasi minimal contohnya: karsinoma embrional, yang
berdiferensiasi kejenis jaringan termasuk trofobias misalnya chorio
carcinoma, dan yolk sac carcinoma serta yang berdiferensiasi somatic
adalah teratoma (Kumar dkk, 2003).
b. Sel embrional pluripoten
Sel embrional pluripoten ditemukan pada periode fetal dan hanya
beberapa tahun pasca kelahiran sehingga neoplasma ini terjadi pada
masa anak-anak dini dan sangat jarang pada orang dewasa.
Neoplasma dari sel ini sering disebut dengan embriona atau blastoma.
Blastoma tidak dapat terdeferensiasi sama sekali dan terdiri dari sel
yang kecil, malignan, hiperkromatik (Taylor dkk, 2001).
c. Sel yang berdiferensiasi
Neoplasma epitelia
Neoplasma yang jinak dinamakan adenoma, yang berasal
dari permukaan epitel disebut papiloma. Neoplasma epitel
malignan dinamakan karsinoma, bila berasal dari kelenjar
dinamakan adenokarsinoma.
Neoplasma mesenkimal
Tumor Jinak
Tumor Ganas
Papiloma
Adenoma
Mola Hidatidosa
Karsinoma
Adenokarsinoma
Choriokarsinoma
Fibroma
Mixoma
Lipoma
Chondroma
Osteoma
Leiomyoma
Rhabdomyoma
Hemangioma
Lymphagioma
Fibrosacroma
Mixosacroma
Liposacroma
Chondrosacroma
Osteogenic sacroma
Leiomyosacroma
Rhabdomyosacroma
Hemangiosacroma
Lymphangiosacroma
Tidak dikenal
Leukimia
Myoma multiple
Lympoma malignum
Lymposacroma
Glioma (jarang)
Glioma
Nevus pigmentosus
Melanoma malignum
Kista dermoid
Teratoma solidium
D. Sifat Neoplasma
1. Diferensiasi dan Anaplasia
Istilah diferensiasi dipergunakan untuk sel parenkim tumor.
Diferensiasi yaitu derajat kemiripan sel tumor (parenkim tumor). Jaringan
asalnya yang terlihat pada gambaran morfologik dan fungsi sel tumor.
Proliferasi neoplastik menyebabkan penyimpangan bentuk, susunan, dan
sel tumor. Hal ini menyebabkan sel tumor tidak mirip sel dewasa normal
jaringan asalnya. Tumor yang berdiferensiasi baik terdiri atas sel-sel yang
menyerupai sel dewasa normal jaringan asalnya, sedangkan tumor
berdiferensi buruk atau tidak berdiferensiasi menunjukan gambaran sel
primitive dan tidak memiliki sifat sel dewasa normal jaringan asalnya.
Semua tumor jinak umumnya berdiferensiasi baik. Sebagai contoh
tumor jinak otot polos yaitu leiomioma uteri. Sel tumornya menyerupai sel
otot polos. Demikian pula lipoma yaitu tumor jinak berasal dari jaringan
lemak, sel tumornya terdiri atas sel lemak matur, dan menyerupai sel
jaringan lemak normal.
Tumor ganas berkisar dari yang berdiferensiasi baik sampai kepada
yang tidak berdiferensiasi. Tumor ganas yang terdiri dari sel-sel yang tidak
berdiferensiasi disebut anaplastik. Anaplastik berasal tanpa bentuk atau
kemunduran, yaitu kemunduran dari tingkat diferensiasi tinggi ke tingkat
diferensiasi rendah.
Anaplasia ditentukan
oleh
sejumlah
perubahan
gambaran
Tumor Jinak
Berdiferensiasi
Tumor Ganas
baik; Sebagian
tidak
stuktur
khas berdiferensiasi
disretai
mungkin
jaringan asal.
Laju pertumbuhan
tidak khas.
Biasanya progresif dan Tidak
terduga
dan
atau
tumbuh
atau
dan normal.
Biasanya kohesif
infasil;
tegas
massa
yang
menginvasi
cepat
banyak
abnormal.
dan Invasif
lokal,
bebatas menginfiltrasi
tidak normal
di
jaringan
sekitarnya;
atau kadang-kadang
dan
dan
tampak
ekspansil
Metastatis/penyebaran
(Kumar dkk, 2003)
Tidak ada
E. Peran Perawat
Pada setiap kasus atau masalah keperawatan yang muncul, seorang
perawat dituntut untuk melakukan tindakan mandiri ataupun tindakan
kolaborasi dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tindakan yang
diberikan tersebut haruslah sesuai dengan kondisi pasien dan dapat
menaikkan derajat kesehatan pasien. Namun, selain melakukan tindakan
keperawatan juga dilakukan beberapa penatalaksanaan dan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut:
a. Penatalaksanaan
1. Pada neoplasma kecil dan tidak menimbulkan keluhan, tidak diberikan
terapi hanya diobservasi tiap 3 6 bulan untuk menilai
pembesarannya.
2. Radioterapi
3. Pemberian GnRH agonis selama 6 minggu
4. Miomektomi dengan atau tanpa histerektomi bila uterus melebihi
seperti kehamilan 12 14 minggu
5. Estrogen untuk pasien setelah menopause dan observasi setiap 6
minggu.
b. Pemeriksaan penunjang
1. Laporoskopi: untuk mengetahui ukuran dan lokasi tumor
2. USG abdominal dan transvaginal
3. Biopsi: untuk mengetahui adanya keganasan
4. Dilatasi serviks dan kuretase akan mendeteksi adanya fibroid
subserous.
Sementara itu, dari kasus neoplasma dapat muncul beberapa masalah
keperawatan yaitu gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan efek
sekunder dari neoplasma, resiko defisit volume cairan berhubungan dengan
perdarahan, dan defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik,
keterbatasan pergerakan. Setelah muncul beberapa masalah keperawatan
tersebut perawat selanjutnya melakukan intervensi yang sesuai dengan
kondisi dan kemampuan pasien.
1. Masalah keperawatan 1
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan efek sekunder dari
neoplasma.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri hilang dan
berkurang
10
mental,
kelemahan,
gelisah,
pucat,
berkeringat,
peningkatan suhu.
e. Barikan cairan baik roral maupun parenteral sesuai program.
f. Monitor jumlah tetesan infus.
3. Masalah keperawatan 3
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik, keterbatasan
pergerakan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan perawatan diri
terpenuhi
Kriteria hasil : pasien merasa nyaman dan kebutuhan perawatan diri
terpenuhi
Intervensi :
a. Kaji kondisi klien.
b. Motivasi klien untuk melakukan perawatan diri.
c. Bantu klien untuk kebutuhan personal hygiene.
d. Libatkan keluarga dalam pemehunan perawatan diri.
e. Ajarkan pada klien cara untuk perawatan diri.
Selain intervensi-intervensi yang disebutkan di atas, peran perawat
lainnya adalah ada pada fase promotif sampai dengan rehabilitatif pasien.
Beberapa peran pada fase tersebut antara lain:
Memberi dukungan klien terhadap prosedur diagnostik
Mengenali kebutuhan psiko sosial dan spiritual
11
kanker/terhadap keganasan
Membantu klien fase penyembuhan/rehabiltasi
Membantu klien untuk tindak lanjut pengobatan
Berpartisipasi dalam koleksi data penelitian/registrasi kanker
12
pengobatan
anti
BAB II
PATOLOGI KLINIK
PLEBOTOMI DAN PERAN PERAWAT
A. Definisi Plebotomi
Plabetomi (bahasa inggris: phlebotomy) berasal dari kata Yunani phleb
dan tomia. Phleb berarti pembuluh darah vena dan tomia berarti
mengiris/memotong (cutting). Dahulu plabetomi dikenal dengan istilah
venasectie (Belanda), venesection atau venisection (Inggris). Sedangkan
plebotomist adalah seorang tenaga medic yang telah mendapat latihan dan
memiliki kompetensi khusus untuk mengeluarkan dan menampung spesimen
darah dari pembuluh darah vena, arteri, atau kapiler.
Plebotomi sudah ada sejak 2000 tahun yang lalau pada zaman Yunani
kuno. Pada saat itu plabetomi dilakukan untuk mengeluarkan darah dengan
tujuan untuk menyembuhkan pasien. Cara pengeluaran darah(cara kuno)
dilakukan dengan menggunakan cupping: mangkuk khusus dengan alat
hisap (dry cupping atau wet cupping) yang terlebih dahulu dilakukan
penorehan vena (venesection) dan ditampung pada mangkuk atau dengan
menggunakan gigitan lintah (Leeches biting).
Akhir-akhir ini, dikenal lagi suatu teknik microcollection. Dalam
praktek laboratorium klinik, teknik microcollection untuk memperoleh darah
ada 3 macam, yaitu: melalui tusukan vena (venipuncture), tusukan kulit
(skinpuncture), dan tusukan arteri atau nadi. Cara yang paling umum adalah
dengan menggunakan venipuncture. Hal ini karena dengan menggunakan
dapat diperoleh spesimen darah yang memenuhi syarat uji laboratorium
dengan ketentuan prosedur pengambilan sampel darah harus dilakukan
dengan benar, mulai dari persiapan peralatan, pemilihan jenis antikoagulan,
pemilihan letak vena, teknik pengambilan sampai dengan pelabelan.
Sementara itu cara skinpuncture digunakan untuk mengambil darah kapiler
(pada ujung jari pada dewasa atau tumit pada bayi) (Kee, 2007).
B. Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada Plabetomi
Menginggat setiap pekerjaan memiliki resiko termasuk pekerjaan
sebagai seorang tenaga kesehatan, maka prinsip kesehatan dan keselamatan
13
kerja (K3) wajib dilakkan setiap melakukan tindakan. Maka dari itu,
pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, dan bebas dari
pencemaran lingkungan. Salah satu tujan K3 adalah dapat mengurangi dan
atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan
petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam
dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
beberapa
negara
maju
(dari
beberapa
pengamatan)
menunjukan
30% - 40%
10%
2% - 6%
1%
14
HIV positif
0,3%
(Direktorat Laboratorium Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2004).
C. Alat dalam Melakukan Plabetomi
Berikut ini merupak alat-alat yang digunakan dalam melakukan
plabetomi, yaitu:
1. Spuit
Adalah alat yang digunakan untuk pengambilan darah atau
pemberian injeksi intravena dengan volume tertentu. Spuit mempunyai
skala yang dapat digunakan untuk mengukur jumlah darah yang akan
diambil, volume spuit bervariasi dari 1ml, 3ml, 5ml bahkan ada yang
sampai 50ml yang biasanya digunakan untuk pemberian cairan sonde atau
syring pump.
2. Tourniquet
Merupakan bahan mekanis yang fleksibel, biasanya terbuat dari
karet sintetis yang bisa merenggang. Digunakan untuk pengebat atau
pembendung pembuluh darah pada organ yang akan dilakukan penusukan
plebotomy. Tujuan dari pembendungan ini adalah untuk fiksasi,
pengukuhan vena yang akan diambil dan juga untuk menambah tekanan
vena yang akan diambil, sehingga akan mempermudah proses penyedotan
darah kedalam spuit.
3. Kapas alkohol
Merupakan bahan dari wool atau kapas yang mudah menyerap dan
dibasahi dengan antiseptic berupa etil alkohol. Tujuan penggunaan kapas
alkohol adalah untuk menghilangkan kotoran yang dapat mengganggu
pengamatan letak vena sekaligus mensterilkan area penusukan agar resiko
infeksi bisa ditekan.
4. Needle, Wing Needle
Adalah ujung spuit atau jarum yang digunakan untuk pengambilan
secara vakum. Needle ini bersifat non fixed atau mobile sehingga mudah
dilepas dari spuit serta container vacuum. Penggantian needle
dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan besarnya vena yang akan
diambil atau untuk kenyamanan pasien yang menghendaki pengambilan
dengan jaru kecil.
5. Vacuum Tube
Tabung vakum disebut juga dengan Vacutainer. Jenis tabung ini
berupa tabung reaksi yang hampa udara, terbuat dari kaca atau plastik.
15
Perlakuan
Tabung
Merah
Kuning
Hijau Terang
Ungu atau
kimia darah.
Tabung ini berisi EDTA. Umumnya digunakan untuk
Lavender
Biru
Biru Gelap
Abu-abu
Terang
16
Hitam
Pink
LED (ESR).
berisi potassium EDTA, digunakan untuk pemeriksaan
Putih
imunohematologi.
potassium
EDTA,
digunakan
untuk
pemeriksaan
D. Prosedur Plabetomi
1. Prosedur pengambilan darah arteri atau kapiler
a. Terangkan prosedur dengan jelas kepada pasien dan kondisikan pasien
pada kondisi yang nyaman serta cek identitas pasien.
b. Siapkan alat-alat yang diperlukan.
c. Cuci tangan dan gunakan handscoon (sarung tangan).
17
d. Cara pengambilan
Darah tidak boleh diambil dari daerah yang terinfeksi, mis: bisul,
luka, radang, atau kulit yang dingin dan pucat. Bila kulit dingin dan
pucat hangatkan dengan kompres air hangat.
e. Lokasi pengambilan
Pada orang dewasa biasanya pada ujung jari manis atau jari tengah
dibagian tepi, sebab didaerah tersebut banyak pembuluh kapilernya
dan kurang sensitif. Sementara itu, pada bayi atau anak kecil dapat
dilakukan pada tumit atau ibu jari bagian pinggir.
f. Bersihkan ujung jari pasien dengan kapas alkohol 70% biarkan kering
selama 30 detik.
g. Pegang bagian yang akan ditusuk supaya tidak bergerak, lalu ditekan
sedikit. Tusuk dengan lanset 3mm ( pada bayi tidak boleh lebih dari
2,5 mm ). Darah harus keluar dengan sendirinya tanpa ditekan.
h. Tetesan pertama dihapus dengan tisu atau kapas kering, tetesan
berikutnya dapat dipergunakan.
i. Dokumentasi.
2. Prosedur pengambilan darah vena
a. Terangkan prosedur dengan jelas kepada pasien dan kondisikan pasien
pada kondisi yang nyaman serta cek identitas pasien.
b. Siapkan alat-alat yang diperlukan.
c. Cuci tangan dan gunakan handscoon (sarung tangan).
d. Pilih bagian atau lokasi yang akan dilakukan penusukan.
Pembuluh vena yang dapat dilakukan pengambilan darah adalah venavena pada:
Fossa cubiti (antecubital)
Lengan bawah
Pergelangan tangan
Punggung tangan
Kaki dan pergelangan kaki (jika tidak ada vena lain yang dapat
ditusuk)
Pada bayi terletak pada vena jugularis superficial dan vena sinus
sagitalis superior
Karakteristik vena yang dapat dilakukan pemgambilan darah adalah
vena yang besar, menonjol, dan mudah didapat.
e. Pasang tourniquet 7,5 10 cm di atas bagian tusukan vena, harus pas
tepat. Jika terlalu ketat menyebabkan darah tidak keluar, jika terlalu
terlalu longgar menyebabkan tidak efektif, dan jika terlalu lama (> 1
menit) menyebabkan hemokonsentrasi/stasis vena.
18
mungkin.
Segera lepaskan tourniquet setelah darah mengalir, kecuali vena
kolaps.
Tarik perlahan-lahan penghisap dan biarkan spuit terisi darah.
h. Lepaskan jarum perlahan-lahan dan pasang penutup jarum, segera
tekan tempat tusukan dengan kapas selama 3-5 menit, kemudian
plester bagian tsb dan lepas setelah 15 menit.
i. Pemindahan darah dari spuit ke tabung/botol:
Lepaskan jarum dari spuit, hati-hati jangan sampai darah keluar.
Masukkan darah ke dalam botol atau tabung secara perlahan sesuai
dengan pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan.
j. Buang spuit dan jarumnya ke wadah pembuangan khusus (sampah
medis).
k. Ucapkan terima kasih kepada pasien dan berikan informasi yang
diperlukan seperti:
Kapan boleh makan kembali.
Petunjuk khusus, misalnya glukosa 2 jam PP.
l. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.
m. Dokumentasi.
(Direktorat Laboratorium Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2004).
Gambar vena
pada lengan:
19
Gambar vena
Pada kaki:
E. Komplikasi Plebotomi
Setiap tindakan medis yang dilakukan pasti memiliki resiko atau
komplikasi baik itu persentasenya kecil ataupun besar. Tindakan plabetomi
juga tidak terlepas dari terjadinya komplikasi tersebut. Komplikasi akibat
plabetomi dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu kegagalan/komplikasi pada
pasien dan kegagalan/komplikasi pada bahan (darah).
Kegagalan/komplikasi pada pasien antaralain adalah:
1. Syncope
Syncope adalah keadaan dimana pasien kehilangan kesadarannya
beberapa saat atau sementara waktu sebagai akibat menurunnya tekanan
darah. Gejala dapat berupa rasa pusing, keringat dingin, nadi cepat,
pengelihatan kabur atau gelap, bahkan bisa sampai muntah. Syncope
merupakan komplikasi yang sering terjadi.
Hal ini biasanya terjadi karena adanya perasaan takut atau akibat
pasien puasa terlalu lama. Rasa takut atau cemas bisa juga timbul karena
pasien tersebut kurang percaya diri. Oleh karena itulah, sebelum
melakukan plebotomi plebotomis perlu memberikan penjelasan kepada
pasien tentang tujuan pengambilan darah dan prosedur yang akan
dialaminya.
Tidak hanya faktor dari pasien itu sendiri yang bisa menyebabkan
syncope, faktor plebotomis juga dapat menyebabkan terjadinya syncope.
Hal ini karena penampilan dan prilaku seorang plebotomis juga bisa
mempengaruhi keyakinan pasien sehingga timbul rasa curiga/was-was
ketika proses pengambilan darah akan dilaksanakan. Oleh karena itu,
20
Pasien
Cara Mencegah
diajak bicara
supaya
sebaiknya
dianjurkan
berbaring
menundukan
kepala
diantara
seelum
sesungguhnya.
3. Hematoma
Hematoma dalah terkumpulnya massa darah dalam jaringan
sebagai akibat robeknya pembuluh darah. Faktor yang menyebabkan
hematoma adalah:
Penusukan yang sering
Kelainan dinding pembuluh darah
Vena terlalu kecil untuk jarum yang dipakai
21
hati
yang
berat
(pembentukan
protrombin,
fibrinogen
terganggu).
Cara yang tepat untuk mengatasi pendarahan adalah dengan
melakukan penekakan pada tempat yang mengalami pendarahan dan
melakukan kolaborasi untuk penangganan selanjutnya. Penekakan dapat
dilakukan lebih lama untuk pasien-pasein yang mengalamai pendarahan.
Sementara itu, cara untuk mencegah terjadinya pendarahan adala
melakukan pengkajian atau anamnesis yang teliti kepada pasien.
5. Alergi
Alergi bisa terjadi akibat bahan-bahan yang dipakai dalam
plebotomi, misalnya terhadap zat antiseptic/desinfektan, latex yang ada
pada sarung tangan, turniket atau plester. Gejala alergi bisa ringan atau
berat, berupa kemerahan, rhinitis, radang selaput mata; kadang-kadang
bahkan bisa (shock). Cara pencegahan alergi yang dapat dilakukan adalah
dengan anamnesis riwayat alergi dan menggunakan sarung tangan tanpa
bahan latex.
6. Trombosis
22
berukuran
panjang.
Pada
prosedur
plebotomi
harus
23
2. Hemodelusi
Terjadi karena pengambilan darah dilengan dimana terdapat
pemberian cairan intra vena (infus). Pengambilan darah di sisi influs
harus di hindari, jika tidak memungkinkan, hentikan infuse 3-5 menit,
ambil darah dibagian distal tempat infuse dan buang 3-5 cc darah yang
pertama diambil. Beberapa hal yang dapat menyebabkan hemodilusi
antara lain:
Kontaminasi oleh cairan interstitial/cairan jaringan pada pengambilan
kapiler.
Rasio darah: antikoagulan yang tidak sesuai.
3. Hemolisis
Terjadi karena pengambilan darah dengan jarum yang terlalu kecil,
pengambilan darah yang sulit dimana dilakukan manipulasi jarum,
menarik penghisap terlalu cepat, mengeluarkan darah dari jarum dengan
menekan secara keras/kasar, mengocok tabung dengan kuat, kontaminasi
alcohol
dan pemakaian
torniket terlalu
lama.
Hemolisis
akan
24
arteri atau kapiler. Selain seorang perawat, tenaga medis yang berhak
melakukan plebotomi adalah dokter, bidan, dan analisis laboratorium.
Mengingat plabotomi adalah tindakan yang memiliki resiko tinggi,
maka tidak semua orang atau bahkan tenaga medis dapat melakukanya. Ada
beberapa kompetensi dan keterampilan yang harus dipenuhi untuk menjadi
seorang plabetomis. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah
mengetahui apakah tugas-tugas sebagai plebotomis itu sendiri. Sehingga
kesalahan, kegagalan, bahkan malpraktik tidak terjadi saat melakukan
plebotomi.
Kompetensi dan tugas dari seorang tenaga kesehatan termasuk seorang
plabetomis sangat berkaitan erat. Tanpa mengetahui tugas-tugas seorang
plebotomis tidak akan diketahui apa sajakah kopetensi yang harus dimiliki
dan dipenuhi oleh seorang plebotomis. Berikut ini adalah beberapa tugastugas seorang plabetomi, yaitu:
1. Melakukan identifikasi terhadap pasien dengan tepat dan benar.
2. Mengambil darah dengan jumlah yang tepat dan teknik yang benar
(venipuncture, skinpuncture).
3. Memilih tabung dan antikoagulan sesuai dengan tes.
4. Melakukan labelisasi dan dokumentasi yang benar.
5. Melakukan transportasi yang benar serta tepat waktu.
6. Melakukan interaksi secara profesional dengan pasien maupun klinis.
7. Melakukan pencatatan baik secara manual atau secara elektronik.
8. Mematuhi peraturan keselamatan.
9. Melakukan update secara profesional.
10. Berpenampilan profesional.
Sementara itu, beberapa kompetensi sebagai seorang plebotomis, yaitu:
1. Memiliki skill dasar laboratorium dan skill plabetomi (Dapat melakukan
veni puncture dan melakukan skin puncture).
2. Menerapkan pengetahuan
Yang dimaksud adalah pemahaman dan penggunaan stilah medic, prinsip
prosedur, sumber kesalahan, dasar-dasar pengendalian infeksi, prosedur
pelaksanaan standar (SOP), dan sifat biologic dasar.
3. Melakukan pemilihan yang sesuai.
Yang
dimaksud
adalah
sesuai
dengan
urutan
tindakan,
25
(membantu
penghambatan
penyebaran penyakit).
7. Memiliki pengetahuan tentang pencegahan/kontrol infeksi.
8. Dapat melaksanakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di
laboratorium.
9. Memiliki tanggung jawab sebagai phlebotomis.
Dari beberapa kompetensi yang telah disebutkan di atas, kompetensi
yang paling penting adalah memiliki etika profesional. Hal ini karena etika
profesional memiliki tujuan untuk melindungi pasien atau masyarakat
pengguna jasa kesehatan utamnya. Apa-apa saja yang termasuk dalam etika
profesiona sudah tercantum dalam kode etik tenga kesehatan.
Salah satu yang termasuk dalam kode etik adalah nilai profesional.
Profesional berkaitan dengan tingkah laku dan menunjukkan keluhuran suatu
profesi. Beberapa perilaku yang dimaksud profesinal yaitu:
1. Keinginan yang tulus dalam perawatan kesehatan
Yang dimaksud dalam hal ini adalah keinginan melayani pasien,
keinginan
memiliki
pengetahuan
berkenaan
dengan
pengambilan
dan
prosedur
keselamatan
baru,
peralatan
baru,
dan
26
Bersih dalam hal ini adalah melindungi diri sendiri dari pasien dan
meyakinkan bahwa teknik yang steril, kebersihan individu serta tempat
kerja yang baik berpengaruh kepada keselamatan dan perawatan
kesehatan bermutu.
5. Kepuasan profesi dapat dicapai.
Kepuasan profesi dalam hal ini dapat dicapai dengan cara:
Peningkatan keterampilan dan pengetahuan professional secara
berkesinambungan.
Menyadari bahwa orang lain tergantung kepada keberhasilan kerja
flebotomis.
Menyadari bahwa keterampilan flebotomis berperan serta dalam
perbaikan pasien.
(Kahar, 2007).
27
BAB III
RADIOLOGI
PRINSIP RADIASI, KOMPLIKASI, DAN PERAN PERAWAT
A. Sejarah
Wilhem Cornad Roentgen adalah seorang profesor fisika dari
Universitas Wuzrburg, Jerman. Beliaulah oarang yang pertama kali
menemukan sinar-x. Saat itu beliau melihat timbulnya sinar fluoresensi yang
berasal dari Kristal barium platinosianida dalam tabung Crookes-Hittorf yang
dialiri listrik. Pada akhir tahun 1901 mendapat hadiah nobel atas penemuan
sinar-x tersebut.
Saat ini penggunan sinar-sinar radiasi di bidang kedokteran semakin
berkembang. Hal ini terlihat dari penggunaanya yang sudah mulai banyak
digunakan. Pada awalnya sina-sianr radiasi hanya digunakan untuk
melakukan terapi (radioterpi) pada penyakit-penyakit tertentu. Namun
sekarang penggunaannya saat itu juga sebagai diagnosti (radio-diagnostik)
untuk mengetahui penyakit tertentu yang dialami oleh seorang pasien.
Secara umum tujuan radiasi terbagi dua yaitu:
1. Radioterapi definitif
Merupakan bentuk pengobatan yang bertujuan untuk kemungkinan
bertahan hidup setelah pengobatan yang adekuat.
2. Radioterapi paliatif
Merupakan bentuk pengobatan dimana tidak ada lagi harapan untuk hidup
pasien untuk jangka panjang.
Selain itu kegunaan radioterapi adalah untuk mengobati, mengotrol dan
membantu mengurangi gejala, dan membantu pengobatgan lain terutama pada
pasien post operasi atau pasein dengan kemoterapi (Nana, 2008).
B. Terapi radiasi
Radioterapi adalah cara pengobatan yang menggunakan reaksi sinarsinar tertentu dengan panjang gelombang tertentu yang kemudian
menghasilkan rekasi pengion di dalam tubuh. Reaksi ion yang terjadi terjadi
akibat adanya radiasi cairan dan tubuh oleh sinar-sinar tersebut sehingga
menghasilkan ion H+ dan ion OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi
dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi:
1. Reaksi ganda DNA pecah.
28
C. Jenis-jenis
Sinar
yang
Digunakan
sebagai
Radioterapi
dan
Radiodiagnostik
Sinar-sinar yang digunakan dalam radipterapi adalah:
1. Sinar Alfa
Sinar alfa adalah sinar korpuskuler atau pertikel dari inti atom. Inti atom
terdiri dari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan
tidak banyak dipakai dalam radioterapi.
2. Sinar Beta
Sinar beta adalah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif
yang mempunyai energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5
mm. Digunakan untuk terapi lesi yang superfisial.
3. Sinar Gamma
29
Sinar gamma adalah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat
menembus tubuh. Daya tembusnya tergantung dari besar energi yang
menembus sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya,
makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya.
Radioisotop yang digunakan antara lain:
Calcium 137 : sinar gamma
Cobalt 60 : sinar gamma
Radium 226 : sinar alfa, beta, gamma
(Kirk dan Ribbans, 2004).
D. Jenis-jenis Radiodiagnostik
1. Radiografi Kinvensional
Jenis radiodiagnostik ini menggunakan sinar-x (Roentgen) dan
hasil pencitraanya berupa film. Pencitraan film menghasilkan sebuah
kontras waran hitam (kontras + atau radiopaque) dan putih (kontsa atau
radiolusent). Warna hitam terbentuk akibat sinar radiasi melewati udara
dan udara menyerap sinar radiasi tersebut sehingga terjadi pajanan pada
film secara maksimal dan menghasilkan warna hitam. Sementara itu,
warna putih terbentuk akibat sinar radiasi melewati bagian tubuh seperti
tulang yang menyebabkan sinar radiasi tersebut diserap oleh tulang
sehingga pajanan film menjadi minimal dan menghasilkan warna putih.
Keunggulan
Mudah, cepat, dan biaya relatif lebih murah.
Penyulit
Terkadang gambaran yang dihasilkan tidak terlalu jelas, karena
superposisi (tumpang-tindih) dengan organ lain. Untuk beberapa jenis
pemeriksaan, harus dilakukan dengan mengubah posisi pasien, agar
30
dengan
menggunakan
alat
Rontgen
biasa.
Dengan
(Klaustrofobi).
Pemakaian klinis
Dapat digunakan untuk melihat berbagai organ tubuh seperti tulang
tulang kepala, otak, jantung dan paru, perut, pada berbagai kasus
31
ruang sendi.
(Suswati dan Notosiswoyo, 2004).
4. USG (Ultrasonografi)
Pemeriksaan menggunakan gelombang suara/ultrasound untuk
mendeteksi kelainan kelainan di organ perut (hati, kandung empedu,
32
janin.
Terminologi yang digunakan
a. Isoechoic atau normoechoic, misalnya untuk hepar, lien, atau
ginjal yang normal.
b. Hypoechoic atau echopoor atau echoluscent, misalnya abses hepar
dan tumor uterus.
c. Hyperechoic atau echorich atau echodens misalnya batu ginjal dan
adanya kalsifikasi di suatu jaringan.
d. Unechoic atau echofree (hitam), misalnya urine, ascites dan darah.
E. Komplikasi
Penggunaan radioterapi merupakan sala satu solusi yang baik untuk
menyembuhkan dan mendeteksi penyakit-penyakit tertentu. Saat melakukan
radioterapi pasien tidak akan merasakan sakit sedikit pun tetapi efeknya
terasa setelah beberapa kali melakukan radioterapi tersebut. Penggunaan
radioterapi dengan perawatan paliatif dosis rendah, menyebabkan sedikit atau
tidak ada efek samping, walaupun rasa sakit jangka pendek terasa dalam harihari setelah perawatan karena untuk edema mengompresi saraf-saraf di
daerah yang dirawat. Sementara itu, perawatan untuk dosis yang lebih tinggi
menyebabkan berbagai efek samping selama pengobatan (efek samping akut),
bulan
atau
tahun-tahun
setelah
33
perawatan
(efek
samping
jangka
General
Badan terasa sakit
Depresi hemopotitik
Mual
Pusing
Muntah
Lokal
Erytema
Diskumulasi mukositis
Iritasi kulit
Mulut kering
Disuria
Lokal
Pigmentasi
Atrophy
Fibrosis
Nekrosis
Ulcerasi
Teleangectasis
34
35
Setelah radiasi
a. 2 minggu setelah radiasi
b. 1 bulan setelah radiasi
c. 3 bulan setelah radiasi; setelah 3 bulan radiasi dihentikan untuk
dilakukan check Lab. PA untuk mengetahui perkembangan
penyakitnya
d. 6 bulan setelah radiasi dan secara kontinu setiap 6 bulan sekali
(news-medical.net, 2013).
36
BAB IV
FARMAKOLOGI
FARMAKODINAMIKA OBAT
A. Pengertian Farmakodinamika
Farmakodinamika dalam ilmu farmakologi adalah ilmu yang berfokus
membahas dan mempelajari seputar efek obat-obatan itu sendiri di dalam
tubuh baik dari segi fisiologi maupun biokimia berbagai organ tubuh serta
mekanisme kerja obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh manusia.
Farmakodinamik juga sering disebut dengan aksi atau efek obat. Efek Obat
merupakan reaksi Fisiologis atau biokimia tubuh karena obat, misalnya suhu
turun, tekanan darah turun, kadar gula darah turun.
Pada farmakodinamik dikenal 2 variabel yan, yaitu variabel utama dan
variabel sekunder. Variabel utamanya adalah dosis, frekuensi dan lama
pemakaian obat. Sementara itu variabel sekundernya adalah kondisi pasien
(fisiologis,patologis, dan tingkat morbiditas). Kedua variabel ini berpengaruh
terhadap efek kerja obat dalam tubuh (Katzung dkk, 2009).
B. Mekanisme Kerja Obat
Keefektifan keja sebuah obat dapat dilihat dari mekanisme kerja obat
tersebut. Mekanisme kerja obat terjadi setelah obat tersebut berekasi di organ
tubuh dan di dalam tubuh itu sendiri. Reaksi obat di organ tubuh dan di dalam
tubuh dapat terjadi secara kimia dan fisik. Secara kimia obat misalnya adalah
Maagnesium Hidroksida atau antasida yang dapat meningkatkan asam
lambung dan menetralkan asam lambung secra kimia. Smentara itu secara
fisik misalnya diuretik osmotik (Magnesium sulfat), karena sifatnya yang
lambat sekali diresorbsi usus akan mengalami proses osmotik menarik air dari
sekitarnya sehingga terjadilah pembesaran feses di usus dan merangsang
dinding usus secara mekanis untuk mengeluarkan isinya.
Mekanisme kerja obat yang mendasari berbagai kerja obat adalah
menghambat atau mengaktifkan enzim tubuh sendiri, mempengaruhi proses
transpor, mempengaruhi biosintesis dalam mikroorganisme, efek osmotik,
37
Jenis Mekanisme
Pengaruh
a.Inhibisi enzim
Contoh
a.Penghambatan
terhadap enzim
asetilkorinesterase oleh
parasimpatomimetika
tak langsung
b.Aktivasi enzim oleh ion-
b.Aktivitas enzim
2.
Pengaruh
terhadap
on logam
a. Meningkatkan
a. Meningkatkan
proses
transpor
ketelapan
ketelapan membran
ion asetilkolin
b.Menurunkan ketelapan b.Menghambat aliran masuk
membran
c.Pengaruh
terhadap
mekanisme pembawa
transpor
terhadap
transpor aktif
oleh
dosis
toksis
3.
Pengaruh
terhadap
biosintetis dalam
mikroorganisme
Efek Somatik
5.
Pembentukan
oleh
nomifensin
a.Inhibisi sintetis dinding a.Kerja bakterisida dalam
sel bakteri
b.Gangguan
golongan penisillin
sintesis b.Kerja
bakteriostatik
4.
kembali
Kompleks
sulfonamida
a. Osmodiuretika
b. obat pencahar garam
a.Penghambatan pembekuan
darah oleh natrium sitrat
38
akibat
pembentukan
kalsium
berat
a.Netralisas asam lambung
Reaksi Netralisasi
oleh antasida
b.Meniadakan kerja heparin
oleh protamin sulfat
(Katzung dkk, 2009).
C. Reseptor Obat
Obat merupakan stuktur yang spesifik baik secara kimia ataupun
fisiknya, maka dari itu agar obat dapat bekerja dan menghasilkan efek perlu
adanya sebuah reseprot obat di dalam tubuh. Reseptor obat merupakan suatu
protein spesifik pada sel yg reseptif terhadap ligand/obat dengan spesifisitas,
afinitas dan selektifitas serta sensitifitas tertentu (khusus). Penyusun resptor
adalah protein yang terdiri dari tiga makromolekul yaitu, protein enzim,
protein struktural dan asam nukleat. Ketiga akan menyokong konsep reserptor
sebagai berikut:
a. Obat bekerja pada kadar yang rendah
b. Aktifitas obat mudah dipengaruhi dengan merubah struktur kimianya
c. Aksi menahan dan antagonis juga dipengaruhi oleh perubahan struktur
kimianya
Secara keseluruhan reseptor obat dapat digolongkan dalam 4 macam,
yaitu reseptor ion (Kanal Ion), reseptor second messenger generation (terikat
Protein G), reseptor protein kinase (Tyrosine Kinase), dan reseptor intraseler.
1. Reseptor Kanal Ion
Pada resepotor ion obat akan masuk bersamaan dengan
masuknya ion ke dalam tempat kerja obat tersebut. Reseptor ini juga
disebut juga sebagai reseptor ionotropik. Sementara itu pada reseptor
kanal ion, reseptor berupa suatu reseptor membrane yang langsung
terhubung dengan suatu kanal ion dan memperantarai aksi sinaptik yang
cepat. Contoh reseptor ion adalah Na+ dan Cl- dan contoh reseptor kanal
39
EA/EM
Sementara itu, aktifitas intrinsik (i.a) yang relatif maksimum dihasilkan
jika EA/EM=1. Agonis dengan i.a = 1 merupakan agonis sempurna.
Agonis masih bisa digolongkan menjadi 2 jenis sebagai berikut:
Agonis I
Agonis II
Mengikat reseptor yang sama dengan Mengikat reseptor yang sama dengan
reseptor endogenus ligand.
Efeknya
sama
dengan
ligand.
Contoh: morphine
ligand.
Ikatannya berbeda.
2. Antagonis
Merupakan senyawa yang menurunkan kerja obat karena
memblokir reseptor untuk berikatan dengan ligand sehingga agonis
tidak dapat masuk. Antagonis dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Antagonis kompetitif
Antagonis sama dengan agonis, berikatan dengan reseptor
tertentu. Senyawa ini memiliki aktifitas terhadap reseptor, tetapi
senyawa ini tidak mampu menimbulkan efek jika berikatan dengan
reseptor. Jadi, senyawa ini disebut sebagai antagonis kompetitif
karena bersaing dengan agonis untuk berikatan dengan reseptor
yang sama dan masing-masing dapat mengusir yang lain dari
reseptor akibat kenaikan konsentrasi dari salah satu senyawa.
b. Antagonis tidak kompetitif
Senyawa ini mampu melemahkan kerja agonis denga cara
yang berbeda. Senyawa ini juga menyebabkan perubahan
konformasi makromolekul dan karena itu kondisi untuk agonis pada
tempat reseptornya berubah atau dapat diartikan bahwa reseptor
yang diikat oleh agonis sekarang bukan reseptor yang seharusnya.
Kemungkinan lain dari penghambatan tak kompetitif adalah bahwa
proses yang sedang berlangsung dipengaruhi setelah pembentukan
kompleks obat reseptor. Pada konsentrasi yang rendah senyawa ini
dapat menjadi antagonis kompetitif. Suatu antagonis tak kompetitif
yang khas adalah papaverin.
41
c. Antagonis fungsional
Fungsional jika antagonis ini sebagai agonis melalui
efeknya yang berlawanan menurunkan kerja suatu agonis kedua,
yang bekerja pada sistem sel yang sama tapi berikatan dengan
reseptor yang berbeda. Contohnya, antagonisme antara senyawa
kolinergik atau senyawa histaminergik dan obat -andrenergik pada
otot bronkhus.
d. Antagonis kimia
Merupakan senyawa yang bereaksi secara kimia dengan zat
tertentu dan dengan demikian akan menginaktifkannya pula, serta
tidak bergantung pada reseptor. Hasil utama antagonisme kimia
adalah penurunan konsentrasi zat tertentu dalam biofase.
Antagonis bisa digolongkan menjadi 2 tipe sebagai berikut:
Antagonis I
Antagonis II
Menghalangi ikatan antara reseptor dan Menghalangi ikatan antara reseptor dan
agonis dalam 1 sel saja.
Reseptor + Antagonis I + Agonis
Efek yang ditimbulkan adalah sama yaitu menghambat atau menghalangi efek
kerja obat.
Selain itu reseptor juga masih bisa digolongkan bnerdasarkan sifat
spesifitas dan selektifitasnya. Pengolongan tersebut adalah sebagai berikut:
No
Keterangan
.
1.
Selektifitas
Spesifik
2.
Tidak spesifik
Selektif Spesifik
3.
saluran nafas
Satu obat hanya mempengaruhi satu jenis
42
tempat
reseptornya berbeda-beda.
Dapat menimbulkan efek samping.
(Katzung dkk, 2009).
D. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interkasi yang terjadi antara obat
dengan obat dimana obat tersebut dapat memiliki efek yang sama, antagonis,
atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena
adanya kompetisi reseptor atau terjadi antara obat-obata yang bekerja pada
sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari
pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (Katzung dkk,
2009).
Berikut ini merupakan interaksi farmakodinamk, yaitu:
1. Interaksi aditif atau sinergis
Interaksi ini terjadi ketika 2 obat yang memiliki efek farmakologis
yang sama diberikan secara bersaman sehingga efeknya bisa menjadi efek
aditif. Pada keadaan tertentu efek aditif menyebabkan toksik (misalnya
aditif
ototoksisitas,
nefrotoksisitas,
depresi
sumsum
tulang
dan
secara
bersamaan.
Contohnya
adalah
kumarin
dapat
Efek kerja obat yang dapat diperkirakan adalah efek utama obat (efek
trapeutik), efek farmakologi yang berlebihan (efek toksik)., gejala
penghentian obat, dan efek yang bukan efek utama obat (efek samping).
Sementara itu, efek kerja obat yang tidak diperkirakan adalah efek alergi, dan
reaksi idiosinkratik (Katzung dkk, 2009).
1. Efek kerja obat yang dapat diperkirakan
a. Efek utama obat (efek trepeutik).
Efek ini disebut juga sebagai efek primer, dimana respon
fisiologis obat yang diharapkan atau yang diperkirakan timbul. Efek ini
bersifat memberikan terapi bukan menimbulkan adanya efek samping
kepada pasien. Jadi, pemberian obat yang sesuai dengan dosis dan
keadaan pasien akan memeberikan efek terapi.
b. Efek famakologi yang berlebihan (efek toksik).
Efek ini dapat disebabkan karena dosis relatif yang diberikan
terlalu berlebihan untuk pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat
terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya
perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok
tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan
faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, dan genetik, sehingga
sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif
terlalu besar pada pasien-pasien tertentu. Selain itu efek ini juga bisa
terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar
obat yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih
besar.
c. Gejala penghentian obat (withdrawal syndrome).
Gejala penghentian obat adalah reaksi pembalikan terhadap
efek farmakologik obat sehingga dapat menyebabkan munculnya
kembali gejala penyakit semula. Gejala ini terjadi selama proses
adaptasi tingkat respeptor, dimana adaptasiini menyebabkna toleransi
terhadap
farmakologi
obat
sehingga
pasien
umumnya
akan
44
demam.
Berat; anaphilaksis, ganggnuan sister pernafasan, dan gangguan
45
46
BAB V
MIKROBIOLOGI DAN PARASITOLOGI
PENGENDALIAN MIKROBA
A. Tujuan Pengendalian Mikroba
Tujuan utama dari pengendalian mikroba adalah untuk mencegah
terjadinya penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada
inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh
mikroorganisme. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
melakukan sterilisasi, desinfeksi, teknik aseptik, dan yang lainnya. Namun
cara yang paling mudah adalah dengan melakukan cuci tangan bersih
sebelum dan sesudah melakukan tindakan medis ataupun kegiatan sehari-hari
pada umunya adalah sebelum makan (Pelczar, 2005).
Pengendalain mikroba sangat perlu dilakukan terutama pada aplikasi
klinik, laboratorium mikrobiologi, dan industri. Pertama, pada aplikasi klinik
bertujuan unutk mencegah penyebaran infeksi pada komunitas maupun di
rumah sakit. kedua, pada laboratorium mikrobiologi bertujuan untuk
mencegah komunitas mikroba dari peralatan dan medium kultur dari
meikroba yang tidak diiginkan. Sementara itu, pada industri pengendalian
mikroba bertujuan untuk mencegah dekomposisi obat, makanan, dan untuk
mensterilkan peralatan medis (Pelczar, 2005).
B. Istilah dalam Pengendalian Mikroba
Berikut ini merupakan istilah yang sering digunakan dalam pegendalian
mikorba:
1. Sterilisasi
Adalah destruksi atau penghancuran atau penghapusan semua organisme
yang layak dari sebuah benda atau dari lingkungan tertentu. Destruksi ini
dilakukan dari semua bentuk mikroba dan endospora. Cara yang paling
umum adalah dengan mealkukan pemanasan.
2. Disinfeksi
Adalah pembunuhan, penghambatan, atau penghapusan mikroorganisme
patogen (biasanya pada benda mati). Desinfeksi bertujuan untuk merusak
47
jenis
organisme
yang
bersangkutan
(misalnya,
bakteriostatik, fungistatic).
(Kusnadi dkk, 2003).
C. Keadaan yang Mempengaruhi Pengerndalian Mikroba
1. Jumlah mikroba
Populasi populasi ukuran lebih besar membutuhkan waktu lebih lama
untuk membunuh dari populasi yang lebih kecil.
2. Sifat mikroba
Populasi terdiri dari spesies yang berbeda atau sel pada tahap
perkembangan yang berbeda (misalnya, endospora versus sel vegetatif
atau sel muda versus sel tua) berbeda dalam kepekaan mereka untuk
berbagai agen. Jadi, metoda pengendalian mikroba yang digunakan harus
sesuai dengan sifat dari endospora, vegetatfi, dan sifat kima atau fisiknya.
3. Konsentrasi
Intensitas konsentrasi antimikroba agen-tinggi atau intensitas umumnya
lebih efisien, tetapi hubungan ini tidak linier.
4. Durasi paparan-paparan
Semakin lama, semakin besar jumlah organisme mati. Namun, akan
dibutuhkan waktu yang lama pula untuk membunuh mikroba yang
resisten/endospora.
5. Suhu
Suhu yang lebih tinggi biasanya akan (tetapi tidak selalu) meningkatkan
efektivitas membunuh.
6. Faktor lingkungan
48
dalam
pengendalian
mikroba
dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu metode pengendalian secara fisik dan kimia.
Pada metoda pengendalian mikroba secara fisik perlakuannya dengan
menggunakan suhu (pemanasan basah dan pemanasan kering), flitrasi,
radiasi, pengeringan, dan tekanan osmose. Sementara itu, pada metode
pengendalian mikroba secara kimia perlakuannya menggunakan bahan-bahan
kima (Pelczar, 2005).
Metode pengendalian mikroba secara fisik efek yang ditimbulakn harus
lebih ditujukan kepada objek yang disterilkan dari mikroba. Oleh karena hal
ersebut maka pertimbangan pemilihan metode dan pertimbangn ekonomis
juga harus diperhatikan. Berikut ini merupakan metode pengendalian mikorba
secara fisik:
1. Pemanasan Basah
Pemanasan basah merupakan pemanasan yang berkontak
langsung dengan air, dimana proses pengendalian mikorba menggunkan
uap air. Kematian mikroba pada metode ini dikarenakan proses koagulase
dari protein mikroba sehingga menyebabkan putusnya ikatan hidrogen
yang mempertahankan struktur tiga dimensi dari protein tersebut.
a. Pemanasan/Pendidihan
Proses ini menggunakan suhu uap 100oC pada tekanan 1 atm.
Metode ini akan membunuh vegetatif bakteri patogen, viru, dan jamur
49
50
sampai
berpijar
merah.
Biasanya
digunakan
untuk
51
Sinar beta
sinar X.
Sinar gamma : Kekuatan radiasinya besar dan efektif untuk
UV
(260
nm)
dan
sinar
UV
akan
merusak
DNA
adanya
ikatan
antara
thymin
replikasi
DNA
52
5. Suhu Rendah
a. Suhu Refigerator
Suhu refigrator adalah 0oC 7oC, dimana pada suhu tersebut
metabolisme mkroba akan ditekan sehingga miroba tidak tumbuh dan
berkembang dengan cepat (Pelczar, 2005).
b. Suhu Subfreezing
Suhu sunbfreezing berada di bawah 0oC, yaitu dengan suhu
milai dari -20oC sampai -195oC. Pada suhu ini mikroba akan dormant
tetapi tidak membunuh mikroba tersebut (Pelczar, 2005).
6. Pengeringan
Metode ini dilakukan tidak menggunakan air. Prinsipnya
menyebabkan mikroba tidak dapat tumbuh dan tidak dapat merkemang
biak namun mikroba masih tetap hidup. Salah satu metode pengeringan
adalah Lyophilization yang berfungsi unutk mengawetkan mikroba
(Pelczar, 2005).
7. Tekanan Osmose
Metode ini menggunaka konsentrasi tinggi dari gula atau garam
yang memiliiefek mengawetkan. Efek mengawetkan tersebut akan
mejadikan lingkungan hipertonis yang menyebabkna air keluar dari dalam
sel mikroba dan menyebabkan membran plasma lisis atau plasmo lisis.
Metode ini biasanya digunakan untuk mengawetkan makanan (Pelczar,
2005).
Metode selanjutnya yang digunakan adalah metode kimia. Bahan
kimayang digunakan memiliki agan kima yang memiliki kemampuan untuk
membunuh mikroba secara cepat dengan dosis yang rendah tanpa merusak
bahan atau alat disinfeksi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
efektivitas agen kimia di dalam mengendalikan mikroba, yaitu
(Pelczar,
2005):
a. Konsentrasi agen kimia yang digunakan.
Semakin tinggi konsentrasinya maka efektivitasnya semakin meningkat.
b. Waktu kontak.
Semakin lama bahan tersebut kontak dengan bahan yang disterilkan
maka hasilnya akan semakin baik.
c. Sifat dan jenis mikroba.
Mikroba yang berkapsul dan berspora lebih resisten dibandingkan yang
berkapsul dan berspora.
d. Adanya bahan organik dan ekstra.
53
denaturasi
protein
dan
formaldehid.
Prinsip
tindakannya
adalah
mengoksidasi
54