You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Sudah menjadi hukum alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu
mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam
suatu pergaulan hidup. Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain, manusia
membutuhkan manusia lain untuk hidup bersama dan bekerja sama. Ia telah
ditentukan harus hidup berkelompok dan hidup bermasyarakat.
Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya secara
alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat
hidup bersamanya atau untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan
menciptakan suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera, dan
abadi.
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebut
Perkawianan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan lembaga yang berkaitan langsung dengan kodrat
manusia untuk mempertahankan hidup dan mempertahankan jenisnya. Melalui
perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya secara
lebih baik serta dapat mengembangkan kebudayaan untuk meningkatkan kenyamanan
hidupnya. Sampai saat ini, meskipun teknologi telah berkembang pesat, secara umum
manusia berkembang lebih baik untuk mempertahankan jenisnya melalui perkawianan

secara alami. Sebagai suatu lembaga, perkawianan baru dapat memenuhi fungsinya
tersebut apabila dilakukan dalam suatu tata aturan, dengan menjungjung tinggi harkat
martabat kemanusiaan.
Tata aturan pelaksanaan perkawinan tidak lepas dari budaya dan lingkungan di
mana perkawianan tersebut dilaksanakan. Faktor pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, dan agama yang dianut masyarakat mempengaruhi bagaimana suatu
perkawianan dilaksanakan. Pada umumnya perkawianan tidak cukup hanya diatur
oleh norma agama maupun norma kesusilaan, tetapi juga diatur dengan norma
hukum .
Yang menjadi pertanyaan kita adalah kita sudah mempunyai Undang-undang
yang menatur tentang perkawinan yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974, tetapi
mengapa perkawinan disetiap daerah itu berbeda-beda. Biasanya yang membedakan
ialah dari segi tata upacaranya.

I.2 Rumusan Masalah.


Berdasarkan pemaparan di atas bisa tarik beberapa rumusan masalah yang
akan dibahas yaitu:
1. Mengapa perkawinan disetiap daerah berbeda?
2. Bagaimana tata cara perkawinan Nyentana di Bali?

I.3 Tujuan
Adapun tujuan ialah
1. Untuk mengetahui mengapa perkawinan disetiap daerah itu berbeda!

2. Untuk mengetahui tata cara perkawinan Nyentana di Bali!

BAB II
PEMBAHASAN
II. Perkawinan di setiap Daerah berbeda.
Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur
arti dan maksud perkawinan, yaitu menurut ketentuan pasal 1 yang berbunyi :
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia yang
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Perkawinan adalah suatu proses yang sudah melembaga yang mana laki-laki
dan perempuan memulai dan memelihara suatu hubungan timbal baliknya yang
merupakan dasar bagi suatu keluarga yang menimbulkan hak dan kewajiban baik
antara laki-laki dan perempuan maupun dengan anak-anak yang kemudian dilahirkan.
Pasal 1 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga sehingga terwujud hubungan
suami istri yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui
hubungan suami istri yang bahagia dan kekal inilah diharapkan akan didapat
keturunan yang akhirnya dapat diwujudkan disini bukanlah keturunan
Pengertian tentang perkawinan serta tujuan dari suatu perkawinan disetiap
daerah pastilah sama. Tetapi kadang yang membedakan antara perkawinan di daerah
satu dan perkawinan di daerah lain itu berbeda. Biasanya yang membedakan

perkawinan daerah satu dan daerah yang lain adalah tata upacaranya. Hal ini
disebabkan oleh beberapa factor.
Faktor yang paling mempengaruhi ialah factor kebudayaan yang dianut oleh
daerah tersebut. Seperti daerah Bali yang menganut sistem patrilineal yaitu
perkawinan menurut garis keturunan pihak laki-laik, atau suami menjadi kepala
rumah tangga, berbeda dengan kebudayaan daerah minang kabau yang dimana sistem
yang digunakan adalah sistem matrilineal. Dengan sistem ini, perempuan yang
mempunyai kekuasaan yang lebih di bandingkan kaum pria. Dimana perempuan
menjadi kepala rumah tangga. Dan ada juga sistim parental yang dianut oleh Jawa dan
Kalimantan yaitu kedudukan pihak laki-laki dan perempuan sama, atau sederajat.
Dimana pihak perempuan mempunyai hak yang sama dalam berbagai hal di dalam
rumah tangga. Misalnya pembagian hak waris.
Selain factor kebudayaan yang mempengaruhi, factor yang tak kalah
mempengahuhi mengapa perkawinan di setiap daerah itu berbeda adalah factor
geografis. Masyarakat yang tinggal di pedalaman tata cara perkawinannya akan
terlihat lebih kental dengan adat mereka yang masih asli berdasarkan turunan dari
nenek moyang mereka karena belum dipengaruhi oleh budaya luar.
Faktor selanjutnya adalah factor ekonomi masyarakat. Pada umumnya
masyarakat yang kurang mampu tata cara perkawinannya akan dibuat lebih sederhana
dibandingkan dengan orang yang latar belakang ekonominya mampu cenderung
memilih upacara perkawinan yang terkesan mewah sehingga dari segi ekonomi akan
menelan biaya yang cukup banyak.
Faktor- factor inilah yang mempengaruhi mengapa perkawinan disetiap daerah
berbeda-beda.

II. 2 Perkawinan Nyentana di Bali

Tujuan perkawinan secara kasat mata ialah hanya untuk melajutkan keturunan
suatu keluarga. Masalaha kan timbul dimana suatu kelurga tidak memiliki anak lakilaki sebagai oenerus keturunan, sehingga untuk menghindari putursnya keturunan
keluarga yang tidak memiliki laki-laki ini akan menetapkan salah seorang anak
perempuannya sebagai sentana rajeg (statustnya diangkat menjadi laki-laki yang akan
mewarisi milik orang tuanya) Pengertian perkawinan nyentana yaitu perkawinan
dimana seorang laki-laki ikut dalam keluarga istrinya, tinggal dirumah istrinya dan
semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga istri. Dalam perkawinan biasa,
lazimnya seorang lelaki yang melamar seorang perempuan untuk dijadikan istrinya.
Namun dalam perkawinan nyentana si perempuan yang melamar di laki-laki untuk
dijadikan suaminya untuk selanjutnya diajak tinggak dirumah si gadis. Sementara itu
keturunannya akan menjadi milik dan melanjutkan keturunan keluarga istrinya tadi.
Seperti diketahui dalam sistem kekeluargaan patrilinial berlaku prinsip bahwa dalam
perkawinan seorang istri mengikuti keluarga suaminya. Bentuk perkawinan nyentana
justru menunjukkan hal sebaliknya yaitu suami ikud istrinya.
Tata cara perkawinan nyentana di Bali hampir sama dengan tata cara
perkawinan biasa, namun yang membedakannya ialah pihak perempuan menjadi
purusha yaitu:
a.

Mejantos: Pemberitahuan pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki bahwa


pihak perempuan akan meminang calon mempelai laki-laki.

b. Widiwidana: Upacara ini diawali dengan upacara mebeyakala.


c.

Upacara mepejati atau penyaksian: kedua mempelai melaksanakan puja bakti


sebanyak lima kali pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

BAB III
Penutup
III.1 Simpulan
Berdasarkan pemaparan diatas maka bisa kita tarik beberapa simpulan yaitu:
a.

Tata cara perkawinan dimasing-masing daerah sangat dipengaruhi oleh factor


kebudayaan, geografis, dan ekonomi daerah tersebut.

b. Tata cara perkawinan nyentana daerah satu dan yang laen di Bali hampir sama.

You might also like