You are on page 1of 66

LAPORAN KASUS I

MODUL TINDAK MEDIK DAN KEPERAWATAN


Seorang Laki-laki 24 Tahun Dibawa dalam Keadaan Sesak Nafas
KELOMPOK I
030.05.172 Putri Melati
030.06.112 Herman Malondong
030.07.006 Adisti Putri Ryanda
030.09.147 Maya Liana
030.09.148 Mayandra Mahendrasti
030.09.149 Melia Indasari
030.09.150 Melissa Rosari Hartono
030.09.151 Melly Utami
030.09.152 Meutia Mafira Rindra
030.09.153 Michael Wong
030.09.154 Michelle jansye
030.09.155 Mochammad Rifki Maulana
030.09.156 Mohammad Fachri Ibrahim
030.09.157 Monica Raharjo

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
Sesak napas atau dispnea ialah pernapasan yang abnormal dengan ciri pernapasan
tidak menyenangkan, sukar, dan penderita menyadari akan pernapasanya. Sifat dan kualitas
sesak napas yang dirasakan bisa berbeda-beda pada setiap orang tergantung dari
penyebabnya. Keluhan sesak napas dapat timbul pada penderita dengan penyakit jantung,
penyakit paru, maupun penyakit lainnya seperti gagal ginjal yang menyebabkan asidosis
metabolik dan juga anemia yang sudah berlangsung kronis. Pada umumnya, penyakit yang
dapat menyebabkan hipoksemia (kekurangan O2 di dalam darah), hiperkapnia akut (kelebihan
CO2 dalam darah), dan acidemia (peningkatan kadar asam di dalam darah) dapat
menstimulasi pusat pernapasan di otak melalui serabut efferen. Bila rangsangan untuk
bernapas meningkat sedangkan organ yang terkait dalam proses pernapasan yaitu paru-paru,
saluran pernapasan, dan otot-otot pernapasan tidak dapat mengimbangi rangsangan tersebut
(misalnya paru tidak dapat berkembang dengan sempurna atau terdapat obstruksi pada
saluran napas), maka dapat timbul keluhan sesak napas.
Sebelum mencari penyebab pasti yang mendasari terjadinya sesak napas, sesak napas
perlu diatasi terlebih dahulu untuk mencegah komplikasi yang dapat timbul akibat oksigenasi
yang tidak adekuat. Dalam hal ini penting dilakukan penilaian/evaluasi terhadap airway,
breathing, dan circulation dan tindakan life-saving berdasarkan hal-hal yang ditemukan pada
evaluasi tersebut.

BAB II
SKENARIO KASUS
Lembar I
Seorang laki-laki 24 tahun dibawa ke UGD rumah sakit dalam keadaan sesak napas.
Penderita terlihat pucat dan kebiruan. Nadi teraba cepat dan lemah.
Lembar 2
Satu jam sebelum ke UGD, penderita mengalami kecelakaan lalu lintas. Sewaktu naik
sepeda motor dengan kecepatan tinggi, penderita bertabrakan dengan sepeda motor lain,
sehingga dada kanan terbentur setang sepeda motor. Penderita sadar penuh dan tidak pernah
pingsan, tidak mual dan tidak muntah. Penderita mengalami nyeri di dada, dada seperti
ditekan, napas cepat dan dangkal. Suara napas di hemithorax dextra menghilang.
Lembar 3

BAB III
PEMBAHASAN
3.1

Status Pasien

3.1.1

Identitas Pasien

3.1.2

Nama

:-

Umur

: 24 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Status Pernikahan

:-

Agama

:-

Pekerjaan

:-

Alamat

:-

Asal

:-

Pendidikan terakhir

:-

Tanggal berobat

:-

Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
o Keluhan Utama
o Keluhan Tambahan

Riwayat Penyakit Dahulu

:-

Riwayat Alergi

:-

Riwayat Penyakit Keluarga

:-

Riwayat Pengobatan

:-

Riwayat Kebiasaan

:-

3.1.3

Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
1. Tanda vital
a. Nadi

:-

b. Tekanan darah

:-

c. Pernapasan

:-

d. Suhu

:-

2. Pengukuran

a. Berat badan

:-

b. Tinggi badan

:-

3. Status mental
a. Kesadaran

:-

b. Kesan sakit

:-

c. Penampilan pasien

:-

4. Kulit

5. Kelenjar getah bening


6. Kepala dan wajah
a. Kepala

:-

b. Mata

:-

c. Telinga

:-

d. Hidung

:-

e. Mulut

:-

7. Leher
a. Kelenjar thyroid

:-

b. Trachea

:-

c. Tekanan vena jugularis

:-

d. Arteri carotis

:-

8. Thorax
a. Jantung
b. Pulmo
9. Abdomen
a. Hepar

:-

b. Lien

:-

c. Bising usus

:-

d. Ascites

:-

10. Urogenital
11. Genitalia eksterna
12. Anus dan rectum
13. Ekstremitas
3.1.4

Pemeriksaan Penunjang

3.1.5

Diagnosis Banding

3.1.6

Penatalaksanaan

3.2

Keluhan Utama: Sesak Napas

3.2.1

Definisi Sesak Napas


Sesak napas (dispnea) merupakan keluhan subyektif (keluhan yang dirasakan oleh

pasien) berupa rasa tidak nyaman, nyeri atau sensasi berat, selama proses pernapasan. Pada
sesak napas, frekuensi pernapasan meningkat di atas 24 kali per menit. Oleh karena itu harus
dicari penyebab awal dan segera diatasi. Macam-macam pola pernapasan serta definisinya
terdapat pada tabel berikut:
Pola Pernapasan
Agonal

Deskripsi
Pernapasan yang mengenggap-enggap dengan frekuensi rendah dan
jarak antara pernapasan panjang. Pola pernapasan agonal biasa
didapati pada orang-orang yang akan meninggal, akibat impuls
neurologis yang tidak normal. Kadang juga didapati pada pasien
tanpa denyut nadi.
Ketika pusat pneumotaxic

Apneustic

di

otak

rusak,

pusat

apneustic

menyebabkan inspirasi terus yang berkepanjangan. Ini merupakan


Pernapasan

pertanda buruk yang menunjukkan adanya cedera otak parah.


Biot/ Respirasi dengan pola, laju, dan kedalaman yang tidak teratur.

pernapasan ataxic

Polanya ialah apnea intermitten. Menunjukkan cedera otak parah atau

Bradypnea
Central

herniasi batang otak.


Pernapasan lambat yang tidak biasa.
Tachypneu hiperpnea (pernapasan yang cepat dan dalam) yang

neurogenic

disebabkan oleh tekanan intrakranial meningkat atau cedera otak

hyperventilation

langsung. Menyebabkan penurunan kadar CO2 dan meningkatnya pH,

Pernapasan

keadaan ini disebut sebagai alkalosis respiratorik.


Pernapasan periodik dimulai dengan pernapasan dangkal yang

Cheyne-Stokes

kemudian menjadi cepat dan dalam, kemudian kecepatan bernapas

Batuk

berkurang.
Ekspirasi paksa melawan glottis tertutup, merupakan suatu airwayclearing maneuver. Dapat terlihat ketika zat asing mengiritasi saluran

Cegukan (hiccup)

napas. Dikendalikan oleh pusat batuk di otak.


Kontraksi spasmodik diafragma yang menyebabkan inspirasi singkat
dengan suara yang khas. Kadang-kadang dapat terlihat pada kasus
iritasi diafragma (atau n. phrenicus) dari infark miokard akut, ulkus

Hiperpnea

peptic, atau intubasi endotrakeal.


Pernapasan dalam yang tidak biasa. Terlihat dalam berbagai
gangguan neurologis atau kimia. Obat-obatan tertentu dapat
merangsang jenis pernapasan ini, terutama pada pasien yang
overdosis. Pernapasan ini tidak menggambarkan laju pernapasan,

Hipopnea
Pernapasan

hanya kedalaman pernapasan saja.


Pernapasan dangkal yang tidak biasa.
Mempunyai pola yang sama dengan

Kussmaul

hyperventilation (pernapasan yang cepat dan dalam), namun

Mendesah

pernapasan ini disebabkan oleh asidosis metabolik.


Secara periodik mengambil napas dalam-dalam (sekitar dua kali

(sighing)

volume normal). Sambil menghela napas membuat alveoli terbuka.

Tachypnea

Biasa terjadi pada kejadian sehari-hari.


Pernapasan cepat yang tidak biasa. Istilah ini tidak menggambarkan

Central

neurogenic

kedalaman respirasi, juga tidak berarti bahwa pasien hiperventilasi


(Menurunkan tingkat karbon dioksida dengan bernapas cepat dan
Menguap

dalam).
Menguap tampaknya mempunyai cara yang sama dengan mendesah
(sighing).

3.2.2

Penyebab Sesak Napas


Penyakit penyebab sesak napas dan riwayat khas sesak napas untuk masing-masing

penyakit tersebut ialah sebagai berikut:

Kelainan Jantung / Cardiovaskular


Kelainan jantung yang disertai keluhan sesak napas biasanya terjadi pada gagal
jantung. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi pompa jantung dalam mengisi
dan memompa darah dari paru, akibatnya terjadi penumpukan darah di paru (edema
paru) dan menyebabkan peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru. Maka fungsi
paru pun terganggu dan terjadilah sesak napas. Keluhan sesak napas ini muncul saat
beraktivitas, misalnya naik tangga, yang akan membaik setelah beristirahat. Jika tidak
segera diatasi, keluhan tersebut dapat terus berlanjut walau pada saat istirahat, yaitu
ketika pasien tidur terlentang. Oleh karena itu pasien harus tidur dengan banyak
bantal menyangga kepala bahkan baru lega pada posisi setengah duduk. Keluhan
lainnya yaitu kaki yang membengkak.

Dypsneu tidak berhubungan dengan mengi (wheezing), inilah yang membedakan


dengan PPOK (kecuali terjadi asma kardiale). Didapat juga gejala penyakit jantung
sebagai penyakit yang mendasari :

Pada gagal jantung ringan sesak hanya terjadi saat aktivitas.

Pada gagal jantung yang lebih berat sesak juga terjadi bila berbaring
(orthopnea), langsung menghilang bila duduk atau berdiri ( < 5-10 menit). Bila
gejala ini berat disebut dypsneu nocturnal paroksisimal. Sering disertai edema

tungkai bawah, membaik pada pagi hari dan memburuk pada malam hari.1
Kelainan atau Penyakit Pada Saluran Pernapasan
Sesak napas karena kelainan saluran pernapasan paling sering ditemukan pada
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Penyakit ini disebabkan oleh proses
peradangan paru dan ditandai dengan gangguan aliran udara dalam saluran
pernapasan yang bersifat irreversible (tidak dapat kembali kekeadaan semula). Gejala
lain yang menyertai adalah batuk lama (kronik) yang berdahak.
Sesak napas pada asma muncul saat saluran pernapasan (bronkus) mengalami
peradangan dan menyempit. Gejalanya berupa sesak napas yang disertai bunyi napas
tambahan yang tidak normal seperti suara bersiul yang kasar, biasa disebut mengi
(wheezing). Gejala lainnya adalah batuk dan nyeri dada. Orang yang mempunyai
riwayat asma dalam keluarga memiliki resiko tinggi untuk menderita penyakit ini.
Penyakit infeksi saluran pernapasan seperti pneumonia dan TBC sering disertai
dengan gejala sesak napas. Selain itu pasien juga akan mengalami demam, batuk,
nyeri dada, dan badan lemas.
Emboli Paru, penderita tiba-tiba sesak, onset mendadak, terjadi pada orang yang
memiliki faktor predisposisi (imobilisasi, obesitas). Biasanya disertai nyeri pleuritik.
Pneumothoraks, ditandai oleh nyeri dada yang mendadak, disertai sesak.
Penyakit parenkim paru (pneumonitis/fibrosis interstisialis), ditandai oleh adanya
sesak saat aktivitas dan, bila berat terjadi juga saat istirahat tanpa adanya mengi.

Tidak seperti penyakit jantung, sesak tidak berhubungan dengan posisi tubuh.
Lain-lain
Pada gangguan saluran pencernaan bagian atas yaitu Gastro-Esophageal Reflux
Disease (GERD) dan dyspepsia, dapat terjadi keluhan sesak napas. Peningkatan
asam lambung yang kemudian naik dan masuk ke esophagus (kerongkongan),
menimbulkan rasa sakit dan nyeri terutama saat bernapas pada pasien penderita
GERD. Sesak napas pada dyspepsia timbul karena perut yang terisi penuh oleh gas

dan angin menyebabkan rasa kembung dan begah sehingga diafragma (otot pemisah
antara rongga dada dan perut) terdesak ke arah rongga dada.2
Pada kelainan ginjal, sesak napas terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
asam-basa yang menyebabkan darah menjadi lebih asam (asidosis). Penggunaan obatobatan diperlukan dan dilanjutkan dengan mengurangi cairannya. Kadang pasien
diharuskan pula untuk melakukan cuci darah. Pada diabetes, sesak napas terjadi
karena komplikasi asidosis diabetes. Darah menjadi asam sehingga tubuh
mengkompensasi dengan cara napas yang dalam dan cepat untuk mengeluarkan asam
di dalam darah. Pernapasan seperti ini disebut pernapasan kussmaul. Pengobatan
yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan cairan yang cukup, memperbaiki
kadar gulanya dan mengurangi kadar asam basa darah.
Obesitas, apabila obesitas berat bisa menyebabkan sesak napas, baik saat aktivitas
maupun saat berbaring (orthopnea, disebabkan oleh pembelatan diafragma). Emboli
paru, gagal jantung, dan apnea obstruktif saat tidur lebih sering terjadi pada orang
dengan obesitas.
Anemia, apabila Hb kita menurun di bawah batas tertentu, tubuh kita mencoba
mengatasinya dengan meningkatkan denyut jantung kita. Ketika jantung kita berdetak
lebih cepat, hal ini memungkinkan lebih banyak darah dan oksigen yang dialirkan ke
seluruh tubuh. Paru kita juga dapat menyebabkan kita bernapas lebih cepat untuk
membawa oksigen ke tubuh kita. Pembuluh darah tertentu mengembang untuk
memungkinkan lebih banyak darah yang mengandung oksigen masuk ke dalam
jaringan. Pembuluh darah lain berusaha untuk menutup, untuk menyimpan oksigen.
Pengalihan darah semacam ini dapat menyebabkan kulit kita tampak pucat dan dingin
saat disentuh. Tetapi hal ini memungkinkan tubuh kita untuk menyediakan oksigen ke
organ yang lebih penting. Dengan kegiatan yang meningkat, tubuh kita membutuhkan
lebih banyak oksigen sehingga mengakitbatkan kelelahan, kelemahan, jantung
berdebar, sesak napas, dan gejala lain.
Keracunan, setiap keadaan yang menunjukkan kelainan multisistem dengan
penyebab yang tidak jelas harus dicurigai kemungkinan keracunan. Misalnya bila
ditemukan penurunan tingkat kesadaran mendadak, gangguan napas (sesak napas),
manifestasi berat pada pasien psikiatri, sakit dada pada anak remaja, aritmia yang
mengancam nyawa, atau gejala klinis pada pekerja dengan lingkungan kerja yang

mengandung bahan kimia, asidosis metabolik yang sukar dicari penyebabnya, tingkah
laku aneh, atau pun kelainan neurologis dengan penyebab yang sukar diketahui.3

3.2.3

Mekanisme Sesak Napas

Mekanisme Sesak Nafas Pada Gagal Jantung


Pada penderita gagal jantung, gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang
menurun pada gagal jantung akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel,
sehingga volume residu ventrikel menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume
yang diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic
Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP (Left Ventricle End Diastolic Pressure),
yang mana derajat peningkatannya bergantung pada kelenturan ventrikel. Oleh karena
selama diastol atrium dan ventrikel berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP
akan meningkatkan LAP ( Left Atrium Pressure ), sehingga tekanan kapiler dan vena
paru juga akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru melebihi tekanan
onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan bila cairan
tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru.
Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang
disebut dengan hipertensi pulmonal, yang mana hipertensi pulmonal akan meningkatkan
tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga
terjadi pada jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.

Pada gagal jantung kiri menyebabkan pengumpulan cairan di dalam paru (edema
pulmoner), yang menyebabkan sesak nafas yang hebat. Pada awalnya sesak nafas hanya
terjadi pada saat melakukan aktivitas, tetapi sejalan dengan memburuknya penyakit, sesak
nafas juga akan timbul pada saat penderita tidak melakukan aktivitas. Kadang sesak nafas
terjadi pada malam hari ketika penderita sedang berbaring, karena cairan bergerak
kedalam paru-paru. Penderita sering terbangun dan bangkit untuk menarik nafas atau
mengeluarkan bunyi mengi. Duduk menyebabkan cairan mengalir dari paru-paru
sehingga penderita lebih mudah bernafas. Untuk menghindari hal tersebut, sebaiknya
penderita gagal jantung tidur dengan posisi setengah duduk. Pengumpulan cairan dalam
paru-paru yang berat (edema pulmoner akut) merupakan suatu keadaan darurat yang
memerlukan pertolongan segera dan bisa berakibat fatal.4-5

Mekanisme Sesak Napas Akibat Gangguan Paru


Pada gangguan paru, sesak napas bisa di akibatkan oleh 2 macam penyakit:
1. Penyakit paru obstruktif
Pada penyakit ini, saluran pernapasan menjadi terganggu, gangguan ini bisa berupa
akibat dari reaksi hipersensitivitas pada penyakit asma, reaksi dari hasil infeksi
misalnya pada bronkitis akut. Pada tahap ini, hal-hal yang akan terjadi adalah:
Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan berkontraksi/
memendek/ mengkerut
Produksi kelenjar lendir yang berlebihan
Bila ada infeksi, misal batuk pilek (biasanya selalu demikian) akan terjadi
reaksi sembab/pembengkakan dalam saluran napas
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas. Akibatnya
menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk membersihkan diri,
keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara napas yang berbunyi yang
timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas yang sempit. Suara napas
tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat mengeluarkan napas.
Gejala yang berat dapat berupa napas sangat sesak, otot-otot daerah dada berkontraksi
sehingga sela-sela iganya menjadi cekung, berkeringat banyak seperti orang yang
bekerja keras, kesulitan berbicara karena tenaga hanya untuk berusaha bernapas,
posisi duduk lebih melegakan napas daripada tidur meskipun dengan bantal yang
tinggi, bila hal ini berlangsung lama maka akan timbul komplikasi yang serius.4-5

2. Penyakit paru restriktif


Pada penyakit paru restriktif, dapat terjadi keterbatasan ekspansi total pada paru-paru.
Volume statis paru akan berkurang dan bahkan menghilang sebagai akibat dari
penurunan komplians paru atau toraks. Pasien dengan gangguan restriktif dapat
menunjukkan alkalosis respiratorik akibat peningkatan kompensasi dalam frekuensi
atau kecepatan pernapasan untuk mengimbangi hilangnya volume dari paru itu
sendiri. Jika peningkatan frekuensi pernapasan ini tidak dapat mengkompensasi
volume paru yang menghilang, maka akan terjadi hipoksemia (kadar oksigen yang
rendah dalam darah). Pada saat ini, pasien akan menunjukkan gejala dispnea atau

sesak napas.4-5
Mekanisme Sesak Nafas Pada Gagal Ginjal
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan
menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR ) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan
peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein
dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke
otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada
neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat.
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara
normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan
meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan
cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume
cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya
fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H +)
yang berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya
anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit
terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas.4-5

3.3

Interpretasi Penilaian Awal Pasien


Sesak napas

Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernafas dan merupakan gejala utama dari
penyakit kardiopulmonal. Seseorang yang mengalami dispnea sering mengeluh nafasnya
menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak nafas termasuk juga penggunaan
otot-otot pernafasan tambahan yaitu otot strenocleidomastoideus, scalenus, trapezius,
pectoralis mayor, disertai dengan pernafasan cuping hidung, tacypnea, dan hiperventilasi.
Namun yang perlu diketahui sesak nafas tidak selalu sebagai tanda dari penyakit, pada orang
normal akan mengalami hal yang sama setelah melakukan aktivitas fisik dalam tingkattingkat yang berbeda.
Sesak nafas merupakan gejala yang paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan
trakeobroncial, parenkim paru, dan rongga pleura. Sesak nafas biasanya dikaitkan dengan
penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernafasan akibat meningkatnya resistensi
elastik paru (pneumonia, atelektasis) atau pada penyakit jalan nafas obstruktif dengan
meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (asma, bronkitis). Adapun skala dispnea dari
Brooks SM, chairman: ATS (American Thoracsic Society) News 1982:
Tingkat

Derajat

Kriteria

Normal

Tidak ada kesulitan bernafas kecuali dengan aktivitas berat.

Ringan

Terdapat kesulitan bernafas, nafas pendek ketika terburu-buru


atau ketika berjalan menuju puncak landai.
Berjalan lebih lambat dari kebanyak orang berusia sama

Sedang

karena sulit bernafas atau harus berhenti berjalan untuk


bernafas.

Berat

Berhenti berjalan setelah 90 meter untuk bernafas atau setelah


berjalan beberapa menit.

Sangat

Terlalu sulit untuk bernafas bila meninggalkan rumah atau

berat

sulit bernafas ketika memakai baju atau membuka baju.

Selain itu terdapat beberapa varian gejala umum dispnea diantaranya adalah orthopnea adalah
nafas pendek yang terjadi pada posisi berbaring, penyebab tersering adalah gagal jantung

kongestif akibat peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring.
Dispnea nocturna proksimal menyatakan timbulnya dispnea pada malam hari dan
memerlukan posisi duduk segera untuk bernafas, penyebabnya sama dengan orthopnea.
Pada kasus ini, berdasarkan data berupa sesak nafas dapat diambil beberapa hipotesis dimana
dibagi menjadi gangguan jantung berupa penyakit jantung kongestif, penyakit valvular dan
gangguan pada paru seperti asma bronchial, PPOK, emboli paru, efusi pleura,
pneumothoraks.

Pasien terlihat pucat dan kebiruan

Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami sianosis. Sianosis adalah
warna kebiru-biruan pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah
absolut Hb tereduksi (Hb yang tak berikatan dengan O 2). Sianosis dapat tanda insufisiensi
pernafasan, meskipun bukan merupakan tanda yang dapat diandalkan. Terdapat dua jenis
sianosis yaitu sianosis central dan perifer. Sianosis sentral disebabkan oleh insufisiensi
oksigenasi Hb dalam paru, dan paling mudah diketahui pada wajah, bibir, cuping telinga,
serta bagian bawah lidah. Sianosis biasanya belum dapat diketahui sebelum jumlah absolut
Hb tereduksi mencapai 5 gr per 100 ml atau lebih pada seseorang dengan konsentrasi Hb
yang normal (saturasi oksigen (SaO2) kurang dari 90%). Jumlah normal Hb tereduksi dalam
jaringan kapiler adalah 2,5 gr per 100 ml.
Selain sianosis yang disebabkan oleh insufisiensi pernafasan (sianosis sentral), akan terjadi
sianosis perifer apabila aliran darah banyak berkurang sehingga sangat menurunkan saturasi
darah vena, dan akan menyebabkan suatu daerah menjadi biru. Sianosis perifer bisa terjadi
akibat insufisiensi jantung, sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh darah
akibat suhu yang dingin.
Sehingga pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi sianosis, namun untuk
memastikan terjadi sianosis sentral atau perifer belum dapat ditegakan karena data yang
kurang jelas dimana warna biru dan pucat terlihat dan belum dapat disimpulkannya yang
menjadi dasar penyebab sianosis terjadi baik penyakit paru atau jantung.

Nadi teraba cepat dan lemah

Berdasarkan data ini kemungkinan terjadi sebagai akibat sesak nafas yang diderita pasien ini.
Dimana pada keadaan sesak nafas terjadi akibat gangguan ventilasi dapat berupa hiperkapnia

atau hipokapnia. Hiperkapnia didefinisikan sebagai peningkatan PaCo2 sampai diatas


45mmHg, sedangkan hipokapnia terjadi apabila PaCo2 kurang dari 35 mmHg. Tanda klinik
yang dikaitkan dengan dengan hiperkapnia adalah kekacauan mental yang berkembang
menjadi koma, sakit kepala, serta nadi yang cepat. Sehingga pada kasus ini nadi yang teraba
cepat dapat dihubungkan dengan terjadinya sesak napas.6

Dada kanan terbentur setang sepeda motor

Kemungkinan adanya trauma pada paru maupun plura. Trauma ini nantinya dapat
menyebabkan perdarahan pada pasien dan perdarahan akan menumpuk di dalam rongga
pleura dan menjadi hematothorax. Namun, bisa juga trauma menyebabkan adanya suatu one
way valve yang menyebabkan udara dapat masuk ke dalam rongga pleura, namun tidak bisa
keluar.

Penderita sadar penuh

Tidak ada trauma pada kepala, pada trauma kapitis, bisa terjadi penurunan kesadaran.

Tidak pernah pingsan, tidak mual dan tidak muntah

Tidak ada trauma pada kepala, pada trauma kapitis bisa menyebabkan peningkatan tekanan
intra kranial yang dapat menyebabkan gejala sistemik.

Nyeri di dada

Nyeri pada dada kemungkinan di karenakan oleh adanya rangsangan nyeri pada pleura
parietalis, yang bisa di sebabkan oleh adanya penambahan cairan atau udara di dalam rongga
pleura, pada hematothorax maupun.

Dada seperti di tekan

Terjadi akibat adanya cairan ataupun udara yang berlebihan di dalam rongga pleura. Pada
tension pneumothorax, gejala seperti ini dapat berlanjut secara progresif.

Napas cepat dan dangkal

Pernapasan cepat adalah suatu kompensasi yang di alami oleh tubuh, akibat sesak napas yang
di derita pasien setelah mengalami trauma untuk mendapatkan suplai oksigen yang tetap

adekuat. Pernapasan dangkal, di karenakan adanya rangsang nyeri pada pasien dimana
pernapasan dalam akan menambah rasa nyeri.

Suara napas di hemithorax kanan menghilang

Dapat terjadi pada pneumothorax dan hematothorax, dimana terjadi adanya halangan yang
terjadi pada pleura, berupa darah maupun udara yang menyebabkan suara napas tidak dapat
di dengar pada pemeriksaan auskultasi thorax.

3.4

Tindakan: Primary Survey and Resuscitation


Tujuan dilakukanya evaluasi secara dini pasa pasien-pasien yang datang ke IGD ialah

untuk: menstabilisasi keadaan pasien, mengidentifikasi kondisi-kondisi yang dapat


mengancam nyawa pasien, memberikan tatalaksana supportif kepada pasien, dan
merencanakan tatalaksana definitif yang diperlukan oleh pasien. Bila keempat tujuan yang
telah disebutkan dapat tercapai maka tingkat mortalitas pada pasien-pasien gawat darurat
dapat diturunkan dan kematian dapat dicegah. Yang dimaksud dengan primary survey and
resuscitation ialah melakukan penilaian terhadap airway, breathing, circulation, disability,
dan exposure (ABCDE) guna menetapkan tatalaksana yang harus diutamakan, selain itu juga
memberikan tatalaksana yang bersifat life-saving bila didapatkan masalah yang dapat
mengancam kehidupan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada pasien anak, wanita hamil,
atau lansia karena responsnya terhadap trauma berbeda.
3.4.1

A: Airway Maintenance and Cervical Spine Protection


Manajemen jalan napas (airway management) adalah masalah umum yang dihadapi

setiap hari di pada bagian kegawat daruratan (emergency department). Tujuan dari
manajemen jalan napas adalah: 1.menilai jalan napas bebas atau tidak, dan 2.menilai apakah
ada obstruksi atau tidak pada jalan napas. Obstruksi jalan napas, sebagai contoh sederhana
ialah seperti pangkal lidah yang jatuh ke dalam saluran napas atau komplikasi dari
angioedema, benda asing, atau luka tembak rahang atas. Obstruksi jalan napas menyebabkan
hipoksia dan hiperkapnia yang mengakibatkan kematian otak jika tidak ditangani dalam
waktu 5 menit.7, 8, 9
Algoritma pada manajemen jalan napas (airway management) adalah sebagai berikut:
1.

Periksa atau cek respon dan kesadaran pasien:


Perlu diperiksa apakah pasien tanggap atau merespon. Memeriksa respon dapat berupa
rangsang dengar dan rangsang nyeri. Rangsang dengar, yaitu dengan berbicara/bertanya

kepada pasien (misalnya saja bertanya Apakah bapak /ibu baik-baik saja?). Rangsang
nyeri, yaitu dengan membuat rangsang nyeri pada bagian tubuh pasien. Bila terdapat
koma atau stupor, mungkin gangguan berasal dari saluran pernapasan (hiperkapnia atau
hipoksemia), karena obat-obatan, atau gangguan pada sistem saraf. Penurunan
kesadaran menunjukkan adanya obstruksi saluran napas, aspirasi pada saluran napas,
atelektasis, atau pneumonia. Tidak adanya refleks muntah dan atau tidak dapat
2.

mengelola napas yang adekuat dapat menjadi indikasi dilakukannya intubasi. 9


Menilai jalan napas. Look, feel and listen:
Look, feel dan listen dilakukan paling lama hanya 10 detik. Adapun look, feel, dan
listen adalah:
Look: Lihat pergerakan dada (nafas)
Listen: Dengar suara napas pasien
Feel: Rasakan adanya udara dengan pipi
Yang perlu diperhatikan pada look, listen, dan feel ialah:

Suara napas yang abnormal: Perlu diperhatikan apakah pasien mempunyai


suara napas yang abnormal atau tidak dan ada atau tidaknya sumbatan (dapat
berupa cairan atau padat). 7, 8
Suara Napas
Afonia
Stridor

Deskripsi
Menunjukkan adanya obstruksi saluran napas lengkap.
Suara abnormal yang bernada tinggi. Biasanya terdengar saat
inspirasi. Menunjukkan adanya obstruksi terutama pada saluran

Suara serak
(hoarseness)
Wheezing

napas bagian atas.


Spesifik pada laring. Berhubungan dengan edema dan
disfungsi unilateral pita suara.
Sebuah suara berupa siul bernada tinggi atau berdengung di
paru-paru dengar selama pernapasan, lebih jelas pada saat
ekpirasi daripada inspirasi; terjadi ketika ada penyempitan atau

Suara dengkur
(snoring)

obstruksi bronkiolus.
Menunjukkan adanya obstruksi faring. Contoh sederhana
biasaya adalah lidah yang jatuh ke belakang dan menutup jalan

Crackles/rales

napas.
Bunyi napas

Gurgling

(crackling). Terjadi ketika ada akumulasi cairan dalam alveoli.


Menunjukkan adanya cairan yang menghalangi saluran napas

Ronki

bagian atas
Suara bernada rendah (seperti suara mendidih/ bubbling, karena
akumulasi

abnormal

cairan

yang

dalam

memiliki

yang

kualitas

lebih

derak

besar

dalam saluran napas). Kadang-kadang mengacu pada derak

(crackles) bernada rendah.


Ada tidaknya batuk: Batuk dapat merupakan hasil dari stimulasi termal,
mekanik, maupun kimia.8

Batuk
Deskripsi
Barking cough
Indikasi adanya proses patologis subglottic seperti croup.
Brassy cough
Hasil dari penyakit trakeobronkial.

Pemakaian otot-otot pernapasan sekunder: Pemakaian otot-otot pernapasan


sekunder seperti m.sternocleidomastoideus dan m. intercostalis menunjukkan

beratnya sesak napas yang diderita oleh pasien.


Ada tidaknya sianosis: Sianosis terjadi ketika kadar deoksihemoglobin
mencapai 5 g/dL. Perlu diperhatikan pada pasien yang anemia, sianosis
biasanya tidak dapat dilihat karena saturasi oksigen yang rendah dibandingkan
pada polistemia dimana sedikit penurunan saturasi oksigen dapat menyebabkan

3.

sianosis. 9
Bersihkan jalan napas:
Setelah menilai jalan napas, apabila ada sumbatan, sumbatan yang ada dikeluarkan

4.

dengan tindakan-tindakan seperti tindakan jari menyapu, suction, ataupun intubasi.


Stabilisasi posisi kepala dan leher:
Stabilisiasi
cervical
spine
atau
pemasangan collar neck harus dilakukan
pada semua trauma atau injury yang tidak
diketahui penyebabnya. Posisi kepala
distabilkan pada posisi mengendus
(sniffing position) atau posisi lateral
dekubitus. Menempatkan pasien dalam
posisi

mengendus,

atau

posisi

dekubitus lateral, dapat memperbaiki hambatan saluran napas bagian atas. Posisi
mengendus dicapai dengan cara meregangkan tulang belakang leher sekitar 15
derajat dan memperluas sendi atlanto-occipital maksimal. Posisi ini juga dapat dicapai
dengan mengangkat dagu (chin lift) dan/atau maneuver rahang-dorong (jaw thrust).
Apabila curiga adanya fraktur cervical, posisi mengendus ini dapat dicapai dengan
5.
6.

cara jaw thrust. 10, 11


Jaga jalan napas tetap terbuka.
Mempertimbangkan membuat jalan napas buatan.

Tindakan pada pengelolaan airway


Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan pada saat pengelolaan airway adalah:

Chin lift

Chin lift merupakan salah satu manuver paling dasar dan


metode awal untuk membebaskan jalan napas. Manuver ini
dilakukan dengan menempatkan jari di bawah mandibula.
Jangan menempatkan jari pada jaringan lunak dari ruang
submandibula, karena hal ini akan mengangkat lidah dan
menyebabkan obstruksi lebih lanjut. Angkat dagu ke arah
anterior dan cephalic. Kepala juga mungkin agak dimiringkan
ke posterior untuk membantu dalam membuka jalan napas.

Jaw thrust

Jaw thrust juga merupakan salah satu maneuver dasar dan


metode awal untuk membebaskan jalan napas. Maneuver ini
dilakukan dengan teknik dua tangan. Operator diposisikan pada kepala pasien dan tempat
jari-jari mereka pada sudut rahang bawah bilateral, kemudian mandibula diangkat ke arah
anterior.

Pemasangan nasopharingeal tube dan oropharingeal tube

Mayoritas obstruksi jalan napas terjadi di faring. Selain posisi yang tepat, kita dapat
menggunakan berbagai bantuan untuk mengatasi obstruksi pada situs ini dan memfasilitasi
ventilasi efektif. Perangkat yang paling sering digunakan adalah oropharingeal tube dan
nasopharingeal tube. Apapun perangkat yang dipilih, penting untuk menempatkanya pada
saluran napas yang cukup besar untuk menjembatani daerah jaringan lunak pada faring.
a) Nasopharingeal tube
Nasofaringeal tube adalah karet lembut atau tabung plastik yang dimasukkan melalui
lubang hidung ke dalam orofaring, tepat di atas epiglottis. Saluran udara nasofaring
tersedia dalam berbagai ukuran Semakin besar diameter bagian dalam, semakin
panjang tabung. Setelah diposisikan, nasofaringeal tube lebih nyaman bagi pasien
daripada orofaringeal tube tetapi nasofaringeal tube membawa resiko signifikan
dimana penempatanya dapat mengakibatkan epistaxis. Ukuran 30 atau 32 French
airway yang paling sesuai untuk orang dewasa.

Nasofaringeal tube dapat dengan aman ditempatkan pada pasien sadar, setengah
sadar, atau tidak sadar. Alat ini juga dapat digunakan ketika sebuah orofaringeal tube
tidak dapat ditempatkan (bila terdapat trauma lisan, kawat gigi, kejang, trismus, dll).
Dalam melakukan pemasangan alat ini penting untuk juga melakukan jaw thrust
dan/atau chin lift untuk mencegah lidah menghalangi jalan napas. Teknik pemasangan
nasofaringeal tube merupakan proses yang cepat dan dijelaskan sebagai berikut:
1) Pilih ukuran yang sesuai.
2) Tempatkan ujung tube yang melebar dekat ujung hidung pasien.
3) Ujung distal nasofaring tube harus pada canalis auditorius eksterna.
4) Berikan water-soluble lubricant (pelumas) atau anestesi jelly. Jika tidak ada
kontraindikasi diberikan vasokonstriktor ke mukosa hidung pasien.
5) Masukkan dengan lembut nasofaringeal tube dengan ujung miring terhadap
septum hidung. Hal ini akan mencegah ujung dari alat terperangkap oleh
concha media atau concha dan menyebabkan epistaksis.

6) Masukkan sepenuhnya sampai ujung tube yang melebar bertentangan dengan


lubang hidung. Putar 90 derajat nasofaringeal tube sehingga cekung ke atas.
Jika ada tahanan selama penyisipan, sedikit rotasi akan memfasilitasi jalan
napas.
7) Tambahan oksigen atau ventilasi tekanan positif dengan perangkat kantongkatup-mask (bag-valve) dapat dimulai setelah insersi alat.
Penyisipan dari nasofaringeal tube berhubungan dengan komplikasi. Jika perangkat
terlalu panjang, dapat menyebabkan laryngospasm dan muntah. Dapat juga terjadi
distensi lambung dan aspirasi bila penempatannya di esofagus. Mukosa hidung yang
mengalami cedera pada penyisipan dapat menyebabkan epistaksis dan aspirasi darah.

b) Oropharingeal tube
Orofaringeal tube adalah perangkat
plastik

setengah

lingkaran

yang

memegang lidah jauh dari dinding


faring posterior. Orofaringeal tube ini
lebih jarang menyebabkan trauma dan
lebih

mudah

nasofaring

ditempatkan

tube.

daripada

Orofaringeal

tube

hanya digunakan pada pasien tidak sadar. Alat ini mungkin mengakibatkan
laryngospasm dan muntah jika ditempatkan pada pasien yang sadar atau setengah
sadar. Ukuran 8.0, 9.0, atau 10.0 cm dapat digunakan untuk kebanyakan orang
dewasa.
Penyisipan orofaringeal tube adalah prosedur cepat dan sederhana:
1) Pilih ukuran yang sesuai jalan napas orofaringeal. Ukuran yang benar
diperkirakan dengan menempatkan tube di samping mulut pasien.
2) Ujung distal harus berada tepat di atas sudut mandibula. Bersihkan mulut dan
orofaring dari benda asing apapun (darah, sekret, atau muntah) dengan kateter
suction Yankauer.
3) Buka rahang pasien dengan tangan kiri. Pisahkan gigi dengan aksi "seperti
-gunting" ibu jari pada gigi yang lebih rendah dan indeks atau jari tengah pada
gigi atas.

Pemasangan

orofaringeal
tube

4) Masukkan orofaringeal tube sisi melengkung. Ujung akan bergeser di


sepanjang langit-langit mulut (palatum).
5) Setelah penyisipan, putar 180 derajat, sehingga kurva dari orofaringeal tube
mengikuti kelengkungan lidah.
6) Sebuah metode alternatif adalah dengan menggunakan pisau lidah/ spatel lidah
untuk menekan lidah dan kemudian memasukkan orofaringeal tube seperti di

atas. Jika

pisau

lidah

digunakan,
orofaringeal
tube juga

dapat
dimasukkan

dengan sisi kurva ke atas.

Pemasangan dengan pisau lidah


7) Tambahkan oksigen atau ventilasi tekanan positif dengan perangkat kantongkatup-mask (bag-valve) dapat dimulai setelah insersi alat.
Jika tube tidak terpasang dengan benar, bisa mendorong lidah posterior dan
selanjutnya menghalangi orofaring. Jika bibir atau lidah yang terjebak di antara gigi
dan orofaringeal tube, laserasi yang signifikan dapat terjadi. Jika orofaringeal tube
terlalu panjang, dapat memaksa epiglotis tertutup terhadap pita suara dan
menghasilkan obstruksi jalan napas lengkap. Tube yang terlalu kecil pun dapat
memaksa lidah ke faring dan menghasilkan obstruksi.
Pemasangan orofaringeal tube memiliki banyak kegunaan. Indikasi utama adalah
untuk mempertahankan jalan napas. Alat ini akan mencegah pasien dari menggigit,
occluding, dan mengoyak tabung endotrakeal. Alat ini memfasilitasi penyedotan
orofaringeal dengan menghapus lidah dari jalan napas. Alat ini juga akan
melindungi lidah dari gigitan selama aktivitas kejang.9, 10

Intubasi trakea (Endotracheal Intubation)

Ketika tidak mampu untuk ventilasi pasien yang tidak responsif dengan metode basic life
support, intubasi diperlukan. Intubasi adalah cara yang paling pasti mengamankan jalan
napas pasien. Intubasi melibatkan tabung ET melalui pembukaan glottic dan penyegelan

tabung dengan cuff dalam keadaan inflated/terpompa pada dinding trakea, atau uncuffed
dalam kasus bayi. Intubasi endotrakeal diindikasikan bila ada kegagalan pernapasan saat ini
atau yang akan datang atau pasien tidak mampu untuk melindungi jalan nafasnya sendiri
sebagai akibat dari koma, penurunan tingkat kesadaran, atau serangan jantung. Adapun jenis
intubasi adalah:
a)

Intubasi orotrakea dengan laringoskop: Pembukaan glottic divisualisasikan dengan


laringoskop saat ETT sedang dimasukkan. Ini adalah metode yang paling umum

b)

dilakukan.
Intubasi nasotrakeal: Tabung ET dilewatkan ke trakea melalui nasofaring. Intubasi
dilakukan tanpa visualisasi glottis. Penggunaanya ialah pada pasien dengan gangguan
pernapasan untuk mencegah memburuknya kondisi mereka dan ketika laringoskopi

c)

d)

langsung merupakan kontraindikasi.


Digital intubation: Intubasi digital dilakukan dengan menempatkan jari-jari tangan
intubator ke mulut pasien, dalam upaya untuk memandu tabung ET ke dalam trakea.
Teknik transiluminasi: Teknik ini menggunakan stilet serat optik dengan ujung
menyala. Metode ini memungkinkan untuk intubasi tanpa perlu dilakukan manipulasi
pada kepala dan leher. Metode ini juga memungkinkan untuk dilakukan intubasi tanpa
visualisasi langsung dari pita suara.7

Intubasi endotrakeal yang paling umum dipakai adalah intubasi orotrakea dengan
laringoskop.
Berikut persiapan alat-alatnya:
1. Endotrakeal tube dalam berbagai
2.
3.
4.
5.
6.
7.

ukuran
10 mL jarum suntik
Larut air pelumas atau jelly anestesi
Kawat stilet
Laringoskop
Baterai siap pakai untuk laringoskop
Bilah laringoskop, berbagai bentuk
(melengkung/Macintosh

atau

lurus/Miller)
8. Osigen dengan tabung yang tepat
dan konektor
9. Nonrebreather masker oksigen, berbagai ukuran
10. Perangkat Suction
11. Yankauer kateter hisap
12. Perangkat bag-valve, ukuran: bayi, anak, orang dewasa kecil, menengah dewasa,
besar dewasa
13. Orotracheal tube, ukuran: bayi, anak, dewasa 3 sampai 5

14. Nasotracheal tube, berbagai ukuran


15. Benzoin perekat
16. Tape
17. Pulse oksimeter
18. Monitor jantung
19. Sphygmomanometer otomatis
20. Perangkat monitoring CO2
21. Perangkat krikotirotomi
22. Obat-obatan resusitasi
23. Personil (teknisi pernafasan, perawat obat, in-line asisten stabilisasi, perekam)
24. Obat-obatan (premedications, induksi, anestesi)

Teknik intubasi orotrakea dengan laringoskop ialah sebagai berikut:


1.

Stabilisasi kepala pada posisi mengendus.

2.

Pegangan laringoskop dipegang di tangan kiri sementara mulut pasien dibuka selebar
mungkin.

3.

Bilah laringoskop dimasukkan ke sisi kanan mulut, dorong lidah ke bagian kiri, dan
masukkan bilah mencapai pangkal lidah.

4.

Bila memakai bilah melengkung (Macintosh) maju ke vallecula dan angkat ke atas
kearah handle pada sudut 45 derajat untuk meningkatkan epiglottis. Bila memakai
bilah lurus (Miller) maju, ujung pisau diposisikan di bawah epiglottis dan angkat ke
atas ke arah handle yang diterapkan dalam cara yang sama seperti dengan bilah
melengkung. Area faring terekspos. Jangan memutar kembali pisau ke gigi.

Pemasangan bilah lengkung dan bilah lurus


5.

Menilai lapang pandang. Apabila ada sekret, hendaknya dihisap untuk memperluas
lapang pandang.

Lapang pandang
6.

Setelah

pembukaan

glottic
divisualisasikan,
masukkan tube sesuai
dengan ukuran melalui
pita suara sampai cuff
tidak

terlihat.

Kemudioan

cuff

dikembangkan.
7.

Menentukan

bahwa

tube sudah berada di


dalam
belum.
intubasi

trakea

atau

Tanda-tanda
trakea

berhasil terdiri dari keberadaan CO2 pada penghembusan napas, adanya suara napas,
kurangnya suara napas atas perut, kurangnya distensi lambung, dan adanya
kelembaban gas pernapasan dalam tabung endotrakeal.
8.

Penyisipan dari tabung sampai 23 cm di gigi seri pada pria dan 21 cm pada wanita
umumnya menyediakan posisi tabung endotrakeal yang optimal. 12, 13, 14

Jenis intubasi
Intubasi Orotrakea dengan
Laringoskop
Digunakan pada setiap pasien
Indikasi

ketika ada kebutuhan untuk


jalan napas yang definitif

Intubasi Nasotrakeal

Pasien dengan refleks muntah utuh yang


mengalami gangguan pernapasan

Digital Intubation
Pasien tanpa refleks
muntah yang utuh
Pasien yang tidak sadar

Teknik Transiluminasi
Pasien tanpa refleks
muntah yang utuh
Pasien yang tidak
sadar

Pasien dengan:

Kontra-

Pasien yang mempunyai

indikasi

refleks muntah yang utuh

Keadaan apneic
Trauma kepala
Fraktur basis cranii
Gangguan pembekuan darah
Pengobatan antikoagulan
Gangguan anatomi hidung (deviasi

Pasien yang mempunyai

Pasien yang mempunyai

refleks muntah yang utuh

refleks muntah yang utuh

Mampu untuk

Mampu untuk

septum, polip hidung)


Pengunaan kokain

Menyediakan jalan napas


yang pasti
Keuntungan
Mencegah terjadinya
aspirasi

Kerugian

Sulit dilakukan pada pasien


obesitas

Menyediakan jalan napas yang pasti pada


pasien yang mempunyai reflek muntah
utuh

memasukkan tabung

memasukkan tabung

ET tanpa perlu untuk

ET tanpa perlu untuk

visualisasi langsung
Berguna pada pasien
dalam kasus kegagalan

Epistaksis tak terkendali


Kerusakan turbinasi hidung

visualisasi langsung
Berguna pada pasien
dalam kasus

peralatan
Kemungkinan intubasi ke

kegagalan peralatan
Kemungkinan intubasi ke

esofagus

esofagus

Aspirasi
Kemungkinan intubasi

Intubasi ke esofagus yang tidak


Komplikasi

diketahui dapat menyebabkan


kematian

Gambar

Epistaksis

ke esofagus
Jari intubator dapat
tergigit

Kemungkinan intubasi ke
esofagus

Krikotirotomi

Sebuah insisi krikotirotomi dibuat melalui membran krikotiroid dalam usaha membuka jalan
napas pasien untuk bantuan darurat dari obstruksi jalan napas atas. Ini adalah prosedur yang
biasanya dilakukan sebagai upaya terakhir dalam kasus di mana saluran napas pasti yang
dibutuhkan dan semua upaya lain untuk mengamankan jalan napas telah gagal. Krikotirotomi
memberikan jalur langsung ke saluran napas bagian bawah.
Indikasi krikotirotomi:
-

Mengertakkan gigi (membuat penyisipan tabung ET mustahil)


Kasus tersedak yang parah, seperti obstruksi jalan napas benda asing di saluran napas

bagian atas
Pasien yang membutuhkan manajemen jalan napas, tetapi tidak dapat diintubasi

melalui rute oral atau nasal


Ketika kebutuhan untuk manajemen saluran udara ada, dan teknik dasar saluran napas

tidak efektif
Trauma wajah yang parah

Kontraindikasi krikotirotomi:
-

Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi landmark (membran krikotiroid)


Kelainan anatomi yang mendasari (tumor)
Transeksi trakea
Penyakit laring akut yang disebabkan infeksi atau trauma

Prosedur krikotirotomi:
Sebuah krikotirotomi umumnya dilakukan dengan membuat sayatan pada kulit leher tepat di
bawah kartilago tiroid, diikuti oleh sayatan di membran krikotiroid, yang terletak jauh dari
titik ini. Tabung ET kemudian dimasukkan untuk memungkinkan ventilasi.7, 9, 15-17

Trakeostomi

Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk
bernapas.
Indikasi trakeostomi:
-

Mengatasi obstruksi laring


Mengurangi ruang rugi di saluran napas bagian atas
Mempermudah penghisapan sekret dari bronkus
Untuk pemasangan respirator 17

Teknik Trakeostomi

3.4.2

B: Breathing and Ventilation


Pengertian manajemen fungsi pernapasan ialah usaha memperbaiki fungsi ventilasi

dengan cara memberikan pernafasan buatan untuk menjamin pertukaran udara di paru-paru
terjadi secara normal. Hal ini untuk menjamin kebutuhan akan oksigen terpenuhi dan
pengeluaran gas CO2 dapat berlangsung. Pada manajemen pernapasan dan ventilasi dilakukan
beberapa hal yaitu: 1.memberikan oksigen melalui sungkup atau dengan ventilasi bertekanan
positif setelah dilakukan intubasi; 2.melakukan penilaian terhadap pernapasan pasien dengan
menila paru-paru, dinding thoraks, serta diafragma; 3.melakukan pemeriksaan fisik pada
thoraks dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Tujuan pemeriksaan fisik ialah
untuk mendeteksi adanya lesi yang dapat mengganggu ventilasi, seperti:18
Tension pneumothorax/ pneumothoraks: keadaan dimana terdapat udara atau
gas dalam rongga pleura
Flail chest: mobilitas dinding thoraks yang abnormal/ patologik akibat patah
tulang iga
Hemothoraks: keadaan dimana terjadi pengumpulan darah di dalam rongga
pleura
Luka dada terbuka
Algoritma pada manajemen pernapasan ialah seperti berikut:

1. Menilai pernapasan:
Pernapasan dinilai dengan metode look-listen-feel. Adapun yang dimaksud untuk
masing-masing aspek look-listen-feel adalah sebagai berikut:
Look (lihat): Yang diperhatikan ialah gerak dada, gerak cuping hidung (flaring
nostril), dan adakah retraksi sela iga.
Listen (dengar): Yang diperhatikan ialah suara napas dan adakah suara napas
tambahan.
Feel (rasakan): Dirasakan adakah udara pernapasan yang keluar dari hidung
dan mulut.
Bila pasien dapat bernapas dengan normal maka ditempatkan dalam recovery
position.19

2. Melakukan pemeriksaan fisik:


Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi:
Inspeksi: Diperhatikan gerakan dada dan adakah bantuan otot-otot bantu
pernapasan. Diperhatikan adanya tanda distress pernapasan yaitu nafas
dangkal dan cepat, gerak cuping hidung (flaring nostril), tarikan sela iga
(retraksi), tarikan otot leher (tracheal tug), nadi cepat, hipotensi, vena leher
distensi, dan sianosis (tanda lambat). Dilakukan penilaian terhadap laju
pernapasan.
Palpasi: Palpasi dilakukan pada thoraks untuk mengetahui apakah gerakan
dada simetris atau tidak.
Perkusi: Diperhatikan suara ketukan apakah redup atau hipersonor, dan apakah
suara ketuk pada kedua hemithoraks sama.
Auskultasi: Dilakukan untuk mendengar suara napas, memastikan apakah
suara napas kedua hemithoraks sama, dan adakah ronki atau wheezing.19
3. Memberikan oksigen:
Oksigen diberikan untuk meningkatkan kadar oksigen dalam udara inspirasi. Oksigen
diberikan menggunakan sungkup muka (masker transparan) dengan atau tanpa

kantung nafas. Aliran oksigen 6-8 liter per menit akan menghasilkan kadar inspirasi
60%. Bila diperlukan kadar oksigen lebih tinggi, dapat digunakan sungkup dan
kantung nafas (bag valve mask) dengan aliran 10-15 liter per menit, dimana akan
menghasilkan 90% oksigen dalam udara inspirasi. Gambaran klinis pasien akan
menentukan kadar oksigen yang diperlukan namun pada pasien yang sakit akut harus
mendapatkan paling sedikit 60% oksigen.20
4. Memberikan pernapasan buatan:
Memberikan pernapasan buatan ialah suatu tindakkan memasukkan oksiden dan
mengeluarkan CO2 dari paru secara aktif dengan tekanan positif berkala/ intermittent
positive pressure ventilation. Pernapasan buatan diberikan pada pasien yang tidak
bernapas (apnea), pasien dengan depresi pernapasan (hipoventilasi), maupun pasien
dengan pola pernapasan tidak normal.
5. Melakukan pemeriksaan analisa gas darah:
Pemeriksaan analisa gas darah dilakukan untuk menilai oksigenasi dan ventilasi
karena dengan pemeriksaan analisa gas darah dapat diketahui konsentrasi oksigen dan
karbon dioksida.20
Tindakan pada pengelolaan breathing

Pemberian napas buatan

Pernapasan buatan diberikan sebanyak 12-20 kali/menit sampai dada nampak terangkat dan
dapat diberikan tambahan oksigen bila diperlukan. Bila udara masuk ke dalam lambung
jangan dikeluarkan dengan cara menekan lambung karena dapat terjadi aspirasi. Pemberian
napas buatan dilakukan dengan in-line immobilization (fiksasi kepala-leher). Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, pemberian napas buatan ialah dengan memberikan ventilasi
tekanan positif secara berkala. Adapun metode pemberian ventilasi tekanan positif ialah
dengan: mouth-to-mouth, mouth-to-mask, one-person bag-mask ventilation, two-person bagmask ventilation, dan flow-restricted oxygen-powered ventilation device. Metode yang paling
dianjurkan ialah metode mouth-to-mask dan two-person bag-mask ventilation. Secara garis
besar metode pemberian napas buatan (diatas) dibagi menjadi tanpa alat dan dengan alat: 7, 19
a) Pemberian napas buatan tanpa alat:
Pemberian napas buatan tanpa alat ialah dengan cara memberikan pernapasan buatan
dari mulut atau dari mulut ke hidung sebanyak dua kali tiupan awal dan diselingi
ekshalasi.
Untuk memberikan bantuan pernafasan mulut ke mulut, jalan nafas korban harus
terbuka. Perhatikan kedua tangan penolong pada gambar masih tetap melakukan
teknik membuka jalan nafas chin lift. Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan

atau dengan menekankan pipi penolong pada hidung korban. Mulut penolong
mencakup seluruh mulut korban. Mata penolong melihat ke arah dada korban untuk
melihat pengembangan dada. Pemberian pernafasan buatan secara efektif dapat
diketahui dengan melihat pengembangan dada korban. Berikan 1 kali pernafasan
selama 1 detik, berikan pernafasan biasa. kemudian berikan pernafasan kedua selama
1 detik. Untuk bayi dan anak, nafas buatan yang diberikan lebih sedikit dari orang
dewasa, dengan tetap melihat pengembangan dada. Usahakan hindari pemberian
pernafasan yang terlalu kuat dan terlalu banyak karena dapat menyebabkan kembung
dan merusak paru-paru korban. Konsentrasi oksigen melalui udara ekspirasi mulut
sekitar 17 %.

Setelah nafas buatan diberikan, segera nilai sirkulasi dengan mengecek nadi arteri
karotis. Nadi carotis dapat diraba dengan menggunakan 2 atau 3 jari menempel pada
daerah kira-kira 2 cm dari garis tengah leher atau jakun pada sisi yang paling dekat
dengan pemeriksa. Waktu yang tersedia untuk mengukur nadi carotis sekitar 5 10
detik. Jika nadi teraba, nafas buatan diteruskan dengan kecepatan 10-12 kali/menit
atau satu kali pernafasan diberikan setiap 5-6 detik disertai pemberian oksigen dan
pemasangan

infus.

Jika

perlu

pemasangan

ETT

dan

ventilator.

Pemantauan/monitoring terus dilakukan. Pemeriksaan denyut nadi dilakukan setiap 2


menit sampai pasien stabil.19
b) Pemberian napas buatan dengan alat:
Alat yang digunakan untuk memberikan pernapasan buatan ialah ambu bag atau selfinflating bag yang dapat ditambahkan dengan oksigen. Penggunaan ambu bag bisa
dilakukan oleh satu maupun dua orang. Selain ambu bag juga dapat digunakan
ventilator mekanik/ respirator.
Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi untuk memompa oksigen udara bebas,
valve/pipa berkatup, dan masker yang menutupi mulut dan hidung penderita.

Penggunaan ambu bag atau bagging sungkup memerlukan keterampilan tersendiri.


Penolong seorang diri dalam menggunakan ambu bag harus dapat mempertahankan
terbukanya jalan nafas dengan mengangkat rahang bawah, menekan sungkup ke muka
korban dengan kuat dan memompa udara dengan memeras bagging. Penolong harus
dapat melihat dengan jelas pergerakan dada korban pada setiap pernafasan. Ambu bag
digunakan dengan satu tangan penolong memegang bag sambil memompa udara
sedangkan tangan lainnya memegang dan memfiksasi masker. Pada Tangan yang
memegang masker, ibu jari dan jari telunjuk memegang masker membentuk huruf C
sedangkan jari-jari lainnya memegang rahang bawah penderita sekaligus membuka
jalan nafas penderita dengan membentuk huruf E.

Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang penolong yang
berpengalaman. Salah seorang penolong membuka jalan nafas dan menempelkan
sungkup wajah korban dan penolong lain memeras bagging. Kedua penolong harus
memperhatikan pengembangan dada korban.
Konsentrasi oksigen yang dihasilkan dari ambu bag sekitar 20 %. Dapat ditingkatkan
menjadi 100% dengan tambahan oksigen.19

3.4.3

C: Circulation with Haemorrhage Control


Selain jalan napas yang bersih dan pernapasan yang adekuat, oksigen bisa sampai ke

jaringan-jaringan di dalam tubuh jika sirkulasi darah yang membawa oksigen tersebut lancar.
Untuk menilai sirkulasi dapat dilakukan pemeriksaan terhadap denyut arteri carotis. Tujuan
dari manajemen sirkulasi ialah untuk membantuk sirkulasi darah guna menormalkan

oksigenasi jaringan. Prinsip manajemen sirkulasi ialah: 1.menangani

perdarahan;

2.menangani hipovolemia (mencegah syok) dengan resusitasi cairan; 3.menangani henti


jantung.
Algoritma pada manajemen sirkulasi ialah seperti berikut:
1. Melakukan pemeriksaan fisik untuk menilai sirkulasi:
Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik untuk menilai sirkulasi ialah denyut
nadi (laju, karakteristik, dan ritme nadi), warna kulit, suhu, capillary refill, dan
tekanan darah. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan fisik untuk menilai kerja dan
fungsi jantung (juga dapat dilakukan pemeriksaan EKG pada jantung). Sirkulasi yang
tidak adekuat ditandai oleh nadi yang lemah, warna kulit yang pucat, capillary refill
yang lambat, dan hipotensi mungkin disebabkan oleh perdarahan yang tidak
terkontrol ataupun kehilangan cairan yang banyak. Pada pemeriksaan fisik juga perlu
diwaspadai tanda-tanda syok (tekanan darah sistolik kurang dari 80 mmHg) yang
perlu penanganan segera.20
2. Pasien diletakkan dalam posisi syok:
Bila pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda syok maka pasien diposisikan
dalam posisi syok atau yang disebut sebagai posisi trendelenburg. Kedua tungkai
diangkat dan diposisikan lebih tinggi daripada tubuh. Tindakan ini merupakan suatu
tindakan auto-transfusi 300-500 ml dimana sirkulasi darah ke perifer/tungkai
disalurkan ke sirkulasi sentral/organ-organ vital (jantung, paru, dan susunan saraf
pusat).
3. Menghentikan perdarahan:
Adanya perdarahan perlu dikenali dan ditangani segera. Lokasi perdarahan perlu
dicari guna menghentikan perdarahan. Untuk menghentikan perdarahan yang dapat
dilihat (visible bleeding) yang dilakukan ialah penekanan pada lokasi perdarahan
dengan kain kasa yang tebal. Pemasangan tourniquet tidak dilakukan untuk
menghentikan perdarahan karena dapat menyebabkan iskemia pada jaringan yang
letaknya distal dari pemasangan tourniquet. Torniquet dapat digunakan untuk
menghentikan perdarahan pada kasus traumatic amputation. Bila perdarahan tidak
dapat dihentikan dengan penekanan maka diperlukan tindakan pembedahan untuk
menghentikan perdarahan.18
Perdarahan tidak terlihat (occult bleeding) kedalam rongga-rongga tubuh seperti
rongga abdomen atau sekitar tulang akibat fraktur (misalnya fraktur pelvis) harus
dicurigai pada pasien yang tidak memberikan respon terhadap resusitasi cairan.18
4. Resusitasi cairan:

Resusitasi cairan dilakukan untuk mengganti kehilangan volume darah dengan cairan
(Ringer Laktat dan NaCl 0,9%) agar derajat syok hipovolemik menjadi minimal.
Resusitasi cairan yang dilakukan ialah:
Memasang intravenous line (IV) dengan dua kanul/jarum besar pada
ekstremitas atas. Bila pasien memang syok bisa digunakan vena basilica atau
vena jugularis eksterna. Kateterisasi vena sentral juga dapat dilakukan sesuai
dengan keahlian orang yang melakukan.
Setelah dilakukan pemasangan IV, diambil darah contoh untuk pemeriksaan
laboratorium. Ini terutama berhubungan dengan pemeriksaan golongan darah
dimana mungkin diperlukan transfusi darah bila terdapat indikasi.
Cairan intravena diberikan dengan cepat biasanya diberikan 500 mL sampai 1
L bolus hangat (10-20 mL/kgBB pada anak-anak). Ringer lakat ialah solusi
kritaloid pilihan untuk melakukan resusitasi cairan. Cairan glukosa dihindari
karena cepat diserap oleh jaringan sehingga hidrasi menggunakan cairan
glukosa tidak efektif. Biasanya diperlukan 2-3 L cairan untuk resusitasi.
Monitor urin, dengan memasang kateter urin. Output urim menggambarkan
perfusi ginjal. Sekresi urin yang adekuat ialah 0,5-1 mL/kgBB/jam, jika
kurang kemungkinan ada perdarahan hebat atau occult bleeding. Sebelum
dilakukan pemasangan kateter urin, cedera uretra harus disingkirkan dengan
pemeriksaan fisik terlebih dahulu. Cedera uretra perlu dicurigai bila terdapat
darah pada meatus/skrotum, terdapat fraktur pelvis, terdapat memar pada
perineum.
Transfusi darah bila diperlukan. Digunakan darah O negatif bila darah yang
sesuai dengan pasien tidak tersedia. Biasanya diperlukan 40 mL/kgBB.
Transfusi darah dilakukan bila sirkulasi tetapi tidak stabil walaupun sudah
dilakukan resusitasi cairan, bila terdapat perdarahan masif yang sukar
berhenti, atau bila Hb < 7 gr%.
Pada pasien dengan hipotensi yang tidak dapat dikoreksi dengan resusitasi
cairan, dilakukan dapat dipertimbangkan pemasangan intra-arterial line dan
vasoactive drug therapy. 18, 20
5. Resusitasi jantung paru:
Resusitasi jantung paru dilakukan pada pasein dengan henti nafas dan henti jantung.
Bila didapatkan pasien yang tidak sadarkan diri yang harus dilakukan ialah penilaian
airway, breathing, and circulation. Bila tidak didapatkan adanya denyut nadi arteri

carotis maka diberikan pernapasan buatan (sudah dijelaskan) dan kompresi dada 2:30
dengan kecepatan 80-100x/menit secara teratur.21
Kompresi dada dilakukan untuk mengembalikan sirkulasi darah dimana hal ini terjadi
karena dua hal yaitu 1.terjadi kompresi jantung antara tulang sternum dan tulang
belakang dan 2.terjadi perubahan tekanan intratorakal secara global pada kompresi
dada.
Cara melakukan kompresi dada ialah sebagai berikut:
1. Korban/ pasien diposisikan terlentang pada
permukaan

yang

keras.

Penolong

berlutut

disamping korban lalu penolong meletakkan salah


satu tangan di 1/3 bawah sternum korban/ pasien,
lalu tangan yang lainnya diletakkan diatas tangan
kanan dalam posisi terkunci.
2. Lengan penolong diposisikan lurus, bahu tepat diatas sternum korban/ pasien,
berikan tekanan vertikal ke bawah dengan menggunakan berat tubuh penolong.
Tekan secukupnya, sekitar 4-5 cm.
3. Setelah dilakukan kompresi harus ada relaksasi tanpa mengangkat tangan dari
dada korban/ pasien. Dianjurkan lama kompresi sama dengan lama relaksasi.
4. Bila hanya 1 orang penolong, lakukan 15 kompresi dada luar dengan laju 80100x/menit lalu diikuti pemberian 2 kali ventilasi dalam 2-3 kali/detik. Dalam 1
menit harus ada 4 daur kompresi dan ventilasi tersebut. Jika penolong ada dua,
kompresi dada dilakukan kompresi dengan laju 80-100x/menit diikuti oleh
ventilasi yang dilakukan oleh penolong kedua setelah kompresi ke 5.
5. Kompresi dada dilakukan secara teratur dan berirama.22

3.4.4

D: Disability and Drugs


Setelah dilakukan penilaian dan manajemen terhadap A, B, dan C, dilakukan penilaian

status neurologis pasien secara cepat, yaitu penilaian terhadap:


Tingkat kesadaran: Penilaian tingkat kesadaran ialah menggunakan Glascow
Coma Scale (GCS), sebagai berikut:
Respon Membuka Mata

Respon Verbal (V)

Respon Motorik (M)

(E)
4 : Spontan

5 : Orientasi Baik

6 : Normal (Mengikuti sesuai

(Percakapan normal )

perintah)

3 : Dengan Rangsangan

4 : Disorientasi percakapan

5 : Pemberian stimulus

Suara

(Berbicara kacau dan

berupa nyeri, dan pasien

bingung)

dapat melokalisir rasa nyeri


dan menjauhkan stimulus

2 : Dengan Rangsangan

tersebut (Localizes to Pain)


3 : Kata perkata, namun tidak 4 : Pemberian stimulus

Nyeri

dalam satu kalimat

berupa rasa nyeri, dan pasien


memindahkan ekstremitas
menjauhi stimulus rangsang

1 : Tidak Ada Respon

2 : Tidak ada kata -kata,

nyeri (Withdraws to pain)


3 : Adanya flexi abnormal

hanya suara (Suara tanpa arti/ apabila diberi rangsang nyeri.


mengerang)
1 : Tidak ada respon sama

(Decorticate Posture)
2 : Apabila diberikan

sekali

rangsangan nyeri, maka


pasien akan memberikan
respon ekstensi abnormal

T : Pada pasien dengan

(Decerebrate)
1 : Tidak ada respon

intubasi
Tiga komponen yang dinilai ialah respons membuka mata, respons verbal, dan
respons motorik.
Pupil: Diperiksa ukuran kedua pupil apakah kanan dan kiri simetris/ isokor
atau tidak simetris (anisokor). Diperiksa juga refleks pupil yaitu refleks cahaya
langsung maupun refleks cahaya tidak langsung.

Tanda-tanda lateralisasi
Cedera tulang belakang: Penilaian terhadap cedera tulang belakang ialah
dengan memeriksa pergerakkan ekstremitas dan usaha pernafasan spontan.
Dapat pula ditentukan tingkat cedera tulang belakang bila ditemukan.
Pasien harus dievaluasi ulang secara berkala kerena perburukan dapat terjadi dengan
cepat (seringkali didapatkan pasien dengan kesadaran penuh setelah mengalami cedera kepala
yang signifikan namun selanjutnya terjadi perburukan dengan cepat). Bila ditemukan pupil
yang asimetris, dilatasi pupil, refleks cahaya yang terganggu atau tidak ada sama sekali, atau
hemiplegia menandakan mungkin terdapat masa intrakranial yang meluas ataupun edema
otak yang difus. Hal ini memerlukan manitol (diperikan per IV), ventilasi, dan perlu segera
dirujuk ke bagian bedah saraf.18
Pada kasus-kasus tertentu dibutuhkan obat-obatan dalam tindakan resusitasi awal,
obat-obatannya adalah sebagai berikut:
A. Epinephrine
Adalah campuran antara Alpha dan Beta Agonist yang mana digunakan untuk
meningkatkan tekanan diastolik aorta, tekanan perfusi coronaria, yang mana baik
untuk perdarahan cerebal. Epinephrine boleh diberikan melalui endotracheal tube jika
IV tidak dapat digunakan. Dosis yang digunakan 2.0 2.5 mg dalam 10cc normal
saline. Dosis tinggi epinephrine pada orang dewasa sangat tidak di rekomendasikan.
B. Vasopressin
Antidiuretik hormone yang meyebabkan peripheral vasokonstriksi, seperti
vasokonstriksi dari pembuluh darah koronaria, cerebral, dan pembuluh darah ginjal
*renal vasculature*.
C. Dopamine
Merupakan neurotransmitter yang mempunyai efek Alpha dan Beta Adrenergic.Dosis
yang lebih besar dari 20g/kg/menit dapat merugikan akibat efek (splachnic
perfusion) dan sudah seharusnya dihindarkan. Jika hipotensi bertahan sesudah
(optimization of filling pressures). Dobutamine maupun norepinephrine dapat
dipertimbangkan.
D. Norepinephrine
Merupakan adrenergic yang mempunyai efek alpha receptor dalam pembuluh darah
dan B1-receptors yang mana menyebabkan jantung vasokonstriksi perifer dan terjadi
peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas. Biasanya digunakan untuk severe
shock dan direkomendasikan penggunaannya untuk hipotensi ketika tekanan sistolik
kurang dari 70mmHg. (The starting infsuin rate is ) 0.5 1.0 g/menit dan (titrated to
effect ), dengan maksimal infusion rate 30 g/menit.

E. Dobutamine
Dobutamine adalah synthetic catecholamine dengan potent B1-agonist properties
dengan sedikit B2- atau Alpha adrenergic efek. Contoh, dobutamine ini dapat
meningkatkan kontraktilitas myocardial dan peningkatan cardiac output. Ini
merupakan obat pilihan untuk pasien dengan tekanan sistolik 70 100mmHg.
Biasanya dipakai infus IV 2 20 mg/kg/menit.
Selain itu sering juga dipakai obat-obatan anti aritmia, seperti:
a. Adenosine
Adenosine merupakan terapi lini pertama untuk Takikardia Supraventrikular
Paroksismal sekunder menuju (reentrant type defect conduction). Adenosine tidak
harus digunakan untuk membedakan antara PSVT dengan aberrant conduction dan
VT. Dosis awal yang diberikan 6mg secara bolus cepat. Apabila tidak berhasil
mengobati PSVT, dosisnya dinaikan menjadi 12mg IV. Apabila tetap tidak ada
response, dosisnya diulang setiap 1 2 menit.
b. Amiodarone
Amiodarone dominan antidisaritmia kelas III ( potassium channel blocker ), tetapi
juga ada beberapa kelas lainnya, seperti antidisartimia kelas I ( sodium channel
blockade ), antidisartimia kelas II ( B Blockade ), dan antidisartimia kelas IV
( calcium channel blockade ). Amiodarone sangat berguna untuk pengobatan
supraventricular dan ventricular takidisartimia. Untuk VF dan denyut nadi melemah
pada VT, dosis awalnya 300 mg IV, yang mana di lanjutkan dengan second dose
150mg apabila ada disertai aritmia. Amiodarone merupakan second line agent untuk
PSVT dan dapat digunakan apabila adenosine kurang berpengaruh.
c. Atropine
(atropine is an anticholinergic agent useful in treatment of symptomatic bradycardias
that are due to increased parasympathetic tone. Atropine tidak seharusnya digunakan
untuk infranodal pathology yang diduga seperti mobitz type II AV Block. (Atropine is
ineffective in the setting of previous heart transplant and may worsen ischemia during
a myocardial infaction.)
d. B-Adrenergic Blocker
B Bloker ( Seperti Atenolo, metoprolol, esmolol ) (indicated for SVT for rate control
in patients with preserved left ventricular function. )Atenolol dan metoprolol
merupakan Blocking Agent B1 ( cardioselective ) yang tersedia dalam bentuk IV
maupun formulasi oral. Esmolol merupakan B1 short acting ageny yang harus
diberikan secara bolus dan kemudian dipertahankan dengan menggunakan infuse.

Apabila respon tidak adekuat setelah 5 menit, maka dosisnya diulang dan ( the
infusion rate doubled.)
e. Calcium Channel Bloker
Calcium Channel Bloker ( diltiazem dan verapamil ) diindikasikan untuk mengontrol
SVT dan memperlambat konduksi nodul AV dan (prolong AV nodal refractory
period ). Calcium channel blockers merupakan kontraindikasi dari atrial fibrilasi atau
atrial flutter dengan respon ventricular yang tinggi. Diltiazem sebaiknya ditoleransi
pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri.
f. Lidocaine
Lidocaine merupakan golongan IB antidiasrimia. Biasanya digunakan untuk
ventricular rhythms, baik stabil maupun tidak stabil. Penggunaannya sebagian besar
telah digantikan oleh amiodarone. Dosis awal untuk VF dan denyut nadi lemah pada
VT ( pulseless ) adalah 1.0 1.5 mg/kg. setengah dari dosis itu boleh diulang setiap 5
10 menit, dengan total dosis maksimal 3 mg/kg.( If successful in terminating the
offending rhythm, a maintenance infusion) 3-5mg/menit dapat diberika.
g. Magnesium
Diindikasikan untuk pasien yang diketahui maupun diduga mempunyai kandungan
magnesium yang rendah, disartimia ventrikel yang berulang, atau bagi mereka yang
memiliki torsade de pointes.
h. Procainamide
Procainamide merupakan golongan IA antidisartimia, yang amna dapat menekan
atrium maupun ventricular aritmia. Ini dapat digunakan untuk pengobatan atrial
fibrilasi dan atrial flutter. Procainamide dapat digunakan untuk SVT saat adenosine
tidak efektif. Hindari penggunaanya pada pasien dengan interval QT memanjang atau
obat mempunyai efek memperpanjang interval QT seperti amiodarone.

3.4.5

E: Exposure, Evidence, and Examination/ Environmental Control


Anamnesis lanjutan mengenai riwayat pasien perlu diperoleh. Selain itu juga perlu

dilakukan pemeriksaan lanjutan secara menyeluruh. Baju serta penutup tubuh pasien
dilepaskan kemudian dilakukan pemeriksaan fisik secara head-to-toe. Hipotermia perlu
dicegah, setelah dilakukan pemeriksaan fisik bisa disediakan alat-alat penghangat atau
selimut hangat untuk mencegah hilangnya panas tubuh. Perlu juga dilakukan pemeriksaan
terhadap kadar gula darah. Pemeriksaan fisik yang dimaksud meliputi: 18, 20

Lokasi

Hal Abnormal Yang Dicari

Pemeriksaan

Trachea
Chest

Deviasi
Lateral Sign, wheezing,

CXR, CTPA

JVP dan HS I + II

Creps, Dull PN
JVP Meningkat, III + IV HS,

ECG, Echocardiography

Abdomen

murmur
Distensi, Pertonism, Denyut

USS, AXR, CT

nadi, Suara usus (Bowel


CNS

Sign)
Pupil, Lateral Signs, Kaku

CT

Kulit

Kuduk
Rashes, purpura

Kultur Darah

3.5 Diagnosis Banding


Berdasarkan data yang ada kelompok kami membagi diagnosa banding menjadi
trauma dan non trauma:
a. Trauma:

Sumbatan jalan napas


Sumbatan jalan napas dapat disebabkan oleh beberapa penyebab antara lain adalah
edema jalan napas bisa akibat adanya suatu infeksi, reaksi alergi atau akibat trauma
tumpul. Penyebab lain disebabkan oleh benda asing yang masuk dalam saluran nafas,
selain itu bisa disebabkan karena adanya tumor pada saluran napas, atau akibat
spasme laring dimana disebabkan oleh tetanus.
Pada kasus ini kemungkinan terjadi akibat sumbatan benda asing, dimana benda asing
yang masuk kedalam saluran nafas dan menyebabkan obstruksi pada jalan napas
sehingga terjadi gangguan pada proses inspirasi dan ekspirasi normal. Akibat hal
tersebut menyebabkan terjadinya usaha tubuh untuk mempertahankan pernafasan
normal dengan gejala seperti sesak napas. Adapun yang dapat dilakukan pada kasus
sumbatan jalan napas akibat benda asing antara lain keluarkan benda asing segera

mungkin dengan heimlich manuver atau usapan jari tangan.


Pneumothorax
Pneumothorax adalah adanya udara dalam kavum pleura. Pneumothorax yang
dimaksud dalam kasus ini adalah pneumothorax traumatik, yaitu pneumothorax yang
disebabkan oleh trauma baik trauma tumpul, tajam bahkan ledakan. Dimana pada
trauma thorax akan disusul dengan fraktur kosta, sehingga fragmen kosta tersebut
pada gilirannya dapat menyebabkan suatu trauma tajam yang menembus pleura
parietal maupun viseralis. Akibat hal ini udara akan masuk dan mengisi kavum pleura

sehingga akan terjadi gangguan pegembangan paru akibat beban udara pada kavum

pleura sehingga akan terjadi sesak pada pasien ini.


Emboli paru
Emboli paru terjadi apabila terdapat suatu embolus, biasanya merupakan bekuan
darah yang terlepas dari perlengketan pada vena ekstremitas bawah biasa terjadi
akibat terjadinya fraktur, lalu bersirkulasi melalui pembuluh darah dan jantung kanan
sehingga akhirnya tersangkut di arteri pulmonalis utama atau salah satu
percabangannya sehingga dapat menyebabkan sesak napas secara mendadak yang
berat dimana akan menyababkan infark paru. Infark paru adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan fokus nekrosis lokal yang diakibatkan oleh
penyumbatan vaskular.

b. Non Trauma :
Efusi pleura
Efusi pleura adalah terdapatnya cairan patologis pada kavum pleura. Namun tetap
perlu diingat bahwa dalam keadaan normal kavum pleura juga selalu terdapat cairan
yang berfungsi untuk mecegah melekatnya pleura viseralis dan pleura parietalis,
sehingga dengan demikian gerakan paru berjalan dengan mulus tanpa harus adanya
friksi. Cairan fisiologis ini disekresikan oleh pleura parietalis dan diabsorbsi oleh
pleura viseralis. Dalam keadaan normal cairan fisiologis dalam rongga pleura ini
berkisar antara 1 ml sampai 20 ml. Setiap peningkatan jumlah cairan di atas ini harus
dianggap sebagai efusi pleura. Pada umumnya kelainan ini didasari oleh suatu proses
peradangan dimana dapat bersifat akut ataupun kronik, selain itu juga dapat sebagai
salah satu manifestasi kelainan sistemik. Akibat terdapatnya cairan patologis pada
kavum pleura akan menyebabkan gangguan pengembangan paru sehingga pasien

akan menderita sesak napas.


Asma bronkial
Asma adalah penyakit yang ditandai dengan resistensi terhadap aliran udara
intrapulmoner yang sangat variabel dalam jangka waktu yang pendek. Dimana pada
asma terdapat kombinasi keluhan sesak napas, rasa dada yang terhimpit, suara napas
mengi (wheezing). Adapun yang mendasari terjadinya asma adalah terpajannya
sesorang oleh alergen yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi sehingga
menyebabkan hipersekresi mukus, edema mukosa dan bronkospasme sehingga
terjadinya obstruksi jalan nafas. Akibat obstruksi menyebabkan pasien menderita

sesak napas.
Penyakit valvular

Penyakit valvular yang memiliki kemungkinan besar menyebabkan sesak adalah


stenosis katup mitralis. Dimana pada stenosis katup mitral terjadi penyempitan
pembukaan katup mitral pada fase distolik dimana darah dipompakan dari atrium kiri
menuju ventrikel kiri, namun apabila terjadi penyempitaan pada pembukaan katup
mitral di fase distolik dimana lama kelamaan akan terjadi peningkatan volume pada
atrium kiri dan peningkatan tekanan atrium kiri. Berjalannya waktu akan diikuti
dengan peningkatan tekanan pada arteri pulmonal sehingga terjadi ekstravasasi cairan
ke jaringan interstisial paru. Sehingga akan terjadi gangguan pengembangan atau
elastisitas paru sehingga akan diikuti dengan gejala sesak nafas. 23-26
Berdasarkan riwayat trauma pada pasien, maka kelompok kami menyingkirkan
diagnosa sesak napas yang disebabkan oleh penyakit-penyakit non trauma. Diagnosis trauma
meliputi efusi pleura, sumbatan jalan napas, pneumothorax, dan hematothorax. Kemudian
dari data-data tambahan yang didapat, diagnosa banding yang paling mungkin adalah tension
pneumothorax dan hematothorax. Tension pneumothorax adalah adanya udara dalam
rongga pleura dimana terjadi kebocoran seolah-olah mempunyai mekanisme ventil yang
dibentuk oleh sobekan pleura, sehingga udara dari luar bisa masuk ke dalam rongga pleura
dengan inspirasi, tetapi pada ekspirasi tidak semuanya akan dapat dikeluarkan kembali,
dengan demikian tekanan udara dalam ronga pleura udara tersebut akan meningkat secara
terus menerus dan mediastinum dapat terdorong kesisi yang sehat. Hematothorax adalah
adanya cairan patologis berupa darah dimana biasanya akibat trauma thorax atau adanya
suatu tanda keganasan.
Pada tension pneumothorax dan hematothorax pada prinsipnya dapat menyebabkan
gangguan ekspansi paru akibat tekanan dari cairan berupa darah ataupun udara pada rongga
pleura dimana gejala yang terjadi adalah sesak nafas.
Adapun perbedaan dan persamaan dari hematothorax dan tension pneumothorax :
Tension pneumothorax
Sesak napas
Sesak

napas

terjadi

akibat

Hematothorax
Sesak napas
adanya Sesak

napas

terjadi

akibat

adanya

gangguan pada expansi paru akibat gangguan exspansi paru karena tekanan
tekanan dari udara pada rongga pleura

dari cairan berupa darah pada kavum

Nyeri dada

pleura
Nyeri dada / tidak

Nyeri dada terjadi akibat perangsangan Nyeri dada prinsipnya dapat terjadi
pleura akibat trauma yang menyebabkan apabi;a terjadi perangsangan pada pleura
robekan pada pleura sehingga terjadi yang biasa disebabkan oleh trauma yang
nyeri pleuritik.
mengenai pleura parietal .
Suara napas melemah atau menghilang Suara napas melemah atau menghilang
Suara

napas

adanya

dapat

suatu

melemah

bantalan

menghambat

akibat Suara napas melemah akibat adanya

udara

penghantaran

yang peredaman suara karena adanya cairan


suara pada kavum pleura, semakin banyaknya

pernapasan dari dalam paru ke stetoskop. jumlah cairan berupa darah dalam rongga
Apabila tekanan dalam rongga pleura pleura proses peredaman suara akan
semakin

meningkat

sehingga

dapat semakin besar sehingga suara napas akan

menyebabkan kolaps paru , suara napas menghilang


dapat menghilang
Perkusi : timpani /hipersonor

Perkusi : pekak

Pada perkusi dimana banyak terdapat Pada perkusi akan didapatkan suara
udara akan didapatkan suara timpani.

pekak

karena adanya cairan berupa

darah, semakin banyaknya cairan maka


pekak akan semakin jelas.
Hipotensi

Hipotensi

Pada keadaan ini hipotensi terjadi akibat Pada keadaan ini hipotensi terjadi akibat
pergeseran mediastnum ke sisi yang sehat perdarahan yang terjadi sehingga venous
sehingga paru akan menekan vena cava return akan menurun diikuti dengan
superior sehingga venous return akan cardiac output yang turun sehingga terjadi
menurun dan mengakibatkan cardiac hipotensi terjadi.
outpun juga akan menurun sehingga
terjadi hipotensi.
Elevasi JVP
Elevasi

JVP

terjadi

Flattening JVP
karena

adanya Hal ini terjadi karena perdarahan yang

pergeseran mediastinim ke sisi yang sehat terjadi

sehingga

terjadi

menurunan

sehingga terjadi penekanan pada vena venous return.


cava superior mengakibatkan tekanan
pada vena cava superior akan meningkat
sehingga akan terjadi elevasi JVP.
Nadi cepat

Nadi cepat

Hal ini terjadi akibat gangguan suplay Prinsipnya

sama

dengan

tension

oksigen yang terganggu sehingga terjadi pneumothorax.


gangguan pada kebutuhan oksigen setiap
organ

sehingga

peninggkatan
memenuhi

terjadi

frekuensi

kebutuhan

mekanisme
nadi

untuk

oksigen

pada

organ-organ.

3.6

Interpretasi Pemeriksaan Penunjang

3.6.1 Foto thorax


Pada hasil rontgen didapatkan
gambaran

di

hemithorax

kanan

hiperlucent dimana kondisi tersebut


terdapat

udara

yang

banyak

(air

trapping). Ditemukan juga sela iga


melebar, sudut sinus costophrenicus
melebar, trakea tampak tergeser karena
volume udara yang banyak di paru-paru,
apeks jantung tertanam karena adanya
pergesaran mediastinum kontralateral
dari sisi paru yang terkena trauma.
Diferensial
hematothoraks

diagnosis
dapat

berupa

disingkirkan

dengan jelas karena pada foto PA thorax


hematothorax ditemukan densitas moderately radiopaque yang berupa cairan. cairan itu
sendiri sesuai prinsip gravitasi dimana jika cairan itu berada di paru, maka cairan tersbut akan
mudah awalnya ditemukan di dasar paru yang mengisi ruang sinus costophrenicus.

3.7

Diagnosis Pasti dan Patofisiologi

3.7.1

Diagnosis Pasti
Berdasarkan data yang di dapat (riwayat trauma tumpul pada dada kanan, keluhan

sesak napas, nyeri dada, dada terasa ditekan, sianosis, hipotensi, suara napas menghilang
pada hemithorax kanan) dan hasil gambaran rotgen foto thoraks yang telah dilakukan,

menunjukkan gambaran very lucent pada hemithoraks dextra maka kelompok kami
menegakkan diagnosa, yaitu Tension Pneumothoraks Hemithoraks Dextra.
3.7.2

Patofisiologi
Tekanan di dalam rongga pleura adalah negatif dibandingkan dengan atmosfer. Hal ini

disebabkan kecenderungan paru-paru untuk kolaps dan dinding dada untuk membesar.
Tekanan alveolus lebih besar daripada tekanan ruang pleura karena elastisitas paru-paru.
Akibatnya, jika terjadi hubungan antara ruang alveolar dan pleura, udara akan pindah ke
ruang pleura sampai tekanan setara. Konsekuensi fisiologis adalah penurunan kapasitas vital
dan PaO2. Hal ini dapat ditoleransi dengan baik pada orang yang sehat tetapi tidak pada
pasien dengan penyakit jantung atau paru-paru. Tension pneumorothorax berkembang ketika
terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau
melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-wayvalve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka
tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke
sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta
akan menekan paru kontralateral.
Peningkatan tekanan intrapleural menyebabkan pasien kesulitan bernapas, napas
terasa seperti ditekan, dan adanya udara dalam ruang pleura menyebabkan nyeri pleuritik.
Sesak napas kemudian menyebabkan hipoksia dan sianosis. Penghambatan venous return
juga bisa menyebabkan hipotensi dan muncul tanda-tanda takikardi dan denyut jantung
lemah. Paru-paru yang kolaps ditandai dengan tidak terdengarnya suara napas pada
hemithorax yang sakit (dalam kasus ini hemithorax dextra), kemudian penumpukan udara
pada cavum pleura menyebabkan gambaran Roentgen thorax tampak lebih lucent.
Pemburukan klinis dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan curah jantung. Data lain
menunjukkan hipoksia dan hiperkarbia sebagai penyebab perburukan klinis.

3.8

Tindakan: Thoracentesis dan Tube Thoracostomy

3.8.1 Thoracentesis
a. Indikasi
Terapeutik: Untuk melegakan sesak napas atau respiration distress yang
disebabkan oleh akumulasi cairan atau udara pada ruang pleura.
Diagnostik: Untuk mengambil cairan pleura untuk tes diagnostik.
b. Kontraindikasi

Tidak ada kontraindikasi absolut pada torakocentesis. Kontraindikasi relatifnya meliputi:


Penyakit koagulopatik (harus dikoreksi sebelum dilakukan torakocentesis, kecuali

jika terjadi gagal napas berat yang ditentukan oleh AGD)


Pasien yang tidak kooperatif.
Infeksi pada tempat aspirasi.

c. Alat-alat yang dibutuhkan

Swab alkohol atau solutio povidon iodine (larutan disinfektan)


Catheter-over-needle 12-16G, panjang kurang lebih 5 cm
Three way stopcock
Luer-Lok syringe/semprit 10 ml
Kasa steril
Duk steril

d. Persiapan pasien
Jelaskan prosedur, risiko, dan manfaat bagi
pasien atau perwakilan mereka dan harus mendapatkan
persetujuan tertulis (informed consent). Tempatkan
pasien terlentang di tempat tidur, atau pasien mungkin
terlentang dengan kepala tempat tidur ditinggikan
sampai 30 derajat (dapat digunakan collar neck jika
ada cedera servikal). Bersihkan kotoran atau puingpuing dari kulit. Mengidentifikasi tempat thoracentesis
diperlukan untuk melakukan prosedur. Meskipun tidak
diperlukan, dianjurkan untuk menempatkan pasien
pada monitor jantung, manset tekanan darah invasif,
oksimetri nadi, dan oksigen tambahan. Berikan solusio povidone iodine ke permukaan kulit
dan biarkan hingga kering. Terapkan tirai steril di sekitar lokasi prosedur. Atropin harus di
samping tempat tidur. Ini dapat diberikan (1,0 mg intramuskuler atau subkutan atau intravena
0,5 mg) untuk pasien yang mengalami
bradikardi selama prosedur. Pendekatan
yang

paling

umum

adalah

ruang

intercostal kedua di linea. Tempat


alternatif lain adalah ruang intercostal
IV atau kelima di linea midaxillaris.

e. Prosedur
1. Identifikasi thorax penderita dan status respirasi
2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai kebutuhan
3. Identifikasi sela iga II, di linea midklavikula di sisi tension pneumothorax
4. Asepsis dan antisepsis dada
5. Anastesi lokal jika penderita sadar atau keadaan mengijinkan
6. Penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal sudah disingkirkan
7. Pertahankan Luer-Lok syringe di ujung distal kateter, insersi jarum kateter ke kulit
secara langsung pada sela iga II, tepat di atas iga III untuk menghindari
neurovaskular

bundle

yang

terletak

di

bagian

Gambar 1 Jarum diinsersi tepat di atas iga III untuk menghindari neurovascular bundle

8.

Tusuk pleura parietalis

inferior

iga

II.

9. Ketika udara ditemui, arahkan catheter-over-needle ke arah superior.


10. Masukan kateter sampai hub kateter menekan kulit.
11. Tarik jarum sementara kateter tetap dalam rongga pleura. Ketika jarum dicabut,
cepat tutupi kateter dengan sarung tangan. Ini akan mencegah udara sekitar dari
memasuki rongga pleura.

12. Pasang tabung ekstensi kateter intravena ke hub kateter. Tempatkan three-way
stopcock yang menempel pada syringe 50 ml ke tabung ekstensi.
13. Amankan pegangan hub kateter terhadap kulit.
14. Aspirasi udara ke dalam jarum suntik dan kemudian udara dimasukkan ke dalam
ruangan dengan mengatur three-way stopcock.
15. Udara kemudian ditarik secara manual. Proses ini harus dilanjutkan sampai
resistensi dirasakan. Jika tidak ada resistensi yang dirasakan setelah 4 L aspirasi,
dianggap bahwa ekspansi tidak terjadi dan kebocoran terus-menerus yang terjadi
berasal dari paru-paru ke pleura, sehingga thoracostomy tabung harus dilakukan.
16. Setelah tidak ada udara lebih banyak disedot, tutup stopcock dan amankan ke
dinding dada.
17. Pindahkan jarum dan ganti Luer-Lok di ujung distal kateter. Tinggalkan kateter
plastik di tempatnya dan ditutup dengan plester atau kain kecil.
18. Siapkan chest tube jika perlu. Hubungkan chest tube dengan WSD (tube
thoracostomy) atau katup tipe flutter dan cabut kateter thoracentesis.27
f. Teknik alternatif
Tempat lain telah dijelaskan untuk melakukan thoracentesis adalah ruang intercostal
IV atau V di linea midaxillaris atau ruang intercostal II di linea aksilaris anterior. Ada
beberapa masalah dengan pendekatan-pendekatan alternatif. Di ruang intercostal IV atau V,
tulang rusuk yang dekat, dengan jarak yang sempit membuat penempatan jarum lebih sulit.
Adanya gerakan rusuk untuk pernapasan dan gerakan lengan dapat meningkatkan risiko
pergeseran kateter. Pada posisi pasien terlentang, udara akan naik ke arah ventral daripada ke
arah lateral.
Penyisipan kateter di ruang intercostal II dalam garis aksilaris anterior lebih mudah
dari posisi ini daripada memasukkan kateter ditempatkan lateral. Ruang intercostal IV atau V

di linea midaxillaris adalah ruang yang ideal untuk tube thoracostomy. Penempatan kateter di
situs-situs alternatif akan berarti harus menembus jaringan yang lebih, terutama pada pasien
obesitas, membuat ruang pleura mencapai lebih sulit dan kemungkinan pergeseran dari
kateter lebih mungkin terjadi. Kelemahan utama untuk menggunakan ruang intercostal IV
atau V adalah risiko memasukkan catheterover-needle diafragma dan ke hepar (di sebelah
kanan) atau limpa (di kiri).
g. Penilaian lanjut
Pelepasan tekanan dari tension pneumothorax akan menyamakan tekanan antara
atmosfir dan ruang pleura. Sekarang pasien akan mengalami simple pneumothorax. Tandatanda vital akan mulai kembali normal, oksimeter nadi akan membaik, dan gagal napas
membaik. Jika pasien memiliki tension pneumothorax maka dia akan membutuhkan tube
thoracostomy dilanjutkan dengan roentgen thorax. Pasien mungkin akan batuk-batuk saat
paru-paru kembali mengembang. Suara napas harusnya kembali ada secara bilateral saat
pengembangan kembali.
Jika pasien tidak membaik secara klinis setelah dekompresi jarum untuk tension
pneumothorax, ada dua kemungkinan. Yang pertama, ruang pleura mungkin belum berhasil
dimasuki oleh jarum. Ini mungkin terjadi pada pasien obesitas atau yang sangat berotot.
Prosedur harus diulangi menggunakan jarum yang lebih panjang. Kedua, mungkin pasien
tidak memiliki tension pneumothorax. Evaluasi kembali pasien melalui pemeriksaan fisik
dan review foto radiologi dada untuk menentukan adanya tension pneumothorax.
Jika keadaan pasien tidak membaik atau memburuk, merupakan idikasi dilakukannya
tube thoracostomy. 27
h. Follow-up
Lakukan foto thorax untuk melengkapi penilaian lanjutan pneumothorax. Foto thorax
harus dilakukan 4-6 jam setelah prosedur untuk mencari delayed pneumothorax. Jika
tidak terdapat pneumothorax dan kondisi klinisnya mencukupi, pasien bisa

dipulangkan dengan follow-up yang ketat.


Daerah dilakukannya prosedur harus dievaluasi 2-3 kali per hari untuk mencari

tanda-tanda infeksi.
Instruksi untuk pasien meliputi: pembersihan tempat thoracentesis dengan sabun
setiap hari; pakaikan ganti belat sekitar kateter dan tempelkan ke kulit; pastikan tube
tertempel dengan mantap kepada katup untuk menghindari pergeseran; pasien
dibolehkan mandi tetapi dilarang untuk berendam atau berenang. 27

i. Komplikasi
Hematom lokal
Infeksi pleura empiema
Pneumothorax
Hematothorax, jika paru-paru, arteri intercostalis, atau arteri mamaria terobek oleh

jarum.
Emfisema
Menusuk pembuluh darah besar atau jantung akibat posisi dimasukkannya jarum yang
salah. 27

3.8.2 Tube thoracostomy


a. Indikasi
Pneumothorax segala jenis
Hematothorax
Empiema
Efusi pleura
Pasien dengan trauma penetrasi dinding dada
Orang-orang yang akan bepergian menggunakan transpor udara yang berisiko
mengalami pneumothorax
b. Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut untuk tube thoracostomy adalah dibutuhkannya emergency

thoracotomy
Kontraindikasi relatifnya adalah koagulopati; pulmonary bullae; adhesi pulmoner,
pleural, atau thorax, infeksi kulit di sekitar tempat insersi jarum.

c.

Alat-alat yang dibutuhkan


Alat-alat sterilisasi kulit dan alat-alat seperti masker, sarung tangan, dll.
Lidocaine, 1% dengan syringe 1 ml dan jarum 25-22
Handuk dan penutup steril
Chest tube dengan ukuran yang sesuai
Pisau bedah no. 11
Penjepit mayo
Penjepit kelly
Surgical silk suture (ukuran 0) dengan jarum pemotong bengkok besar
Kasa yang direndam di petrolatum
Kasa steril
Plester
Peralatan suction, 3 botol, dengan water-seal, koleksi, dan water-column sections28

d. Posisi pasien

Pasien diletakkan telentang atau dengan sudut 45 derajat. Lengan dari tempat yang
sakit harus diabduksi dan diputar ke arah luar, sehingga telapak tangan pasien berada di
belakang kepalanya. Dapat ditempelkan plester untuk mengfiksasi lengan, tetapi jika ini
dilakukan, harus dipastikan ini tidak menganggu aliran darah.
e. Prosedur
1.
2.

Resusitasi cairan melalui paling sedikit satu kateter intravena kaliber

besar dan monitor tanda vital


Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi puting (sela iga V atau VI)
di anterior linea midaxillaris pada area yang terkena. Chest tube kedua mungkin dipakai
pada hematothorax.

3.

Siapkan pembedahan dan tempat insersi ditutup kain (duk) lubang


steril.

4.

Anastesi lokal kulit dan periosteum iga.

5.

Insisi ransversal (horizontal) 2-3 cm pada tempat yang telah ditentukan

6.

dan diseksi tumpul melalui jaringan subkutan tepat di atas iga.


Tusuk pleura parietalis dengan ujung klem dan masukkan jari ke dalam
tempat insisi untuk menegah melukai organ yang lain dan melepaskan perlekatan,

7.

bekuan darah, dll.


Klem ujung proksimal tube thorakostomi dan dorong tube ke dalam
rongga pleura sesuai panjang yang diinginkan.

8.

Cari adanya fogging pada chest tube pada saat ekspirasi atau dengar
aliran udara.

9.

Sambung ujung tube thorakostomi ke WSD.

10.

Jahit tube di tempantnya, jahitan harus air tight (kedap udara) dan
jangan menggunakan simpul mati.

11.

Tutup dengan kain/kasa dan plester.

12.

Buat foto roentgen thorax.


Pemeriksaan analisa gas darah sesuai kebutuhan.

13.

f.

Komplikasi
Laserasi atau menusuk intrathoraks atau organ abdomen
Infeksi pleura
Kerusakan saraf, arteri, atau vena intercostalis (pneumothorax menjadi hemothoraks;

neuritis interkostal/neuralgia)
Posisi tube yang keliru, intrathoraks atau ekstrathoraks
Lepasnya chest tube dari dinding dada atau lepasnya sambungan dengan WSD.
Pneumothoraks persisten (kebocoran primer yang besar; kebocoran di kulit sekitar

chest tube, penghisapan pada tube terlalu besar; WSD bocor)


Emfisema subkutis
Pneumothorax rekurens sesudah pencabutan tube, penutupan luka thorakostomi tidak

segera dilakukan.
Gagalnya paru-paru untuk mengembang akibat adanya plak bronkus, perlu

bronkoskopi.
Reaksi anafilaktik atau alergi obat anastesi atau persiapan darah.

3.8.3

Penatalaksanaan pada pasien ini


Sebagai penatalaksanaan awal pasien dengan sesak napas, yang harus dilakukan

pertama kali adalah primary survey and resucitation. Kemudian setelah dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan, ditemukanlah gejala-gejala dan tanda-tanda tension pneumothorax, setelah
itu dilakukan thoracentesis yang dilanjutkan dengan tube thoracostomy-WSD. Thoracentesis
dilakukan di sela iga V-VI, bukan sela iga II-III karena utnuk memudahkan pemasangan tube
thoracostomy. Indikasi tube thoracostomy pada pasien ini adalah karena adanya tension
pneumothorax dan hilangnya suara napas di hemithorax dextra yang menandakan adanya
kolaps paru.29

3.9

Prognosis
Ad vitam: dubia ad bonam
Tension pneumothorax merupakan keadaan yang mengancam jiwa, tetapi dengan

penanganan yang cepat dan adekuat, kemungkinan prognosisnya masih cukup baik.

Ad sanationam: dubia ad malam


Pasien berumur 24 tahun, jenis kelamin pria, merupakan faktor predisposisi terjadinya

pneumothorax. Selain itu, tingkat kecelakaan lalu lintas masih cukup tinggi sehingga
kemungkinan terjadinya tension pneumothorax kembali juga cukup tinggi.

Ad fungtionam: dubia
Pada pasien ditemukan kolaps paru dengan hilangnya suara napas pada auskultasi,

akan tetapi, dengan tatalaksana yang adekuat, kemungkinan paru akan mengembang kembali
dan berfungsi normal.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1

Faal Pernapasan
Terdapat 2 makna respirasi, yaitu: Respirasi internal dan respirasi eksternal. Respirasi

interna/ seluler mengacu kepada proses metabolisme intrasel yang berlangsung di dalam
mitokondria. Sedangkan respirasi eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian
yang terlibat dalam pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.
Respirasi eksternal meliputi:
a.

Ventilasi, yaitu udara secara bergantian bergerak masuk keluar paru sehingga dapat
terjadi pertukaran antara atmosfer dan alveolus.

b.

Difusi, yaitu O2 dan CO2 dipertukarkan antara udara di alveolus dan darah di dalam
kapiler pulmonalis.

c.

O2 dan CO2 diangkut oleh darah antara paru dan jaringan.

d.

Pertukaran O2 dan CO2 terjadi antara jaringan dan darah melalui proses difusi melintasi
kapiler sistemik (jaringan).

Udara antara atmosfer dan alveolus disalurkan melalui suatu saluran napas yang tediri
atas hidung Laring Trakea Bronkus Bronkiolus. Setelah itu O2 dan CO2 akan
dipertukarkan pada jaringan parenkim paru yaitu alveolus.
Untuk inspirasi maupun ekspirasi dibutuhkan otot-otot
pernapasan, berikut ini adalah otot-otot yang digunakan:
a. Inspirasi
- Diafragma
- M. Intercostales Eksternus

Adapun otot-otot inspirasi paksa, yaitu:


- M. Sternokleidomastoideus
- M. Skalenus

Pada waktu inspirasi dimulai, otot-otot inspirasi


(diafragma dan m. Intercostales eksternus) terangsang untuk
berkontraksi, sehingga terjadi pembesaran rongga thoraks.
Otot inspirasi utama adalah diafragma, suatu lembaran otot
rangka

yang

membentuk

dasar

rongga

thoraks

dan

dipersyarafi oleh n. Frenikus. Sewaktu berkontraksi, diafragma bergerak ke bawah dan


memperbesar volume rongga thoraks. M. Intercostales eksternus yang serat-seratnya berjalan
ke arah bawah dan depan antara iga-iga yang berdekatan, apabila berkontraksi, iga terangkat
ke atas dan ke luar dan semakin memperbesar rongga thoraks. Otot-otot antariga diaktifkan
oleh n. Interkostalis. Dengan membesarnya rongga thoraks, maka tekanan di dalam rongga
thoraks akan lebih kecil daripada tekanan di atmosfer, sehingga udara akan mengalir dari
atmosfer (luar) ke dalam rongga thorax.
Otot-otot inspirasi tambahan yang terdapat di leher
ini apabila berkontraksi akan memperbesar rongga thoraks
dengan mengangkat sternum dan dua iga pertama.
b. Ekspirasi Paksa
- M. Intercostales internus
- M. Rectus abdominis
- M. Obliquus externus
- M. Obliquus internus

Dalam Keadaan normal, ekspirasi adalah suatu proses pasif


karena terjadi akibat penciutan elastik paru saat otot-otot

inspirasi melemas tanpa memerlukan kontraksi otot atau pengeluaran energi. Namun pada
keadaan tertentu yang memerlukan pengosongan paru secara lebih sempurna dan lebih cepat
dari pernapasan tenang, ekspirasi dapat menjadi aktif. Yaitu dengan menggunakan otot-otot
eksspirasi paksa. Otot-otot di dinding abdomen apabila berkontraksi maka akan terjadi
peningkatan tekanan intra abdomen yang menimbulkan gaya ke atas pada diafragma yang
mengakibatkan diafragma semakin terangkat ke atas.
Selain otot-otot dinding abdomen terdapat juga m. Intercostales internus yang apabila
berkontraksi akan menarik iga-iga ke bawah dan dalam, meratakan dinding dada dan semakin
memperkecil ukuran rongga dada. Tekanan dalam rongga thoraks akan lebih besar daripada
tekanan di atmosfer sehingga udara mengalir ke luar rongga thoraks.1

4.2

Anatomi Mediastinum
Yang dimaksud dengan mediastinum adalah

daerah di antara rongga pleura kanan dan kiri yang


berisi semua struktur di dalam thorax, kecuali paruparu dan pleura. Mediastinum dibatasi oleh apertura
thoracis superior di bagian atas, diaphragma di bagian
bawah, os sternum di bagian depan, dan vertebrae
thoracicae, di bagian belakang.
Struktur di dalam mediastinum dibungkus oleh
lemak

dan

jaringan

ikat

longgar,

sehingga

memungkinkan mediastinum untuk menyesuaikan diri

dengan

pergedrakan

atau

perubahan

organ

di

sekitarnya.

Mediastinum dibagi menjadi empat bagian yaitu:

Mediastinum superior, terletak di atas tiga bagian yang lain. Letaknya di atas
bidangan horizontal yang melalui anglus sterni sampai pinggir bawah vertebra
thoracica IV. Ruangan ini berisi thymus, pembuluh darah besar dan jantung, trakea

dan esofagus.
Mediastinum anterior merupakan ruang terkecil yang terletak di depan pericardium
dan di belakang os sternum. Pada bayi, mediastinum anterior lebih besar karena

kelenjar thymus mencapai ruangan ini.


Mediastinum medius terdapat di tengah di antara mediastinum anterior dan
mediastinum posterior. Dibatasi oleh rongga pleura kanan dan kiri, diaphragma seta
dinding depan dan belakang pericardium fibrosa. Ruangan ini berisi pericardium dan
jantungm radix pulmonalis, pangkal pembuluh darah besar, arcus vena azygos, nervus

phrenicus, dan nodi bronchomediastinales.


Mediastinum posterior terletak posterior terhadap pericardium dan diaphragma, serta
anterior terhadap corpora vertebrae thoracicae V-XII. Ruangan ini berisi esofagus,
aorta thoracica, dan lain-lain.29

BAB V
KESIMPULAN
Keluhan sesak napas (dyspnea) merupakan keluhan yang dapat di temui di praktek
sehari-hari. Penyebab dari keluhan ini bermacam-macam mulai dari kelainan jantung
(cardiovascular), kelainan metabolisme, maupun kelainan dari paru-paru dan salurannya.
Mekanisme sesak napasnya pun bermacam-macam pula untuk setiap penyakit.

Keluhan sesak napas bisa pula terjadi akibat adanya trauma maupun nontrauma.
Berdasarkan kasus, di ketahui bahwa sesak napas pasien di awali oleh adanya trauma pada
dada pasien, sehingga menyebabkan adanya udara yang dapat masuk ke dalam rongga pleura,
namun tidak bisa keluar, dan menyebabkan tension pneumothorax yang berjalan progresif.
Sebagai langkah awal, Tindakan kita sebagai dokter pada pasien sesak napas di UGD
adalah dengan

primary survey and resuscitation, dengan memegang prinsip Airway,

breathing, circulation dimana pada airway kita memeriksa cek respon dan kesadaran pasien,
menilai jalan napas dengan cara look, feel and listen, membersihkan jalan napas, stabilisasi
posisi kepala dan leher, jaga jalan napas agar tetap terbuka, dan mempertimbangkan membuat
jalan napas buatan. Pada breathing, kita menilai pernapasan, melakukan pemeriksaan fisik,
memberikan pernapasan buatan, memberikan oksigen, dan melakukan pemeriksaan analisa
gas darah. Pada circulation, di lakukan Melakukan pemeriksaan fisik untuk menilai sirkulasi,
Pasien diletakkan dalam posisi syok jika di curigai adanya perdarahan yang masif,
Menghentikan perdarahan, Resusitasi cairan, dan Resusitasi jantung paru.
Setelah di ketahui bahwa pasien ini menderita tension pneumothorax, langkah
selanjutnya yang kita lakukan adalah melakukan thorakosentesis, dimana udara dari dalam
rongga pleura akan di keluarkan dari luar untuk mengurangi tekanan pada rongga pleura dan
mencegah pergeseran mediastinum lebih jauh. Setelah itu di lanjutkan dengan melakukan
tube thoracostomy - water sealed drainage.
Tension pneumothorax merupakan penyakit yang dapat membahayakan nyawa pasien
jika tidak di tatalaksana dengan adekuat. Maka dari itu penting bagi dokter untuk mengetahui
penyebab dari sesak napas, yang salah satunya adalah pneumothorax yang merupakan suatu
kasus gawat darurat dan penanganannya bersifat life saving (menyelamatkan jiwa)

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Patrick, Davey. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga; 2005.
2. Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit Universitas
Indonesia; 2004.
3. Junadi, Purnawan, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-2. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Jember; 2002.
4. Silbernagl S, Lang F. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. 1th ed. Jakarta; EGC;2003

5. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. 3th


ed. Jakarta; media aesculapius; 2000
6. Prince SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis-proses penyakit. 6 th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. p. 773-6.
7. Brock, Nicholle. Principles of ALS Care: Airway Management. Sudbury: Jones and
Barlett Publisher; 2011.p.98-110
8. Whitford, Allen. Airway Management. In: Salyer, Steven W (editors). Essential
Emergency Medicine: for the Heatlhcare Practicioner. Philadelphia: Saunders
Elselvier; 2007.p.914-7
9. Charnin J, Goulet R, Pino R. Airway Management. In: Bigatello LM, (editors).
Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital. 15th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2010.p.50-77
10. Bird DJ, Markey JR. Basic Airway Management. In: Reichman EF, Simon RR.
Emergency Medicine Procedure. New York: McGraw-Hill; 2007
11. Nolan, Jerry P. Resuscitation Guidelines 2010. London: Resuscitation Council; 2010
12. Morocco M, Reichman EF. Orotracheal Intubation. In: Reichman EF, Simon RR.
Emergency Medicine Procedure. New York: McGraw-Hill; 2007
13. Cosar, Elifce O. Airway Management and Endotracheal Intubation. In: Irwin RS,
Rippe JM, (editors). 5th ed. Manual of Intensive Care Medicine. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2010.p.1-7
14. Partin, William R. Emergency Procedures: Direct Laringoscopy, Orotracheal
Intubation, and Nasotracheal Intubation. In: Stone CK, Humphries RL (editors).
Current Diagnosis and Treatment Emergency Medicine.6th ed. New York: The
McGraw Hills Companies; 2008.p.82-5
15. Partin, William R. Emergency Procedures: Cricothyrotomy. In: Stone CK, Humphries
RL (editors). Current Diagnosis and Treatment Emergency Medicine.6th ed. New
York: The McGraw Hills Companies; 2008.p.90-1
16. Bhatti N, Goldenberg D. Management of the Impaired Airway in the Adult. In:
Cummings CW, Flint PW, Haughey BH, Robbins KT, Harker LA, Richardson MA et
al (editors).Cummings Otolaringology Head and Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier Mosby; 2007
17. Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi EA. Penanggulangan Sumbatan Laring.
Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (editors). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.246-53
18. Rull
G,
Draper
R.
Trauma

Assessment.

Available

at:

http://www.patient.co.uk/doctor/Trauma-Assessment.htm. Accessed November 27,


2011.

19. St John Ambulance. First Aid Advice. Available at: http://www.sja.org.uk/sja/first-aidadvice/unconscious-and-not-breathing.aspx. Accessed November 25, 2011.
20. Graham R. Primary Assessment and Management : Aproach to Acutely ill patient.
Adult Medical Emergencies. 2009.p.43-7.
21. Adult
Basic
Life

Suport.

Available

at:

http://circ.ahajournals.org/content/112/24_suppl/IV-19. Accessed on : 27 November


2011.
22. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et all. Resusitasi Jantung Paru. Kapita Selekta
kedokteran. 3th ed. Jakarta: Media Aescupularis; 2009. p. 272-4.
23. Danusantoso H. Pneumothorax. In: Rachmad L, editor. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:
Penerbit Hipokrates; 2000. p. 276-77
24. Danusantoso H. Efusi Pleura. In: Rachmad L, editor. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:
Penerbit Hipokrates; 2000. p. 260-1.
25. Danusantoso H. Asthma dan Pneumonitis. In: Rachmad L, editor. Ilmu Penyakit Paru.
Jakarta: Penerbit Hipokrates; 2000. p. 204-22.
26. Prince SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis-proses penyakit. 6 th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. p. 861.
27. Decker MC. Thoracentesis. In: Reichman EF, Simon RR (editors). Emergency
Medicine Procedure. New York: McGraw-Hill; 2007
28. Partin, William R. Emergency Procedures: Thoracentesis and Tube Thracostomy. In:
Stone CK, Humphries RL (editors). Current Diagnosis and Treatment Emergency
Medicine.6th ed. New York: The McGraw Hills Companies; 2008.p.93-9
29. Robert, Roxanne. Needle Thoracostomy. In: Reichman EF, Simon RR (editors).
Emergency Medicine Procedure. New York: McGraw-Hill; 2007
30. Wibowo DS, Paryana W. Anatomi tubuh manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu;
2009.p.226-7

You might also like