You are on page 1of 90

Vol.

3, Nomor1, Nopember 2014

ISSN :2303-1433

JURNAL ILMU KESEHATAN


AKADEMI KEPERAWATAN DHARMA HUSADA KEDIRI
JurnalIlmuKesehatan Dharma HusadamerupakanJurnal yang memuatnaskahhasil penelitian
maupunarti kelilmiah yang menyajikan informasi di bidang ilmu kesehatan, diterbitkan
Setiapenambulan sekalipada bulan Nopember dan Mei
PenanggungJawab/PemimpinUmum
Dra.Magdalena Suharjati, M.Pd.
Penasehat
Pardjono, SKM,MPH.
PemimpinRedaksi
Ns. HengkyIrawan, S.Kep. M.Kes.
RedakturPelaksana
Ns. Sucipto, S.Kep. M.Kes.
Redaktur/Editor
Ns. DyahIka, S.Kep. MSi(Ked)
Moh Alimansur,S.Kep., Ns.M.Kes.
Ns. DidikSusetiyanto A.S.Kep.
Ns. PuguhSantoso, S.Kep.
Widodo, S.Kom.
Usaha
Ns. Novita S, S.Kep.
EnggarPrayoningtyas, A.Md.Kep.
AtinPriyanto
DiterbitkanOleh
Akper Dharma Husada Kediri JawaTimur
Jl. PenanggunganNo. 41 A Kediri, Telp&Fax (0354) 772628
Email :jurnalakperdharma@yahoo.com

AlamatRedaksi :
BagianHumas
Akper Dharma Husada Kediri
Jln. Penanggungan 41 A Kediri, JawaTimur, Telp&Fax (0354) 772628
Email :jurnalakperdharma@yahoo.com
Web Site : http://akper-akbid-kediri.com

JURNAL ILMU KESEHATAN


Nopember 2014 Mei 2015
DAFTAR ISI
Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah
Kerja Puskesmas Pranggang Kabupaten Kediri
Triatmi Andri Yanuarini, Dwi Estuning Rahayu, Ekanana Prahitasari,
Pengaruh Pemberian Asi Predominan Dan Tipe Pola Asuh Terhadap Tingkat
Kecerdasan (IQ) Pada Anak Usia 3-6 Tahun Di Paud Kasih Ibunda Kecamatan
Mojoroto Kota Kediri
Sumy Dwi Antono, Finta Isti Kundarti, Triatmi Andri Yanuarini
Pengaruh Pemberian Makanan Pendamping Asi ( Mp Asi) Dini Terhadap Kejadian
Kekurangan Energi Protein (Kep) Pada Anak Umur 0 24 Bulan Di Wilayah Kota
Kediri
Ira Titisari, Susanti Pratamaningtyas, Eny Sendra
Hubungan Pola Menstruasi dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri Kelas VII
SMPN 6 Kediri.
Yunarsih, Sumy Dwi Antono
Pengaruh ROM Exercise dini pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah
(Fraktur Femur dan Fraktur Cruris) Terhadap Lama Hari Rawat di Ruang Bedah
RSUD Gambiran Kota Kediri
Yunanik Esmi Dwi Lestari

1- 9

10 - 17

18 - 24

25 - 33

34 - 40

Pengaruh Pijat Bayi dengan Terapi Bunga Lavender Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Tidur Neonatus di Posyandu Melati Mojoroto Kediri
Sri Kasmiatun

41 - 47

Keterkaitan Status Gizi Dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien Dewasa Di Ruang
Flamboyan RSUD Gambiran Kota Kediri
Budi Hartanto, Moh Alimansur,

48 - 54

Pengaruh Pijat Aromaterapi Lavender terhadap Tingkat Nyeri Persalinan Kala I Fase
Aktif.
Finta Isti Kundarti, Ira Titisari, Naning Tri Windarti

55 - 65

Pengaruh Posisi Merangkak Terhadap Kemajuan persalinan Kala I Fase Aktif pada
Primigravida di BPS Ny. Endang Sumaningdyah Kota Kediri
Rahajeng SNR, Ira Titisari, Susanti Pratamaningtyas

66 - 71

Pengetahuan dan Sikap Ibu dalam Menjaga Kebersihan Mulut pada Bayi
Koekoh Hardjito, RE. Wijayanti, Siti Fatkhur Rohmah
Perbandingan Efek Suplementasi Tablet Tambah Darah dengan dan tanpa Vitamin C
terhadap Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil 16-32 Minggu di Desa Keniten Kec.
Mojo Kab. Kediri
Siti Asiyah, Dwi Estuning Rahayu, Wiranti Dwi Novita
Keterkaitan Prestasi Belajar dengan Tingkat Kecemasan Mahasiswa Praktek Klinik
Keperawatan Jiwa
Sucipto, Moh Alimansur

72 - 75

76 - 81

82 - 84

ISSN 2303-1433

Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di


Wilayah Kerja Puskesmas Pranggang Kabupaten Kediri
(The correlation between mothers knowledge and attitude in giving exclusive
breastfeeding at territorial of Public Health in Pranggang Kediri)
Triatmi Andri Yanuarini, Dwi Estuning Rahayu, Ekanana Prahitasari
ABSTRACT
Exclusive breastfeeding is breast-feeding for 6 months without any additional liquid.
According to Health Department of Kabupaten Kediri in 2013, the exclusive breastfeeding
programs achievement is 57.2%. The lowest or the worst achievement of exclusive
breastfeeding in Kediri is in Public Health center of Pranggang, it is 5.4%. The purpose of
this study is to identify and analyze the correlation between mothers knowledge and
attitude in giving exclusive breastfeeding at territorial of Public Health in Pranggang Kediri. The method which used in this study was the correlation of analytical studies using
cross-sectional approach. The population of this study were all 54 breastfeeding mothers of
babies aged 0-6 months in Pranggang, Punjul and Sumber Agung. The sampling technique
in this study was the probability sampling with cluster sampling method. The samples in
this study were 48 respondents. The results of the 48 respondents, 36 people (75%) had
good knowledge and 35 people (72.92%) had a good attitude about exclusive
breastfeeding. Statistical analysis of the data using the Spearman Rank test with a
significance level of 0,05 and df = 46, it is obtained (5,694) > t table (2,021). It shows that
there is correlation between mothers knowledge and attitude in giving exclusive
breastfeeding for babies in age 0-6 months at territorial of Public Health in Pranggang. The
writer hopes the midwifery will give motivation more to the mothers for giving exclusive
breast-feeding.
Key words: Knowledge, Mothers Attitude, Exclusive breastfeeding
Pendahuluan
Menyusui adalah salah satu komponen
dari proses reproduksi yang terdiri atas haid,
konsepsi, kehamilan, persalinan, menyusui,
dan penyapihan. Jika semua komponen
berlangsung dengan baik, proses menyusui
akan berhasil (Sarwono P., 2009:376).
ASI merupakan makanan pertama, utama
dan terbaik bagi bayi, yang bersifat alamiah.
ASI mengandung berbagai zat gizi yang
dibutuhkan dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan bayi. Terkait itu, ada suatu hal
yang perlu disayangkan, yakni rendahnya
pemahaman ibu, keluarga dan masyarakat
mengenai pentingnya ASI bagi bayi.
Akibatnya program pemberian ASI eksklusif
tidak berlangsung secara optimal. Rendahnya
tingkat pemahaman tentang pentingnya ASI
selama 6 bulan pertama kelahiran bayi
dikarenakan kurangnya informasi dan
pengetahuan yang dimiliki oleh para ibu
mengenai segala nilai plus nutrisi dan manfaat

yang terkandung dalam ASI. Selain itu,


kebiasaan para ibu yang bekerja terutama
yang tinggal di perkotaan, juga turut
mendukung rendahnya tingkat ibu menyusui
(Dwi Sunar Prasetyorini., 2009:21-33).
Ada beberapa faktor yang membuat
sebagian ibu tidak menyusui anaknya.
Pertama, gencarnya kampanye produsen susu
dan makanan pengganti ASI. Kedua,
kurangnya kesadaran ataupun pengetahuan
para ibu terhadap pemberian makanan kepada
anak. Ketiga, ketiadaan perhatian yang
sungguh-sungguh dari para ahli kesehatan
untuk menggalakkan kebiasaan menyusui
anak.
Keempat,
kurangnya
program
kesejahteraan sosial yang terarah, yang
dijalankan oleh beberapa instansi pemerintah
di negara-negara berkembang (Dwi Sunar
Prasetyorini., 2009:11-12).
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif
di Indonesia, pada bayi 0 hingga 6 bulan
masih relatif rendah, berdasarkan Riset

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

ISSN 2303-1433

Kesehatan Dasar 2010 (Riskesdas) bayi yang


mendapatkan
ASI
eksklusif
yang
mendapatkan ASI eksklusif angkanya hanya
sebesar 15,3 persen. Rendahnya pemberian
ASI eksklusif ini di sebabkan kesadaran
masyarakat dalam mendorong peningkatan
pemberian ASI masih relatif rendah (Lusia
Kus Anna, 2011).
Hasil penelitian Nana Yuliada dkk
menunjukkan bahwa pemberian ASI Eksklusif
masih tergolong sangat rendah (12,5%),
tingkat pengetahuan ibu sebagian besar
kategori kurang (64,4%), sikap ibu terhadap
ASI Eksklusif sebagian besar masih negatif
(71,2%), ada hubungan antara pengetahuan
dan sikap ibu, dan ibu umumnya memiliki
kepercayaan keliru tentang ASI Eksklusif.
Rendahnya pengetahuan responden diduga
disebabkan antara lain kurangnya informasi,
kurang jelasnya informasi, dan kurangnya
kemampuan responden untuk memahami
informasi yang diterima (Nana Yuliana dkk,
2013).
Berdasarkan laporan di Dinas Kesehatan
Kota Kediri tahun 2012 diketahui bahwa
cakupan pemberian ASI secara Eksklusif di
Kota Kediri sebesar 67% sedangkan di
Kabupaten Kediri sebesar 49,52%. Meskipun
terjadi perbedaan, namun masih dapat
memenuhi target ASI Eksklusif. Data capaian
program gizi ASI Eksklusif menurut
Kabupaten Kediri pada tahun 2013 capaian
program ASI Eksklusif sebesar 57,2%.
Pencapaian ASI eksklusif di Kabupaten
Kediri yang terendah adalah Puskesmas
Pranggang sebesar 5,4%.
Hasil wawancara tanggal 19 Februari
2014 yang dilakukan ke bidan desa Pranggang
mengatakan bahwa ibu setelah melahirkan di
BPM itu bilang akan memberikan ASI saja
setelah pulang. Akan tetapi saat kunjungan
ulang ibu nifas ditemukan pisang dikamar
untuk tambahan makanan bayi. Bahkan
banyak masyarakat beranggapan bahwa madu
itu bagus dan dapat diberikan kepada bayi
dengan alasan bahwa madu dapat mencegah
bayi dari penyakit dan bayi dapat tumbuh
lebih cepat. Madu ini merupakan salah satu
makanan yang sering diberikan oleh ibu-ibu
kepada bayinya.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik
untuk
meneliti
tentang
Hubungan
Pengetahuan dengan Sikap Ibu dalam
Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja
Puskesmas Pranggang Kabupaten Kediri.

Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan
adalah analitik dengan menggunakan
rancangan cross sectional, dimana peneliti
mencoba menggali bagaimana dan
mengapa fenomena kesehatan itu terjadi.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ibu menyusui bayi usia 0-6 bulan
di Desa Pranggang, Punjul dan Sumber
Agung di wilayah kerja Puskesmas
Pranggang Kabupaten Kediri sejumlah 54
orang. Sampel yang digunakan pada
penelitian ini adalah sebagian ibu
menyusui bayi usia 0-6 bulan di Desa
Pranggang, Punjul dan Sumber Agung
wilayah kerja Puskesmas Pranggang
Kabupaten Kediri yang berjumlah 48
orang. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah probability sampling
dengan metode cluster sampling. Statistik
Nonparametris yang digunakan untuk
menguji hipotesis komparatif dua sampel
yang berkorelasi pada penelitian ini
adalah Korelasi Spearman Rank.
Hasil Penelitian
Data Umum
1. Umur Ibu Menyusui
Diagram
1
Distribusi
Frekuensi
Responden Berdasarkan Umur Ibu
di Wilayah Kerja Puskesmas
Pranggang Kabupaten Kediri.

Sumber : Data Penelitian tanggal 4-22 Juni 2014

Dari diagram di atas dapat


disimpulkan bahwa sebagian besar umur
responden penelitian antara 20-35 tahun
(75 %)

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

ISSN 2303-1433

2. Tingkat Pendidikan
Diagram
2
Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan
Tingkat
Pendidikan Ibu di Wilayah Kerja
Puskesmas Pranggang Kabupaten Kediri.

Sumber : Data Penelitian tanggal 4-22 Juni 2014

Dari tabel di atas dapat disimpulkan


bahwa sebagian besar seluruh responden
memiliki bayi usia 0-3 bulan (56,25 %).

Sumber : Data Penelitian tanggal 4-22 Juni 2014

Dari diagram batang di atas dapat


disimpulkan bahwa sebagian besar seluruh
responden meliliki tingkat pendidikan
SMP (66,57 %).

Data Khusus
1. Pengetahuan ibu tentang ASI Eksklusif
Diagram
5
Distribusi
frekuensi
Pengetahuan Ibu Tentang ASI
Eksklusif
di
Wilayah
Kerja
Puskesmas Pranggang Kabupaten
Kediri

3. Jenis Pekerjaan
Diagram
3
Distribusi
Frekuensi
Responden Berdasarkan Pekerjaan
Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas
Pranggang Kabupaten Kediri.

Sumber : Data Penelitian tanggal 4-22 Juni 2014

Dari diagram menunjukkan bahwa


sebagian besar responden mempunyai
pengetahuan yang baik tentang ASI
Eksklusif (75%).
Sumber : Data Penelitian tanggal 4-22 Juni 2014

Dari diagram batang di atas dapat


disimpulkan bahwa sebagian besar seluruh
responden bekerja sebagai Ibu Rumah
Tangga (77,083 %).
4. Usia Bayi
Diagram
4
Distribusi
Frekuensi
Berdasarkan Usia Bayi Saat ini di
Wilayah
Kerja
Puskesmas
Pranggang Kabupaten Kediri

2. Sikap Ibu dalam Pemberian ASI


Eksklusif
Diagram 6 Distribusi frekuensi Sikap Ibu
dalam Pemberian ASI Eksklusif
pada Bayi Usia 0-6 .Bulan di
Wilayah
Kerja
Puskesmas
Pranggang Kabupaten Kediri.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

ISSN 2303-1433

Dari diagram diatas menunjukkan


bahwa
sebagian
besar
responden
mempunyai sikap sangat baik dalam
pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia
0-6 bulan (72,92 %).
3. Hubungan Pengetahuan dengan Sikap
Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif
Tabel 1 Distribusi frekuensi Hubungan
Pengetahuan dengan Sikap Ibu
dalam Pemberian ASI Eksklusif di
Wilayah
Kerja
Puskesmas
Pranggang Kabupaten Kediri
Sikap
Sangat
Baik

Baik

Tidak
Baik

35

Sangat
Tidak
Baik
0

Cukup

11

Kurang

36

10

48

No

Pengetahuan

1.

Baik

2.
3.

Jumlah

Jumlah
37

Berdasarkan tabel di atas dapat kita


lihat
bahwa
hampir
keseluruhan
responden memiliki pengetahuan yang
baik dan sikap yang sangat baik dalam
pemberian ASI Eksklusif sebesar 77,1 %.
Berdasarkan
tabel
1,
peneliti
melakukan analisa korelasi antara
pengetahuan dengan sikap ibu dalam
pemberian ASI Eksklusif di wilayah kerja
Puskesmas Pranggang Kabupaten Kediri,
dengan menggunakan uji korelasi
Spearman Rank dan menggunakan taraf
signifikansi 0,05, kemudian didapatkan
hasil r = 0,643. Karena n lebih dari 30,
maka r dimasukkan ke dalam perhitungan
dan didapatkan hasil hitung = 5,694,
hitung dibandingkan dengan
tabel = 2,021
dengan dk = 46. Karena hitung > tabel
maka Ho ditolak sehingga ada hubungan
antara pengetahuan dengan sikap ibu
dalam pemberian ASI Eksklusif di
wilayah kerja
Puskesmas Pranggang
Kabupaten Kediri.

Pembahasan
Pengetahuan Ibu tentang ASI Eksklusif
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan sebagian besar ibu
menyusui di wilayah kerja Puskesmas
Pranggang Kabupaten Kediri memiliki
pengetahuan yang baik tentang ASI
Ekslusif yaitu 75 %.
Pengetahuan adalah sebagai sesuatu
pembentukan yang terus-menerus oleh
seseorang yang setiap saat mengalami
reorganisasi karena adanya pemahamanpemahaman baru (Budiman, 2013:4).
Dengan
pengalaman
seseorang
memperoleh banyak informasi dari
%kebenaran
pengetahuan.
Seseorang
menjadi tahu apa yang akan dilakukannya
77.1
untuk memperoleh pemahaman dari
22,9
informasi tersebut.
Oleh sebab itu
0pengalaman pribadi pun dapat digunakan
sebagai upaya memperoleh pengetahuan.
100
Pengetahuan
seseorang
juga
dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor eksternal, salah satunya
yaitu informasi/media massa. Informasi
dapat dijumpai dalam kehidupan seharihari, yang diperoleh dari data dan
pengamatan terhadap dunia sekitar
melalui komunikasi. Informasi yang
diperoleh baik dari pendidikan formal
maupun nonformal dapat memberikan
pengaruh jangka pendek (immedate
impact) sehingga menghasilkan perubahan
atau peningkatan pengetahuan. (A.
Wawan dan Dewi M, 2013).
Penelitian Ayu Suryaningtyas tentang
hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang
ASI Eksklusif dengan Perilaku Pemberian
ASI di Puskesmas Nguter. Hasil
perhitungan yang menggunakan uji
Kendal Tau menggunakan program
SPSSS.15.00 for Windows diperoleh nilai
rhoxy sebesar 0,530 dan nilai probabilitas
(p-value) 0,002 lebih kecil dari (alpha) =
0,05. Berdasarkan kriteria tersebut
menunjukkan bahwa hipotesis nol di tolak
dan secara statistik ada hubungan tingkat
pengetahuan ibu tentang ASI Eksklusif
dengan perilaku pemberian ASI Eksklusif
secara signifikan.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

ISSN 2303-1433

Tingkat
pengetahuan
responden
tentang ASI Eksklusif yang baik
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain tingkat pendidikan dan adanya
informasi
dari petugas
kesehatan.
Kemudahan informasi yang berhubungan
dengan
pengetahuan
tentang
ASI
Eksklusif diperoleh dari beberapa sumber,
misalnya dari buku, majalah, media
elektronik, petugas kesehatan, serta orangorang disekitar lingkungan ibu. Adanya
informasi tentang ASI Eksklusif yang
diperoleh ibu baik yang diperoleh ketika
melakukan kegiatan Posyandu membantu
mereka dalam mengetahui dan memahami
tentang pengetahuan ASI Eksklusif yang
baik dan benar.
Penelitian Mariane Wowor, tentang
hubungan pengetahuan dan sikap dengan
pemberian ASI Eksklusif pada ibu
menyusui di Puskesmas Bahu Kota
Manado. Berdasarkan hasil penelitian
pada 38 responden di Puskesmas Bahu,
dan setelah dilakukan pengolahan data
dengan uji spearnans rho di dapatkan
hasil yang signifikan yaitu p = 0,000 <
0,05 sehingga ada hubungan pengetahuan
dengan pemberian ASI. Untuk hubungan
sikap dengan pemberian ASI didapatkan
hasil p = 0,036 < 0,05. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ada hubungan
pengetahuan ibu dengan pemberian ASI.
Sebagian besar ibu di wilayah kerja
Puskesmas Pranggang adalah sebagai ibu
rumah tangga sehingga ibu lebih cepat
mendapat informasi dari kader. Kader
yang biasanya lebih dekat dengan
masyarakat juga selalu menginformasikan
pentingnya ASI Eksklusif bagi ibu dan
bayi. Selain itu, penyuluhan biasanya
dilakukan bidan
2-4 minggu sekali.
Terkadang saat ada kegiatan posyandu
atau ketika ada kegiatan yang lain (seperti
ibu
yang melakukan pemeriksaan
kehamilan
juga
selalu
diberikan
penyuluhan tentang ASI Eksklusif).
Tingginya pengetahuan ibu tentang
ASI Eksklusif juga dipengaruhi oleh umur
ibu yang sebagian besar memiliki umur
20-35 tahun, dimana dari segi umur

tingkat kematangan dan kekuatan


seseorang akan lebih matang dalam
perfikir. Hal ini memudahkan ibu dalam
menerima informasi karena mereka sudah
lebih matang dalam berfikir. Dari
informasi tentang ASI Eksklusif, mereka
tahu bahwa ASI Eksklusif sangatlah
bermanfaat bagi ibu dan bayi.
Dari hasil penelitian diatas, dapat kita
lihat bahwa sebagian besar responden
lebih mengerti tentang ASI Eksklusif.
Umumnya informasi yang diberikan oleh
tenaga kesehatan dapat diterima oleh
masyarakat. Namun hal ini tidak terlepas
dari setiap individunya sendiri. Banyak
ibu yang hanya sekedar tahu saja tanpa
memperhatikan dan memahami informasi
yang diberikan oleh bidan. Sehingga
banyak ibu yang tidak memberikan
ASInya pada bayi.
Sikap Ibu Menyusui dalam Pemberian
ASI Eksklusif
Dari penelitian yang telah dilakukan,
didapatkan hasil sebagian besar responden
memiliki sikap yang sangat baik (72,92%)
dalam pemberian ASI Eksklusif pada bayi
usia 0-6 bulan.
Seseorang akan melakukan suatu
perbuatan
apabila
ia
memandang
perbuatan tersebut positif dan bila ia
percaya bahwa orang lain ingin agar ia
melakukannya.
Keyakinan-keyakinan
berpengaruh pada sikap dan perilaku
seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan atau tidak. Keyakinan ini dapat
berasal dari pengalaman dengan perilaku
yang bersangkutan dimasa lain dapat juga
dipengaruhi oleh informasi tidak langsung
mengenai perilaku tersebut (Azwar,
2012).
Sikap mempunyai beberapa ciri,
diantaranya sikap bukan dibawa sejak
lahir melainkan dibentuk atau dipelajari
sepanjang perkembangan itu. Sikap dapat
berubah-ubah karena itu sikap dapat
dipelajari. Dan sikap dapat berubah pada
orang-orang bila terdapat keadaankeadaan tertentu yang mempermudah

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

ISSN 2303-1433

sikap pada orang tersebut (Wawan, dkk,


2011).
Penelitian Winly Wenas, dkk tentang
hubungan antara pengetahuan dan sikap
ibu menyusui dengan pemberian ASI
Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas
Tompaso
Kecamatan
Tompaso.
Menyatakan bahwa sikap responden
terhadap ASI Eksklusif lebih banyak
berada pada kategori baik yaitu sebanyak
84 responden (54,2%) dan sebanyak 71
responden (45,8%) berada pada kategori
tidak baik. Berdasarkan hasil analisis
dengan uji chi-square (x2) menghasilkan
probabiliti sebesar 0,012 pada tingkat
kesalahan () 0.05. Bila nila probabilitas
lebih kecil dari tingkat kesalahan maka
dapat
dinyatakan
bahwa
terdapat
hubungan
antara
kedua
variabel
independen dan variabel dependen. Hal ini
berarti bahwa terdapat hubungan antara
sikap terhadap ASI Ekslusif dengan
pemberian ASI Eksklusif pada ibu di
wilayah Kerja Puskesmas Tompaso
Kecamatan Tompaso.
Sikap (attitude) merupakan konsep
paling penting dalam psikologi sosial
yang membahas unsur sikap baik sebagai
individu maupun kelompok (Wawan,
2011:19). Pengertian lain dari sikap
adalah reaksi atau respon seseorang yang
masih tertutup terhadap suatu stimulus
atau objek (Budiman, 2013:14).
Sikap seseorang dalam kehidupan
sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus. Sikap
tentang pemberian ASI Eksklusif oleh
responden merupakan faktor yang
menentukan seseorang untuk bersedia atau
kesiapannya untuk memberikan ASI
Eksklusif.
Penelitian Mariane Wowor, tentang
hubungan pengetahuan dan sikap dengan
pemberian ASI Eksklusif pada ibu
menyusui di Puskesmas Bahu Kota
Manado. Dari 38 responden di dapatkan
hasil yaitu untuk kategori baik paling
sedikit yaitu 4 responden (10,5%),
sedangkan kategori kurang sangat banyak
yaitu sebanyak 20 responden (52,6%) dan

setelah dilakukan pengolahan data dengan


menggunakan uji spearmans rho didapat
hasil p = 0,036 < 0.05. dengan hasil
demikian menunjukkan bahwa ada
hubungan sikap ibu menyusui dengan
pemberian ASI Eksklusif.
Berdasarkan hasil yang ada, teori
menurut Notoatmodjo (2007) sangat tepat
yaitu ada 3 komponen utama dalam
menentukan sikap seseorang yaitu
kepercayaan atau keyakinan, ide dan
konsep terhadap suatu obyek, kehidupan
emosional atau evaluasi emosional
terhadap suatu obyek, dan kecenderungan
untuk bertindak (trend to be have).
Sebagian besar ibu di wilayah kerja
Puskesmas Pranggang adalah sebagai ibu
rumah tangga sehingga ibu lebih cepat
mendapat informasi dari kader. Kader
yang biasanya lebih dekat dengan
masyarakat juga selalu menginformasikan
pentingnya ASI Eksklusif bagi ibu dan
bayi. Selain itu, penyuluhan biasanya
dilakukan bidan
2-4 minggu sekali.
Terkadang saat ada kegiatan posyandu
atau ketika ada kegiatan yang lain (seperti
ibu
yang melakukan pemeriksaan
kehamilan
juga
selalu
diberikan
penyuluhan tentang ASI Eksklusif).
Dari hasil penelitian di wilayah kerja
Puskesmas Pranggang dapat dilihat bahwa
sebagian besar ibu mempunyai sikap
sangat baik dalam pemberian ASI
Eksklusif. Faktor yang mempengaruhi
sikap antara lain media massa, pengaruh
orang lain yang dianggap penting serta
pengetahuan ibu juga memiliki pengaruh
terhadap sikap dalam pemberian ASI
Eksklusif, hal ini dikarenakan semakin
banyak aspek positif dan objek yang
diketahui maka akan menimbulkan sikap
yang positif terhadap objek tertentu.
Sikap yang baik berarti sudah bisa
menerima informasi yang diberikan dan
dari informasi yang diterima dapat
mengambil kesimpulannya.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

ISSN 2303-1433

Hubungan Pengetahuan dengan Sikap


Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di
Wilayah Kerja Puskesmas Pranggang
Kabupaten Kediri
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada tanggal 4-22 Juni 2014 di
wilayah kerja Puskesmas Pranggang
Kabupaten Kediri, diperoleh hasil dari 48
responden yaitu sebagian besar ibu
memiliki pengetahuan yang baik tentang
ASI Eksklusif (75%) dan sebagian besar
ibu memiliki sikap sangat baik dalam
pemberian ASI Eksklusif (72,92%).
Dengan menggunakan uji statistika
Spearman Rank diperoleh hasil
hitung
(5,694) >
(2,021)
sehingga
dapat
tabel
disimpulkan bahwa ada hubungan antara
pengetahuan dengan sikap ibu dalam
pemberian ASI Eksklusif di wilayah kerja
Puskesmas Pranggang Kabupaten Kediri.
Penelitian Resy Tesya Mulianda
tentang hubungan pengetahuan dan sikap
ibu terhadap pemberian ASI Eksklusif di
Posyandu Delima II Desa Baru Dusun II
Batang Kuis. Menunjukkan bahwa ibu
berpengetahuan baik sebanyak 38 orang
(82,6%) dan bersikap positif sebanyak 41
orang (89,1%) dalam pemberian ASI
Eksklusif. Setelah dilakukan uji fishers
exact test disimpulkan ada hubungan
signifikan antara pengetahuan dan sikap
ibu terhadap pemberian ASI Eksklusif.
Penelitian dari team yang ada dalam
jurnal
UNPAD
tentang hubungan
pengetahuan dan sikap dengan pemberian
ASI Eksklusif oleh ibu-ibu yang bekerja
sebagai perawat di RS Al-Islam Kota
Bandung. Analisis data dibagi menjadi
analisa univariat dan bivariat. Analisa
univariat menggunakan teknik persentase
dan skor T. Analisa bivariat menggunakan
chi-square. Hasil penelitian menunjukkan
adanya hubungan antara pengetahuan dan
sikap dengan pemberian ASI Eksklusif
oleh ibu-ibu yang bekerja sebagai perawat
dengan nilai p = 0,045 untuk variabel
pengetahuan dan nilai p = 0,027 untuk
variabel sikap.

Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa


sebelum seseorang mengadaptasi perilaku,
ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau
manfaat perilaku tersebut bagi dirinya
atau keluarganya. Diharapkan setelah
seseorang mengetahui stimulus atau obyek
kesehatan kemudian akan mengadakan
penilaian atau pendapat terhadap apa yang
ia ketahui. Proses selanjutnya diharapkan
ia
akan
melaksanakan
atau
mempraktekkan apa yang diketahui atau
disikapinya (dinilai baik), sehingga
setelah seseorang mengetahui apa itu ASI
Eksklusif, komposisi, serta manfaat yang
dapat ditimbulkan khususnya pada bayi
diharapkan dapat bersikap lebih baik
dalam pemberian ASI Eksklusif.
Oleh
karena
itu,
diharapkan
pemerintah ataupun tenaga kesehatan
dapat membantu pemberian informasi
tentang
ASI Eksklusif dimana erat
kaitannya dengan sikap ibu dalam
pemberian ASI Eksklusif. Diharapkan hal
ini dapat meningkatkan kesadaran pada
ibu tentang pemberian ASI Eksklusif
dimana banyak mengandung manfaat
banyak bagi bayinya dan dirinya sendiri.
Berdasarkan keadaan yang ada di
lahan penelitian sebagian besar memiliki
pengetahuan yang baik tentang ASI
Eksklusif dan juga memiliki sikap yang
sangat baik dalam pemberian ASI
Eksklusif, hal ini karena mereka
mengetahui bahwa ASI Eksklusif dapat
memberikan manfaat baik bagi bayi dan
dirinya. Sikap ibu dalam pemberian ASI
Eksklusif dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain faktor pengetahuan.
Sehingga pengetahuan yang baik memiliki
pengaruh besar terhadap sikap dalam
pemberian ASI Eksklusif. Pada dasarnya
pengetahuan yang baik dan sikap yang
baik diharapkan ibu dapat berperilaku
yang baik dalam pemberian ASI
Eksklusif.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang
hubungan pengetahuan dengan sikap ibu
dalam pemberian ASI Eksklusif di

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

ISSN 2303-1433

wilayah kerja Puskesmas Pranggang


Kabupaten
Kediri,
maka
dapat
disimpulkan bahwa :
1. Sebagian besar responden memilikki
pengetahuan baik sebanyak 27 orang
di
wilayah
kerja
Puskesmas
Pranggang.
2. Sebagian besar responden memiliki
sikap sangat baik sebanyak 35 orang
di
wilayah
kerja
Puskesmas
Pranggang.
3. Ada hubungan pengetahuan dengan
sikap ibu dalam pemberian ASI
Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas
Pranggang Kabupaten Kediri.
Saran
Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai sumber informasi serta
bahan pertimbangan untuk penelitian
selanjutnya yaitu mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku ibu dalam
pemberian ASI Eksklusif.
Bagi Instansi Tempat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai sumber informasi bahwa
pengetahuan dan sikap ibu dalam
pemberian ASI Eksklusif itu baik tapi
dalam perilakunya masih rendah. Melalui
informasi ini diharapkan kepada petugas
kesehatan,
diantaranya
dengan
meningkatkan motivasi pada ibu agar
dapat melakukan pemberian ASI Ekslusif.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur
Penelitian. Jakarta. Rineka Cipta.
Azwar, Saifuddin. 2012. Sikap Manusia
Teori
dan
Pengukurannya.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Budiman dan Agus Riyanto. 2013. Kapita
Selekta Kuesioner Pengetahuan dan
Sikap dalam Penelitian Kesehatan.
Jakarta : Salemba Medika.

Dewi, Vivian Nanny Lia dan Tri Sunarsih.


2011. Asuhan Kebidanan pada Ibu
Nifas. Jakarta : Salemba Medika.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2012. Metode
Penelitian
Kebidanan
Teknik
Analisis Data. Jakarta. Salemba
Medika.
Anna, Lusia Kus. 2011. Rendah, Jumlah
Bayi yang Dapat ASI Eksklusif.
Maryunani, Anik. 2012. Inisiasi Menyusu
Dini, ASI Eksklusif dan Manajemen
Laktasi. Jakarta : CV. Trans Info
Medika.
Meiliya,Eny dan Esty Wahyuningsih.
2010. Buku Saku Kebidanan. Jakarta
: EGC.
Mulianda, Resy Tesya. 2010. Hubungan
Pengetahuan dan Sikap Ibu
Terhadap Pemberian ASI Eksklusif
di Posyandu Delima II Desa Baru II
Batang Kuis
2010. .
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta.
Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan. Jakarta. Salemba
Medika.
Prasetyorini, Dwi Sunar. 2009. Buku
Pintar ASI Eksklusif. Yogyakarta :
DIVA Press.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Ramaiah, Savitri. 2006. Manfaat ASI dan
Menyusui. Jakarta : PT. Buana Bima
Populer.
Roesli, Utami. 2005. Mengenal ASI
Eksklusif.
Jakarta
:
Trubus
Agriwidya.
Rosita, Syarifah. 2008. ASI untuk
Kecerdasan Bayi. Yogyakarta :
Ayyana.
Saryono dan Mekar Dwi Anggraeni. 2013.
Metode Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif
dalam
Bidang
Kesehatan.
Yogyakarta.
Nuha
Medika.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

ISSN 2303-1433

Suryaningtyas, Ayu. Hubungan Tingkat


Pengetahuan Ibu tentang ASI
Eksklusif
dengan
Perilaku
Pemberian ASI di Puskesmas
Nguter. 115.
Team, Redaksi. Nursing Journal of
Padjajaran
University.
2010.
Hubungan Pengetahuan dan Sikap
dengan Pemberian ASI Eksklusif
oleh Ibu-Ibu yang Bekerja Sebagai
Perawat Di RS. Al-Islam Kota
Bandung.
Wiji, Rizki Natia. 2013. ASI dan Panduan
Ibu Menyusui.Yogyakarta : Nuha
Medika.
Wawan, A dan Dewi M. 2011. Teori &
Pengukuran Pengetahuan, Sikap,
dan Perilaku Manusia. Yogyakarta :
Nuha Medika.
Wowor,
Mariane
dkk.
Hubungan
Pengetahuan Dan Sikap Dengan
Pemberian Asi Eksklusif Pada Ibu
Menyusui Di Puskesmas Bahu Kota
Manado 2013. 1.
Wenas, Winly dkk. Hubungan Antara
Pengetahuan dan Sikap Ibu
Menyusui dengan Pemberian Air
Susu Ibu Eksklusif di Wilayah Kerja
Puskesmas Tompaso Kecamatan
Tompaso. 6.
Yuliarti, Nurheti. 2010. Keajaiban ASI.
Yogyakarta : ANDI.
Yulianah,Nana dkk. Hubungan Antara
Pengetahuan,
Sikap
Dan
Kepercayaan
Ibu
Dengan
Pemberian Asi Eksklusif Di Wilayah
Kerja Puskesmas Bonto Cani
Kabupaten Bone Tahun 2013.1.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

ISSN 2303-1433

Pengaruh Pemberian Asi Predominan Dan Tipe Pola Asuh Terhadap


Tingkat Kecerdasan (IQ) Pada Anak Usia 3-6 Tahun Di Paud Kasih Ibunda
Kecamatan Mojoroto Kota Kediri
Sumy Dwi Antono , Finta Isti Kundarti, Triatmi Andri Yanuarini
ABSTRACT
Intelligence is one of the capital to navigate the future. This intelligence is influenced
by two fundamental factors, namely genetic and environmental factors. Genetic factors
have contributed to 30-40 percent, the rest is environmental factors that play a role. The
purpose of this study was to determine the effect of predominant breastfeeding and type of
parenting style on the level of intelligence (IQ) of children aged 3-6 years in Kindergarten
Earth Kasih Bunda Kediri. The study design used was an observational analytic
populations are mothers of children aged 3-6 years in kindergarten Earth Kasih Bunda
Kediri as many as 30 people. The sample in this study as much as 28taken by random
sampling technique. multivariate data analysis with linear regression techniques to look at
the influence of predominant breast feeding and type of parenting style on the level of
intelligence (IQ) of children.The results of multivariate analysis showed that the variables
simultaneously predominant breastfeeding and type of parenting style affects the level of
intelligence (IQ) in which parenting variables have the greatest influence with the value of
= 0.016, followed by predominantly breast-feeding variable with a value of = 0.043.
Can be concluded that the longer the predominant breastfeeding, the better type of
parenting can be predicted increase a child's IQ test results.
Key words: Predominant breastfeeding, parenting, IQ
Pendahuluan
Kecerdasan dipengaruhi oleh 2 faktor
mendasar yaitu faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik
memiliki
andil 30-40 persen dalam menentukan
perkembangan
otak
dan
tingkat
kecerdasan anak. Selebihnya, yang
berperan adalah faktor lingkungan. Faktor
lingkungan tersebut meliputi lingkungan
(asah, asih, asuh), nutrisi, status gizi
(Utami Roesli, 2009) pendidikan dan
pekerjaan ibu serta status ekonomi
keluarga (Soetjiningsih, 1997).
Air Susu Ibu (ASI) adalah nutrisi
terbaik dengan kandungan gizi paling baik
dan sesuai bagi pertumbuhan dan
perkembangan optimal. ASI eksklusif
adalah pemberian ASI tanpa diberikan
makanan ataupun minuman lain selain
ASI kecuali vitamin, mineral, suplemen
atau obat (WHO, 2002).
Penelitian menjelaskan bahwa bayi
yang diberi ASI sampai 7-9 bulan dan > 9

bulan memiliki IQ 6,6, point lebih tinggi


(Morterson, 2002). Penelitian
lain
menunjukkan hasil terdapat hubungan
yang signifikan antara status menyusui
dan IQ dengan nilai p sebesar 0,01 (Geoff
Der, 2006) Dan penelitian Rini Andarwati
menjelaskan bahwa stimulasi kognitif ada
hubungannya dengan skor kecerdasan,
sedangkan berat badan lahir, status gizi,
dan pemberian ASI secara eksklusif tidak
ada hubungannya dengan skor kecerdasan
(Rini Andarwati, 2010). Penurunan
pemberian ASI di negara berkembang
atau pedesaan terjadi karena adanya
kecenderungan dari masayarakat untuk
meniru sesuatu yang dianggapnya modern
yang datang dari negara yang telah maju
atau datang dari kota besar (Soetjiningsih,
1997). Banyak ibu sudah memberikan
bayi minuman lain selain ASI sebelum
bayi berusia 6 bulan seperti diberi jus
buah. Kondisi ini disebut pemberian ASI
predominan, asalkan bayi tidak diberikan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

10

ISSN 2303-1433

susu formula atau makanan cair (WHO,


2010).
Pola asuh yang diterapkan orang tua
pada anak-anaknya merupakan salah satu
bentuk stimulasi tumbuh kembang.
Sedangkan
karakter
adalah
kunci
keberhasilan
individu.
Penelitian
menunjukkan bahwa 80% keberhasilan
seseorang di masyarakat ditentukan oleh
emotional quotient (EQ), dimana EQ juga
mempengaruhi IQ seseorang ( dikutip dari
Dessy Danarti, 2010). Sehingga secara
tidak
langsung
pola
asuh
ini
mempengaruhi IQ anak. Dan penelitian
terhadap 110 pelajar SMP di Iran
memberikan hasil terdapat hubungan yang
significant pola asuh dengan emotional
intellengence dengan nilai p sebesar 0.018
(Aghili, 2011).
Anak adalah generasi penerus bangsa.
Anak yang cerdas adalah penghasil
sumber daya manusia yang berkualitas
untuk membangun negara. Berdasar hasil
survey yang dilakukan PERC (Political
and Economic Risk Consultancy (2002),
kualitas sumber daya manusia Indonesia
menempati peringkat ke -12, terbawah di
ASEAN, yaitu setingkat Vietnam (Arief
Budiman, 2004)
Cakupan ASI ekslusif di wilayah
Kota Kediri masih jauh dari target ,
dimana pada 2012 cakupan ASI eksklusif
6 bulan hanya berkisar antara 30-40
persen. Data ASI eksklusif 2 dan 4 bulan
yang terbanyak. (Data Dinas Kesehatan
Kota Kediri, 2012). Penelitian ini
bertujuan
Menganalisis
pengaruh
pemberian ASI predominan dan tipe pola
asuh terhadap tingkat kecerdasan (IQ)
pada anak usia 3-6 tahun di PAUD Kasih
Bunda Kediri.
Metode Penelitian
Desain Penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah survey
analitik,
yaitu
melihat
pengaruh
pemberian ASI predominan dan tipe pola
asuh terhadap tingkat kecerdasan (IQ)
pada anak usia 3-6 tahun. Pendekatan
waktu yang digunakan adalah case

control. Penelitian ini dilaksanakan di


PAUD Kasih Bunda Kediri pada tanggal
21 23 Agustus 2013. Populasi dalam
penelitian ini adalah ibu yang mempunyai
anak usia 3-6 tahun
di PAUD Kasih
Bunda Kediri pada bulan Agustus 2013
sebanyak 30 anak. Sampel dalam
penelitian ini adalah anak PAUD Kasih
Bunda Kediri dan ibunya sebanyak 28
anak. Tehnik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah simple random
sampling
dengan
teknik
undian.
Instrument Penelitian terdiri dari 2 jenis:
Untuk mengukur tingkat kecerdasan (IQ)
anak oleh Biro Konsultasi Psikologi dan
Untuk mengukur riwayat pemberian ASI
predominan dan tipe pola asuh diberikan
kuesioner yang harus diisi oleh responden
yaitu ibu. Analisis dilakukan melalui 2
tahap, tahap pertama adalah analisis
univariate. Pada analisis ini, variabel
penelitian dianalisis secara deskriptif dan
analisis multivariate untuk mengetahui
pengaruh antara variabel bebas dengan
variabel terikat
menggunakan tehnik
regresi linier berganda.
Hasil Penelitian
a. Gambaran Umum Tempat dan
Responden Penelitian
Penelitian dilaksanakan di PAUD
Kasih Bunda Kota kediri. Saat ini
PAUD Kasih Bunda Kota Kediri
memiliki murid sebanyak 30 siswa
dengan 6 orang guru sebagai tenaga
tetap.
Responden penelitian adalah anak
PAUD Kasih Bunda Kediri yang
berusia 3-6 tahun sebanyak 28 anak.
b. Analisis Univariate
Data Umum
Distribusi responden ibu sebagaimana
dalam tabel dibawah ini:
Tabel 1. Distribusi frekuensi responden
ibu berdasarkan usia, pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan keluarga

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

11

ISSN 2303-1433

Variabel
Usia Ibu
20-25 tahun
26-30 tahun
31-35 tahun
36-40 tahun
>40 tahun
Pendidikan Ibu
SLTP/sederajat
SLTA/sederajat
D3
S1
Pekerjaan
Ibu
Rumah
Tangga
Swasta
PNS

Frekuensi

Persentase
(%)

2
9
12
1
4

7,2
32,1
42,8
3,6
14,3

0
19
3
6

0
67,9
10,7
21,4

14

50

6
8

21,4
28,6

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa


usia ibu paling banyak (42,8%) antara 3135 tahun, tingkat pendidikan ibu paling
tinggi adalah S1 tetapi hanya sebagian
kecil saja yaitu 21,4% sedangkan lebih
dari
setengah
(67,9%)
tingkat
pendidikannya adalah SLTA/sederajat.
Pekerjaan ibu setengahnya (50%) adalah
ibu rumah tangga.
Tabel 2. Distribusi frekuensi responden
anak berdasarkan jenis kelamin, urutan
dan status kesehatan anak 3 bulan
terakhir, riwayat gizi kurang/buruk dan
status kesehatan anak saat ini.
Variabel
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Urutan anak
1
2
3
4
5
6
Status
kesehatan anak
saat ini
Sehat
Tidak (batukflu)

Frekuensi

Persentase
(%)

14
14

50
50

18
4
3
2
0
1

64,2
14,3
10,7
7,2
0
3,6

26
2

92,8
7,2

Sedang untuk responden anak jumlahnya


sama untuk jenis kelamin perempuan dan
laki-laki. Urutan anak paling banyak
(64,2%) responden anak merupakan anak
pertama dan hanya sebagian kecil saja (
3,6%) merupakan anak ke 6. Status
kesehatan saat ini hampir seluruhnya
(92,8%) sehat.
Data Khusus
Tabel 3 Distribusi frekuensi responden
berdasarkan pemberian ASI predominan,
tipe pola asuh dan IQ.
Variabel

Frekuensi

Persentase
(%)

Pemberian ASI
predominan
0 bulan
1 Bulan
2 Bulan
3 Bulan
4 Bulan
5 Bulan
6 Bulan

3
5
0
4
5
5
6

10,7
17,9
0
14,3
17,9
17,9
21,4

28
0

100
0

10
13

35,7
46,4

15

17,8

Penerapan Tipe
pola asuh
Lebih 50%
Kurang 50 %
Tingkat
kecerdasan (IQ)
90-109 (normal)
110-119
(cerdas)
120-139 (amat
cerdas)

Berdasar tabel diatas diketahui paling


banyak anak memiliki riwayat mendapat
ASI predominan 6 bulan yaitu sebesar
10,7% dan hanya sebagian kecil yang
tidak pernah mendapat ASI predominan
10,7%. Sedangkan prosentase penerapan
tipe pola asuh seluruhnya (100%) diatas
55%. Berdasarkan hasil tes
IQ yang
dilakukan oleh Biro Konsultasi Psikolog,
paling banyak (46,4%) IQ anak berada
pada katagori cerdas.
Tabel 4.
Tabulasi silang antara
variabel independen dan dependen
berdasarkan katagorinya.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

12

ISSN 2303-1433

Variabel
Pemberian ASI
predominan
0 bulan
1 Bulan
2 Bulan
3 Bulan
4 Bulan
5 Bulan
6 Bulan

Frekuensi

Rata IQ

3
5
0
4
5
5
6

111,0
112,6
0
115,5
113,0
115,2
116,5

Penerapan Tipe
pola asuh
Lebih 50%
Kurang 50 %

28
0

114,2
0

Berdasar tabel 4. dapat dilihat


bahwa semakin lama pemberian ASI
predominan, nilai rata-rata hasil tes IQ
semakin tinggi walau pada pemberian ASI
predominan 3 bulan hasilnya lebih tinggi
dari pemberian ASI predominan 4 dan 5
bulan, dimana hal tersebut mungkin
disebabkan karena ada faktor lain yang
mempengaruhi IQ anak. Sedang rata-rata
anak mendapat penerapan tipe pola asuh
lebih dari 50% , menunjukkan nilai ratarata tes IQ dalam kategori cerdas.
c. Analisis Multivariate
Analisis multivariabel merupakan
analisis yang bertujuan untuk melihat
pengaruh
variabel bebas terhadap
variabel terikat yaitu pengaruh pemberian
ASI predominan, status gizi dan tipe pola
asuh terhadap
IQ anak dengan
menggunakan tehnik regresi linier.
Tabel 5. Pengaruh variabel pemberian
ASI predominan, tipe pola asuh terhadap
IQ.
Variabel
Independen

Koefisien
Regresi ()

Konstanta
84,242
Pola Asuh
8,675
Pemberian ASI 1,932
predominan
n
= 46
R
= 0,832
Adjusted R2
= 0,671
P =0,000

Koefisien
standar
(b)
0,462
0,426

0,000
0,000
0,000

Dari table 5. dapat diketahui bahwa


nilai R sebesar 0,832 artinya keeratan
pengaruh variabel independent terhadap

varibel dependent sangat kuat karena


nilainya mendekati 1. Nilai adjusted R2
sebesar 0,671 artinya keragaman variabel
independent
yaitu pemberian ASI
predominan,tipe
pola
asuh
dapat
menjelaskan 67,1% keragaman variabel
dependent yaitu IQ. Dapat ditarik
kesimpulan nilai IQ seorang anak bisa
diprediksi 67,1% melalui variabel pola
asuh dan pemberian ASI predominan
Nilai p= 0,00,
dapat ditarik
kesimpulan bahwa secara serentak
variabel pemberian ASI predominan dan
tipe pola asuh mempengaruhi tingkat
kecerdasan (IQ) dimana variabel pola
asuh memiliki pengaruh terbesar dengan
nilai b = 0,462, diikuti variabel pemberian
ASI predominan dengan nilai b= 0,426.
Pembahasan
Hasil analisis multivariat dengan
menggunakan regresi linier menunjukkan
bahwa secara serentak variabel pemberian
ASI predominan dan tipe pola asuh
mempengaruhi tingkat kecerdasan (IQ) .
Dari kedua variabel yang mempengaruhi
tingkat kecerdasan (IQ) yang paling tinggi
pengaruhnya adalah variabel tipe pola
asuh , diikuti pemberian ASI predominan.
a) Pengaruh Pola Asuh Terhadap
Tingkat Kecerdasan Anak (IQ)
Penelitian ini mendukung hasil
penelitian sebelumnya yaitu penelitian
yang dilakukan oleh Alegre A dan Aghili
M tahun 2011 yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara
pola asuh dengan emotional intellegence
(EQ) anak. EQ merupakan persyaratan
dasar untuk membentuk IQ. Cerdas saja
tidak cukup. Anak harus diajar dan dilatih
melalui sistem pengasuhan yang tepat
supaya belajar bisa mengendalikan diri.
Kemampuan pengendalian diri inilah yang
merupakan bentuk kecerdasan emosional
atau emotional intellegence (EQ) (Agus
Wibowo, 2012).
Dalam penelitian ini ditemukan
seluruhnya
(100%)
responden
menerapkan pola asuh dengan prosentase

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

13

ISSN 2303-1433

diatas 55%, dimana rata-rata hasil tes IQ


anak yang mendapatkan pola asuh baik
inipun lebih tinggi dibanding anak yang
mendapat pola asuh kurang baik. Anak
yang mendapat pola pengasuhan baik
akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif,
cerdas, percaya diri, dapat terbuka pada
orang tua, menghormati dan menghargai
orang tua, tidak mudah stress dan depresi,
sehingga mampu berprestasi baik.
Dampak dari pola asuh baik inilah yang
mampu meningkatkan point tesi IQ anak
dikemudian hari.
Pola asuh merupakan suatu bentuk
atau sistem dalam menjaga, merawat dan
mendidik anak (Agus Wibowo, 2012).
Pola asuh diartikan juga sebagai usahausaha orang tua dalam mengontrol
sosialisasi anaknya (Baumrid, 1991). Pola
asuh ini merupakan bentuk stimulasi
tumbuh kembang. Stimulasi merupakan
hal yang sangat penting dalam tumbuh
kembang anak. Anak yang banyak
mendapat stimulasi yang terarah akan
lebih cepat berkembang dibandingkan
anak yang kurang atau bahkan tidak
mendapat stimulasi. Hakekat mengasuh
anak meliputi pemberian kasih sayang dan
rasa aman. Mengasuh anak hakekatnya
melibatkan seluruh aspek kepribadian
anak, baik jasmani, intelektual, emosional,
ketrampilan serta aspek norma dan nilai
(Depkes, 2007). Perhatian dan kasih
sayang inilah yang merupakan bentuk
stimulasi yang dapat mengoptimalkan
perkembangan anak. Stimulasi dapat
meningkatkan hubungan antar sel otak
(sinaps).
Keluarga
merupakan
lembaga
pertama dan utama dalam mengasuh anak.
Keluarga merupakan faktor lingkungan
yang ikut menentukan dan memberi
pengaruh yang sangat besar dan sangat
menentukan anak nanti sebagai orang
dewasa adalah ketika anak berusia di
bawah 6 tahun (Depkes, 2007). Oleh
karena itu, pola asuh yang tepat sangat
perlu diperhatikan pada usia sebelum 6
tahun agar anak mampu tumbuh dan
berkembang secara optimal.

Penelitian lain di Bangkok Thailand


oleh Pichayapinyo tahun 2008 pada anak
usia 6-9 tahun menunjukkan hasil tidak
ada hubungan yang signifikan antara pola
asuh dengan Intellegence Quotient (IQ)
dengan nilai p= 0,8 tetapi hasil penelitian
menjelaskan bahwa pola asuh ini
memberikan dampak jelas terhadap
perilaku sosial anak. Dalam penelitian ini
dijelaskan kemungkinan faktor yang
mempengaruhi IQ yaitu kegagalan orang
tua dalam menyediakan lingkungan yang
mendukung perkembangan IQ karena
faktor sosioekonomi yaitu pendapatan
keluarga dan tingkat pendidikan, dimana
populasi dalam penelitian ini adalah
masyarakat dengan tingkat pendapatan
yang rendah dan pendidikan orang tua
hanya SD (Pichayapinyo, 2008).
Pendidikan ibu merupakan salah satu
faktor penting dalam tumbuh kembang
anak. Ibu yang berpendidikan tinggi lebih
terbuka menerima informasi dari luar
tentang cara pengasuhan anak yang baik,
menjaga
kesehatan
anaknya,
pendidikannya
dan
sebagainya.
Sedangkan kemiskinan berkaitan dengan
kekurangan
makanan,
kesehatan
lingkungan yang jelek dan ketidaktahuan.
Kemiskinan
akan
menyebabkan
keterbatasan keluarga dalam menyediakan
berbagai fasilitas bermain menyebabkan
otak anak kurang mendapatkan stimulasi.
Dalam penelitian ini , responden
tingkat pendidikannya bervariasi mulai
SD sampai PT, dimana setengahnya
(50%)
tingkat
pendidikannya
SLTA/sederajat dan pendapatan keluarga
sebagian besar (58,7%) antara 500 ribu
sampai dengan 1 juta perbulan. Kondisi
populasi yang berbeda inilah
yang
mungkin memberikan perbedaan hasil
antara penelitian ini dan penelitian
Pichayapinyo. Disamping itu, responden
dalam penelitian ini adalah masyarakat
pedesaan, dimana penyediaan fasilitas
seperti fasilitas bermain yang bisa
merupakan bentuk stimulasi tidak harus
dengan membeli alat permainan di toko.
Banyak alat permainan edukatif yang bisa

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

14

ISSN 2303-1433

dibuat
sendiri
untuk
merangsang
pertumbuhan otak anak, sehingga
keterbatasan ekonomi tidak menjadi
penghalang
bagi
keluarga
untuk
menyediakan alat permainan yang mampu
merangsang
pertumbuhan
dan
perkembangan sel otak. Kondisi populasi
yang berbeda antara penelitian ini dan
penelitian Pichayapinyo yang mungkin
memberikan perbedaan hasil
b) Pengaruh Pemberian ASI
Predominan terhadap Kecerdasan
(IQ)
Penelitian
ini
mendukung
penelitian Foroushani (2010), Geoff Der
tahun 2006 dan Morterson (2002) yang
menjelaskan bahwa anak yang diberi ASI
lebih lama memiliki point IQ lebih tinggi
dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI
lebih pendek. Juga penelitian Anderson
(1999) yang melakukan tes perkembangan
kognitif, tes perkembangan mental, tes IQ
dengan Wechsler dan Stanfort-Binet juga
menjelaskan bahwa bayi yang diberi ASI
predominan
dibanding
formula
predominan memiliki point terhadap testes tersebut lebih tinggi.
ASI memiliki kandungan gizi yang
sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan bayi
secara optimal.
Komposisi ASI yang terdiri dari lemak
yang mengandung DHA,ARA, EFA yang
penting untuk pertumbuhan otak, juga
kandungan laktosa yang
merupakan
sumber galaktose yang penting untuk
memproduksi galaktolipids yang sangat
diperlukan untuk pertumbuhan Central
Nerves System atau CNS. ASI juga
mengandung vitamin A,E, K dan mineral
yang diperlukan untuk mendukung
metabolisme energi di sel syaraf. Bayi
yang mendapatkan ASI lebih lama, akan
mendapatkan zat-zat gizi tersebut lebih
banyak
sehingga dapat mendukung
pertumbuhan dan perkembangan otak bayi
secara optimal. Bayi yang mendapatkan
ASI lebih lama, bonding atau ikatan kasih
ibu-bayi juga lebih lama. Bonding ini

merupakan satu bentuk stimulasi yang


dapat mendukung perkembangan. Dalam
penelitian ini, lebih dari setengah (71,4%)
bayi mendapatkan ASI predominan lebih
dari 3 bulan. Hal ini yang bisa mendukung
perkembangan sel otak lebih optimal
sehingga dapat meningkatkan point tes IQ
pada usia 3-6 tahun. Berdasar hasil tabel
lama pemberian ASI predominan dengan
rata-rata nilai IQ pada masing-masing
katagori juga terlihat jelas, semakin lama
pemberian ASI predominan semakin
tinggi rata-rata hasil tes IQ.
Penelitian Cohen dan kawan-kawan
di Amerika tahun 1995 menunjukkan
bahwa bayi ASI lebih jarang sakit karena
ASI mengandung berbagai faktor anti
infeksi seperti imunoglobulin yang
mengeluarkan sIgA yang penting untuk
melindungi mukosa usus dari bakteri, sel
darah putih yang dapat membunuh mikro
organisme , lisosim dan laktoferin yang
dapat membunuh bakteri, virus dan jamur
dan oligosakarida yang mencegah bakteri
masuk permukaan mukosa (Lawrence,
1994). Faktor anti infeksi inilah yang
membuat bayi jarang sakit. Dalam
penelitian ini juga menunjukkan bahwa
status kesehatan anak saat ini sebagian
besar (92,8%) adalah sehat. Sakit yang
terjadi pada anak hanya sakit flu, deman,
batuk biasa yang tidak memerlukan
perawatan serius. Kondisi bayi yang
jarang sakit ini tentu dapat lebih
menunjang pertumbuhan optimal bayi
karena tidak ada masa yang terganggu
atau terlewatkan karena sakitnya.
Penelitian Rini Andarwati, tahun
2010 menjelaskan pemberian ASI secara
eksklusif tidak ada hubungannya dengan
skor
kecerdasan.
Rini
Andarwati
menjelaskan
banyak
faktor
yang
mempengaruhi kecerdasan. Responden
dalam penelitian Rini Andarwati hanya
24,0% yang mendapatkan ASI > 4 bulan
dengan alasan ASI tidak cukup, bayi
belum kenyang, sering menangis,
ditinggal kerja, ASI belum keluar dan
diberi MP-ASI supaya bayi cepat besar.
Kondisi inilah yang mungkin bisa

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

15

ISSN 2303-1433

menjadikan perbedaan hasil dengan


penelitian ini karena dalam penelitian ini
bayi yang mendapatkan ASI predominan
> 4 bulan sebanyak 53,5%.

mendalam. Hendaknya dalam penelitian


berikutnya faktor-faktor tersebut bisa
diteliti dan dilakukan analisis secara
mendalam.

Simpulan dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

Simpulan penelitian ini adalah


Terdapat pengaruh pemberian ASI
predominan terhadap tingkat kecerdasan
(IQ) anak usia 3-6 tahun di PAUD Kasih
Bunda Kota Kediri, dan terdapat pengaruh
tipe pola asuh terhadap tingkat kecerdasan
(IQ) anak usia 3-6 tahun Serta Secara
serentak pemberian ASI predominan dan
tipe pola asuh mempengaruhi tingkat
kecerdasan (IQ) anak usia 3-6 tahun
dimana yang paling tinggi pengaruhnya
adalah tipe pola asuh, diikuti pemberian
ASI predominan.

Aghili, M, Kashani, M (2011) Study of


The Relationship Between Parenting
Style, and Childrens Emotional
Intelligence
and
Self-efficacy,
Departement of Psycology,
University of Payam-Noor, Gorgam
Branch, Gorgam, Iran: Am J Med
Sci, Vol:7 (7)
Agus Wibowo, (2012) Pendidikan
Karakter
Strategi
Membangun
Karakter
Bangsa
Beradaban,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Antien Nur Chamidah, (2009) Pentingnya
Stimulasi Dini Bagi Tumbuh
Kembnag Otak Anak, disampaikan
dalam talk show Tumbuh
Kembang dan Kesehatan Anak, 17
Oktober 2009
Arief
Budiman, (2004) Tes IQ
Remana/Panduan Bagi Remaja Dan
Orang Tua, Bandung: CV Pustaka
Grafika
Data Dinas Kesehatan Kota Kediri,
(2012). Status Gizi Balita Di Kota
Kediri
Dessy Danarti, (2010) Smart Parenting:
Menjadi Orang Tua Pintar Agar
Anak Sukses, Yogyakarta: G-media
Geoff Der, Batty, GD Lan J Deary,
(2006) Effect of Breastfeeding on
Intteligence in Child: Prospective
Study, Sibling Pairs and Meta
analysis, Cite this article as: BMJ,
doi: 1136/bmj.38978.699583.55
Hidayat,A Aziz Alimul, (2008) Riset
Keperawatan dan Tehnik Penulisan
Ilmiah, Jakarta: Salemba Medika
Lalu M. Anwar, (2010), Faktor Yang
Mempengaruhi
Intelegensi,
http://www.psikologizone.com/categ
ory/psikologi-remaja, diakses 15
Pebruari 2012
Naylor,AJ,Wester RA, (2009) Lactation
Management
Self-Study

Saran
Hendaknya pengambil kebijakan pada
tatanan pelayanan kesehatan dapat
meningkatkan edukasi pada masyarakat
tentang pentingnya pemberian ASI
predominan lebih lama, apalagi ASI
eksklusif, juga tentang penerapan pola
asuh orang tua yang tepat yang merupakan
satu bentuk stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan anak sebagai upaya-upaya
untuk meningkatkan nilai tes IQ, Menjalin
kerjasama lintas sektor dalam hal ini
Dinas Pendidikan khususnya lembaga
pendidikan Taman Kanak-kanak agar
dapat menyediakan alat permainan yang
lebih edukatif untuk merangsang tumbuh
kembang optimal anak,
Hasil penelitian ini, hendaknya juga
menjadi masukan bagi responden, bahwa
pola pengasuhan yang tepat, menjadi
sesuatu yang penting untuk diperhatikan,
karena pola pengasuhan yang baik dan
tepat menjadi salah satu faktor yang dapat
meningkatkan point tes IQ, Secara teoritis
masih banyak
faktor lain
yang
mempengaruhi IQ anak seperti status gizi,
pendidikan, pekerjaan dan status ekonomi
keluarga. Dalam penelitian ini faktorfaktor tersebut diduga ikut berpengaruh
tetapi tidak dilakukan analisis secara

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

16

ISSN 2303-1433

Modules,Level
1,Third Edition
(Revised) Shelburne, Vermont:
Wellstrart International
Mortenson EL, Michaelsen KF, Sanders
SA, Reinisch JM, (2002) The
association between duration of
breastfeeding and adult intelligence,
Denmark: JAMA: Vol; 287: 23652371
Rini Andarwati, Edy Prawirohartono,
Indra
L
Gamayanti,
(2010),
Hubungan BBL, ASI Eksklusif,
Sttaus Gizi, Stimulasi kognitif
dnegan kecerdasan anak usia 5-6
tahun, Digital Library UGM
Soekidjo Notoatmojo, (2005) Metodologi
Penelitian Kesehatan, Jakarta :
Rineka Cipta
Soetjiningsih, (1997) Tumbuh Kembang
Anak: Editor Ranuh, IG.N Gde,
Jakarta: EGC
Sudigdo Sastroasmoro, (2011) DasarDasar Penelitian Klinis, Jakarta: CV
Sagung Seto
Sugiyono,
(2010) Statistika untuk
Penelitian, Bandung: Alfabeta
Sunaryo
(2004),
psikologi
untuk
Keperawatan, Jakarta: EGC
Utami Roesli, (2009) Mengenal ASI
Eksklusif, Jakarta: Trubus Agriwidya
Wasty Soemanto,
(2006 ) Psikologi
Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta
WHO, (2002) Infant and Young Child
Nutrition, Global Strategy on Infant
and Young Child Feeding, FiftyFifty World Health Assembly
WHO, (2009) Early Child Development,
Fact sheet N 332
WHO, (2009) Infant and Young Child
Feeding: model chapter for textbook
for medical students and allied
health profesionals, WHO Library
Cataloguing-in-Publication
Data,
ISBN 978 92 4 159749 4
WHO, (2010) Indicators for Assesing
Infant and Young Child Feeding
Practices, part 3 Country Profiles:
Departement
of
Child
and
Adolescent
Health
and

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

Development,
159975

ISBN

978

92

4
7

17

ISSN 2303-1433

PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI ( MP ASI) DINI


TERHADAP KEJADIAN KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP)
PADA ANAK UMUR 0 24 BULAN DI WILAYAH KOTA KEDIRI
Ira Titisari, Susanti Pratamaningtyas, Eny Sendra,
Prodi Kebidanan Kediri Jl.KH.Wakhid Hasyim 64 B Kediri
Email: iratitisari@ymail.com
Abstrac
Should we know that Mothers Milk Complementary Foods is begin giving when
someday after the baby was born. This is deficient think, because Mothers Milk
Complementary Foods present can make malnutrition consist or disturb child development
(Energy-Protein Malnutrition). The destination of this research is to find out effect of
giving too early Mothers Milk complementary Foods with Energy-Protein Malnutrition
incident to children on zero until twenty four months old. The methode of this research is
the corelation with analitic case control characteristic that is eight child as case and eight
others as control of fill up inclusion criteria . The samples will take by purposive sampling
tehnis . The finishing data collection are using questionaire by weight and height
measurement. The data analitic are using fisher exact probability test with 5% significancy.
The result of this research is giving Mothers Milk Complementary Foods to 87,5%
Energy-Protein Malnutrition group and 25% non Energy-Protein Malnutrition is not
timely. 100% Energy-Protein Malnutrition is nasty. There is an effect of giving too early
Mothers Food Complementary Foods in Energy-Protein Malnutrition accident on children
at zero untill six months old. Be expected for the health personnel to give information and
counseling about to give too early Mothers Milk Complementary Foods about effect and
the interval, at the same time for a children whio has Energy-Protein Malnutrition must
give supplementary food that appropriate with the local program and integrated by
Department of health.
Keywords = Giving too early Mothers Milk Complementary Foods, Energy-Protein
Malnutrition
Pendahuluan
Diperkirakan 100 juta anak menderita
gizi kurang pada tingkat sedang dan berat
(KEP),
yang
merupakan
keadaan
defisiensi gizi paling umum dijumpai di
dunia. Golongan anak yang berstatus gizi
kurang memiliki risiko kematian yang
lebih tinggi daripada anak dengan status
gizi baik.
KEP merupakan salah satu masalah
kesehatan anak di Indonesia atau di negara
berkembang lainya. Angka kejadian
tertinggi yaitu pada anak balita yang dapat
berakibat gangguan pertumbuhan dan
perkembangan termasuk kecerdasan anak
(http://www.google.gizi net.com.2006).

Prevalensi gizi kurang pada balita dan


tahun ke tahun mengalami penurunan
yang cukup berarti. Pada tahun 1989,
preva!ensi balita bergizi kurang (Skor Z
Berat Badan menurut Umur) mencapai
37,5%. Pada tahun-tahun berikutnya
prevalensi kurang gizi balita terus
mengalami penurunan sehingga pada
tahun 2000 prevalensi kurang gizi balita
menjadi 24,7%. Menurut Depkes 2004
saat Indonesia mengalami krisis multi
dimensi,
prevalensi
gizi
kurang
mengalami kenaikan lagi berturut-turut
menjadi 26,1%, 27,3% dan 27,5% pada
tahun 2001,2002 dan 2003 (Hamam Hadi,
2005)

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

18

ISSN 2303-1433

Pada
tahun
2009
Departemen
Kesehatan di Indonesia membuat berbagai
program untuk mengatasi masalah gizi
kurang pada balita. Seperti, program
penanggulangan
yang
meliputi,
pendidikan
gizi,
pemberdayaan
masyarakat
melalui
pembentukan
keluarga sadar gizi (kadarzi), peningkatan
survellans gizi. Semua itu dilakukan
dengan tiga strategi utama yakni,
pemberdayaan masyarakat, peningkatan
akses terhadap pelayanan kesehatan
berkualitas, monitoring dan informasi
kesehatan. (http:/www. menkokesra.
90.id).
Peran serta orang tua dalam pemberian
gizi yang baik pada balita sangat
berpengaruh, karena gizi buruk dan gizi
kurang pada balita terjadi melalui proses
yang panjang dan utamanya sangat
ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan
nutrisi pada masa pertumbuhan balita
yakni, sejak janin masih dalam kandungan
hingga bayi dilahirkan sampai berusia dua
tahun.(Riri Wijaya,2006).
Menurut laporan organisasi kesehatan
WHO,
permasalahan
gizi
dapat
ditunjukkan dengan besarnya angka
kejadian gizi buruk yang menunjukkan
kesehatan masyarakat Indonesia terendah
di ASEAN, dan menduki peringkat ke 142
dari 170 negara. Data WHO menyebutkan
angka kejadian gizi buruk pada balita
tahun 2002 meningkat menjadi 8,3% dan
gizi kurang 27,5%, serta pada tahun 2005
kejadian gizi buruk naik lagi menjadi
8,8% dan gizi kurang 28% (Dina, 2007).
Tahun 2007 lalu tercatat sebanyak 4
juta balita Indonesia mengalami gizi
kurang dan 700.000 anak masuk kedalam
kategori gizi buruk. Pendapat serupa
dikemukakan dari Rachmat sentika, Sp.A,
MARS, dari tim Ahli Anak komisi
perlindungan Anak Indonesia, Rachmat
menilai konduisi Asupan gizi balita di
Indonesia memprihatinakn, penyebabnya
asupan gizi yang kurang dan perubahan
pola asuh yang tidak terpantau baik. Ahli
gizi anak dari Istitusi Pertanian Bogor,
Prof Dr Ir Ali Khomsan MS dan TIM Ahli

anak dari komisi Perlindungan Anak


Indonesia tb Rachmat sentika, senin (11/8)
di Jakarta.
Ali khomsan mengatakan, akar
masalah yang menyebabkan tingginya
angka anak yang menderita kurang gizi
karena anak-anak makan seadanya dan
dominan karbohidrat. Dalam koferensi
pers yang diselenggarakan oleh kondisi
untuk
Indonesia
sehat
mengenai
kampanye Pentingnya Gizi Anak
dr.Dini Latief MSC, dari direktorat jendrl
Bina kesehatan masyarakat, Depkeskesos
mengatakan, meski pavelensi gizi buruk
sudah menurun, dari 8,1& dari 1,7 juta
balita yang menderita gizi kurang. Pada
tahun 1999 menjadi 7,5% pada tahun
2000 berdasarkan survey sosial ekonomi
nasional (Susenas) namun jumlah
nominlnya masih terhitung tinggi, yaitu
160.000 balita (Dini, 2007).
Hasil penelitian menyatakan bahwa
keadaan KEP pada bayi dan anak
disebabkan
pemberian MP-ASI yang
tidak tepat, baik secara kualitas maupun
kuantitasnya.(Parenting Islami 2008).
Sesuai dengan anjuran WHO bahwa MPASI diberikan paling cepat pada usia 6
bulan dengan alasan kematangan saluran
cerna, kematangan mekanisme menelan
dan pertumbuhan gigi geligi terjadi pada
usia 4-6 bulan.( Damayanti R.Sjarif,
2007).
Berdasarkan latar belakang diatas
maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh pemberian
MP-ASI dini terhadap kejadian KEP pada
anak umur 0 24 bulan.
Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk
mengetahui
pengaruh
pemberian MP-ASI dini terhadap
kejadian KEP pada anak umur 0 24
bulan di wilayah Kota Kediri
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui usia pemberian MPASI dini pada anak umur 0 0 24
bulan di wilayah Kota Kediri.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

19

ISSN 2303-1433

2.

3.

Mengetahui kejadian KEP pada


anak umur 0 24 bulan di wilayah
kota Kediri
Menganalisa pengaruh pemberian
MP-ASI dini terhadap kejadian
KEP pada anak umur 0 24 bulan
di wilayah Kota Kediri

Metode Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah
semua anak umur 0 24 bulan yang ada
di Wilayah Kota Kediri. Sampel yang
diambil dalam penelitian ini adalah :
semua anak umur 0 24 bulan yang
mengalami KEP yang ada di wilayah Kota
Kediri yaitu sebanyak 8 balita. Sebagai
kontrol adalah anak umur 0 24 bulan
yang tidak mengalami KEP yang ada di
wilayah Kota Kediri yaitu sebanyak 8
balita. Adapun teknik samping yang
digunakan adalah purposive sampling.
KRITERIA SAMPEL
a. Kriteria Inklusi
1). Anak umur 0 24 bulan yang
mengalami KEP
2). Anak umur 0 24 bulan yang
mengalami KEP yang diberi MPASI
3). Anak umur 0 24 bulan yang
tidak mengalami KEP yang
diberi MP-ASI
4). Anak umur 0 24 bulan yang
mengalami KEP yang orang
tuanya bersedia anaknya menjadi
responden
5). Anak umur 0 24 bulan yang
tidak mengalami KEP yang orang
tuanya bersedia anaknya menjadi
responden.
Variabel Penelitian
Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel independen dalam penelitian ini
adalah
awal
pemberian
makanan
pendamping ASI (MP-ASI).

ANALISA DATA
Untuk mengetahui hubungan antara 2
variabel maka peneliti melakukan analisa
korelasi dengan menggunakan uji Fisher
Exact Probability Test :

Rumus : P =

(A+B) ! (C+D) ! (A+C) ! (B+D) !


N!A!B!C!D!

Dengan taraf signifikansi 5 % (0,05)


HASIL PENELITIAN
1. Waktu pemberian MP ASI
Berdasarkan data dari 16 kuesioner
yang dibagikan kepada kelompok
kasus dan kelompok kontrol untuk
mengetahui kapan pemberian MPASI dini (tepat waktu dan tidak tepat
waktu) yang diberikan pada anak
umur 0 24 bulan didapatkan hasil
sebagai berikut:
No Pemberian Jumlah Prosentase (%)
MP-ASI
1

Tepat
waktu

43,75

Tidak tepat
waktu

56, 25

Jumlah

16

100

2. Kejadian Gizi baik dan buruk


berdasarkan tinggi badan / berat
badan
Berdasarkan data dari 16 responden
dengan usia anak 0 24 bulan baik
pada kelompok kasus maupun
kelompok kontrol didapatkan hasil
sebagai berikut:

Variabel Dependen (Variabel Terikat)


Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah Dalam penelitian ini variabel
tergantungnya adalah kekurangan energi
protein (KEP) pada balita.
Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

20

ISSN 2303-1433

Tabel 1. Distribusi kejadian gizi baik &


gizi buruk berdasarkan TB/BB
GIZI BAIK
NO

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

GIZI
BURUK

TB/BB

73 cm / 9 kg
81 cm / 9,6 kg
81,5 cm / 9,2
kg
58 cm / 7,4 kg
58 cm / 6,8 kg
68 cm / 9 kg
70 cm / 9 kg
55 cm / 9 kg
71 cm / 7,2 kg
76,5 cm / 7,2
kg
72 cm / 6,4 kg
78 cm / 7,4 kg
79 cm / 7,8 kg
75 cm / 7 kg
80 cm / 7 kg
68 cm / 5 kg

Jml

1
1
1

6,25
6,25
6,25

1
1
1
1
1

6,25
6,25
6,25
6,25
6,25

Jm
l

%
No

TB/BB

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

73 cm / 9 kg
81 cm / 9,6 kg
81,5 cm / 9,2 kg
58 cm / 7,4 kg
58 cm / 6,8 kg
68 cm / 9 kg
70 cm / 9 kg
55 cm / 9 kg
71 cm / 7,2 kg
76,5 cm / 7,2 kg
72 cm / 6,4 kg
78 cm / 7,4 kg
79 cm / 7,8 kg
75 cm / 7 kg
80 cm / 7 kg
68 cm / 5 kg

1
2
1
1

6,25
6,25

1
1
1
1
1
1

6,25
6,25
6,25
6,25
6,25
6,25

Usia 0 1
tahun

Usia 1 th
2 th

Jml
1
1
1
1
1
1
1
1

Jml

1
1
1
1
1
1
1

6,25
6,25
6,25
6,25
6,25
6,25
6,25

%
6,25
6,25
6,25
6,25
6,25
6,25
6,25
6,25

Pemberian
MP-ASI

Tabel 2. Distribusi usia berdasarkan


TB/BB
NO

diklasifikasikan sebagai berikut buruk,


kurang, baik, dan lebih.
Tabel 3. Distribusi pengaruh waktu
pemberian
MP-ASI
terhadap
kejadian gizi buruk dan gizi baik

6,25

3. Pengaruh pemberian MP ASI terhadap


kejadian diare
Kejadian KEP ditentukan berdasarkan
parameter BB/TB sehingga diperoleh
status
gizi
balita.
Status
gizi

Tepat waktu
Tidak tepat
waktu
Jumlah

Gizi buruk

Gizi baik

Jml

(%)

Jml

(%)

12,5

75

87,5

25

100

100

Dari hasil pendataan yang sudah


ditabulasi kemudian dimasukkan di dalam
program SPSS secara komputerisasi di
dapatkan hasil 0,041 lebih kecil dari 0,05
sehingga didapatkan adanya pengaruh
pemberian MP-ASI dini terhadap kejadian
KEP
PEMBAHASAN
1. Waktu pemberian MP ASI
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan dengan pengisian kuesioner
terdapat 8 responden sebagai kasus dan 8
responden sebagai kontrol diperoleh hasil
: pada kelompok kasus terdapat 1
responden (12,5%) memperoleh MP-ASI
tepat waktu sedangkan 7 responden
(87,5%) tidak tepat waktu. Pada kelompok
kontrol terdapat 6 responden (75%)
memperoleh MP-ASI tepat waktu, 2
responden (25%) tidak tepat waktu.
Pemberian MP-ASI yang terlalu dini
(tidak tepat waktu) pada kelompok kasus
yang menduduki prosentase terbesar
mungkin di pengaruhi oleh faktor sosial
dimana di wilayah Kota Kediri banyak
ibu-ibu yang masih mengikuti tradisi lama
yaitu pemberian makanan lembek pada
bayi
dengan
beranggapan
dapat
meningkatkan tumbuh kembang anaknya.
Atau juga karena kurangnya pengetahuan
ibu tentang manfaat MP-ASI yang hanya
sebagai pelengkap ASI bukan untuk
menggantikan
ASI.
Jadi
ibu-ibu

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

21

ISSN 2303-1433

beranggapan bahwa MP-ASI sebagai


makanan pelengkap kebutuhan bayi. Dan
bayi akan merasa kenyang dengan
makanan tambahan yang diberikan. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Soraya,
Luluk L (2005) bahwa banyak sekali
alasan mengapa orang tua memberikan
MP-ASI terlalu dini, umumnya banyak
ibu yang beranggapan kalau anaknya
kelaparan dan akan tidur nyenyak jika
diberi makan.
Namun disisi lain ada beberapa
kondisi yang menyebabkan pemberian
MP-ASI terlalu dini, seperti dalam
Sunartyo,
Nano
(2002)
yang
menyebutkan bahwa sebagian bayi
mungkin dapat tumbuh dengan normal
sampai umur 6 bulan hanya dengan ASI,
tetapi ada sebagian bayi yang memerlukan
banyak energi banyak energi dan zat-zat
gizi lain daripada yang terdapat dalam
ASI.
2. Kejadian KEP
Dari hasil penelitian diatas dapat
diketahui bahwa jenis kejadian KEP di
wilayah Kota Kediri adalah jenis KEP
buruk 8 orang (100%). Hal ini mungkin
dipengaruhi oleh adanya faktor sosial
ekonomi,
sehingga
mempengaruhi
gangguan dan penyimpangan pemberian
asupan gizi pada anak. Selain itu adanya
pantangan untuk menggunakan bahan
makanan tertentu (terutama terhadap
balita serta ibu hamil dan menyusui) yang
sudah turun temurun yang diperoleh dari
budaya keluarga juga dapat memicu
terjadinya KEP. Dan juga adanya budaya
pantang makanan bagi para ibu setelah
melahirkan sehingga para ibu tidak
memperoleh gizi yang cukup. Dengan
demikian bayi yang disusuinya tidak
mendapat ASI yang cukup energi dan
protein sedangkan pemberian pengganti
ASI maupun makanan tambahan lainnya
tidak dilakukan sesuai dengan kebutuhan
gizi anak. KEP merupakan salah satu
gangguan gizi akibat kurangnya asupan
energi dan protein. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Uripni, Vera (2004) yang

menyebutkan
bahwa
sebab-sebab
kurangnya asupan energi dan protein
antara lain makanan yang tersedia kurang
mengandung energi, nafsu makan anak
terganggu sehingga penyerapan sari
makanan
dalam
usus
terganggu,
kebutuhan yang meningkat, misalnya
karena penyakit infeksi yang tidak
diimbangi dengan asupan yang memadai.
3. Pengaruh pemberian MP ASI terhadap
kejadian KEP
Dari hasil analisa data dengan
menggunakan Fisher Exact Probability
Test dapatka nilai P hitung kurang dari 0,
05. Artinya ada pengaruh antara
pemberian MP-ASI dini dengan kejadian
KEP pada anak umur 0 24 bulan.
Banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya KEP pada anak, salah satu
diantaranya disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam
makanan yang dimakan sehari-hari. Selain
itu faktor ekonomi, sosial, budaya, dan
pemberian MP-ASI yang terlalu dini atau
tidak tepat waktu dapat mengakibatkan
terjadinya
malnutrisi
/
gangguan
pertumbuhan anak (KEP).
Dari beberapa kasus pemberian MPASI dini memang dapat menyebabkan
KEP. Hal ini disebabkan makanan yang
diberikan kurang mengandung energi dan
protein, seperti apa yang dikemukakan
Nano Sunartyo (2006) bahwa pemberian
MP-ASI hendaknya memenuhi beberapa
syarat yaitu makanan harus memiliki nilai
energi dan protein yang tinggi, bersifat
padat gizi dan berserat lunak, memiliki
nilai suplementasi yang baik, memiliki
komposisi vitamin dan mineral dalam
jumlah yang cukup, tidak hanya dapat
menimbulkan rasa kenyang saja, dapat
diterima oleh alat pencernaan bayi dengan
baik. Sebaiknya MP-ASI mulai diberikan
saat usia bayi 6 bulan, pada usia di bawah
6 bulan sistem pencernaan bayi belum
memenuhi enzim untuk mencerna
makanan. Pernyataan Luluk L Soraya
(2005) bahwa saat bayi berumur 6 bulan
ke atas sistem pencernaannya sudah relatif

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

22

ISSN 2303-1433

sempurna dan siap menerima MP-ASI,


mengurangi resiko terkena alergi akibat
pada makanan saat bayi berumur < 6
bulan, menunda pemberian MP-ASI
hingga 6 bulan melindungi bayi dari KEP
dan memberikan perlindungan ekstra dan
bebas dari berbagai penyakit.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil
analisa
yang
dilakukan
peneliti,
didapatkan hasil bahwa ada pengaruh
antara pemberian makanan pendamping
ASI (MP-ASI) dini terhadap kejadian
kekurangan energi protein (KEP), maka
peneliti dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut :
a. Pemberian Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI) di wilayah Kota
Kediri pada kelompok KEP
sebagian besar diberikan sebelum
pada usia 6 bulan sebanyak 87,5 %
dan pada kelompok tidak KEP
sebagian besar tepat waktu sebanyak
75 %.
b. Kejadian KEP di wilayah Kota
Kediri pada kelompok KEP (gizi
buruk) sebanayak 100 %
c. Ada pengaruh pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI) dini
terhadap kejadian kekurangan energi
protein (KEP) pada anak umur 0-24
bulan di wilayah Kota Kediri.
SARAN
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan di wilayah Kota Kediri selama
bulan September 2008 diharapkan :
a. Bagi Tempat Penelitian
1. Peningkatan kerjasama antara
dinas kesehatan dengan tenaga
kesehatan
setempat
dalam
memberikan informasi tentang
dampak pemberian MP-ASI dini
pada anak.
2. Perlunya peningkatan penyuluhan
tentang usia yang tepat untuk
memberikan
MP-ASI
yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan
kepada
masyarakat
setempat
(misalnya pada saat Posyandu).

3. Perlunya pemberian makanan


tambahan untuk anak yang sudah
mengalami KEP yang berkaiatan
dengan
program
setempat
(Puskesmas)
DAFTAR PUSTAKA
Suharsimi Arikunto. (2002). Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.
Arisman. (2004). Gizi Dalam Daur
Kehidupan. Jakarta : EGC.
Aritonang, I. 09 Februari 2005. Kurang
Energi
Protein.
http://www.info@gizi. net.com. 16
Agustus 2006.
E.Fajri. (2002). Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta : Fajar Mulya.
Iqbal Hasan. (2004). Analisis Data
Penelitian dengan Statistik, Jakarta:
PT. Bumi Aksara.
Widodo Judarwanto. 08 Juni 2005.
Kurang
Energi
Protein.
Http://www.info@ gizi.net.com.13
Februari 2006.
Damayanti R.Sjarif. (2007). Kapan Mulai
Memberi makanan Pendamping
ASI(1)
http://www.sahabatnestle.co.id/hom
ev2/main/infant/main.asp?page=arti
cle&id=1397
Dini Kasdu. (2005). Makanan Sehat
Untuk Bayi, Jakarta: 3G Publisher.
Dyah Krisnanuti. (2002). Menyiapkan
Makanan Pendamping ASI, Jakarta:
Puspa Swara.
Hamam Hadi. (2005). Beban Ganda
Masalah Gizi Dan Implikasi Nya
Terhadap Kebijakan Pembangunan
Kesehatan
Nasional
www.gizi.net/download/Beban%20
ganda%20masalah%20gizi.pdf
Moersintowarti B. Narendra (2002).
Tumbuh Kembang Anak dan
Remaja. Jakarta: Sagung Seto.
Y. Neney. 15 Juni 2005. Gizi Buruk,
Ancaman Generasi yang Hilang.
Http://www.manarchive.com/Balita-anda@Balitaanda.com. 9 Januari 2007.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

23

ISSN 2303-1433

Nestle. (1999). Energi Protein KEP dan


Pencegahannya.
Soekidjo
Notoatmodjo.
(2005).
Metodologi Penelitian Kesehatan,
Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan : Pedoman Skripsi,
Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan, Jakarta: Salemba
Medika.
Poppy Kumala, dkk. (1998). Kamus Saku
Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.
W.J.S. Poerwodarminto (2001). Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Tama.
Solihin Pudjiadi. (2001). Ilmu Gizi Klinis
Pada Anak, Jakarta: FKUI.
Tuti Soenardi. (2004). Makanan untuk
Tumbuh Kembang Bayi, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sudigdo Sastroasmoro. (1995). DasarDasar Metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta : Binarupa Aksara.
Luluk L. Soraya. 26 Maret 2005. Resiko
Pemberian
MP-ASI
Dini
.
Http://www.keluarga
syfaBlogspot.com.16 Agustus 2006.
Sugiyono. (2004). Metode Penelitian
Administrasi, Bandung : Alfabeta.
Sugiyono. (2004). Statistika Untuk
Penelitian, Bandung : Alfabeta.
Suhardjo. (2003). Pemberian Makanan
Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta.
Dina Agoes Sulistijani. (2001). Menjaga
Kesehatan Bayi dan Balita, Jakarta:
Puspa Swara.
Nano
Sunartyo.
(2005).
Panduan
Merawat
Bayi
dan
Balita.
Yogyakarta : Diva Press.
Supariasa, IDN. (2001). Penilaian Status
Gizi, Jakarta: EGC.
Vera Uripni. (2004). Menu Sehat untuk
Balita, Jakarta, Puspa Swara.
WHO. (2003). Pemberian Makanan
Tambahan,
Jakarta:
EGC.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

24

ISSN 2303-1433

HUBUNGAN POLA MENSTRUASI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA


REMAJA PUTRI KELAS VII SMPN 6 KEDIRI.
Yunarsih, Sumy Dwi Antono
ABSTRACT
Puberty is hormonal adolesence process which is signed with menstruation to girls
adolesence. In early menstruation allowed menstrual cycle has not been regular,either
excessive or menstrual cycle with longer interval. Excessively menstrual cycle causes the
increase of iron substance need. So if iron substance has not been fulfilled it will be
susceptible to happen anemia deficiency iron. The purpose of this research was to know
whether there was a correlation between the menstrual cycle and anemia in 7th grade
students of SMPN 6 kediri. Method which was used in the researchwas Survey Cross
Sectional. Population in the research were all girls 7th gradestudentsof SMPN 6 Kediri who
were taken suitable with inclusion criteria those were 80 students. Samples which were
needed, were taken with Simple Random Sampling technique with number 45 samples.
Data collecting was done by distributing questionnaire and cheking Hb. After data
collected then tabulated, it was entered in Fisher Exact formula. It was gotten value p = 0.4
> = 0.1, it mean there wasno a correlation between the menstrual cycle and anemia in 7th
grade students of SMPN 6 Kediri. Menstrual cycle is not the only reason for anemia. In
this research 7 from 11 respondents who anemia, they have IMT belower. So, consume
nutrition food can prevent anemia, although someone have excersive menstrual cycle.
Keyword : Anemia, Menstrual Cycle, Adolescence
Pendahuluan
Menstruasi adalah perdarahan secara
periodik dan siklik dari uterus yang
disertai dengan pelepasan (deskuamasi)
endometrium. Lama menstruasi biasanya
antara 3-5 hari, ada yang 1-2 hari diikuti
darah sedikit-sedikit kemudian, dan ada
yang sampai 7-8 hari (Wiknjosastro, 2009:
103).
Pola menstruasi yang dialami setiap
remaja putri berbeda-beda. Sekitar umur
menarche sampai umur 18 tahun,
memungkinan menstruasi belum teratur
(Manuaba, 2007: 209). Menstruasi yang
tidak teratur ini menunjukkan aksis
hipothalamus-hipofisis-ovarian
belum
sempurna
(Manuaba,
2007:
209).
Pelepasan telur (ovum) hanya terjadi satu
kali setiap bulan, yaitu sekitar hari ke-14
pada siklus menstruasi normal 28 hari
(Manuaba, 2009: 64).
Umumnya pada masa remaja siklus
menstruasinya
adalah
anovulatoir.
Menurut Benson (2009: 56-58) pada
siklus anovulatoir urutan tahapnya
berubah oleh variasi kadar estrogen saja.

Stimulasi
berlebihan
mengakibatkan
jumlah perdarahan ini biasanya lebih
banyak dibanding menstruasi normal
(ovulatoir).
Sebaliknya
kekurangan
estrogen menyebabkan perdarahan yang
lebih jarang dan jumlah darah yang hilang
lebih sedikit.
Cahyaningsih
(2011:
89)
mendefinisikan remaja sebagai masa
kanak-kanak menuju dewasa. Batasan usia
remaja menurut WHO (2007) adalah 1019 tahun (Kusmiran, 2011: 3). Pubertas
adalah suatu bagian dari masa remaja
diamana lebih ditekankan pada proses
biologis yang mengarah pada kemampuan
bereproduksi (Cahyaningsih, 2011: 90).
Menurut Wong (2009: 585) pubertas
adalah proses kematangan hormonal dan
pertumbuhan yang terjadi ketika organorgan reproduksi mulai berfungsi dan
karakteristik seks sekunder mulai muncul.
Remaja
putri
lebih
banyak
membutuhkan zat besi dari pada remaja
putra, karena remaja putri mengalami
menstruasi setiap bulannya (Adriani,
2012: 318). Menurut Gibney (2009: 282)

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

25

ISSN 2303-1433

wanita mengalami kehilangan besi akibat


menstruasi menyebabkan meningkatnya
kebutuhan rata-rata zat besi setiap harinya
sehingga zat besi yang harus diserap
adalah 1,4 mg per hari.
Menurut Cogswell (2009: 23) anemia
adalah keadaan dimana jumlah sel darah
merah di bawah normal (< 12 g/dl untuk
perempuan atau < 13 g/dl untuk laki-laki).
Sedangkan anemia defisiensi besi menurut
Handayani dan Haribowo (2008: 49)
adalah anemia yang timbul akibat
kosongnya cadangan besi tubuh, sehingga
penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang
yang
pada
akhirnya
pembentukan hemoglobin juga akan
berkurang.
Anemia merupakan masalah gizi yang
banyak terdapat diseluruh dunia. Bahkan
WHO menyebutkan bahwa anemia
merupakan 10 masalah kesehatan terbesar,
namun begitu kemajuan dalam penurunan
angka kejadian (prevalensi) masih dinilai
sangat rendah (Briawan, 2014: 3).
Defisiensi besi merupakan penyebab
utama anemia di dunia (50-80%). Pada
remaja data prevalensi anemia didunia
diperkirakan 46%, sedangkan dari laporan
Depkes prevalensi anemia pada remaja
putri di Indonesia 30% dan remaja pria
21% (Briawan, 2014: 5).
Menurut Depkes RI (2007) wanita
mempunyai resiko paling tinggi untuk
menderita anemia terutama remaja putri.
Wanita yang haid cenderung mengalami
defisiensi besi karena hilangnya besi
setiap bulan dan diet mungkin kekurangan
zat besi (Corwin, 2009: 427).
Rahmawati dkk (2008) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa ada
hubungan pola menstruasi dengan
kejadian anemia pada remaja putri di
SMK Negeri I Boyolali ditunjukkan
dengan nilai Value 0,000 artinya bahwa
ada hubungan yang sangat signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Fauziah
tahun 2011 menyebutkan bahwa ada
hubungan antara siklus menstruasi dengan
kejadian anemia dengan nilai p=0,025 dan
lama menstruasi dengan kejadian anemia

pada remaja putri di SMA Informatika


Ciamis dengan nilai p=0,026. Nursari
(2009) memaparkan bahwa menstruasi
yang tidak normal merupakan salah satu
faktor penentu kejadian anemia yang
dialami remaja putri di SMP Negeri 18
Kota
Bogor.
Prastika
(2011)
menyimpulkan ada hubungan negatif
antara lama menstruasi dengan kadar
hemoglobin. Artinya semakin lama
menstruasi akan semakin rendah kadar
hemoglobin (p=0,000)
Dinas Kesehatan Kota Kediri (2013)
mencatat angka kejadian anemia remaja
pada siswa SMP yaitu 123 siswa yang
tercatat sebagai siswa kelas VII,
sedangkan siswa SMA sebanyak 99 siswa
tercatat sebagai siswa kelas X. Dari total
kejadian anemia remaja kelas VII SMP
tertinggi pada SMPN 6 Kediri dengan
angka kejadian anemia 48 siswi.
Adriani (2012: 155) menyebutkan
bahwa anemia defisiensi besi dapat
berakibat pada penurunan kemampuan
berpikir dan perubahan tingkah laku.
Sedangkan Gibney (2009: 283) Anemia
defisiensi pada anak-anak sekolah dapat
mengganggu kemampuan belajar. Bukti
yang tersedia menunjukkan gangguan
pada psikomotor, kemampuan intelektual,
perubahan tingkah laku, dan penurunan
resistensi terhadap penyakit. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan pola menstruasi dengan
kejadian anemia pada remaja.
Metode Penelitian
Penelitian
ini
dilaksanakan
menggunakan rancangan survey cross
sectional. Populasi dalam penelitian ini
didapatkan dengan membagikan angket ke
semua siswi kelas VII SMPN 6 Kediri
yang terbagi dalam 10 kelas (kelas A
sampai J) yang ada selama 3 hari. Dari
jawaban angket tersebut kemudian peneliti
melakukan seleksi berdasarkan kriteria
inklusi, sehingga didapatkan 80 siswi
yang memenuhi kriteria sebagai populasi.
Sampel sebanyak 41 siswi kelas VII
SMPN 6 Kediri yang terbagi dari kelas A

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

26

ISSN 2303-1433

sampai J. Teknik pengambilan sampel


menggunakan Simple Random Sampling.
Penelitian dilakukan dalam satu hari pada
tanggal 4 Juni 2014 yang berlangsung
pada pukul 07.30-11.00 WIB. Teknik
pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan angket.
Hasil Penelitian
a) Analisis Univariat
a. Data Umum
1) Usia Remaja Putri

Berdasarkan gambar 2. disebutkan


bahwa dari 41 responden mengalami
menarche pada usia yang berbeda-beda,
meliputi: 1 responden (2,4%) mengalami
menarche pada usia 10 tahun, 4 responden
(9,8%) mengalami menarche pada usia 11
tahun, 29 (70,1%) mengalami menarche
pada usia 12 thaun, dan 7 responden
(17,1%) mengalami menarche pada usia
13 tahun. Usia menarche termuda adalah
10 tahun dan usia menarche tertua adalah
13 tahun dengan rata-rata usia menarche
adalah pada usia 12 tahun.
3) Status Gizi

Gambar 1. Diagram Batang Distribusi


Frekuensi Usia Remaja Putri Kelas VII
SMPN 6 Kediri
Berdasarkan gambar 1. diatas dapat
dijelaskan dari 41 responden didapatkan 1
responden (2,4%) berusia 12 tahun, 31
responden (75,6%) berusia 13 tahun, dan
9 responden (22%) berusia 14 tahun. Usia
termuda adalah 12 tahun dan usia tertua
adalah 14 tahun. Hasil analisis didapatkan
rata-rata usia remaja putri SMPN 6 Kediri
adalah 13 tahun.
2) Usia Menarche

Gambar 3. Diagram Batang Distribusi


Frekuensi Indikator Status Gizi pada
Remaja Putri Kelas VII SMPN 6 Kediri
Berdasarkan gambar 3 disebutkan
bahwa dari 41 responden terdapat 9
responden (22%) memiliki status gizi
kurus, 28 responden (68,2%) memiliki
status gizi normal, dan 4 responden (9,8)
memiliki status gizi gemuk. Rata-rata
status gizi remaja putri kelas VII SMPN 6
Kediri adalah 18,0 yang berarti normal.
b. Data Khusus
1) Pola Menstruasi

Gambar 2. Diagram Batang Distribusi


Frekuensi Usia Menarche pada Remaja
Putri Kelas VII SMPN 6 Kediri

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

27

ISSN 2303-1433

Gambar 4. Diagram Batang Distribusi


Frekuensi Pola Menstruasi Remaja Putri
Kelas VII SMPN 6 Kediri
Berdasarkan data dari gambar 4.
tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa
dari 41 responden didapatkan sebagian
besar
responden
mengalami
pola
menstruasi normal, yaitu 38 responden
(93%) dan 3 responden (7%) pola
menstruasi tidak normal.

harapan
pada
masing-masing
sel.
Arikunto (2010: 335) menyebutkan,
frekuensi harapan didapat melalui rumus
berikut:
( )
( )
( )

2) Kejadian Anemia

( )

Gambar 5. Diagram Batang Distribusi


Frekuensi Kejadian Anemia Remaja Putri
Kelas VII SMPN 6 Kediri
Berdasarkan data dari gambar 5.
tersebut diatas disebutkan bahwa dari 41
responden didapatkan 11 responden (27%)
mengalami anemia dan 30 responden
(73%) tidak mengalami anemia.
b) Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini
dilakukan sebagai berikut:
1) Data hasil penelitian yang ada
dimasukkan dalam tabel kontingensi
2x2 sebagai berikut:
Tabel Hubungan Pola Menstruasi dengan
Kejadian Anemia Remaja Putri Kelas VII
SMPN 6 Kediri
Pola Menstruasi

Normal
Tidak Normal
Total

Anemia
Anemia
Tidak
Anemia
10
28
1
2
11
30

Total

38
3
41

Dari
tabel
diatas
kemudian
melakukan perhitungan nilai frekuensi

Syarat penggunaan chi kuadrat 2x2


tabel adalah tidak ada satupun nilai fh<5.
Sehingga pada tabel diatas perhitungan
tidak dapat dilakukan karena terdapat dua
sel yang memiliki nilai fh < 5. Apabila
persyaratan chi kuadrat tidak terpenuhi,
maka analisis menggunakan uji fisher
exact. Dari perhitungan dapat ditarik
kesimpulan
bahwa
tidak
terdapat
hubungan pola menstruasi dengan
kejadian anemia pada remaja putri kelas
VII SMPN 6 Kediri (p=0,4>=0,1).
Pembahasan
Pola Menstruasi
Pola menstruasi adalah serangkaian
proses
menstruasi
meliputi
siklus
menstruasi,
lama
menstruasi,
dan
banyaknya darah yang keluar saat
menstruasi. Berdasarkan Gambar 4
tentang frekuensi pola menstruasi remaja
menunjukkan bahwa hampir seluruh
responden memiliki pola menstruasi
normal yaitu sebanyak 38 responden
(93%).
Salah satu faktor yang menyebabkan
pola menstruasi normal adalah usia
menarche yang awal. Ketika seorang
remaja mengalami menstruasi yang
pertama berarti hormon reproduksinya
mulai berfungsi. Hal ini dijelaskan oleh
teori yang disebutkan oleh Adriani (2012:
288) bahwa mulai berfungsinya sistem
reproduksi ditandai dengan datangnya

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

28

ISSN 2303-1433

haid yang pertama. Pada penelitian ini


responden mengatakan rata-rata telah
mengalami menarche pada usia 12 tahun,
sedangkan rata-rata usia responden dalam
penelitian ini adalah 13 tahun. Usia
menarche yang datang lebih awal tersebut
memungkinkan pada usia 13 tahun ini
remaja putri tersebut telah memiliki pola
menstruasi normal karena kemungkinan
hormon-hormon
menstruasi
sudah
terbentuk sempurna. Dengan kata lain
responden yang memiliki pola menstruasi
yang tidak normal kemungkinan fungsi
hormon reproduksinya belum sempurna.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh teori
Manuaba (2007: 209) bahwa menstruasi
yang tidak teratur menunjukkan aksis
hipotalamus-hiposisis-ovarium
belum
sempurna. Sebagian besar responden
penelitian ini mengalami menstruasi pada
usia 12 tahun. Menarche pada usia 12
tahun masih dalam rentan usia yang wajar.
Menurut Manuaba (2007: 160) menarche
muncul pada usia 12-13 tahun.
Pada penelitian ini terdapat 3
responden
(7%)
mengalami
pola
menstruasi tidak normal. Tiga responden
yang memiliki pola menstruasi tidak
normal tersebut mengalami perdarahan
yang berlebih baik dari lama menstruasi
atau banyaknya darah yang keluar saat
menstruasi. Pada pola menstruasinya
remaja memiliki siklus menstruasi
anovulatoir dimana prosesnya bergantung
pada kerja hormonal. Benson (2009: 5658) menjelaskan pada siklus anovulatoir,
bila stimulasi estrogen berlebihanakan
menyebabkan perdarahan yang tidak
teratur dan
jumlah perdarahan ini
biasanya lebih banyak. Hal ini masih
dianggap wajar pada usia remaja, karena
pada usia remaja kemungkinan hormonhormon
menstruasi
masih
belum
sempurna. Seiring bertambahnya usia
maka remaja fungsi hormon reproduksi
akan sempurna sehingga akan memiliki
pola menstruasi yang normal.
Faktor lain yang dapat menyebabkan
pola menstruasi tidak normal adalah
faktor stres. Stres adalah suatu reaksi fisik

dan psikis terhadap setiap tuntutan yang


menyebabkan
ketegangan
dan
mengganggu stabilitas kehidupan seharihari (Hidayat, 2009).
Pengambilan data penelitian ini
dilakukan
pada
saat
menjelang
pelaksanaan UAS. Ujian merupakan hal
penting bagi seorang siswi karena
merupakan penentu keberhasilan proses
pembelajaran. Ujian tersebut juga sebagai
penentu seorang siswi dinyatakan naik
kelas atau tinggal kelas. Keadaan tersebut
dapat memberikan tekanan tersendiri bagi
siswi SMPN 6 Kediri, sehingga dapat
memicu timbulnya stres bagi siswi SMPN
6 Kediri baik. Stres dapat menstimulasi
pelepasan hormon CRH (Corticotropic
Releasing
Hormone).
CRH
ini
menstimulasi pelepasan hormon ACTH
(Adrenocorticotropic Hormone). Hormonhormon tersebut secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi kadar
GnRH, sehingga melalui proses inilah
stress dapat menyebabkan gangguan
menstruasi
baik
oligomenorea,
polimenorea atau amenorea. Pendapat ini
dikuatkan oleh penelitian Isnaeni (2010)
menyatakan bahwa terdapat hubungan
secara positif antara stres dengan pola
menstruasi pada mahasiswa D IV
Kebidanan jalur reguler Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Anemia
Parameter yang sering digunakan
sebagai pengukur status besi adalah
hemoglobin (Hb). Seseorang remaja putri
dapat dikatakan anemia bila kadar Hb <
12g/dl. Adriani (2012: 336) menjelaskan
jenis anemia yang paling sering timbul
adalah kekurangan zat besi, yang terjadi
bila kita kehilangan banyak darah dari
tubuh (baik menstruasi atupun perdarahan
luka).
Berdasarkan data hasil penelitian
didapatkan hasil kadar Hb remaja putri
kelas VII SMPN 6 Kediri bekisar antara
9,1 -17,0 g/dl dengan frekuensi kejadian
anemia adalah 11 responden (27%) dari
41 responden. Jika dibandingkan dengan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

29

ISSN 2303-1433

prevalensi kejadian anemia di SMPN 6


Kediri pada tahun 2013 sebesar 39%, hal
ini terlihat adanya penurunan prevalensi.
Hasil penelitian ini menunjukkan
masih ada masalah kesehatan walaupun
sudah
terlihat
adanya
penurunan
prevalensi. Menurut MOST (2004) dalam
Briawan (2014: 3) berdasarkan klasifikasi
masalah kesehatan masyarakat, prevalensi
kejadian anmeia di SMPN 6 Kediri
termasuk sedang (20-39%). Oleh karena
itu perlu adanya tindakan penanggulangan
anemia pada remaja putri SMPN 6 Kediri
agar angka kejadian anemia dapat ditekan
pada tahun mendatang.
Menstruasi yang dialami oleh remaja
putri setiap bulan merupakan salah satu
faktor penyebab anemia. Menstruasi pada
remaja putri memberikan beban ganda
pada tubuhnya, karena disamping
mengalami pertumbuhan yang pesat
remaja mengeluarkan darah setiap bulan.
Keluarnya darah dari tubuh remaja putri
saat
menstruasi
mengakibatkan
hemoglobin yang terkandung dalam sel
darah merah juga ikut terbuang, sehingga
cadangan zat besi dalam tubuh berkurang.
Berkurangnya cadangan zat besi dalam
tubuh ini dapat mengakibatkan anemia.
Briawan (2014: 19) menjelaskan bahwa
rata-rata kehilangan darah menstruasi 84
ml, dengan asumsi kehilangan Hb 133 g/l,
sehingga remaja putri membutuhkan
tambahan zat besi 0,56 mg/hari. Pendapat
ini dikuatkan oleh pernyataan Corwin
(2009) bahwa wanita yang haid cenderung
mengalami
defisiensi
besi
karena
hilangnya besi setiap bulan.
Faktor lain yang mungkin menjadi
penyebab anemia adalah konsumsi gizi,
pola makan, serta pemilihan makanan
yang salah juga dapat memicu timbulnya
anemia pada remaja. Hasil penelitian ini
menyebutkan bahwa dari 11 responden
yang mengalami anemia, 7 diantaranya
memiliki status gizi kurus. Makanan yang
dikonsumsi remaja setiap harinya
mempengaruhi kebutuhan gizi dalam
tubuh.

Selain faktor-faktor diatas, aktivitas


fisik yang tinggi juga dapat menyebabkan
meningkatnya kebutuhan zat besi. Remaja
di SMPN 6 Kediri memiliki aktivitas fisik
yang tergolong tinggi. Disamping proses
pembelajaran, remaja SMPN 6 Kediri
memiliki aktifitas fisik tambahan dengan
mengikuti ekstrakulikuler. SMPN 6 Kediri
memiliki ekstrakulikuler yang beragam
misalnya:pencak silat, KIR (Karya Ilmiah
Remaja), KIA (Kajian Ilmu Agama),
paduan suara, karawitan, tari, PMR
(Palang Merah Remaja), basket, dll. Siswi
SMPN 6 Kediri diperbolehkan untuk
mengikuti lebih dari satu ekstrakulikuler.
Aktivitas fisik yang tinggi menyebabkan
tubuh membutuhkan energi lebih banyak.
Menurut teori Corwin (2009: 427) Wanita
yang menstruasi dan berolahraga memiliki
peningkatan risiko karena olahraga
meningkatkan kebutuhan metabolik selsel otot.
Hubungan pola menstruasi dengan
kejadian anemia
Pada usia pubertas, remaja putri akan
mengalami pengeluaran darah setiap
bulannya yang disebut dengan menstruasi.
Pola menstruasi yang dialami remaja
umumnya belum teratur, sehingga
memungkinkan
remaja
mengalami
pengeluaran darah berlebih pada saat
menstruasi.
Berdasarkan uji statistik dengan
menggunakan uji fisher exact dapat ditarik
kesimpulan
bahwa
tidak
terdapat
hubungan antara pola menstruasi dengan
kejadian anemia pada remaja putri kelas
VII di SMPN 6 Kediri yang ditunjukkan
dengan nila p=0,4 >=0,1.
Pada tabel kontingensi hubungan pola
menstruasi dengan kejadian anemia telah
disebutkan bahwa terdapat 11 responden
yang mengalami anemia dengan satu
responden memiliki pola menstruasi tidak
normal. Anemia yang dialami oleh
responden dengan pola menstruasi tidak
normal ini disebabkan karena terjadi
pengeluaran
darah
yang
berlebih,
sehingga hemoglobin yang terkandung

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

30

ISSN 2303-1433

dalam sel darah merah juga ikut terbuang


seiring
dengan
keluarnya
darah
menstruasi. Kehilangan darah berlebih ini
menyebabkan hemoglobin dalam tubuh
menurun yang disebut dengan anemia. Hal
ini sejalan dengan teori yang disebutkan
oleh Winknjosastro (2009) bahwa pada
wanita dengan anemia defisiensi besi
jumlah darah haidnya lebih banyak.
Dalam penelitiannya, Prastika (2011) juga
memaparkan bahwa semakin lama wanita
mengalami menstruasi maka semakin
banyak pula darah yang keluar dan
semakin banyak kehilangan timbunan
besi.
Pola menstruasi bukan satu-satunya
faktor
penyebab
anemia.
Gibney
(2009:283) menyebutkan faktor resiko
anemia meliputi: peningkatan kehilangan
(menstruasi), simpanan zat besi yang
buruk, ketidak cukupan gizi, dan
peningkatan kebutuhan. Berdasarkan tabel
3.2 tentang tabel kontingensi hubungan
pola menstruasi dengan kejadian anemia,
dari tiga respon yang mengalami pola
menstruasi tidak normal terdapat dua
responden tidak mengalami anemia. Jika
ditinjau dari status gizi yang juga
merupakan faktor yang mempengaruhi
anemia, dua responden ini memiliki status
gizi lebih baik tinggi dari pada satu
responden dengan pola menstruasi tidak
normal
yang
mengalami
anemia.
Sedangkan dari 10 responden yang
mengalami
anemia
namun
pola
menstruasinya normal ini menunjukkan
bahwa terdapat 7 responden memiliki
indikator status gizi kurang dari normal.
Dari data tersebut peneliti berpendapat
bahwa kejadian anemia pada 10
responden tersebut disebabkan oleh status
gizi yang kurang baik. Pernyataan ini
dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan
oleh Rumpiati (2010) yang menyatakan
ada hubungan antara status gizi dengan
kejadian anemia. Dengan kata lain
walaupun seseorang memiliki pola
menstruasi yang berlebihan namun tetap
diimbangi dengan konsumsi gizi yang
baik dapat menghindari kejadian anemia.

Penelitian
ini
sejalan
dengan
penelitian Kirana (2011) yang menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antara pola
menstruasi dengan kejadian anemia
dengan
nilai
p=
0,789.
Dalam
penelitiannya, Kirana menyebutkan faktor
yang berhubungan dengan anemia adalah
asupan zat gizi, asupan vitamin A, asupan
vitamin C, dan asupan zat besi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh
Yamin (2012) juga menyatakan tidak ada
hubungan antara pola menstruasi dengan
kejadian anemia gizi besi pada remaja
putri di SMA Kab. Kepulauan Selayar
Tahun 2012. Dari uji statistik yang
dilakukan pada penelitian tersebut
diperoleh
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
anemia
meliputi:
pengetahuan remaja, asupan protein,
asupan zat besi, pekerjaan ayah, pekerjaan
ibu, dan tingkat pendidikan ayah.
Hasil penelitian lain yang sejalan
dengan penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Siahaan (2012) yang
mengatakan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara pola haid
dengan kejadian anemia pada remaja putri
di Wilayah Kota Depok tahun 2011
dengan nilai p = 0,756. Penelitian ini
menyebutkan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
anemia
meliputi:
pengetahuan remaja, asupan protein,
asupan zat besi, pekerjaan ayah, pekerjaan
Ibu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian ini adalah
Hampir seluruh responden mengalami
pola menstruasi normal, Hampir sebagian
responden mengalami anemia dan Tidak
terdapat hubungan pola menstruasi dengan
kejadian anemia pada remaja putri kelas
VII SMPN 6 Kediri.
Saran Bagi Tempat Penelitian
diharapkan SMPN 6 Kediri membina
kerjasama dengan puskesmas setempat
dalam
upaya
pencegahan
dan
penanggulangan anemia pada remaja putri
di SMPN 6 Kediri. Pencegahan anemia

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

31

ISSN 2303-1433

dapat
dilakukan
sebagai
berikut:
Melakukan penyuluhan rutin tentang
pencegahan anemia dua kali dalam satu
tahun, Anjuran mengkonsumsi tablet
tambah darah sekali dalam seminggu
dengan 60 mg dan jika remaja sedang
dalam masa haid, dianjurkan untuk
meminum tablet tambah darah sekali
sehari selama sepuluh hari.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M. 2012. Peranan Gizi dalam
Siklus Kehidupan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Adriani dan Wirjatmadi. 2012. Pengantar
Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian :
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Aris dkk. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia
Untuk
Mahasiswa
Kebidanan.
Jakarta: TIM
Bakta, IM. 2013. Hematologi Klinik
Ringkas. Jakarta: EGC
Benson, RC. 2009. Buku Saku obstetri
dan Ginekologi. Jakarta: EGC
Betz, CL dan Sowden, LA. 2009. Buku
Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta:
EGC
Briawan, D. 2014. Anemia Masalah Gizi
pada Remaja Wanita.Jakarta: EGC
Cahyaningsih, DS. 2011. Pertumbuhan
Perkembangan Anak dan Remaja.
Jakarta: TIM
Coad dan Dunstall. 2007. Anatomi dan
Fisiologi untuk Bidan. Jakarta: EGC
Cogswell, M.2009. The Iron Disorders
institute Guide to Anemia. United
States: Cumberland House an
imprint of Sourcebooks
Corwin, EJ. Buku Saku Patofisiologi.
2009.Jakarta: EGC
Farida, I.2007. Determinan Kejadian
Anemia pada Remaja Putri di
Kecamatan
Gebog
Kabupaten
Kudus.
Semarang:
Universitas
Diponegoro. Diunduh tanggal 23
Februari

<<http://eprints.undip.ac.id/17704/>
>
Fauziah, D dkk. 2011. Hubungan Antara
Pola Menstruasi dan Konsumsi Zat
Besi dengan Kejadian Anemia pada
Remaja Putri di SMA Informatika
Ciamis. Tasikmalaya: Universitas
Siliwangi Tasikmalaya. Diunduh
tanggal
30
Desember
2013
<<journal.unsil.ac.id/download.php?
id= 64321>>
Gibney, J. Michael dkk. 2009. Gizi
Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC
Handayani, W dan Haribowo, AS. Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan
gangguan Sistem Hematologi. 2008.
Jakarta: Salemba Medika
Hardjito,
K.
2012.
Pengantar
Biostatistika.
Magetan:
Forum
Ilmiah Kesehatan
Hermawanto, H. 2010. Menyiapkan Karya
Tulis Ilmiah. Jakarta : TIM
Hidayat, DR. 2009. Ilmu perilaku
manusia. Jakarta: TIM
Isnaeni, DN. 2010. Hubungan Antara
Stres dengan Pola Menstruasi pada
Mahasiswa DIV Kebidanan Jalur
Reguler universitas Sebelas Maret
Surakarta. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret. Diunduh tanggal 10
Juli
2014
<<http://www.sharepdf.com/b30bb3
2fa19447f1ab77b9e52934945c/
12345251.htm>>
Kirana, DP. 2011. Hubungan Asupan Zat
Gizi dan Pola Menstruasi dengan
Kejadian Anemia pada Remaja
Putri di SMAN 2 Semarang.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Diunduh tanggal 23 Februari 2014
<<http://eprints.undip.ac.id/32594/1
/395_Dian_Purwitaningtyas_Kirana
_G2C007022.pdf>>
Kuniasih, dkk. 2010. Sehat & Bugar
Berkat Gizi Seimbang. Jakarta:
Gramedia. Diunduh tanggal 6 Juli
2014
<<http://manjilala.info/pengukuranstatus-gizi-pada-remaja/>>

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

32

ISSN 2303-1433

Kusmiran, E. 2011.Kesehatan Reproduksi


Remaja
dan
Wanita.Jakarta:
Salemba Medika
Manuaba, IAC. 2009. Memahami
Kesehatan Reproduksi Wanita Edisi
2. Jakarta:EGC
Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah
Obstetri. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi
Penelitian
Kesehatan.
Jakarta:
Rineka Cipta
Nursari, D. 2009. Gambaran Kejadian
Anemia pada Remaja Putri SMP
Negeri 18 Kota Bogor. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Diunduh tanggal 23
Februari
2014
<<http://tulis.uinjkt.ac.id/opac/them
es/
katalog/detail.jsp?id=95277&lokasi
=lokal>>
Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
Prastika, DA. 2011. Hubungan Lama
Menstruasi
terhadap
Kadar
hemoglobin pada Remaja Siswi
SMAN 1 Wonosari. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret. Diunduh
tanggal
23
Februari
2014
<<http://eprints.uns.ac.id/4881/>>
Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Rahayu, DE dkk.2013.Pedoman Ujian
Akhir Program.Malang: Politeknik
Kesehatan Kemenkes Malang
Rahmawati, Alfiah dkk. 2008. Hubungan
Pola Menstruasi dengan Kejadian
Anemia pada Remaja Putri di SMK
Negeri 1 Boyolali. Boyolali: Akbid
Estu Utomo Boyolali. Diunduh
tanggal
14
Desember
2013
<<http://diglib.akbideub.ac.id/gdl.ph
p?mod=browse&op=read&id=akbid
eub--alfiahrahm-37>>
Robbins dan Cotran. 2010. Dasar
Patologis Penyakit Edisi 7. Jakarta:
EGC

Rudolph, AM dkk. 2007. Buku Ajar


Pdiatri Rudolph Edisi 20 Volume 2.
Jakarta: EGC
Rumpiati, dkk. 2010. Hubungan Antara
Status Gizi dengan Kejadian
Anemia pada Remaja Putri Kelas XI
SMA Muhammadiyah Kota Madiun.
Madiun:
Akademi
Kebidanan
Muhammadiyah Madiun. Diunduh
tanggal
11
Juli
2014
<<http://medikes.webs.com/statusgi
zi-anemia.pdf>>
Rukiyah, AY. 2010. Asuhan Kebidanan
IV (Patologi Kebidanan). Jakarta:
TIM
Siahaan, NR. 2012. Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Status anemia
pada Remaja Putri di wilayah Kota
Depok tahun 2011 (Analisis Data
Sekunder Survey Anemia Remaja
Putri Dinas Kesehatan Kota Depok
Tahun 2011). Depok: universitas
Indonesia. Diunduh tanggal
14
Desember
2013
<<http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/
20293028-SNahsty%20Raptauli%20
Siahaan.pdf>>
Sibagariang, EE. 2010. Kesehatan
reproduksi Wanita. Jakarta: TIM
Supariasa. 2012. Penilaian Status Gizi.
Jakarta: EGC
Suyanto dan Salamah, U. 2009. Riset
Kebidanan Metodologi & Aplikasi.
Yogyakarta: Mitra Cendekia Press
Winknjosastro, H. 2009. Ilmu Kandungan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Wong, DL. 2009. Buku Ajar Keperawatan
Pediatrik Volume 1. Jakarta: EGC

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

33

ISSN 2303-1433

PENGARUH ROM EXERCISE DINI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR


EKSTREMITAS BAWAH (FRAKTUR FEMUR DAN FRAKTUR CRURIS)
TERHADAP LAMA HARI RAWAT DI RUANG BEDAH RSUD GAMBIRAN
KOTA KEDIRI
Yunanik Esmi Dwi Lestari
Abstract
Fracture is a cutting of bone continuity. ORIF (Open Reduction and Internal
Fixation) is one of therapy management from fracture. The lack of mobility to the post
ORIF patient infact to recovery injury process cannot go on perfectly. Of course this
condition will influence the length of patient treatment day in the hospital. Rehabilitation
that can be done by nurse to the post ORIF patient is by early ROM Exercise. This
objective research is to know the influence early ROM Exercise to post operation low
fracture extremity patient (femur fracture and cruris fracture) to the length of treatment
day in Surgery Room RSUD Gambiran Kediri City. Research design that is used is PreExperiment by approach Postest Only Control Group Design. The population is the post
operation low extremity fracture patient (femur fracture and cruris fracture) who is treated
in Surgery Room by 30 respondent sample taken by purposive sampling technique. The
free variable is early ROM Exercise and bound variable is the length of treatment day post
operation low fracture extremity patient (femur fracture and cruris fracture). The data is
gotten by observation, clarified by ratio scale, analyzed by Independent T-test (experiment)
with SPSS 16. Based on research result (out put result) is gotten that length of treatment
day most of respondent that is done early ROM Exercise is 4 days, they are 10 respondent
(67%) and almost a half of respondent who are not done early ROM Exercise is 6 days,
they are 6 respondent (40%). Based on Independent T-test Experiment shown the big
significance number is 0,000 < = 0,05. Being concluded that there is influence early
ROM Exercise to the post operation low extremity fracture patient (femur fracture and
cruris fracture)to the length of treatment day in Surgery Room RSUD Gambiran Kediri
City. Post ORIF patient needs being done early ROM Exercise so that blood circulation
can be fluent, accelerate recovery wound healing process and reduce the length of
treatment day.
Key word : Early ROM Exercise, length of treatment day, post ORIF patient.
Pendahuluan
Fungsi
utama
rumah
sakit
sebagaimana yang telah digariskan dalam
Sistem Kesehatan Nasional adalah
menyelenggarakan upaya kesehatan yang
bersifat penyembuhan dan pemulihan,
yang perlu di atur sedemikian rupa
sehingga
mampu
memanfaatkan
sumberdaya yang tersedia dengan lebih
berdaya guna (efisien) dari berhasil guna
(efektif). Dalam kaitan dengan efisien
rumah sakit, lama hari rawat (LOS)
merupakan suatu hal yang perlu mendapat
perhatian, karena merupakan salah satu
unsur dari rangkaian parameter yang di

pakai dalam menilai efesiensi pengelolaan


rumah sakit. Sebagian besar rumah sakit
menunjukkan pelayanan yang tidak efisien
sebagai salah satu sumber peningkatan
biaya, sementara kwalitas pelayanan
kesehatan di rumah sakit menjadi sebuah
hak yang sama untuk seluruh pasien
terutama
pada kasus-kasus operasi
(Santi, 2007).
Lama hari rawat pasien pasca operasi
adalah hari rawat pasien sejak menjalani
operasi sampai pada saat pasien
dipulangkan. Apabila terjadi komplikasi
khususnya komplikasi setelah operasi
perlu mendapat perhatian yang besar

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

34

ISSN 2303-1433

karena beberapa komplikasi dapat tejadi


setelah operasi dan apabila tidak ditangani
dengan baik, maka lama hari rawat pasien
akan menjadi panjang yang akhirnya
dapat menyebabkan dampak pada
peningkatan biaya perawatan (Corwin &
Elizabeth J, 2001). Hal ini juga bisa
terjadi pada pasien post operasi fraktur.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Salah satu prosedur pembedahan
yang sering dilakukan pada kasus fraktur
adalah reduksi terbuka dengan fiksasi
interna (ORIF, Open Reduction and
Internal Fixation) (Brunner & Suddarth,
2002).
ORIF
merupakan
salah
satu
manajemen terapeutik dari fraktur.
Berdasarkan data medical record dari
RSUD Gambiran Kediri menunjukkan
total pasien yang mengalami fraktur
ekstremitas bawah tahun 2010 sebanyak
323 pasien, khusus dari Ruang Bedah 267
pasien dan pasien yang menjalani ORIF
209 pasien (78,28%). Sedang dari hasil
studi pendahuluan di Ruang Bedah pada
bulan Juli 2011 sampai dengan bulan
September 2011 ada 36 pasien fraktur
ekstrimitas bawah yang menjalani ORIF,
di mana ada sebagian besar dari mereka
yang mengalami komplikasi pasca operasi
yaitu bengkak atau edema, kesemutan,
nyeri dan pucat pada anggota gerak yang
di operasi. Dari hasil wawancara dan
observasi
di
dapat
kemungkinan
komplikasi tersebut terjadi dikarenakan
pasien tidak mau atau kurang melakukan
mobilisasi sehingga peredaran darah tidak
lancar dan akhirnya berdampak pada
proses
penyembuhan
luka
(vaskularisasi,inflamasi, proliferasi dan
granulasi) tidak dapat berlangsung
maksimal. Tentunya kondisi ini akan
mempengaruhi lama keberadaan pasien di
rumah sakit atau lama perawatan pasien
(Perry & Potter. 2005). Sedangkan dari
data dokumentasi ruangan (Ruang Bedah)
pada bulan Juli 2011 sampai dengan bulan
September 2011 diperoleh rata-rata lama
hari rawat dari pasien yang menjalani

operasi fraktur ekstremitas bawah adalah


5 sampai 7 hari setelah operasi.
Selama ini yang terjadi di ruangan
(Ruang Bedah) pada pasien post ORIF
jarang yang dilakukan mobilisasi oleh
perawat,
perawat
hanya
sekedar
menganjurkan
pada
pasien
untuk
melakukan mobilisasi dengan menggerakgerakkan anggota badan yang di operasi.
Akan tetapi karena ketidaktahuan pasien
akan pentingnya mobilisasi pasien justru
takut melakukan mobilisasi sehingga
berdampak pada banyaknya keluhan yang
muncul pada pasien post ORIF seperti
bengkak
atau
edema,
kesemutan,
kekakuan sendi, nyeri dan pucat pada
anggota gerak yang di operasi. Disamping
itu akhir-akhir ini yang terjadi di ruangan
(Ruang Bedah) tidak semua pasien yang
menjalani operasi dilakukan fisioterapi,
tetapi hanya kasus-kasus post operasi
tertentu saja seperti post operasi
laminektomy dan post operasi AMP
(Austin Moore Prosthesis) yang dilakukan
fisioterapi oleh petugas fisioterapi.
Melihat fenomena di atas maka
adalah tugas bersama antara dokter,
terapis, dan perawat untuk memberi
penjelasan pada pasien
post ORIF,
bahwa mobilisasi selama masih dalam
batas terapeutik sangat menguntungkan.
Latihan
dalam
batas
terapeutik
diantaranya latihan aktif meliputi menarik
pegangan di atas tempat tidur, fleksi dan
ekstensi kaki, dan latihan rentang gerak
atau menahan beban bagi sendi yang
sehat, pada ekstremitas yang diimobilisasi
dilakukan latihan isometrik, latihan
kuadrisep dan pengesetan gluteal untuk
menjaga kekuatan otot besar yang penting
untuk berjalan (Brunner & Suddarth,
2002).
Salah
satu
keuntungan
menjalankan rehabilitasi post ORIF adalah
untuk mencegah terjadinya komplikasi
yang merugikan bagi pasien di samping
mempercepat kesembuhan. Peran perawat
sebagai edukator dan motivator kepada
klien diperlukan guna meminimalkan
suatu komplikasi yang tidak diinginkan
(Ichanners, 2009). Tidak berhenti disitu,

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

35

ISSN 2303-1433

perawat juga menjadi ujung tombak dalam


pelayanan
kesehatan
pada
klien.
Rehabilitasi yang dapat dilaksanakan
perawat diantaranya ROM (Range Of
Motion), nafas dalam batuk efektif dan
yang penting untuk mengaktifkan
kembali fungsi
neuromuskular
dan
mengeluarkan sekret dan lendir (Unej,
2009).
Bagaimanakah Pengaruh ROM
Exercise Dini Pada Pasien Post Operasi
Fraktur Ekstremitas Bawah (Fraktur
Femur Dan Fraktur Cruris) Terhadap
Lama Hari Rawat Di Ruang Bedah RSUD
Gambiran Kota Kediri.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh ROM Exercise dini
pada pasien post operasi fraktur
ekstremitas bawah (fraktur femur dan
fraktur cruris) terhadap lama hari rawat
di Ruang Bedah RSUD Gambiran Kota
Kediri.
Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini Pra-Eksperimen
dengan Perbandingan Kelompok Statis
(Static Group Comparasion) dengan
observasi yang dilakukan Postest Only
Control Group Design yaitu peneliti
mengukur pengaruh perlakuan (intervensi)
pada kelompok eksperimen dengan cara
membandingkan
kelompok
tersebut
dengan kelompok kontrol. Populasi dalam
penelitian Semua pasien post operasi
fraktur ekstremitas bawah (fraktur femur
& fraktur cruris) yang di rawat di Ruang
Bedah RSUD Gambiran Kota Kediri
yaitu sebanyak 37 pasien Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan
purposive
sampling.
Variabel
Independent/bebas dalam penelitian ini
adalah ROM Exercise dini. Variabel
Dependent/ terikat pada penelitian ini
adalah lama hari rawat pasien post operasi
fraktur ekstremitas bawah. Untuk menguji
pengaruh ke dua variabel menggunakan
analisa Data Dengan Independent T-test
menggunakan taraf nyata ( = 0,05).
Pengolahan data menggunakan komputer
dengan program SPSS 16 under windows.

Jika nilai value > 0,05 () maka Ho


diterima, dan jika nilai value < 0,05 ()
maka Ho ditolak yang artinya ada
pengaruh ROM Exercise dini pada pasien
post operasi fraktur ekstremitas bawah
(fraktur femur dan fraktur cruris) terhadap
lama hari rawat di Ruang Bedah RSUD
Gambiran Kota Kediri.
Hasil Penelitian
1. Lama Hari Rawat Responden Post
Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah
(Fraktur Femur Dan Fraktur Cruris)
Yang Tidak Dilaksanakan ROM
Exercise Dini Di Ruang Bedah RSUD
Gambiran Kota Kediri

2 (13%)
3 (20%)

1 (7%)
3 (20%)

6 (40%)

4
Hari
5
Hari
6
Hari
7
Hari

Sumber : Data hasil penelitian


Diagram 1 Lama Hari Rawat
Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas
Bawah (Fraktur Femur Dan Fraktur
Cruris) Yang Tidak Dilaksanakan ROM
Exercise Dini Di Ruang Bedah RSUD
Gambiran Kota Kediri
Berdasarkan diagram 1 diketahui
hampir setengah dari responden post
operasi fraktur ekstremitas bawah (fraktur
femur dan fraktur cruris) yang tidak
dilaksanakan ROM Exercise dini lama
hari rawatnya adalah 6 hari yaitu 6
responden (40%).
2. Lama Hari Rawat Responden Post
Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah
(Fraktur Femur Dan Fraktur Cruris)
Yang Dilaksanakan ROM Exercise
Dini Di Ruang Bedah RSUD
Gambiran Kota Kediri

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

36

ISSN 2303-1433

1 (7%)
3 Hari

4 (27%)
4 Hari

10 (67%)

5 Hari

Sumber : Data hasil penelitian


Diagram 2 Lama Hari Rawat Pasien
Post Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah
(Fraktur Femur Dan Fraktur Cruris) Yang
Dilaksanakan ROM Exercise Dini Di
Ruang Bedah RSUD Gambiran Kota
Kediri
Berdasarkan diagram 2 diketahui
sebagian besar lama hari rawat dari
responden post operasi fraktur ekstremitas
bawah (fraktur femur dan fraktur cruris)
yang dilaksanakan ROM Exercise dini
adalah 4 hari yaitu 10 responden (67%).
Berdasarkan uji SPSS 16 under
windows menggunakan uji Independent
T-test menunjukkan bahwa besarnya
angka signifikansi sebesar 0,000 < =
0,05, sehingga Ho ditolak. Jadi dapat
disimpulkan adanya Pengaruh ROM
Exercise Dini Pada Pasien Post Operasi
Fraktur Ekstrimitas Bawah (Fraktur
Femur dan Fraktur Cruris) Terhadap
Lama Hari Rawat di Ruang Bedah RSUD
Gambiran Kota Kediri.
Pembahasan
A. Lama Hari Rawat Pada Pasien Post
Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah
(Fraktur Femur Dan Fraktur Cruris)
Yang Tidak Dilaksanakan ROM
Exercise Dini.
Didapatkannya hampir setengah dari
responden post operasi fraktur ekstremitas
bawah lama hari rawatnya 6 hari
disebabkan karena kebanyakan pasien
merasa takut untuk bergerak setelah
pembedahan ortopedi (Brunner &
Suddart, 2002). Dan kebanyakan dari

pasien masih mempunyai kekhawatiran


kalau tubuh digerakkan pada posisi
tertentu pasca operasi akan mempengaruhi
luka operasi yang masih belum sembuh
yang baru saja selesai dikerjakan. Padahal
tidak sepenuhnya masalah ini perlu
dikhawatirkan, bahkan justru hampir
semua jenis operasi membutuhkan
mobilisasi atau pergerakan badan sedini
mungkin (Ekakusmawan, 2008). Sehingga
apabila terjadi komplikasi khususnya
komplikasi setelah operasi perlu mendapat
perhatian yang besar karena beberapa
komplikasi dapat terjadi setelah operasi
dan apabila tidak ditangani dengan baik,
maka lama hari rawat pasien akan menjadi
panjang
yang
akhirnya
dapat
menyebabkan dampak pada peningkatan
biaya perawatan (Corwin & Elizabeth J,
2001).
Kondisi yang terjadi seperti di atas
kemungkinan
disebabkan
karena
responden kurang mengerti jika setelah
operasi diperbolehkan untuk melakukan
mobilisasi dan responden juga kurang
mengerti mobilisasi seperti apa yang bisa
atau boleh dilakukan, sehingga seringkali
dijumpai responden merasa takut untuk
bergerak walaupun mereka sudah
seringkali dianjurkan untuk melakukan
mobilisasi atau melakukan pergerakan.
Mereka takut kalau banyak bergerak nanti
kakinya patah lagi, nanti lukanya
membuka lagi atau jahitannya lepas lagi
sehingga mereka lebih memilih diam
tidak melakukan mobilisasi dari pada
melakukan mobilisasi tetapi mereka harus
berlama-lama tinggal di rumah sakit
karena lukanya tidak sembuh-sembuh.
Sebenarnya kondisi ini dapat dihindari
apabila kita sebagai perawat dapat
meyakinkan pada pasien bahwa gerakan
selama masih dalam batas terapeutik
sangat menguntungkan, bahwa bantuan
akan diberikan oleh perawat, bahwa
ketidaknyamanan dapat dikontrol dan
sasaran aktivitas pasti dapat tercapai.
Namun masalahnya semua di atas
memiliki keterbatasan yaitu selama belum
ada protap mengenai pelaksanaan ROM

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

37

ISSN 2303-1433

Exercise dini pada pasien post operasi


fraktur kemungkinan tidak semua perawat
mau turut berpartisipasi melaksanakan
latihan
tersebut.
Disamping
itu
kemungkinan kondisi yang terjadi tersebut
disebabkan karena perawat di ruangan
tidak menjalankan SOP yang sudah ada
sehingga intervensi yang seharusnya
diberikan pada pasien post operasi masih
belum dilakukan dengan baik. Selain itu
kurangnya pengawasan dan motivasi yang
diberikan oleh perawat menyebabkan
pasien juga tidak melaksanakan mobilisasi
(ROM Exercise) dini secara rutin.
Walaupun pada kenyataannya perawat
sudah seringkali menganjurkan pasien
untuk melakukan mobilisasi namun tanpa
adanya perawat yang mendampingi
pasien, maka pasien tetap saja merasa
takut akan terjadi hal yang tidak
diinginkan. Tentunya kondisi tersebut
menyebabkan
kurangnya
tingkat
kemandirian pasien sehingga perawatan
menjadi lebih lama dan akhirnya
berdampak pada lama hari rawat pasien
yang menjadi lebih panjang.
B. Lama Hari Rawat Pada Pasien Post
Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah
(Fraktur Femur Dan Fraktur Cruris)
Yang Dilaksanakan ROM Exercise
Dini.
Lama hari rawat adalah jumlah hari di
mana pasien mendapatkan perawatan
rawat inap di rumah sakit, sejak tercatat
sebagai pasien rawat inap (admisi) hingga
keluar dari rumah sakit (discharge)
(Sudra, R.I, 2010). Sedangkan lama hari
rawat pasien pasca operasi adalah lama
hari rawat pasien sejak menjalani operasi
sampai dengan pasien dipulangkan dari
rumah sakit (Corwin & Elizabeth J, 2001).
Namun dalam perhitungan atau standart
lama rawat inap untuk berbagai kasus
fraktur belum ada standart yang baku.
Menurut Engram B (1999) Rerata lama
waktu perawatan (RPL) bervariasi sesuai
tipe fraktur. Untuk fraktur ekstremitas
bawah dan humerus RPL-nya 4,6 hari
tanpa komplikasi (kecuali panggul,

telapak kaki dan femur) dan 7,2 dengan


komplikasi. Untuk fraktur femur rerata
RPL 7,4 hari. Umumnya sebagian besar
pasien enggan berada lama di rumah sakit
karena situasi yang dihadapi berbeda jika
dibandingkan dengan kondisi di rumah di
samping pertimbangan lain yaitu berkaitan
biaya perawatan dan pengobatan..
Didapatkannya
sebagian
besar
responden post operasi fraktur ekstremitas
bawah lama hari rawatnya 4 hari
disebabkan karena dengan dilaksanakan
ROM
Exercise
dini
maka
pasien/responden dapat mempertahankan
sirkulasi /peredaran darahnya sehingga
oksigenasi pada luka menjadi lebih baik,
asupan zat nutrisi dan juga obat dapat
terserap dengan baik. Kondisi tersebut
dapat membantu proses penyembuhan
luka (vaskularisasi, inflamasi, proliferasi
dan granulasi) dapat berlangsung dengan
maksimal yaitu luka mulai menutup,
kering, bersih tidak berbau dan tidak ada
nanah. Disamping itu dengan adanya
intervensi langsung yang dilakukan
perawat dalam hal pelaksanaan ROM
Exercise
dini
menyebabkan
pasien/responden mernjadi lebih berani
dan tidak merasa khawatir akan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka
menjadi lebih semangat melakukan latihan
(ROM Exercise) dini dan kondisi tersebut
dapat meningkatkan motivasi dan
kemandirian pasien. Dengan demikian
pasien dapat cepat dipulangkan, lama hari
rawat pasien post operasi fraktur
ekstremitas bawah dapat dipersingkat,
sehingga biaya perawatan dan pengobatan
dapat pula diminimalkan. Selain itu
menurut penilaian medis pasien/responden
sudah dalam kondisi baik jika harus
dipulangkan.
Namun
demikian
pasien/responden masih membutuhkan
perawatan medis yang dapat dilaksanakan
dengan metode rawat jalan. Penyembuhan
fraktur berkisar antara 3 minggu sampai 4
bulan (Muttaqin A, 2005). Sesuai dengan
pengalaman medis dalam waktu 3 bulan
pasien sudah sembuh. Rentang waktu ini

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

38

ISSN 2303-1433

masih dibutuhkan pemeriksaan ulang di


poli bedah ortopedi.
C. Pengaruh ROM Exercise Dini Pada
Pasien
Post Operasi
Fraktur
Ekstremitas bawah (Fraktur Femur
dan Fraktur Cruris) Terhadap Lama
Hari Rawat
Hasil Uji statistik Independent T-test
didapatkan besarnya angka signifikansi
sebesar 0,000 < = 0,05, sehingga Ho di
tolak. Hal ini menunjukkan bahwa ROM
Exercise dini berpengaruh positif terhadap
lama hari rawat pada pasien post operasi
fraktur ekstremitas bawah (fraktur femur
dan fraktur cruris).
Hal ini sesuai dengan yang dituliskan
Brunner & Suddarth (2002) yaitu gerakan
dalam batas imobilisasi terapeutik selalu
dianjurkan untuk pasien tentu saja dalam
melakukan gerakan tersebut dengan
bantuan perawat. Hali ini di dukung juga
dengan
yang
dituliskan
oleh
Syamsuhidayat (2001) yaitu keadaan
umum sangat dipengaruhi secara positif
bila penderita telah dapat bergerak.
Bahkan ekstremitas yang di mobilisasi
harus digerakkan pada semua sendi yang
tidak masuk mobilisasi. Begitu pula yang
dituliskan oleh Ichanners, (2009) yaitu
salah satu keuntungan menjalankan
rehabilitasi post ORIF adalah untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang
merugikan bagi pasien. Peran perawat
sebagai edukator dan motivator kepada
klien diperlukan guna meminimalkan
suatu komplikasi yang tidak diinginkan .
Sehingga apabila komplikasi tidak terjadi
tentunya kondisi ini akan mempengaruhi
lama keberadaan pasien di rumah sakit
atau lama perawatan pasien (Perry dan
Potter, 2005).
Kesimpulan
1. Sebagian besar lama hari rawat dari 15
responden
post
operasi
fraktur
ekstremitas bawah (fraktur femur dan
fraktur cruris) yang tidak dilaksanakan
ROM Exercise dini adalah 6 hari yaitu
6 responden (40%).

2. Sebagian besar lama hari rawat dari 15


responden
post
operasi
fraktur
ekstremitas bawah (fraktur femur dan
fraktur cruris) yang dilaksanakan ROM
Exercise dini adalah 4 hari yaitu 10
responden (67%).
3. Dari hasil penelitian didapatkan
besarnya nilai signifikansi (nilai
probabilitas) sebesar 0,000 < = 0.05,
yang artinya ada pengaruh positif dari
ROM Exercise dini pada pasien post
operasi fraktur ekstremitas bawah
(fraktur femur dan fraktur cruris)
terhadap lama hari rawat, yaitu lama
hari rawat lebih pendek 2 hari
dibanding dengan pasien post operasi
fraktur ekstremitas bawah (fraktur
femur dan fraktur cruris) yang tidak
dilaksanakan ROM Exercise dini.
Saran
1. Bagi Peneliti
Disarankan pada peneliti untuk
menginformasikan pada semua teman
sejawat agar turut berpartisipasi langsung
dalam melaksanakan ROM Exercise dini
pada semua pasien post operasi fraktur
ekstremitas bawah tanpa harus menunggu
datangnya petugas fisioterapi, sehingga
kebutuhan pasien akan mobilisasi segera
dapat terpenuhi.
2. Bagi Rumah Sakit
Disarankan agar penelitian ini dapat
dipakai sebagai masukan sehingga dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan
dan evaluasi dalam rangka meningkatkan
pelayanan, khususnya tentang pelaksanaan
ROM Exercise dini pada pasien post
operasi fraktur ekstremitas bawah, yaitu
dengan membuatkan protap tentang
penatalaksanaan pasien post operasi
fraktur (post ORIF) agar segera
dilaksanakan ROM Exercise dini.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Disarankan
bagi
Institusi
Pendidikan agar penelitian ini dapat
dijadikan informasi dan bisa digunakan
sebagai
bahan
masukan
untuk
perkembangan
ilmu
pengetahuan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

39

ISSN 2303-1433

khususnya di bidang medikal bedah dalam


kaitannya pengaruh mobilisasi (ROM
Exercise) dini pada pasien post ORIF
dalam membantu mempercepat proses
penyembuhan pasien dan mencegah
komplikasi pasca operasi.
4. Bagi Profesi Keperawatan
Disarankan agar semua perawat di
rumah sakit untuk memberikan asuhan
perawatan pada pasien post ORIF dalam
kaitannya dengan pelaksanaan ROM
Exercise dini tanpa tergantung pada
petugas fisioterapi, sehingga kebutuhan
pasien akan mobilisasi dapat segera
terpenuhi dan dapat mencegah terjadinya
komplikasi pasca operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Apley. (2001). Buku Ajar Ortopedi Dan
Fraktur Sistem Apley Edisi 7.
Jakarta : Widya Medika.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktek Edisi Revisi VI. Jakarta :
PT. Adi Mahasatya.
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Diagnose
Keperawatan Edisi 6. Jakarta :
EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2006).
Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta :
Salemba Medika.
Muttaqin, A. (2005). Buku Ajar Asuhan
keperawatan
Klien
Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta :
EGC.
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta.
Nursalam dan Siti Pariani. (2001).
Pendekatan Praktis Metodologi
Riset Keperawatan. Jakarta : CV.
Info Medika.
Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan : Pedoman Skripsi,
Tesis dan Instrumen Penelitian
keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika.

Priharjo, R. (2003). Pemenuhan Aktivitas


Istirahat Pasien. Jakarta : EGC
Sedarmayanti dan Hidayat. (2002).
Metode Penelitian. Bandung :
Mandar Maju.
Singgih Santoso. (2000). Statistical
Product and Service. Jakarta : PT.
Elex Media Komputindo.
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.
Cetakan keempat. Bandung : CV
Alfabeta.
Suarti, N.M, Suparmi, Y, Rosliany, N.
(2009).
Panduan
Praktek
Keperawatan Lansia. Yogyakarta :
PT. Citra Aji Parama.
Syamsuhidayat, R. (2001). Buku Ajar Ilmu
Bedah Edisi Revisi. Jakarta : EGC.
Ekakusmawan.
(2008).
Pentingnya
Bergerak Pasca Operasi.
(http://www.spesialisbedah.com,
diakses pada 10 September 2011)
Ichanners.
(2009).
Pengetahuan
Perawatan Tentang Mobilisasi Dini.
(http://www.wordpress.com, diakses
pada 10 September 2011)
Unej. (2009). ROM (Range Of Motion)
Dalam Mobilisasi.
(http://www.elearning.unej.ac.id.
diakses tanggal 10 September 2011)

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

40

ISSN 2303-1433

PENGARUH PIJAT BAYI DENGAN TERAPI BUNGA LAVENDER TERHADAP


PEMENUHAN KEBUTUHAN TIDUR NEONATUS DI POSYANDU MELATI
MOJOROTO KEDIRI
Sri Kasmiatun
Abstract
Sleeping are unconscious which still work order of succesion siclic and can be brain
and body work difference. Sleeping disturb is happened young people but it child and baby
disturb happenend. Neonatus until three month to need sleeping time more 20 hour. The
purpose of this observation was to know whether there any effect of lavender aroma
teraphy baby massage toward neonatus sleeping necesity at the work region of posyandu
Melati Mojoroto Kediri. The observation was the pre experiment by using one group pre
post test one disign approach. Independen variable is lavender aroma teraphy body
massage and dependent variable sleeping necesity, experiment instrument with
observation. The population in the observation as many as 13 neonatus and the number of
samples as many as 13 neonatus with the sample taking technique was using total
sampling. The result was gotten the observation was almost a half 9 neonatus (69,23%)
experienced cant sleeping necesity before lavender aroma teraphy body massage and and
most 12 neonatus (92%) can be sleeping necesity after lavender aroma teraphy baby
massage. By using t-test was gotten the result, value = 0,001 < = 0,05, so Ho was
rejected. It meant that there was lavender aroma theraphy baby massage toward sleeping
necesity at the work region of Posyandu melati Mojoroto Kediri in 2011. It was suggested
to mothers to do baby massage at regular time with lavender aroma teraphy so can sleeping
neonatus necesity so baby growt age harmony.
Kata kunci : baby massage, lavender aroma teraphy, neonatus sleeping necesity.
Pendahuluan
Gangguan tidur ternyata tidak hanya
terjadi pada orang dewasa saja, tetapi
gangguan ini bisa terjadi pada bayi dan
anak-anak. Seorang bayi yang baru lahir
atau sampai usia 3 bulan akan
memerlukan waktu untuk tidur hampir
seharian atau lebih dari 20 jam. Bila bayi
terbangun setiap malam setiap harinya
atau pola tidurnya sama dengan orang
dewasa atau mempunyai temperamen
yang buruk karena kurang tidur berarti
bayi mempunyai gangguan tidur yang
perlu diatasi.(Wong, 2003). Untuk
meningkatkan konsentrasi dan membuat
bayi tidur lebih lelap ada tekhnik pijat
bayi yang dapat dilakukan oleh ibu di
rumah. Pemijatan merupakan kegiatan
yang menyenangkan yang dapat membuat
ibu kontak dengan bayinya baik secara
fisik maupun emosi, pengalaman pijat

pertama yang dialami manusia adalah


ketika lahir, saat melewati jalan lahir ibu.
(Roesli, 2007). Pemijatan disertai dengan
pemberian aroma terapi merupakan
stimulan yang tepat untuk membuat bayi
tidur dengan nyenyak. Aroma terapi akan
menyebarkan molekul-molekul yang
menyebarkan wangi dan menstimulasi
susunan syaraf pusat yang berguna untuk
relaksasi dan pengobatan. (Tim Gaya
Hidup Sehat, 2010). Untuk membuat tidur
lebih nyenyak pemberian aroma terapi
dengan aroma bunga lavender membuat
bayi nyaman, namun ibu-ibu seringkali
tidak mengetahui manfaat dari pijat bayi
disertai dengan pemberian aroma terapi
bunga lavender ini sehingga ketika bayi
mempunyai masalah tidur ibu kesulitan
untuk menanganinya ( 2011)
Studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti di wilayah kerja Posyandu melati
Mojoroto Kediri pada tanggal 2 Mei 2011

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

41

ISSN 2303-1433

didapatkan 30 orang bayi sering terbangun


dan menangis di malam hari. Diantaranya
26 bayi (86,7%) menunjukkan reaksi
sering terbangun dan menangis walau
sudah diberikan susu dan pampers dalam
kondisi kering. Sedangkan 4 bayi (13,3%)
tidak menunjukkan reaksi menangis tetapi
sering terbangun.
Bayi baru lahir biasanya tidur selama
16-20 jam yang dibagi menjadi 4-5
periode. Pola tidur bayi masih belum
teratur, karena jam biologis yang belum
matang. Tetapi perlahan-lahan akan
bergeser sehingga lebih banyak waktu
tidur di malam hari dibandingkan dengan
siang hari. (Wong, 2003). Pada bayi dan
anak-anak, tidur adalah saat saat untuk
mengoptimalkan laju tumbuh kembang
badan. Umumnya bayi tidak mengalami
masalah tidur. Artinya, mereka bisa
dengan cepat terpulas, dan tidak mudah
terbangun. Namun, terkadang ada juga
yang sebaliknya. Sulit tidur, dan mudah
terbangun. Bagi bayi, tidur memiliki peran
ganda. Selain memberi kesempatan untuk
mengistirahatkan tubuh, juga untuk
meningkatkan proses metabolisme, yakni
proses pengolahan pangan menjadi energi
yang dibutuhkan papar Jodi Mindell
PhD, pakar tidur anak di Childrens
Hospital of Philadelphia seperti dikutip
Parents.
Karena
itu,
saat
tidur
pertumbuhan fisik anak terpacu.
Pijat bayi merupakan salah satu cara
yang dilakukan ibu untuk membantu bayi
terpenuhi kebutuhan tidurnya. Dengan
pijat bayi maka bayi akan merasa tenang
rileks sehingga bayi akan tidur lebih lama,
dengan penambahan aroma terapi maka
kualitas tidur bayi akan terpenuhi.
Dampak jika bayi kurang tidur
kemampuan motorik tidak optimal, daya
tahan
tubuh
menurun,
gangguan
pertumbuhan
dan
perkembangan,
kegemukan atau obesitas, muncul
gangguan emosi (2011). Aroma terapi
akan menyebarkan molekul-molekul yang
menyebarkan wangi dan menstimulasi
susunan syaraf pusat yang berguna untuk
relaksasi dan pengobatan. (Tim Gaya

Hidup Sehat, 2010). Untuk membuat tidur


lebih nyenyak pemberian aroma terapi
dengan aroma bunga lavender membuat
bayi nyaman. Untuk itu adakah pengaruh
pijat bayi dengan terapi bunga lavender
terhadap pemenuhan kebutuhan tidur
neonatus.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pijat bayi dengan
terapi
bunga
lavender
terhadap
pemenuhan kebutuhan tidur neonatus di
Posyandu Melati Mojoroto Kediri
Metodologi Penelitian
Desain penelitian yang digunakan
adalah penelitian pre eksperimen dengan
menggunakan model one group pra-test
post test desain tipe penelitian ini adalah
dengan cara melibatkan satu kelompok
subjek. Populasi Populasi pada penelitian
ini adalah seluruh neonatus yang berada di
wilayah kerja posyandu Melati Mojoroto
Kediri sebanyak 13 neonatus . Teknik
sampling
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah teknik total sampling.
Variabel Independen dalam penelitian
adalah pijat bayi dengan terapi aroma
bunga
lavender
dan
Variabel
dependennya pemenuhan kebutuhan tidur
bayi. Analisa data dengan menggunakan
t-test untuk mengetahui adanya pengaruh
antara variabel independen dan variabel
dependen. Derajad ditentukan :0,05 dan
bila p maka ada pengaruh antara
variabel independen dan dependen
.Teknik pengolahan data statistikal dengan
menggunakan software Statistical Product
and Service Solution (SPSS ) versi 16
Hasil Penelitian
1. Pemenuhan tidur neonatus sebelum
dilakukan pijat bayi dengan aroma
terapi bunga lavender

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

31%

69%

< 15
jam
16-20
jam

42

ISSN 2303-1433

Gambar 1 Pemenuhan kebutuhan tidur


neonatus sebelum dilakukan pijat
bayi dengan aroma terapi bunga
lavender di Wilayah Kerja
Posyandu Melati Mojoroto Kediri

Ibu
Nenek
Pembantu
Suami
Total

Berdasarkan gambar 1 menunjukkan


bahwa hasil penelitian pemenuhan tidur
neonatus sebelum dilakukan pijat bayi
dengan aroma terapi bunga lavender
didapatkan sebagian besar kebutuhan tidur
neonatus tidak terpenuhi yaitu 9 orang
(69%).

8%
< 15 jam
16-20 jam

Gambar 2 Pemenuhan kebutuhan tidur


neonatus setelah dilakukan pijat
bayi dengan aroma terapi bunga
lavender di Wilayah Kerja
Posyandu Melati Mojoroto Kediri

A.

Tabulasi Silang Observer dengan


Pemenuhan
Kebutuhan
Tidur
Neonatus Setelah Pijat Bayi dengan
Aroma terapi Bunga Lavender
Tabel 1 Tabulasi Silang observer dengan
pemenuhan kebutuhan tidur neonatus
setelah pijat bayi dengan aroma terapi
bunga lavender pada neonatus di wilayah
kerja Posyandu Melati Mojoroto Kediri
Kebutuhan tidur

Frek

38,46
15,38
23,07
23,07
100

Pembahasan

Berdasarkan gambar 2 menunjukkan


bahwa hasil penelitian pemenuhan tidur
neonatus setelah dilakukan pijat bayi
dengan aroma terapi bunga lavender
didapatkan sebagian besar kebutuhan tidur
neonatus terpenuhi yaitu 12 orang (92%) .

Observer

5
2
3
3
13

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan 1


responden (7,7 %) yang tidak terpenuhi
kebutuhan tidurnya, yang melakukan
observer adalah pembantu.
Dari hasil uji t test diketahui nilai t
sebesar
-4,382
dengan
derajat
kebebasannya adalah 12 dan nilai p value 0,001. Signifikasi hubungan
menggunakan nilai p - value < dengan
tingkat
kesalahan
0,05.
Karena
nilai p 0,001 < 0,05, maka H0 ditolak dan
H1 diterima yang berarti bahwa ada
pengaruh pijat bayi dengan aroma terapi
bunga lavender
terhadap pemenuhan
kebutuhan tidur neonatus di Wilayah
Kerja Posyandu Melati Mojoroto Kediri

2. Pemenuhan tidur neonatus setelah


dilakukan pijat bayi dengan aroma
terapi bunga lavender

92%

sebelum dipijit
Tidak
Terpenuhi
terpenuhi
F
%
F
%
0
0
5
38,46
0
0
2
15,38
1
7,7
3
23,07
0
0
3
23,07
1
7,7
4
30,77

Pemenuhan
kebutuhan
tidur
neonatus
sebelum
pemijatan
dengan aroma terapi bunga
lavender
Dari hasil penelitian pada gambar 1
menunjukkan bahwa kebutuhan tidur
neonatus tidak terpenuhi yaitu sebanyak 9
responden (69%).
Gangguan tidur ternyata tidak hanya
terjadi pada orang dewasa saja, tetapi
gangguan ini bisa terjadi pada bayi dan
anak-anak. Seorang bayi yang baru lahir
atau sampai usia 3 bulan akan
memerlukan waktu untuk tidur hampir
seharian atau lebih dari 20 jam. Bila bayi
terbangun setiap malam setiap harinya
atau pola tidurnya sama dengan orang
dewasa atau mempunyai temperamen
yang buruk karena kurang tidur berarti
bayi mempunyai gangguan tidur yang
perlu diatasi (Wong, 2003). Pada mingguminggu pertama bayi masih beradaptasi

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

43

ISSN 2303-1433

dengan lingkungannya sehingga mudah


sekali terbangun (Roesli, 2007)
Tidak terpenuhinya kebutuhan tidur
pada neonatus dapat dipengaruhi dari
umur. Pada masa neonatus dalam mingguminggu pertama, bayi akan terlihat tidak
aktif, bayi akan peka terhadap rangsang
dari luar daripada dulu ketika masih di
dalam rahim sehingga bayi akan lebih
mudah terbangun, proses adaptasi dengan
lingkungan mengakibatkan bayi tidak
terpenuhi kebutuhan tidurnya.
Selain itu pendidikan ibu bayi juga
sangat mempengaruhi kebutuhan tidur
bayi. Pengetahuan yang memadai akan
mempengaruhi sikap seseorang dalam
berperilaku (Azwar, 2003).
Pendidikan
dan
pengetahuan
responden tentang pemenuhan tidur bayi
yang kurang dapat berpengaruh terhadap
tindakan yang akan dilakukan. Ibu kadang
melakukan tindakan yang tidak sengaja
mengganggu
tidur
bayi
seperti
membangunkan karena merasa bayi
waktunya mandi atau minum walaupun
sebelumnya bayi masih cukup kenyang.
Seringnya bayi bangun menyebabkan bayi
rewel dan kebutuhan tidurnya tidak
terpenuhi.
Selain pendidikan, pekerjaan ibu juga
berpengaruh terhadap kebutuhan tidur
bayi, dari tabel 4.3 didapatkan 8 (61,54%)
bayi yang kebutuhan tidurnya tidak
terpenuhi ibunya bekerja sebagai swasta.
Menurut Effendi, (2011) seorang
yang bekerja akan menghabiskan 75%
waktunya di luar rumah.
Seorang ibu yang tidak mendampingi
bayinya secara penuh dan lebih banyak
bekerja akan mengurangi kontak langsung
dengan bayi, tentunya ibu yang bekerja
akan lebih banyak waktunya di luar rumah
dibandingkan dengan bayi apalagi jika
jarak tempat kerja dengan rumah sangat
jauh maka secara otomatis ibu akan
kesulitan untuk sesering mungkin kontak
dengan bayi, bayi pada minggu-minggu
awal memerlukan kehangatan, dan
perhatian penuh dari ibu karena pada masa
ini bayi masih beradaptasi dari yang

sebelumnya di dalam rahim dengan situasi


di luar rahim, kurangnya kontak dengan
bayi mengakibatkan hubungan kedekatan
perasaan anak-ibu terganggu hal ini
menyebabkan bayi menjadi sering
terbangun dalam tidurnya, bayi akan
mudah rewel sehingga mengganggu
pertumbuhan dan perkembangannya.
B. Pemenuhan
kebutuhan
tidur
neonatus setelah pemijatan dengan
aroma terapi bunga lavender
Dari hasil penelitian pada gambar 2
menunjukkan bahwa kebutuhan tidur
neonatus terpenuhi yaitu sebanyak 12
responden (92%) .
Pada minggu ketiga, bayi akan
terlihat lebih aktif, gerakan lengan dan
tungkai menjadi lebih terarah dan halus,
reaksi terhadap rangsang yang diberikan
lebih memadai, dan sudah dapat
tersenyum (Wong, 2003).
Untuk meningkatkan konsentrasi dan
membuat bayi tidur lebih lelap ada
tekhnik pijat bayi yang dapat dilakukan
oleh ibu di rumah. Pemijatan merupakan
kegiatan yang menyenangkan yang dapat
membuat ibu kontak dengan bayinya baik
secara fisik maupun emosi, pengalaman
pijat pertama yang dialami manusia
adalah ketika lahir, saat melewati jalan
lahir ibu.
(Roesli, 2007). Pemijatan
disertai dengan pemberian aroma terapi
merupakan stimulan yang tepat untuk
membuat bayi tidur dengan nyenyak.
Ketika bayi mulai aktif maka banyak
sekali
memerlukan
tenaga
untuk
pergerakan, peregangan otot-otot bayi
yang sebelumnya di dalam rahim ibu
bergerak secara minimal sekarang bayi
mulai bisa menggerakkan tangan dan kaki
lebih leluasa tentunya bayi akan
mengalami ketegangan pada otot atau
bahkan capek sehingga pemberian pijat
bayi disertai pemberian aroma terapi
bunga lavender membuat bayi relaksasi
yang akhirnya dapat membuat bayi tidur
nyanyak.
Setiap bayi memiliki sifat khas dan
tabiat perilaku masing-masing yang

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

44

ISSN 2303-1433

berbeda antara bayi laki-laki dengan


perempuan, bayi laki-laki akan lebih aktif
dibandingkan dengan bayi perempuan.
Faktor lingkungan berperan penting dalam
perkembangan perilaku ini. Orangtua
harus membedakan antara menyayangi
dan memanjakan agar perkembangan
kepribadian anak berjalan baik sejak masa
bayi (Soetjiningsih, 2003).
Aktifnya bayi akan membuat bayi
menjadi tidak nyenyak saat tidur, jika bayi
mengalami sesuatu yang tidak nyaman
pada tubuhnya bayi akan mudah
terbangun dan rewel, jika ibu tidak
memahami keadaan ini maka akan terjadi
gangguan pada kebutuhan tidur bayi yang
tentunya akan mengganggu pertumbuhan
dan perkembangannya karena pada saat
tidur sebenarnya merupakan pertumbuhan
dan perkembangan bayi secara optimal,
dengan tidur akan mengembalikan tenaga
bayi yang akhernya ketika bangun bayi
bisa melakukan aktivitas dengan nyaman
sehingga untuk membantu bayi agar dapat
nyaman saat tidur diperlukan pemberian
pijat bayi yang nantinya dapat membuat
tubuh bayi merasa nyaman, pijatan yang
lembut disertai dengan pemberian aroma
terapi lavender yang merelaksasikan tubuh
bayi membuat bayi akan tidur dengan
nyenyak, dalam hal ini ibu harus pandaipandai memantau perkembangan bayi
sesuai dengan umurnya, setiap perubahan
pada bayi harus segera dilakukan tindakan
terutama jika bayi mengalami gangguan
sehingga kebutuhan tidur bayi tetap
terpenuhi seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangannya.
C. Pengaruh pijat bayi dengan aroma
terapi bunga lavender terhadap
menenuhan
kebutuhan
tidur
neonatus
Pemijatan disertai dengan pemberian
aroma terapi merupakan stimulan yang
tepat untuk membuat bayi tidur dengan
nyenyak. Aroma terapi akan menyebarkan
molekul-molekul yang menyebarkan
wangi dan menstimulasi susunan syaraf

pusat yang berguna untuk relaksasi dan


pengobatan. (Tim Gaya Hidup Sehat,
2010).
Untuk membuat tidur lebih nyenyak
pemberian aroma terapi dengan aroma
bunga lavender membuat bayi nyaman.
Perasaan nyaman pada bayi ini
menstimulasi otak untuk rileks sehingga
bayi tidur nyenyak ( Ellis dan Nowlis,
2007 )
Kurang terpenuhinya istirahat tidur
bayi merupakan pengalaman individual
yang bersifat emosional dan subyektif
yang dapat diobservasi secara langsung.
Bayi akan menunjukkan reaksi rewel dan
sering terbangun dari tidurnya jika dia
merasakan hal yang tidak nyaman dan
mengganggu tidurnya ( Sobur, 2003 ).
Berdasarkan hasil analisis data
menunjukkan nilai signifikasi dengan
menggunakan uji t test diketahui nilai t 4,382 dengan derajat kebebasannya adalah
12 dan nilai p - value 0,001. Signifikasi
hubungan menggunakan nilai p - value <
dengan tingkat kesalahan 0,05. Karena
nilai p 0,001 < 0,05, maka H0 ditolak dan
H1 diterima yang berarti bahwa ada
pengaruh pijat bayi dengan aroma terapi
bunga lavender
terhadap pemenuhan
kebutuhan tidur neonatus di Wilayah
Kerja Posyandu Melati Mojoroto Kediri
tanggal 20-30 Oktober 2011.
Pijat bayi dengan aroma terapi bunga
lavender yang diberikan pada responden
akan dapat bermanfaat untuk relaksasi.
Karena pijat bayi dengan aroma terapi
bunga lavender menenangkan dan
menurunkan produksi hormon adrenalin
yang selanjutnya akan meningkatkan daya
tahan tubuh bayi. Umumnya daya tahan
tubuh bayi meningkatkan 30% setelah
dipijit 2 kali selama 15 menit, hal ini
sangat penting bagi kenyamanan batin,
mengurangi kecemasan, dan dapat
mencegah terhadap terjadinya gangguan
psikologis (Tim gaya hidup sehat, 2010).
Pada proses pijat bayi dengan aroma
terapi bunga lavender, aroma terapi akan
menyebarkan molekul-molekul yang
menyebarkan wangi dan menstimulasi

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

45

ISSN 2303-1433

susunan syaraf pusat yang berguna untuk


relaksasi dan pengobatan. Untuk membuat
tidur lebih nyenyak pemberian aroma
terapi dengan aroma bunga lavender
membuat bayi nyaman proses ini dapat
tercapai kalau saat memijat disertai
dengan komunikasi yang hangat antara
ibu dan bayi. Ibu juga harus mengetahui
kapan waktu yang tepat untuk memulai
pemijatan, ketika bayi dalam keadaan
mengantuk, lapar atau terlalu kenyang
bayi mungkin akan menolak untuk
dilakukan pemijatan yang akhirnya akan
membuat pemijatan ini tidak memberikan
hasil yang optimal. Demikian juga kondisi
ibu harus benar-benar sehat sehingga saat
melakukan pijat dengan bayi, ibu dapat
melaksanakannya dengan baik.
Pijat bayi ini harus disosialisasikan
pada semua ibu yang mempunyai balita
terutama
neonatus,
peran
petugas
kesehatan hendaknya lebih memperhatikan
masalah pemenuhan tidur neonatus
sehingga petugas mampu memberikan
asuhan keperawatan yang paripurna, tidak
hanya terbatas pada tindakan pendidikan
kesehatan saja tetapi memberi contoh cara
pijat bayi yang benar sehingga ibu dapat
mempraktekkan pijat bayi di rumah,
pemberian leaflet yang disertai gambar
tentunya jauh lebih dipahami ibu daripada
sekedar pendidikan kesehatan saja.
Kesimpulan
1. Pemenuhan kebutuhan tidur neonatus
sebelum dilakukan pijat bayi dengan
aroma terapi bunga lavender di
Posyandu Melati Mojoroto Kediri
didapatkan 9 responden (69,23%)
tidak terpenuhi kebutuhan tidurnya.
2. Pemenuhan kebutuhan tidur neonatus
sesudah diberikan pijat bayi dengan
terapi aroma bunga lavender di
Posyandu Melati Mojoroto Kediri
didapatkan 12 responden (92%)
terpenuhi kebutuhan tidurnya.
3. Hasil uji t test nilai p 0,001 < 0,05,
maka ada pengaruh pijat bayi dengan
aroma terapi bunga lavender terhadap

pemenuhan kebutuhan tidur neonatus


di Posyandu Melati Mojoroto Kediri.
Saran
1. Bagi Responden
Hendaknya
dilaksanakan
pemijatan pada bayi dengan teratur
sehingga terpenuhi kebutuhan tidur
yang akhirnya bayi dapat tumbuh dan
berkembang sesuai umurnya.
2. Bagi Perawat
Hendaknya dapat menjadikan
acuan dalam meningkatkan tampilan
perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan yang berfokus pada
pemenuhan kebutuhan tidur neonatus
tentang pentingnya pijat bayi.
3. Bagi Pelayanan Keperawatan
Dapat mempertahankan dan
berupaya untuk lebih meningkatkan
dan memberi contoh cara pijat bayi
yang
benar
sehingga
dapat
memberikan asuhan keperawatan
yang paripurna.
4. Bagi Profesi
Hendaknya penelitian ini dapat
meningkatkan khasanah keperawatan
terhadap pemenuhan kebutuhan tidur
neonatus.
5. Bagi Peneliti lain
Diharapkan
bagi
peneliti
selanjutnya hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai dasar dalam
melaksanakan penelitian lebih lanjut
dan lebih luas guna mengembangkan
ilmu keperawatan yang berkaitan
dengan pijat bayi untuk memenuhi
kebutuhan tidur bayi
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik. Jakarta:Rineke Cipta.
Efendi.
(2011).
Peran
Ibu.
http://www.blogspot.com. (Diunduh
tanggal 12 Juni 2011, jam 18.00)
Heath, Alan, dkk. (2007). Baby Massage.
Jakarta: PT Dian Rakyat

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

46

ISSN 2303-1433

Hidayat,A.Aziz Alimul. (2007). Riset


Keperawatan Dan Teknik Penulisan
Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika
Nikita.
(2011).
Panduan
Tumbuh
Kembang
Neonatus.
http://www.mail-archive.com.
(diunduh tanggal 12 Juni 2011), jam
18.30)
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi
Penelitian
Kesehatan.
Jakarta:
Rineka Cipta
Nursalam.
(2003).
Konsep
Dan
Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu Keperawatan. Jakarta: EGC
Roesli, Utami. (2001). Pedoman Pijat
Bayi Prematur dan Bayi Usia 0-3
bulan. Jakarta:Trubus Agriwidya
Suddart, Brunner. (2001). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Vol.II.
Jakarta: EGC
Sugiyono. (2009). Statistik Untuk
Penelitian Dan Aplikasinya SPSS
11,5 For Windows. Bandung:
Alfabeta
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh balita dan
Permasalahannya. Jakarta: EGC
Tim Gaya Hidup Sehat. (2002). Aroma
Alami
Untuk
Kehidupan.
Jakarta:
Gramedia

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

47

ISSN 2303-1433

KETERKAITAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS PADA


PASIEN DEWASA DI RUANG FLAMBOYAN RSUD GAMBIRAN KOTA
KEDIRI
Budi Hartanto, Moh Alimansur,
Abstract
Phlebitis is inflammation of the vein wall due to intravenous fluid therapy, which is
characterized by pain, redness, palpable soft, swollen and warm to the location of the
stabbing (Prastika, 2011). Plebitis as one form of nosocomial infection is still a serious
problem faced by hospitals throughout the world, especially hospitals in developing
countries (Ministry of Health, 2008). The study design used by researchers is the
correlation, this surveys or research that attempts to explore how and why the health
phenomena occur. The population in this study are all adult patients in hospitals Gambiran
Flamboyan Room Kediri in May. Sampling technique, which is used in this study is the
probability sampling which simple random sampling method. Data already collected was
processed and identified, then analyzed analytically using logistic regression test. Results
of the study appear no link nutritional status in adult patients with phlebitis incidence
(p=0.604> 0.05). The risk of the occurrence of phlebitis is caused by chemical factors,
mechanical factors and infection.
Keywords: Nutrition, Plebitis, infection
Pendahuluan
Phlebitis adalah peradangan pada
dinding vena akibat terapi cairan
intravena, yang ditandai dengan nyeri,
kemerahan, teraba lunak, pembengkakan
dan hangat pada lokasi penusukan
(Prastika, 2011). Plebitis sebagai salah
satu bentuk dari infeksi nosokomial masih
merupakan masalah serius yang dihadapi
oleh rumah sakit diseluruh dunia terutama
rumah sakit yang ada di negara
berkembang (Kemenkes, 2008).
Berbagai contoh kejadian infeksi
nosokomial berkisar dari terendah
sebanyak 1% di beberapa negara Eropa
dan Amerika hingga 40% di beberapa
tempat di Asia, Amerika Latin dan Sub
Sahara Afrika (Prawirohardjo, 2004).
Penelitian tentang phlebitis di Indonesia
menunjukkan angka 27,19% kasus
phlebitis paska pemasangan infus di
RSUD Sardjito Yogyakarta dan 18,8% di
RSUD Purworejo, menemukan kejadian
phlebitis sebesar 26,5% di instalasi rawat
inap RSUD Dr. Tirtonegoro Klaten
(Pasaribu, 2006).

Seseorang
yang
mengalami
kekurangan gizi atau asupan gizi yang
kurang berakibat terhadap sistem imun
nonspesifik dan spesifik (Darmadi, 2008).
Salah satu bentuk infeksi nosokomial
adalah infeksi melalui jarum infus
(phlebitis). Angka kejadian phlebitis pada
orang dewasa yang berhubungan dengan
pemakaian kateter perifer sekitar 13%.
Resiko terjadinya phlebitis adalah lokasi
kateter infus dengan kelebihan cairan lipid
secara terus menerus dan lamanya pasien
dirawat di Intensive Care Unit (ICU).
Kontaminasi infus yang terjadi selama
pemasangan intra vena sebanyak 4%
sebagai akibat cara kerja yang tidak steril
dan pemakaian yang lama. The Center
For Disease Control and Prevention telah
menyusun penggantian infus tidak boleh
lebih dari 72 jam, kecuali untuk
penanganan darah dan lipid emulsi diganti
tiap 24 jam (Pasaribu, 2006). Apabila
tubuh kekurangan zat gizi, khususnya
energi dan protein, pada tahap awal akan
menyebabkan rasa lapar kemudian dalam
jangka waktu tertentu berat badan akan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

48

ISSN 2303-1433

menurun disertai dengan menurunnya


produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi
yang berlanjut akan menyebabkan status
gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak
ada perbaikan konsumsi energi dan
protein yang mencukupi, tubuh akan
mudah terserang penyakit infeksi yang
dapat menyebabkan kematian (Mustika,
2012).
Semakin baik standar pelayanan yang
dilaksanakan di rumah sakit akan semakin
kecil infeksi nosokomial yang akan
terjadi. Agar pasien mendapatkan
pelayanan yang baik di rumah sakit
petugas kesehatan wajib memenuhi
standar profesi pelayanan keperawatan di
rumah sakit khususnya mematuhi standar
operasional
prosedur
tindakan
keperawatan yang akan dilakukan kepada
setiap pasien. Pemerintah juga berperan
penting untuk mengupayakan peningkatan
pelayanan rumah sakit sebagai bagian dari
pelayanan kesehatan bagi masyarakat
salah satu upaya itu adalah dengan
diterbitkannya Standar pelayanan rumah
sakit pada tahun 2006. Standar pelayanan
ini memuat berbagai disiplin pelayanan di
rumah sakit dan salah satu diantaranya
adalah pengendalian infeksi nosokomial di
rumah
sakit.
Infeksi
nosokomial
merupakan salah satu tolak ukur mutu
pelayanan rumah sakit.
Berdasarkan latar belakang di atas
maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai Hubungan status
gizi dengan kejadian phlebitis pada pasien
dewasa di RSUD Gambiran Kota Kediri
.tujuan penelitian ini untuk menganalisis
hubungan status gizi dengan kejadian
phlebitis pada pasien dewasa di Ruang
Flamboyan RSUD Gambiran Kota Kediri
Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan
oleh peneliti adalah korelasi, yaitu survei
atau penelitian yang mencoba menggali
bagaimana dan mengapa fenomena
kesehatan
itu
terjadi.
Kemudian
melakukan analisis dinamika korelasi
antara fenomena, baik antara faktor resiko

dengan faktor efek dengan menggunakan


pendekatan cross sectional. Penelitian ini
dilaksanakan di Ruang Flamboyan RSUD
Gambiran Kota Kediri pada tanggal 23
April sampai 23 Mei 2014.
Populasi dalam penelitian ini yaitu
Semua pasien dewasa di Ruang
Flamboyan RSUD Gambiran Kota Kediri
sebanyak pada bulan Mei 30 orang.
Teknik sampling, yang digunakan dalam
penelitian ini adalah probability sampling
dengan metode simpel random sampling
yaitu pengambilan sampel dengan cara
acak tanpa memperhatikan strata yang ada
dalam anggota populasi.
Data yang sudah terkumpul diolah
dan diidentifikasi, kemudian di analisis
secara analitik dengan menggunakan uji
Regresi Logistik.
Hasil Penelitian
Karakteristik Responden Berdasarkan
Usia
Tabel 1 Distribusi
Frekuensi
Responden Berdasarkan Usia
di Ruang Flamboyan RSUD
Gambiran Kota Kediri Tanggal
23 April sampai 23 Mei 2014
No.

Usia

< 20 Th

10

20-35 Th

25

83,3

> 35 Th

6,7

30

100

Total

Sumber: Tabulasi Penelitian

Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui


hampir seluruh responden berusia 10-35
tahun yaitu sebanyak 25 responden
(83,3%) dari total 30 responden.
Karakteristik Responden Berdasarkan
Jenis Kelamin
Tabel 2 Distribusi
Frekuensi
Responden Berdasarkan Jenis

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

49

ISSN 2303-1433

Kelamin di Ruang Flamboyan


RSUD
Gambiran
Kota
Tanggal 23 April sampai 23
Mei 2014
No.

Jenis Kelamin

Kota Kediri Tanggal 23 April


sampai 23 Mei 2014
No.

Status Pekerjaan

Bekerja

24

80,0

Tidak Bekerja

20,0

30

100

Laki-Laki

20

66,7

Perempuan

10

33,3

Total

30

100

Sumber: Tabulasi Penelitian

Berdasarkan tabel 2 di atas diketahui


sebagian besar responden berjenis kelamin
laki-laki yaitu sebanyak 20 responden
(66,7%) dari total 30 responden.
Karakteristik Responden Berdasarkan
Pendidikan
Tabel 3 Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan
Pendidikan
di
Ruang
Flamboyan RSUD Gambiran
Kota Kediri Tanggal 23 April
sampai 23 Mei 2014

Total

Sumber: Tabulasi Penelitian

Berdasarkan tabel 4 di atas diketahui


hampir seluruh responden berstatus
bekerja yaitu sebanyak 24 responden
(80%) dari total 30 responden.
Data Khusus
Status Gizi pada Pasien Dewasa
Tabel 5 Status Gizi Pada Pasien
Dewasa di Ruang Flamboyan
RSUD Gambiran Kota Kediri
Tanggal 23 April sampai 23
Mei 2014.

Tingkat Pendidikan

No.

SD

9,7

SMP

11

35,5

SMA

14

45,2

PT

9,7

31

100

No.

Total

Sumber: Tabulasi Penelitian

Berdasarkan tabel 3 di atas diketahui


hampir setengah responden berpendidikan
SMA yaitu sebanyak 14 responden
(45,2%) dari total 30 responden.
Karakteristik Responden Berdasarkan
Pekerjaan
Tabel 4 Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan
Pekerjaan di RSUD Gambiran

Status Gizi

Kurus

10

33,3

Normal

13

43,3

Gemuk

23,3

Total

30

100

Sumber: Tabulasi Penelitian

Berdasarkan tabel 5 diketahui hampir


setengah responden memiliki status gizi
normal yaitu sebanyak 13 responden
(43,3%) dari total 30 responden.

Kejadian Phlebitis
Tabel 6

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

Kejadian Phlebitis pada Pasien


Dewasa di Ruang Flamboyan
RSUD Gambiran Kota Kediri
50

ISSN 2303-1433

Tanggal 23 April sampai 23


Mei 2014.
No.

Kejadian Phlebitis

Phlebitis

10

50,0

Tidak Phlebitis

10

50,0

20

100

Total

hubungan antara kedua variabel maka


perlu dilakukan pengujian dengan uji Uji
Regresi Logistik.
Tabel 8 Hasil uji Uji Regresi Logistik
Hubungan Status gizi pada
Pasien
Dewasa
dengan
Kejadian Phlebitis di Ruang
Flamboyan RSUD Gambiran
Kota Kediri Tahun 2014

Sumber: Tabulasi Penelitian

No

Berdasarkan tabel 56 di atas diketahui


setengah responden mengalami phlebitis
dan setenganya tidak phlebitis yaitu
sebanyak 10 responden (50%) dari total
30 responden.
Keterkaitan Status Gizi dengan
Kejadian phlebitis
Tabel 7 Tabel Silang Hubungan Status
gizi pada Pasien Dewasa
dengan Kejadian Phlebitis di
Ruang Flamboyan RSUD
Gambiran Kota Kediri Tanggal
23 April sampai 23 Mei 2014.
Kejadian Phlebitis
No.

Status
Gizi

Total

Tidak
Plebitis

Plebitis
F

Kurus

60,0

40,0

10

100

Normal

0,0

13

100

13

100

Gemuk

57,1

42,9

100

10

33,3

20

66,7

30

100

Total

Berdasarkan tabel 7 diketahui pada


responden dengan status gizi kurang
didapatkan paling banyak mengalami
phlebitis yaitu sebanyak 6 responden
(60%), sebaliknya pada responden dengan
status gizi gemuk didapatkan paling
banyak juga mengalami phlebitis paling
yaitu sebanyak 4 responden (57,1%). Hal
ini
menunjukkan
tidak
adanya
kecenderungan hubungan diantara kedua
variabel. Guna membuktikan signifikansi

Variabel

Status Gizi Kejadian phlebitis

N = 30

= 0,05

Constanta

.862

0,604

Berdasarkan tabel 8 terlihat tidak ada


keterkaitan status gizi pada pasien dewasa
dengan kejadian phlebitis (p = 0,604 >
0,05 maka Ho diterima).
Pembahasan
Status Gizi pada Pasien Dewasa
Menurut Mustika (2012) status gizi
adalah keadaan tubuh yang merupakan
hasil akhir dari keseimbangan antara zat
gizi yang masuk ke dalam tubuh dan
penggunaannya. Ada beberapa faktor
yang sering merupakan penyebab
gangguan gizi, baik langsung maupun
tidak langsung. Sebagai penyebab
langsung gangguan gizi khususnya
gangguan gizi pada bayi dan balita adalah
tidak sesuai jumlah gizi yang mereka
peroleh dari makanan dengan kebutuhan
tubuh mereka. Beberapa faktor yang
secara tidak langsung mendorong
terjadinya gangguan gizi terutama antara
lain pengetahuan, prasangka buruk
terhadap makanan, kebiasaan atau
pantangan, kesukaan jenis makanan
tertentu, jarak kelahiran yang terlalu rapat,
tingkat pendapatan dan penyakit infeksi
(Marimbi, 2010).
Orang dewasa dengan status gizi
normal menunjukkan bahwa selama ini
asupan nutrisi sudah sesuai dengan
kebutuhan berdasarkan usia dan jenis
kelamin. Kondisi ini menyebabkan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

51

ISSN 2303-1433

kebiasaan makan sehari-hari tetap sesuai


dengan proporsi makan bagi orang
dewasa.
Disamping faktor di atas juga dapat
dipengaruhi oleh status pekerjaan mereka.
Pekerjaan memberikan kemungkinan
cukup besar kepada responden untuk tetap
melakukan aktivitas fisik. Adanya
aktivitas fisik menyebabkan pembakaran
karbohodrat dari yang dikonsumsi setiap
hari
menjadi
efektif
sehingga
kemungkinan mengalami obesitas juga
berkurang. Ada juga keinginan untuk
menjaga berat badan ideal karena tuntutan
pekerjaanya.
Kejadian Phlebitis
Phlebitis merupakan inflamasi vena
disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun
mekanik yang sering disebabkan oleh
komplikasi dari terapi intravena.
Phlebitis
merupakan
suatu
peradangan pada pembuluh darah (vena)
yang dapat terjadi karena adanya injury
misalnya oleh faktor (trauma) mekanik
dan faktor kimiawi, yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada endotelium
dinding pembuluh darah khususnya vena.
Phlebitis
dikarakteristikkan dengan
adanya dua atau lebih tanda nyeri,
kemerahan, bengkak, indurasi dan serta
mengeras di bagian vena yang terpasang
kateter intravena (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Darmawan (2008) penyebab
phlebitis adalah phlebitis kimia, phlebitis
mekanis dan bakterial. Sedangkan faktor
pasien yang dapat mempengaruhi kejadian
phlebitis mencakup usia, jenis kelamin
dan kondisi dasar (yaitu diabetes melitus,
infeksi, luka bakar).
Bisa juga adanya kejadian phlebitis
disebabkan oleh kecepatan pemberian
larutan
intravena.
Menurut
teori
disebutkan bahwa kecepatan pemberian
larutan intravena juga dianggap sebagai
salah satu penyebab utama kejadian
phlebitis. Pada pemberian dengan
kecepatan rendah akan mengurangi iritasi
pada dinding pembuluh darah. Disamping
itu penggunaan material katheter juga

berperan pada terhadap kejadian phlebitis.


Jikak bahan kateter yang digunakan
terbuat dari bahan polivinil klorida atau
polietelin (teflon) maka akan mempunyai
resiko terhadap terjadinya phlebitis yang
lebih besar dibanding bahan yang terbuat
dari silikon atau poliuretan.
Penggunaan partikel materi yang
terbentuk dari cairan atau campuran obat
yang tidak sempurna juga bisa
menyebabkan resiko terjadinya phlebitis.
Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai
dengan 5 mikron pada infus set, akan
menurunkan atau meminimalkan resiko
phlebitis akibat partikel materi yang
terbentuk tersebut. Jika sebaliknya maka
akan meningkatkan resiko terjadinya
phlebitis. Pemasangan atau penempatan
kateter intravena juga berpengaruh
terhadap terjadinya phlebitis. Disebutkan
bahwa penempatan katheter pada area
fleksi lebih sering menimbulkan kejadian
phlebitis, oleh karena pada saat
ekstremitas digerakkan kateter yang
terpasang ikut bergerak dan meyebabkan
trauma pada dinding vena. Kebersihan
petugas yang melakukan pemasangan
kateter juga berpengaruh terhadap resiko
terjadinya phlebitis. (Darmawan, 2008)
Berdasarkan laporan dari The Centers
for Disease Control and Prevention
(CDC) tahun 2002 dalam artikel
intravaskuler catheter related infection
in adult and pediatric kuman yang sering
dijumpai pada pemasangan kateter infus
adalah stapylococus dan bakteri gram
negatif, tetapi dengan epidemic HIV/
AIDS infeksi oleh karena jamur
dilaporkan
meningkat.
Jadi
pada
prinsipnya terjadinya phlebitis bias
disebabkan dari berbagai kemungkinan
penyebab.

Hubungan Status Gizi dengan Kejadian


phlebitis
Phlebitis
dihubungkan
dengan
berbagai penyebab baik chemical phlebitis
(phlebitis kimia) yakni kejadian phlebitis
dihubungkan dengan bentuk respon yang

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

52

ISSN 2303-1433

terjadi pada tunika intima vena dengan


bahan kimia yang menyebabkan reaksi
peradangan, atau mechanical Phlebitis
(phlebitis mekanik) yakni phlebitis
mekanikal yang sering dihubungkan
dengan pemasangan atau penempatan
kateter intravena, backterial phlebitis
(phlebitis bakteri) yakni peradangan vena
yang berhubungan dengan adanya
kolonisasi bakteri, atau post infus
phlebitis. Phlebitis post infus juga sering
dilaporkan kejadiannya sebagai akibat
pemasangan infus. (Darmawan, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan tidak
ada hubungan status gizi pada pasien
dewasa dengan kejadian phlebitis, resiko
terjadinya peradangan vena sama besar
antara orang kurus atau orang gemuk. Jadi
hal ini tidak ada kaitan dengan status gizi
orang dewasa baik status gizi buruk,
kurang, normal atau lebih. Resiko
terhadap terjadinya phlebitis lebih
disebabkan oleh faktor lain baik faktor
kimia atau disebut chemical phlebitis
(phlebitis kimia) yakni kejadian phlebitis
yang dihubungkan dengan bentuk respon
yang terjadi pada tunika intima vena
dengan bahan kimia yang menyebabkan
reaksi peradangan, atau berhubungan
dengan mechanical phlebitis (phlebitis
mekanik) yakni terjadinya phlebitis yang
sering dihubungkan dengan pemasangan
atau penempatan kateter intravena, atau
terjadinya phlebitis akibat adanya infeksi
oleh bakteri atau disebut backterial
phlebitis (phlebitis bakteri). Jadi pada
prinsipnya kejadian phlebitis tidak ada
hubungannya
dengan
status
gizi
seseorang.
Kesimpulan
1. Hampir setengah responden di Ruang
Flamboyan RSUD Gambiran Kota
Kediri memiliki status gizi normal.
2. Setengah
responden
di
Ruang
Flamboyan RSUD Gambiran Kota
Kediri mengalami phlebitis dan
setenganya tidak phlebitis.
3. Tidak ada hubungan status gizi pada
pasien dewasa dengan kejadian

phlebitis di Ruang Flamboyan RSUD


Gambiran Kota Kediri.
Saran
1. Kepada Institusi Rumah Sakit
Diharapkan agar tempat penelitian
(petugas
kesehatan)
tetap
memberikan perhatian penuh yang
sama dalam pemasangan infuse baik
kepada pasien dengan status gizi
buruk, kurang, normal atau lebih
karena resiko terhadap terjadinya
phlebitis sama.
2. Kepada Responden
Diharapkan agar pasien memiliki
kesadaran akan adanya resiko
phlebitis selama menjalani rawat inap
dengan pemasangan infus baik bagi
mereka dengan status gizi buruk,
kurang, normal ataupun lebih
DAFTAR PUSTAKA
Alimul. 2007. Riset Keperawatan dan
Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta.
Salemba Medika.
Alimul.
2009.
Metode
Penelitian
Kebidanan dan Teknik Analisa
Data. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktek.
Jakarta : Rineka Cipta.
Brunner dan Sudarth, 2002. Pengertian
phlebitis.
http://digilib.unimus.ac.id/files/dis
k1. Diakses 11/11/2013.
Darmadi. 2008. Akibat kekurangan gizi.
http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/ar
ticle/download.
Diakses
11/11/2013.
Darmawan.
2008.
Penyebab
dan
pencegahan
phlebitis.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk
1. Diakses 11/11/2013.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

53

ISSN 2303-1433

Depkes RI. 2003. Kategori Batas Ambang


IMT
untuk
Indonesia.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digita
l.
Endang. 2011. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta. Rajagrafindo
Persada.
Gibson. 2002. Cara mengukur Indeks
massa
tubuh.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digita
l/122525. Diakses 10/11/2013.
Hartriyanti dan Triyanti, 2007. Tinggi
badan.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digita
l/122525. Diakses 10/11/2013.
Hidayat. 2006. Pengertian phlebitis.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk
1. Diakses 11/11/2013.
Infusion Nursing Society (INS), 2006.
Pengertian
dan
klasitifkasi
phlebitis.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk
1. Diakses 11/11/2013.
Kemenkes RI. 2008. Infeksi Nosokomial.
http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/ar
ticle. Diakses 11/11/2013.
May dkk. 2005. Backterial Phlebitis.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk
1. Diakses 11/11/2013.

Keperawatan : Pedoman Skripsi,


Tesis dan Instrumen Penelitian.
Jakarta : Salemba Medika.
Prastika. 2008. Masalah phlebitis.
http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/ar
ticle/download.
Diakses
11/11/2013.
Prawirohardjo. 2004. Data phlebitis.
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/
Diakses 11/11/2013.
Pasaribu.
2006.
Data
phlebitis.
http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/ar
ticle/download.
Diakses
11/11/2013.
Smeltzer and Bare. 2002. Pengertian
phlebitis.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk
1. Diakses 11/11/2013.
Supariasa. 2009. Penilaian Status gizi.
http://www.library.upnvj.ac.id/.
Diakses 09/11/2013
Supariasa. 2002. Indeks massa tubuh.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digita
l/122525. Diakses 10/11/2013.
The Centers for Disease Control and
Prevention, 2004. Mechanical Phlebitis.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1.
Diakses 11/11/2013

Marimbi. 2010. Tumbuh Kembang, Status


gizi dan Imunisasi Dasar pada
balita. Yogyakarta. Nuha Medika.
Mustika. 2012. Bahan Pangan, Gizi dan
Kesehatan. Bandung. Alfabeta.
Notoatmodjo.
2010.
Metodologi
Penelitian Kesehatan. Rineka
Cipta. Jakarta.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

54

ISSN 2303-1433

PENGARUH PIJAT AROMATERAPI LAVENDER TERHADAP


TINGKAT NYERI PERSALINAN
KALA I FASE AKTIF
Finta Isti Kundarti, Ira Titisari, Naning Tri Windarti

ABSTRACT
Pain in the labor are predisposition for anxiety, hyperventilation, thus causing oxygen
requirements and increased blood pressure. Pain in the labor can be reduced by nonpharmacological methods, one of which is using aromatherapy. Lavender as an
aromatherapy effect relaxation, pain relief, reduces anxiety and causes calmness. The
purpose of this research was to know the effect of lavender massage aromatherapy to the
level of the first stage of labor pain in the active phase of first stage labor. The research
design used quasi experiment with pre-test post-test with control group design. The
population in this research that the whole maternal active phase of the first stage in BPM
Blabaks Community Health Center Kediri Regency. The research time is June 23th 2014
until July 19th 2014. Total samples in this research is 20 respondents with consecutive
sampling techniques. The research instrument used scale observation. Statistical tests in
this study using the paired t test.The results showed t value (11,000) > t table (2,262) and P
value (0.000) < (0.05), then H0 is rejected, which means there is effect of lavender
(Lavandula angustifolia) massage aromatherapy to the pain labor level of the active phase
in the first stage of labor. So the conclusion of lavender massage aromatherapy down the
level of pain in the active phase of the first stage of labor. This method can be applied
midwives to help reduce pain during childbirth.
Keywords: Lavender Aromatherapy, Pain, Labor, Massage
PENDAHULUAN
Persalinan
merupakan
proses
fisiologis yang terjadi pada setiap wanita.
Persalinan merupakan suatu proses
pengeluaran hasil konsepsi (janin, air
ketuban, selaput plasenta dan plasenta)
keluar kandungan melalui jalan lahir.
Persalinan dikatakan normal apabila
presentasi janin belakang kepala, tidak
mempunyai komplikasi-komplikasi lain
dan dapat lahir dengan tanpa bantuan serta
lamanya persalinan tidak melebihi 24 jam
(Hakimi, 2010).
Salah satu tanda mulainya persalinan
yaitu adanya kekuatan his yang makin
sering terjadi dan dengan jarak semakin
pendek. Nyeri persalinan kala I
merupakan proses yang fisiologis. Nyeri
persalinan kala I disebabkan oleh adanya
dilatasi serviks, hipoksia pada sel-sel otot
uterus yang memendek (effacement), serta

adanya tekanan pada struktur sekitar.


Adanya his atau kontraksi uterus
menyebabkan pembuluh-pembuluh saraf
dan pembuluh darah tertekan. Tekanan
pada pembuluh saraf akan menyebabkan
rasa sakit atau nyeri.
Nyeri persalinan dapat menimbulkan
kecemasan pada pasien, menyebabkan
timbulnya
hiperventilasi
sehingga
kebutuhan oksigen dan tekanan darah
meningkat. Keadaan ini akan merangsang
peningkatan katekolamin yang dapat
menyebabkan gangguan pada kontraksi
uterus sehingga terjadi inersia uteri yang
mengakibatkan persalinan menjadi lama
(Subekti, 2004).
Berdasarkan SDKI 2012, penyebab
kematian ibu terbesar yaitu perdarahan
(42%), eklampsi/ preeklampsi (13%),
abortus (11%), infeksi (10%), partus lama/
persalinan macet (9%), dan penyebab lain

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

55

ISSN 2303-1433

(15%). Sedangkan di Jawa Timur,


penyebab kematian terbesar ibu karena
pre eklampsia (34,88%), perdarahan
(25,09%), jantung (8,08%), infeksi
(4,98%) dan lain-lain (26,98%). Kota
kediri, angka kejadian partus lama tahun
2012 sebanyak 26 kasus dan pada tahun
2013 sebanyak 24 kasus
(Dinas
Kesehatan Kota Kediri, 2014). Sedangkan
data di Kabupaten Kediri pada tahun 2012
kasus persalinan lama sebanyak 378 kasus
dan pada tahun 2013 ada 347 kasus.
Jumlah persalinan oleh nakes di
Kabupaten Kediri pada tahun 2013 di
Puskesmas Blabak sejumlah 1097 kasus
atau sekitar 94,16% (Dinas Kesehatan
Kabupaten Kediri, 2013).
Nyeri persalinan bisa dikurangi
dengan metode non farmakologis, yaitu
dengan menggunakan teknik relaksasi dan
pernafasan, effleurage dan tekanan
sacrum, hidroterapi, Transcutaneous
Electrical Nerve Stimulation (TENS), dan
teknik lain seperti hipnoterapi, masase,
acupressure, aromaterapi, yoga dan
sentuhan terapeutik (Scherch, 1991
dikutip oleh Bobak, 2005). Sedangkan
untuk manajemen non farmakologi yang
sering diberikan antara lain yaitu dengan
hidroterapi, terapi masase, aromaterapi,
dan tehnik behavioral yang meliputi
meditasi, latihan autogenik, serta imajinasi
terbimbing dan nafas ritmik (Yuliatun,
2008).
Pijat
aromaterapi
merupakan
perawatan yang paling banyak dikenal
karena minyak esensial dalam larutan
aromaterapi mampu menembus kulit dan
terserap ke dalam tubuh, sehingga
memberikan pengaruh penyembuhan dan
menguntungkan pada berbagai jaringan
dan organ internal (Koensoermardiyah,
2009). Pijat aromaterapi adalah jenis
pengobatan yang populer dan umum di
masyarakat, bahkan paten-paten dan
produk yang berkaitan dengan pijat dan
aromaterapi atau gabungan keduanya telah
beredar di masyarakat dan terbukti
membawa efek positif sesuai tujuan
penggunaannya (Sundari, 2011).

Secara fisiologis, pijatan merangsang


dan mengatur tubuh, memperbaiki aliran
darah dan kelenjer getah bening, sehingga
oksigen, zat makanan, dan sisa makanan
dibawa secara efektif ke dan dari jaringan
tubuh
dan
plasenta.
Dengan
mengendurkan ketegangan dan membantu
menurunkan emosi pijat juga merelaksasi
dan menenangkan saraf, serta membantu
menurunkan
tekanan
darah.
Bila
seseorang sedang merasa tidak sehat,
pijatan dapat meningkatkan kemampuan
diri untuk menyembuhkan diri sendiri dan
cara ini dapat digunakan untuk
melengkapi terapi alami.
Pada ibu menjelang persalinan, pijat
aromaterapi dengan cara lembut dapat
membantu ibu merasa lebih segar, rileks
dan nyaman menjelang persalinan. Sebuah
penelitian menyebutkan, ibu yang dipijat
20 menit setiap jam selama tahapan
persalinan akan lebih bebas dari rasa sakit.
Hal itu terjadi karena pijat merangsang
tubuh melepaskan senyawa endorphin
yang merupakan pereda rasa sakit alami.
Endorphin juga dapat menciptakan
perasaan nyaman dan enak. Banyak
bagian tubuh ibu bersalin dapat dipijat,
yaitu pada bagian kaki, punggung, bahu,
tangan (Danuatmaja, 2008).
Berdasarkan penelitian di Amerika
Serikat, 70 sampai 80 persen wanita
mengalami nyeri pada saat persalinan.
Sehingga di Rumah Sakit swasta banyak
melakukan persalinan secara seksio
sesarea sebesar 20 sampai dengan 50
persen. Peningkatan persalinan secara
seksio sesarea ini dikarenakan kebanyakan
ibu bersalin tidak mau merasakan nyeri
pada saat persalinan. Di Brazil, angka ini
mencapai lebih dari 50 persen dari angka
kelahiran di rumah sakit yang merupakan
persentase tertinggi di seluruh dunia
(Satrioaji, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Dina
Indrati Dyah Sulistyowati pada 54 ibu
bersalin primipara di Rumah Sakit
Margono Soekarjo dan klinik bersalin di
Purwokerto dengan penelitian yang
melibatkan kelompok eksperimen dan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

56

ISSN 2303-1433

kelompok kontrol. Penelitian tersebut


menyebutkan bahwa aromaterapi lavender
efektif dapat digunakan untuk mengatasi
nyeri dan cemas persalinan primipara kala
I (Sulistyowati, 2012).
Penelitian lain yang dilakukan pada
10 pasien bedah mayor di Rumah Sakit
Dustira Cimahi menyatakan bahwa
aromaterapi
(aroma)
lavender
berpengaruh dalam penurunan intensitas
nyeri, yaitu rerata intensitas nyeri sebelum
diberikan aromaterapi lavender adalah
4,80 dengan standar deviasi 2,530 pada
ibu sebelum pemberian aromaterapi aroma
lavender menjadi 4,10 dengan standar
deviasi
2,807
setelah
pemberian
aromaterapi aroma lavender. Jadi terdapat
perbedaan signifikan rata-rata sebelum
dan sesudah pemberian aromaterapi aroma
lavender (Bangun, 2013).
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Pengaruh Pijat
Aromaterapi
Lavender
(Lavandula
Angustifolia) Terhadap Tingkat Nyeri
Persalinan Kala I Fase Aktif (Studi
Analitik di BPM Wilayah Kerja
Puskesmas Blabak Kabupaten Kediri).
BAHAN DAN METODE
PENELITIAN
Desain penelitian ini menggunakan
rancangan penelitian eksperimen semu
(quasi eksperiment) dengan pre test post
test design with control group, yang
mengungkapkan hubungan sebab akibat
dengan melibatkan kelompok kontrol
disamping
kelompok
eksperimen.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ibu bersalin primigravida kala I
fase aktif di BPM wilayah kerja
Puskesmas Blabak Kabupaten Kediri
sebanyak 14 BPM. Teknik sampling
dalam penelitian ini adalah consecutive
sampling. Tempat penelitian yang
digunakan adalah di BPM wilayah kerja
Puskesmas Blabak Kabupaten Kediri.
Waktu pengumpulan data dilakukan pada
tanggal 23 Juni 19 Juli 2014. Penelitian
ini menggunakan instrumen kuesioner

data umum dan skala observasi perilaku


FLACC (Face, Legs, Activity, Cry,
Consolability) untuk menilai tingkat nyeri.
Analisa
data
dilakukan
dengan
menggunakan uji paired t test.
HASIL PENELITIAN
Dibawah ini diuraikan hasil penelitian
tentang pengaruh pijat aroamterapi
lavender
(Lavandula
angustifolia)
terhadap tingkat nyeri persalinan kala I
fase aktif di BPM wilayah kerja
Puskesmas Blabak Kabupaten Kediri
dengan jumlah responden 20 sesuai
kriteria sampel.
Tabel
1.
Distribusi
Frekuensi
Berdasarkan Usia
No.

Usia

Frekuensi

1.
2.
3.
Total

< 20 tahun
20-35 tahun
> 35 tahun

4
15
1
20

Persentase
(%)
20%
75%
5%
100%

Berdasar tabel 1. dapat diketahui


bahwa dari 20 orang responden, lebih dari
setengah responden berusia 20-35 tahun
berjumlah 15 responden (75%).
Tabel

No.
1.
2.
3.
4.
5.

2
Distribusi
Frekuensi
Pendidikan Responden di
BPM
Wilayah
Kerja
Puskesmas Blabak.
Pendidikan

Frekuensi
0
6
8
5
1

Persentase
(%)
0%
30%
40%
25%
5%

20

100%

Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan
Tinggi

Total

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa


hampir setengah responden memiliki
tingkat pendidikan SMP yaitu sebanyak 8
responden (40 %).
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Pekerjaan
Responden di BPM Wilayah
Kerja Puskesmas Blabak.
No.
1.
2.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

Pekerjaan
IRT
Swasta

Frekuensi
17
2

Persentase(%)
85%
10%

57

ISSN 2303-1433

3.
4.

Wiraswata
PNS
Total

1
0
20

5%
0%
100%

Berdasar tabel 3 diketahui sebagian


besar responden sebagai ibu rumah tangga
(IRT) yaitu sebanyak 17 responden (85%).
Tabel 4 Data Distribusi Responden
Berdasarkan Intensitas Nyeri
Persalinan Kala I Fase Aktif
Pada Kelompok Kontrol
No

1.
2.
3.

4.

Tingkat
nyeri

Nyeri
ringan
Nyeri
sedang
Nyeri
sangat
hebat
Nyeri
terhebat

Fase
akselerasi

Fase dilatasi
maksimal

Fase
deselerasi

Pre
test

Post
test

Pre
test

Post
test

Pre
test

Post
test

10

Berdasar tabel 4 diketahui


pre test, lebih dari setengah
mengalami nyeri sedang dan
test, lebih dari setengah
mengalami nyeri sangat hebat.

nilai awal
responden
pada post
responden

Tabel 5 Data Distribusi Responden


Berdasarkan Intensitas Nyeri
Persalinan Kala I Fase Aktif
Pada Kelompok Eksperimen
No

1.
2.
3.

Tingkat
nyeri

Nyeri
ringan
Nyeri
sedang
Nyeri
sangat
hebat

Fase
akselerasi

Fase dilatasi
maksimal

Fase
deselerasi

Pre
Test

Post
Test

Pre
test

Post
test

Pre
test

Post
test

10

Berdasar tabel 5 diketahui tingkat


nyeri persalinan sebelum diberikan pijat
aromaterapi lavender, lebih dari setengah
responden mengalami nyeri sedang dan
setelah diberikan pijat aromaterapi
lavender, lebih dari setengah responden
tetap mengalami nyeri sedang.

Hasil uji statistik pada fase akselerasi


didapatkan perbedaan yang signifikan
karena nilai t hitung 4.993 dengan nilai P
value 0,001. Oleh karena nilai P value
0,001 < (0,05) dan nilai t hitung (4.993)
> nilai t tabel (2.262) maka H0 ditolak dan
H1 diterima. Pada fase dilatasi maksimal,
didapatkan nilai t hitung (7.216) > nilai t
tabel (2.262) dan nilai P value 0,000 <
(0,05) maka H0 ditolak dan H1 diterima.
Sedangkan
pada
fase
deselerasi
didapatkan nilai t hitung (11.000) > nilai t
tabel (2.262) dan nilai P value 0,000 <
(0,05), maka H0 ditolak dan H1 diterima.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh pijat aromaterapi lavender
(Lavandula angustifolia) terhadap tingkat
nyeri persalinan kala I fase aktif.
Pembahasan
1. Tingkat Nyeri Persalinan Kala I Fase
Aktif yang Tidak Diberi Perlakuan
Pijat
Aromaterapi
Lavender
(Lavandula angustifolia)
Hasil penelitian terhadap 10 orang
responden pada kelompok kontrol pre test
fase akselerasi, didapatkan bahwa 1 orang
responden mengalami nyeri ringan, 9
orang mengalami nyeri sedang dan pada
post test didapatkan 8 orang responden
mengalami nyeri sedang dan 2 orang
mengalami nyeri sangat hebat. Pada pre
test fase aktif dilatasi maksimal, terdapat 7
orang responden mengalami nyeri sedang
dan 3 orang responden mengalami nyeri
sangat hebat, dan pada post test, 2 orang
responden mengalami nyeri sedang dan 8
orang responden mengalami nyeri sangat
hebat.
Sedangkan pada pre test fase aktif
deselerasi, semua responden mengalami
nyeri sangat hebat dan pada post test, ada
1 orang yang mengalami nyeri terhebat.
Rata-rata nyeri yang dirasakan pada
kelompok yang tidak diberikan pijat
aromaterapi lavender yaitu mengalami
nyeri sangat hebat.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

58

ISSN 2303-1433

Nyeri
persalinan
berasal
dari
kontraksi miometrium dan merupakan
proses fisiologis dengan intensitas
berbeda-beda
pada
masing-masing
individu (Cunningham,2004). Rasa nyeri
dapat dipengaruhi oleh paritas, usia,
kecemasan, dukungan keluarga, budaya
dan lingkungan serta pengalaman
persalinan sebelumnya (Judha, 2012).
Sejumlah 10 responden yang menjadi
kelompok kontrol, pada fase deselerasi
didapatkan hasil bahwa tingkat nyeri yang
dialami berada pada kategori nyeri sangat
hebat sejumlah 1 responden yang berusia
< 20 tahun dan 8 responden berusia 20-35
tahun. Sedangkan 1 orang responden
berada pada kategori nyeri terhebat
berusia > 35 tahun. Rata-rata responden
yang tidak diberikan pijat aromaterapi
lavender memiliki kisaran usia 20-35
tahun yang terlampir pada lampiran 7.
Faktor usia dapat memengaruhi
respon nyeri seseorang. Anak memiliki
respon nyeri yang lebih tinggi bila
dibanding dengan usia remaja, dewasa dan
orang tua. Hal ini karena anak dapat
mengekspresikan nyeri lebih bebas
sedangkan pada remaja respon nyeri lebih
rendah
karena
dapat
mengontrol
perilakunya, sedangkan pada usia dewasa
dan orang tua lebih rendah karena
menganggap nyeri merupakan proses
alamiah (Maslikhanah, 2011).
Ibu yang berusia > 35 tahun memiliki
tingkat nyeri yang semakin besar bila
dibanding dengan usia < 35 tahun. Ibu
yang lebih tua mempunyai metabolisme
yang lebih lambat bila dibandingkan
dengan ibu yang berusia lebih muda,
sehingga tingkat nyeri yang dirasakan
juga akan berbeda.
Selain itu, ibu yang mengalami stres
dan cemas selama proses persalinan dapat
menyebabkan kontraksi uterus menjadi
semakin nyeri. Ibu yang sedang
melahirkan dalam keadaan rileks dan
nyaman tidak merasakan adanya nyeri
yang sangat. Dengan begitu persalinan
akan berjalan lebih mudah dan nyaman.

Faktor lain yang dapat memengaruhi


nyeri yaitu dukungan dari keluarga
terutama suami juga sangat membantu ibu
untuk mengatasi rasa nyeri. Ibu bersalin
yang ditemani atau diperhatikan oleh
suami maupun keluarga dari awal proses
persalinannya merasa lebih tenang dan
tidak cemas akan persalinannya. Ketika
ada keluarga yang memberi dukungan
secara moril, ibu juga akan semakin
tenang sehingga nyeri yang dirasakan
akan semakin berkurang.
Faktor pendidikan juga berperan
terhadap cara mengekspresikan diri
terhadap nyeri persalinan. Seseorang yang
berpendidikan tinggi lebih bisa memahami
tentang persepsi terhadap nyeri sehingga
nyeri yang dirasakan tidak sama dengan
nyeri yang dirasakan pada ibu dengan
tingkat nyeri dibawahnya. Seperti
responden penelitian ini, pada fase
deselerasi, responden yang berpendidikan
SMA lebih bisa mengendalikan nyeri
yang dirasakan bila dibanding dengan
responden yang berpendidikan SMP, yaitu
responden yang berpendidikan SMA tidak
mengalami kenaikan nyeri dan tetap
berada pada tingkat nyeri sangat hebat
sedangkan
pada
responden
yang
berpendidikan SMP, ada 1 responden
yang mengalami kenaikan tingkat nyeri
dari nyeri sangat hebat menjadi nyeri
terhebat.
2. Tingkat Nyeri Persalinan Kala I Fase
Aktif yang Diberi Perlakuan Pijat
Aromaterapi Lavender (Lavandula
angustifolia)
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada 10 responden kelompok
eksperimen, diberikan pre test kemudian
dilakukan
pemijatan
dengan
menggunakan
aromaterapi
lavender
selama 20 menit. Setelah itu diberikan
post test untuk mendapatkan skor skala
nyeri. Pada fase aktif akselerasi,
didapatkan hasil sebelum diberikan
perlakuan, 2 orang mengalami nyeri
ringan, 8 orang mengalami nyeri sedang
dan setelah diberikan perlakuan, 5 orang

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

59

ISSN 2303-1433

menjadi nyeri ringan dan 5 orang


mengalami nyeri sedang.
Pada fase aktif dilatasi maksimal,
didapatkan hasil bahwa sebelum diberikan
perlakuan 10 responden mengalami nyeri
sedang dan setelah diberikan perlakuan, 5
responden mengalami nyeri ringan dan 5
orang responden mengalami nyeri sedang.
Sedangkan pada fase aktif deselerasi
didapatkan hasil bahwa 1 orang
mengalami nyeri sedang dan 9 orang
mengalami nyeri sangat hebat pada skor
nyeri sebelum diberi perlakuan, dan
sesudah diberi perlakuan, 9 orang
responden mengalami nyeri sedang dan 1
orang responden mengalami nyeri sangat
hebat. Rata-rata responden pada kelompok
yang diberikan pijat aromaterapi lavender
yaitu mengalami nyeri sedang.
Nyeri persalinan disebabkan oleh
pasokan oksigen ke otot rahim berkurang,
karena adanya kontraksi yang singkat
menyebabkan nyeri menjadi lebih tinggi
sehingga pasokan oksigen ke otot rahim
belum sepenuhnya pulih. Seperti teori
yang dikemukakan oleh Yuliatun (2008)
bahwa pada kala I persalinan, nyeri
disebabkan oleh adanya kontraksi uterus
yang
mengakibatkan
dilatasi
dan
penipisan seviks dan iskemia pada uterus.
Nyeri tersebut dirasakan ibu saat kontraksi
dan menurun atau menghilang pada
interval kontraksi.
Pada penelitian ini, respondennya
adalah
ibu
bersalin
primigravida.
Intensitas nyeri persalinan primigravida
sering kali lebih berat dari pada nyeri
persalinan pada multigravida. Hal itu
karena
multigravida
mengalami
effacement bersamaan dengan dilatasi
serviks, sedangkan pada primigravida,
proses effacement biasanya terjadi lebih
dahulu daripada dilatasi serviks. Proses ini
menyebabkan intensitas kontraksi uterus
yang dirasakan primipara lebih berat
daripada multipara, terutama pada kala I
persalinan.
Selain itu, multigravida telah
mempunyai
pengalaman
nyeri
sebelumnya sehingga multigravida telah

mempunyai mekanisme untuk mengatasi


nyeri persalinannya. Selain faktor paritas,
faktor usia ibu juga sangat memengaruhi
tingkat nyeri yang dirasakan. Semakin
muda atau usia < 16 tahun dan semakin
tua usia ibu > 35 tahun, nyeri yang
dirasakan juga akan semakin meningkat
seiring dengan adanya faktor resiko yang
terjadi pada waktu persalinannya seperti
pada penilaian skor Poedji Rochyati.
Pada penelitian ini, ada satu
responden yang memiliki usia 36 tahun,
pada pembukaan 9-10 cm nyeri yang
dirasakan mencapai nilai tertinggi yaitu
nyeri terhebat. Jadi pada ibu usia > 35
tahun, nyeri yang dirasakan akan semakin
meningkat dibandingkan nyeri yang
dirasakan pada ibu yang memiliki usia
lebih muda atau < 35 tahun.
Penggunaan teknik pengurangan rasa
nyeri persalinan dapat dilakukan dengan
metode nonfarmakologis seperti relaksasi,
teknik pernafasan, perubahan posisi,
massage, aromaterapi, hidroterapi, musik
serta metode-metode lain yang dapat
diterapkan. Aromaterapi adalah terapi
komplementer dengan menggunakan
minyak esensial yang diambil dari bau
harum tumbuh-tumbuhan. Aromaterapi
dapat diberikan dengan cara penghirupan,
pengompresan,
pengolesan
dikulit,
perendaman dan akan lebih efektif disertai
pijatan (Bakir, 2009).
Penggunaan
aromaterapi
dalam
persalinan
membantu
ibu
untuk
menurunkan tingkat nyeri. Salah satu
minyak aromaterapi yang bisa digunakan
untuk mengurangi nyeri yaitu lavender.
Minyak esensial lavender memiliki
kandungan perelaksasi, antispasmodik dan
pereda nyeri. Oleh sebab itu, lavender
berguna untuk meredakan nyeri kontraksi
terutama pada saat persalinan (Praptiani,
2012).
Pijat
menggunakan
aromaterapi
lavender ini dapat menurunkan nyeri yang
diasakan melalui mekanisme sistem
penciuman. Dimana bau yang dihasilkan
ditangkap oleh olfactory ephitelium, yang
merupakan suatu reseptor yang berisi 20

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

60

ISSN 2303-1433

juta ujung syaraf. Selanjutnya, bau


tersebut akan ditransmisikan sebagai suatu
pesan ke pusat penciuman yang terletak
pada bagian belakang hidung (Primadiati,
2002).
Bau yang mengandung ion minyak
atsiri yaitu lavender berbahan aktif
linalool tersebut dibawa neuron menuju
sistem limbik untuk diteruskan ke
hipotalamus. Di hipotalamus bau tersebut
akan merangsang kelenjar pituitary untuk
melepaskan agen kimia kedalam sirkulasi
darah untuk mengatur kelenjar adrenal
dan tiroid supaya menurunkan aktifitasnya
yang sebelumnya dirangsang oleh adanya
stimulus stressor yang menimbulkan
reaksi hormon epineprin dan norepineprin.
Bau ini juga merangsang daerah di otak
yang disebut raphe nucleus untuk
mengeluarkan sekresi serotonin yang
menimbulkan efek rileks sebagai akibat
inhibisi eksitasi sel (Carpenito, 2002).
Masase adalah tindakan penekanan
oleh tangan pada jaringan lunak, biasanya
otot tendon atau ligamen, tanpa
menyebabkan pergeseran atau perbahan
posisi sendi guna menurunkan nyeri,
menghasilkan
relaksasi,
dan
atau
meningkatkan sirkulasi. Ada dua teknik
masase dalam persalinan, yaitu effleurage
dan
counterpressure.
Pijat
counterpressure adalah pijatan yang
dilakukan dengan menggunakan tinju atau
pangkal telapak tangan pada daerah
punggung atau sacrum yang dirasakan
paling nyeri.
Sedangkan effleurage
adalah pijatan ringan yang dapat
meningkatkan
relaksasi
dan
menghilangkan
nyeri (Danuatmaja,
2008).
Pada ibu bersalin yang diberikan pijat
aromaterapi lavender mengatakan bahwa
merasa lebih tenang, nyaman dan tidak
cemas dalam menghadapi persalinan.
Pemijatan yang diberikan memberi
manfaat pada ibu bersalin yaitu
melancarkan peredaran darah dan
meregangkan daerah otot-otot sehingga
nyeri yang dialami selama proses
persalinan juga semakin berkurang. Selain

itu, kandungan dari minyak lavender


sangat berguna untuk meredakan nyeri
saat kontraksi persalinan.
Penelitian
ini
sejalan
dengan
penelitian yang dilakukan oleh Argi dan
Susi (2013) yang menyatakan bahwa
aromaterapi lavender berpengaruh dalam
penurunan intensitas nyeri pada pasien
pasca operasi bedah mayor yaitu rerata
intensitas nyeri sebelum pemberian
aromaterapi lavender adalah 4,80 dengan
standar deviasi 2,530 dan intensitas nyeri
sesudah pemberian aromaterapi lavender
4,10 dengan standar deviasi 2,807.
3. Pengaruh Pijat Aromaterapi Lavender
(Lavandula angustifolia) Terhadap
Tingkat Nyeri Persalinan Kala I Fase
Aktif
Dari hasil analisis diatas dapat
diketahui bahwa nilai t hitung (11.000) >
nilai t tabel (2.262) dan nilai P 0,000 <
(0,05) sehingga diperoleh hasil ada
pengaruh pijat aromaterapi lavender
terhadap tingkat nyeri persalinan kala I
fase aktif sebelum dan sesudah pemberian
pijat aromaterapi lavender.
Didukung pada tabel 1.6 bahwa ratarata tingkat nyeri pada ibu bersalin
primigravida kala I fase aktif pada
kelompok
eksperimen
mengalami
penurunan sedangkan pada kelompok
kontrol mengalami kenaikan. Pada
kelompok kontrol, rata-rata nyeri yang
dirasakan pada ibu bersalin yaitu 4,60
menjadi 5,50. Pada fase dilatasi maksimal,
rata-rata nyeri dari 6,10 menjadi 7,20.
Sedangkan pada fase deselerasi, rata-rata
nyeri dari 7,70 menjadi 8,90.
Rata-rata nyeri yang dirasakan pada
ibu bersalin yang diberikan pijat
aromaterapi lavender pada fase akselerasi
yaitu sebesar 4,40 dan setelah diberikan
pijat aromaterapi lavender menjadi 3,10.
Pada fase dilatasi maksimal, rata-rata
nyeri sebelum diberikan pijat aromaterapi
lavender 5,40 dan setelah diberikan pijat
aromaterapi lavender menjadi 3,60.
Sedangkan pada fase deselerasi, rata-rata
nyeri sebelum diberikan pijat aromaterapi

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

61

ISSN 2303-1433

lavender 7,70 dan setelah diberikan pijat


aromaterapi lavender menjadi 5,50.
Pada kelompok eksperimen fase
dilatasi maksimal, 5 orang mengalami
penurunan nyeri dari nyeri sedang
menjadi nyeri ringan dan 5 orang
mengalami nyeri tetap yaitu nyeri sedang.
Sedangkan pada kelompok eksperimen
fase deselerasi, 8 orang responden
mengalami penurunan nyeri yaitu nyeri
sangat hebat menjadi nyeri sedang dan 2
orang responden mengalami nyeri tetap
yaitu 1 orang nyeri sedang dan 1 orang
nyeri sangat hebat.
Penurunan nyeri terjadi karena
pemberian pijat aromaterapi efektif
digunakan untuk mengurangi nyeri
persalinan sehingga responden merasakan
lebih nyaman dan tenang dalam
menghadapi
proses
persalinannya.
Sentuhan yang diberikan secara ringan
dengan gerakan panjang dan halus
memberi pereda terhadap suatu nyeri.
Sentuhan ini dapat meningkatkan relaksasi
dengan cara memicu perasaan nyaman
selama menyentuh permukaan kulit. Jadi
ibu
yang dipijat
selama
proses
persalinannya akan terbebas dari rasa sakit
karena pijat juga merangsang pengeluaran
hormon endorphin yang merupakan
pereda sakit secara alami.
Pemberian pijat berguna untuk
memperlancar peredaran darah, mengatasi
kram otot, menurunkan nyeri dan
kecemasan, serta mempercepat persalinan.
Pijat punggung sangat berguna pada ibu
yang mengalami kontraksi yang terus
menerus dan nyeri pada daerah
punggungnya. Pijatan saat kontraksi dapat
memberikan ketenangan dan relaksasi
pada ibu (Aprilia, 2010).
Aromaterapi dari lavender bekerja
langsung pada sistem limbik untuk
mengontrol sirkulasi dan pelepasan
serotonin pada raphe nucleus yang
berpengaruh pada penurunan aktifitas
eksitasi sel keseluruhan terutama di otak
dan organ vital (Primadiati, 2002).
Serotonin bekerja pada jalur raphe
nucleus
terutama
pada
bagian

hipotalamus, dan sistem limbik terutama


bagian amigdala. Dimana diketahui
hipotalamus berfungsi mengatur emosi
dasar
(basic
behaviour
paterns),
sedangkan amigdala adalah bagian dari
sistem limbik yang mengontrol perasaan
subyektif yang merangkum emosi, mood,
kemarahan, ketakutan dan kegembiraan
(Wong, 2010).
Sebuah penelitian pada ibu yang
dipijat selama 20 menit setiap jam selama
proses persalinan akan lebih terbebas dari
rasa sakit. Hal itu terjadi karena pijat
merangsang hormon endorphin yang
merupakan pereda sakit alami dan dapat
menciptakan perasaan yang nyaman
(Danuatmaja, 2004).
Aromaterapi lavender bermanfaat
memberikan
ketenangan,
relaksasi,
kecemasan, rasa nyaman dan mengurangi
stres (sedatif), antispasmodik, analgesik,
antiseptik, serta mengobati berbagai
gangguan kulit.
Pada pasien setelah
diberikan pijatan aromaterapi lavender,
menunjukkan
terjadinya penurunan
kecemasan dan penurunan tingkat nyeri.
Menurut penelitian yang dilakukan
Abbaspoor dan Mohammadkhani (2012)
tentang pengaruh pijat aromaterapi
lavender terhadap tingkat nyeri persalinan
dan mengurangi lama persalinan dapat
diketahui bahwa rata-rata tingkat nyeri
sebelum diberikan perlakuan yaitu sebesar
4,56 dan setelah diberikan perlakuan
menjadi 3,2. Hal ini berbeda dengan
kelompok yang hanya diberikan pijat saja
tanpa adanya aromaterapi lavender, yaitu
sebelum diberikan perlakuan, rata-rata
tingkat nyeri yang dirasakan yaitu 4,6 dan
setelah diberikan pijat saja menjadi 4,2.
Penelitian lain yang telah dilakukan
oleh Angger Anugerah (2011) tentang
pengaruh pemberian aromaterapi lavender
terhadap tingkat kecemasan pasien pra
operasi juga mengalami perubahan yang
signifikan. Pada penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa responden dengan
kecemasan sedang sebelum diberikan
aromaterapi berjumlah 14 responden
kemudian diberikan aromaterapi lavender

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

62

ISSN 2303-1433

berkurang jumlahnya mejadi 2 responden.


Sedangkan responden dengan kecemasan
ringan sebelum diberikan aromaterapi
lavender berjumlah 17 berkurang menjadi
14 responden.
Responden yang tidak mengalami
penurunan nyeri terjadi karena responden
kurang bisa mengontrol faktor faktor yang
dapat mempengaruhi nyeri seperti faktor
emosi, sehingga responden kurang bisa
mengelola dirinya terhadap suatu nyeri
yang mengakibatkan nyeri yang dirasakan
tidak mengalami penurunan meskipun
sudah diberikan metode pengurangan
nyeri.
Hal ini sesuai dengan teori Judha
(2012) bahwa faktor emosi (cemas dan
takut) ternyata secara fisiologis dapat
menyebabkan kontraksi uterus semakin
tinggi karena pada kondisi tersebut, tubuh
akan melakukan reaksi defensif sehingga
dari keadaan stress tersebut merangsang
tubuh mengeluarkan hormon stressor yaitu
katekolamin dan adrenalin. Akibatnya
uterus semakin tegang dan rasa nyeri tak
terelakkan.
Sedangkan pada kelompok kontrol
fase akselerasi ditemukan 3 orang
mengalami kenaikan tingkat nyeri dari
nyeri ringan menjadi nyeri sedang yang
berjumlah 1 orang, dan 2 orang dari nyeri
sedang menjadi nyeri sangat hebat
sedangkan 7 orang lainnya mengalami
nyeri tetap yaitu nyeri sedang. Pada fase
dilatasi maksimal, 5 orang mengalami
peningkatan nyeri dari nyeri sedang
menjadi nyeri sangat hebat dan 5 orang
lainnya tidak mengalami peningkatan
nyeri yaitu 2 orang mengalami nyeri
sedang dan 3 orang mengalami nyeri
sangat hebat.
Pada fase deselerasi, 9 responden
berada pada tingkat nyeri sangat hebat dan
ada 1 orang yang mengalami peningkatan
tingkat nyeri dari nyeri sangat hebat
menjadi nyeri terhebat.
Peningkatan nyeri disebabkan karena
tidak adanya pemberian pijat aromaterapi
lavender, sehingga responden memakai
teknik sendiri dalam mengelola nyeri yang

dirasakan seperti memakai teknik


relaksasi nafas dalam. Jadi metode
pengurangan nyeri yang dilakukan sendiri
digunakan untuk mengelola nyeri yang
sedang
dirasakan.
Tetapi
karena
responden belum memiliki pengalaman
dalam melahirkan sebelumnya, metode
yang digunakan untuk mengurangi nyeri
kurang efektif, sehingga nyeri yang
dirasakan semakin tinggi seiring dengan
penambahan kekuatan kontraksi uterus
dan pembukaan serviks.
Semakin besar pembukaan serviks,
tingkat nyeri yang dirasakan juga semakin
tinggi. Terbukti bahwa rata-rata tingkat
nyeri pada fase dilatasi maksimal lebih
besar daripada fase akselerasi dan juga
lebih besar lagi pada fase deselerasi. Hal
ini terjadi pada kedua kelompok baik
kelompok
yang
diberikan
pijat
aromaterapi lavender maupun pada
kelompok yang tidak diberikan pijat
aromaterapi lavender.
Seperti teori yang dikemukakan oleh
Yudha (2009) yang mengatakan bahwa
kontraksi uterus menyebabkan timbulnya
nyeri yang memengaruhi mekanisme
sistem tubuh seperti proses metabolisme,
ventilasi, sirkulasi serta aktivitas uterus.
Selain itu, adanya faktor-faktor lain yang
menyebabkan terjadinya nyeri persalinan
yaitu pasokan oksigen ke otot rahim yang
berkurang sehingga menyebabkan otot
rahim belum sepenuhnya pulih saat
adanya kontraksi uterus yang singkat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ibu
bersalin tetap merasakan nyeri meskipun
sudah diberikan metode nonfarmakologis
seperti pijat aromaterapi lavender sebagai
salah satu metode pengurangan rasa nyeri.
Nyeri yang dirasakan pada ibu bersalin
yang diberikan metode nonfarmakologis
akan lebih rendah bila dibandingkan nyeri
yang dirasakan pada ibu bersalin tanpa
pemberian metode nonfarmakologis.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian adalah: 1). Lebih
dari setengah responden yang tidak
diberikan pijat aromaterapi lavender

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

63

ISSN 2303-1433

mengalami nyeri sangat hebat 2) Lebih


dari setengah responden yang diberikan
pijat aromaterapi lavender mengalami
nyeri sedang 3) Ada pengaruh pijat
aromaterapi
lavender
(Lavandula
angustifolia) terhadap tingkat nyeri
persalinan kala I fase aktif di BPM
Wilayah Kerja Puskesmas Blabak
Kabupaten Kediri.
Saran yang diajukan adalah: 1).
Diharapkan
dapat
mengaplikasikan
metode ini sebagai salah satu metode
nonfarmakologis
untuk
menurunkan
tingkat nyeri selama proses persalinan 2)
Menambah sumber referensi sehingga
dapat memberikan manfaat kepada
pembaca khususnya tentang pengaruh
pijat aromaterapi lavender terhadap
tingkat nyeri persalinan kala I fase aktif
3). Penelitian ini dapat dikembangkan
pada penelitian selanjutnya dengan
menggunakan
metode
lain
dalam
pemberian aromaterapi seperti menghirup,
mengompres, pengolesan di kulit ataupun
berendam.
Serta
metode-metode
nonfarmakologis lain yang berhubungan
dengan tingkat nyeri persalinan seperti
metode hidroterapi, yoga ataupun metodemetode nonfarmakologis yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amru, S. 2012. Rustam Mochtar Sinopsis
Obstetri Jilid I. Jakarta: EGC.
Anugerah, A. 2011. Pengaruh Pemberian
Aromaterapi Lavender Terhadap
Tingkat Kecemasan Pasien Pra
Operasi di Rumah Sakit dr Soebandi
Jember.
Program
Studi
Ilmu
Keperawatan Universitas Jember.
Aprilia,Y. 2010. Hipnostetri: Rileks,
Nyaman dan Aman Saat Hamil dan
Melahirkan. Jakarta: Gagas Media.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Argasetya, S.M. 2007. Mengatasi MualMual Selama Kehamilan dan
Gangguan Lain Selama Kehamilan.
Diglossia: Yogyakarta.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural


Keperawatan: Konsep dan Aplikasi
Kebutuhan
Dasar. Jakarta: Salemba Medika.
Balkam, J. 2001. Aromaterapi Penuntun
Praktis untuk Pijat Minyak Asiri dan
Aroma. Semarang: Dahara Prize.
Bakir, R.S. 2009. Aroma Terapi.
Tangerang: Karisma.
Bangun, A.V. dan Susi Nuraeni. 2013.
Pengaruh Aromaterapi Lavender
Terhadap Intensitas Nyeri Pada
Pasien Pasca Operasi di Rumah Sakit
Dustira Cimahi. Program Studi
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan. Jenderal Achmad Yani
Cimahi.
Carpenito,
L.J.,
2000.
Diagnosa
Keperawatan Aplikasi pada Praktik
Klinis edisi 6. Jakarta: EGC
Danuatmaja, B dan Mila Meilisari. 2008.
Persalinan Normal Tanpa Rasa Sakit.
Jakarta: Puspa Swara.
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2013. Profil
Kesehatan Jawa Timur Tahun 2012.
Surabaya.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri. 2013.
Laporan PWS KIA Dinas Kesehatan
Kabupaten Kediri tahun 2013.
Ester, M. 2008. Buku Ajar Kebidanan
Komunitas. Jakarta: EGC.
Fraser, Diane., Cooper, Margaret. 2011.
Buku Ajar Kebidanan Myles. Jakarta:
EGC.
Hakimi, M. 2010. Ilmu Kebidanan
Patologi
dan
Fisiologi
Persalinan.Yogyakarta:
Yayasan
Essentia Medica.
Hidayat, A. A. A. 2007. Metode
Penelitian Kebidanan dan Teknik
Analisis Data. Jakarta: Salemba
Medika.
______________. 2008. Keterampilan
Dasar
Praktik
Klinik
untukKebidanan. Jakarta: Salemba
Medika.
JNPK-KR. 2007. Asuhan Persalinan
Normal. Jakarta: Depkes RI.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

64

ISSN 2303-1433

Judha, M. 2012. Teori Pengukuran Nyeri


dan Nyeri Persalinan. Yogjakarta:
Nuha Medika
Jumarani, L. 2009. The Essence
Indonesian Spa: Spa Indonesia Gaya
Jawa dan Bali. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
John, W. 2007. Terapi Pijat Memijat Diri
Sendiri Guna Memperoleh Kesehatan
Fisik dan Psikis. Jakarta: Prestasi
Pustakarya.
Kartikawati, N. 2010. Buku Ajar DasarDasar
Keperawatan.
Jakarta:
Salemba Medika.
Koensoemardiyah. 2009. A to Z Minyak
Atsiri untuk Industri Makanan
Kosmetik dan Aromaterapi. Jakarta:
Andi.
Manuaba, I.G.B. 2010. Ilmu Kebidanan,
Kandungan dan KB. Jakarta: EGC.
Maryunani, A. 2010. Biologi Reproduksi
dalam Kebidanan. Jakarta: TIM.
Notoatmodjo, S.
2010.
Metodologi
Penelitian Kesehatan.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi Tesis
dan
Insrumen
Penelitian
Keperawatan.
Jakarta:
Salemba
Medika.
Permenkes
RI.
2004.
Pedoman
Persyaratan Kesehatan Pelayanan
Sehat Pakai Air ( SPA ). Jakarta.
Praptiani, W. 2012. Kebidanan Oxford
dari Bidan untuk Bidan. Jakarta:
EGC.
Primadiati, R. 2002. Aromaterapi
Perawatan Alami Untuk Sehat &
Cantik.
Jakarta:
PT Gramedia
Pustaka Utama.
Rahayu, D.Y. dan Esty Wahyuningsih.
2010. Kegawatan dalam Kehamilan
Persalinan. Jakarta: EGC
Satyanegara, S. 2008. Panduan Lengkap
Kehamilan, Melahirkan, dan Bayi.
Jakarta: Arcan.
Subekti, N.B. 2004. Nyeri Persalinan.
Jakarta: EGC.

Sugiyono.
2012.
Statistika
untuk
Penelitian. Alfabeta: Bandung.
________. 2013. Metode Penelitian
Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D). Alfabeta:
Bandung.
Sulistyowati, D. I. D. 2012. Efektifitas
Terapi Aroma LavenderTerhadap
Tingkat Nyeri dan Kecemasan
Persalinan Primipara Kala I Di
Rumah Sakit dan Klinik Bersalin
Purwokerto. Universitas Indonesia.
Sumarah. 2009. Perawatan Ibu Bersalin
(Asuhan Kebidanan pada Ibu
Bersalin). Yogyakarta: Fitramaya.
Wahyuningsih, E. 2008. Buku Ajar
Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC.
Wijayati, M.A. 2005. Buku Ajar
Keperawatan Maternitas. Jakarta:
EGC.
Wiknjosastro, S. P. 2007. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: YBP-SP.
Yudha, E.K dan Nike Budhi. 2009.
Obstetri Williams Panduan Ringkas.
Jakarta: EGC.
Yuliatun, L. 2008. Penanganan Nyeri
Persalinan
dengan
Metode
Nonfarmakologis.
Malang:
Banyumedia Publishing.
Zahra, A. Dan Leila, M.S. 2013. Lavender
Aromatherapy Massages in Reducing
Labor Pain and Duration of Labor.
African Journal of Pharmacy and
Pharmacology. Halaman 426-430.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

65

ISSN 2303-1433

PENGARUH POSISI MERANGKAK TERHADAP KEMAJUAN


PERSALINAN KALA I FASE AKTIF PADA PRIMIGRAVIDA
DI BPS NY.ENDANG SUMANINGDYAH KOTA KEDIRI
Rahajeng Siti Nur Rahmawati, Ira Titisari, Susanti Pratamaningtyas
ABSTRACT
The research were reported that 15,4% woman which in complication in labour,
where the complication active phase length is mostly experienced by primigravida. On
course hand knee position estimated can assist to turn around fetus, shortening conjugata
vera and improve room of flank so that good for quicken progress of labour. Intention of
this research is to know effect of hand knee position to quicken progress of I active phase
at primigravida at BPS.Endang Sumaningdyah Kediri. Research desaign used correlation.
Selected by Sampel is mother of primigravida in I active phase at BPS.Endang
Sumaningdyah Kediri. Technique sampling used total sampling. Amount of sampel criteria
is counted 10 responded. Technique data collecting responded using observation sheet and
partograf which filled by researcher. Analysis data used Fhiser Exacts Test with level of
significant 5%. Result of which is got P ( 0,033 ) < ( 0,05) so that can be conclusion
that there is effect of hand knee position to quicken progress I active phase at primigravida
at BPS Endang Sumaningdyah Kediri. Suggestion for next research to be more
comprehend about factors director to progress of labour and to research place to be can
continue the habitual in suggesting mother to use hand knee position to quicken labour
process.
Key word: hand knee position , quicken progress of labour, first active phase
.
membatasi ibu hanya pada posisi tertentu
Latar Belakang
Persalinan
merupakan
proses
selama persalinan dan kelahiran bayi
alamiah dimana terjadi pembukaan sampai
(JHPIEGO dan Departemen Kesehatan
lahirnya bayi dan plasenta dari rahim ibu
RI. 2001).
(JHPIEGO dan Departeman Kesehatan
Begitu pula seperti yang telah
RI. 2001). Oleh karena itu sebagai upaya
diungkapkan oleh Flint (1986) dalam
sayang ibu dan sayang bayi pada
(Christin, H. 2006) bahwa faktor penting
persalinan, tenaga kesehatan selaku
saat seorang wanita berada dalam
penolong persalinan terlatih hendaknya
persalinan adalah bukan saat ia akhirnya
memberi
dukungan
dan
motivasi
melahirkan tetapi tetap mampu bergerak
diantaranya memberi kebebasan ibu untuk
selama persalinan. Pada masa pertengahan
memilih posisi yang nyaman dalam
wanita
Eropa
diharapkan
tetap
persalinan. Hal ini dikarenakan dari
melanjutkan tugas rumah tangganya
beberapa penelitian menunjukkan bahwa
sampai tiba kala II persalinan, banyak
banyak ibu di Indonesia yang masih tidak
wanita merasa lebih mudah menghadapi
mau
meminta
pertolongan
tenaga
rasa nyeri dan mampu mengguncang atau
penolong persalinan terlatih untuk
memutar panggul dengan baik serta
memberikan asuhan selama persalinan dan
menggunakan
efek
grafitasi
yang
kelahiran. Sebagian memberikan alasan
membantu penurunan janin. Kemampuan
bahwa penolong persalinan terlatih tidak
untuk mengubah postur dan posisi tubuh
benar-benar memperhatikan kebutuhan
dengan bebas berguna untuk memperlebar
atau kebudayaan, tradisi dan keinginan
diameter panggul dan mempengaruhi
pribadi para ibu dalam persalinan dan
kemajuan persalinan.
kelahiran
termasuk
didalamnya

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

66

ISSN 2303-1433

Kenyamanan adalah hal tertinggi


yang diperhatikan oleh wanita, tetapi
karena
tidak
mudah
menjamin
kenyamanan pada kala ini maka posisi
yang meminimalkan ketidaknyamanan
dan meningkatkan usaha ibu untuk
mengejan dapat diterima. Posisi dorsal
untuk melahirkan tidak direkomendasikan
karena selain fakta bahwa mengejan
menjadi sulit, posisi ini menyebabkan
kompresi pada vena kava ibu sehingga
kemungkinan akan menyebabkan hipoksia
janin (Humphrey, et. al. 1974) dalam
(Christine, H. 2006).
Merangkak dengan menggunakan
kedua tangan dan lutut dengan perlahan
diperkirakan dapat membantu memutar
janin dari posisi oksipito posterior ke
posisi anterior yang dapat dilakukan
sebelum persalinan dimulai serta membuat
nyaman selama persalinan. Selain itu
teknik tarikan dan embusan napas yang
disertai dengan gerakan ini dapat
membantu ibu mengumpulkan tenaga
untuk mendorong janin ke posisi paling
ideal untuk melahirkan secara normal.
Jika dilakukan menjelang persalinan,
gerakan ini membantu janin meluncur
secara berayun ke jalan lahir sehingga
proses pembukaan dalam kemajuan
persalinan lebih mudah terjadi (Bonny, D.
2004). Posisi merangkak ini akan
memendekkan conjugata vera dan
meningkatkan ruang pintu panggul,
sehingga selain berguna untuk kemajuan
persalinan juga berharga pada kala I
apabila oksiput berada dalam presentase
posterior serta memudahkan janin
berputar dan turun ke rongga panggul
(Sylvia, V. 2003).
Umumnya kemajuan persalinan
bergantung pada interaksi dari 3 variabel
yaitu tenaga, jalan lahir dan janin. Selain
dari 3 hal tersebut, riset menunjukkan
bahwa posisi ibu dapat membantu
mempercepat
kemajuan
persalinan
(Bonny, D. 2004). Kemajuan persalinan
itu sendiri diawali dengan adanya awitan
yang disebut juga dengan kala I
persalinan. Dalam hal ini ditandai dengan

dimulainya kontraksi yang teratur,


pengeluaran lendir yang bersemu darah
(Bloody Show) dan adanya pembukaan
serviks. Kala I selesai apabila pembukaan
serviks uteri telah lengkap pada
primigravida berlangsung kira-kira 13 jam
(fase laten 7-8 jam, fase aktif 5-6 jam),
sedangkan pada multipara berlangsung
kira-kira 7 jam (fase laten + 4 jam, fase
aktif + 3 jam) (Hanifa, W. 2002).
Persalinan fase aktif biasanya
mengacu pada pembukaan serviks lebih
dari 4 cm disertai kontraksi yang
mengalami kemajuan, yakni kontraksi
yang menjadi semakin lama, kuat dan
sering. Perlu diketahui bahwa baik pada
multipara dan primipara terkadang
pembukaan mencapai 3,4 atau bahkan 5
cm tanpa kontraksi yang mengalami
kemajuan. Itu berarti mereka belum
memasuki persalinan dengan kemajuan
seiring dengan kontraksi tersebut (Penny,
S. 2005). Dalam penelitian didapatkan
15.4% wanita mengalami komplikasi pada
waktu persalinan, dimana komplikasi
tersebut adalah fase aktif memanjang.
Dikatakan pula bahwa komplikasi saat
persalinan tersebut sebagian besar dialami
oleh
primigravida,
karena
pada
primigravida umumnya fase persalinan
cenderung lebih lama daripada multi
sehingga kemungkinan untuk mengalami
partus lama sangatlah besar bila tindakan
dalam proses persalinan tidak dilakukan
dengan tepat (www.litbang.depkes.go.id.
2007).
Namun oleh Keirse et al. (2000)
dalam (Vicky, C. 2006) dinyatakan bahwa
kebanyakan persalinan lambat cenderung
berakhir baik hanya dengan intervensi
sederhana berupa pemberian kata-kata
indah, dukungan yang baik dan dorongan
untuk mobilisasi atau pemilihan posisi
yang tepat. Dan kurang lebih ibu yang
dianggap mengalami persalinan lama atau
kemajuan buruk dalam pembukaan serviks
akan maju sama baiknya dengan atau
tanpa oksitosik dengan intervensi tersebut.
Di dalam intervensi tersebut banyak
teknik dirancang untuk memperbaiki

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

67

ISSN 2303-1433

kekuatan tenaga jalan lahir dan janin.


Termasuk teknik penggunaan tubuh
wanita itu sendiri, penggunaan penyangga
untuk mendukung wanita dalam beberapa
posisi dan gerakan khusus, dan penekanan
atau dukungan fisik oleh orang lain
(Penny, S. 2005).
Selama ini posisi bersalin banyak di
motivasi oleh bidan tanpa memberi
alternatif pada ibu bersalin untuk memilih
posisi sendiri yang paling cocok. Hal ini
tampak dari data yang diperoleh peneliti
di BPS Ny.Endang Sumaningdyah pada
tanggal 18 30 Agustus 2008, yaitu dari
12 kasus persalinan terdapat 10 orang
bersalin yang hanya tidur miring atau
terlentang dan 2 orang tidak melakukan
posisi miring dengan benar tanpa disertai
mobilisasi apapun sehingga kemajuan
persalinan menjadi lambat. Untuk
mengatasi permasalahan diatas bidan
dirasakan perlu untuk memberitahu
alternatif pilihan posisi temasuk salah
satunya yaitu posisi merangkak untuk
mendukung kemajuan persalinan.
Dari latar belakang diatas peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian
dengan tujuan mengetahui Hubungan
posisi merangkak terhadap kemajuan
persalinan kala I fase aktif pada
primigravida
di
BPS
Ny.Endang
Sumaningdyah Kota Kediri.
Metode Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah
ibu primigravida kala I fase aktif diBPS
Ny.Endang Sumaningdyah sejumlah 14
orang. Dalam penelitian ini menggunakan
total sampling yaitu 14 orang. Variabel
independen dalam penelitian ini adalah
posisi merangkak. Variabel dependen
dalam penelitian ini adalah kemajuan
persalinan kala I fase aktif. Untuk
mengetahui hubungan antara 2 variabel
maka peneliti melakukan analisa korelasi
dengan menggunakan uji Fisher Exact
Probability Test.
HASIL PENELITIAN
1. Posisi Merangkak yang benar

Tabel 1. Tabulasi distribusi posisi


merangkak yang benar
No Posisi
Jumlah Prosentase
Merangkak
(%)
1
Benar
11
78,57
2
Salah
3
21,43
Jumlah
14
100
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa dari 14 responden yang
melakukan posisi merangkak yang benar
adalah 11 responden (78,57%) dan yang
melakukan posisi merangkak salah adalah
3 responden (21,43%).
2. Kemajuan Persalinan Kala I Fase Aktif
Tabel 2. Tabulasi distribusi kemajuan
persalinan kala I fase aktif
No Kemajuan
Jumlah Prosentase
persalinan
(%)
1
6 jam
12
85,71
2
> 6 jam
2
14,29
Jumlah
14
100
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa dari 14 responden yang
kemajuan persalinannya 6 jam adalah 12
responden (85,71%), sedangkan yang
kemajuan persalinannya > 6 jam adalah 2
responden (14,29%).
3. Pengaruh Posisi Merangkak Terhadap
Kemajuan Persalinan Kala I Fase Aktif
pada Primigravida
Tabel 3 Tabulasi Distribusi (Tabel
Kontingensi 2 x 2) Hubungan Posisi
Merangkak
Terhadap
Kemajuan
Persalinan Kala I Fase Aktif Pada
Primigravida.
Kemajuan
Posisi
persalinan
Total
Merangkak
6 jam > 6 jam
Benar
11 (a)
0 (b)
11
Salah
1 (c)
2 (d)
3
12
2
14
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa dari 14 responden,
diperoleh 11 responden (78,57%)
melakukan posisi merangkak yang benar
dengan kemajuan persalinan 6 jam, 1
responden (7,14%) melakukan posisi

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

68

ISSN 2303-1433

merangkak salah kemajuan persalinannya


6 jam, tidak terdapat responden (0%)
melakukan posisi merangkak yang benar
tetapi kemajuan persalinannya > 6 jam
dan 2 responden (14,29%) melakukan
posisi merangkak yang salah dengan
kemajuan persalinan > 6 jam.
Berdasarkan tabel distribusi diatas, maka
dipergunakan uji Eksak dari Fisher
(Fishers Exact Test) dengan rumus :
(a b)!(c d )!(a c)!(b d )!
P=
N!a!b!c!d!
Hasil Fishers Exact Test dengan SPPS
didapatkan hasil P = 0,033
taraf
signifikan () 0,05 sehingga P < , maka
Ho ditolak dan H1 diterima, yaitu ada
pengaruh posisi merangkak terhadap
kemajuan persalinan kala I fase aktif pada
primigravida
di
BPS
Ny.Endang
Sumaningdyah Kota Kediri.
PEMBAHASAN
1. Posisi Merangkak yang Benar
Pada penelitian ini sebagian besar
responden
menggunakan
posisi
merangkak yang benar (78,57%). Dalam
hal ini responden bersedia untuk mencoba
posisi
merangkak
karena
adanya
komunikasi dan penjelasan terlebih dahulu
bahwa
posisi
merangkak
dapat
meningkatkan
kemajuan
persalinan.
Namun demikian terdapat (7,14%)
responden yang melakukan posisi
merangkak salah, hal ini berkaitan dengan
adanya pertambahan rasa nyeri ataupun
ibu yang merasa kelelahan dalam
melakukan posisi merangkak.
Riset menunjukkan bahwa posisi ibu
dapat membantu mempercepat kemajuan
persalinan, gerakan ini dapat membantu
janin meluncur secara berayun ke jalan
lahir sehingga proses pembukaan dalam
kemajuan persalinan lebih mudah terjadi
(Bonny, D. 2004).
2. Kemajuan Persalinan Kala I Fase Aktif
Jumlah responden dengan posisi
merangkak yang benar dengan kemajuan
persalinan 6 jam ada 11 responden
(78,57%). Posisi merangkak dapat

mempercepat kemajuan persalinan pada


kala I fase aktif karena berlutut dengan
keempat tungkai ini dapat mengarahkan
tekanan majunya kepala secara anterior
dan bukan menuju perineum.
Persalinan dapat maju dengan posisi
berlutut,
bersandar
kedepan
dan
menyamankan tubuh dengan kedua
telapak tangan atau kepalan tangan karena
pada saat itu pula akan mempengaruhi
conjungata
vera
(memendek)
dan
meningkatkan ruang pintu keluar panggul
yang membantu janin menyodor ke posisi
ideal dan dapat meningkatkan kontraksi
uterus sehingga proses pembukaan dalam
kemajuan persalinan dapat lebih mudah
terjadi (Sylvia, V. 2003).
Menurut Flint (1986), faktor penting
saat seorang wanita berada dalam
persalinan adalah bukan saat ia akhirnya
melahirkan tetapi tetap mampu bergerak
selama persalinan karena dengan begitu
banyak wanita merasa lebih mudah
menghadapi rasa nyeri dan mampu
mengguncang/memutar panggul dengan
baik serta dapat menggunakan gravitasi
yang membantu penurunan janin.
3. Pengaruh posisi merangkak terhadap
kemajuan persalinan
Berdasarkan perhitungan Fishers
Exact Test diperoleh hasil P ( 0,033) <
(0,05) dengan demikian dapat dikatakan
bahwa ada pengaruh yang signifikan
antara posisi merangkak terhadap
kemajuan persalinan kala I fase aktif pada
primigravida.
Umumnya
kemajuan
persalinan bergantung pada interaksi 3
variabel yaitu tenaga, jalan lahir dan janin.
Namun selain dari 3 hal tersebut, riset
menunjukkan bahwa posisi ibu dapat
mempercepat
kemajuan
persalinan
(Bonny, D. 2004).
Pada posisi merangkak ini dapat
membantu memutar janin dari posisi
oksipito posterior ke posisi anterior, selain
itu teknik ini akan memendekkan
conjugata vera dan meningkatkan ruang
pintu panggul (Sylvia,V. 2003). Menurut
teori dikatakan bahwa dengan posisi
merangkak dapat meningkatkan kontraksi

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

69

ISSN 2303-1433

uterus sehingga proses pembukaan dalam


kemajuan persalinan dapat lebih mudah
terjadi (Sylvia, V. 2003).
Menurut Flint (1986), faktor penting
saat seorang wanita berada dalam
persalinan adalah bukan saat ia akhirnya
melahirkan tetapi tetap mampu bergerak
selama persalinan karena dengan begitu
banyak wanita merasa lebih mudah
menghadapi rasa nyeri dan mampu
mengguncang/memutar panggul dengan
baik serta dapat menggunakan gravitasi
yang membantu
penurunan janin.
Berdasarkan analisa hukum I Newton
posisi
merangkak
mempengaruhi
kemajuan persalinan adalah pada posisi
ini sebanding dengan gaya gravitasi
sehingga kekuatan gaya tarik bumi
menjadi lebih besar dan mempengaruhi
penurunan kepala janin. Dengan demikian
dengan posisi merangkak pada kala I fase
aktif dapat mempengaruhi kemajuan
persalinan karena memberbaiki posisi
kepala janin, kontraksi uterus lebih baik,
penurunan kepala lebih cepat dengan
bantuan gaya gravitasi sehingga akan
membantu proses pembukaan serviks.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Responden yang melakukan posisi
merangkak yang benar yaitu 11
responden (78,57%).
2. Pada posisi merangkak dengan
kemajuan persalinan 6 jam adalah 12
responden
(85,71%)
sedangkan
kemajuan persalinan > 6 jam adalah 2
responden (14,29%).
3. Ada pengaruh posisi merangkak
terhadap kemajuan persalinan kala I
fase aktif pada primigravida.
SARAN
1. Bagi penelitian yang akan datang
penelitian dapat dikembangkan lebih
lanjut
dengan
menggunakan
kelompok
kontrol
dan
waktu
penelitian yang cukup.
Disarankan
untuk
penelitian
berikutnya memberikan batasan yang

lebih rinci tentang frekwensi serta durasi


posisi merangkak untuk mendapatkan
hasil yang tidak bias.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S.1998.Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :
Rineka Cipta
Christine, H. Esential Midwifery, Ria, A.
dkk. (2005) (Alih Bahasa), Jakarta :
EGC
Danuatja, B.2004. Persalinan Normal
Tanpa Rasa Sakit. Jakarta : Pupa
Swara
Departemen Keehatan RI JHPIEGO.
2002.
Buku
Acuan
Asuhan
Persalinan Normal. Jakarta :
JNPKR
Gabriel, JF. 2002. Fisika Kedokteran.
Jakarta : EGC
Helen, V.2001. Maternity Care (2 nd ed),
Andry, H.(1999) (Alih Bahasa),
Jakarta : EGC
Helen, V.1997. Varneys Midwifery 3 th
ed. New York : Jone and Bartlett
Helen,
V.1997.
Varneys
Pocket
Midwifery, Wndah, P. (2001) (Alih
Bahasa), Jakarta : EGC
Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan ,
Penyakit Kandungan & Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan.
Jakarta : EGC
Mochtar R. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I.
Jakarta : EGC.
Nursalam, et al. (2001). Metodologi Riset
Keperawatan. Jakarta : Infomedika
Nursalam.
(2003). Konsep dan
Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu Keperawatan.
Jakarta :
Salemba Medika
Penny, S. 2002. The Labour Progress
Hand Book. Cridiono, dkk.(2005)
(Alih Bahasa). Jakarta : EGC
Sugiyono.
2006.
Statitika
Untuk
Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sylvia, V. 2003. Anatomi and Phyiologi
Applied to Obtetric (3 th ed ),
Hartono
(1997) (Alih Bahasa), Jakarta : EGC

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

70

ISSN 2303-1433

Vicky, C.2006. The Midwifes Labour &


Birth Handbook, H.Y, Kuncara.
(2003) (Alih Bahasa).Jakarta: EGC.
Wiknjosastro, H. 2002. Ilmu Kebidanan.
Jakarta : YBP- SP
Felly,
P.2003.Faktor-faktor
yang
berhubungan dengan komplikasi
Persalinan 3 tahun terakhir di
Indonesia.
Http:
//www.parenting.invillage.com.
Paulina, G.2007.Birthing Position. Http:
//www.litbang.depke.go.id.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

71

ISSN 2303-1433

PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM MENJAGA KEBERSIHAN MULUT


PADA BAYI
Koekoeh Hardjito, RE Wijanti, Siti Fatkhur Rahmah

ABSTRACT
Oral thrush often found in babies and young children who drink milk with bottle/pacifiers
and children taking fopspeen is not clean. The exixtences of residual milk can also be the
cause of these sariawan. One effort to prevent sariawan is to maintain mouth hygiene of
children. The purpose of this study was to identify the correlation between knowledge of
mother about sariawan with attitude of mother to do oral hygiene for a baby. Method is
used in this research is study analyze correlation with used approximaly cross sectional.
Population of this research is all mother which is had baby Sample in this research is 33
person From statistic test with standart errors 5% (0.05) was gotten p= 0,020 < 0.05, so
otherwise there is the correlation between knowledge of mother about sariawan with
attitude of mother to do oral hygiene for a baby. Suggested to health staff for care
increase service quality about health baby, So the mother can guard or correct the attitudes
and behaviors in the care of her baby.
Keyword : Knowledge, Attitude, Oral thrush, Oral Hygiene
Latar Belakang
Sariawan (Thrush) sering dijumpai
pada bayi dan anak kecil yang minum
susu dengan botol atau dot atau anak kecil
yang menghisap dot kempong (fonspeen)
yang tidak diperhatikan kebersihannya
(Ngastiyah, 2005). Penyakit ini dapat
menyerang bagian permukaan dalam
rongga mulut, bagian lidah dan gusi
(Susanto, 2007).
Sariawan sering terjadi akibat
rendahnya pengetahuan orang tua
mengenai perawatan mulut bayi yang
benar dan akibat kurang terjaganya
kebersihan mulut bayi. Anak dari orang
tua dengan tingkat sosial ekonomi yang
rendah maupun tinggi dapat mengalami
sariawan, apabila orang tuanya tidak
mengetahui cara merawat bayi secara
benar (Nursalam, 2005).
Prevalensi
sariawan
(stomatitis)
bervariasi tergantung pada daerah
populasi yang diteliti. Angka prevalensi
stomatitis berkisar 15-25% dari populasi
penduduk di seluruh dunia. Penelitian
telah menemukan terjadinya stomatitis
sekitar 2% di Swedia (1985) 1,9% di
Spanyol (2002) dan 0,5% di Malaysia

(2000). Stomatitis
tampaknya jarang
terjadi di Bedouins Kuwaiti yaitu sekitar
5% dan ditemukan 0,1% pada masyarakat
India di Malaysia. Di Indonesia belum
diketahui berapa prevalensi stomatitis di
masyarakat, tetapi dari data klinik
penyakit
mulut
di
rumah
sakit
Ciptomangun Kusumo, periode 20032004 didapatkan prevalensi stomatitis dari
101 pasien terdapat kasus stomatitis
17,3%.
Penyebab sariawan (thrush) pada
umumnya adalah candida albicans yang
ditularkan melalui vagina ibu yang
terinfeksi selama persalinan (saat bayi
lahir) atau tranmisi melalui susu botol dan
puting susu yang tidak bersih, atau cuci
tangan yang tidak benar. Pada bayi baru
lahir, biasanya timbul pada 7-10 hari
setelah lahir (Sefrina, 2012). Dampak
sariawan jika dibiarkan dan tidak segera
ditangani maka asupan nutrisi yang masuk
dalam tubuh bayi akan berkurang.
Masalah
tersebut
juga
dapat
mengakibatkan diare karena jamur dapat
tertelan dan menimbulkan infeksi usus
yang bila dibiarkan dan tidak diobati maka
bayi akan terserang diare seringkali

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

72

ISSN 2303-1433

kondisi ini dianggap sebagai hal yang


wajar dan kurang diperhatikan oleh orang
tua(Ngastiyah, 2005).
Data dari Dinkes Kabupaten Kediri
Tahun 2013 jumlah Bayi di Puskesmas
Papar sebanyak 723 Bayi, di Desa
Minggiran Kecamatan Papar Kabupaten
Kediri didapatkan 47 ibu
yang
mempunyai bayi, 4 ibu diantaranya pernah
membawa anaknya ke Bidan Praktek
dengan keluhan rewel, tidak mau minum
dan terdapat bercak putih kekuningan
pada lidah. Kondisi ini merupakan tanda
adanya sariawan pada bayi. Penelitian ini
bertujuan mengetahui hubungan antara
pengetahuan ibu tentang sariawan dengan
sikap ibu dalam menjaga kebersihan
mulut pada bayi.
Metode Penelitian
Penelitian analitik ini menggunakan
pendekatan
cross-sectional
dimana
variabel bebas yaitu pengetahuan dan
variabel terikat yaitu sikap diukur pada
waktu yang bersamaan. Penelitian
dilaksanakan
di
Desa
Minggiran
Kecamatan Papar pada bulan Juni 2014
dengan sampel sebesar 33 ibu dan teknik
pengambilan sampel secara random.
Instrumen
yang digunakan
dalam
penelitian ini berupa kuesioner untuk
pengetahuan dan sikap. Bila responden
mampu menjawab dengan benar sebesar
75 % atau lebih maka dikategorikan dalam
pengetahuan baik, jika kurang dari 75 %
maka masuk dalam kategori pengetahuan
kurang. Untuk sikap menggunakan
patokan nilai rata-rata yang diperoleh
responden. Jika responden mendapatkan
skor nilai rata rata sikap dari seluruh
responden maka masuk dalam kategori
sikap positif, jika kurang dari rata-rata
tergolong sikap negatif.
Uji yang
digunakan adalah fisher exact pada 0.05.

Hasil Penelitian
Hasil Penelitian ditunjukkan dalam
diagram di bawah ini:

Gambar 1. Pengetahuan responden


tentang sariawan

Gambar 2. Sikap responden


menjaga kebersihan mulut bayi

dalam

Gambar 3. Distribusi pengetahuan dan


sikap responden
Sebagian besar responden memiliki
pengetahuan yang kurang tentang
sariawan dan memiliki sikap negatif
dalam menjaga kebersihan mulut bayi.
Hasil uji statistic dengan Fisher Exact
menunjukkan P-value 0.02, lebih kecil
dari 0.05, sehingga terdapat hubungan
antara pengetahuan ibu tentang sariawan
dengan sikap ibu dalam menjaga
kebersihan mulut bayi.
Pembahasan
Responden
yang
mempunyai
pengetahuan kurang mayoritas tidak
mengerti tentang akibat yang ditimbulkan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

73

ISSN 2303-1433

sariawan ini bila dibiarkan terlalu lama.


Menurut Ngastiyah (2005) sariawan dapat
mengakibatkan diare karena jamur dapat
tertelan dan menimbulkan infeksi usus
yang bila dibiarkan dan tidak diobati.
Dengan keadaan ini ibu menjadi tidak
antusias untuk mencari tahu pencegahan
dari masalah sariawan ini. Seringkali
sariawan dianggap sebagai suatu hal yang
sepele.
Beberapa hal yang menjadikan
pengetahuan yang kurang adalah subyek
dari informasi yang dinilai kurang
menarik ataupun kurang berarti bagi
seseorang. Informasi inilah merupakan
sumber pengetahuan yang dapat diperoleh
dengan berbagai cara. Salah satu cara
mendapatkan informasi adalah dengan
membaca, sesuai dengan pendapat Ernia
Karina, 2014 bahwa apapun yang kita
baca akan menambah pengetahuan kita.
Kesempatan membaca yang dimiliki oleh
responden bisa menjadi alasan mengapa
pengetahuan responden berada pada
kategori kurang.
Penilaian sikap dalam penelitian ini
menggunakan patokan nilai rata-rata dari
keseluruhan
responden,
hasilnya
menunjukkan bahwa terdapat responden
yang sangat memperhatikan kebersihan
mulut bayi namun juga terdapat responden
yang kurang memperhatikan. Seringkali
dijumpai di masyarakat bahwa kebersihan
gigi bukanlah hal yang penting untuk
diperhatikan terutama pada bayi yang
belum memiliki gigi, masalah seringkali
dihubungkan dengan kebersihan gigi. Hal
inilah yang menjadikan rendahnya
perhatian responden terhadap pentingnya
menjaga kebersihan mulut bayi.
Menurut Wawan ddk, 2011 sikap
dapat berubah pada seseorang bila
terdapat
keadaan
tertentu
yang
mempermudah sikap pada orang tersebut,
juga disebutkan bahwa sikap seseorang
dipengaruhi oleh kebudayaan, tanpa
disadari kebudayaan telah menanamkan
garis pengarah sikap terhadap berbagai
masalah. Dalam masyarakat, pencegahan
terhadap sariawan ini dipandang sebagai

tindakan yang tidak penting, tidak perlu


dilakukan. Mereka masih awam dengan
tindakan ini. Keyakinan seperti itu
terbentuk dari orangtua atau mertua yang
memberikan pengaruh yang besar
terhadap sikap ibu dalam melaksanakan
kebersihan mulut.
Faktor lingkungan juga sangat
mempengaruhi
sikap
ibu
dalam
melaksanakan
kebersihan
mulut.
Walaupun ibu mengetahui tentang
sariawan
tetapi
lingkungan
tidak
memberikan dukungan positif untuk
melaksanakan kebersihan mulut, maka
sikap ini juga tidak akan terbentuk, ini
diperkuat dengan teori dari Nursalam
(2005) Lingkungan merupakan seluruh
kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruhnya
dapat
mempengaruhi
perkembangan dan perilaku.
Untuk
dapat
menjadi
dasar
pembentukan sikap, pengalaman pribadi
haruslah meninggalkan kesan yang kuat.
Karena itu, sikap akan lebih mudah
terbentuk apabila pengalaman pribadi
tersebut terjadi dalam situasi yang
melibatkan faktor emosional. Ibu yang
sudah mempunyai banyak pengalaman
bagaimana
pentingnya
melakukan
kebersihan mulut akan semakin baik pula
sikap yang terbentuk. Sikap diperoleh dari
diri sendiri atau orang lain yang paling
dekat.
Sikap
membuat
seseorang
mendekati atau menjauhi orang lain. Sikap
positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak
selalu terwujud dalam suatu tindakan yang
nyata.
Berdasar teori health believe model
bahwa Kesiapan Individu untuk merubah
perilaku dalam rangka menghindari suatu
penyakit atau memperkecil resiko
kesehatan adalah adanya dorongan dalam
lingkungan individu yang membuatnya
merubah perilaku dan perilaku itu sendiri.
Kesiapan individu dipengaruhi oleh faktor
seperti persepsi tentang kerentanan
terhadap penyakit, potensi ancaman , dan
adanya kepercayaan bahwa perubahan
perilaku akan memberikan keuntungan.
Konsep ini berkaitan erat dengan hasil

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

74

ISSN 2303-1433

penelitian
yang
menunjukkan
pengetahuan
yang
kurang
akan
menjadikan sikap yang kurang juga dalam
menjaga kebersihan mulut bayi.
Simpulan Dan Saran
Sebagian besar responden memiliki
pengetahuan yang kurang tentang
sariawan. Sebagian besar besar responden
memiliki sikap negatif dalam menjaga
kebersihan
mulut
bayi.
Terdapat
hubungan antara pengetahuan ibu tentang
sariawan dengan sikap ibu dalam menjaga
kebersihan mulut bayi.
Saran kepada tenaga kesehatan untuk
meningkatkan kualitas layanan kesehatan
yang diberikan pada ibu yang mempunyai
bayi dengan memberikan sehingga ibu
lebih memahami tentang gangguan pada
mulut bayi ini. Perubahan pemahaman
tentang dampak yang dapat ditimbulkan
oleh adanya sariawan perlu lebih
ditingkatkan pada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ernia Karina, 2014. Alasan mengapa
harus
rajin
membaca.
http://www.hipwee.com/motivasi/in
i-loh-alasan-kenapa-kamu-harusrajin-membaca/
Ngastiyah.2005. Perawatan Anak Sakit.
Jakarta: EGC
Nursalam
dkk.
2005.
Asuhan
Keperawatan Bayi&Anak (Untuk
Perawat & Bidan). Jakarta:
Salemba Medika
Sefrina, A. 2012. Mengenal, Mencegah,
Menangani Berbagai Penyakit
Berbahaya Bayi dan Balita. Jakarta
Timur: Dunia Sehat
Susanto, A. 2007. Kesehatan Gigi dan
Mulut. Jakarta: PT Sunda Kelapa
Pustaka
Wawan
A
dan
M.
Dewi.2011.
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Manusia.Yogyakarta: Nuha Medika

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

75

ISSN 2303-1433

PERBANDINGAN EFEK SUPLEMENTASI TABLET TAMBAH DARAH


DENGAN DAN TANPA VITAMIN C TERHADAP KADAR HEMOGLOBIN PADA
IBU HAMIL DENGAN USIAKEHAMILAN 16-32 MINGGU DI DESA KENITEN
KECAMATAN MOJO KABUPATEN KEDIRI
Siti Asiyah, Dwi Estuning Rahayu, Wiranti Dwi Novita Isnaeni
Abstract
The needed of Iron Tablet in pregnancy was increase than mother who not pregnant.
That cause of high metabolism at the pregnancy for formed of fetal organ and energy.
One of effort for prevent anemia in mother pregnant with giving the Iron tablet and vitamin
c. The reason of this research in 4 June 11 July 2014 is for compare the effect of iron
tablet suplementation with and without vitamin C toward Hemoglobin level in mother
pregnant With Gestational Age Of 16-32 Weeks In Desa Keniten Kecamatan Mojo
Kabupaten Kediri. This research method using comparative analytical. Research design
type of Quasy Eksperiment that have treatment group and control group. Treatment group
will giving by Iron tablet and 100 mg vitamin C, and control group just giving by iron
tablet during 21 days. Population in this research are all of mother pregnant with
Gestational Age Of 16-32 Weeks with Sampling technique is cluster random sampling is
29 mother pregnant. Comparison analysis of iron tablet suplementation effect with and
without vitamin C toward Hemoglobin level in mother pregnant With Gestational Age Of
16-32 Weeks, data analysis using Mann Whitney U-test and the calculated U value (44,5)
less than U-table (51). So there was difference of iron tablet suplementation effect with and
without vitamin C toward Hemoglobin level in mother pregnant With Gestational Age Of
16-32 Weeks Therefore, the addition of vitamin C on iron intake is needed to increase the
uptake of iron tablets. When the amount of iron uptake increases, the reserves of iron in the
body will also increase, so as to prevent anemia in pregnant women
Keywords : Iron Tablet (Fe), Vitamin C, Hemoglobin level, Mother Pregnant
(Gestational Age Of 16-32 Weeks)
Pendahuluan
Pada saat hamil, volume darah
meningkat 50%, sehingga hemoglobin dan
konstituen darah lainnya juga harus
meningkat. Hal ini diperlukan karena
makanan satu-satunya selama periode itu
hanya sebagian saja dapat memenuhi
kebutuhan bayi akan zat besi (Simkin,
2010). Selain itu, pada ibu hamil memiliki
tingkat
metabolisme
yang
tinggi.
Metabolisme pada ibu hamil ini
digunakan untuk membuat jaringan tubuh
janin, membentuknya menjadi organ, dan
juga untuk memproduksi energi agar ibu
hamil bisa tetap beraktivitas normal
sehari-hari. Karena itu, ibu hamil lebih
banyak memerlukan zat besi dibandingkan
ibu yang tidak hamil (Sinsin, 2008).

Institute of Medicine menganjurkan


suplemen zat besi sebanyak 30-60 mg
setiap hari, selama kehamilan untuk
memastikan terjadinya absorbsi dari zat
besi yang dibutuhkan setiap hari (Simkin,
2010).
Sebagian besar besi dalam bentuk
ferri direduksi menjadi bentuk ferro. Hal
ini terjadi dalam suasana asam dalam
lambung dengan adanya HCl dan vitamin
C yang terdapat di dalam makanan.
Absorpsi terutama terjadi di bagian atas
usus halus(duodenum) dengan bantuan
transferin dan feritin. Tranferin terdapat
dalam 2 bentuk, transferin mukosa
mengangkut besi dari saluran cerna ke
dalam sel mukosa dan memindahkannya
ke tranferin reseptor yang ada dalam sel

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

76

ISSN 2303-1433

mukosa. Tranferin mukosa kemudian


kembali ke rongga saluran cerna untuk
mengikat besi lain, sedangkan tranferin
reseptor mengangkut besi melalui darah
ke semua jaringan-jaringan tubuh.
Di dalam sel mukosa besi dapat
mengikat apoferitin dan membentuk
ferritin sebagai simpanan besi sementara
dalam sel. Di dalam sel mukosa apoferitin
dan feritin membentuk pool besi.
Sebagian besar tranferin darah membawa
besi ke sumsum tulang dan bagian tubuh
lain. Di dalam sumsum tulang besi
digunakan untuk membuat hemoglobin
yang merupakan bagian dari sel darah
merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh
yang membutuhkan (Almatsier, 2003).
Kebutuhan akan zat besi pada ibu
hamil
yang
meningkat,
dapat
menyebabkan anemia defisiensi besi pada
ibu hamil apabila tidak diimbangi dengan
asupan nutrisi yang memadai(Irianto,
2013) . Dalam upaya mencegah anemia
gizi pada ibu hamil, pemerintah
melakukan pemberian suplementasi TTD
(Tablet Tambah Darah) dengan dosis
pemberian sebanyak 1 tablet (60 mg
Elemental Iron dan 0,25 mg asam folat)
berturut-turut minimal 90 hari selama
masa kehamilan(Dinkes Jatim, 2012).
Walaupun demikian, ibu hamil dengan
anemia di Indonesia masih cukup tinggi,
yakni berdasarkan data Riskesdas 2013,
masih terdapat 37,1% ibu hamil yang
mengalami anemia atau ibu hamil dengan
kadar Hb kurang dari 11gr/dL(DepkesRI,
2013).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan pada bulan Februari 2014,
jumlah ibu hamil dengan anemia pada
tahun 2013 di Kabupaten Kediri sebesar
1648 orang ibu hamil. Untuk wilayah
kerja Puskesmas Mojo, jumlah ibu hamil
pada tahun 2013 yakni sebesar 832 dan
jumlah ibu hamil yang mengalami anemia
pada tahun tersebut sebesar 116 orang
atau mencapai 13,95%. Untuk wilayah
kerja Puskesmas Mojo, jumlah ibu hamil
dengan anemia terbesar berada di desa
Keniten, yakni terdapat 18 ibu hamil dari

seluruh ibu hamil dengan anemia atau


dengan persentase 15,5%.
Salah satu upaya untuk meningkatkan
kadar hemoglobin dalam darah, yakni
dengan meningkatkan penyerapan zat besi
(Fe) dalam tubuh, dengan cara
meningkatkan asupan vitamin C. Hasil
dari suatu penelitian menunjukkan bahwa
sebanyak 37% zat besi heme dan 5% zat
besi nonheme yang ada dalam makanan
dapat diabsorbsi. Zat besi nonheme yang
rendah absorbsinya dapat ditingkatkan
apabila adanya peningkatan asupan
vitamin C dan faktor-faktor lain yang
mempermudah absorbsi seperti daging,
ikan, dan ayam (Adriani, 2012).
Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sri Suwarni pada tahun
2012, menunjukkan terdapat perbedaan
kadar hemoglobin sebelum ke sesudah
dilakukannya intervensi. Pada kelompok
yang diberikan Fe dan vitamin C
menunjukkan
peningkatan
rata-rata
sebesar 1,54 gr/dL, dan kelompok yang
diberikan
Fe
saja
menunjukkan
peningkatan rata-rata sebesar 0,82 gr/dL.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan efek suplementasi tablet
tambah darah (Fe) dengan dan tanpa
vitamin C terhadap kadar hemoglobin
pada ibu hamil dengan usia kehamilan 1632 minggu
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik
komparatif
dengan
menggunakan
rancangan Quasy Eksperimen. Dimana,
pada kelompok eksperimental diberikan
perlakuan sedangkan kelompok Kontrol
tidak, pada kedua kelompok diawali
dengan pra-tes dan pasca tes. Peneliti
melakukan pengukuran terhadap kadar
Hemoglobin pada seluruh kelompok
(eksperimental dan kontrol). Selanjutnya,
kelompok eksperimental diberikan tablet
Fe dan vitamin C, sedangkan kelompok
kontrol hanya diberi tablet Fe saja.
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 29
ibu hamil.dibagi 2, yakni 15 orang ibu
hamil akan diberikan Fe dan vitamin C

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

77

ISSN 2303-1433

dan 14 orang ibu hamil akan diberikan Fe


saja.Instrumen yang digunakan pada
variabel bebas dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan checklist untuk
mengetahui jadwal konsumsi tablet
tambah darah dengan dan tanpa vitamin C
pada ibu hamil UK 16-32 minggu selama
2 minggu. Pada variabel terikatnya
menggunakan
lembar
observasi
pemeriksaan kadar Hb, baik sebelum atau
sesudah dilakukan perlakuan. Sedangkan
untuk variabel confounding menggunakan
instrumen berupa lembar observasi untuk
memantau jenis bahan makanan yang
dikonsumsi oleh ibu setiap harinya dengan
menggunkan metode recall 24 jam.
Uji statistik yang digunakan adalah Mann
Whitney U-test.
Hasil Penelitian
Tabel
1
Perubahan
Kadar
Hemoglobin pada Ibu Hamil dengan Usia
Kehamilan
16-32
minggu
yang
Mengkonsumsi Tablet Fe

No

Res
pon
den

Kadar Hb
Awal
(Sebelum
diberi
Tablet Fe)

Kadar
Hb Akhir
(Setelah
diberi
Tablet F)

Selisih
Kadar Hb
(Kadar Hb
awal
dengan
Kadar Hb
Akhir)

1.

10,8

12,4

1,6

2.

12,2

12,5

0,3

3.

10,1

12

1,9

4.

11,7

11,8

0,1

5.

10

11,6

11

-0,6

6.

12

10,8

10,1

-0,7

7.

14

11,1

10,3

-0,8

8.

16

11

11,2

0,2

9.

18

10,5

11,2

0,7

10.

20

12,4

12,5

0,1

11.

22

11,5

11,7

0,2

12.

24

10,3

10,4

0,1

13.

26

11,6

11,7

0,1

28
Rata-rata

12,2

11,5

-0,7

11,3

11,5

0,2

14.

Tabel
2
Perubahan
Kadar
Hemoglobin pada Ibu Hamil dengan Usia
Kehamilan
16-32
minggu
yang
Mengkonsumsi Tablet Fe dan Vitamin C
Res
pon
den

Kadar Hb
Awal
(Sebelum
diberi Tablet
Fe dan
Vitamin C)

Kadar Hb
Akhir
(Setelah
diberi
Tablet Fe
dan
Vitamin C)

Selisih
Kadar Hb
(Kadar Hb
awal
dengan
Kadar Hb
Akhir)

1.

11,2

12,2

2.

12,6

12,8

0,2

3.

10

10,8

0,8

4.

9,3

12,1

2,8

5.

11

11,7

0,7

6.

11

11,8

12,4

0,6

7.

13

10,7

10,1

-0,6

8.

15

10,4

10,2

-0,2

9.

17

8,7

10,8

2,1

10.

19

9,1

11

1,9

11.

21

9,5

11,8

2,3

12.

23

9,2

12,2

13.

25

10

10,5

0,5

14.

27

9,6

0,6

10,1

10,5

0,4

10,2

11,2

1,1

No

15.

29
Rata-rata

Diagram 1 Perbedaan Rata-rata Kadar


Hemoglobin pada Ibu Hamil dengan Usia
Kehamilan
16-32
minggu
yang
Mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (Fe)
dengan dan Tanpa Vitamin C
Pembahasan
Dari 14 responden yang diberikan
tablet Fe, terdapat 5 ibu hamil yang
mengalami anemia ringan, yakni dengan
kadar hemoglobin 9-10 gr/dL. Dengan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

78

ISSN 2303-1433

kadar Hb awal terendah 10,1 g/dL yang


termasuk dalam kategori anemia ringan
dan kadar Hb awal tertinggi 12,4 g/dL
yang termasuk dalam kategori normal. Hal
ini disebabkan karena pada ibu hamil
mengalami hemodilusi dimana jumlah
serum darah lebih besar dari pertumbuhan
sel darah sehingga terjadi pengenceran
darah. Oleh karena itu, dibutuhkan
tambahan zat besi 30-60 mg per hari yang
didapatkan dari suplemen.
Pada penelitian ini, 14 ibu hamil
dengan usia kehamilan 16-32 minggu
diberikan tablet Fe selama 21 hari. Hasil
penelitian menunjukkan kadar Hb akhir
terendah yakni 10,1 gr/dL dan kadar Hb
akhir tertinggi yakni 12,5 gr/dL. Pada
kadar Hb akhir terendeh mengalami
penurunan, yang sebelumnya dari kadar
Hb awal yang mengalami anemia ringan.
Dengan adanya protein hewani dan
vitamin
C
dapat
meningkatkan
penyerapan, sedangkan kopi, teh, dan
garam kalsium magnesium dan fitat dapat
mengikat besi sehingga mengurangi
jumlah sarapan dari besi tersebut
(Arisman, 2004). Oleh karena itu,
sebaiknya tablet besi dikonsumsi dengan
makanan yang dapat memperbanyak
jumlah serapan, misalnya dengan buah
yang banyak mengandung vitamin C,
sebaliknya makanan yang banyak
menghambat serapan besi sebaiknya tidak
dikonsumsi dalam waktu yang bersamaan.
Dari 15 responden yang diberikan
tablet Fe dan vitamin C, terdapat 10 ibu
hamil yang mengalami anemia ringan (910gr/dL) dan terdapat 1 ibu hamil yang
mengalami anemia sedang (7-8gr/dL).
Dengan kadar Hb awal terendah 8,7 g/dL
yang termasuk dalam kategori anemia
sedang dan kadar Hb awal tertinggi 12,6
g/dL yang termasuk dalam kategori
normal. Hal ini disebabkan karena pada
ibu hamil mengalami hemodilusi dimana
jumlah serum darah lebih besar dari
pertumbuhan sel darah sehingga terjadi
pengenceran darah. Oleh karena itu,
dibutuhkan tambahan zat besi 30-60 mg
per hari yang didapatkan dari suplemen.

Namun besi yang berasal dari suplemen


hanya dapat diserap oleh tubuh sekitar 16% saja. Penyerapan besi non-heme ini
dapat ditingkatkan dengan adanya zat
pendorongan penyerapan seperti vitamin
C dari buah ataupun sayur dan dari
suplemen. Selain itu zat pendorong
penyerapan Fe lainnya seperti daging,
ayam, ikan, dan hati.
Dalam penelitian ini, 15 ibu hamil
diberikan tablet Fe dan vitamin C.
Vitamin C berperan meningkatkan
absorbsi zat besi dalam usus, serta
transportasi besi dari transferin dalam
darah ke feritin dalam sumsum tulang,
hati, dan limpa (Adriyani, 2012). Vitamin
C mereduksi besi ferri menjadi ferro
dalam usus halus sehingga mudah
diabsorbsi. Vitamin C menghambat
pembentukan hemosiderin yang sukar
dimobilisasi untuk membebaskan besi bila
diperlukan. Absorbsi besi dalam bentuk
non hem meningkat empat kali lipat bila
ada vitamin C. Vitamin C berperan dalam
memindahkan besi dari transferin di
dalam plasma ke feritin hati (Almatsier,
2003).
Hasil penelitian menunjukkan kadar
Hb akhir terendah yakni 9,6 gr/dL dan
kadar Hb akhir tertinggi yakni 12,8 gr/dL.
Terdapat 5 ibu hamil yang mengalami
peningkatan kadar Hb melebihi 1 gr/dL,
ibu hamil tersebut memiliki kadar Hb
awal rata-rata 9,1 g/dL. Hal ini
disebabakan karena semakin tinggi
kebutuhan akan zat besi, maka absorbsi
besi non-heme dapat meningkat sampai
sepuluh kali, sedangkan besi heme dua
kali, selain itu ditunjang dengan
mengkonsumsi tablet Fe dan vitamin C
yang dapat meningkatkan absorbsi dari zat
besi. Sesuai dengan pendapat Katzung
(2002), bahwa absorbsi zat besi meningkat
sebagai respon terhadap simpanan zat besi
yang rendah atau kebutuhan zat besi yang
meningkat.
Kepatuhan dalam mengkonsumsi
tablet tambah darah ini merupakan salah
satu faktor yang dapat menyebabkan
perubahan kadar Hb pada ibu hamil.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

79

ISSN 2303-1433

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan


oleh Sifik (2012), yakni semakin tinggi
sikap kepatuhan ibu hamil dalam
mengkonsumsi tablet Fe, maka semakin
tinggi kadar Hb ibu hamil tersebut.
Kepatuhan dalam mengkonsumsi
tablet Fe ini dapat disebabkan karena
pengetahuan tentang manfaat dari tablet
Fe yang kurang dimengerti oleh ibu hamil,
sehingga menyebabkan berkurangnya
motivasi
dalam
diri
ibu
untuk
mengkonsumsi tablet Fe tersebut. Hal ini
sama seperti penelitian yang dilakukan
oleh Budiarni (2012), bahwa motivasi
merupakan faktor yang paling dominan
berhubungan
dengan
kapatuhan
mengkonsumsi tablet besi, semakin baik
motivasi, maka semakin patuh ibu hamil
mengkonsumsi tablet besi.
Selain dari kepatuhan mengkonsumsi
tablet
Fe,
faktor
yang
dapat
mempengaruhi perubahan kadar Hb yakni
dari konsumsi makan sehari-hari. Menurut
Almatsier (2003), hal ini dapat terjadi
karena beberapa faktor, yakni adanya
asam fitat yang ada dalam serat serelia,
asam oksalat di salam sayuran dapat
menghambat penyerapan besi, selain itu
tanin yang merupakan polifenol dan
terdapat di dalam kopi dan teh. Senyawa
ini akan mengikat besi sehingga besi tidak
dapat diserap oleh tubuh. Apabila besi
tidak dapat terserap oleh tubuh, maka besi
yang berada dalam duodenum akan
terbuang bersama dengan feses. Hal ini
menyebabkan cadangan besi dalam tubuh
juga berkurang, berkurangnya jumlah
cadangan besi dalam tubuh dapat
menyebabkan terjadinya anemia pada ibu
hamil.
Berdasarkan hasil uji Mann Whitney
U-test, didapatkan hasil u hitung (44,5)
lebih kecil daripada u tabel (51), artinya
terdapat perbedaan efek suplementasi
tablet tambah darah (Fe) dengan dan tanpa
vitamin C terhadap kadar Hemoglobin
pada ibu hamil dengan usia kehamilan 1632 minggu. Dari hasil penelitian
didapatkan selisih rata-rata kadar Hb pada
ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe

dan vitamin C sebesar 1,1 gr/dL


sedangkan selisih rata-rata kadar Hb pada
ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe
sebesar 0,2 gr/dL. Artinya, dengan adanya
vitamin C didapatkan kadar Hb ibu hamil
yang lebih tinggi daripada ibu hamil yang
hanya mengkonsumsi tablet Fe saja.
Penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Mulyawati (2003) tentang efek
suplementasi tablet besi folat yang
ditambah vitamin C pada wanita pekerja
pabrik kayu lapis di Tangerang yang
menemukan bahwa penambahan vitamin
C tersebut mampu meningkat kadar
hemoglobin dengan signifikan secara
statistik (p< 0.05).
Kadar Hb pada ibu hamil yang
mengkonsumsi tablet Fe dan vitamin C
lebih tinggi dari pada ibu hamil yang
mengkonsumsi tablet Fe saja, hal ini
dikarenakan vitamin C merupakan salah
satu faktor yang dapat meningkatkan
penyerapan dari tablet Fe. Vitamin C
bertindak sebagai enhancer yang kuat
dalam mereduksi ion feri menjadi fero,
sehingga mudah diserap dalam pH lebih
tinggi dalam duodenum dan usus halus.
Absorbs besi dalam bentuk non-heme
meningkat empat kali lipat bila ada
vitamin C. Agar dapat diabsorbsi, besi
non-heme didalam usus halus harus
berada dalam bentuk terlarut. Besi nonheme diionisasi oleh asam lambung,
direduksi menjadi bentuk ferro dan
dilarutkan dalam cairan pelarut, seperti
asam askorbat, gula, asam amino yang
mengandung sulfur. Pada suasana pH
hingga 7 di dalam duodenum, sebagian
besar besi dalam bentuk ferri akan
mengendap. Besi fero lebih mudah larut
pada pH 7, sehingga dapat dengan mudah
diabsorbsi tubuh (Almatsier, 2003).
Kesimpulan Dan Saran
Efek suplementasi tablet tambah
darah (Fe) terhadap kadar hemoglobin
pada ibu hamil dengan usia kehamilan 1632
minggu,
memiliki
rata-rata
peningkatan sebesar 0,2 gr/dL. Efek
suplementasi tablet tambah darah (Fe)

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

80

ISSN 2303-1433

dengan vitamin C terhadap kadar


hemoglobin pada ibu hamil dengan usia
kehamilan 16-32 minggu, memiliki ratarata peningkatan sebesar 1,1 gr/dL.
Terdapat perbedaan efek suplementasi
tablet tambah darah Fe, dengan dan tanpa
vitamin C terhadap kadar hemoglobin
pada ibu hamil dengan usia kehamilan 1632 minggu di Desa Keniten, Kecamatan
Mojo, Kabupaten Kediri.
Diharapkan setiap ibu hamil diberikan
tablet Fe dan vitamin C untuk dapat
meningkatkan penyerapan dari tablet Fe
sehingga dapat mencegah terjadinya
anemia pada ibu hamil

kecamatan-palmerah-kotaadministrasi-jakarta-barat/.
tanggal 16-7-2014

diakses

Sinsin, Iis. 2008. Seri kesehatan Ibu dan


Anak
Masa
Kehamilan
dan
Persalinan. Jakarta : Elex Media
Komputindo

Daftar Pustaka
Adriani,
Merryana
dan
Bambang
Wirjatmadi. 2012. Pengantar Gizi
Masyarakat. Jakarta : Kencana
Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar
Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia
Arisman, MB. 2004. Gizi dalam Daur
Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi.
Jakarta : Penerbit Buku Kedoteran
EGC. I: 2-13
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.2013. Hasil Riskesdas
2013 Terkait Kesehatan Ibu.
http://kesehatanibu.depkes.go.id/arc
hives/678. Diakses tanggal 26-22014 Pukul 21.25
Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi
Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba
Medika
Sifik dan Nanang Prayitno, 2012, Sikap
Kepatuhan Konsumsi Tablet Fe
Terhadap Kadar Hb Ibu Hamil yang
Berkunjung
ke
Puskesmas
Kecamatan
Palmerah
Kota
Administrasi Jakarta Barat.
http://www.esaunggul.ac.id/article/s
ekap-kepatuhan-konsumsi-tablet-feterhadap-kadar-hb-ibu -hamil-yangberkunjung-ke-puskesmas-

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

81

ISSN 2303-1433

KETERKAITAN PRESTASI BELAJAR DENGAN TINGKAT KECEMASAN


MAHASISWA PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN JIWA
Sucipto, Moh Alimansur
Abstract
Environmental hospital clinic is the only source of greatest anxiety for the students of
nursing (Triyana, 2002). The nursing students in the clinical practice of the hospital will
experience difficulties in the beginning of practice, almost all students experience anxiety
when beginning the practice (Sharif and Masoumi, 2005). Anxiety that occurs in the
student will certainly affect the success of nursing clinical practice mental activity. This
research is a descriptive cross sectional analytic approach. The study population is the
entire third level students who will carry out the Clinical Practice Psychiatric Nursing. The
sample in this study is partially third level students who will carry out the Clinical Practice
Psychiatric Nursing Nursing Academy Dharma Husada Kediri academic year 2013/2014
with a sample size of 90 respondents. Statistical tests used in the study is the Spearman rho
test. The results of the statistical test using the Spearman rho Spearman correlation values
obtained at 0.238 with a p-value = 0.024. This result shows the p-value <o, o5 which
means there is a relationship between anxiety students with student achievement in taking
psychiatric nursing care Course II.

Pendahuluan
Program pendidikan Diploma III
Keperawatan
merupakan
jenjang
pendidikan tinggi yang menghasilkan
perawat profesional pemula dengan
kompetensi 29 kompetensi salah satu
kompetensi
keperawatan
adalah
melaksanakan
asuhan
keperawatan
dengan
gangguan
jiwa.
(Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan SDM
Kesehatan, 2006). Untuk memenuhi
kompetensi tersebut metode pembelajaran
yang digunakan pembelejaran dikelas dan
pembelajaran praktek klinik di rumah
sakit Jiwa.
Menurut penelitian yang dilakukan
Helena dan Mustikasari (2001), lebih
separuh (64,3%) mahasiswa yang akan
praktek
klinik
keperawatan
jiwa
mengalami cemas berat hal ini disebabkan
sebagian masyarakat menganggap Rumah
sakit jiwa tempat yang menakutkan dan
dihindari, mahasiswa merupakan sebagai
bagian
dari
masyarakat
sebagian
beranggapan seperti masyarakat yang lain.
Menurut Sharif dan Masoumi (2005) yang
dikutip Triyana (2002) lingkungan klinik
rumah sakit merupakan satu-satunya

sumber kecemasan terbesar bagi kalangan


mahasiswa keperawatan. Masih menurut
Sharif dan Masoumi (2005) para siswa
keperawatan yang praktik klinik di rumah
sakit akan mengalami kesulitan-kesulitan
di awal praktik, hampir semua siswa
mengalami cemas saat diawal praktik.
Penyebab lain siswa kecemasan dalam
pengalaman klinik adalah kekhawatiran
siswa
tentang
kemungkinan
membahayakan pasien melalui kurangnya
pengetahuan mereka. Kecemasan yang
terjadi pada mahasiswa tentunya akan
mempengaruhi
kesuksesan
kegiatan
praktik klinik keperawatan jiwa.
Untuk meningkatkan kemampuan dan
kesiapan mahasiswa dalam melaksanakan
Praktik Klinik Keperawatan Jiwa,
mahasiswa harus menyelesaikan mata
kuliah keperawatan jiwa I yang memiliki
bobot kredit semester yang tinggi yaitu 4
(empat), metode pembelajaran mata
kuliah ini ceramah, diskusi, penugasan
dan pembelajaran di laboratorium
keperawatan jiwa. (Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan SDM Kesehatan,
2006),
sehingga dari aspek untuk
meningkatkan pengetahuan mahasiswa

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

82

ISSN 2303-1433

dalam
kesiapan
praktik
klinik
Keperawatan Jiwa, peneliti berasumsi
dengan prestasi belajar mata kuliah
keperawatan jiwa I akan mengurangi
kecemasan mahasiswa dalam praktik.
Yujuan penelitian untuk mengetahui
hubungan prestasi belajar mata kuliah
keperawatan jiwa I dengan tingkat
kecemasan dalam menghadapi praktik
klinik keperawatan jiwa mahasiswa
Akademi Keparawatan Dharma Husada
Kediri tahun 2013.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif analitik dengan pendekatan
secara cross sectional. Dalam penelitian
cross sectional digunakan pendekatan
transversal, dimana observasi terhadap
variabel bebas (faktor resiko) dan variabel
terikat (efek) dilakukan hanya sekali pada
saat yang sama. Populasi penelitian adalah
seluruh mahasiswa tingkat III yang akan
melaksanakan
Praktek
Klinik
Keperawatan Jiwa
AKPER Dharma
Husada Kediri tahun akademik 2013 /
2014 . Sampel dalam penelitian ini adalah
sebagian mahasiswa tingkat III yang akan
melaksanakan
Praktek
Klinik
Keperawatan Jiwa
AKPER Dharma
Husada Kediri tahun akademik 2013 /
2014. Dengan besar sampel 90 yang
dihitung dengan rumus seperti dibawah
ini:

Hasil Penelitian
Prestasi Belajar
Tabel 1 : Gambaran Prestasi Belajar
Mahasiswa dalam Mata Kuliah
Askep Jiwa II tahun 2014
Prestasi Belajar
kurang
cukup
baik
Total

Percent
8.9
43.3
47.8
100

Berdasarkan Tabel 1 dapat kita lihat


hampir setengahnya atau 43% mahasiswa
mempunyai Prestasi Belajar Baik.
Kecemasan
Tabel 2 : Gambaran tingkat Kecemasan
Mahasiswa dalam Mata Kuliah
Askep Jiwa II tahun 2014
Kecemasan
Berat
Sedang
Ringan
Total

Frequency
0
22
68
90

Percent
0
24.4
75.6
100.0

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat


sebagian besar atau 68% dari mahasiswa
yang menempuh Askep Jiwa II
mengalami Kecemasan ringan.
Tabulasi silang
Tabel 3 : Tabulasi silang serta hasil
Pengolahan
Analisa
hubungan
kecemasan dengan prestasi belajar
mahasiswa dalam Mata Kuliah
ASkep Jiwa II tahun 2014.
Kecemasan

Total
rs =0,238

Variabel dalam penelitian ini meliputi


Prestasi belajar mata kuliah Keperawatan
Jiwa I dan tingkat kecemasan. Uji statistic
yang digunakan dalam penelitian adalah
uji spearman rho.

Frequency
8
39
43
90

berat
sedang
Ringan

Prestasi Belajar Jiwa II


kurang cukup
baik
Total
0
0
0
0
5
10
7
22
3
29
36
68
8
39
43
90
p-value= 0,024

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat


36% mahasiswa mempunyai kecemasan
ringan dengan indeks prestasi baik.. hasil
uji
statistic
dengan
menggunakan
Spearman rho didapatkan nilai korelasi
spearman sebesar 0,238 dengan pvalue=0,024. Hasil ini menunjukkan nilai
p-value < o,o5 yang berarti ada hubungan
antara kecemasan mahasiswa dengan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

83

ISSN 2303-1433

prestasi
belajar
mahasiswa
dalam
menempuh Mata Kuliah Askep Jiwa II.
Pembahasan
Prestasi belajar Keperawatan Jiwa 1
Dari diatas menunjukkan
bahwa
sebanyak 43 responden ( 47,8 %) berada
pada tingkat prestasi belajar baik , 39
responden ( 43,3 % ) berada pada tingkat
cukup, 8 responden ( 8,9 % ) berada pada
tingkat kurang.
Hal tersebut dimungkinkan oleh
karena adanya rasa percaya diri dari
responden yang merupakan perwujudan
dirinya untuk bertindak dan mencapai
tujuan (berhasil) (Dimyati : 1999).
Tingginya prestasi belajar pada responden
(mahasiswa) bisa terjadi dengan alasan
adanya taraf / tingkat Intelegensi (IQ)
rata-rata (90-110) sehingga dengan
potensinya
tersebut
responden
(mahasiswa) berkompetisi menunjukkan
kemampuan bahwa ia telah mampu
memecahkan/ menyelesaikan tugas-tugas
belajar dengan baik (Ahmad, Supriyono :
1991).
Kecemasan
Berdasarkan
data
diatas
68
mahasiswa yang menempuh praktek klinik
keperawatan Jiwa dengan kecemasan
ringan, 22 mahasiswa
mengalami
kecemasan sedang
Hubungan Prestasi belajar dengan
tingkat kecemasan mahasiswa dalam
menempuh
praktik
Klinik
Keperawatan Jiwa.
Memperhatikan hasil penelitian yang
menggunakan analisa statistik Uji
spearman rho, seperti terlihat pada tabel
3 , di dapatkan nilai korelasi spearman
sebesar 0,238 dengan taraf kemaknaan P
= 0.05. berarti ada hubungan antara
Prestasi belajar dengan tingkat kecemasan
praktek klinik keperawatan jiwa.
Hal tersebut dimungkinkan karena
Menurut Kaplan dan Sadock (1997),
faktor eksternal yang mempengaruhi

kecemasan diantaran adalah Tingkat


pendidikan
dan
akses
informasi,
Pendidikan pada umumnya berguna dalam
merubah pola pikir, pola bertingkah laku
dan pola pengambilan keputusan (Noto
atmodjo, 2000). Tingkat pendidikan yang
sesuai dan didukung dengan kemampuan
prestasi yang baik akan membuat rasa
percaya diri mahasiswa yang merupakan
perwujudan dirinya untuk bertindak dan
mencapai tujuan (Dimyati : 1999).
Tingginya prestasi belajar pada
responden (mahasiswa) bisa terjadi
dengan alasan adanya taraf / tingkat
Intelegensi (IQ) rata-rata (90-110)
sehingga dengan potensinya tersebut
responden (mahasiswa) berkompetisi
menunjukkan kemampuan bahwa ia telah
mampu memecahkan/ menyelesaikan
tugas-tugas belajar dengan baik (Ahmad,
Supriyono : 1991). Tingkat pendidikan
yang cukup akan lebih mudah dalam
mengidentifikasi stresor dalam diri sendiri
maupun dari luar dirinya. Tingkat
pendidikan juga mempengaruhi kesadaran
dan pemahaman terhadap stimulus
(Jatman, 2000) Tingkat pendidikan yang
cukup akan lebih mudah dalam
mengidentifikasi stresor dalam diri sendiri
maupun dari luar dirinya. Tingkat
pendidikan juga mempengaruhi kesadaran
dan pemahaman terhadap stimulus
(Jatman,
2000).
Praktek
klinik
keperawatan jiwa dilaksanakan di Rumah
Sakit Jiwa (RSJ),
Fenomena
dimasyarakat bahwa stigma RSJ dan klien
gangguan jiwa sangat kuat sehingga
pengunjung di RSJ dan berinteraksi
dengan klien gangguan jiwa dapat
menimbulkan
kecemasan,
namun
mahasiswa yang memiliki prestasi baik
mempunyai
kemampuan
untuk
memecahkan masalah dan menyelesaikan
permasalahan belajar dengan baik dan
akhirnya kecemasan dapat diminimalisir.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian
Prestasi belajar Mata Kuliah Keperawatan
Jiwa I dengan tingkat kecemasan

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

84

ISSN 2303-1433

mahasiswa dalam menempuh praktik


Klinik Keperawatan Jiwa pada mahasiswa
Akper Dharma Husada Kediri Tingkat III
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Prestasi
belajar
Mata
Kuliah
Keperawatan Jiwa I : 47, 8 % baik.
2. Tingkat kecemasan mahasiswa 75, 6
% ringan.
3. Prestasi belajar baik mempengaruhi
tingkat kecemasan mahasiswa dalam
praktek klinik keperawatan jiwa.
Saran
Bagi Institusi Pendidikan dalam hal ini
Pembantu Direktur dan jajarannya:
1.

2.

Perlu ditingkatkan prestasi belajar


mahasiswa
terutama
dalam
mempersiapkan praktek klinik
keperawatan
jiwa,
terutama
difokuskan pada pembelajaran di
laboratorium keperawatan jiwa.
Perlu adanya Praktek Pra klinik
keperawatan
jiwa,
dengan
menggunakan lahan Panti psikotik
di bawah binaan dinas sosial

Novy Helena C.D. (20020 Gambaran


Tingkat Kecemasan Mahasiswa Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
dalam Menghadapi Praktek Klinik di
Rumah
Sakit
Jiwa.
htttp://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?
id=76313&lokasi=lokalttp://lontar.ui.ac.id/opac/th
emes/libri2/detail.jsp?id=76313&lokasi=lokal,
diakses tanggal 5-12-2013

Nursalam., & Pariani S. (2001),


Pendekatan Praktis Metodologi Riset
Keperawatan, Jakarta: Indomedika.
Santoso S. (2000). Latihan Analisis
Statistik dengan menggunakan Program
SPSS
11.
Jakarta:
Elek
Media
Komputindo.
Stuart, G W & Laria, MT (2005), Princiles
and pratice of phschiatric nursing 8th .
Missouri: Mosby:INC.

Daftar Pustaka
Kaplan, H.I & Saddock, B.J. 2005. Sinopsis
Psikiatri. 8th ed. Jakarta: Bina Rupa Aksara,
pp:1-8. Magister
Keliat, B.A. (1999). Penatalaksanaan Stress.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Kozier B.,& Erb G. (1991). Fundamentals of
Nursing : Conxcepts and Procedurs, Addition
Wesley Publishing Company California
Lutfa U & Maliya A. (2008) Faktor-faktor

yang mempengaruhi kecemasan pasien


dalam tindakan kemoterapi, Berita Ilmu
Keperawatan, ISSN 1979-2697, Vol. 1 No.
4Berita Ilmu Keperawatan, ISSN 19792697, Vol. 1 No. 4

Maramis,W.E (1998), Catatan Ilmu


Kedokteran Jiwa, Surabaya: Airlangga
University Press.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

85

ISSN 2303-1433

Jurnal Ilmu Kesehatan berupa hasil penelitian , konsep-konsep pemikiran atau ide kreatif
dan inovatif yang bermanfaat untuk menunjang kemajuan ilmu, pendidikan dan praktek
keperawatan professional. Naskah hasil penelitian hendaknya disusun menurut sistematika
sebagai berikut :
1. Judul, menggambarkan isi pokok tulisan secara ringkas dan jelas, ditulis dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul artikel dicetak dengan huruf besar di
tengah-tengah menggunakan font 12 Times New Roman.
2. Nama penulis, tanpa gelar. Jumlah penulis yang tertera dalam artikel minimal 1
orang, jika penulis terdiri 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul
artikel.
3. Abstrak, ditulis dalam bahasa Inggris dan merupakan intisari seluruh tulisan,
meliputi :masalah, tujuan, metode, hasildansimpulan (IMRAD: Introduction,
Method, Result, dan Discussion). Abstrak ditulis dengan kalimat penuh. Di bawah
abstrak disertakan 3-5 kata-kata kunci (keywords)
4. Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah sertatujuan
penelitian dan harapan untuk waktu yang akan datang.
5. Bahan dan Metode, berisi penjelasan tentang bahan-bahan dana lat-alat yang
digunakan, waktu tempat, teknik dan rancangan percobaan.
6. Hasil, dikemukakan dengan jelas dalam bentuk narasi dan data yang dimasukkan
berkaitan dengan tujuan penelitian.
7. Pembahasan, menerangkan arti hasil penelitian yang meliputi: fakta, teori dan
opini.
8. Simpulan dan saran, berupa keseimpulan hasil penelitian dalam bentuk narasi yang
mengacu pada tujuan penelitian. Saran berisi saran yang dapat diberikan oleh
penulis berdasarkan hasil penelitian.
9. Pengutipan, perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung
(nama,tahun).
10. Kepustakaan, sumberrujukan (kepustakaan) sedapat mungkin merupakan pustaka
terbitan 10 tahun terakhir diutamakan adalah hasil laporan penelitian danarti
kelilmiah dalam jurnal ilmiah.
Naskah yang dikirim keredaksi hendaknya diketik dalam CD, disertai cetakan pada
kertas HVS dengan salah satu program pengolah data MS Word, ukuran A4 (210X297
mm) denganjarak 1 spasi, font 11 Times New Romans, batas kertas 3 cm dari tepi kiri
2,5 cm dan tepi bawah, kanan dan atas.

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.3 No. 1 Nopember 2014

86

You might also like