Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Sesak napas atau dispnea ialah pernapasan yang abnormal dengan ciri pernapasan
tidak menyenangkan, sukar, dan penderita menyadari akan pernapasanya. Sifat dan kualitas
sesak napas yang dirasakan bisa berbeda-beda pada setiap orang tergantung dari
penyebabnya. Keluhan sesak napas dapat timbul pada penderita dengan penyakit jantung,
penyakit paru, maupun penyakit lainnya seperti gagal ginjal yang menyebabkan asidosis
metabolik dan juga anemia yang sudah berlangsung kronis. Pada umumnya, penyakit yang
dapat menyebabkan hipoksemia (kekurangan O2 di dalam darah), hiperkapnia akut (kelebihan
CO2 dalam darah), dan acidemia (peningkatan kadar asam di dalam darah) dapat
menstimulasi pusat pernapasan di otak melalui serabut efferen. Bila rangsangan untuk
bernapas meningkat sedangkan organ yang terkait dalam proses pernapasan yaitu paru-paru,
saluran pernapasan, dan otot-otot pernapasan tidak dapat mengimbangi rangsangan tersebut
(misalnya paru tidak dapat berkembang dengan sempurna atau terdapat obstruksi pada
saluran napas), maka dapat timbul keluhan sesak napas.
Sebelum mencari penyebab pasti yang mendasari terjadinya sesak napas, sesak napas
perlu diatasi terlebih dahulu untuk mencegah komplikasi yang dapat timbul akibat oksigenasi
yang tidak adekuat. Dalam hal ini penting dilakukan penilaian/evaluasi terhadap airway,
breathing, dan circulation dan tindakan life-saving berdasarkan hal-hal yang ditemukan pada
evaluasi tersebut.
BAB II
SKENARIO KASUS
Lembar I
Seorang laki-laki 24 tahun dibawa ke UGD rumah sakit dalam keadaan sesak napas.
Penderita terlihat pucat dan kebiruan. Nadi teraba cepat dan lemah.
Lembar 2
Satu jam sebelum ke UGD, penderita mengalami kecelakaan lalu lintas. Sewaktu naik
sepeda motor dengan kecepatan tinggi, penderita bertabrakan dengan sepeda motor lain,
sehingga dada kanan terbentur setang sepeda motor. Penderita sadar penuh dan tidak pernah
pingsan, tidak mual dan tidak muntah. Penderita mengalami nyeri di dada, dada seperti
ditekan, napas cepat dan dangkal. Suara napas di hemithorax dextra menghilang.
Lembar 3
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Status Pasien
3.1.1
Identitas Pasien
3.1.2
Nama
:-
Umur
: 24 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Status Pernikahan
:-
Agama
:-
Pekerjaan
:-
Alamat
:-
Asal
:-
Pendidikan terakhir
:-
Tanggal berobat
:-
Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
o Keluhan Utama
o Keluhan Tambahan
:-
Riwayat Alergi
:-
:-
Riwayat Pengobatan
:-
Riwayat Kebiasaan
:-
3.1.3
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
1. Tanda vital
a. Nadi
:-
b. Tekanan darah
:-
c. Pernapasan
:-
d. Suhu
:-
2. Pengukuran
a. Berat badan
:-
b. Tinggi badan
:-
3. Status mental
a. Kesadaran
:-
b. Kesan sakit
:-
c. Penampilan pasien
:-
4. Kulit
:-
b. Mata
:-
c. Telinga
:-
d. Hidung
:-
e. Mulut
:-
7. Leher
a. Kelenjar thyroid
:-
b. Trachea
:-
:-
d. Arteri carotis
:-
8. Thorax
a. Jantung
b. Pulmo
9. Abdomen
a. Hepar
:-
b. Lien
:-
c. Bising usus
:-
d. Ascites
:-
10. Urogenital
11. Genitalia eksterna
12. Anus dan rectum
13. Ekstremitas
3.1.4
Pemeriksaan Penunjang
3.1.5
Diagnosis Banding
3.1.6
Penatalaksanaan
3.2
3.2.1
pasien) berupa rasa tidak nyaman, nyeri atau sensasi berat, selama proses pernapasan. Pada
sesak napas, frekuensi pernapasan meningkat di atas 24 kali per menit. Oleh karena itu harus
dicari penyebab awal dan segera diatasi. Macam-macam pola pernapasan serta definisinya
terdapat pada tabel berikut:
Pola Pernapasan
Agonal
Deskripsi
Pernapasan yang mengenggap-enggap dengan frekuensi rendah dan
jarak antara pernapasan panjang. Pola pernapasan agonal biasa
didapati pada orang-orang yang akan meninggal, akibat impuls
neurologis yang tidak normal. Kadang juga didapati pada pasien
tanpa denyut nadi.
Ketika pusat pneumotaxic
Apneustic
di
otak
rusak,
pusat
apneustic
pernapasan ataxic
Bradypnea
Central
neurogenic
hyperventilation
Pernapasan
Cheyne-Stokes
Batuk
berkurang.
Ekspirasi paksa melawan glottis tertutup, merupakan suatu airwayclearing maneuver. Dapat terlihat ketika zat asing mengiritasi saluran
Cegukan (hiccup)
Hiperpnea
Hipopnea
Pernapasan
Kussmaul
Mendesah
(sighing)
Tachypnea
Central
neurogenic
dalam).
Menguap tampaknya mempunyai cara yang sama dengan mendesah
(sighing).
3.2.2
Pada gagal jantung yang lebih berat sesak juga terjadi bila berbaring
(orthopnea), langsung menghilang bila duduk atau berdiri ( < 5-10 menit). Bila
gejala ini berat disebut dypsneu nocturnal paroksisimal. Sering disertai edema
tungkai bawah, membaik pada pagi hari dan memburuk pada malam hari.1
Kelainan atau Penyakit Pada Saluran Pernapasan
Sesak napas karena kelainan saluran pernapasan paling sering ditemukan pada
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Penyakit ini disebabkan oleh proses
peradangan paru dan ditandai dengan gangguan aliran udara dalam saluran
pernapasan yang bersifat irreversible (tidak dapat kembali kekeadaan semula). Gejala
lain yang menyertai adalah batuk lama (kronik) yang berdahak.
Sesak napas pada asma muncul saat saluran pernapasan (bronkus) mengalami
peradangan dan menyempit. Gejalanya berupa sesak napas yang disertai bunyi napas
tambahan yang tidak normal seperti suara bersiul yang kasar, biasa disebut mengi
(wheezing). Gejala lainnya adalah batuk dan nyeri dada. Orang yang mempunyai
riwayat asma dalam keluarga memiliki resiko tinggi untuk menderita penyakit ini.
Penyakit infeksi saluran pernapasan seperti pneumonia dan TBC sering disertai
dengan gejala sesak napas. Selain itu pasien juga akan mengalami demam, batuk,
nyeri dada, dan badan lemas.
Emboli Paru, penderita tiba-tiba sesak, onset mendadak, terjadi pada orang yang
memiliki faktor predisposisi (imobilisasi, obesitas). Biasanya disertai nyeri pleuritik.
Pneumothoraks, ditandai oleh nyeri dada yang mendadak, disertai sesak.
Penyakit parenkim paru (pneumonitis/fibrosis interstisialis), ditandai oleh adanya
sesak saat aktivitas dan, bila berat terjadi juga saat istirahat tanpa adanya mengi.
Tidak seperti penyakit jantung, sesak tidak berhubungan dengan posisi tubuh.
Lain-lain
Pada gangguan saluran pencernaan bagian atas yaitu Gastro-Esophageal Reflux
Disease (GERD) dan dyspepsia, dapat terjadi keluhan sesak napas. Peningkatan
asam lambung yang kemudian naik dan masuk ke esophagus (kerongkongan),
menimbulkan rasa sakit dan nyeri terutama saat bernapas pada pasien penderita
GERD. Sesak napas pada dyspepsia timbul karena perut yang terisi penuh oleh gas
dan angin menyebabkan rasa kembung dan begah sehingga diafragma (otot pemisah
antara rongga dada dan perut) terdesak ke arah rongga dada.2
Pada kelainan ginjal, sesak napas terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
asam-basa yang menyebabkan darah menjadi lebih asam (asidosis). Penggunaan obatobatan diperlukan dan dilanjutkan dengan mengurangi cairannya. Kadang pasien
diharuskan pula untuk melakukan cuci darah. Pada diabetes, sesak napas terjadi
karena komplikasi asidosis diabetes. Darah menjadi asam sehingga tubuh
mengkompensasi dengan cara napas yang dalam dan cepat untuk mengeluarkan asam
di dalam darah. Pernapasan seperti ini disebut pernapasan kussmaul. Pengobatan
yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan cairan yang cukup, memperbaiki
kadar gulanya dan mengurangi kadar asam basa darah.
Obesitas, apabila obesitas berat bisa menyebabkan sesak napas, baik saat aktivitas
maupun saat berbaring (orthopnea, disebabkan oleh pembelatan diafragma). Emboli
paru, gagal jantung, dan apnea obstruktif saat tidur lebih sering terjadi pada orang
dengan obesitas.
Anemia, apabila Hb kita menurun di bawah batas tertentu, tubuh kita mencoba
mengatasinya dengan meningkatkan denyut jantung kita. Ketika jantung kita berdetak
lebih cepat, hal ini memungkinkan lebih banyak darah dan oksigen yang dialirkan ke
seluruh tubuh. Paru kita juga dapat menyebabkan kita bernapas lebih cepat untuk
membawa oksigen ke tubuh kita. Pembuluh darah tertentu mengembang untuk
memungkinkan lebih banyak darah yang mengandung oksigen masuk ke dalam
jaringan. Pembuluh darah lain berusaha untuk menutup, untuk menyimpan oksigen.
Pengalihan darah semacam ini dapat menyebabkan kulit kita tampak pucat dan dingin
saat disentuh. Tetapi hal ini memungkinkan tubuh kita untuk menyediakan oksigen ke
organ yang lebih penting. Dengan kegiatan yang meningkat, tubuh kita membutuhkan
lebih banyak oksigen sehingga mengakitbatkan kelelahan, kelemahan, jantung
berdebar, sesak napas, dan gejala lain.
Keracunan, setiap keadaan yang menunjukkan kelainan multisistem dengan
penyebab yang tidak jelas harus dicurigai kemungkinan keracunan. Misalnya bila
ditemukan penurunan tingkat kesadaran mendadak, gangguan napas (sesak napas),
manifestasi berat pada pasien psikiatri, sakit dada pada anak remaja, aritmia yang
mengancam nyawa, atau gejala klinis pada pekerja dengan lingkungan kerja yang
mengandung bahan kimia, asidosis metabolik yang sukar dicari penyebabnya, tingkah
laku aneh, atau pun kelainan neurologis dengan penyebab yang sukar diketahui.3
3.2.3
Pada gagal jantung kiri menyebabkan pengumpulan cairan di dalam paru (edema
pulmoner), yang menyebabkan sesak nafas yang hebat. Pada awalnya sesak nafas hanya
terjadi pada saat melakukan aktivitas, tetapi sejalan dengan memburuknya penyakit, sesak
nafas juga akan timbul pada saat penderita tidak melakukan aktivitas. Kadang sesak nafas
terjadi pada malam hari ketika penderita sedang berbaring, karena cairan bergerak
kedalam paru-paru. Penderita sering terbangun dan bangkit untuk menarik nafas atau
mengeluarkan bunyi mengi. Duduk menyebabkan cairan mengalir dari paru-paru
sehingga penderita lebih mudah bernafas. Untuk menghindari hal tersebut, sebaiknya
penderita gagal jantung tidur dengan posisi setengah duduk. Pengumpulan cairan dalam
paru-paru yang berat (edema pulmoner akut) merupakan suatu keadaan darurat yang
memerlukan pertolongan segera dan bisa berakibat fatal.4-5
sesak napas.4-5
Mekanisme Sesak Nafas Pada Gagal Ginjal
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan
menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR ) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan
peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein
dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke
otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada
neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat.
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara
normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan
meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan
cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume
cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya
fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H +)
yang berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya
anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit
terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas.4-5
3.3
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernafas dan merupakan gejala utama dari
penyakit kardiopulmonal. Seseorang yang mengalami dispnea sering mengeluh nafasnya
menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak nafas termasuk juga penggunaan
otot-otot pernafasan tambahan yaitu otot strenocleidomastoideus, scalenus, trapezius,
pectoralis mayor, disertai dengan pernafasan cuping hidung, tacypnea, dan hiperventilasi.
Namun yang perlu diketahui sesak nafas tidak selalu sebagai tanda dari penyakit, pada orang
normal akan mengalami hal yang sama setelah melakukan aktivitas fisik dalam tingkattingkat yang berbeda.
Sesak nafas merupakan gejala yang paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan
trakeobroncial, parenkim paru, dan rongga pleura. Sesak nafas biasanya dikaitkan dengan
penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernafasan akibat meningkatnya resistensi
elastik paru (pneumonia, atelektasis) atau pada penyakit jalan nafas obstruktif dengan
meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (asma, bronkitis). Adapun skala dispnea dari
Brooks SM, chairman: ATS (American Thoracsic Society) News 1982:
Tingkat
Derajat
Kriteria
Normal
Ringan
Sedang
Berat
Sangat
berat
Selain itu terdapat beberapa varian gejala umum dispnea diantaranya adalah orthopnea adalah
nafas pendek yang terjadi pada posisi berbaring, penyebab tersering adalah gagal jantung
kongestif akibat peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring.
Dispnea nocturna proksimal menyatakan timbulnya dispnea pada malam hari dan
memerlukan posisi duduk segera untuk bernafas, penyebabnya sama dengan orthopnea.
Pada kasus ini, berdasarkan data berupa sesak nafas dapat diambil beberapa hipotesis dimana
dibagi menjadi gangguan jantung berupa penyakit jantung kongestif, penyakit valvular dan
gangguan pada paru seperti asma bronchial, PPOK, emboli paru, efusi pleura,
pneumothoraks.
Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami sianosis. Sianosis adalah
warna kebiru-biruan pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah
absolut Hb tereduksi (Hb yang tak berikatan dengan O 2). Sianosis dapat tanda insufisiensi
pernafasan, meskipun bukan merupakan tanda yang dapat diandalkan. Terdapat dua jenis
sianosis yaitu sianosis central dan perifer. Sianosis sentral disebabkan oleh insufisiensi
oksigenasi Hb dalam paru, dan paling mudah diketahui pada wajah, bibir, cuping telinga,
serta bagian bawah lidah. Sianosis biasanya belum dapat diketahui sebelum jumlah absolut
Hb tereduksi mencapai 5 gr per 100 ml atau lebih pada seseorang dengan konsentrasi Hb
yang normal (saturasi oksigen (SaO2) kurang dari 90%). Jumlah normal Hb tereduksi dalam
jaringan kapiler adalah 2,5 gr per 100 ml.
Selain sianosis yang disebabkan oleh insufisiensi pernafasan (sianosis sentral), akan terjadi
sianosis perifer apabila aliran darah banyak berkurang sehingga sangat menurunkan saturasi
darah vena, dan akan menyebabkan suatu daerah menjadi biru. Sianosis perifer bisa terjadi
akibat insufisiensi jantung, sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh darah
akibat suhu yang dingin.
Sehingga pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi sianosis, namun untuk
memastikan terjadi sianosis sentral atau perifer belum dapat ditegakan karena data yang
kurang jelas dimana warna biru dan pucat terlihat dan belum dapat disimpulkannya yang
menjadi dasar penyebab sianosis terjadi baik penyakit paru atau jantung.
Berdasarkan data ini kemungkinan terjadi sebagai akibat sesak nafas yang diderita pasien ini.
Dimana pada keadaan sesak nafas terjadi akibat gangguan ventilasi dapat berupa hiperkapnia
Kemungkinan adanya trauma pada paru maupun plura. Trauma ini nantinya dapat
menyebabkan perdarahan pada pasien dan perdarahan akan menumpuk di dalam rongga
pleura dan menjadi hematothorax. Namun, bisa juga trauma menyebabkan adanya suatu one
way valve yang menyebabkan udara dapat masuk ke dalam rongga pleura, namun tidak bisa
keluar.
Tidak ada trauma pada kepala, pada trauma kapitis, bisa terjadi penurunan kesadaran.
Tidak ada trauma pada kepala, pada trauma kapitis bisa menyebabkan peningkatan tekanan
intra kranial yang dapat menyebabkan gejala sistemik.
Nyeri di dada
Nyeri pada dada kemungkinan di karenakan oleh adanya rangsangan nyeri pada pleura
parietalis, yang bisa di sebabkan oleh adanya penambahan cairan atau udara di dalam rongga
pleura, pada hematothorax maupun.
Terjadi akibat adanya cairan ataupun udara yang berlebihan di dalam rongga pleura. Pada
tension pneumothorax, gejala seperti ini dapat berlanjut secara progresif.
Pernapasan cepat adalah suatu kompensasi yang di alami oleh tubuh, akibat sesak napas yang
di derita pasien setelah mengalami trauma untuk mendapatkan suplai oksigen yang tetap
adekuat. Pernapasan dangkal, di karenakan adanya rangsang nyeri pada pasien dimana
pernapasan dalam akan menambah rasa nyeri.
Dapat terjadi pada pneumothorax dan hematothorax, dimana terjadi adanya halangan yang
terjadi pada pleura, berupa darah maupun udara yang menyebabkan suara napas tidak dapat
di dengar pada pemeriksaan auskultasi thorax.
3.4
setiap hari di pada bagian kegawat daruratan (emergency department). Tujuan dari
manajemen jalan napas adalah: 1.menilai jalan napas bebas atau tidak, dan 2.menilai apakah
ada obstruksi atau tidak pada jalan napas. Obstruksi jalan napas, sebagai contoh sederhana
ialah seperti pangkal lidah yang jatuh ke dalam saluran napas atau komplikasi dari
angioedema, benda asing, atau luka tembak rahang atas. Obstruksi jalan napas menyebabkan
hipoksia dan hiperkapnia yang mengakibatkan kematian otak jika tidak ditangani dalam
waktu 5 menit.7, 8, 9
Algoritma pada manajemen jalan napas (airway management) adalah sebagai berikut:
1.
kepada pasien (misalnya saja bertanya Apakah bapak /ibu baik-baik saja?). Rangsang
nyeri, yaitu dengan membuat rangsang nyeri pada bagian tubuh pasien. Bila terdapat
koma atau stupor, mungkin gangguan berasal dari saluran pernapasan (hiperkapnia atau
hipoksemia), karena obat-obatan, atau gangguan pada sistem saraf. Penurunan
kesadaran menunjukkan adanya obstruksi saluran napas, aspirasi pada saluran napas,
atelektasis, atau pneumonia. Tidak adanya refleks muntah dan atau tidak dapat
2.
Deskripsi
Menunjukkan adanya obstruksi saluran napas lengkap.
Suara abnormal yang bernada tinggi. Biasanya terdengar saat
inspirasi. Menunjukkan adanya obstruksi terutama pada saluran
Suara serak
(hoarseness)
Wheezing
Suara dengkur
(snoring)
obstruksi bronkiolus.
Menunjukkan adanya obstruksi faring. Contoh sederhana
biasaya adalah lidah yang jatuh ke belakang dan menutup jalan
Crackles/rales
napas.
Bunyi napas
Gurgling
Ronki
bagian atas
Suara bernada rendah (seperti suara mendidih/ bubbling, karena
akumulasi
abnormal
cairan
yang
dalam
memiliki
yang
kualitas
lebih
derak
besar
Batuk
Deskripsi
Barking cough
Indikasi adanya proses patologis subglottic seperti croup.
Brassy cough
Hasil dari penyakit trakeobronkial.
3.
sianosis. 9
Bersihkan jalan napas:
Setelah menilai jalan napas, apabila ada sumbatan, sumbatan yang ada dikeluarkan
4.
mengendus,
atau
posisi
dekubitus lateral, dapat memperbaiki hambatan saluran napas bagian atas. Posisi
mengendus dicapai dengan cara meregangkan tulang belakang leher sekitar 15
derajat dan memperluas sendi atlanto-occipital maksimal. Posisi ini juga dapat dicapai
dengan mengangkat dagu (chin lift) dan/atau maneuver rahang-dorong (jaw thrust).
Apabila curiga adanya fraktur cervical, posisi mengendus ini dapat dicapai dengan
5.
6.
Chin lift
Jaw thrust
Mayoritas obstruksi jalan napas terjadi di faring. Selain posisi yang tepat, kita dapat
menggunakan berbagai bantuan untuk mengatasi obstruksi pada situs ini dan memfasilitasi
ventilasi efektif. Perangkat yang paling sering digunakan adalah oropharingeal tube dan
nasopharingeal tube. Apapun perangkat yang dipilih, penting untuk menempatkanya pada
saluran napas yang cukup besar untuk menjembatani daerah jaringan lunak pada faring.
a) Nasopharingeal tube
Nasofaringeal tube adalah karet lembut atau tabung plastik yang dimasukkan melalui
lubang hidung ke dalam orofaring, tepat di atas epiglottis. Saluran udara nasofaring
tersedia dalam berbagai ukuran Semakin besar diameter bagian dalam, semakin
panjang tabung. Setelah diposisikan, nasofaringeal tube lebih nyaman bagi pasien
daripada orofaringeal tube tetapi nasofaringeal tube membawa resiko signifikan
dimana penempatanya dapat mengakibatkan epistaxis. Ukuran 30 atau 32 French
airway yang paling sesuai untuk orang dewasa.
Nasofaringeal tube dapat dengan aman ditempatkan pada pasien sadar, setengah
sadar, atau tidak sadar. Alat ini juga dapat digunakan ketika sebuah orofaringeal tube
tidak dapat ditempatkan (bila terdapat trauma lisan, kawat gigi, kejang, trismus, dll).
Dalam melakukan pemasangan alat ini penting untuk juga melakukan jaw thrust
dan/atau chin lift untuk mencegah lidah menghalangi jalan napas. Teknik pemasangan
nasofaringeal tube merupakan proses yang cepat dan dijelaskan sebagai berikut:
1) Pilih ukuran yang sesuai.
2) Tempatkan ujung tube yang melebar dekat ujung hidung pasien.
3) Ujung distal nasofaring tube harus pada canalis auditorius eksterna.
4) Berikan water-soluble lubricant (pelumas) atau anestesi jelly. Jika tidak ada
kontraindikasi diberikan vasokonstriktor ke mukosa hidung pasien.
5) Masukkan dengan lembut nasofaringeal tube dengan ujung miring terhadap
septum hidung. Hal ini akan mencegah ujung dari alat terperangkap oleh
concha media atau concha dan menyebabkan epistaksis.
b) Oropharingeal tube
Orofaringeal tube adalah perangkat
plastik
setengah
lingkaran
yang
mudah
nasofaring
ditempatkan
tube.
daripada
Orofaringeal
tube
hanya digunakan pada pasien tidak sadar. Alat ini mungkin mengakibatkan
laryngospasm dan muntah jika ditempatkan pada pasien yang sadar atau setengah
sadar. Ukuran 8.0, 9.0, atau 10.0 cm dapat digunakan untuk kebanyakan orang
dewasa.
Penyisipan orofaringeal tube adalah prosedur cepat dan sederhana:
1) Pilih ukuran yang sesuai jalan napas orofaringeal. Ukuran yang benar
diperkirakan dengan menempatkan tube di samping mulut pasien.
2) Ujung distal harus berada tepat di atas sudut mandibula. Bersihkan mulut dan
orofaring dari benda asing apapun (darah, sekret, atau muntah) dengan kateter
suction Yankauer.
3) Buka rahang pasien dengan tangan kiri. Pisahkan gigi dengan aksi "seperti
-gunting" ibu jari pada gigi yang lebih rendah dan indeks atau jari tengah pada
gigi atas.
Pemasangan
orofaringeal
tube
atas. Jika
pisau
lidah
digunakan,
orofaringeal
tube juga
dapat
dimasukkan
Ketika tidak mampu untuk ventilasi pasien yang tidak responsif dengan metode basic life
support, intubasi diperlukan. Intubasi adalah cara yang paling pasti mengamankan jalan
napas pasien. Intubasi melibatkan tabung ET melalui pembukaan glottic dan penyegelan
tabung dengan cuff dalam keadaan inflated/terpompa pada dinding trakea, atau uncuffed
dalam kasus bayi. Intubasi endotrakeal diindikasikan bila ada kegagalan pernapasan saat ini
atau yang akan datang atau pasien tidak mampu untuk melindungi jalan nafasnya sendiri
sebagai akibat dari koma, penurunan tingkat kesadaran, atau serangan jantung. Adapun jenis
intubasi adalah:
a)
b)
dilakukan.
Intubasi nasotrakeal: Tabung ET dilewatkan ke trakea melalui nasofaring. Intubasi
dilakukan tanpa visualisasi glottis. Penggunaanya ialah pada pasien dengan gangguan
pernapasan untuk mencegah memburuknya kondisi mereka dan ketika laringoskopi
c)
d)
Intubasi endotrakeal yang paling umum dipakai adalah intubasi orotrakea dengan
laringoskop.
Berikut persiapan alat-alatnya:
1. Endotrakeal tube dalam berbagai
2.
3.
4.
5.
6.
7.
ukuran
10 mL jarum suntik
Larut air pelumas atau jelly anestesi
Kawat stilet
Laringoskop
Baterai siap pakai untuk laringoskop
Bilah laringoskop, berbagai bentuk
(melengkung/Macintosh
atau
lurus/Miller)
8. Osigen dengan tabung yang tepat
dan konektor
9. Nonrebreather masker oksigen, berbagai ukuran
10. Perangkat Suction
11. Yankauer kateter hisap
12. Perangkat bag-valve, ukuran: bayi, anak, orang dewasa kecil, menengah dewasa,
besar dewasa
13. Orotracheal tube, ukuran: bayi, anak, dewasa 3 sampai 5
2.
Pegangan laringoskop dipegang di tangan kiri sementara mulut pasien dibuka selebar
mungkin.
3.
Bilah laringoskop dimasukkan ke sisi kanan mulut, dorong lidah ke bagian kiri, dan
masukkan bilah mencapai pangkal lidah.
4.
Bila memakai bilah melengkung (Macintosh) maju ke vallecula dan angkat ke atas
kearah handle pada sudut 45 derajat untuk meningkatkan epiglottis. Bila memakai
bilah lurus (Miller) maju, ujung pisau diposisikan di bawah epiglottis dan angkat ke
atas ke arah handle yang diterapkan dalam cara yang sama seperti dengan bilah
melengkung. Area faring terekspos. Jangan memutar kembali pisau ke gigi.
Menilai lapang pandang. Apabila ada sekret, hendaknya dihisap untuk memperluas
lapang pandang.
Lapang pandang
6.
Setelah
pembukaan
glottic
divisualisasikan,
masukkan tube sesuai
dengan ukuran melalui
pita suara sampai cuff
tidak
terlihat.
Kemudioan
cuff
dikembangkan.
7.
Menentukan
bahwa
trakea
atau
Tanda-tanda
trakea
berhasil terdiri dari keberadaan CO2 pada penghembusan napas, adanya suara napas,
kurangnya suara napas atas perut, kurangnya distensi lambung, dan adanya
kelembaban gas pernapasan dalam tabung endotrakeal.
8.
Penyisipan dari tabung sampai 23 cm di gigi seri pada pria dan 21 cm pada wanita
umumnya menyediakan posisi tabung endotrakeal yang optimal. 12, 13, 14
Jenis intubasi
Intubasi Orotrakea dengan
Laringoskop
Digunakan pada setiap pasien
Indikasi
Intubasi Nasotrakeal
Digital Intubation
Pasien tanpa refleks
muntah yang utuh
Pasien yang tidak sadar
Teknik Transiluminasi
Pasien tanpa refleks
muntah yang utuh
Pasien yang tidak
sadar
Pasien dengan:
Kontra-
indikasi
Keadaan apneic
Trauma kepala
Fraktur basis cranii
Gangguan pembekuan darah
Pengobatan antikoagulan
Gangguan anatomi hidung (deviasi
Mampu untuk
Mampu untuk
Kerugian
memasukkan tabung
memasukkan tabung
visualisasi langsung
Berguna pada pasien
dalam kasus kegagalan
visualisasi langsung
Berguna pada pasien
dalam kasus
peralatan
Kemungkinan intubasi ke
kegagalan peralatan
Kemungkinan intubasi ke
esofagus
esofagus
Aspirasi
Kemungkinan intubasi
Gambar
Epistaksis
ke esofagus
Jari intubator dapat
tergigit
Kemungkinan intubasi ke
esofagus
Krikotirotomi
Sebuah insisi krikotirotomi dibuat melalui membran krikotiroid dalam usaha membuka jalan
napas pasien untuk bantuan darurat dari obstruksi jalan napas atas. Ini adalah prosedur yang
biasanya dilakukan sebagai upaya terakhir dalam kasus di mana saluran napas pasti yang
dibutuhkan dan semua upaya lain untuk mengamankan jalan napas telah gagal. Krikotirotomi
memberikan jalur langsung ke saluran napas bagian bawah.
Indikasi krikotirotomi:
-
bagian atas
Pasien yang membutuhkan manajemen jalan napas, tetapi tidak dapat diintubasi
tidak efektif
Trauma wajah yang parah
Kontraindikasi krikotirotomi:
-
Prosedur krikotirotomi:
Sebuah krikotirotomi umumnya dilakukan dengan membuat sayatan pada kulit leher tepat di
bawah kartilago tiroid, diikuti oleh sayatan di membran krikotiroid, yang terletak jauh dari
titik ini. Tabung ET kemudian dimasukkan untuk memungkinkan ventilasi.7, 9, 15-17
Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk
bernapas.
Indikasi trakeostomi:
-
Teknik Trakeostomi
3.4.2
dengan cara memberikan pernafasan buatan untuk menjamin pertukaran udara di paru-paru
terjadi secara normal. Hal ini untuk menjamin kebutuhan akan oksigen terpenuhi dan
pengeluaran gas CO2 dapat berlangsung. Pada manajemen pernapasan dan ventilasi dilakukan
beberapa hal yaitu: 1.memberikan oksigen melalui sungkup atau dengan ventilasi bertekanan
positif setelah dilakukan intubasi; 2.melakukan penilaian terhadap pernapasan pasien dengan
menila paru-paru, dinding thoraks, serta diafragma; 3.melakukan pemeriksaan fisik pada
thoraks dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Tujuan pemeriksaan fisik ialah
untuk mendeteksi adanya lesi yang dapat mengganggu ventilasi, seperti:18
Tension pneumothorax/ pneumothoraks: keadaan dimana terdapat udara atau
gas dalam rongga pleura
Flail chest: mobilitas dinding thoraks yang abnormal/ patologik akibat patah
tulang iga
Hemothoraks: keadaan dimana terjadi pengumpulan darah di dalam rongga
pleura
Luka dada terbuka
Algoritma pada manajemen pernapasan ialah seperti berikut:
1. Menilai pernapasan:
Pernapasan dinilai dengan metode look-listen-feel. Adapun yang dimaksud untuk
masing-masing aspek look-listen-feel adalah sebagai berikut:
Look (lihat): Yang diperhatikan ialah gerak dada, gerak cuping hidung (flaring
nostril), dan adakah retraksi sela iga.
Listen (dengar): Yang diperhatikan ialah suara napas dan adakah suara napas
tambahan.
Feel (rasakan): Dirasakan adakah udara pernapasan yang keluar dari hidung
dan mulut.
Bila pasien dapat bernapas dengan normal maka ditempatkan dalam recovery
position.19
kantung nafas. Aliran oksigen 6-8 liter per menit akan menghasilkan kadar inspirasi
60%. Bila diperlukan kadar oksigen lebih tinggi, dapat digunakan sungkup dan
kantung nafas (bag valve mask) dengan aliran 10-15 liter per menit, dimana akan
menghasilkan 90% oksigen dalam udara inspirasi. Gambaran klinis pasien akan
menentukan kadar oksigen yang diperlukan namun pada pasien yang sakit akut harus
mendapatkan paling sedikit 60% oksigen.20
4. Memberikan pernapasan buatan:
Memberikan pernapasan buatan ialah suatu tindakkan memasukkan oksiden dan
mengeluarkan CO2 dari paru secara aktif dengan tekanan positif berkala/ intermittent
positive pressure ventilation. Pernapasan buatan diberikan pada pasien yang tidak
bernapas (apnea), pasien dengan depresi pernapasan (hipoventilasi), maupun pasien
dengan pola pernapasan tidak normal.
5. Melakukan pemeriksaan analisa gas darah:
Pemeriksaan analisa gas darah dilakukan untuk menilai oksigenasi dan ventilasi
karena dengan pemeriksaan analisa gas darah dapat diketahui konsentrasi oksigen dan
karbon dioksida.20
Tindakan pada pengelolaan breathing
Pernapasan buatan diberikan sebanyak 12-20 kali/menit sampai dada nampak terangkat dan
dapat diberikan tambahan oksigen bila diperlukan. Bila udara masuk ke dalam lambung
jangan dikeluarkan dengan cara menekan lambung karena dapat terjadi aspirasi. Pemberian
napas buatan dilakukan dengan in-line immobilization (fiksasi kepala-leher). Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, pemberian napas buatan ialah dengan memberikan ventilasi
tekanan positif secara berkala. Adapun metode pemberian ventilasi tekanan positif ialah
dengan: mouth-to-mouth, mouth-to-mask, one-person bag-mask ventilation, two-person bagmask ventilation, dan flow-restricted oxygen-powered ventilation device. Metode yang paling
dianjurkan ialah metode mouth-to-mask dan two-person bag-mask ventilation. Secara garis
besar metode pemberian napas buatan (diatas) dibagi menjadi tanpa alat dan dengan alat: 7, 19
a) Pemberian napas buatan tanpa alat:
Pemberian napas buatan tanpa alat ialah dengan cara memberikan pernapasan buatan
dari mulut atau dari mulut ke hidung sebanyak dua kali tiupan awal dan diselingi
ekshalasi.
Untuk memberikan bantuan pernafasan mulut ke mulut, jalan nafas korban harus
terbuka. Perhatikan kedua tangan penolong pada gambar masih tetap melakukan
teknik membuka jalan nafas chin lift. Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan
atau dengan menekankan pipi penolong pada hidung korban. Mulut penolong
mencakup seluruh mulut korban. Mata penolong melihat ke arah dada korban untuk
melihat pengembangan dada. Pemberian pernafasan buatan secara efektif dapat
diketahui dengan melihat pengembangan dada korban. Berikan 1 kali pernafasan
selama 1 detik, berikan pernafasan biasa. kemudian berikan pernafasan kedua selama
1 detik. Untuk bayi dan anak, nafas buatan yang diberikan lebih sedikit dari orang
dewasa, dengan tetap melihat pengembangan dada. Usahakan hindari pemberian
pernafasan yang terlalu kuat dan terlalu banyak karena dapat menyebabkan kembung
dan merusak paru-paru korban. Konsentrasi oksigen melalui udara ekspirasi mulut
sekitar 17 %.
Setelah nafas buatan diberikan, segera nilai sirkulasi dengan mengecek nadi arteri
karotis. Nadi carotis dapat diraba dengan menggunakan 2 atau 3 jari menempel pada
daerah kira-kira 2 cm dari garis tengah leher atau jakun pada sisi yang paling dekat
dengan pemeriksa. Waktu yang tersedia untuk mengukur nadi carotis sekitar 5 10
detik. Jika nadi teraba, nafas buatan diteruskan dengan kecepatan 10-12 kali/menit
atau satu kali pernafasan diberikan setiap 5-6 detik disertai pemberian oksigen dan
pemasangan
infus.
Jika
perlu
pemasangan
ETT
dan
ventilator.
Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang penolong yang
berpengalaman. Salah seorang penolong membuka jalan nafas dan menempelkan
sungkup wajah korban dan penolong lain memeras bagging. Kedua penolong harus
memperhatikan pengembangan dada korban.
Konsentrasi oksigen yang dihasilkan dari ambu bag sekitar 20 %. Dapat ditingkatkan
menjadi 100% dengan tambahan oksigen.19
3.4.3
jaringan-jaringan di dalam tubuh jika sirkulasi darah yang membawa oksigen tersebut lancar.
Untuk menilai sirkulasi dapat dilakukan pemeriksaan terhadap denyut arteri carotis. Tujuan
dari manajemen sirkulasi ialah untuk membantuk sirkulasi darah guna menormalkan
perdarahan;
Resusitasi cairan dilakukan untuk mengganti kehilangan volume darah dengan cairan
(Ringer Laktat dan NaCl 0,9%) agar derajat syok hipovolemik menjadi minimal.
Resusitasi cairan yang dilakukan ialah:
Memasang intravenous line (IV) dengan dua kanul/jarum besar pada
ekstremitas atas. Bila pasien memang syok bisa digunakan vena basilica atau
vena jugularis eksterna. Kateterisasi vena sentral juga dapat dilakukan sesuai
dengan keahlian orang yang melakukan.
Setelah dilakukan pemasangan IV, diambil darah contoh untuk pemeriksaan
laboratorium. Ini terutama berhubungan dengan pemeriksaan golongan darah
dimana mungkin diperlukan transfusi darah bila terdapat indikasi.
Cairan intravena diberikan dengan cepat biasanya diberikan 500 mL sampai 1
L bolus hangat (10-20 mL/kgBB pada anak-anak). Ringer lakat ialah solusi
kritaloid pilihan untuk melakukan resusitasi cairan. Cairan glukosa dihindari
karena cepat diserap oleh jaringan sehingga hidrasi menggunakan cairan
glukosa tidak efektif. Biasanya diperlukan 2-3 L cairan untuk resusitasi.
Monitor urin, dengan memasang kateter urin. Output urim menggambarkan
perfusi ginjal. Sekresi urin yang adekuat ialah 0,5-1 mL/kgBB/jam, jika
kurang kemungkinan ada perdarahan hebat atau occult bleeding. Sebelum
dilakukan pemasangan kateter urin, cedera uretra harus disingkirkan dengan
pemeriksaan fisik terlebih dahulu. Cedera uretra perlu dicurigai bila terdapat
darah pada meatus/skrotum, terdapat fraktur pelvis, terdapat memar pada
perineum.
Transfusi darah bila diperlukan. Digunakan darah O negatif bila darah yang
sesuai dengan pasien tidak tersedia. Biasanya diperlukan 40 mL/kgBB.
Transfusi darah dilakukan bila sirkulasi tetapi tidak stabil walaupun sudah
dilakukan resusitasi cairan, bila terdapat perdarahan masif yang sukar
berhenti, atau bila Hb < 7 gr%.
Pada pasien dengan hipotensi yang tidak dapat dikoreksi dengan resusitasi
cairan, dilakukan dapat dipertimbangkan pemasangan intra-arterial line dan
vasoactive drug therapy. 18, 20
5. Resusitasi jantung paru:
Resusitasi jantung paru dilakukan pada pasein dengan henti nafas dan henti jantung.
Bila didapatkan pasien yang tidak sadarkan diri yang harus dilakukan ialah penilaian
airway, breathing, and circulation. Bila tidak didapatkan adanya denyut nadi arteri
carotis maka diberikan pernapasan buatan (sudah dijelaskan) dan kompresi dada 2:30
dengan kecepatan 80-100x/menit secara teratur.21
Kompresi dada dilakukan untuk mengembalikan sirkulasi darah dimana hal ini terjadi
karena dua hal yaitu 1.terjadi kompresi jantung antara tulang sternum dan tulang
belakang dan 2.terjadi perubahan tekanan intratorakal secara global pada kompresi
dada.
Cara melakukan kompresi dada ialah sebagai berikut:
1. Korban/ pasien diposisikan terlentang pada
permukaan
yang
keras.
Penolong
berlutut
3.4.4
(E)
4 : Spontan
5 : Orientasi Baik
(Percakapan normal )
perintah)
3 : Dengan Rangsangan
4 : Disorientasi percakapan
5 : Pemberian stimulus
Suara
bingung)
2 : Dengan Rangsangan
Nyeri
(Decorticate Posture)
2 : Apabila diberikan
sekali
(Decerebrate)
1 : Tidak ada respon
intubasi
Tiga komponen yang dinilai ialah respons membuka mata, respons verbal, dan
respons motorik.
Pupil: Diperiksa ukuran kedua pupil apakah kanan dan kiri simetris/ isokor
atau tidak simetris (anisokor). Diperiksa juga refleks pupil yaitu refleks cahaya
langsung maupun refleks cahaya tidak langsung.
Tanda-tanda lateralisasi
Cedera tulang belakang: Penilaian terhadap cedera tulang belakang ialah
dengan memeriksa pergerakkan ekstremitas dan usaha pernafasan spontan.
Dapat pula ditentukan tingkat cedera tulang belakang bila ditemukan.
Pasien harus dievaluasi ulang secara berkala kerena perburukan dapat terjadi dengan
cepat (seringkali didapatkan pasien dengan kesadaran penuh setelah mengalami cedera kepala
yang signifikan namun selanjutnya terjadi perburukan dengan cepat). Bila ditemukan pupil
yang asimetris, dilatasi pupil, refleks cahaya yang terganggu atau tidak ada sama sekali, atau
hemiplegia menandakan mungkin terdapat masa intrakranial yang meluas ataupun edema
otak yang difus. Hal ini memerlukan manitol (diperikan per IV), ventilasi, dan perlu segera
dirujuk ke bagian bedah saraf.18
Pada kasus-kasus tertentu dibutuhkan obat-obatan dalam tindakan resusitasi awal,
obat-obatannya adalah sebagai berikut:
A. Epinephrine
Adalah campuran antara Alpha dan Beta Agonist yang mana digunakan untuk
meningkatkan tekanan diastolik aorta, tekanan perfusi coronaria, yang mana baik
untuk perdarahan cerebal. Epinephrine boleh diberikan melalui endotracheal tube jika
IV tidak dapat digunakan. Dosis yang digunakan 2.0 2.5 mg dalam 10cc normal
saline. Dosis tinggi epinephrine pada orang dewasa sangat tidak di rekomendasikan.
B. Vasopressin
Antidiuretik hormone yang meyebabkan peripheral vasokonstriksi, seperti
vasokonstriksi dari pembuluh darah koronaria, cerebral, dan pembuluh darah ginjal
*renal vasculature*.
C. Dopamine
Merupakan neurotransmitter yang mempunyai efek Alpha dan Beta Adrenergic.Dosis
yang lebih besar dari 20g/kg/menit dapat merugikan akibat efek (splachnic
perfusion) dan sudah seharusnya dihindarkan. Jika hipotensi bertahan sesudah
(optimization of filling pressures). Dobutamine maupun norepinephrine dapat
dipertimbangkan.
D. Norepinephrine
Merupakan adrenergic yang mempunyai efek alpha receptor dalam pembuluh darah
dan B1-receptors yang mana menyebabkan jantung vasokonstriksi perifer dan terjadi
peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas. Biasanya digunakan untuk severe
shock dan direkomendasikan penggunaannya untuk hipotensi ketika tekanan sistolik
kurang dari 70mmHg. (The starting infsuin rate is ) 0.5 1.0 g/menit dan (titrated to
effect ), dengan maksimal infusion rate 30 g/menit.
E. Dobutamine
Dobutamine adalah synthetic catecholamine dengan potent B1-agonist properties
dengan sedikit B2- atau Alpha adrenergic efek. Contoh, dobutamine ini dapat
meningkatkan kontraktilitas myocardial dan peningkatan cardiac output. Ini
merupakan obat pilihan untuk pasien dengan tekanan sistolik 70 100mmHg.
Biasanya dipakai infus IV 2 20 mg/kg/menit.
Selain itu sering juga dipakai obat-obatan anti aritmia, seperti:
a. Adenosine
Adenosine merupakan terapi lini pertama untuk Takikardia Supraventrikular
Paroksismal sekunder menuju (reentrant type defect conduction). Adenosine tidak
harus digunakan untuk membedakan antara PSVT dengan aberrant conduction dan
VT. Dosis awal yang diberikan 6mg secara bolus cepat. Apabila tidak berhasil
mengobati PSVT, dosisnya dinaikan menjadi 12mg IV. Apabila tetap tidak ada
response, dosisnya diulang setiap 1 2 menit.
b. Amiodarone
Amiodarone dominan antidisaritmia kelas III ( potassium channel blocker ), tetapi
juga ada beberapa kelas lainnya, seperti antidisartimia kelas I ( sodium channel
blockade ), antidisartimia kelas II ( B Blockade ), dan antidisartimia kelas IV
( calcium channel blockade ). Amiodarone sangat berguna untuk pengobatan
supraventricular dan ventricular takidisartimia. Untuk VF dan denyut nadi melemah
pada VT, dosis awalnya 300 mg IV, yang mana di lanjutkan dengan second dose
150mg apabila ada disertai aritmia. Amiodarone merupakan second line agent untuk
PSVT dan dapat digunakan apabila adenosine kurang berpengaruh.
c. Atropine
(atropine is an anticholinergic agent useful in treatment of symptomatic bradycardias
that are due to increased parasympathetic tone. Atropine tidak seharusnya digunakan
untuk infranodal pathology yang diduga seperti mobitz type II AV Block. (Atropine is
ineffective in the setting of previous heart transplant and may worsen ischemia during
a myocardial infaction.)
d. B-Adrenergic Blocker
B Bloker ( Seperti Atenolo, metoprolol, esmolol ) (indicated for SVT for rate control
in patients with preserved left ventricular function. )Atenolol dan metoprolol
merupakan Blocking Agent B1 ( cardioselective ) yang tersedia dalam bentuk IV
maupun formulasi oral. Esmolol merupakan B1 short acting ageny yang harus
diberikan secara bolus dan kemudian dipertahankan dengan menggunakan infuse.
Apabila respon tidak adekuat setelah 5 menit, maka dosisnya diulang dan ( the
infusion rate doubled.)
e. Calcium Channel Bloker
Calcium Channel Bloker ( diltiazem dan verapamil ) diindikasikan untuk mengontrol
SVT dan memperlambat konduksi nodul AV dan (prolong AV nodal refractory
period ). Calcium channel blockers merupakan kontraindikasi dari atrial fibrilasi atau
atrial flutter dengan respon ventricular yang tinggi. Diltiazem sebaiknya ditoleransi
pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri.
f. Lidocaine
Lidocaine merupakan golongan IB antidiasrimia. Biasanya digunakan untuk
ventricular rhythms, baik stabil maupun tidak stabil. Penggunaannya sebagian besar
telah digantikan oleh amiodarone. Dosis awal untuk VF dan denyut nadi lemah pada
VT ( pulseless ) adalah 1.0 1.5 mg/kg. setengah dari dosis itu boleh diulang setiap 5
10 menit, dengan total dosis maksimal 3 mg/kg.( If successful in terminating the
offending rhythm, a maintenance infusion) 3-5mg/menit dapat diberika.
g. Magnesium
Diindikasikan untuk pasien yang diketahui maupun diduga mempunyai kandungan
magnesium yang rendah, disartimia ventrikel yang berulang, atau bagi mereka yang
memiliki torsade de pointes.
h. Procainamide
Procainamide merupakan golongan IA antidisartimia, yang amna dapat menekan
atrium maupun ventricular aritmia. Ini dapat digunakan untuk pengobatan atrial
fibrilasi dan atrial flutter. Procainamide dapat digunakan untuk SVT saat adenosine
tidak efektif. Hindari penggunaanya pada pasien dengan interval QT memanjang atau
obat mempunyai efek memperpanjang interval QT seperti amiodarone.
3.4.5
dilakukan pemeriksaan lanjutan secara menyeluruh. Baju serta penutup tubuh pasien
dilepaskan kemudian dilakukan pemeriksaan fisik secara head-to-toe. Hipotermia perlu
dicegah, setelah dilakukan pemeriksaan fisik bisa disediakan alat-alat penghangat atau
selimut hangat untuk mencegah hilangnya panas tubuh. Perlu juga dilakukan pemeriksaan
terhadap kadar gula darah. Pemeriksaan fisik yang dimaksud meliputi: 18, 20
Lokasi
Pemeriksaan
Trachea
Chest
Deviasi
Lateral Sign, wheezing,
CXR, CTPA
JVP dan HS I + II
Creps, Dull PN
JVP Meningkat, III + IV HS,
ECG, Echocardiography
Abdomen
murmur
Distensi, Pertonism, Denyut
USS, AXR, CT
Sign)
Pupil, Lateral Signs, Kaku
CT
Kulit
Kuduk
Rashes, purpura
Kultur Darah
sehingga akan terjadi gangguan pegembangan paru akibat beban udara pada kavum
b. Non Trauma :
Efusi pleura
Efusi pleura adalah terdapatnya cairan patologis pada kavum pleura. Namun tetap
perlu diingat bahwa dalam keadaan normal kavum pleura juga selalu terdapat cairan
yang berfungsi untuk mecegah melekatnya pleura viseralis dan pleura parietalis,
sehingga dengan demikian gerakan paru berjalan dengan mulus tanpa harus adanya
friksi. Cairan fisiologis ini disekresikan oleh pleura parietalis dan diabsorbsi oleh
pleura viseralis. Dalam keadaan normal cairan fisiologis dalam rongga pleura ini
berkisar antara 1 ml sampai 20 ml. Setiap peningkatan jumlah cairan di atas ini harus
dianggap sebagai efusi pleura. Pada umumnya kelainan ini didasari oleh suatu proses
peradangan dimana dapat bersifat akut ataupun kronik, selain itu juga dapat sebagai
salah satu manifestasi kelainan sistemik. Akibat terdapatnya cairan patologis pada
kavum pleura akan menyebabkan gangguan pengembangan paru sehingga pasien
sesak napas.
Penyakit valvular
napas
terjadi
akibat
Hematothorax
Sesak napas
adanya Sesak
napas
terjadi
akibat
adanya
gangguan pada expansi paru akibat gangguan exspansi paru karena tekanan
tekanan dari udara pada rongga pleura
Nyeri dada
pleura
Nyeri dada / tidak
Nyeri dada terjadi akibat perangsangan Nyeri dada prinsipnya dapat terjadi
pleura akibat trauma yang menyebabkan apabi;a terjadi perangsangan pada pleura
robekan pada pleura sehingga terjadi yang biasa disebabkan oleh trauma yang
nyeri pleuritik.
mengenai pleura parietal .
Suara napas melemah atau menghilang Suara napas melemah atau menghilang
Suara
napas
adanya
dapat
suatu
melemah
bantalan
menghambat
udara
penghantaran
pernapasan dari dalam paru ke stetoskop. jumlah cairan berupa darah dalam rongga
Apabila tekanan dalam rongga pleura pleura proses peredaman suara akan
semakin
meningkat
sehingga
Perkusi : pekak
Pada perkusi dimana banyak terdapat Pada perkusi akan didapatkan suara
udara akan didapatkan suara timpani.
pekak
Hipotensi
Pada keadaan ini hipotensi terjadi akibat Pada keadaan ini hipotensi terjadi akibat
pergeseran mediastnum ke sisi yang sehat perdarahan yang terjadi sehingga venous
sehingga paru akan menekan vena cava return akan menurun diikuti dengan
superior sehingga venous return akan cardiac output yang turun sehingga terjadi
menurun dan mengakibatkan cardiac hipotensi terjadi.
outpun juga akan menurun sehingga
terjadi hipotensi.
Elevasi JVP
Elevasi
JVP
terjadi
Flattening JVP
karena
sehingga
terjadi
menurunan
Nadi cepat
sama
dengan
tension
sehingga
peninggkatan
memenuhi
terjadi
frekuensi
kebutuhan
mekanisme
nadi
untuk
oksigen
pada
organ-organ.
3.6
di
hemithorax
kanan
udara
yang
banyak
(air
diagnosis
dapat
berupa
disingkirkan
3.7
3.7.1
Diagnosis Pasti
Berdasarkan data yang di dapat (riwayat trauma tumpul pada dada kanan, keluhan
sesak napas, nyeri dada, dada terasa ditekan, sianosis, hipotensi, suara napas menghilang
pada hemithorax kanan) dan hasil gambaran rotgen foto thoraks yang telah dilakukan,
menunjukkan gambaran very lucent pada hemithoraks dextra maka kelompok kami
menegakkan diagnosa, yaitu Tension Pneumothoraks Hemithoraks Dextra.
3.7.2
Patofisiologi
Tekanan di dalam rongga pleura adalah negatif dibandingkan dengan atmosfer. Hal ini
disebabkan kecenderungan paru-paru untuk kolaps dan dinding dada untuk membesar.
Tekanan alveolus lebih besar daripada tekanan ruang pleura karena elastisitas paru-paru.
Akibatnya, jika terjadi hubungan antara ruang alveolar dan pleura, udara akan pindah ke
ruang pleura sampai tekanan setara. Konsekuensi fisiologis adalah penurunan kapasitas vital
dan PaO2. Hal ini dapat ditoleransi dengan baik pada orang yang sehat tetapi tidak pada
pasien dengan penyakit jantung atau paru-paru. Tension pneumorothorax berkembang ketika
terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau
melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-wayvalve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka
tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke
sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta
akan menekan paru kontralateral.
Peningkatan tekanan intrapleural menyebabkan pasien kesulitan bernapas, napas
terasa seperti ditekan, dan adanya udara dalam ruang pleura menyebabkan nyeri pleuritik.
Sesak napas kemudian menyebabkan hipoksia dan sianosis. Penghambatan venous return
juga bisa menyebabkan hipotensi dan muncul tanda-tanda takikardi dan denyut jantung
lemah. Paru-paru yang kolaps ditandai dengan tidak terdengarnya suara napas pada
hemithorax yang sakit (dalam kasus ini hemithorax dextra), kemudian penumpukan udara
pada cavum pleura menyebabkan gambaran Roentgen thorax tampak lebih lucent.
Pemburukan klinis dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan curah jantung. Data lain
menunjukkan hipoksia dan hiperkarbia sebagai penyebab perburukan klinis.
3.8
3.8.1 Thoracentesis
a. Indikasi
Terapeutik: Untuk melegakan sesak napas atau respiration distress yang
disebabkan oleh akumulasi cairan atau udara pada ruang pleura.
Diagnostik: Untuk mengambil cairan pleura untuk tes diagnostik.
b. Kontraindikasi
d. Persiapan pasien
Jelaskan prosedur, risiko, dan manfaat bagi
pasien atau perwakilan mereka dan harus mendapatkan
persetujuan tertulis (informed consent). Tempatkan
pasien terlentang di tempat tidur, atau pasien mungkin
terlentang dengan kepala tempat tidur ditinggikan
sampai 30 derajat (dapat digunakan collar neck jika
ada cedera servikal). Bersihkan kotoran atau puingpuing dari kulit. Mengidentifikasi tempat thoracentesis
diperlukan untuk melakukan prosedur. Meskipun tidak
diperlukan, dianjurkan untuk menempatkan pasien
pada monitor jantung, manset tekanan darah invasif,
oksimetri nadi, dan oksigen tambahan. Berikan solusio povidone iodine ke permukaan kulit
dan biarkan hingga kering. Terapkan tirai steril di sekitar lokasi prosedur. Atropin harus di
samping tempat tidur. Ini dapat diberikan (1,0 mg intramuskuler atau subkutan atau intravena
0,5 mg) untuk pasien yang mengalami
bradikardi selama prosedur. Pendekatan
yang
paling
umum
adalah
ruang
e. Prosedur
1. Identifikasi thorax penderita dan status respirasi
2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai kebutuhan
3. Identifikasi sela iga II, di linea midklavikula di sisi tension pneumothorax
4. Asepsis dan antisepsis dada
5. Anastesi lokal jika penderita sadar atau keadaan mengijinkan
6. Penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal sudah disingkirkan
7. Pertahankan Luer-Lok syringe di ujung distal kateter, insersi jarum kateter ke kulit
secara langsung pada sela iga II, tepat di atas iga III untuk menghindari
neurovaskular
bundle
yang
terletak
di
bagian
Gambar 1 Jarum diinsersi tepat di atas iga III untuk menghindari neurovascular bundle
8.
inferior
iga
II.
12. Pasang tabung ekstensi kateter intravena ke hub kateter. Tempatkan three-way
stopcock yang menempel pada syringe 50 ml ke tabung ekstensi.
13. Amankan pegangan hub kateter terhadap kulit.
14. Aspirasi udara ke dalam jarum suntik dan kemudian udara dimasukkan ke dalam
ruangan dengan mengatur three-way stopcock.
15. Udara kemudian ditarik secara manual. Proses ini harus dilanjutkan sampai
resistensi dirasakan. Jika tidak ada resistensi yang dirasakan setelah 4 L aspirasi,
dianggap bahwa ekspansi tidak terjadi dan kebocoran terus-menerus yang terjadi
berasal dari paru-paru ke pleura, sehingga thoracostomy tabung harus dilakukan.
16. Setelah tidak ada udara lebih banyak disedot, tutup stopcock dan amankan ke
dinding dada.
17. Pindahkan jarum dan ganti Luer-Lok di ujung distal kateter. Tinggalkan kateter
plastik di tempatnya dan ditutup dengan plester atau kain kecil.
18. Siapkan chest tube jika perlu. Hubungkan chest tube dengan WSD (tube
thoracostomy) atau katup tipe flutter dan cabut kateter thoracentesis.27
f. Teknik alternatif
Tempat lain telah dijelaskan untuk melakukan thoracentesis adalah ruang intercostal
IV atau V di linea midaxillaris atau ruang intercostal II di linea aksilaris anterior. Ada
beberapa masalah dengan pendekatan-pendekatan alternatif. Di ruang intercostal IV atau V,
tulang rusuk yang dekat, dengan jarak yang sempit membuat penempatan jarum lebih sulit.
Adanya gerakan rusuk untuk pernapasan dan gerakan lengan dapat meningkatkan risiko
pergeseran kateter. Pada posisi pasien terlentang, udara akan naik ke arah ventral daripada ke
arah lateral.
Penyisipan kateter di ruang intercostal II dalam garis aksilaris anterior lebih mudah
dari posisi ini daripada memasukkan kateter ditempatkan lateral. Ruang intercostal IV atau V
di linea midaxillaris adalah ruang yang ideal untuk tube thoracostomy. Penempatan kateter di
situs-situs alternatif akan berarti harus menembus jaringan yang lebih, terutama pada pasien
obesitas, membuat ruang pleura mencapai lebih sulit dan kemungkinan pergeseran dari
kateter lebih mungkin terjadi. Kelemahan utama untuk menggunakan ruang intercostal IV
atau V adalah risiko memasukkan catheterover-needle diafragma dan ke hepar (di sebelah
kanan) atau limpa (di kiri).
g. Penilaian lanjut
Pelepasan tekanan dari tension pneumothorax akan menyamakan tekanan antara
atmosfir dan ruang pleura. Sekarang pasien akan mengalami simple pneumothorax. Tandatanda vital akan mulai kembali normal, oksimeter nadi akan membaik, dan gagal napas
membaik. Jika pasien memiliki tension pneumothorax maka dia akan membutuhkan tube
thoracostomy dilanjutkan dengan roentgen thorax. Pasien mungkin akan batuk-batuk saat
paru-paru kembali mengembang. Suara napas harusnya kembali ada secara bilateral saat
pengembangan kembali.
Jika pasien tidak membaik secara klinis setelah dekompresi jarum untuk tension
pneumothorax, ada dua kemungkinan. Yang pertama, ruang pleura mungkin belum berhasil
dimasuki oleh jarum. Ini mungkin terjadi pada pasien obesitas atau yang sangat berotot.
Prosedur harus diulangi menggunakan jarum yang lebih panjang. Kedua, mungkin pasien
tidak memiliki tension pneumothorax. Evaluasi kembali pasien melalui pemeriksaan fisik
dan review foto radiologi dada untuk menentukan adanya tension pneumothorax.
Jika keadaan pasien tidak membaik atau memburuk, merupakan idikasi dilakukannya
tube thoracostomy. 27
h. Follow-up
Lakukan foto thorax untuk melengkapi penilaian lanjutan pneumothorax. Foto thorax
harus dilakukan 4-6 jam setelah prosedur untuk mencari delayed pneumothorax. Jika
tidak terdapat pneumothorax dan kondisi klinisnya mencukupi, pasien bisa
tanda-tanda infeksi.
Instruksi untuk pasien meliputi: pembersihan tempat thoracentesis dengan sabun
setiap hari; pakaikan ganti belat sekitar kateter dan tempelkan ke kulit; pastikan tube
tertempel dengan mantap kepada katup untuk menghindari pergeseran; pasien
dibolehkan mandi tetapi dilarang untuk berendam atau berenang. 27
i. Komplikasi
Hematom lokal
Infeksi pleura empiema
Pneumothorax
Hematothorax, jika paru-paru, arteri intercostalis, atau arteri mamaria terobek oleh
jarum.
Emfisema
Menusuk pembuluh darah besar atau jantung akibat posisi dimasukkannya jarum yang
salah. 27
thoracotomy
Kontraindikasi relatifnya adalah koagulopati; pulmonary bullae; adhesi pulmoner,
pleural, atau thorax, infeksi kulit di sekitar tempat insersi jarum.
c.
d. Posisi pasien
Pasien diletakkan telentang atau dengan sudut 45 derajat. Lengan dari tempat yang
sakit harus diabduksi dan diputar ke arah luar, sehingga telapak tangan pasien berada di
belakang kepalanya. Dapat ditempelkan plester untuk mengfiksasi lengan, tetapi jika ini
dilakukan, harus dipastikan ini tidak menganggu aliran darah.
e. Prosedur
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Cari adanya fogging pada chest tube pada saat ekspirasi atau dengar
aliran udara.
9.
10.
Jahit tube di tempantnya, jahitan harus air tight (kedap udara) dan
jangan menggunakan simpul mati.
11.
12.
13.
f.
Komplikasi
Laserasi atau menusuk intrathoraks atau organ abdomen
Infeksi pleura
Kerusakan saraf, arteri, atau vena intercostalis (pneumothorax menjadi hemothoraks;
neuritis interkostal/neuralgia)
Posisi tube yang keliru, intrathoraks atau ekstrathoraks
Lepasnya chest tube dari dinding dada atau lepasnya sambungan dengan WSD.
Pneumothoraks persisten (kebocoran primer yang besar; kebocoran di kulit sekitar
segera dilakukan.
Gagalnya paru-paru untuk mengembang akibat adanya plak bronkus, perlu
bronkoskopi.
Reaksi anafilaktik atau alergi obat anastesi atau persiapan darah.
3.8.3
pertama kali adalah primary survey and resucitation. Kemudian setelah dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan, ditemukanlah gejala-gejala dan tanda-tanda tension pneumothorax, setelah
itu dilakukan thoracentesis yang dilanjutkan dengan tube thoracostomy-WSD. Thoracentesis
dilakukan di sela iga V-VI, bukan sela iga II-III karena utnuk memudahkan pemasangan tube
thoracostomy. Indikasi tube thoracostomy pada pasien ini adalah karena adanya tension
pneumothorax dan hilangnya suara napas di hemithorax dextra yang menandakan adanya
kolaps paru.29
3.9
Prognosis
Ad vitam: dubia ad bonam
Tension pneumothorax merupakan keadaan yang mengancam jiwa, tetapi dengan
penanganan yang cepat dan adekuat, kemungkinan prognosisnya masih cukup baik.
pneumothorax. Selain itu, tingkat kecelakaan lalu lintas masih cukup tinggi sehingga
kemungkinan terjadinya tension pneumothorax kembali juga cukup tinggi.
Ad fungtionam: dubia
Pada pasien ditemukan kolaps paru dengan hilangnya suara napas pada auskultasi,
akan tetapi, dengan tatalaksana yang adekuat, kemungkinan paru akan mengembang kembali
dan berfungsi normal.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1
Faal Pernapasan
Terdapat 2 makna respirasi, yaitu: Respirasi internal dan respirasi eksternal. Respirasi
interna/ seluler mengacu kepada proses metabolisme intrasel yang berlangsung di dalam
mitokondria. Sedangkan respirasi eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian
yang terlibat dalam pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.
Respirasi eksternal meliputi:
a.
Ventilasi, yaitu udara secara bergantian bergerak masuk keluar paru sehingga dapat
terjadi pertukaran antara atmosfer dan alveolus.
b.
Difusi, yaitu O2 dan CO2 dipertukarkan antara udara di alveolus dan darah di dalam
kapiler pulmonalis.
c.
d.
Pertukaran O2 dan CO2 terjadi antara jaringan dan darah melalui proses difusi melintasi
kapiler sistemik (jaringan).
Udara antara atmosfer dan alveolus disalurkan melalui suatu saluran napas yang tediri
atas hidung Laring Trakea Bronkus Bronkiolus. Setelah itu O2 dan CO2 akan
dipertukarkan pada jaringan parenkim paru yaitu alveolus.
Untuk inspirasi maupun ekspirasi dibutuhkan otot-otot
pernapasan, berikut ini adalah otot-otot yang digunakan:
a. Inspirasi
- Diafragma
- M. Intercostales Eksternus
yang
membentuk
dasar
rongga
thoraks
dan
inspirasi melemas tanpa memerlukan kontraksi otot atau pengeluaran energi. Namun pada
keadaan tertentu yang memerlukan pengosongan paru secara lebih sempurna dan lebih cepat
dari pernapasan tenang, ekspirasi dapat menjadi aktif. Yaitu dengan menggunakan otot-otot
eksspirasi paksa. Otot-otot di dinding abdomen apabila berkontraksi maka akan terjadi
peningkatan tekanan intra abdomen yang menimbulkan gaya ke atas pada diafragma yang
mengakibatkan diafragma semakin terangkat ke atas.
Selain otot-otot dinding abdomen terdapat juga m. Intercostales internus yang apabila
berkontraksi akan menarik iga-iga ke bawah dan dalam, meratakan dinding dada dan semakin
memperkecil ukuran rongga dada. Tekanan dalam rongga thoraks akan lebih besar daripada
tekanan di atmosfer sehingga udara mengalir ke luar rongga thoraks.1
4.2
Anatomi Mediastinum
Yang dimaksud dengan mediastinum adalah
dan
jaringan
ikat
longgar,
sehingga
dengan
pergedrakan
atau
perubahan
organ
di
sekitarnya.
Mediastinum superior, terletak di atas tiga bagian yang lain. Letaknya di atas
bidangan horizontal yang melalui anglus sterni sampai pinggir bawah vertebra
thoracica IV. Ruangan ini berisi thymus, pembuluh darah besar dan jantung, trakea
dan esofagus.
Mediastinum anterior merupakan ruang terkecil yang terletak di depan pericardium
dan di belakang os sternum. Pada bayi, mediastinum anterior lebih besar karena
BAB V
KESIMPULAN
Keluhan sesak napas (dyspnea) merupakan keluhan yang dapat di temui di praktek
sehari-hari. Penyebab dari keluhan ini bermacam-macam mulai dari kelainan jantung
(cardiovascular), kelainan metabolisme, maupun kelainan dari paru-paru dan salurannya.
Mekanisme sesak napasnya pun bermacam-macam pula untuk setiap penyakit.
Keluhan sesak napas bisa pula terjadi akibat adanya trauma maupun nontrauma.
Berdasarkan kasus, di ketahui bahwa sesak napas pasien di awali oleh adanya trauma pada
dada pasien, sehingga menyebabkan adanya udara yang dapat masuk ke dalam rongga pleura,
namun tidak bisa keluar, dan menyebabkan tension pneumothorax yang berjalan progresif.
Sebagai langkah awal, Tindakan kita sebagai dokter pada pasien sesak napas di UGD
adalah dengan
breathing, circulation dimana pada airway kita memeriksa cek respon dan kesadaran pasien,
menilai jalan napas dengan cara look, feel and listen, membersihkan jalan napas, stabilisasi
posisi kepala dan leher, jaga jalan napas agar tetap terbuka, dan mempertimbangkan membuat
jalan napas buatan. Pada breathing, kita menilai pernapasan, melakukan pemeriksaan fisik,
memberikan pernapasan buatan, memberikan oksigen, dan melakukan pemeriksaan analisa
gas darah. Pada circulation, di lakukan Melakukan pemeriksaan fisik untuk menilai sirkulasi,
Pasien diletakkan dalam posisi syok jika di curigai adanya perdarahan yang masif,
Menghentikan perdarahan, Resusitasi cairan, dan Resusitasi jantung paru.
Setelah di ketahui bahwa pasien ini menderita tension pneumothorax, langkah
selanjutnya yang kita lakukan adalah melakukan thorakosentesis, dimana udara dari dalam
rongga pleura akan di keluarkan dari luar untuk mengurangi tekanan pada rongga pleura dan
mencegah pergeseran mediastinum lebih jauh. Setelah itu di lanjutkan dengan melakukan
tube thoracostomy - water sealed drainage.
Tension pneumothorax merupakan penyakit yang dapat membahayakan nyawa pasien
jika tidak di tatalaksana dengan adekuat. Maka dari itu penting bagi dokter untuk mengetahui
penyebab dari sesak napas, yang salah satunya adalah pneumothorax yang merupakan suatu
kasus gawat darurat dan penanganannya bersifat life saving (menyelamatkan jiwa)
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Patrick, Davey. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga; 2005.
2. Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit Universitas
Indonesia; 2004.
3. Junadi, Purnawan, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-2. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Jember; 2002.
4. Silbernagl S, Lang F. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. 1th ed. Jakarta; EGC;2003
Assessment.
Available
at:
19. St John Ambulance. First Aid Advice. Available at: http://www.sja.org.uk/sja/first-aidadvice/unconscious-and-not-breathing.aspx. Accessed November 25, 2011.
20. Graham R. Primary Assessment and Management : Aproach to Acutely ill patient.
Adult Medical Emergencies. 2009.p.43-7.
21. Adult
Basic
Life
Suport.
Available
at: