You are on page 1of 18

AUTEKOLOGI Dipterocarpus elongates Korth.

DI CAGAR BIOSFER
PULAU SIBERUT, SUMATERA BARAT

Oleh :
Achmad Akbar Rifanda (B1J013158)
Ganjar Cahyo Aprianto (B1J013162)
Tris Junia Sari (B1J013164)

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Ekologi Tumbuhan

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PERGURUAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekologi merupakan kajian ilmu yang sangat erat kaitannya dengan
lingkungan, makhluk hidup, dan hubungan diantara keduanya. Ekologi tidak dapat
berdiri sendiri tanpa bantuan dari ilmu-ilmu lainnya, seperti biologi, biofisika,
biokimia, geologi, biogeografi, dan lain sebagainya. Masyarakat tumbuhan adalah
kumpulan strata tumbuhan mulai dari tumbuhan bawah dan tumbuhan atas. serta
interaksi diantara keduanya. Ekologi tumbuhan merupakan ilmu yang
mempelajari antara masyarakat tumbuhan, lingkungannya (abiotik dan biotik),
dan hubungan diantara keduanya dalam suatu ruang dan waktu tertentu.
Ekologi tumbuhan dibagi menjadi 2 sub kajian, yaitu Sinekologi dan
Autekologi. Sinekologi atau sering disebut ekologi komunitas merupakan ekologi
yang mempelajari kelompok organisme (tumbuhan) yang saling berinteraksi,
contohnya struktur dan komposisi spesies. Autekologi atau sering disebut ekologi
spesies / ekologi individu merupakan bagian dari ekologi tumbuhan yang
mengkaji masalah adaptasi dan tingkah laku spesies atau populasi terhadap
lingkungannya.
Pulau Siberut seluas 4.480 km merupakan bagian dari gugus kepulauan
Mentawai di Sumatera Barat yang telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dengan
inti Taman Nasional Siberut. Pulau Siberut terbagi dalam fungsi hutan konservasi
berupa Taman Nasional Siberut 190.500 ha, hutan produksi terbatas 42.050 ha,
hutan produksi tetap 95.900 ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi, 74.450
ha (Direktorat Jenderal PHKA, 2003).
Salah satu ciri hutan hujan tropika dataran rendah di

Sumatera dan

Kalimantan yaitu mempunyai kekayaan flora dengan keragaman jenis yang


bervariasi dari satu tempat ke tempat lain (Saridan et al., 1997). Hutan di
kawasan

Siberut

umumnya

didominasi

oleh

jenis-jenis

dari

famili

Dipterocarpaceae, salah satu dari genera yang dominan di kawasan tersebut


adalah Dipterocarpus. Marga ini memiliki sekitar 70 spesies yang menyebar mulai
dari India dan Srilanka di barat, Burma, Indocina, Thailand, dan Cina bagian
selatan. Di wilayah Malesiana,

Dipterocarpus tersebar di hutan-hutan

Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Jawa, Bali, Lombok, dan


Sumbawa. Sebagian besar jenisnya tumbuh tersebar, sebagian berkelompok di
tanah endapan tepi sungai, dan beberapa jenis lain tumbuh

di punggung-

punggung bukit hingga ketinggian 1.500 m dpl (Whitmore & Tantra, 1986).
Semai D. elongatus membutuhkan naungan untuk pertumbuhannya (setengah
toleran), kondisi yang optimal bagi pertumbuhan berkisar pada naungan 40-70%.
Pohon ini

menghasilkan semacam

damar/oleoresin

yang berguna untuk

mendempul perahu, sebagai pernis perabotan rumah atau dinding, serta obat luka
atau sakit kulit tertentu (Heyne, 1987).
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui aspek

ekologi

jenis D.

elongatus di daerah penyangga taman nasional dan kemungkinan untuk restorasi


habitat primata endemik Siberut.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A. AUTEKOLOGI
Autekologi merupakan ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme
atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya.
Autekologi mencoba menjelaskan mengapa dan bagaimana suatu spesies dapat
terdistribusi, bereperoduksi, and berevolusi. Falsafah yang mendasari autekologi
adalah dengan memandang sebagai ukuran yang menggambarkan kondisi
lingkungan sekitarnya. Clement menyatakan bahwa setiap tumbuhan adalah
indikator bagi keadaaan lingkungan dimana ia tumbuh. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan lingkungan adalah iklim dan tanah. Autekologi juga
mempelajari pengaruh suatu faktor lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya
suatu jenis pohon atau dengan kata lain mempelajari pengaruh lingkungan pada
tingkat populasi, organisme, dan sub organisme. Perbedaan autekologi dengan
sinekologi adalah autekologi bersifat filosofis, deduktif, deskriptif, dan sulit
dilakukan dengan pendekatan rancangan percobaan (Heyne, 1987).
B. DIPTEROCARPACEAE
Dipterocarpaceae adalah jenis

emergent

(menjulang) sebagai pohon

tempat beristirahat primata dan burung bersarang. Berkurangnya jumlah jenis


pohon

terutama jenis Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan

akan

mempengaruhi kualitas habitat, terutama jenis primata endemik (Bismark, 2005).


Struktur vegetasi hutan di kawasan daerah penyangga Taman Nasional Siberut
telah dipertahankan

secara tradisional dalam pola pengelolaan hutan dan

pertanian oleh masyarakat. Masyarakat tidak menebang hutan tetapi mengganti


sebagian pohon hutan dengan tanaman pangan budidaya. Struktur vegetasi hutan
alam di Desa Rokdog dalam Cagar Biosfer Siberut, dalam plot 30 m x 30 m
terdapat 54 jenis pohon yang berdiameter 4-180 cm dengan ketinggian mencapai
40 m, dan terdapat 28 jenis pohon dalam petak 10 m x 30 m di Desa Madobag.
Jenis dominan yang didasarkan pada basal area tinggi adalah

Dipterocarpus

elongatus Korth., Shorea pauciflora King., Oncosperma horridum (Griff.) R.


Scheffer, Hopea sp., Palaquium sp., Calophyllum sp., Bhesa paniculata Arn.,

Eugenia lineata DC., Alseodaphne umbelliflora Hook. f., Diospyros beccarii


Hiern. (Simbolon et al., 1997). Keragaman jenis pohon di hutan primer habitat
primata Siberut menunjukkan indeks Shannon 4,76, dengan 115 jenis pohon di
dalam 2.000 m 2 plot, terutama di lokasi habitat Hylobates klosii dan Simias
concolor di punggung bukit (Bismark, 2006). Kayu D. elongatus ringan (Berat
Jenis, BJ = 0,51) sampai dengan berat (BJ 1,01), dengan sifat kayu yang agak
keras hingga keras, termasuk kuat (kelas kuat I-II), dan cukup awet (kelas awet
III) (Seng, 1990; Siran, 2007). Jika tidak diawetkan, kayu ini kurang tahan untuk
pemakaian yang berhubungan dengan tanah, sehingga umumnya digunakan untuk
keperluan interior seperti kusen pintu dan jendela, tiang, tangga, dan panel kayu
lainnya (Martawijaya et al., 1989).

BAB III. MATERI DAN METODE


A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan

pada

dua lokasi di hutan produksi

eks

PT.

Koperasi Andalas Madani (PT. KAM) tahun 2007 yang terletak di tengah P.
Siberut (pada koordinat 124' 16,17" LS, 9903' 36,1" BT) dan di PT. Salaki
Suma Sejahtera (PT. S3) tahun 2009 yang terletak di sebelah utara P. Siberut
(pada koordinat 100' 25,20" LS, 9845' 48,90" BT) pada tahun 2009, dan
hutan di Desa Madobag yang merupakan hutan adat daerah penyangga Taman
Nasional Siberut yang terletak di sebelah selatan P. Siberut (pada koordinat
118' 55,8" LS, 9901' 07,9" BT) pada tahun 2012. Secara administrasi lokasi ini
termasuk wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Balai
Taman Nasional Siberut, Sumatera Barat. Lokasi penelitian terletak pada
ketinggian 40-110 m di atas permukaan laut dan termasuk hutan hujan tropika
dataran rendah. Kondisi topografinya bergelombang dengan kelerengan antara
20-60%.

Jenis tanahnya didominasi oleh

Oxisol

dan

Inceptisol

(Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2011).


B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan penelitian adalah tegakan hutan dengan kondisi yang relatif sama
yaitu di PT. KAM, PT. S3, dan hutan adat di Desa Madobag, bahan pembuat
herbarium (alkohol, kertas koran, dan etiket gantung). Alat yang diperlukan
dalam penelitian ini adalah tambang atau tali, kompas, meteran, phiband (alat
ukur diameter pohon), clinometer (alat ukur kelerengan lahan), alat ukur tinggi
pohon, thermohygrometer, GPS (Global Positioning System), kamera, dan alat
tulis.
C. Metode Penelitian
1. Plot Contoh
Plot contoh dibuat secara purposive di areal eks PT. KAM, PT. S3,
dan

hutan di Desa Madobag masing-masing tiga plot contoh, berbentuk bujur

sangkar dengan ukuran 50 m x 50 m (0,25 ha). Di dalam plot bujur sangkar


semua

jenis

pohon diukur diameter, tinggi total, sedangkan tingkat

belta

(ukuran plot 5 m x 5 m) dan semai (ukuran plot 2 m x 2 m) dihitung jumlah


dan nama jenisnya, dalam satu plot pohon dibuat empat sub plot di setiap sudut
untuk permudaan. Plot contoh dibuat di hutan primer, bekas tebangan satu
tahun, bekas tebangan lima tahun, dan hutan desa. Adapun kriteria untuk tingkat
pohon, belta, dan semai adalah sebagai berikut:
a. Pohon, dengan kriteria diameter batang setinggi dada (1,3 m) 10 cm, bila
pohon berbanir diameter batang diukur 20 cm di atas banir.
b. Belta, yaitu pohon muda dengan tinggi > 1,5 m dan diameter setinggi dada
(1,3 m) sampai < 10 cm.
c. Semai, yaitu permudaan mulai dari kecambah sampai tinggi 1,5 m.
2. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan potensi, jenis-jenis
yang dominan, dan asosiasi pohon dengan jenis D. elongatus. Jenis dominan
dan jenis yang berasosiasi erat dengan

jenis ini

ditetapkan 10 jenis

yang

mempunyai nilai penting di atas lima persen di dalam tipe dan kondisi
vegetasi. Jenis dominan diperoleh dengan analisis indeks nilai penting (%)
sebagai penjumlahan kerapatan relatif, dominasi relatif, dan frekuensi relatif dari
masing-masing jenis yang terdapat dalam plot contoh penelitian (Soerianegara
& Indrawan 1998; Kusmana, 1997).
Pengukuran ketinggian tempat, kelerengan, kelembaban,
dilakukan secara bersamaan.

dan suhu

Data pohon dan parameter fisik lingkungan

ditabulasikan dan dikelompokkan berdasarkan kelas ketinggian tempat, yaitu 4060 m, 61-100 m, dan 101-110 m. Di Desa Madobag keberadaan pohon D.
elongatus dikumpulkan menurut kelas kelerengan lahan yaitu < 10%, 11-20%,
21-30%, 31-40%, 41-50%, 51-60%, dan > 60% akan didapatkan hubungan
antara jumlah pohon dan kelas kelerengan, dibuat dalam grafik. Hubungan
diameter dan tinggi pohon dianalisis dengan regresi linier dan regresi logaritmik.
Untuk mengetahui asosiasi antara pohon D. elongatus dengan pohon lain
digunakan indeks Ochiai (Ludwig & Reynolds, 1988):

Dimana:
a = Jumlah plot ditemukan kedua jenis a dan b
b = Jumlah plot ditemukan jenis a tetapi tidak ada jenis b
c = Jumlah plot ditemukannya jenis b tetapi tidak ada jenis a
Indeks asosiasi berada pada selang nilai 0-1

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Gambar 4.1. Sketsa Dipterocarpus dan herbarium koleksi Pusat Konservasi dan
Rehabilitasi tahun 1923 dari Sumatera Timur

Gambar 4.2. Sebaran kelas diameter D. elongatus di lokasi Desa Madobag

Gambar 4.3. Hubungan kelerengan lahan dengan sebaran populasi pohon D.


elongatus dalam plot di hutan Desa Madobag

Gambar 4.4. Grafik hubungan antara tinggi dan diameter pohon D. elongatus
berdiameter < 10 cm (a) dan berdiameter 2 cm (b)

Gambar 4.5. Tegakan D. elongatus di kelerengan 43% di hutan Desa Madobag

Tabel 4.1. Kesuburan tanah habitat D. elongatus di Siberut

Tabel 4.2. Indeks nilai penting 10 pohon dominan di tiga lokasi penelitian

Tabel 4.3. Indeks asosiasi D. elongatus dengan sembilan jenis pohon dominan
lain di lokasi penelitian

Tabel 4.4. Potensi D. elongatus diameter batang > 10 cm di beberapa kondisi


hutan di Siberut

Tabel 4.5. Populasi D. elongatus di beberapa kondisi hutan di Siberut

Tabel 4.6. Jumlah anakan D. elongatus di hutan Desa Madobag pada berbagai
ketinggian tempat

B. Pembahasan
Dipterocarpus elongatus memiliki karakteristik berbentuk pohon,
memiliki ketinggian mencapai 65 m, batang lurus, bulat silindris, diamter
batangnya dapat mencapai 260 cm. Ranting berambut, kasar/ halus, bekas daun
penumpu terlihat jelas. Daun berseling, tunggal, urat daun sekunder menyirip
lurus, helaian daun menggelombang dan melipat, daun penumpu besar, serta cepat
gugur. Buah memiliki ukuran yang besar, terbungkus kelopak, berjumlah 5 buah
bergerombol, masa berbunga dan berbuah terjadi tiap 5 atau 6 tahun sekali
(Gambar 4.1).
Tumbuhan

Dipterocarpus

elongatus

dalam

pertumbuhan

dan

persebarannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: lingkungan fisik,


lingkungan biotik, dan pengelolaan pemanfatan. Faktor lingkungan fisik meliputi
suhu dan kelembapan udara, curah hujan, serta topografi dan kimia fisik tanah.
Suhu udara dibawah tajuk pohon D. elongatus adalah berkisar 25-31oC,
sedangkan kelembapannya pada musim penghujan adalah 70-100% dan pada
musim kemarau berkisar 60-80%, terlihat dari lantai hutan yang basah serta
cepatnya proses dekomposisi. Tingginya kelembapan juga dipengaruhi oleh curah
hujan yang terjadi di lingkungan D. elongatus tumbuh, yaitu sebesar 2544 3478
mm/ tahun, bahkan dibagian selatan Siberut mencapai 3751 3984 mm/ tahun.
Tumbuhan D. elongatus dapat ditemui didaerah dengan kemiringan 40-55o
(Gambar 4.3 dan 4.5) dan persebarannya cenderung berkelompok. Hal tersebut
disebabkan karena jatuhnya buah tidak jauh dari tumbuhan induk dan
pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh iklim mikro.
Pertumbuhan semai D. elongatus dipengaruhi oleh kadar debu dan liat,
serta tidak dipengaruhi oleh pH tanah. Kepadatan akan sebanding dengan
peningkatan kadar liat, dan kadar liat di lokasi penelitian sebesar 58,2%.
Sedangkan kesuburan tanah pada tempat bekas tebangan relatif rendah karena
memungkinkan telah terjadi pencucian mineral. Berbeda dengan lokasi di Siberut
Selatan (Desa Madobag) dimana kesuburannya relatif baik seperti dapat dilihat
pada tabel 4.1. Tumbuhan D. elongatus mendominasi tegakan di hutan tempat
penelitian dengan rataan 60 individu/ ha, namun walaupun demikian diareal
teresebut masih ditemukan beberapa jenis tumbuhan yang umum dijumpai, hal

tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara tumbuhan D, elongatus dengan


jenis lainnya, seperti dapat dilihat pada tabel 4.2. Pertumbuhan dan persebaran D.
elongatus sangat dipengaruhi oleh pengelolaan serta pemanfaatannya oleh
manusia, seperti pemanenan buah dan pemanfaatan kayunya. Hal tersebut
berpengaruh pada regenerasi dan pertumbuhan D. elongatus. Persebaran dan
jumlah individu D. elongatus disajikan pada tabel 4.5 dimana jumlah individu
pohon terbanyak terdapat berada di Desa Madobag.
Asosiasi D. elonganus dengan jenis tumbuhan lainnya ditunjukkan
dengan nilai indeks Ochiai yaitu 0,23-0,71. Maksud dari angka tersebut adalah
semakin mendekati angka 1 maka semakin kuat hubungan kedua jenis vegetasi,
begitu pula sebaliknya. Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa tumbuhan
Aporosa microsperma memiliki hubungan paling kuat dengan D. elonganus
dibandingkan tumbuhan lainnya. Asosiasi terjadi pada kondisi habitat yang
seragam. Potensi D. elongatus memiliki persebaran diameter yang beragam mulai
dari < 20 cm, > 20 cm, > 50 cm, dan > 60 cm sesuai dengan yang ada pada tabel
4.4. Berdasarkan tabel tersebut, jumlah jenis di Desa Madobag paling rendah,
dikarenakan adanya pemanfaatan dari D. elongatus untuk keperluan sehari hari.
Keberadaan D. elongatus pada lokasi tersebut di dominasi oleh pohon besar,
sedangkan pohon yang lebih kecil jumlahnya lebih sedikit. Hal tersebut
menunjukkan bahwa regenerasi tegakan muda D. elongatus terganggu (Gambar
4.2). Pertumbuhan dikatakan normal jika pada suatu tempat / hutan alam yang
lebih di dominasi oleh tumbuhan berdiameter kecil. Berdasarkan tabel 4.6
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah anakan berdasarkan ketinggian
tempat.
Ukuran diameter D. elongatus berkorelasi dengan tingginya. D.
elongatus berukuran sampai dengan 10 cm digolongkan sebagai masa paling cepat
tumbuh. Diameter berukuran 2,5 cm memiliki tinggi hingga 8 meter (Gambar
4.4a). Sedangkan ukuran semai akan tumbuh optimal pada intensitas cahaya 4070%. Selain itu, pertumbuhan anakan Dipterocarpus sangat dipengaruhi oleh
komposisi fisik tanah dan kemiringan. Pertumbuhan D. elongatus yang terganggu
karena dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti :

a) Buah dan biji banyak dipanen oleh masyarakat, sehingga tidak tersedia
cukup untuk regenerasi secara alami.
b) Buah/biji dimakan oleh satwaliar terutama babi hutan di lantai hutan, primata
dan burung di atas pohon.
c) Buah/biji di areal lereng di atas 50% dapat terbawa oleh air hujan, masuk ke
sungai/air sehingga buah/biji menjadi busuk dan mati.
Kemampuan regenerasi secara alami suatu tumbuhan akan sangat berpengaruh
terhadap produksi dan pertumbuhan populasinya. Demikian juga faktor fisik
lingkungan (cahaya dan air) akan berpengaruh pada pertumbuhan biji di media
tumbuh dan daya tahan hidup bagi semai itu sendiri.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Berdsarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Dipterocarpus elongatus Korth. (koka) adalah jenis dominan dengan nilai
penting dan kerapatan tertinggi di hutan Cagar Biosfer Siberut. Terdapat
sembilan jenis dominan lain dari 36-90 jenis di habitat koka dengan INP > 5%
sebagai asosiasi pohon terhadap keberadaan D. elongatus. Asosiasi terkuat
dengan D. elongatus adalah Aporosa microsperma Pax & K. Hoffmann
dengan INP hampir sama 13,37-16,7% dan dengan Indeks Ochiai 0,71.
2. Habitat D. elongatus berada di lereng dan punggung bukit, pengelompokan
D. elongatus

terbaik pada kelerengan 40-50%, tanah lempung dengan

komposisi liat 41,7-76%, debu 8-46,2%.


3. Tinggi pohon dan diameter memiliki hubungan linier untuk pohon berdiameter
10 cm. D. elongatus termasuk jenis Dipterocarpaceae yang cepat tumbuh
dan toleran.
4. Regenerasi D. elongatus di hutan alam sangat tergantung pada populasi semai.
Populasi semai di hutan primer adalah 5.000 anakan/ha, namun rendah pada
hutan bekas tebangan, sebagai dampak pemanfaatan kayu.
B. Saran
Perlu penelitian silvikultur dan pembibitan untuk mendukung budidaya
D. elongatus dalam rehabilitasi bekas areal tebangan dan budidaya untuk hutan
desa di daerah penyangga taman nasional dalam Cagar Biosfer P. Siberut.

DAFTAR PUSTAKA
Bismark, M.

(2005).

Model pengukuran biomasa populasi primata. Jurnal

Penelitian Hutan dan Konservasi Alam II(5), 491- 496.


Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam.

(2003).

Buku

panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Kerjasama Dephut RI dengan


UNESCO dan CIFOR
Heyne, K.

(1987).

Tumbuhan berguna Indonesia

(Terjemahan).

Jakarta:

Yayasan Sarana Wana Jaya.


Ludwig, J.A. & Reynolds, J.F. (1988). Statiscal ecology. Aprumer on methods
and computing. New York: John Wiley & Sons.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A., & Kadir, K.
(1989). Atlas kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. (2011). Peta tanah Pulau Sumatera.
Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Saridan, A., Sist, P., & Abdurahman. (1997). Identifikasi jenis pohon pada plot
permanen, proyek STREEK di Berau, Kalimantan Timur. Dipterocarpa I(1).
Seng, O. Dj. (1990). Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian
beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman 13.
Simbolon, M., Adhikerana, A.S., Afriastini, J.J., & Marakarmah, A. (1997).
Beberapa gatra biologis sumberdaya tumbuhan ekonomis Pulau Siberut,
Sumatera Barat. Dalam Eko, B. Waluyo; H. Susanto dan A.S. Adhikerana
(eds.), Pulau Siberut: potensi, kendala dan tantangan pembangunan.
Bogor: LIPI.
Soerianegara, I. & Indrawan, A. (1998). Ekologi hutan Indonesia. Bogor:
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Whitmore, T.C. & Tantra, I G.M. (1986). Tree flora of Indonesia check list for
Sumatera. Bogor: Forest Research and Development Centre.

You might also like