You are on page 1of 16

http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2011/03/kearifan-lokal-masyarakat-sukutengger.

html

Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger dalam Pemanfaatan


Ruang dan Upaya Pemeliharaan Lingkungan
Dianing Primanita Ayuninggar, Antariksa, Dian Kusuma Wardhani

ABSTRACT
Tenggerese community have uniqueness social cultural life pattern concerning with
societies positive behavior in its spatial using and adaptation to environmentally around it.
Tenggerese social cultural life pattern based on cultural point, religi and local tradition then
forms local wisdom points, such as local wisdom in spatial using and environmental
preserve effort. This research works through about local wisdom implement in spatial using
and environmental preserve effort at Wonokitri Village to keep up the sustainability of
Wonokitri Village. Analysis method use descriptive-explorative analysis. Observational
result indicate local wisdoms points in the context of spatial using rules at Wonokitri
Village, that is spatial conception bases on custom region and administration region,
situating orientation of element forming residence, land ownership system, and home
adaptation to climate. Local wisdom in the context ofenvironmental preserve manages
about season estimate to get cultivation, traditional technological systemin farm
management, breeding management system, forestand water resourches management
and protection system, along with traditions in environmental preserve that exists at
Wonokitri's Village. With the presence of local wisdom points that still relevant interpreted
insocial cultural life patternis expectedtosupportenvironmental preserve effortat Wonokitri
Village.
Keywords: local wisdom, spatial using, environmental preserve effort, home adaptation to
climate,traditional technological system

ABSTRAK

Masyarakat Suku Tengger memiliki keunikan pola kehidupan sosial budaya


terkait dengan perilaku positif masyarakatnya dalam tindakan pemanfaatan
ruang dan adaptasi terhadap lingkungan di sekitarnya. Pola kehidupan sosial
budaya masyarakat Suku Tengger bersumber dari nilai budaya, religi dan adatistiadat setempat yang kemudian membentuk nilai-nilai kearifan lokal, salah
satunya adalah kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang dan upaya
pemeliharaan lingkungan. Penelitian ini membahas tentang penerapan
kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan lingkungan
di Desa Wonokitri untuk melestarikan dan menjaga keberlanjutan Desa
Wonokitri. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif
eksploratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwaterdapat nilai-nilai kearifan
lokal dalam konteks ketentuan pemanfaatan ruang di Desa Wonokitri, yakni

konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi, orientasi


peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman, sistem penguasaan dan
kepemilikan tanah, serta adaptasi tempat tinggal terhadap iklim. Kearifan lokal
dalam konteks pemeliharaan lingkungan mengatur tentang perkiraan musim
untuk bercocok tanam, sistem teknologi tradisional dalam pengelolaan
ladang/tegalan, sistem pemeliharaan hewan ternak sistem pengelolaan dan
perlindungan hutan, sumber-sumber air, serta tradisi-tradisi dalam
pemeliharaan lingkungan yang terdapat di Desa Wonokitri. Dengan adanya
penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan yang diinterpretasikan
dalam pola kehidupan sosial budaya masyarakat tersebut diharapkan dapat
mendukung upaya pemeliharaan dan pelestarian lingkungan Desa Wonokitri.
lokal,
pemanfaatan
ruang,
pemeliharaan
lingkungan, adaptasi tempat tinggal terhadap iklim, sitem teknologi tradisional
Kata

Kunci: kearifan

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis (Keraf, 2002). Gobyah (2003) menyatakan bahwa kearifan lokal
didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu
daerah. Dengan demikian kearifan lokal (local wisdom) pada suatu masyarakat
dapat dipahami sebagai nilai yang dianggap baik dan benar yang berlangsung
secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan
sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma,
etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Berkaitan
dengan hal tersebut Ernawi (2009) menjelaskan bahwa secara substansi kearifan
lokal dapat berupa aturan mengenai: 1) kelembagaan dan sanksi sosial, 2)
ketentuan tentang pemanfaatan ruang dan perkiraan musim untuk bercocok tanam,
3) pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, serta 4) bentuk adaptasi
dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim, bencana atau ancaman lainnya.
Desa Wonokitri adalah salah satu desa di Kecamatan Tosari, Kabupaten
Pasuruan yang terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)
dan merupakan desa sebagai tempat tinggal komunitas Suku Tengger. Berdasarkan
Rencana Induk Pengelolaan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Kabupaten Pasuruan Tahun
2004-2014, Desa Wonokitri diarahkan sebagai Desa Wisata Budaya dengan obyek
wisata budaya potensial berupa budaya, pola kehidupan sosial budaya masyarakat,
serta adat-istiadat Suku Tengger. Terdapat keunikan pada pola kehidupan sosial

budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terkait dengan perilaku positif
masyarakatnya dalam tindakan pemanfaatan ruang dan adaptasi terhadap
lingkungan di sekitarnya.
Pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri
bersumber dari nilai budaya, religi dan adat-istiadat setempat yang merupakan
bentuk nilai-nilai kearifan lokal, salah satunya adalah kearifan lokal dalam
pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan lingkungan. Dengan adanya kearifan
lokal yang masih relevan diaplikasikan untuk melestarikan dan menjaga
keberlanjutan Desa Wonokitrimenjadikan Desa Wonokitri menarik untuk ditelaah
lebih lanjut. Bertolak dari alasan tersebut maka disusun penelitian yang berjudul
Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger dalam Pemanfaatan Ruang dan Upaya
Pemeliharaan Lingkungan (Studi Kasus Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari,
Kabupaten Pasuruan).

1.2. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik kearifan lokal


masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri dalam pemanfaatan ruang dan upaya
pemeliharaan lingkungan.

2. METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif


eksploratif.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui observasi
dan wawancara (interview) serta melakukan survei instansional berupa
pengumpulan data sekunder yang terkait dengan wilayah studi. Pengambilan
sampel pada penelitian ini adalah menggunakan teknik sampling non random yakni
teknik sampling bertujuan (purposive sampling). Teknik ini digunakan karena
anggota sampel yang dipilih secara khusus didasarkan pada tujuan penelitian.
Untuk sampel bangunan tempat tinggal dilakukan dengan menentukan terlebih
dahulu kriteria tempat tinggal yang akan dipilih. Penentuan kriteria tempat tinggal
yang akan dijadikan sebagai sampel pada wilayah studi adalah: 1. Bangunan
difungsikan sebagai tempat tinggal; 2.Bangunan memiliki ciri rumah Tengger, yaitu
dinding rumah terbuat dari perpaduan papan-papan atau batang kayu dan
setengah tembok yang terbuat dari bata, mempunyai atap limasan dan teritisan,
lantai masih berupa tanah yang dipadatkan; dan 3. Diupayakan dapat mewakili
kriteria-kriteria bangunan tempat tinggal yang mempunyai kemampuan beradaptasi
dengan iklim.

Sampel masyarakat terdiri dari narasumber kunci (pemerintah desa, pemuka


adat, tokoh masyarakat), serta narasumber-narasumber terkait yang merupakan
rekomendasi dari narasumber kunci yang telah ditentukan terlebih dahulu.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Sistem nilai dan tata kelola (kelembagaan)Suku Tengger Desa Wonokitri sebagai
kearifan lokal
3.1.1. Sistem nilai

Menurut Ernawi (2009), sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan
oleh suatu komunitasmasyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian
baik-buruk serta benar atausalah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri
Hita Karana yang mengaitkandengan nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam
hubungannya dengan Tuhan, alamsemesta, dan manusia. Ketentuan tersebut
mengatur hal-hal adat yang harus ditaati,mengenai mana yang baik atau buruk,
mana yang boleh dilakukan dan yang tidak bolehdilakukan, yang jika hal tersebut
dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang mengaturnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku dan tindakan masyarakat Suku Tengger
Desa Wonokitri diatur oleh ketentuan adat berupa aturan-aturan adat dan hukum
adat yang berfungsi sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat. Hal ini
seperti yang diungkapkan Salvina (2003:91-92) bahwa ada sebuah sistem
pengendalian sosial yang disepakati dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat
Tengger, yaitu adanya hukum adat untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial
yang terjadi dalam masyarakat.
Aturan-aturan adat yang harus ditaati masyarakat Suku Tengger Desa
Wonokitri antara lain: 1. Tidak boleh menyakiti atau membunuh binatang (kecuali
untuk korban dan dimakan); 2.Tidak boleh mencuri; 3. Tidak boleh melakukan
perbuatan jahat; 4. Tidak boleh berdusta; dan 5.Tidak boleh minum minuman yang
memabukkan.
Fungsi hukum adat sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat
adalah: 1.Memberikan keyakinan pada anggota masyarakat tentang kebaikan adatistiadat Tengger yang berlaku; 2. Memberi ganjaran pada anggota masyarakat yang
tidak
pernah
melakukan
kejahatan; 3. Mengembangkan
rasa
malu;
dan 4. Mengembangkan rasa takut dalam jiwa anggota masyarakat yang hendak
menyimpang dari ketentuan adat.
Pada kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terdapat konsep
yang menjadi landasan sikap hidup masyarakat yaitu konsep anteng-seger (Tengger)
yang berarti damai dan makmur. Selain itu, juga terdapat konsep yang mendasari hubungan
tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan

manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship)


berdasarkan
hasil
penelitian
Sukari et
al. (2004:47-51)
sebagai
berikut: 1.Konsep Tri Sandya,
konsep karma
pahala,
dan hukum
tumimbal
lahir mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep Tri Sandya diaplikasikan
dengan melakukan sembahyang tiga kali sehari (pagi, sore, malam). Konsep karma
pahala menyatakan bahwa hidup atau nasib manusia tergantung dari pahalanya,
sedangkan hukum tumimbal lahir adalah hukum hidup yang harus dipatuhi,
berbunyi Sapa nandur kebecikan bakal ngundhuh kabecikan. Sapa nandur barang
ora becik bakal ngundhuh kacilaka; 2. Sikap hidup sesanti panca setia,
guyub rukun,sanjan-sinanjan (saling mengunjungi), sayan (gotong royong, saling
bantu membantu) yang didasari semboyan sepi ing pamrih, rame ing gawe,
dan genten kuat (saling tolong menolong) merupakan dasar ketentuan yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia; dan 3. Sikap hidup yang
menganggap
lingkungan
alam
(air,tanah,hutan,tegalan)
sebagai sumbere
panguripanmengatur hubungan manusia dengan lingkungan alam. Selain itu masih
terdapat kepercayaan bahwa tanah atau pekarangan angker sehingga muncul
sikap tidak boleh sembarangan menebang pohon, kecuali kalau pohon itu
mengganggu lingkungan. Hubungan manusia dengan alam diwujudkan dalam suatu
slogan yang berbunyi tebang satu tanam dua, artinya jika masyarakat menebang
satu pohon, maka dia harus menanam minimal dua pohon yang jenisnya sama.

3.1.2. Tata kelola (kelembagaan)

Tata kelola (kelembagaan) pada suatu masyarakat merupakan salah satu


bentuk kearifan lokal, berperan sebagai sistem kemasyarakatan yang mengatur
struktur hirarki sosial dan kelompok masyarakat. Tata kelola (kelembagaan) pada
suatu masyarakat tertentu dapat berupa organisasi adat yang terdiri dari beberapa
kelompok adat. Demikian halnya yang terdapat pada Suku Tengger Desa Wonokitri,
dimana terdapat organisasi adat yang bertugas mengelola kehidupan masyarakat
yaitu lembaga pemuka agama dan lembaga dukun adat.
Dalam konsep Hindu Tengger terdapat adanya pengelompokan antara sistem
religi yang bersumber dari ajaran keTuhanan berdasarkan agama Hindu dengan
sistem adat yang bersumber dari kepercayaan dan tradisi yang turun temurun dari
nenek
moyang
Suku
Tengger.
Namun
demikian
dalam
tahap
pelaksanaannya dilakukan asimilasi ajaran agama Hindu dengan ajaran adatistiadat/kepercayaan Suku Tengger. Hal ini tercermin dari selain melakukan
aktivitas-aktivitas keagamaan berdasarkan ajaran agama Hindu, masyarakat Suku
Tengger Desa Wonokitri juga secara patuh melaksanakan berbagai upacara adat.

Adanya pengelompokan kegiatan religi dan adat berpengaruh terhadap


pembagian tugas dan fungsi dari masing-masing lembagapemuka agama dan
lembagadukun adat, sebagai berikut:

A. Lembaga pemuka agama

Lembaga pemuka agama merupakan lembaga agama yang mewadahi ketua


dan pengurus kegiatan keagamaan di Desa Wonokitri. Struktur kepengurusan
Lembaga Pemuka Agama terdiri dari: 1. Mangku Gedhe, ketua agama yang bertugas
mengurusi dan memimpin pelaksanaan upacara-upacara keagamaan atau
mengurusi urusan-urusan yang berkaitan dengan keagamaan di Desa
Wonokitri; 2. Mangku Gelar; dan 3. Mangku Alit.
Area yang disucikan dan menjadi wilayah tanggung jawab dari
para Mangku adalah Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Buana Dusun Wonokitri,
Desa Wonokitri yang merupakan tempat ibadah umat Hindu Desa Wonokitri.

B. Lembaga dukun adat

Lembaga dukun adat berfungsi sebagai lembaga adat yang mewadahi ketua
dan pengurus adat. Struktur kepengurusan lembaga dukun adat terdiri
dari: 1. Dukun Adat, ketua adat yang mengurusi upacara adat di Desa
Wonokitri; 2. Legen, bertugas untuk membuat sesajian dan mendoakan sesajian
pada saat upacara adat; 3. Sanggar; dan 4. Sepuh.
Dukun, Legen,
Sanggar dan Sepuh bertanggungjawab
atas padhanyangan(dhanyang) yang merupakan area yang disucikan secara adat.
Selain itu peran seorang dukun adat adalah mengawasi pelaksanaan aturan-aturan
adat dan hukum adat.
Hal unik yang terdapat dalam pranata kehidupan kemasyarakatan masyarakat
Suku Tengger selain pembagian tugas dan fungsi antara lembaga pemuka agama
dan lembaga dukun adat yaitu adanya konsepsi ruang yang membagi wilayah
menjadi wilayah administrasi dan wilayah adat. Seperti desa lain pada umumnya,
wilayah administrasi Desa Wonokitri dikepalai oleh seorang kepala desa, namun
yang membedakan dengan desa kebanyakan adalah dukun/tetua adat yang
berperan penting dalam memimpin wilayah adat sebagai seorang kepala adat.
Masyarakat Suku Tengger yang terbagi dalam dua wilayah adat, yakni sabrang
kulon(diwakili oleh Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan)
dan sabrang wetan(diwakili oleh Desa Ngadisari, Wanantara, Jetak, Kecamatan
Sukapura, Kabupaten Probolinggo) terdiri atas kelompok-kelompok desa yang
masing-masing dipimpin oleh kepala adat. Dengan demikian yang menjadi batas

wilayah kerja dukun adat adalah wilayah adat dan umat masyarakat yang terdapat
di
desa
tempat
ia
menjabat
sebagai
dukun
adat. Di masing-masing
kabupaten terdapat dukun koordinator wilayah yang bertugas mengkoordinir dukun
adat di wilayahnya.
Dukun adat yang berada di masing-masing wilayah desa komunitas Suku
Tengger umumnya dihormati dan sangat dipercaya karena peranannya yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger. Secara struktural dukun
adat dalam kehidupan Masyarakat Suku Tengger tergolong sebagai orang-orang
terpandang yang menjadi tokoh panutan masyarakatdan lebih dihormati dibanding
lembaga aparatur desa.
Sebagai seorang kepala adat, dukun adat memiliki fungsi spiritual dan fungsi
sosial. Fungsi spiritual dukun adat yaitu memimpin upacara adat. Sedangkan fungsi
sosialnya adalah sebagai mediator antara masyarakat dan urusan yang
berhubungan dengan pemerintahan. Selain itu, dukun adat juga memiliki
kewenangan tertentu dalam pengambilan keputusan, aturan, sanksi, atau denda
sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat. Sebagai contoh kewenangan
dukun adat dalam pengambilan keputusan adalah pada waktu terjadi bencana,
dukun adat berhak menentukan kapan masyarakatnya harus mengungsi atau tetap
mendiami desa.

3.2. Kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang di Desa Wonokitri

Luas keseluruhan wilayah Desa Wonokitri adalah 1.120,98 Ha dengan pola


penggunaan lahan yang terdiri daritanah tegal/pertanian (887,600 Ha), hutan
(217,880 Ha),permukiman/perumahan penduduk (14 Ha), dan makam (1,5 Ha).
Desa Wonokitri berada di gugusan Pegunungan Tengger dengan topografi
bentang alam datar sampai berombak (20%), berombak sampai berbukit (40%)
dan berbukit hingga bergunung (40%) dengan ketinggian antara 1700-2200 m 2 dpl.
Wilayahnya sebagian besar berupa lereng dengan kemiringan yang curam berkisar
antara 45 hingga hampir mencapai 90 (>50%) (Sumber: Profil Desa Wonokitri
Tahun 2009). Daerah-daerah lereng ini menjadi lahan pertanian (tegal) yang
berfungsi sebagai sumber penghidupan masyarakat.
Dalam mengkaji kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang di Desa Wonokitri
akan diuraikan berdasarkan konteks ketentuan pemanfaatan ruang yang terdapat di
Desa Wonokitri meliputi aturan-aturan mengenai: konsepsi ruang berdasarkan
wilayah adat dan wilayah administrasi, orientasi peletakan elemen-elemen
pembentuk permukiman, sistem penguasaan dan kepemilikan tanah, serta adaptasi
tempat tinggal terhadap iklim.

3.2.1. Konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi

Konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi dapat


dijelaskan melalui dua aspek, yaitu batas wilayah berdasarkan penanda fisik dan
penanda non fisik. Batas wilayah administrasi berdasarkan penanda fisik dapat
dinyatakan secara jelas, misalnya jalan dan sungai. Demikian halnya dengan
penanda fisik pada batas wilayah adat yang berupa lokasi atau bangunan yang
bersifat ritual seperti pura,padhanyangan (dhanyang), dan makam dengan orientasi
Gunung Bromo yang berfungsi sebagai pusat aktivitas ritualnya (pancer).
Penanda non fisik pada batas wilayah adat dapat diamati dari setting perilaku
(behaviour setting) masyarakatnya, misalnya masih mengikuti kepercayaan, hukum,
aturan adat, bahasa, sifat dan sikap hidup Suku Tengger. Terkait dengan hal
tersebut, Pangarsa, et.al, (1992) mengungkapkan bahwa ruang dalam tradisi
arsitektur Tengger dapat dijelaskan melalui konsepsi batas ruang, pada skala ruang
makro (wilayah, desa dan lingkungan) hingga skala ruang mikro (rumah tinggal).
Dalam skala wilayah, ada dua konsepsi ruang yang terjadi: wilayah adat dan
wilayah administrasi. Batas wilayah adat tidak setegas wilayah administrasi desa,
dan kedua batas ini tidak selalu berimpitan. Konsepsi Tengger Ngare, yang
ditengarai melalui melalui wilayah pegunungan dialek lokal maupun wilayah kerja
dukun merupakan indikasi batas wilayah adat.
Berdasarkan sketsa konsep batas wilayah adat yang dijelaskan oleh
Pangarsa et al. (1993) tersebut dapat diidentifikasi penanda fisik pada batas wilayah
adat di Desa Wonokitri.

3.2.2. Orientasi peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman

Pengidentifikasian nilai kearifan lokal pada permukiman dapat dilihat dari


aturan/ketentuan adat tertentu yang mengatur tentang orientasi peletakan elemenelemen pembentuk permukiman. Konsep arah yang berkembang dan menjadi
kepercayaan turun-temurun masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri mempunyai
makna filosofis dan dilambangkan oleh unsur warna tertentu. Makna yang
terkandung dalam konsep arah ini kemudian diinterpretasikan dalam ritual
upacara Pujan Mubeng (Nrundhung) yang bertujuan memohon keselamatan desa
dan membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Bentuk penerapan makna
filosofis yang terdapat pada konsep arah tersebut berdasarkan adat dan
kepercayaan
masyarakat
Suku
Tengger
Desa
Wonokitri
adalah
berupa sesajenjadah aneka warna (merah, putih, kuning, hitam) yang mempunyai
makna filosofis melambangkan empat penjuru desa.

Di Desa Wonokitri terdapat pengaplikasian suatu aturan adat yang menjadi


landasan konsep arah dalam peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman,
antara lain: 1. Makam di Desa Wonokitri terdiri dari makam keramat dan makam
biasa. Ketentuan peletakan makam keramat adalahdi sebelah Utara desa dan jauh
dari lokasi permukiman penduduk. Kepercayaan yang diyakini masyarakat Suku
Tengger Desa Wonokitri terkait peletakan makam adalah sebaiknya di luar areal
permukiman dan ditempatkan di sebelah Utara. Sejak dulu hingga sekarang lokasi
makam keramat tetap ada di tempat yang sama dengan luasan lahan yang tidak
boleh bertambah ataupun berkurang. Sampai kapanpun makam keramat harus
tetap berada di tempat tersebut dengan luasan yang tetap; 2. Pura sebagai tempat
ibadah diletakkan di tempat yang disakralkan di tengah-tengah permukiman, yaitu
tempat dimana terdapat paling banyaksanggar pamujan di sekitarnya.Letak
Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Buana di Desa Wonokitri adalah di sebelah Timur
Laut permukiman penduduk. Makna filosofis yang terkandung dari ketentuan
peletakan pura di sebelah Timur adalah karena menghadap ke arah matahari.
Sebagai tempat yang disakralkan, pura diletakkan pada kontur lahan yang paling
tinggi; 3. Padhanyangan (dhanyang) merupakan tempat yang dikeramatkan oleh
masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri.Letak padhanyangan (dhanyang)adalah di
sebelah Selatan desa dan berada pada satu orientasi dengan makam keramat
(mengarah ke Gunung Bromo); 4. Bangunan tempat tinggal (mikro) terbagi menjadi
beberapa ruang yaitu sanggar pamujan (tempat pemujaan), patamon(ruang tamu),
paturon (kamar tidur), pagenen (dapur), pedaringan (ruang penyimpanan),
pakiwan (kamar mandi),dan pekayon (tempat untuk menyimpan kayu). Ketentuan
peletakan masing-masing ruang adalah: a) sanggar pamujan diletakkan di depan
rumah, harus menghadap ke Timur atau Selatan, tidak boleh menghadap Barat dan
Utara, b)patamon diletakkan di bagian depan rumah, c) paturon harus berada di
sebelah kanan arahpelawangan (pintu), d) pagenen dan pedaringan diletakkan di
belakang patamon dan dapat digabungkan, e) peletakan pakiwan harus di bagian
belakang rumah, f) pekayon merupakan ruang tambahan, diletakkan di bagian
belakang rumah.Selain itu juga ada ketentuan adat yang menyatakan bahwa anak
yang sudah berkeluarga tidak boleh membangun rumah di sebelah kanan rumah
orang tuanya; 5. Ladang/tegalan yang digunakan untuk pertanian terletak di
sebelah Selatan, Utara, dan Timur desa; dan 6. Gunung Bromo yang terletak di
sebelah Selatandiyakini sebagai poros (pancer) aktivitas spiritual seluruh
masyarakat Suku Tengger. Terdapat poros suci yang mengarah ke Gunung Bromo
(Selatan)
yang
menghubungkan
antara
makam
keramat
dan padhanyangan(dhanyang).
Mengenai konsep Gunung Bromo yang terletak di sebelah Selatan sebagai
poros aktivitas spiritual seluruh masyarakat Suku Tengger telah dinyatakan oleh
Hefner
(1985:65-69)
yang
menyebutkan
bahwa di
Tengger,
dugaan
dari orientasi Selatan diikuti atas dasar satu kepercayaan yang menyatakan
bahwa Selatan diidentifikasi sebagai singgasana dari BromoatauDewa Brahma.
Hal ini dapat dilihat tidak hanya pada posisi pemakaman, berdoa,pengucapan

mantra yang menghadap arah selatan, atau di orientasi dari pintu (pintu utama
ataupelawangan), tapi juga di orientasi dari tempat-tempat suci.

3.2.3. Sistem penguasaan dan kepemilikan tanah

Berdasarkan hasil penelitian Sukari, et al. (2004:63), sikap hidup Suku Tengger
yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak resiko), ojo jowal-jawil (jangan suka
mengganggu orang lain), kerja keras dan tetap mempertahankan tanah milik secara
turun-temurun. Sistem penguasaan dan kepemilikan tanah yang berlaku pada
masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri mengikuti ketentuan adat Tengger.
Seperti pada masyarakat Suku Tengger lainnya, sistem penguasaan dan
kepemilikan tanah diatur oleh aturan adat yang menyatakan larangan atau
pantangan terhadap penjualan tanah di luar masyarakat Suku Tengger. Apapun
alasannya penjualan tanah atau tanah warisan hanya boleh dilakukan antar sesama
masyarakat Suku Tengger, biasanya penjualan tanah atau tanah warisan
diutamakan ke keluarga dekat.
Tanah yang dimiliki oleh masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri umumnya
diperoleh dari hasil warisan orang tuanya. Sistem pembagian tanah warisan juga
masih dipertahankan sejak saat ini dengan ketentuan pembagian yang sama rata
antara anak laki-laki maupun perempuan. Aturan adat dalam pembagian tanah
warisan ini mengatur dua kondisi, yaitu pembagian tanah warisan saat orang tua
masih hidup dengan pembagian tanah warisan setelah orang tua meninggal. Sistem
pembagian tanah warisan saat orang tua masih hidup, misalnyamemiliki 3 orang
anak, orang tua terlebih dahulu mengambil 1/3 bagian dari luasan tanahnya. Lalu
sisanya sebesar 2/3 bagian dibagi sama rata ke dua orang anaknya. Apabila orang
tua tidak mampu lagi bekerja menggarap ladang/tegalannya maka orang tua
tersebut ikut ke salah satu anaknya, kemudian setelah meninggal hak waris atas
tanah jatah orang tua sebesar 1/3 bagian tersebut akan diberikan kepada anak
yang serumah atau yang mengurusnya.

3.2.4. Adaptasi tempat tinggal terhadap iklim

Salah satu bentuk penerapan nilai kearifan lokal adalah adaptasi tempat
tinggal terhadap iklim. Kontruksi rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri
mempunyai kemampuan dalam beradaptasi terhadap iklim setempat. Karena
adanya faktor adaptasi terhadap iklim tersebut mengakibatkan adanya beberapa
perubahan dan perkembangan dalam penggunaan bahan material bangunan pada
rumah tradisional masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri dari waktu ke waktu.

Tampilan bangunan rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri dapat


dijelaskan berdasarkan tampilan muka bangunan (facade) dan bagian-bagian
perlengkapan bangunan yang meliputi atap, dinding, tiang, pintu, jendela. Kondisi
eksisting tampilan bangunan rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri adalah
sebagai berikut: 1. Atap, berbentuk limasanmenyerupai limas tegak segitiga dengan
sisi kemiringan 45, terbuat dari seng; 2. Dinding, berupa tembok atau setengah
tembok, tembok terbuat dari bata sedangkan yang dimaksud setengah tembok
adalah perpaduan antara tembok dengan papan kayu; 3. Pintu, terbuat dari kayu;
dan 4. Jendela, terbuat dari kusen kayu dan kaca.
Karakteristik bentuk adaptasi rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri
terhadap iklim setempat dapat dijelaskan berdasarkan fungsi beberapa komponen
yang terdapat pada konstruksi bangunan tempat tinggalmaupun lingkungan di
sekitarnya. Kondisi iklim di Desa Wonokitri termasuk iklim tropis dengan suhu udara
harian rata-rata antara 16-23C.
Perubahan dalam penggunaan bahan untuk atap pada rumah tradisional Suku
Tengger Desa Wonokitri disebabkan oleh faktor adaptasi terhadap iklim setempat.
Pada sekitar tahun 1950-an atap menggunakan bahan dari seng, tapi kemudian
pada tahun 1970-an diganti dengan menggunakan genteng. Namun ternyata rumah
yang atapnya menggunakan genteng justru menyebabkan suhu di dalam rumah
menjadi semakin dingin. Oleh karena itu, sejak tahun 1980-an atap pada rumah
tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri diganti lagi dengan menggunakan bahan
dari seng yang ternyata lebih sesuai jika diaplikasikan untuk daerah yang beriklim
dingin seperti di Desa Wonokitri.Dari adanya perubahan dalam penggunaan bahan
untuk atap tersebut dapat didentifikasi bentuk nilai kearifan lokal yaitu melalui
proses mencoba-coba (trial and error) kemudian didapatkan hasil paling sesuai dan
adaptif jika diterapkan.
Penggunaan seng sebagai bahan atap pada rumah tradisional Suku Tengger
Desa Wonokitri secara umum masih diaplikasikan hingga sekarang, namun
berdasarkan kondisi eksisting juga terdapat beberapa rumah di Desa Wonokitri yang
atapnya menggunakan genteng.
3.3. Kearifan lokal dalam upaya pemeliharaan lingkungan
3.3.1. Perkiraan musim untuk bercocok tanam

Musim merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap


kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri, khususnya terkait dengan
keberlangsungan sektor pertanian di wilayah tersebut. Sistem perhitungan
perkiraan musim (pranoto mongso) pada masyarakat Desa Wonokitri didasarkan
pada sistem kalender Suku Tengger yang membagi musim (mangsa) menjadi
12 mangsa, yaitu 1) kasa, 2) karo, 3) ketiga, 4) kapat, 5) kelimo, 6)kanem,
7) kepitu, 8) kewolu, 9) kesanga, 10) kesepuluh, 11) dhesta, 12) kesada. Dari ke-

12mangsa tersebut kemudian dikelompokkan lagi menjadi 4, yaitu mareng, ketigo,


rendheng, danlabuh.
Sistem kalender musim memperlihatkan pola kecenderungan kehidupan
masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri. Dalam kalender musim, terdapat dua
bagian utama, yaitu 1. Kalender musim faktor alamiah yang berpengaruh terhadap
pola kegiatan musiman penduduk. Faktor alamiah tersebut meliputi jenis musim
(hujan dan kemarau), angin, dan lain sebagainya yang berpengaruh terhadap
musim tanam sektor pertanian; dan 2. Kalender musim faktor non-alamiah yang
menginformasikan pola kegiatan pertanian pada setiap komoditas yang meliputi
masa tanam, perawatan, dan masa panen.
Khusus untuk waktu penanaman jagung terdapat larangan dan pantangan yang
harus dipatuhi yaitu pada hari kematian orang tua atau hari-hari naas berdasarkan
perhitungan tertentu menurut adat masyarakat Suku Tengger.

3.3.2. Sistem teknologi tradisional dalam pengelolaan ladang/tegalan

Pada dasarnya penggunaan teknologi dalam pengelolaan ladang/tegalan di


Desa Wonokitri dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramahlingkungan.
Sistem penanaman menggunakan sistemtumpang sari. Karena kontur lahan yang
cukup curam, untuk menghindari tanah longsor dan erosi maka dibuat sistem
terasering dengan membuat lahan berpetak-petak yang disebut bedengan. Setelah
itu tanah dicangkul dan dibolak-balik baru kemudian dapat ditanami.
Peralatan yang digunakan untuk mengolah tanah adalah peralatan tradisional
pertanian seperti: cangkul, sabit, garpu dan keranjang, serta tangki penyemprot.
Untuk mempermudah dalam menjangkau areal ladang/tegalan yang curam maka
petani di Desa Wonokitri memakai sepatu boot. Sedangkan terkait dengan sistem
penanaman, masyarakat Desa Wonokitri memakai aturan tertentu yang
mengelompokkan penanaman tanaman tertentu pada satu petak lahan. Tanaman
berakar kuat misalnya cemara banyak di tanam di ladang/tegalan Desa Wonokitri
untuk mencegah longsor dan erosi, selain akarnya kuat kayunya juga bisa
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Jenis pupuk yang dipakai sangat
mengutamakan penggunaan pupuk kandang/kompos yang menurut masyarakat
Suku Tengger Desa Wonokitri termasuk ramah lingkungan dan tidak merusak
tekstur dan kesuburan tanah.
Pemberantasan hama menggunakan cara manual dengan mengambil hama
langsung dari tanaman kemudian ditanam di tanah atau diinjak dan memakai obat
pemberantas hama.

3.3.3. Sistem pemeliharaan hewan ternak

Peternakan yang dibudidayakan di Desa Wonokitri adalah peternakan sapi dan


babi. Sapi yang diternak adalah sapi jantan atas dasar karena sapi jantan tidak
dapat memperbanyak jenisnya sehingga tidak memerlukan tempat yang luas.
Pemeliharaan ternak sapi dilakukan secara individu di ladang masing-masing.
Tindakan pemeliharaan pada ternak sapi, yaitu pemberian pakan, pemeliharaan dan
perawatan ternak, pembersihan kandang secara teratur dan pemberian obat
penyakit.
Tidak berbeda jauh dengan sistem pemeliharaan ternak sapi, pemeliharaan
ternak
babi
juga
dilakukan
di
ladang
dengan
pembuatan
kandang
khusus. Pemberian pakan ternak babi dapat berupa sisa hasil makanan yang dibuat
di dapur atau makanan yang banyak mengandung protein, sumber energi dan
bahan makanan hijauan.
Bentuk penerapan kearifan lokal masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri
dalam sistem pemeliharaan hewan ternak, yaitu dengan peletakan kandang yang
lokasinya jauh dengan permukiman penduduk. Peletakan kandang ternak yang jauh
dari permukiman ini merupakan wujud tindakan tindakan yang arif lingkungan.
Selain hal tersebut, masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri juga memanfaatkan
kotoran ternak untuk dibuat pupuk kandang yang mampu menyuburkan tanpa
merusak tekstur tanah namun juga ramah lingkungan.

3.3.4. Sistem pengelolaan dan perlindungan hutan dan sumber-sumber air

Nilai kearifan lokal pada masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terkait
sistem pengelolaan dan perlindungan hutan adalah dengan mengklasifikasikan
hutan dan memanfaatkannya. Dalam wilayah Desa Wonokitri hanya terdapat
kawasan hutan lindung yang dikelola oleh pihak Perhutani. Hutan lindung ini
berguna untuk menjaga keseimbangan struktur tanah dan melestarikan tanah.
Masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri memiliki kesadaran yang tinggi dalam
mengelola hutan. Bukti keperdulian masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri dalam
kegiatan ikut serta memelihara hutan adalah dengan tidak menebang hutan secara
sembarangan. Sikap dalam pengelolaan dan perlindungan hutan ini dilandasi oleh
slogan yang dipatuhi, berbunyi tebang satu tanam dua yang artinya jika
menebang satu pohon, maka harus menanam minimal dua pohon yang jenisnya
sama.
Penyediaan air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berasal
dari sumber mata air alami dari sumber air pegunungan, yaitu sumber mata air

Tangor, Galingsari, Ngerong, Krecek, Muntur dan sumber mata air Blok Dengklik
yang terletak di sebelah selatan desa. Pada tahun 1977 sistem pipanisasi
diterapkan di Desa Wonokitri. Sistem pipanisasi ini bertujuan untuk mengalirkan air
dari sumber mata air disalurkan menggunakan pipa sekitar 3 Km menuju ke bakbak penampungan air/tandon air (jeding desa) di Desa Wonokitri. Saluran pipa yang
ada terpisah pada 2 blok, yaitu blok barat dan blok timur yang kemudian disalurkan
ke masing-masing tandon air pada blok tersebut. Pendistribusian air dari tandon air
menuju ke rumah-rumah warga juga menggunakan sistem pipanisasi. Hingga saat
ini terdapat 3 buah tandon air dan 3 bilik bak air umum di Desa Wonokitri.
Sistempenyediaan air bagi lahan pertanian adalah dengan membuat aliran
mellaui pipa plastik/slang. Sebagian masyarakat memanfaatkan limbah sisa hasil
pembuangan rumah tangga untuk menyirami tanaman dengan cara menampung
air limbah di tempat penampungan kemudian disalurkan melalui pipa plastik/slang
ke arah tanaman yang akan disarami. Ada juga masyarakat yang membuat saluran
tersendiri untuk air limbah, biasanya di samping rumah yang dilewatkan pipa
terpendam.
Kegiatan pengelolaan sumber-sumber air yang dilakukan antara lain
membersihkan dan merawat sumber air, melakukan penghijauan di sekitar sumber
air serta melakukan perbaikan pada saluran yang merusak badan jalan akibat
longsor. Perbaikan saluran dilakukan dengan membuat tambak atau tanggul tanah
yang dimasukkan ke dalam karung kemudian ditumpuk.Kegiatan pengelolaan
sumber-sumber air ini juga menjadi salah satu kegiatan sosial yang merupakan
kegiatan mingguan bagi masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri adalah gotongroyong membersihkan bak penampungan air umum. Kegiatan ini dilakukan secara
bergiliran yang dijadwal tiap RT atau lingkungan setiap seminggu sekali. Masyarakat
RT atau lingkungan yang mendapatkan jadwal giliran menuju ke 2 lokasi bak
penampungan air umum yang terdapat di Desa Wonokitri.

3.3.5. Tradisi-tradisi dalam pemeliharaan lingkungan yang terdapat di Desa Wonokitri

Dalam upaya pemeliharaan lingkungan, masyarakat Suku Tengger Desa


Wonokitri melakukan beberapa tradisi ritual berdasarkan adat dan kepercayaan
mereka, yaitu melakukan Upacara Leliwet, Pujan, Munggah Sigiran (Amongamong/ngamongi jagung), Wiwit, Hari
RayaKasad, Mayu (Mahayu)Desa, Mayu
Banyudan Pujan Mubeng (Narundhung).

3. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Suku


Tengger Desa Wonokitri menerapkan nilai kearifan lokal dalah kehidupan sosial
budanya sehari-hari antara lain yang terlihat dari:
1. Sistem nilai dan tata kelola (kelembagaan),
2. Adanya pembagian konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah
administrasi,
orientasi
peletakan
elemen-elemen
pembentuk
permukiman, sistem penguasaan dan kepemilikan tanah, serta adaptasi
tempat tinggal terhadap iklim.
3. Kearifan lokal yang mengatur tentang perkiraan musim untuk bercocok
tanam, sistem teknologi tradisional dalam pengelolaan ladang/tegalan,
sistem pemeliharaan hewan ternak sistem pengelolaan dan perlindungan
hutan, sumber-sumber air, serta tradisi-tradisi dalam pemeliharaan
lingkungan yang terdapat di Desa Wonokitri.
Dengan adanya penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan yang
diinterpretasikan dalam pola kehidupan sosial budaya masyarakat tersebut
diharapkan dapat mendukung upaya pemeliharaan dan pelestarian lingkungan Desa
Wonokitri.

4. DAFTAR PUSTAKA

Ernawi. (2009) Kearifan Lokal Dalam Perspektif Penataan Ruang, makalah utama
pada Seminar Nasional Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan
Lingkungan Binaan. Malang: Arsitektur Unmer.
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) Berpijak Pada Kearifan lokal, www.balipos.co.id.
Hefner, R.W., (1985) Hindu Javanese Tengger Tradition and Islam, New York.
Keraf, S. A., (2002), Etika Lingkungan,Pn. Buku Kompas, Jakarta.
Naping, H. (2007) Kelembagaan Tradisional dan Kearifan Lokal dalam
PengelolaanLingkungan pada Masyarakat Toraja. Makassar: PPLH Regional
Sulawesi Selatan, Malukudan Papua KLH bekerjasama dengan Masagena Press.
Pangarsa,
G. W.,
Pamungkas, S. T. & Subekti, H.
(1993) Studi
Transformasi
Arsitektur Vernakular dan Permukiman di Desa Wonokitri sebagai Dasar
Pertimbangan Kebijaksanaan Pengembangan Industri Pariwisata, Puspit
Universitas Brawijaya.(Unpublished Report).
Ridwan, N. A. (2007) Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, IBDA, Vol. 5, No. 1, JanJuni2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.

Salvina D.S, Vina. (2003) Modal Sosial Masyarakat adat Tengger Dalam Menjaga
Tatanan Sosial dalam Nurdin et al. (Ed), Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup
Masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS dan UMM Press.
Sukari, et al. (2004) Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa
Timur. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Tulisan di atas telah dipresentasikan dalam International Conference in Environmental


Talk: Toward A Better Green Living, Faculty of Civil Engineering and Planning
Mercubuana University, Jakarta, 9 March 2011

You might also like