You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Transfusi darah merupakan pemindahan darah atau komponen darah dari
seseorang (donor) kepada orang lain (resipien) yang ditujukan agar dapat
mengganti perdarahan yang keluar dalam jumlah banyak sekaligus merupakan
tindakan penyelamatan terhadap pasien dalam keadaan gawat. Transfusi darah
merupakan salah satu bagian penting pelayanan kesehatan modern. Bila
digunakan dengan benar, transfusi dapat menyelamatkan jiwa pasien dan
meningkatkan derajat kesehatan. Indikasi tepat transfusi darah dan komponen
darah adalah untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan morbiditas dan
mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi dengan cara lain.1
Pada setiap tindakan transfusi darah dapat menimbulkan resiko resiko
akibat transfusi darah seperti penularan penyakit infeksi, reaksi alergi dan
sebagainya. Oleh karena itu transfusi darah merupakan pilihan terakhir untuk
tindakan life saving karena mengandung banyak resiko. Untuk itu diperlukan
pengetahuan mengenai transfusi darah agar dapat meminimalkan resiko yang
dapat ditimbulkan dari transfusi darah yang dilakukan sehingga kita dapat
memberikan penanganan yang tepat dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.2
Menurut WHO Global Database of Blood Safety dari 20% penduduk
dunia yang berada di negara maju sebanyak 80% telah menggunakan darah donor
yang aman sedangkan sebanyak 80% sisanya yang berada di negara berkembang,
hanya 20% saja yang mendapatkan darah donor yang aman.1
Di Indonesia dari sekitar 220 juta penduduk baru 0,6% yang bersedia
mendonorkan darah; itu artinya dari sekitar 3 juta kantong darah yang dibutuhkan
baru terpenuhi sekitar 1,2 hingga 1,3 juta kantong. Dari jumlah tersebut 40%
digunakan untuk pengobatan penyakit dalam seperti gagal ginjal dan kanker, 20%

Page | 1

digunakan untuk penanggulangan di bidang kebidanan dan 20% lainnya untuk


keperluan operasi bedah.
Transfusi darah memainkan peran penting dalam bidang ilmu kedokteran.
Ketersediaan darah menyebabkan perkembangan transfusi darah dalam bidang
bedah dan tindakan operasi. Tujuan utama dari semua tindakan bedah atau
anestesi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Selain itu,
pengambilan keputusan untuk melakukan transfusi pada pasien bedah seringkali
sulit. Pada beberapa prosedur pembedahan, kehilangan darah yang signifikan
dapat diantisipasi meskipun ada potensi untuk kehilangan darah yang tak terduga
terjadi dalam setiap jenis operasi. Namun, tindakan operasi yang elektif dan
terencana mungkin tidak mengakibatkan kehilangan darah yang cukup banyak
untuk dilakukan transfusi darah.3
Selama bertahun-tahun, keadaan yang membutuhkan transfusi darah
mengalami pergeseran dari tingkat hemoglobin yang optimal menjadi keharusan
untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Sejumlah opsi darah autolog (dari
tubuh sendiri) yang tersedia dapat mengurangi permintaan transfusi darah
alogenik (dari orang lain). Selain itu, alternatif seperti erythropoietin dan
pengganti darah lain merevolusi manajemen pasien bedah. Pengurangan potensi
kehilangan darah intraoperatif dengan menggunakan agen farmakologis lebih
lanjut memberikan kontribusi untuk menurunkan paparan darah alogenik.3

Page | 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Cairan Tubuh
1. Cairan Tubuh Manusia
Sekitar 60 70 % tubuh manusia dewasa terdiri dari cairan. Secara garis
besar cairan tubuh dibagi menjadi dua kompartemen utama yaitu cairan
ekstraseluler dan cairan intraseluler. Jumlah cairan intraseluler kira kira 40%
dari berat badan total pada pria rata rata. Jumlah cairan ekstraseluler kira kira
20% dari berat badan atau sekitar 14 Liter pada orang dewasa normal dengan
berat badan 70 Kg. Kemudian cairan ekstraseluler dibagi menjadi cairan
interstitial yang berjumlah kira kira 3/4 dari cairan ekstraseluler dan plasma
darah yang berjumlah kira kira 1/3 dari cairan ekstraseluler. Plasma adalah
bagian darah non seluler dan terus menerus berhubungan dengan cairan interstisial
melalui celah celah membran kapiler. Celah ini bersifat sangat permeabel untuk
hampir semua zat terlarut dalam cairan ekstraseluler kecuali protein.

Cairan

ekstraseluler secara konstan terus tercampur, sehingga plasma dan cairan


interstisial mempunyai komposisi yang sama. Selain itu, ada juga kompartemen
cairan yang kecil yang disebut sebagai cairan transeluler. Kompartemen ini
meliputi cairan dalam rongga sinovial, peritoneum, perikardial dan intraokular,
juga cairan serebrospinal. Cairan transeluler seluruhnya berjumlah 1 sampai
dengan 2 Liter.4
Persentase cairan tubuh dapat berubah bergantung pada umur, jenis
kelamin, dan derajat obesitas. Seiring dengan pertumbuhan seseorang, persentase
total cairan terhadap berat badan berangsur angsur turun. Hal ini diakibatkan
karena pada penuaan biasanya berhubungan dengan peningkatan persentase berat
badan yaitu lemak, dan kemudian menurunkan persentase cairan dalam tubuh.
Wanita mempunyai lemak tubuh lebih banyak daripada pria, sehingga wanita
mempunyai lebih sedikit cairan daripada pria.4

Page | 3

Salah satu cairan tubuh yang penting untuk menunjang kualitas kehidupan
seseorang yaitu darah. Darah merupakan komponen dari cairan ekstraseluler dan
cairan intraseluler. Namun, darah dianggap sebagai kompartemen cairan terpisah
karena kandungan dalam ruangannya sendiri, yaitu sistem sirkulasi.4
2. Darah
Darah merupakan cairan tubuh yang berfungsi untuk mengangkut oksigen
yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh dan menyuplai jaringan tubuh
dengan zat zat nutrisi, serta mengangkut zat zat hasil sisa metabolisme. Dalam
darah terdapat berbagai sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari
berbagai penyakit dan hormon hormon dari sistem endokrin yang diedarkan ke
seluruh tubuh. Darah manusia berwarna merah, antara merah terang apabila kaya
oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen. Warna merah pada darah
disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratory protein) yang
mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat terikatnya
molekul-molekul oksigen. Manusia memiliki sistem peredaran darah tertutup
yang berarti darah mengalir dalam pembuluh darah dan di sirkulasikan oleh
jantung. Darah dipompa oleh jantung menuju paru-paru untuk melepaskan sisa
metabolisme berupa karbon dioksida dan menyerap oksigen melalui pembuluh
arteri pulmonalis, lalu dibawa kembali ke jantung melalui vena pulmonalis.
Setelah itu darah dikirimkan ke seluruh tubuh oleh saluran pembuluh darah aorta.
Darah mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh melalui saluran halus darah yang
disebut pembuluh kapiler. Darah kemudian kembali ke jantung melalui pembuluh
darah vena cava superior dan vena cava inferior.5
Darah juga mengangkut bahan hasil sisa metabolisme, obat - obatan dan
bahan kimia asing ke hati untuk diuraikan dan diekskresi sebagai urin oleh ginjal.
Komposisi darah terdiri atas :5
a.

Eritrosit atau sel darah merah merupakan sel darah yang paling banyak
(>99%) dan mengandung hemoglobin. Eritrosit diproduksi oleh sumsum
tulang belakang dan setelah sekitar 120 hari akan dihancurkan di limpa dan
hati. Hasil produksi eritrosit meliputi besi, asam folat dan vitamin B12.

Page | 4

Eritrosit distimulasi oleh hormon eritropoetin yang disekresi oleh ginjal


sebagai respon yang tidak adekuat terhadap kebutuhan oksigen.
b.

Trombosit merupakan bagian sel dari megakariosit yang berperan penting


dalam mekanisme pembekuan darah.

c.

Leukosit atau sel darah putih merupakan sel sel yang berperan dalam respon
imun. Sel sel ini dapat diklasifikasikan dalam :
1. Monosit
2. Limfosit
3. Polimorfonuklear (PMN), terdiri dari :
a. Basofil, yang berfungsi sebagai mediator dari respon inflamasi dengan
cara mensekresi histamin.
b. Eosinofil, yang berfungsi menyerang parasit multiseluler dan juga
berperan dalam reaksi alergi.
c. Neutrofil, yang berperan dalam fagositosis.

d.

Plasma darah pada dasarnya adalah larutan air yang mengandung:3


1. albumin
2. bahan pembeku darah
3. imunoglobin (antibodi)
4. plasma ekspander sintetik

2.1

Umur dan Stabilitas Komponen Darah


Umur atau lamanya masing - masing komponen darah yang ditransfusikan

dapat bertahan dalam tubuh tidak dalam waktu yang sama. Perlu diketahui untuk
mengetahui interval pemberiannya, misalnya faktor VII hanya dapat bertahan
sementara 4 - 7 jam sehingga pemberiannya harus setiap 4 - 8 jam. Trombosit
hanya bertahan 1 - 2 hari sehingga pada kasus yang memerlukan trombosit dan
produksi tidak adekuat maka trombosit harus diberikan tiap 1 - 2 hari.
2.2

Golongan Darah
Golongan darah adalah ciri khusus darah dari suatu individu karena

adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel

Page | 5

darah merah. Dua jenis penggolongan darah yang paling penting adalah
penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh).
Golongan darah manusia ditentukan berdasarkan jenis antigen dan
antibodi yang terkandung dalam darahnya, sebagai berikut :
1. Individu dengan golongan darah A memiliki sel darah merah dengan antigen
A di permukaan membran selnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen
B dalam serum darahnya sehingga orang dengan golongan darah A-negatif
hanya dapat menerima darah dari orang dengan golongan darah A-negatif atau
O-negatif.
2. Individu dengan golongan darah B memiliki antigen B pada permukaan sel
darah merahnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen A dalam serum
darahnya sehingga orang dengan golongan darah B-negatif hanya dapat
menerima darah dari orang dengan dolongan darah B-negatif atau O-negatif
3. Individu dengan golongan darah AB memiliki sel darah merah dengan antigen
A dan B serta tidak menghasilkan antibodi terhadap antigen A maupun B.
Sehingga, orang dengan golongan darah AB-positif dapat menerima darah dari
orang dengan golongan darah ABO apapun dan disebut resipien universal.
Namun, orang dengan golongan darah AB-positif tidak dapat mendonorkan
darah kecuali pada sesama AB-positif.
4. Individu dengan golongan darah O memiliki sel darah tanpa antigen, tapi
memproduksi antibodi terhadap antigen A dan B sehingga, orang dengan
golongan darah O-negatif dapat mendonorkan darahnya kepada orang dengan
golongan darah ABO apapun dan disebut donor universal. Namun, orang
dengan golongan darah O-negatif hanya dapat menerima darah dari sesama Onegatif.
Jenis penggolongan darah lain yang cukup dikenal adalah dengan
memanfaatkan faktor Rhesus atau faktor Rh. Kecocokan faktor Rhesus amat
penting karena adanya ketidakcocokan golongan, misalnya donor dengan Rh(+)
sedangkan resipiennya Rh(-) dapat menyebabkan produksi antibodi terhadap
antigen Rh(D) yang mengakibatkan hemolisis.

Page | 6

B. Transfusi Darah
1.

Definisi
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis

darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya dan berhubungan dengan
kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar disebabkan trauma,
operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah.1
Transfusi darah juga merupakan pengobatan yang bertujuan menggantikan
atau menambah komponen darah yang hilang atau terdapat dalam jumlah yang
tidak mencukupi. Tentu saja transfusi darah hanya merupakan pengobatan
simtomatik karena darah atau komponen darah yang ditransfusikan hanya dapat
mengisi kebutuhan tubuh tersebut untuk jangka waktu tertentu tergantung pada
umur fisiologi komponen yang ditransfusikan; walaupun umur eritrosit adalah 120
hari namun bila ditransfusikan pada orang lain maka kemampuan transfusi tadi
mempertahankan kadar hemoglobin dalam tubuh resipien hanya rata-rata satu
bulan.6
2.

Tujuan Transfusi Darah6


a. Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor
b. Memelihara keadaan biolgis darah atau komponen komponennya agar
tetap bermanfaat
c. Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada
peredaran darah (stabilitas peredaran darah)
d. Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah
e. Meningkatkan oksigenasi jaringan
f. Memperbaiki fungsi Hemostasis
g. Tindakan terapi kasus tertentu

Page | 7

Jenis Jenis Transfusi Darah6

3.

Komponen yang biasanya digunakan untuk transfusi darah yaitu :


a.

Eritrosit :
1.

Packed Red Cells (PRC)6


Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit
plasma. Sel darah merah ini didapat dengan memisahkan sebagian besar
plasma dari darah lengkap, sehingga diperoleh sel darah merah dengan
nilai hematokrit 60-70%. Volume diperkirakan 150-300 ml tergantung
besarnya kantun darah yang dipakai, dengan massa sel darah merah 100200ml. Sel darah merah ini disimpan dalam suhu 1 6 oC. Sediaan ini
bukan merupakan sumber trombosit dan granulosit namun memiliki
kemampuan oksigenasi seperti darah lengkap.
Tujuan : Diberikan untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada
pasien yang menunjukkan gejala anemia, yang hanya memerlukan massa
sel darah merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien dengan gagal
ginjal atau anemia karena keganasan.
Keuntungan menggunakan PRC dibandingkan dengan darah jenuh
adalah:6
1. Kenaikan Hb dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan
2. Mengurangi kemungkinan penularan penyakit
3. Mengurangi kemungkinan reaksi imunologis
4. Volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga kemungkinan
overload berkurang
Bila yang digunakan sel darah merah pekat (packed red cells), maka
kebutuhannya adalah 2/3 dari darah lengkap, menjadi:
BB (kg) x 4 x (Hb diinginkan - Hb tercatat)
Untuk anemia yang bukan karena perdarahan, maka teknis pemberiannya
adalah dengan tetesan. Makin rendah Hb awal makin lambat tetesannya
dan makin sedikit volume sel darah merah yang diberikan. Jika
menggunakan packed red cells untuk anemia, lihat tabel berikut:

Page | 8

Tabel 2.1. Dosis PRC untuk transfusi

2.

Sel Darah Merah Pekat yang Dicuci6


Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 70-80
% dengan volume 180 ml. Pencucian dengan salin membuang hampir
seluruh plasma (98%), menurunkan konsentrasi leukosit, dan trombosit serta
debris. Karena pembuatannya biasanya dilakukan dalam sistem terbuka
maka komponen ini hanya dapat disimpan dalam 24 jam dalam suhu 16 oC.
Tujuan: Pada orang dewasa komponen ini dipakai untuk mencegah reaksi
febris dan alergi yang berat atau berulang.
Hati-hati terhadap kontaminasi bakteri karena proses pembuatannya yang
secara terbuka.

3.

Sel Darah Merah Pekat Beku yang Dicuci6


Tujuan : Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan gliserol suatu
sediaan krioprotektif terhadap darah yang usianya kurang dari 6 hari.
Kemudian darah dibekukan pada suhu minus 65o atau minus 200o celcius.
Diberikan untuk penderita yang mempunyai antibodi terhadap sel darah
merah yang menetap.

b.

Leukosit atau Granulosit Konsentrat


Tujuan : diberikan pada pasien dengan immunosuppresed, infeksi yang tidak
membaik yang tidak sembuh dengan pemberian antibiotik, kualitas leukosit
yang menurun.

c.

Trombosit
Tujuan : diberikan pada penderita yang mengalami gangguan jumlah atau
fungsi trombosit.(12)

Page | 9

Dosis suspensi trombosit yang diperlukan kira-kira sebanyak 50 ml suspensi


trombosit dapat menaikkan kadar trombosit 7500 10.000/mm3 pada resipien
yang beratnya 50 kg.(10)
Suspensi trombosit diberikan pada penderita trombositopeni bila(10) :
1. terdapat perdarahan
2. untuk mencegah perdarahan pada keadaan dimana ada erosi yang dapat
berdarah bila kadar trombosit < 35.000/mm3
3. untuk mencegah perdarahan spontan bila kadar trombosit < 15.000/mm
d.

Suspensi plasma beku (Fresh Frozen Plasma)6


Plasma segar yang dibekukan mengandung sebagian besar faktor
pembekuan di samping berbagai protein yang terdapat di dalamnya; karena
itu selain untuk mengganti plasma yang hilang dengan perdarahan dapat
dipakai sebagai pengobatan simtomatis kekurangan faktor pembekuan darah.
Fresh Frozen Plasma (PIT) tidak digunakan untuk mengobati kebutuhan
faktor VIII dan faktor IX (Hemofilia); untuk ini digunakan plasma
Cryoprecipitate. Pada transfusi dengan FFP biasanya diberikan 4 8 kantong
(175 225 ml) tiap 6 8 jam bergantung kebutuhan.

e.

Darah penuh (Whole Blood)6


Darah lengkap ini berisi sel darah merah, leukosit, trombosit, dan plasma.
Satu unit kantong darah lengkap berisi 450 ml darah dan 63 ml antikoagulan.
Di Indonesia satu kantong darah berisi 250 ml darah dan 37 ml antikoagulan.
Transfusi dengan darah lengkap diperlukan untuk mengembalikan dan
mempertahankan volume darah dalam sirkulasi atau mengatasi renjatan.
Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan
volum plasma dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif
yang menyebabkan kehilangan darah lebih dari 25-30% volum darah total.
Namun hendaknya pemberian darah lengkap pada keadaan tersebut tidak
menjadi pilihan utama karena pemulihan segera volum darah pasie jauh lebih

Page | 10

penting disbanding penggantian sel darah merah, sedangkan menyiapkan


darah transfusi memerlukan waktu.
Dilihat dari masa penyimpanannya maka whole blood dapat dibagi
menjadi 2, yaitu:
a.

Darah segar (fresh blood): darah disimpan <6 jam, masih lengkap
mengandung trombosit dan faktor pembeku.

b.

Darah yang disimpan (stored blood): darah yang sudah disimpan


>6 jam.
Pemberian dosis tergantung pada keadaan klinis pasien, pada orang

dewasa 1 unit darah lengkap akan meningkatkan hb sekitar 1g/dl atau


hematoktit 3-4 g/d%.
Tabel 2.2 Hubungan antara gejala klinis dan prakiraan jumlah
perdarahan pada seseorang yang berat badannya 60 kg(10)
Volume yang keluar (mL)
500

% Vol
10

Tanda Klinik
Tidak ada. Kadang-kadang pada
donor

dapat

terjadi

vasovagal

sinkope
1000

20

Keadaan istirahat bisa tanpa ada


gejala klinik.

1500

30

Duduk/berdiri tekanan darah sedikit


tutor', atau takikardi
Istirahat berbaring, tekanan darah

2000

40

dan nadi bias normal. Duduk/berdiri


tekanan darah turun, atau
takikardi
Tekanan

2500

50

vena

sentral,

cardiac

output, tekanan
darah arteri, di bawah normal
walaupun dalam
keadaan berbaring telentang dan
istirahat, haus
udara, nadi cepat, kulit dingin
Syok, asidosis laktat dan kematian

Page | 11

4. Mekanisme Transfusi Darah


Sampai saat ini dikenal dua jenis mekanisme transfusi yang lazim dilakukan
yaitu:
a. Allotransfusi : bahan transfusi berasal dari darah orang lain.
b. Autotransfusi : bahan transfusi berasal dari darah resipien sendiri.
Pada autotransfusi darah dapat diperoleh dengan 3 cara :
1. Cara Leaffrog
Darah diambil dari resipien sendiri tiap minggu. Minggu berikutnya
ditransfusikan kembali diikuti pengambilan dan penyimpanan dalam
jumlah lebih

banyak dan seterusnya hingga terkumpul jumlah darah

yang diperlukan.
2. Cara Infra Operative Deposit
Darah diambil sebelum operasi dan diganti dengan koloid; pasca operasi
darah

yang diambil ditransfusikan kembali.

3. Cara Infra Operative Salvage


Darah

dalam

rongga

dada/abdomen

dihisap,

disaring

kemudian

ditransfusikan kembali.
Keuntungan autotransfusi :
a.

Merupakan darah yang paling cocok misal pada donor donor langka.

b.

Kesalahan cross match tidak ada.

c.

Reaksi pirogen alergi tidak ada.

d.

Penularan penyakit tidak ada.

e.

Tidak bertentangan dengan kepercayaan tertentu yang menolak


transfusi darah orang lain.

5. Prinsip Dasar Transfusi Darah7


Prinsip dasar dari pemberian produk darah yang tepat adalah bahwa
transfusi darah hanyalah salah satu bagian dari manajemen cairan. Jika terjadi
perdarahan yang masif dan mendadak karena perdarahan, operasi atau komplikasi

Page | 12

kelahiran, yang paling penting dilakukan pertama kali adalah penggantian cairan
secara cepat.
Transfusi PRC bisa secara cepat membantu mengembalikan kemampuan
darah mengikat O2.
Perdarahan dapat dikurangi dengan cara :
a.

Gunakan cairan pengganti untuk resusitasi

b.

Meminimalkan darah yang diambil untuk penggunaan laboratorium

c.

Menggunakan anestesi dan teknik bedah terbaik untuk meminimalkan


perdarahan

Prinsip yang perlu diingat :


a. Transfusi hanyalah satu elemen resusitasi cairan
b. Perdarahan harus diminimalkan untuk mengurangi kebutuhan transfusi
c. Pasien dengan perdarahan akut perlu mendapat resusitasi efektif
d. Walaupun Hb penting tetapi tidak bisa menjadi satu-satunya faktor penentu
perlunya transfusi. Pemberian transfusi harus dapat memperbaiki tanda dan
gejala guna untuk mencegah keadaan yang lebih parah yang menyebabkan
kematian.
e. Pertimbangkan resiko infeksi melalui transfusi produk darah
f. Transfusi dilakukan hanya bila keuntungannya melebihi faktor resikonya
6.

Indikasi Transfusi Darah


a. Perdarahan berat, seperti pada7 :
1. Hemoragi post partum yang mengarah ke syok
2. Hilangnya darah dalam jumlah besar selama operasi
3. Anemia berat terutama bila disertai kelainan jantung
b. Tekanan darah < 100 mmHg (hati-hati pada penderita yang sebelumnya
menderita hipotensi).
c. Nadi yang persisten 100/menit. Hal ini biasanya berarti telah terjadi
perdarahan sebanyak 20% volume darah.
d. Trombositopeni
e. Hemofilia

Page | 13

1. Sel darah merah


a. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada keadaan
hemoglobin (Hb) <7g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat
ditunda bila pasien asimtomatik dan atau penyakitnya memiliki terapi
spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima.
b. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7 - 10 g/dl
apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis
dan laboratorium.
c. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada indikasi
tertentu misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen
lebih tinggi (contoh penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit
jantung iskemik berat).
d. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb
11g/dl bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan mencapai 7g/dl
(seperti pada anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau
paru atau yang sedang membutuhkan suplementasi oksigen, batas untuk
dilakukan transfusi adalah Hb 13 g/dl.
2.

Trombosit

a. Trombosit diberikan untuk mengatasi perdarahan pada pasien dengan


trombositopeni bila hitung trombosit

<50.000/l, bila terdapat

perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi <100.000/l. Pada


kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada penatalaksanaan masing
masing.
b. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/l pada pasien yang
akan menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi
masif.
c. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.

Page | 14

3.

Plasma beku segar

a. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor


koagulasi baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat
faktor spesifik atau kombinasi.
b. Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan
yang mengancam nyawa.
c. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah
transfusi masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan
penyakit hati.
Kriopresipitat(14)

4.

a. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani


prosedur invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.
b. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit Von Willebrand yang mengalami
perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin
asetat atau akan menjalani operasi.
7.

Resiko Transfusi Darah8


Sebelum memberikan darah atau produk darah, penting untuk mengetahui
resiko transfusi
a. Transfusi whole blood atau PRC
1. Transfusi sel darah merah dapat beresiko terjadinya ketidakcocokan
dan timbulnya reaksi hemolitik yang berat.
2. Produk darah dapat menularkan agen infeksius termasuk HIV,
Hepatitis B, Hepatitis C, Sifilis, Malaria dan Chagas Disease.
3. Setiap produk darah dapat terkontaminasi bakteri dan akan sangat
berbahaya bila tidak disimpan dengan tepat.
b. Transfusi Plasma
1. Plasma dapat menularkan hampir semua infeksi yang terdapat dalam
darah.
2. Plasma juga dapat menyebabkan terjadinya reaksi transfusi

Page | 15

3. Indikasi pemberian plasma sangat sedikit dan umumnya resikonya


lebih besar daripada keuntungannya.
Resiko transfusi darah dapat dikurangi dengan :
a. Seleksi donor yang efektif
b. Screening
c. Semua darah donor harus di screening terhadap HIV1 dan HIV2, Hepatitis
B (HBsAg), Treponema Pallidum (Sifilis). Bila memungkinkan semua
darah donor juga di screening terhadap Hepatitis C, Chagas Disease,dan
Malaria
d. Tes kompatibilitas, penyimpanan dan transportasi produk darah dengan
benar.
e. Penggunaan klinis yang baik dan benar dari produk darah.
Komplikasi Transfusi Darah8

8.

Komplikasi yang dapat timbul akibat transfusi darah atau komponennya,


dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu, reaksi imunologis, reaksi non imunologis,
dan penularan penyakit
a.

Reaksi transfusi darah secara umum


Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah tertentu
yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi, walaupun
demikian tetap diperlukan kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap
reaksi transfusi yang mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan
gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Oleh karena
itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang pertama kali
dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap memasang infus untuk
pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera memberitahu dokter jaga dan bank
darah

b.

Reaksi Transfusi Hemolitik Akut


Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena
ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan

Page | 16

sekitar 90%-nya terjadi karena kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien


atau unit darah yang akan diberikan
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan
atau tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urine
berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada keadaan yang lebih berat
dapat terjadi renjatan (shock), koagulasi intravaskuler diseminata (KID),
dan/atau gagal ginjal akut yang dapat berakibat kematian
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan tindakan sebagai berikut:
1. meningkatkan perfusi ginjal,
2. mempertahankan volume intravaskuler,
3. mencegah timbulnya DIC
c.

Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat


Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh
adanya antibodi yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi
dilakukan karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya
selang waktu untuk meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang
terjadi biasanya ekstravaskuler.
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah demam, pucat,
ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal yang
perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler,
tetapi dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan,
biasanya tanpa pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal ginjal,
penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA.

d.

Reaksi Transfusi Non-Hemolitik


1. Demam
Demam merupakan lebih dari 90% gejala reaksi transfusi.
Umumnya ringan dan hilang dengan sendirinya. Dapat terjadi karena
antibodi resipien bereaksi dengan leukosit donor. Demam timbul akibat
aktivasi komplemen dan lisisnya sebagian sel dengan melepaskan pirogen
endogen yang kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan
serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat peranan

Page | 17

sitokin (IL-1b dan IL-6). Umumnya reaksi demam tergolong ringan dan
akan hilang dengan sendirinya.
2. Reaksi alergi
Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering
muncul, yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu
sampai harus menghentikan transfusi. Reaksi alergi ini diduga terjadi
akibat adanya bahan terlarut di dalam plasma donor yang bereaksi dengan
antibodi IgE resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan
menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak berbahaya, tetapi
mengakibatkan rasa tidak nyaman dan menimbulkan ketakutan pada
pasien sehingga dapat menunda transfusi. Pemberian antihistamin dapat
menghentikan reaksi tersebut.
3. Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul
pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti
IgA dengan titer tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa
menit setelah transfusi dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia
lainnya meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos
terutama pada saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda
reaksi anafilaktik biasanya adalah angioedema, muka merah (flushing),
urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan renjatan.
Penatalaksanaannya adalah :
1. Menghentikan transfusi dengan segera,
2. Tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid,
3. Berikan antihistamin dan epinefrin.
4. Pemberian dopamin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan. Apabila
terjadi hipoksia, berikan oksigen dengan kateter hidung atau masker
atau bila perlu melalui intubasi.

Page | 18

e.

Efek samping lain dan resiko lain transfusi


1. Komplikasi dari transfusi massif
Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah
disimpan, dengan volume darah yanglebih besar daripada volume darah
resipien dalam waktu 24 jam. Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia
bila darah yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia
dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan
factor- factor pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam waktu yang
lama akan menyebabkan terjadinya beberapa komplikasi diantaranya
adalah kelainan jantung, asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung injury.
2. Penularan penyakit Infeksi
a. Hepatitis virus
Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko
besar pada transfusi darah. Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi
darah menunjukkan kenaikan kadar enzim transaminase, yang
merupakan bukti infeksi virus hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis
pasca transfusi disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski
sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah
melalui seleksi donor yang baik dan ketat, serta penapisan virus
hepatitis B dan C, kasus tertular masih tetap terjadi. Perkiraan resiko
penularan hepatitis B sekitar 1 dari 200.000 dan hepatitis C lebih besar
yaitu sekitar 1:10.000.
b. AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome)
Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui
transfusi darah, yaitu dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan
penyaringan donor yang baik dan ketat
c. Infeksi CMV
Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir
premature atau pasien dengan imunodefisiensi. Biasanya virus ini
menetap di leukosit danor, hingga penyingkiran leukosit merupakan

Page | 19

cara efektif mencegah atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini.


Transfusi sel darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik
mencegah CMV ini.
d. Penyakit infeksi lain yang jarang
Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui
transfusi adalah malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis
infeksiosa, penyakit chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan
penyakit CJD ( Creutzfeldt Jakob Disease).
Pencemaran oleh bakteri juga mungkin terjadi saat pengumpulan
darah yang akan ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini dapat
mengalami reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan.
Keadaan ini perlu ditangani seperti pada RTHA ditambah dengan
pemberian antibiotic yang adekuat.
3. GVHD (Graft versus Host disease)

GVHD merupakan reaksi/ efek samping lain yang mungkin terjadi


pada pasien dengan imunosupresif atau pada bayi premature. Hal ini
terjadi oleh karena limfosit donor bersemai (engrafting) dalam tubuh
resipien dan bereaksi dengan antigen penjamu. Reaksi ini dapat dicegah
dengan pemberian komponen SDM yang diradiasi atau dengan leukosit
rendah.
f.

Reaksi non-imunologis
Reaksi non-imunologis dapat diakibatkan oleh :
a. penimbunan cairan yang memiliki batas kemampuan tubuh (overload),
b. adanya kadar antikoagulan yang berlebihan yang berasal dari darah donor,
c. gangguan metabolik (kadar K+ tinggi, asam sitrat tinggi), sampai dengan
d. perdarahan akibat adanya defisiensi faktor pembekuan yang tidak ada pada
darah donor dan kadar antikoagulan yang tinggi pada darah donor.

Page | 20

C. Transfusi Darah dalam Bedah


1.

Anemia dan Pembedahan


Meskipun pemberian transfusi darah alogenik menjadi semakin
aman, risiko penularan penyakit dan reaksi akibat transfusi belum
sepenuhnya dapat dieliminasi. Alternatif untuk transfusi darah alogenik
adalah donor darah autolog pra-operasi dan dengan pemberian
eritropoietin. Evaluasi pasien pra-operasi sangat penting jika ingin
mengurangi kehilangan darah dan rencana alternatif transfusi yang tepat
harus dibuat. Pengukuran tingkat hemoglobin dan hematokrit pra operasi
akan mendeteksi adanya anemia. Memastikan kadar hemoglobin praoperasi yang cukup akan mengurangi kemungkinan transfusi darah selama
operasi. Dalam sebuah studi oleh Carmel et al, dispnea saat aktivitas tidak
akan terjadi sampai konsentrasi hemoglobin <7 g/dl. Dalam studi lainnya,
pada kadar hemoglobin <6g / dl, hanya 54% pasien mengalami takikardia,
32% mengalami hipotensi, 35% mengalami gangguan kesadaran, dan 27%
mengalami dispnea. Dalam sebuah studi pada pasien dengan patah tulang
pinggul berusia lebih dari 60 tahun, 55,6% pasien menerima transfusi saat
kadar hemoglobin 8g/dl atau lebih sementara 90,5% pasien menerima
transfusi saat kadar hemoglobin kurang dari 8 g/ dl. Hanya 6,6% pasien
dengan hemoglobin pasca operasi sebesar 10 g/dl yang menerima
transfusi. Angka kematian pasca operasi tidak terpengaruh. Kajian
Cochrane terbaru menyatakan bahwa strategi pembatasan transfusi
mengurangi risiko menerima transfusi sel darah merah sebesar 37% dan
mengurangi risiko absolut sebesar 33%.3 Strategi pembatasan tindakan
transfusi tidak berbeda dalam pengaruhnya terhadap angka kejadian efek
samping dibandingkan dengan strategi transfusi yang liberal (bebas) tetapi
berhubungan dengan penurunan yang signifikan dalam kejadian infeksi.9
Pencocokan silang unit darah untuk pasien bedah sebelum operasi
dilakukan untuk mengantisipasi potensi kebutuhan darah, beberapa kasus
tidak membutuhkan transfusi dan akibatnya banyak unit darah yang telah
cocok tidak jadi ditransfusi. Melakukan pencocokan darah yang pada

Page | 21

akhirnya tidak ditransfusi, menghabiskan persediaan bank darah dan


membutuhkan pemeliharaan persediaan darah yang lebih. Hal ini
menyebabkan peningkatan jumlah unit yang menjadi rusak. Pada pasien
tersebut lebih baik hanya dilakukan pemeriksaan golongan darah dan
skrining antibodi. Jika contoh darah yang jarang diperlukan untuk
transfusi, golongan darah yang sama dapat digunakan jika tidak ada
antibodi yang positif. Pencocokan silang dapat dilakukan sebelum
mengeluarkan unit darah. Untuk membatasi jumlah unit darah yang keluar
dan yang kadaluarsa, Maximum Surgical Blood Ordering Schedule/Jadwal
Maksimal Pemesanan Darah Untuk Operasi (MSBOS) merekomendasikan
bahwa untuk pasien yang mungkin mendapat transfusi selama operasi,
jumlah unit yang cocok harus dua kali kebutuhan untuk prosedur bedah itu
(Cross match to Transfusion Ratio atau rasio C.T. 2: 1).10
Koreksi Anemia Pre Operatif
Konsensus Konferensi Institut Kesehatan Preoperatif Nasional
menyimpulkan bahwa "jika pasien sehat dengan kadar hemoglobin 10g/dl
atau lebih, jarang memerlukan transfusi pra operasi, sedangkan, pasien
anemia akut dengan kadar hemoglobin <7 g/dl akan sering membutuhkan
transfusi sel darah merah". Apakah pasien dengan kadar hemoglobin
antara 7 10 g/dl harus menerima transfusi atau tidak, tergantung pada
status klinis pasien.7 Perhimpunan Ahli Anestesi Amerika mengatakan
bahwa transfusi sel darah merah biasanya diberikan ketika hemoglobin < 6
g/dl pada pasien muda yang sehat dan biasanya tidak diperlukan bila kadar
hemoglobin >10 g/dl. Kadar hemoglobin antara 6 g/dl hingga 10g/dl,
transfusi dapat diberikan jika terdapat indikasi iskemia organ, potensi
perdarahan, status volume intravaskular pasien dan risiko komplikasi
oksigenasi yang kurang. 3
Kadar minimum hemoglobin yang dapat diterima pasien bervariasi
karena

antar-individu

berbeda

dalam

kemampuan

mereka

untuk

mentoleransi dan mengkompensasi anemia. Jika pasien mengalami anemia


sebelum operasi, sebuah upaya harus dilakukan untuk menemukan dan

Page | 22

mengobati penyebab yang mendasari. Anemia yang disebabkan dari


kekurangan gizi dapat diperbaiki tetapi pengobatannya memakan waktu
beberapa minggu hingga bulan. Jika prosedur bedah harus segera
dilakukan, transfusi sel darah merah mungkin diberikan sebelum operasi
untuk memperbaiki anemia. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini,
pemberian preparat besi intravena perioperatif sebagai alternatif transfusi
sedang dievaluasi. Penggunaan terapi besi intravena itu dapat mengurangi
proporsi pasien yang membutuhkan transfusi dan juga mengurangi jumlah
unit transfusi. Para ahli dari multidisiplin ilmu merekomendasikan
pemberian preparat besi intravena untuk pasien yang akan menjalani
operasi dan memiliki resiko mengalami anemia pasca operasi.11 Kitchens
et al. mempelajari tingkat komplikasi yang fatal karena anemia dalam 16
laporan pasca bedah pada pasien di Jehovahs Witness. Keseluruhannya,
dari 1.404 pasien yang mendapatkan prosedur bedah, angka kematian
akibat anemia adalah 0,5-1,5%. Transfusi lebih sering terjadi di rumah
sakit dengan kebijakan transfusi berdasarkan konsentrasi hemoglobin yang
sangat konservatif. Oleh karena itu lebih sulit untuk menentukan risiko
transfusi pada strategi konservatif dibandingkan yang lebih liberal. Pasien
yang menyumbangkan darah untuk transfusi autolog mungkin memiliki
konsentrasi Hb pra operasi yang lebih rendah dan lebih mungkin untuk
menerima transfusi sel darah merah ketika terjadi kehilangan darah saat
operasi. Hal ini dapat dicegah dengan tidak mengambil sumbangan darah
autolog dari pasien yang tidak mungkin membutuhkan transfusi selama
operasi. Jika semua pasien melakukannya, donor harus dilakukan lebih
awal agar ada cukup waktu untuk regenerasi sel darah merah.
2.

Kehilangan Darah Dan Transfusi Intraoperatif


Sel darah merah mungkin dibutuhkan untuk pasien bedah yang
mengalami kehilangan darah cepat dan tak terduga. Jika situasi seperti ini
muncul, darah dapat dikeluarkan dengan teknik pencocokan silang
emergensi setelah mendapat persetujuan dari dokter yang merawat. Teknik
singkat ini dapat mendeteksi ketidakcocokan ABO antara pasien dan

Page | 23

donor.11 Prosedur pencocokan silang rutin harus dilakukan bahkan setelah


unit darah dikeluarkan setelah dilakukan teknik pecocokan darurat dan
pada unit yang diambil kembali oleh pusat darah jika ketidakcocokan
terdeteksi. Dokter bedah dan anestesi harus berkonsultasi dengan spesialis
kedokteran transfusi dan mempertimbangkan risiko dari transfusi darurat
versus transfusi darah rutin dengan pengujian kompatibilitas lengkap.
Pengurangan kehilangan darah intraoperatif
Selain pemantauan hemostasis yang teliti saat operasi, kehilangan
darah intraoperatif dapat dikurangi dengan penggunaan vasokonstriktor
dan meminimalkan keluarnya darah selama intraoperasi dan pasca operasi
pada operasi besar.3 Obat untuk mengurangi kehilangan darah seperti
desmopresin, agen antifibrinolitik (asam traneksamat, asam kaproat amino
epsilon dan aprotinin) dan perekat fibrin lokal telah digunakan untuk
menurunkan perdarahan dalam prosedur pembedahan.
Tujuan utamanya adalah untuk memastikan normovolemia pada
pasien selama prosedur pembedahan. Oleh karena itu, pendekatan
rasionalnya adalah mengganti kehilangan darah selama operasi dengan
cairan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan normovolemia. ANH
merupakan donor darah autolog yang diambil segera setelah induksi
anestesi dan sebelum operasi dimulai. Konsepnya adalah bahwa
konsentrasi hemoglobin pada pasien ini berkurang secara agresif dengan
pengawasan ketat dari fungsi kardiovaskular dan oksigenasi jaringan. Unit
darah yang dikumpulkan diletakkan pada suhu kamar dan akan diinfusikan
kembali pada akhir prosedur. Volume darah akan diganti dengan cairan
aselular; baik koloid (dengan rasio 1: 1 sebanyak volume yang
dihilangkan) atau kristaloid (pada rasio 1: 3). Karena volume darah yang
hilang selama operasi tidak terpengaruh setelah pengenceran konsentrasi
hemoglobin pasien, hasil darah yang dikeluarkan mengurangi kehilangan
RBC secara mutlak. Hal ini dapat mengurangi tingkat kehilangan darah
signifikan sehingga transfusi darah menjadi tidak perlu. Tujuan transfusi

Page | 24

sel darah merah adalah untuk mencegah oksigenasi yang tidak memadai,
sehingga menyebabkan iskemia dan kerusakan jaringan. Hipovolemia dan
hipoksemia juga bisa menyebabkan iskemia dan kerusakan jaringan.
Oksigenasi yang tidak adekuat dalam waktu yang lama menyebabkan
kerusakan jaringan yang cukup besar dan dapat mengakibatkan koagulasi
diseminata intravascular dan bertambahnya perdarahan intraoperatif. Akan
sangat baik untuk memantau dan membedakan antara volume darah yang
tidak adekuat, kandungan oksigen arteri yang tidak memadai dan kapasitas
pengangkutan oksigen yang kurang. Ketiga faktor tersebut dapat terjadi
bersama-sama atau terpisah. Terapi harus ditujukan tepat sasaran, untuk
meningkatkan volume darah dengan cairan, meningkatkan kandungan
oksigen arteri menaikkan oksigen inspirasi, atau menaikkan konsentrasi
hemoglobin dengan transfusi sel darah merah. Sebuah penelitian
randomized control trial (RCT) menyimpulkan bahwa pembatasan cairan
intra-operasi mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah perioperatif
pada operasi jantung elektif, terutama untuk pasien yang diprediksi akan
mendapatkan transfusi. Studi observasional multisenter lain menunjukkan
bahwa transfusi darah intra-operasi pada bedah non jantung dikaitkan
dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi pada pasien
dengan anemia berat (Hematokrit kurang dari 30%).12
Keputusan untuk melakukan transfusi darah kepada pasien harus
didasarkan pada estimasi volume kehilangan darah saat pembedahan,
tingkat kehilangan darah, respon klinis pasien saat kehilangan darah dan
adanya tanda-tanda yang menunjukkan oksigenasi jaringan yang tidak
memadai. Sebuah ukuran diperlukan untuk menentukan berapa persen
kehilangan volume darah yang aman atau kadar hemoglobin terendah
(atau hematokrit) yang dapat ditoleransi pasien. Kemampuan pasien untuk
mengkompensasi kehilangan darah akan tergantung pada usia, anemia
yang sudah ada sebelumnya, adanya penyakit kardiorespirasi dan
penggunaan obat-obatan seperti beta blockers.

Page | 25

3.

Permasalahan Transfusi Pasca Operasi3


Kehilangan darah dan hipovolemia dapat terjadi pada periode
pasca operasi. Pencegahannya adalah, deteksi dan penanganan secepat
mungkin sangat penting untuk kesejahteraan pasien dan mungkin
mengurangi kebutuhan transfusi yang tidak perlu. Kemungkinan hipoksia
pasca operasi, pemantauan tanda-tanda vital, keseimbangan cairan dan
analgetik harus diperhatikan secara khusus. Penulis telah mengamati
bahwa rasio plasma dengan transfusi sel darah merah yang lebih tinggi
selama operasi dikaitkan dengan kebutuhan sel darah merah dan plasma
yang lebih sedikit dalam 24 jam pertama pasca operasi. Mereka juga
mengamati manfaat pemberian plasma intraoperatif yang agresif untuk
mengkoreksi koagulopati.
Staf yang merawat pasien pasca operasi harus mengetahui bahwa
hemodilusi dapat muncul pada pasien yang kehilangan banyak darah
selama operasi. Akibatnya, konsentrasi Hb pasca operasi kemungkinan
akan lebih rendah dari konsentrasi Hb pra operasi. Hal ini bukan indikasi
untuk transfusi darah. Penurunan hemoglobin pasca operasi dapat terjadi
selama sekitar tujuh hari karena berbagai faktor seperti hemodilusi,
kehilangan darah post-operasi dan pengambilan darah untuk tes
diagnostik.
Keputusan untuk memberikan transfusi harus dilakukan setelah
penilaian yang teliti dari kondisi umum pasien, ada tidaknya penyakit
kardiorespirasi, tanda oksigenasi jaringan yang tidak adekuat dan
kehilangan darah yang berlanjut. Pada periode pasca operasi selanjutnya,
suplementasi besi akan mengoptimalkan eritropoesis yang mengembalikan
konsentrasi hemoglobin menjadi lebih cepat normal. Penulis telah
mengatakan bahwa transfusi pasca operasi dengan kadar Hb 8g /dl aman
pada pasien dengan hemodinamik stabil.
Sebuah

analisis

multivariat

menunjukkan

hubungan

yang

signifikan antara transfusi pasca operasi dengan taksiran volume


kehilangan darah, tapi tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin,

Page | 26

indeks massa tubuh, durasi operasi, jenis anestesi dan kadar hemoglobin
pra-operasi. Beberapa studi telah menyatakan hubungan antara kadar
hemoglobin pra-operasi dengan kebutuhan transfusi darah pasca operasi.
4.

Keadaan Khusus
a.

Transfusi darurat:
Dalam keadaan yang sangat darurat ketika tidak ada waktu untuk
melakukan uji sampel, PRC (packed red cell) 'O' Rh negatif dapat
digunakan. Dalam situasi seperti itu, dokter harus memberikan
persetujuan tertulis resmi dan bertanggung jawab untuk penggunaan
produk darah yang tidak diuji lengkap sebagai upaya menyelamatkan
kehidupan. Pada tindakan bedah darurat unit darah tersebut dapat
digunakan dan segera dikirim ke ruang operasi dalam beberapa menit.
Dengan sistem ini, 82% dari unit darah mencapai ruang operasi dalam
waktu 2 menit dari permintaan, 91% dalam waktu 3 menit dan 100%
dalam waktu 4 menit sehingga mencegah keterlambatan transfusi.

b.

Transfusi masif:
Hal ini didefinisikan sebagai transfusi menyamai atau melebihi volume
darah pasien atau transfusi lebih dari 10 unit darah dalam waktu 24
jam. Penggantian lebih dari 50% dari volume sirkulasi darah dalam
waktu kurang dari tiga jam atau kecepatan transfusi lebih dari 150ml /
menit juga dianggap sebagai transfuse masif. Transfusi masif (atau
volume besar) umumnya diputuskan sebagai akibat dari perdarahan
akut pada pasien bedah. Kehilangan darah kurang dari 20% dari
volume darah total umumnya ditoleransi dengan baik, kehilangan 20%
sampai 40% darah akan menyebabkan perubahan tanda-tanda vital
dengan bukti gangguan perfusi jaringan. Namun, hilangnya darah yang
>40% dari volume darah dapat menyebabkan syok hemoragik dan
menjadi kegagalan sistem sirkulasi kemudian pasien akan mengalami
serangan jantung jika tidak segera dikoreksi. Idealnya protokol
transfusi masif harus berada di tempat untuk mendapatkan produk
yang dibutuhkan tepat waktu. Salah satu protokol mengharuskan

Page | 27

transfusi 2 unit plasma beku segar (FFP) untuk setiap 4 unit PRC, unit
trombosit acak setelah setiap pemberian PRC ke-8 dan 10 kantong
kriopresipitat setelah pemberian PRC ke-16. Kemudian, kalsium harus
diberikan dan terapinya harus mempertimbangkan hasil laboratorium.
Tujuan utama dari protokol transfusi masif adalah untuk mencegah
koagulopati berhubungan dengan transfusi massif sel darah merah
yang menyebabkan pengenceran faktor pembekuan serta agregasi dan
aktivasi trombosit di lokasi perdarahan.
Semua transfusi memiliki potensi reaksi yang merugikan, tetapi
transfusi darah masif dikaitkan dengan konsekuensi yang unik, seperti
pergeseran ke kiri pada kurva disosiasi oksigen, ketidakseimbangan asambasa, hipotermia, hipokalsemia, koagulopati dilusi dan gangguan
pernapasan. American College of Surgeons dan Asosiasi Bank Darah
Amerika, keduanya menyarankan transfusi darah dan komponen darah
harus dipandu oleh tes laboratorium seperti PT, PTT, hitung jumlah
platelet dan kadar fibrinogen. Hanya sedikit kadar faktor koagulasi yang
diperlukan untuk pembentukan normal fibrin dan hemostasis, dan plasma
normal mengandung cadangan faktor koagulasi yang lebih banyak,
sehingga memungkinkan pasien untuk mentoleransi penggantian volume
sel darah merah dan kristaloid tanpa perlu FFP. Pedoman pemberian FFP
menyatakan bahwa batas untuk pengobatan atau pencegahan dengan fresh
frozen plasma adalah PT 1,5 kali batas atas normal atau pertengahan
kisaran normal dan PTT 1,5 kali batas atas normal dengan keadaan klinis
yang tepat. Pemberian FFP dalam kasus bedah atau perdarahan traumatis
harus dipandu dengan uji kadar pembekuan. Dalam hal perdarahan
mikrovaskuler, terapi empirik dengan transfusi trombosit dan/atau plasma
dapat segera dimulai setelah spesimen diperoleh. Selain penilaian visual
berkala setelah tindakan bedah, penilaian perdarahan mikrovaskuler juga
harus dilakukan oleh tim bedah. Jika terjadi perdarahan mikrovaskular ,
terapi empirik dengan trombosit dan/atau plasma mungkin dapat diberikan

Page | 28

segera setelah spesimen diperoleh. Dalam koagulopati konsumtif, jumlah


trombosit < 50.000 / ml dan kadar fibrinogen < 100mg/dl adalah prediktor
yang lebih baik daripada PT dan aPPT. Pemberian FFP harus
dipertimbangkan jika volume darah yang hilang besar dan pastikan segera
dimulai sebelum kehilangan darah setara dengan 150% volume. Pada
tahap ini 4-5 unit FFP harus diberikan dan kemudian 4 unit FFP untuk
setiap 6 unit sel darah merah. Beberapa penulis menyarankan bahwa
protokol transfusi massif harus menggunakan rasio plasma : sel darah
merah, 1: 1, untuk semua pasien yang hipokoagulasi dengan cedera
traumatis. Penulis lainnya menunjukkan bahwa hemostasis biasanya
dipertahankan ketika protein koagulasi adalah 25% dari normal. Oleh
karena itu, 2 unit FFP harus ditransfusi kepada pasien dengan hasil rasio
normalisasi yang tidak seimbang dan/atau perdarahan kapiler di banyak
tempat, karena jika melakukan transfusi FFP rutin setelah sejumlah unit
PRC dapat menyebabkan transfusi berlebihan dan pemborosan FFP.
Peneliti bahkan telah mengusulkan pengenalan paket transfusi dalam
bentuk 5 unit PRC, 5 unit plasma yang dicairkan dan dua platelet
konsentrat yang akan diberikan secara paralel. Paket ini menyediakan
hematokrit sekitar 30%, konsentrasi faktor pembekuan di atas 40% dan
jumlah trombosit sekitar 80 109 / L. Transfusi trombosit biasanya
diberikan ketika jumlah trombosit turun < 50.000 / ml yang diakibatkan
oleh perdarahan. Transfusi trombosit mungkin dipertimbangkan jika
jumlah trombosit antara 50.000 - 100,000 / ml untuk mengantisipasi atau
mengatasi perdarahan yang sedang berlangsung. Apapun protokolnya,
penggunaan komponen darah yang sesuai secara kuantitas dan tepat waktu
dapat menyelamatkan sumber daya berharga yang langka dan pada saat
yang sama juga menguntungkan untuk pasien.

Page | 29

BAB IV
KESIMPULAN
Transfusi darah merupakan salah satu bentuk usaha life saving dan juga
terapi. Namun perlu juga diperhatikan keuntungan dan kerugiannya. Transfusi
hendaknya harus didasarkan indikasi dan diagnosa yang tepat karena mengingat
resiko yang dapat ditimbulkan setelah transfusi dilakukan. Ada banyak variasi
dalam penggunaan darah pada transfusi dalam bedah. Pemeriksaan preoperatif
untuk mengetahui ada tidaknya anemia dan memperbaikinya dapat mencegah
kebutuhan transfusi alogenik selama operasi. Pengurangan kehilangan darah
intraoperatif

dengan

beberapa

metode

seperti

hemostasis

pembedahan,

meminimalkan perdarahan dan penggunaan obat-obatan juga dapat mengurangi


kebutuhan transfusi sampai batas tertentu. Pasien pasca operasi harus selalu
dipantau untuk mengidentifikasi tanda-tanda awal hipovolemia dan kehilangan
darah. Tidak ada pengganti yang sepadan untuk penilaian klinis berdasarkan
pengamatan pasien dan pemantauan hemodinamik. Risiko tambahan berupa reaksi
transfusi, infeksi dan komplikasi metabolik yang terkait dengan transfusi massif
menjadikan transfusi alogenik harus dibatasi, tidak boleh sembarangan dan
penggunaan profilaksis produk darah alogenik harus dirutinkan.

Page | 30

DAFTAR PUSTAKA
1. Eki P, Puspita P. Transfusi Darah. Bhakti Kencana Medika. Vol 1(3): Juli:
2001; p. 89-95.
2. Djoerban Z. Dasar-Dasar Transfusi Darah dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi Keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2014
3. Paramjit K, et.al. Transfusion issues in surgery. Internet Journal of Medical
Update. 2013 January;8(1):46-50
4. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah:
Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2006; 376-378
5. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke 6. Jakarta. Penerbit
EGC. 2012
6. Haroen H. Darah dan Komponen: Komposisi, Indikasi, dan Cara Pemberian
dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keenam. Jakarta:
Interna Publishing; 2014
7. World Health Organization. MCPC Clinical Use of Blood, Blood Products
and Replacement Fluids; 2003. Available on: http://www.who.int/reproductive
health/impac/Clinical_Principles/Clinical_Use_Blood_C23_C33.html
8. Harmono T. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi Transfusi Darah dalam:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keenam. Jakarta: Interna
Publishing; 2014
9. Carless PA, Henry DA, Carson JL, et al. Transfusion thresholds and other
strategies for guiding allogeneic red blood cell transfusion.Cochrane Database
Syst Rev.2010;(10):CD002042.
10. Palmer T, Wahr JA, O Reilly, et al. Reducing unnecessary cross-matching: A
patient specific blood ordering system is more accurate in predicting who will
receive a blood transfusion than the maximum blood ordering system. Anaesth
Analg. 2003;96(2):369-75.

Page | 31

11. Beris P, Munoz M, Garcia-Erce JA, et al. Perioperative anemia management:


consensus statement on the role of intravenous iron. Br J Anaesth.
2008;100(5):599-604.
12. Glance LG, Dick AW, Mukamel DB, et al. Association between intraoperative
blood transfusion and mortality and morbidity in patients undergoing
noncardiac surgery. Anesthesiology. 2011;114(2):283-92.

Page | 32

You might also like