Professional Documents
Culture Documents
Kawasan Tengger
Kawasan Tengger
html
ABSTRACT
Tenggerese community have uniqueness social cultural life pattern concerning with
societies positive behavior in its spatial using and adaptation to environmentally around it.
Tenggerese social cultural life pattern based on cultural point, religi and local tradition then
forms local wisdom points, such as local wisdom in spatial using and environmental
preserve effort. This research works through about local wisdom implement in spatial using
and environmental preserve effort at Wonokitri Village to keep up the sustainability of
Wonokitri Village. Analysis method use descriptive-explorative analysis. Observational
result indicate local wisdoms points in the context of spatial using rules at Wonokitri
Village, that is spatial conception bases on custom region and administration region,
situating orientation of element forming residence, land ownership system, and home
adaptation to climate. Local wisdom in the context ofenvironmental preserve manages
about season estimate to get cultivation, traditional technological systemin farm
management, breeding management system, forestand water resourches management
and protection system, along with traditions in environmental preserve that exists at
Wonokitri's Village. With the presence of local wisdom points that still relevant interpreted
insocial cultural life patternis expectedtosupportenvironmental preserve effortat Wonokitri
Village.
Keywords: local wisdom, spatial using, environmental preserve effort, home adaptation to
climate,traditional technological system
ABSTRAK
Kunci: kearifan
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis (Keraf, 2002). Gobyah (2003) menyatakan bahwa kearifan lokal
didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu
daerah. Dengan demikian kearifan lokal (local wisdom) pada suatu masyarakat
dapat dipahami sebagai nilai yang dianggap baik dan benar yang berlangsung
secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan
sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma,
etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Berkaitan
dengan hal tersebut Ernawi (2009) menjelaskan bahwa secara substansi kearifan
lokal dapat berupa aturan mengenai: 1) kelembagaan dan sanksi sosial, 2)
ketentuan tentang pemanfaatan ruang dan perkiraan musim untuk bercocok tanam,
3) pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, serta 4) bentuk adaptasi
dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim, bencana atau ancaman lainnya.
Desa Wonokitri adalah salah satu desa di Kecamatan Tosari, Kabupaten
Pasuruan yang terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)
dan merupakan desa sebagai tempat tinggal komunitas Suku Tengger. Berdasarkan
Rencana Induk Pengelolaan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Kabupaten Pasuruan Tahun
2004-2014, Desa Wonokitri diarahkan sebagai Desa Wisata Budaya dengan obyek
wisata budaya potensial berupa budaya, pola kehidupan sosial budaya masyarakat,
serta adat-istiadat Suku Tengger. Terdapat keunikan pada pola kehidupan sosial
budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terkait dengan perilaku positif
masyarakatnya dalam tindakan pemanfaatan ruang dan adaptasi terhadap
lingkungan di sekitarnya.
Pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri
bersumber dari nilai budaya, religi dan adat-istiadat setempat yang merupakan
bentuk nilai-nilai kearifan lokal, salah satunya adalah kearifan lokal dalam
pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan lingkungan. Dengan adanya kearifan
lokal yang masih relevan diaplikasikan untuk melestarikan dan menjaga
keberlanjutan Desa Wonokitrimenjadikan Desa Wonokitri menarik untuk ditelaah
lebih lanjut. Bertolak dari alasan tersebut maka disusun penelitian yang berjudul
Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger dalam Pemanfaatan Ruang dan Upaya
Pemeliharaan Lingkungan (Studi Kasus Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari,
Kabupaten Pasuruan).
2. METODOLOGI PENELITIAN
Menurut Ernawi (2009), sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan
oleh suatu komunitasmasyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian
baik-buruk serta benar atausalah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri
Hita Karana yang mengaitkandengan nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam
hubungannya dengan Tuhan, alamsemesta, dan manusia. Ketentuan tersebut
mengatur hal-hal adat yang harus ditaati,mengenai mana yang baik atau buruk,
mana yang boleh dilakukan dan yang tidak bolehdilakukan, yang jika hal tersebut
dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang mengaturnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku dan tindakan masyarakat Suku Tengger
Desa Wonokitri diatur oleh ketentuan adat berupa aturan-aturan adat dan hukum
adat yang berfungsi sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat. Hal ini
seperti yang diungkapkan Salvina (2003:91-92) bahwa ada sebuah sistem
pengendalian sosial yang disepakati dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat
Tengger, yaitu adanya hukum adat untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial
yang terjadi dalam masyarakat.
Aturan-aturan adat yang harus ditaati masyarakat Suku Tengger Desa
Wonokitri antara lain: 1. Tidak boleh menyakiti atau membunuh binatang (kecuali
untuk korban dan dimakan); 2.Tidak boleh mencuri; 3. Tidak boleh melakukan
perbuatan jahat; 4. Tidak boleh berdusta; dan 5.Tidak boleh minum minuman yang
memabukkan.
Fungsi hukum adat sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat
adalah: 1.Memberikan keyakinan pada anggota masyarakat tentang kebaikan adatistiadat Tengger yang berlaku; 2. Memberi ganjaran pada anggota masyarakat yang
tidak
pernah
melakukan
kejahatan; 3. Mengembangkan
rasa
malu;
dan 4. Mengembangkan rasa takut dalam jiwa anggota masyarakat yang hendak
menyimpang dari ketentuan adat.
Pada kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terdapat konsep
yang menjadi landasan sikap hidup masyarakat yaitu konsep anteng-seger (Tengger)
yang berarti damai dan makmur. Selain itu, juga terdapat konsep yang mendasari hubungan
tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
Lembaga dukun adat berfungsi sebagai lembaga adat yang mewadahi ketua
dan pengurus adat. Struktur kepengurusan lembaga dukun adat terdiri
dari: 1. Dukun Adat, ketua adat yang mengurusi upacara adat di Desa
Wonokitri; 2. Legen, bertugas untuk membuat sesajian dan mendoakan sesajian
pada saat upacara adat; 3. Sanggar; dan 4. Sepuh.
Dukun, Legen,
Sanggar dan Sepuh bertanggungjawab
atas padhanyangan(dhanyang) yang merupakan area yang disucikan secara adat.
Selain itu peran seorang dukun adat adalah mengawasi pelaksanaan aturan-aturan
adat dan hukum adat.
Hal unik yang terdapat dalam pranata kehidupan kemasyarakatan masyarakat
Suku Tengger selain pembagian tugas dan fungsi antara lembaga pemuka agama
dan lembaga dukun adat yaitu adanya konsepsi ruang yang membagi wilayah
menjadi wilayah administrasi dan wilayah adat. Seperti desa lain pada umumnya,
wilayah administrasi Desa Wonokitri dikepalai oleh seorang kepala desa, namun
yang membedakan dengan desa kebanyakan adalah dukun/tetua adat yang
berperan penting dalam memimpin wilayah adat sebagai seorang kepala adat.
Masyarakat Suku Tengger yang terbagi dalam dua wilayah adat, yakni sabrang
kulon(diwakili oleh Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan)
dan sabrang wetan(diwakili oleh Desa Ngadisari, Wanantara, Jetak, Kecamatan
Sukapura, Kabupaten Probolinggo) terdiri atas kelompok-kelompok desa yang
masing-masing dipimpin oleh kepala adat. Dengan demikian yang menjadi batas
wilayah kerja dukun adat adalah wilayah adat dan umat masyarakat yang terdapat
di
desa
tempat
ia
menjabat
sebagai
dukun
adat. Di masing-masing
kabupaten terdapat dukun koordinator wilayah yang bertugas mengkoordinir dukun
adat di wilayahnya.
Dukun adat yang berada di masing-masing wilayah desa komunitas Suku
Tengger umumnya dihormati dan sangat dipercaya karena peranannya yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger. Secara struktural dukun
adat dalam kehidupan Masyarakat Suku Tengger tergolong sebagai orang-orang
terpandang yang menjadi tokoh panutan masyarakatdan lebih dihormati dibanding
lembaga aparatur desa.
Sebagai seorang kepala adat, dukun adat memiliki fungsi spiritual dan fungsi
sosial. Fungsi spiritual dukun adat yaitu memimpin upacara adat. Sedangkan fungsi
sosialnya adalah sebagai mediator antara masyarakat dan urusan yang
berhubungan dengan pemerintahan. Selain itu, dukun adat juga memiliki
kewenangan tertentu dalam pengambilan keputusan, aturan, sanksi, atau denda
sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat. Sebagai contoh kewenangan
dukun adat dalam pengambilan keputusan adalah pada waktu terjadi bencana,
dukun adat berhak menentukan kapan masyarakatnya harus mengungsi atau tetap
mendiami desa.
mantra yang menghadap arah selatan, atau di orientasi dari pintu (pintu utama
ataupelawangan), tapi juga di orientasi dari tempat-tempat suci.
Berdasarkan hasil penelitian Sukari, et al. (2004:63), sikap hidup Suku Tengger
yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak resiko), ojo jowal-jawil (jangan suka
mengganggu orang lain), kerja keras dan tetap mempertahankan tanah milik secara
turun-temurun. Sistem penguasaan dan kepemilikan tanah yang berlaku pada
masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri mengikuti ketentuan adat Tengger.
Seperti pada masyarakat Suku Tengger lainnya, sistem penguasaan dan
kepemilikan tanah diatur oleh aturan adat yang menyatakan larangan atau
pantangan terhadap penjualan tanah di luar masyarakat Suku Tengger. Apapun
alasannya penjualan tanah atau tanah warisan hanya boleh dilakukan antar sesama
masyarakat Suku Tengger, biasanya penjualan tanah atau tanah warisan
diutamakan ke keluarga dekat.
Tanah yang dimiliki oleh masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri umumnya
diperoleh dari hasil warisan orang tuanya. Sistem pembagian tanah warisan juga
masih dipertahankan sejak saat ini dengan ketentuan pembagian yang sama rata
antara anak laki-laki maupun perempuan. Aturan adat dalam pembagian tanah
warisan ini mengatur dua kondisi, yaitu pembagian tanah warisan saat orang tua
masih hidup dengan pembagian tanah warisan setelah orang tua meninggal. Sistem
pembagian tanah warisan saat orang tua masih hidup, misalnyamemiliki 3 orang
anak, orang tua terlebih dahulu mengambil 1/3 bagian dari luasan tanahnya. Lalu
sisanya sebesar 2/3 bagian dibagi sama rata ke dua orang anaknya. Apabila orang
tua tidak mampu lagi bekerja menggarap ladang/tegalannya maka orang tua
tersebut ikut ke salah satu anaknya, kemudian setelah meninggal hak waris atas
tanah jatah orang tua sebesar 1/3 bagian tersebut akan diberikan kepada anak
yang serumah atau yang mengurusnya.
Salah satu bentuk penerapan nilai kearifan lokal adalah adaptasi tempat
tinggal terhadap iklim. Kontruksi rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri
mempunyai kemampuan dalam beradaptasi terhadap iklim setempat. Karena
adanya faktor adaptasi terhadap iklim tersebut mengakibatkan adanya beberapa
perubahan dan perkembangan dalam penggunaan bahan material bangunan pada
rumah tradisional masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri dari waktu ke waktu.
Nilai kearifan lokal pada masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terkait
sistem pengelolaan dan perlindungan hutan adalah dengan mengklasifikasikan
hutan dan memanfaatkannya. Dalam wilayah Desa Wonokitri hanya terdapat
kawasan hutan lindung yang dikelola oleh pihak Perhutani. Hutan lindung ini
berguna untuk menjaga keseimbangan struktur tanah dan melestarikan tanah.
Masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri memiliki kesadaran yang tinggi dalam
mengelola hutan. Bukti keperdulian masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri dalam
kegiatan ikut serta memelihara hutan adalah dengan tidak menebang hutan secara
sembarangan. Sikap dalam pengelolaan dan perlindungan hutan ini dilandasi oleh
slogan yang dipatuhi, berbunyi tebang satu tanam dua yang artinya jika
menebang satu pohon, maka harus menanam minimal dua pohon yang jenisnya
sama.
Penyediaan air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berasal
dari sumber mata air alami dari sumber air pegunungan, yaitu sumber mata air
Tangor, Galingsari, Ngerong, Krecek, Muntur dan sumber mata air Blok Dengklik
yang terletak di sebelah selatan desa. Pada tahun 1977 sistem pipanisasi
diterapkan di Desa Wonokitri. Sistem pipanisasi ini bertujuan untuk mengalirkan air
dari sumber mata air disalurkan menggunakan pipa sekitar 3 Km menuju ke bakbak penampungan air/tandon air (jeding desa) di Desa Wonokitri. Saluran pipa yang
ada terpisah pada 2 blok, yaitu blok barat dan blok timur yang kemudian disalurkan
ke masing-masing tandon air pada blok tersebut. Pendistribusian air dari tandon air
menuju ke rumah-rumah warga juga menggunakan sistem pipanisasi. Hingga saat
ini terdapat 3 buah tandon air dan 3 bilik bak air umum di Desa Wonokitri.
Sistempenyediaan air bagi lahan pertanian adalah dengan membuat aliran
mellaui pipa plastik/slang. Sebagian masyarakat memanfaatkan limbah sisa hasil
pembuangan rumah tangga untuk menyirami tanaman dengan cara menampung
air limbah di tempat penampungan kemudian disalurkan melalui pipa plastik/slang
ke arah tanaman yang akan disarami. Ada juga masyarakat yang membuat saluran
tersendiri untuk air limbah, biasanya di samping rumah yang dilewatkan pipa
terpendam.
Kegiatan pengelolaan sumber-sumber air yang dilakukan antara lain
membersihkan dan merawat sumber air, melakukan penghijauan di sekitar sumber
air serta melakukan perbaikan pada saluran yang merusak badan jalan akibat
longsor. Perbaikan saluran dilakukan dengan membuat tambak atau tanggul tanah
yang dimasukkan ke dalam karung kemudian ditumpuk.Kegiatan pengelolaan
sumber-sumber air ini juga menjadi salah satu kegiatan sosial yang merupakan
kegiatan mingguan bagi masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri adalah gotongroyong membersihkan bak penampungan air umum. Kegiatan ini dilakukan secara
bergiliran yang dijadwal tiap RT atau lingkungan setiap seminggu sekali. Masyarakat
RT atau lingkungan yang mendapatkan jadwal giliran menuju ke 2 lokasi bak
penampungan air umum yang terdapat di Desa Wonokitri.
3. KESIMPULAN
4. DAFTAR PUSTAKA
Ernawi. (2009) Kearifan Lokal Dalam Perspektif Penataan Ruang, makalah utama
pada Seminar Nasional Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan
Lingkungan Binaan. Malang: Arsitektur Unmer.
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) Berpijak Pada Kearifan lokal, www.balipos.co.id.
Hefner, R.W., (1985) Hindu Javanese Tengger Tradition and Islam, New York.
Keraf, S. A., (2002), Etika Lingkungan,Pn. Buku Kompas, Jakarta.
Naping, H. (2007) Kelembagaan Tradisional dan Kearifan Lokal dalam
PengelolaanLingkungan pada Masyarakat Toraja. Makassar: PPLH Regional
Sulawesi Selatan, Malukudan Papua KLH bekerjasama dengan Masagena Press.
Pangarsa,
G. W.,
Pamungkas, S. T. & Subekti, H.
(1993) Studi
Transformasi
Arsitektur Vernakular dan Permukiman di Desa Wonokitri sebagai Dasar
Pertimbangan Kebijaksanaan Pengembangan Industri Pariwisata, Puspit
Universitas Brawijaya.(Unpublished Report).
Ridwan, N. A. (2007) Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, IBDA, Vol. 5, No. 1, JanJuni2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.
Salvina D.S, Vina. (2003) Modal Sosial Masyarakat adat Tengger Dalam Menjaga
Tatanan Sosial dalam Nurdin et al. (Ed), Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup
Masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS dan UMM Press.
Sukari, et al. (2004) Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa
Timur. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.