You are on page 1of 24

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR

OLEH :
NI NYOMAN SRI WIDYASTUTI
0802105001

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2013
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smletzer, 2002).

Patah tulang tertutup/ closed adalah patah tulang dimana tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar atau struktur jaringan kulit
diatas / disekitar patah tulang masih utuh
Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang
pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan
kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis (Mutaqin, 2008).
Fraktur femur tertutup adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas dari
korteks tulang femur yang berbentuk silindris dan permukaan halus, dapat
komplet atau inkomplet tanpa disertai kerusakan kulit pada tempat fraktur.
(Fakultas Kedokteran Unair, 1988 ; 194).

Gambar 1. Fraktur femur


2. Epidemiologi
Insiden fraktur terbuka sebesar 4% dari seluruh fraktur dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan sebesar 3,64 berbanding 1, dengan kejadian terbanyak
pada kelompok umur decade kedua dan ketiga yang relative mempunyai aktivitas
fisik dan mobilitas yang tinggi. Pada analisis epidemiologi menunjukkan bahwa
40% fraktur terbuka terjadi pada ekstremitas bawah, terutama daerah tibia dan
femur tengah sedangkan suatu penelitian yang dilakukan oleh Kilbourne et al di
Baltimore tahun 2008 mendapatkan pasien fraktur tertutup sebanyak 291 (56%)
orang. Menurut Kahlon et al yang melakukan analisis terhadap penanganan
emergensi pasien trauma di bagian ortopedi Rumah Sakit Umum Lahore terhadap

1289 pasien tahun 2004 didapatkan jumlah kasus fraktur tertutup sebanyak 915
(71%) pasien. Suatu penelitian yang dilakukan Armis di Indonesia tahun 2001
mendapatkan pasien fraktur tertutup sebesar 96 % dari seluruh fraktur. Tingginya
insiden fraktur tertutup ini disebabkan karena tingginya angka kecelakaan lalu
lintas. Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas mencapai 12.000 orang
per tahun.
Untuk fraktur femur yang terbagi dalam beberapa klasifikasi misalnya saja
pada fraktur collum, fraktur subtrochanter femur ini banyak terjadi pada wanita
tua dengan usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami osteoporotik,
trauma yang dialami oleh wanita tua ini biasanya ringan (jatuh terpeleset di kamar
mandi) sedangkan pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami
kecelakaan. Sedangkan fraktur batang femur, fraktur supracondyler, fraktur
intercondyler, fraktur condyler femur banyak terjadi pada penderita laki laki
dewasa karena kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Sedangkan fraktur
batang femur pada anak terjadi karena jatuh waktu bermain dirumah atau
disekolah.
3. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur femur dapat dibagi menjadi tiga
yaitu :
a. Cedera traumatik
Dapat disebabkan oleh :
Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan.
Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan misalnya jatuh dengan kaki berjulur sehingga menyebabkan
fraktur
Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat
b. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut :

Tumor tulang (jinak atau ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif
Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan nyeri
Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skeletal lain biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
vitamin D atau oleh karena asupan kalsium dan fosfat yang rendah.
Osteoporosis
c. Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
folio dan orang yang bertugas di kemiliteran.
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan (Apley, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, 1995). Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi
plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, 1995)
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
Faktor Ekstrinsik
adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang (Donna, 1995).

b. Biologi penyembuhan tulang


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk
oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Selsel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai
tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24
48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang
telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk
ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan
terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru
yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini
berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung
frakturnya.
Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk
tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan
osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel
tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan
kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan
periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih
padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu
setelah fraktur menyatu.
Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan

osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat


dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya (Black, 1993 dan Apley,1993)
5. Klasifikasi
Ada beberapa tipe dari fraktur femur, yaitu :
Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan
melalui kepala femur (capital fraktur) :
-

Hanya di bawah kepala femur

Melalui leher dari femur

Fraktur Ekstrakapsuler;
- Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih
besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
- Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di
bawah trokhanter kecil.
Fraktur femur tertutup :
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Fraktur terbuka :
Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Fraktur femur
terbuka dapat dibagi menjadi 3 :
-

Derajat 1 :
Luka kurang dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda
dan luka remuk
Fraktur sederhana,tranversal,obliq atau kumulatif ringan
Kontaminasi ringan

Derajat 2 :
Laserasi lebih dari 1cm
Kerusakan jaringan lunak tidak luas

Derajat 3 :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.

Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran
(bergeser dari posisi normal)
Fraktur incomplete
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
Gambar 2. Klasifikasi Fraktur Femur

Klasifikasi fraktur femur dapat dibagi dalam (Sylvia & Price. 2006) :
1.

FRAKTUR COLLUM FEMUR


Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu misalnya
penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung
terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak
langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah,
dibagi dalam :

Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)

Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)

2.

FRAKTUR SUBTROCHANTER FEMUR


Ialah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor,
dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah
dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :

tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor

tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter
minor

tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas


trochanterminor

3.

FRAKTUR BATANG FEMUR (dewasa)


Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah pada
daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan
penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi
berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan daerah yang patah. Dibagi
menjadi :

tertutup

terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan antara


tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu ;
Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil,
biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam menembus
keluar.
Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena
benturan dari luar.
Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan
lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)

4.

FRAKTUR BATANG FEMUR (anak anak)

5.

FRAKTUR SUPRACONDYLER FEMUR


Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot otot
gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma

langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus
atau varus dan disertai gaya rotasi.
6.

FRAKTUR INTERCONDYLAIR
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga
umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.

7.

FRAKTUR CONDYLER FEMUR


Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi
disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.

6. Gejala Klinis
Lewis (2006) menyampaikan gejala klinis dari fraktur adalah sebagai
berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
d.
e.
f.
g.

jaringan sekitarnya.
Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadu disekitar fraktur.
Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme
otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
Mobilitas abnormal
Mobilitas abnormal adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang
pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur
tulang panjang.

h. Krepitasi
Krepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Syok hipovolemik
Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat. Ditandai
dengan nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi.
k. Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
7. Pemeriksaan fisik
a. Mengidentifikasi tipe fraktur
b. Inspeksi daerah mana yang terkena
-

Deformitas yang nampak jelas

Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera

Laserasi

Perubahan warna kulit

Kehilangan fungsi daerah yang cidera

Penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan

Kulit robek atau utuh

Perhatikan adanya sindrom kompartemen pada bagian distal fraktur femur.

c. Palpasi
-

Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran

Krepitasi pada daerah paha

Nadi, dingin

Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur

Terdapat nyeri tekan setempat

d. Movement

Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih

penting untuk

menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi sendi dibagian distal


cedera. Gerakan yang dilihat adalah gerakan pasif dan aktif. Berdasarkan
pemeriksaan

didapatkan

adanya

gangguan/keterbatasan

gerak

tungkai,

ketidakmampuan menggerakkan kaki, dan penurunan kekuatan otot ekstremitas


bawah dalam melakukan pergerakan
8.

Pemeriksaan Diagnosis
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada x-ray:

Bayangan jaringan lunak.

Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.

Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah
di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

b. Pemeriksaan Laboratorium
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
9. Diagnosis/ Kriteria Diagnosa
Kriteria diagnosa disesuaikan dengan semua pemeriksaan fisik yang telah dilakukan.

10. Therapi/ Tindakan Penanganan


a. Reduksi
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin
untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit
dilakukan bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan
imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur, dan
analgetika diberikan sesuai ketentuan, mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas

yang akan dilakukan manipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam
posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang. Alat imobilisasi
akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang.
Reduksi terbuka digunakan pada fraktur tertentu dengan memakai alat fiksasi
interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan
efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi.
Traksi
Traksi adalah cara penyembuhan fraktur yang bertujuan untuk mengembalikan
fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin
Metode Pemasangan traksi:
Traksi Manual
Tujuan : Perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, pada keadaan emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.
Traksi Mekanik
Ada dua macam, yaitu :
- Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya:
otot. Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg.
- Traksi Skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced
traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat
metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.
Kegunaan Pemasangan Traksi
Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :
Mengurangi nyeri akibat spasme otot
Memperbaiki dan mencegah deformitas
Immobilisasi
Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).

Mengencangkan pada perlekatannya.


Macam - Macam Traksi
Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk
mengikat puncak iliaka.
Traksi Ekstension (Bucks Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki.
Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau
untuk mengurangi spasme otot.
Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme.
Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.
Traksi Russells
Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga
digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk
skeletal yang biasa digunakan.Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas
untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal
pada tibia atau fibula.

(a)

(b)

Gambar 3. Metode Pemasangan Traksi (a. Skletal traksi. b. Skin traksi)


b. Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,

bidai, traksi kontinu. Metode fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat,
paku, atau batangan logam

Gambar 4. Area-area yang tertekan menggunakan Gips

Gambar 5. Fiksasi internal

Gambar 6. Teknik Fiksasi Internal


Ket: Teknik fiksasi interna. (A) Plat dan sekrup untuk fraktur transversal atau oblik
pendek; (B) Sekrup untuk fraktur oblik dan spiral panjang; (C) sekrup untuk
fragmen butterfly panjang; (D) Plat dan enam sekrup untuk fragmen butterfly
pendek; (E) Nail moduler untuk fraktur segmental.
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi.
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Latihan
isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan
untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur yaitu:
a. Mempercepat penyembuhan fraktur
Imobilisasi fragmen tulang
Kontak fragmen tulang maksimal
Asupan darah yang memadai
Nutrisi yang baik
Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang
Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D
b. Menghambat penyembuhan tulang
Trauma lokal ekstensif

Kehilangan tulang
Imobilisasi tidak memadai
Rongga atau adanya jaringan diantara fragmen tulang
Infeksi
Keganasan lokal
Nekrosis avaskuler
Usia (pada lansia sembuh lebih lama)
11. Komplikasi
a. Komplikasi awal
1) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak.
2) Sindom emboli lemak
Setelah terjadi fraktur femur, dapat terjadi emboli lemak khususnya pada dewasa
muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke
dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi
asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah.
Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan
organ lain. Awitan gejalanya sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai
satu minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam.
Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia dan pireksia. Gangguan
cerebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari
agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai
respon terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak.
3) Sindrom kompertemen
Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot
karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang
menjerat, atau peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagai masalah. Pasien mengeluh adanya nyeri dalam,
berdenyut tak tertahankan. Palpasi pada otot akan terasa pembengkakan dan keras.
b. Komplikasi lambat
1) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan

Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan


normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin
berhubungan dengan infeksi sistemik atau distraksi fragmen tulang. Tidak ada
penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuanujung-ujung patahan tulang.
Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal.
Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
2) Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati, dapat
terjadi setelah fraktur khususnya pada kolum femoris. Tulang yang mati mengalami
kolaps atau diabsorbsi dan diganti dengan tulang baru. Pasien mengalami nyeri dan
keterbatasan gerak.
3) Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun
pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala.
Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator utama telah terjadi masalah.
Masalah tersebut meliputi pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai, alat
yang cacat atau rusak, berkaratnya alat menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi
terhadap campuran logam yang digunakan dan remodeling osteoporotik di sekitar
alat fiksasi.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
DO: kehilangan fungsi pada bagian yangterkena (mungkin segera, fraktur itu
sendiri, atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan, nyeri,
keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
DO : - Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
- Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
- Tachikardi
- Penurunan nadi pada bagiian distal yang cedera
- Capilary refil melambat
- Pucat pada bagian yang terkena

- Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera


c. Neurosensori
DS : kesemutan (parastesia), hiolang gerak/sensasi, spasme otot
DO : deformitas, krepitasi (bunyi berderit), pemendekan, rotasi, spasme otot,
kelemahan/kehilangan fungsi
d. Kenyamanan
DS : nyeri berat tiba-tiba saat cedera, spasme/ kram otot (setelah imobilisasi)
e. Keamanan
DO: laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan local
f. Penyuluhan/pembelajaran
DS: lingkungan cedera, memerlukan bantuan transportasi, aktivitas perawatan diri,
tugas pemeliharaan/perawatan di rumah
2. Diagnosa Keperawatan
1.

PK Ketidakefektifan Perfusi Jaringan

2.

PK Syok Hipovolemik

3.

Nyeri akut b.d spasme otot, pergeseran fragmen tulang

4.

Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitas


fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler

5.

Kerusakan integritas kulit b.d fraktur tertutup,bedah


perbaikan

3. Rencana Keperawatan
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x... jam diharapkan perfusi
jaringan adekuat Kriteria hasil :
Tanda vital dalam batas normal (110-120/60-80 mmHg)
- Membran mukosa warna merah muda
- CRT< 2 detik
- Akral hangat
- Sianosis (-)
Intervensi:
a.

Awasi tanda vital , kaji pengisian kapiler , warna kulit / membran mukosa.
R/ Memberikan informasi tentang derajat / keadekuatan perfusi jaringan dan
membantu menentukan kebutuhan intervensi

b.

Kaji untuk respon verbal melambat , mudah teransang agitasi , gangguan


memori, bingung.
R/ Dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena hipoksia.

c.

Pantau pucat, sianosis, kulit dingin/lembab


R/ Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin
dibuktikan oleh penurunan perfusi

d.

Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya


R/ Penurunan pemasukan/mual terus menerus dapat mengakibatkan penurunan
volume sirkulasi yang berdampak negatif pada perfusi dan fungsi organ.

e.

Pantau Pemeriksaan diagnostik / dan laboratorium mis EKG, elektrolit, GDA


(Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2) dan Pemberian oksigen
R/ Indikator perfusi/fungsi organ

2. Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x ... jam, diharapkan tidak terjadi
syok hipovolemik dengan kriteria hasil:
- Perdarahan berkurang/berhenti
- TTV dalam keadaan stabil ( suhu : 36,5 37,2 0C, nadi : 60 100 x/menit, TD :
110 120 / 60- 80 mmHg, RR : 16- 20 x/menit)
Intervensi:
a. Observasi tanda-tanda vital
R/ Mengetahui tanda syok sedini mungkin
b. Mengkaji sumber, lokasi, dan banyak-nya per darahan
R/ Untuk menentukan tindakan
c. Berikan posisi supinasi
R/ Mengurangi perdarahan & mencegah kekurangan darah ke otak.
d. Berikan banyak cairan (minum)
R/ Untuk mencegah kekurangan cairan (mengganti cairan yang hilang)
e. Berikan obat koa-gulan sia (vit.K, Adona) dan penghentian perdarahan dgn
fiksasi.
R/ Membantu proses pem-bekuan darah dan untuk menghentikan perdarahan.
f. Monitor hasil laboratorium (Hb, Ht)
R/ Untuk mengetahui kadar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak

3. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan nyeri klien


dapat terkontrol dengan kriteria hasil :
a. Pain Control
- Menjelaskan faktor penyebab nyeri, skala 5 (Consistently demonstrated).
- Menggunakan teknik non analgetik untuk mengontrol nyeri, skala 5 (Consistently
demonstrated).
- Menggunakan analgetik sesuai rekomendasi, skala 5 (Consistently demonstrated).
b. Pain Level
- Pelaporan nyeri, skala 5 (none)
Intervensi:
Kontrol nyeri
a. Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai indikasi.
R/ Mengurangi rasa nyeri pada area yang sakit secara nonfarmakologi.
b. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri secara non farmakologi pada klien
seperti distraksi, relaksasi, guided imagery, terutama jika nyeri sudah mulai
berkurang untuk mengontrol nyeri
R/ mengalihkan nyeri yang dialami klien secara nonfarmakologi.
c. Berikan lingkungan yang nyaman, misalnya tingkat kebisingan, pencahayaan,
suhu ruangan.
R/ Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensivitas pada cahaya
dan meningkatkan istirahat/relaksasi.
d. Kurangi atau hilangkan faktor pencetus atau yang meningkatkan nyeri pada
klien.
R/ untuk mengurangi perasaan nyeri yang dialami klien.
Pain Level
e. Kaji skala nyeri serta faktor yang memperberat nyeri klien.
R/ Nyeri sebagai pengalaman subjektif dan harus digambarkan oleh klien.
Bantu klien untuk menilai nyeri dengan membandingkannya dengan
pengalaman lain.
f. Kaji tanda tanda vital klien, seperti : nadi, RR, dan tekanan darah.
R/ Peningkatan nilai nadi, RR, dan tekanan darah mengindikasikan nyeri.
4. Setelah diberikan askep selama 3x24 jam diharapkan mobilitas klien mengalami
peningkatan dengan kriteria hasil :

a. Mobilitas
- Pergerakan otot ( 5 = not compromised )
- Keseimbangan ( 5 = not compromised )
- Koordinasi ( 5 = not compromised )
b. Status neurologi = sensori spinal / fungsi motor
- Refleks tendon ( 5 = not compromised )
- Kekuatan ekstremitas bawah ( 5 = not compromised )
Intervensi:
Mobilitas
1) Kaji tingkat imobilisasi klien
R/Untuk mengetahui tingkat kerusakan mobilitas yang dialami dan menentukan
intervensi selanjutnya
2) Ajarkan latihan rentang gerak
R/Memulihkan kemampuan klien untuk beraktivitas
Status Neurologi = sensori spinal/fungsi motor
1) Berikan latihan ambulasi ROM pada klien.
R/ Melatih pergerakan otot-otot klien
2) Kolaborasi Latihan rentang gerak dengan ahli fisioterapi untuk mengembalikan
fungsi mobilisasi klien.
R/Latihan rentang gerak oleh ahli fisioterapi untuk mengembalikan fungsi
mobilisasi klien.
5. Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
kerusakan integritas kulit dengan kriteria hasil: Penyembuhan luka sesuai waktu,
tidak ada laserasi, integritas kulit baik.
Intervensi:
a. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae
R/ Untuk mengetahui pengobatan lebih lanjut
b. Monitor suhu tubuh
R/ Mengetahui peningkatan suhu tubuh
c. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
R/ Agar tidak terjadi luka tambahan
d. Lakukan alih posisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
R/ agar Peredaran darah menjadi lancar

e. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan


R/ Jika ada kerutan akan menekan dan dapat menjadi cidera pada kulit
f.

Berikan antibiotic sesuai indikiasi


R/ Agar tidak tejadi infeksi

DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta : Widya Medika
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensens Medikal Nursing : A Nursing Process
Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges M.E. 2000. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ).
Philadelpia, F.A. Davis Company

Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
Dudley, Hugh AF. 1996. Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II. Yogyakarta : FKUGM.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta
Henderson, M.A. 1992. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika

Hudak and Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.


Ignatavicius, Donna D. 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B.
Saunder Company.
Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aesculapius.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Muskuloskletal. Jakarta : EGC
Oswari, E. 1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Price, Evelyn .1997. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia.

Price Sylvia, A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:


EGC
Sylvia, A. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta: EGC
Smeltzer Suzanne, C. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta:
EGC
Reksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.
Tucker, Susan Martin. 1998. Standar Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

You might also like