You are on page 1of 9

PATOFISIOLOGI

SYOK ANAFILAKTIK

Pembimbing:
dr. Mas Wisnuwardhana, Sp.A

Disusun oleh:
Kristiana Natalian
030.11.159

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 1 AGUSTUS 2016 - 8 OKTOBER 2016

I.

DEFINISI
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang mengancam jiwa dan

diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator


kimia seperti sel mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem kardiovaskuler yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat, sistem pernapasan seperti
depresi nafas, dan sistem gastrointestinal.1,2
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)
tetapi justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis
atau anaphylaxis). Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu:
1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
alergen
2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar dengan alergen
3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar dengan alergen.1

II.

ETIOLOGI
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen, zat

diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lainlain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya. Ekstrak alergen biasanya berupa rumputrumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular.10 Beberapa bahan yang sering
dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat
radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloil-polilisin. Demikian pula dengan anestetikum lokal
seperti prokain atau lidokain. Makanan yang telah dikenal sebagai penyebab anafilaksis seperti
misalnya susu sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur dan udang.3

III.

PATOFISIOLOGI
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type reaction) oleh

Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis

diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan
terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui beberapa fase:

Gambar 1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis 3


Fase Sensitisasi
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana
ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi
sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian
terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan basophil
menyebabkan pelepasan mediator yang dimana pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini
akan menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dan menimbulkan
berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis.3
Fase Aktivasi
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.3,4

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators.
Fase efektor
Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ
tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang
nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating
factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.5
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik
sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian
terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
IV.

DIAGNOSIS
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi maupun luas

dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau menit sesudah terpajan
alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai
dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Gejala dapat
terjadi segera setelah terpapar dengan antigen, yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ
target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan
sistem saluran kencing. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut,
perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,
mual, pusing, lemas dan sakit perut.5

Gejala yang timbul pada organ ialah:

a. Kardiovaskuler
Dapat terjadi sentral maupun perifer. Gangguan pada sirkulasi perifer dapat dilihat dari pucat
dan ekstremitas dingin. Dapat pula terjadi tekanan darah rendah, vena perifer kolaps, CVP
rendah, palpitasi, takikardi, hipotensi, aritmia, penurunan volume efektif plasma, nadi cepat
dan halus sampai tidak teraba, renjatan, pingsan, pada EKG dapat ditemukan aritmia, T
mendatar atau terbalik, irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai asistol.
b. Respirasi
Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung, batuk, sesak,
mengi, stridor, suara serak, takipnea sampai apnea, kongesti hidung, edema dan hiperemi
mukosa, obstuksi jalan napas, bronkospasme, hipersekresi mukus, wheezing, dan gagal nafas.
c. Gastrointestinal : Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual,
muntah, sakit perut, diare.
d. Kulit : Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.
e. Mata : Gatal, lakrimasi, merah, bengkak.
f. Susunan saraf pusat: Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.
g. Sistem saluran kencing: Produksi urin berkurang. 5
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang ireversibel.
Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ, Manifestasi klinik syok Anafilaksis
masih dibagi dalam derajat berat ringannya, yaitu sebagai berikut:5
a. Ringan
1.

Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.

2.

Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata berair.

3.

Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.

b. Sedang
1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan
nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.
3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
b Berat/parah

1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti
yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat ke arah bronkospame, edema
laring, dispnea berat dan sianosis.
2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.
V.

PENATALAKSANAAN
Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :

1.

Posisikan pasien
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung
dan menaikkan tekanan darah.6

2.

Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:

A. Airway (membuka jalan napas)


Jalan napas harus dijaga tetap bebas dan dipastikan tidak ada sumbatan sama sekali.
Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, penarikan
mandibula ke anterior, dan membuka mulut. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring,
dapat terjadi obstruksi jalan napas total atau parsial. Pertimbangkan intubasi elektif awal
untuk pasien dengan suara serak yang signifikan dan edema lingual atau orofaringeal. 3,6
B. Breathing support
Pasien harus ditempatkan pada monitor kardiopulmonari terus menerus, termasuk
oksimetri. Jika jalan napas sudah memadai, oksigen harus diberikan melalui masker wajah
nonrebreather dengan dosis 12 sampai 15 L / menit pada awalnya, kemudian dikurangi sesuai
dengan kebutuhan.6
C. Circulation support
Cairan kristaloid harus diberikan lebih awal, sebelum pemberian obat anafilaktik.
Pada pasien anak, sebuah bolus cepat 20 ml / kg harus diberikan dan diulang seperlunya,
sedangkan pada dewasa dapat diberikan 500-1000 ml. Pemberian cairan akan meningkatkan
tekanan darah dan curah jantung.
3.

Pemberian epinefrin

Epinefrin memiliki peranan penting karena dapat membuat resistensi pembuluh darah
perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi edema mukosa,
serta dapat menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan pelepasan mediator sel mast dan
basofil.10,15 Epinefrin diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,01 mg / kg (0,01 ml /
kg), dengan dosis maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika dosis awal tidak efektif, mungkin
harus diulang pada interval 5 hingga 15 menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian
infus kontinyu adrenalin 24 ug/menit. 3
Dosis Adrenalin6
Usia
Dewasa
Anak lebih dari 12 tahun
Anak 6-12 tahun
Anak kurang dari 6 tahun
4.

Dosis Adrenalin
500 mikrogram im (0,5 ml)
500 mikrogram im (0,5 ml)
300 mikrogram im (0,3 ml)
150
krogram im (0,15 ml)

Obat tambahan
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah termasuk
antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Kombinasi antihistamin H1 dan H2 telah
dilaporkan lebih efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada
antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama, dapat diberikan
parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan anafilaksis.6

Dosis Klorfenamin 6
Usia
Dewasa atau >12 tahun
6-12 tahun
6 bulan hingga 6 tahun
< 6 bulan

Dosis
10 mg im atau iv pelan
5 mg im atau iv pelan
2,5 mg im atau iv pelan
250 mikrogram/kg im atau iv pelan

Dosis Steroid 6
Usia
Dewasa atau >12 tahun
6-12 tahun
6 bulan hingga 6 tahun
< 6 bulan

Dosis
200 mg im atau iv pelan
100 mg im atau iv pelan
50 mg im atau iv pelan
25 mg im atau iv pelan

5. Resusitasi Jantung Paru


RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan pernafasan.
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat dipulangkan karena
kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis. Sebaiknya penderita tetap dimonitor
paling tidak untuk 12-24 jam dan dirawat di Unit Perawatan Intensif. 6

DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson, Richard.E, et al. Nelson Text Book of Pediatric. Philadelphia: W.B Saunders
Company. 2002 P. 797-799.
2. Simon, Ledit R, et al. World Allergy Organization anaphylaxis guidelines. J Allergy Clin
Immunol 2011 p ; 587-593

3. Johnson RF, Peebles RS. Anaphylactic Syok: Pathophysiology, Recognition, and Treatment.
Medscape. Semin Respir Crit Care Med 2011;25(6):695-703 [Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498_2]
4. Decker WW, Campbell RL, Manivannan V, et al. The etiology and incidence of anaphylaxis
in Rochester, Minnesota: a report from Rochester epidemiology project. J Allergy Clin
Immunol 2008;122(6):1161-5
5. Rengganis Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 4th Ed. Jilid I. 2009. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, p:
190-193
6. Muraro, A, G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The Management of
anaphylaxis in childhood : Position paper of the European academy of allergology and
clinical immunology. Allergy. 2007;62:857-71

You might also like