You are on page 1of 8

PENTINGNYA KESERAGAMAN INFORMASI GEOSPASIAL

(ONE MAP POLICY)

Status Pulau Rempang Galang


hingga saat ini masih berada
dalam

status

quo

oleh

Mendagri. Tetapi, dengan akan


dicabutnya status tersebut oleh
Mendagri,

maka

pengelolaan

pulau

hak
rempang

galang berada di BP batam.


Sumber : www.wisatamelayu.com

Adanya hak pengelolaan pulau rempang galang membuat BP Batam harus


membuat suatu perencanaan tata ruang wilayah yang baik berdasarkan
data dan informasi geospasial sehingga pembangunan dan perkembangan
pulau rempang galang menjadi lebih baik dan terarah.
Belajar dari Pulau batam sebelumnya, Pembangunan pulau batam hingga
saat

ini

masih

memiliki

kelemahan.

Kelemahan

tersebut

adalah

banyaknya sumber data dan informasi spasial yang dimiliki oleh beberapa
lembaga/instansi

pemerintahan

baik

pemerintahan

propinsi,

pemerintahan kota maupun dari dalam lingkungan BP Batam sendiri.


Informasi,

jenis

data

dan

sistem

koordinat

yang

berbeda-beda

menyebabkan ketidaksingkronan atau ketidaksesuaian antara data yang


satu

dengan

data

yang

lain

menyebabkan

pengembangan

dan

pembangunan tata ruang wilayah tidak teratur dan terarah.


Oleh karena itu, BP Batam sebagai Badan pengelola wilayah Pulau
Rempang - Galang perlu melakukan pembangunan suatu basis data yang
terstruktur dan terintegrasi. Pengelolaan basis data spasial menggunakan
bagian sistem informasi geografi yang biasa disebut Geodatabase.

Geodatabase memiliki basis data yang mempunyai ekstensi dan sistem


koordinat yang sama dan sistematis yang dapat diakses dengan mudah,
cepat yang dapat memenuhi kebutuhan akan adanya suatu sistem
informasi

data-data

spasial,

nonspasial

maupun

peta-peta

tematik

Geodatabase merupakan sebuah basis data yang terintegrasi dan menjadi


pusat sumber data yang dapat diakses siapa saja.
Geodatabase ini digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil
kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data dan informasi
geospasial,

untuk

mendukung

pengambilan

keputusan

dalam

perencanaan dan pengembangan tata ruang wilayah pulau rempang


galang. Informasi geospasial memiliki arti yang sangat penting dilihat dari
kebutuhan untuk mengetahui posisi, lokasi dan sebaran potensi kekayaan
alam sebagai modal dasar dalam pembangunan dan perkembangan suatu
wilayah. Hal tersebut tersebut akan dapat berjalan optimal apabila
didukung oleh informasi, baik informasi spasial maupun informasi non
spasial yang andal (accountable), berkelanjutan (continuable) dan mudah
diakses (accessibility)
Peran pemerintahan, khususnya BP Batam adalah menjamin ketersediaan,
keakurasian dan keterbukaan informasi geospasial. Untuk mencapai
ketersediaan dan keakurasian informasi geospasial tersebut hal yang
harus dilakukan adalah penyediaan standar, prosedur dan norma tata
informasi geospasial yang memerlukan perencanaan, kebijakan, dan
program yang tepat dalam bidang survei dan pemetaan agar dapat
melahirkan informasi geospasial yang akurat.
Dasar hukum yang digunakan adalah UU No. 4 tahun 2011 tentang
Informasi

Geospasial

pemanfaatan

(IG),

informasi

akan

memberikan

geospasial

dalam

pembangunan wilayah pulau rempang galang.

dasar

hukum

pengembangan

dalam
dan

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UU Nomor 4 Tahun 2011, UndangUndang ini bertujuan untuk (a) menjamin ketersediaan dan akses
terhadap Informasi Geospasial yang dapat dipertanggungjawabkan; (b).
mewujudkan penyelenggaraan Informasi Geospasial yang berdaya guna
dan

berhasil

guna

melalui

kerja

sama,

koordinasi,

integrasi,

dan

sinkronisasi; dan (c) mendorong penggunaan Informasi Geospasial dalam


penyelenggaraan pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. UU Pasal 19 : Penyusunan Informasi Geospasial Tematik (IGT)
wajib mengacu pada Informasi Geospasial Dasar (IGD) Serta UU no. 26
tahun 2007 tentang pemetaan tata ruang Pasal 57 : (1) Badan melakukan
pembinaan terhadap penyelenggaraan IGT.
Dengan Banyaknya informasi geospasial yang tumpang tindih BP batam
perlu membangun sebuah kebijakan dengan mengacu pada One Map
Policy (kebijakan satu peta) yang dikeluarkan oleh Badan Informasi
Geospasial (BIG) dan merupakan implementasi dari UU No. 4 Tahun 2011.
konsep one map policy merupakan kebijakan

yang sesuai untuk

menghasilkan informasi geospasial yang didasarkan pada satu referensi,


satu datum dan satu geodatabase. Oleh karena itu diharapkan dapat
menjadi acuan untuk inegrasi informasi yang akurat dan dapat di
pertanggungjawabkan.
Konsep dari One Map policy adalah untuk menyatukan seluruh peta yang
diperoleh dari berbagai sektor ke dalam satu peta secara integratif,
sehingga tidak terdapat perbedaan dan tumpang tindih inormasi dalam
peta, memiliki basis data yang sama dan terintegrasi yang merujuk pada
referensi yang sama dengan pengelolaan terpadu dan selaras.
Dengan menjamin ketersediaan dan akses informasi geospasial baik
Informasi Geospasial Dasar maupun Tematik, dan dengan membangun
Infrastruktur Informasi Geospasial yang andal, akurat dan terintegrasi.
Dan diharapkan dengan menyajikan informasi geospasial dalam one map

policy dapat mewujudkan pembangunan dan pengembangan wilayah


Pulau Rempang Galang yang teratur, dan terarah.

Kerugian/akibat dari adanya perbedaan data dan informasi geospasial


adalah
Problem lain yang seringkali muncul dari tidak padunya peta rujukan
adalah konflik otoritas perizinan. Kewenangan otonomi daerah yang
melekat

pada

bupati/walikota,

memiliki

ranah

otoritas

pula

atas

sebahagian kawasan hutan di daerahnya.


seringkali terjadi tumpang tindih klaim legalitas kawasan ataupun ruang.
Maka dampak dari persepsi yang berbeda-beda, terjadilah tumpang-tindih
pemberian izin lahan.
jauh sebelum lahirnya undang-undang Informasi Geospasial, sudah ada
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang telah
lebih dahulu mengatur soal perlunya ketelitian peta sebagai rujukan
bersama tata ruang.
Ia menjelaskan, sebagaimana telah diatur melalui Peraturan Pemerintah
No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, tentunya
perbedaan peta-peta tematik antara satu kementerian dan lembaga
negara,

dapat

menyebabkan

inskonsistensi

data

spasial,

sehingga

memicu ketidakakuratan dalam pengambilan keputusan terkait hutan dan


lahan secara khusus, maupun terkait penataan ruang secara umum.
Apa yang akan terjadi jika perbedaan peta rujukan terus berlangsung?
Tentunya, kesimpang-siuran informasi geospasial, ketidak-akuratan data,
hingga ketidak-pastian hukum atas satu subjek ruang kelola. Seperti
menggantungnya status hukum pertambangan pihak PT. GRP di Cagar
Alam Morowali akibat adanya dua versi peta, ungkapnya.
Ketidak-pastian hukum tidak hanya merugikan masyarakat pelapor
maupun negara, namun juga dapat mengakibatkan kerugian materil
bernilai miliaran rupiah dari hilangnya hutan alam yang ditebang oleh
industri pertambangan.

Untuk mengantisipasinya, tidak ada cara lain kecuali menggunakan satu


peta rujukan yang sama. Seluruh komponen mesti menyadari jika
buruknya tata kelola hutan di negeri kita, salah satu sebabnya karena
peta rujukan masing-masing instansi sektoral berbeda antara satu dengan
lainnya.

suatu instansi yang ingin menggunakan Informasi Geospasial dari


instansi pemerintah lainnya harus melalui prosedur yang berbelit (tidak
jelas), atau harus membelinya dengan harga mahal.
berbagai instansi akhirnya menyelenggarakan pengadaan Informasi
Geospasial masing-masing pada lokasi yang sama, terjadi pengulangan
pengadaan sehingga terjadi pemborosan dan merugikan keuangan
negara.
berbagai instansi tidak menggunakan Informasi Geospasial yang sama,
akibatnya integrasi data spasial tidak mudah dan koordinasi antar
instansi sangat sulit, akibatnya pemborosan anggaran pembangunan
dalam skala ekonomi yang lebih besar.
perbedaan informasi dan sulitnya akses atas data dan informasi
membuat masyarakat kesulitan, atau ragu untuk menggunakan peta
yang mana; akibatnya tingkat melek peta dan tingkat penggunaan peta
di masyarakat Indonesia termasuk sangat rendah. Hal ini berdampak
pada mobilitas yang kurang cerdas, seperti tidak tahu adanya jalan
alternatif dalam berkendaraan, sehingga menimbulkan kemacetan lalu
lintas di rute-rute tertentu. Hal lain adalah partisipasi pengawasan
pembangunan yang rendah, misalnya karena tidak paham tentang peta
tata ruang atau peta kebencanaan di daerahnya, maka koordinasi
pengawasan menjadi tidak lancar.
5 Efisiensi
Ketidaksinkronan dalam perencanaan pembangunan yang berbasis spasial
antar instansi berakibat pada perencanaan yang tidak efisien, tidak efektif
dan
tidak transparan. Selain itu, terjadi juga duplikasi kegiatan yang tidak
bermanfaat
dan mengakibatkan pemborosan anggaran.
Contoh lain yang menunjukkan pentingnya koordinasi secara spasial adalah
keputusan penentuan lokasi suatu pabrik kimia yang berada di sekitar hulu
sungai.

Kompleksitas permasalahan tata ruang kehutanan dan sumber daya alam,


seperti tumpang tindihnya pengaturan dan regulasi yang berujung pada konflik,

telah mengakibatkan tidak hanya kerugian perekonomian negara, tetapi juga


berdampak pada ekologi dan biaya sosial yang sudah tidak terhitung lagi.
Permasalahannya, adanya perbedaan dalam penggunaan peta dasar. Peta
Dasar yang digunakan tidak sama untuk seluruh Kementerian dan
Lembaga sehingga rawan menimbulkan konflik. Penggunaan peta dasar
yang berbeda untuk menyusun informasi geospasial tematik akan
menghasilkan peta tematik yang memiliki acuan yang berbeda satu sama
lain. Perbedaan ini menjadi menjadi salah satu titik rentan konflik ketika
kemudian seluruh peta tematik yang ada di satukan atau di overlay-kan
dalam satu peta tunggal untuk pengambilan keputusan, misalnya untuk
keperluan penataan ruang atau tata batas. Untuk itu Badan Informasi
Geospasial

(BIG)

mengimlementasikan

kebijakan

One

Map

dengan

membangun peta RBI skala 1 : 50.000 untuk keperluan peneyempurnaan


penunjukan kawasan hutan. Serta membangun peta RBI skala 1 : 25.000
dan 1 : 5.000 untuk keperluan pengelolaan Sumberdaya Alam.

You might also like