Professional Documents
Culture Documents
1 Vote
Judul :
Analisa Mengenai Kebijakan 3 in 1 Dalam Mengatasi Kemacetan Lalu Lintas di DKI
Jakarta
Tugas Makalah
Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
Disarikan Oleh :
M. Lukmanul Hakim, S.Pd.I dan Amin Hendradipura, S.Ag.
Dosen : Dr. Muhammad Mulyadi, A.P, M.Si
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perencanaan merupakan suatu formasi dan implementasi strategi pembangunan
ekonomi, sosial, lingkungan, spasial dan sektoral.[1] Proses perencanaan bertujuan
untuk menciptakan kesejahteraan sosial secara berkeadilan. Indonesia merupakan salah
satu negara berkembang yang memiliki berbagai konsep perencanaan guna
meningkatkan kesejahteraan setiap masyarakat. Di wilayah DKI Jakarta yang menjadi
ibukota negara sekaligus pusat perekonomian negara, kepadatan penduduk
memunculkan berbagai masalah social, khususnya kemacetan. Terpusatnya aktivitas
bisnis, perbankan, perkantoran, dan pusat perbelanjaan maupun perumahan yang
membuat kemacetan semakin meningkat seTip harinya. Berbagai upaya dan kebijakan
Data di atas secara umum menunjukkan pola peningkatan dari jumlah kendaraan yang
ada di wilayah JADETABEK (Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi), dimana pada tahun
2010, jumlahnya mencapai 12 juta kendaraan. Dari jumlah tersebut, lebih dari 700.000
kendaraan berasal dari BODETABEK, bukan dari Jakarta, yang artinya penduduk Jakarta
meningkat sekitar 5,8% seTip pagi sampai sore hari. Itu merupakan sebuah fakta yang
sangat miris, karena Jakarta yang sebelumnya telah menjadi kota terpadat, justru
bertambah padat akibat para pendatang harian tersebut. Apalagi, jika jumlahnya
semakin lama mengarah pada pola yang sama dan terus-menerus meningkat. Maka
dari itu, Jakarta semakin lama semakin menjadi padat, khususnya pada waktu siang hari
sebelum masyarakat beraktivitas dan setelahnya.[3]
Saat ini jumlah perjalanan rata-rata perhari di kawasan kota Jakarta sudah mencapai 17
Juta jiwa, dengan rasio penggunaan kendaraan pribadi sebesar 43,6% dibandingkan
penggunaan kendaraan umum yang tidak jauh berbeda sekitar 56,4%. Dan pada tahun
2010 menurut survey dari JICA perjalanan harian yang terjadi di wilayah Jakarta pada
tahun 2002 adalah sebesar 5.302.194, sedngakan pada tahun 2010 telah mencapai
angka 7.384.939, dimana sebanyak 791.2995 adalah perjalanan harian yang berasal
dari kota Depok dan Bogor. Arus lalu lintas kendaraan bermotor yang semakin lama
semakin bertambah maka menyebabkan kemacetan yang tak terhindarkan di Jakarta
Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di
Jakarta sudah masuk pada tahap mengkhawatirkan, dimana hampir seTip sudut ibukota
mengalami arus lalu lintas yang padat. Bahkan, tidak dipungkiri juga bahwa kemacetan
pun terjadi di jalan bebas hambatan (TOL) atau jalan alternatif lainya. Pertumbuhan
penduduk di Jakarta yang terus diimbangi dengan kepemilikan kendaraan bermotor
pribadi, baik roda empat maupun roda dua menjadi penyumbang kemacetan utama
yang terjadi di Jakarta. Jika para pengendara ini beralih menggunakan angkutan umum,
maka sudah jelas kemacetan akan berkurang. Transportasi publik seperti Transjakarta
yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta pun
jumlahnya terbatas sehingga tidak dapat menampung mobilisasi yang tinggi bagi
penduduk Jakarta. Pertambahan kendaraan bermotor tersebut tidak diimbangi dengan
perluasan jalan raya yang mengakibatkan bertambahnya kemacetan di Jakarta seTip
harinya.
Salah satu upaya pemerintah daerah untuk menanggulangi kemacetan adalah dengan
menggunakan program 3 in 1 (Three in One). 3 in 1 adalah program pemerintah yang
dibentuk oleh SK Gubernur 4104/2003 dengan tujuan untuk mengurangi kepadatan
arus lalu lintas pada jam tertentu dan pada wilayah yang disebut protokol. Program ini
mewajibkan para pengguna kendaraan roda empat untuk membawa penumpang
minimal tiga orang dalam satu mobil. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi
BAB II
Kerangka Pemikiran
1. Perencanaan Sosial
Perencanaan merupakan suatu upaya terpadu untuk diimplementasikan demi mencapai
tujuan tertentu.[6] Berikut merupakan beberapa pengerTin perencanaan menurut
beberapa tokoh:[7]
Pada hakikatnya perencanaan adalah usaha yang secara sadar, terorganisasi,
dan terus-menerus dilakukan guna memilih alternatif untuk mencapai tujuan
tertentu (Waterston, 1965: 26)
Perencanaan tidak terlepas dari kaitan persoalan pengambilan keputusan.
Implikasinya adalah bahwa pasti ada cara yang lebih baik dalam hal
pengambilan keputusan tersebut, mungkin dengan cara lebih memperhatikan
lebih banyak data yang ada, ataupun hasil-hasil yang mungkin dicapai di masa
yang akan datang. (Schaffer, 1970: 29)
Perencanaan adalah suatu bentuk latihan intelegensia guna mengolah fakta
serta situasi sebagaimana adanya dan juga mencari jalan keluar guna
memecahkan masalah. (J. Nehru, dikutip dari Waterston, 1965: 8)
Perencanaan adalah suatu seni untuk melakukan sesuatu yang akan datang
dapat terlaksanakan. (Beenhakker, 1980: 22)
Perencanaan adalah merupakan penerapan yang rasional dari pengetahuan
manusia terhadap proses pencapaian keputusan yang bertindak sebagai dasar
perilaku manusia. (Sociedad Interamericana de Planification, dikutip oleh
Waterston, 1965: 8).
Perencanaan melibatkan hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan atau pilihan
mengenai bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada semaksimal mungkin guna
mencapai tujuan-tujuan tertentu atau kenyataan-kenyataan yang ada di masa depan.
Sedangkan, apabila kita membicarakan lingkup sosial, maka perencanaan sosial dapat
dirumuskan dalam lingkupan poin-poin berikut:[8] Perencanaan sosial merupakan upaya
terpadu yang menekankan pada partisipasi publik (komunitas) demi meningkatkan
kesejahteraan sosial secara berkeadilan. Perencanaan bukan hanya meliputi pembuatan
dokumen, melainkan melibatkan suatu proses yang terintegrasi sebagai hasil kerja
kelompok. perencanaan sosial juga memiliki skala prioritas yang berkembang dan
dinamis. Fokus perhaTin perencanaan sosial dapat berubah dan berkembang antar
waktu. Perencanaan sosial memiliki metode bottom up dalam prosesnya; menetapkan
tujuan, strategi, formulasi program, implementasi program, monitoring, dan evaluasi.
2. Kebijakan Sosial
Apabila ditarik pada tingkatan yang lebih abstrak, perencanaan sosial merupakan
bentuk implementasi dari kebijakan sosial.[9] Sedangkan kebijakan sosial adalah studi
mengenai sosial servis dan perihal kesejahteraan negara. Sosial servis yang dimaksud
di sini melingkup pada keamanan sosial, perumahan, kesehatan, pekerjaan sosial dan
pendidikan.[10]
Adapun studi kebijakan sosial meliputi tiga elemen utama, yaitu:[11]
Kebijakan sosial adalah mengenai studi kebijakan. Elemen inti dari kebijakan
adalah asal-usulnya, tujuan kebijakan tersebut dibuat, proses implementasi
kebijakan dan hasilnya. Kebijakan sosial berfokus pada studi sosial ekonomi atau
relasi politik, permasalahan sosial, atau institusi, di mana Tip permasalahan
dapat tidak hanya menyangkut pada satu sektor publik saja, namun dapat
tumpang-tindih dengan sektor publik lainnya.
Kebijakan sosial terfokus pada isu-isu sosial. Artinya, isu sosial di sini adalah isu
yang mencakup sosial sebagai fokus utama.
3. Participatory Planning
Participatory Planning menekankan pada keterlibatan para stakeholder, khususnya
masyarakat, dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan demi mencapai
kesejahteraan.[12] Planning for and by the people.[13] Dengan asumsi, partisipasi
masyarakat mengambil andil yang besar dalam proses perencanaan dan kebijakan
sosial. Sebab, para perencana menyadari bahwa seTip stakeholder harus dilibatkan
sebanyak mungkin dalam tahapan perencanaan, sehingga mereka dapat membantu
dalam memberi informasi yang pasti dan mendetail tentang kebutuhan dan kondisi
social yang perlu tercapai. Itupula pada akhirnya akan memberi dorongan pada
stakeholder untuk berpartisipasi dan berkomitmen besar dalam proses perencanaan
tersebut, sebelum dan setelah diimplementasikan.[14]
Menurut Conyers, pada dasarnya, partisipasi masyarakat sangat penting terutama di
negara-negara Dunia Ketiga, karena adanya kecenderungan masyarakat kurang
tanggap terhadap adanya perubahan sosial dan karenanya akan merasa cemas dengan
adanya perubahan.[15] Setelah terimplementasikan, mereka tidak mengetahui berapa
besar manfaat dari perencanaan ini untuk kesejahteraan mereka sendiri. Maka dari itu,
hal ini akan memperbesar kesenjangan sosial dan kebudayaan antara pihak perencana
dan dengan masyarakat itu sendiri. Selanjutnya, di berbagai negara berkembang bahwa
hasrat untuk lebih berpartisipasi dalam perencanaan dikaitkan dengan pendapat yang
antara lain menyatakan bahwa partisipasi berkaitan erat dengan diperolehnya
kemerdekaan politik sehingga dengan demikian keterlibatan masyarakat dalam
pembuatan keputusan merupakan hak sosial yang sangat mendasar.
4. Sustainable City
Konsep sustainable city berbasis pada pemikiran akan sustainable
development (pembangunan yang berkelanjutan). Sustainable development perlu untuk
diberlakukan dalam seTip kebijakan social, yakni sadar akan membutuhkan perubahan
yang bersifat fundamental serta revolusioner dalam aspek ekonomi dan masyarakat.
[16] Sustainable development merupakan konsep yang terintegrasi, menyatupadukan
tingkat lokal dan global, jangka pendek dan jangka panjang. Asumsinya, for the need
for action now to defend the future[17]. Jika manusia tidak melakukan perubahan,
maka dapat berakibat pada bencana besar bagi masalah lingkungan, seperti penipisan
lapisan ozon, perubahan iklim, perkembangbiakan nuklir, menghilangnya biodiversitas,
dan mengubah lahan menjadi gurun pasir. Para pejuang sustainable development ini
memperhatikan hubungan antara kualitas lingkungan dan keseimbangan sosial serta
kebutuhan akan partisipasi publik dalam mendukung hal tersebut.
Seperti halnya sustainable development, sustainable city ini bukan hanya
memperjuangkan ecologically sustainable, tetapi juga socially sustainable.[18] Dalam
arti, proses ini mengaitkan antara ekologi sosial dan biologis serta interaksinya dalam
sistem sosial-biologis yang khususnya terjadi di perkotaan, yakni human cities.
Perkotaan berbeda di pedesaan yang masih sangat melekat akan aspek alam,
sedangkan di perkotaan cenderung penuh akan intervensi manusia. Dalam
konsep sustainable city ini, manusia yang mayoritas hidup di perkotaan harus mulai
melakukan perencanaan yang bersifat keberlanjutan, dengan memperhatikan
konsekuensi jangka panjangnya. Sebab, intervensi manusia di perkotaan sangatlah
besar, apalagi jaringan yang mereka miliki dari satu kota dengan kota lain pada tingkat
global, sehingga implikasinya pada akhirnya mampu dirasakan pula secara global.
BAB III
TEMUAN DATA
Sumber: http://masivstar.blogspot.com/2009/12/daftar-kawasan-3-in-1-jakartaterbaru.html
3 in 1 (three in one)
Kebijakan 3 in 1 merupakan salah satu peraturan lalu lintas untuk mengurangi
kemacetan di DKI Jakarta. Kebijakan 3 in 1 merupakan pembatasan jumlah penumpang
kendaraan pribadi minimal berjumlah 3 orang dari pukul 07.00-09.00 dan pukul 16.3019.00. Kebijakan 3 in 1 mulai diberlakukan di Jakarta setelah terbentuknya SK
Gubernur No. 4104/2003 tentang penetapan kawasan pengendalian lalu lintas dan
kewajiban mengangkut paling sedikit 3 orang penumpang perkendaraan pada ruas-ruas
jalan tertentu di provinsi DKI Jakarta.[19] Seperti yang diketahui, kebijakan 3 in 1
diberlakukan pada titik-titik yang rawan kemacetan di DKI Jakarta, yaitu (1) Jalan
Sisingamangaraja, jalur cepat dan jalur lambat ; (2) Jalan Jenderal Sudirman, jalur cepat
dan jalur lambat ; (3) Jalan MH Thamrin, jalur cepat dan jalur lambat ; (4) Jalan Medan
Merdeka Barat ; (5) Jalan Majapahit ; (6) Jalan Pintu Besar Selatan ; (7) Jalan Pintu Besar
Utara ; (8) Jalan Hayam Wuruk ; (9) Sebagian jalan Jenderal Gatot Subroto antara
persimpangan jalan Gatot Subroto-jalan Gerbang Pemuda ( Balai Sidang Senayan )
sampai dengan persimpangan jalan HR Rasuna Said jalan Jenderal Gatot Subroto pada
jalur umum bukan tol. Ruas Jalan tersebut merupakan Jalan Protokol atau white area
karena merupakan kawasan perkantoran dan bisnis dan jalan yang resmi dilalui oleh RI
1 (presiden) dan RI 2 (wakil presiden) sekaligus pejabat negara lainnya.[20] Oleh karena
itu, kendaraan yang melewati ruas jalur-jalur tersebut perlu dibatasi untuk mengurangi
dampak kepadatan dan kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta.
Kebijakan 3 in 1 dilatarbelakangi peningkatan jumlah kendaraan baik motor maupun
mobil pribadi yang melintas di jalan raya Jakarta dengan sangat pesat, sedangkan jalur
yang tersedia masih belum ada peningkatan. Jadi, 3 in 1 ini awalnya berfungsi untuk
mengendalikan jumlah kendaraan yang berawal dengan asumsi sebagai berikut:
Transjakarta atau Busway. Jika para pengguna kendaraan pribadi tersebut menaiki bus
Transjakarta, maka itu dapat mengurangi jatah ruang di jalanan sebesar 95%.
Secara umum, proses pembuatan kebijakan ini melewati beberapa tahap setelah
turunnya SK Gubernur tersebut :
1. Perencanaan dirapatkan dalam Dinas Perhubungan secara internal, khususnya
PLLA dan MRLL (Manajemen Rekayasa Lalu Lintas) sebagai perannya untuk
mengurus kebijakan lalu lintas. Mereka paparkan perencanaannya.
2. Dirapatkan dengan kepolisian serta instansi lain yang terkait, direvisi jika perlu,
sampai mencapai pada kesepakatan yang semuanya setuju.
3. Dikirim ke pemerintah daerah, khususnya gubernur, untuk dirapatkan kembali.
Jika setuju, langsung ditanda-tangani menjadi sebuah Surat Keputusan (SK)
Gubernur. Jika tidak, maka direvisi kembali.
1. B.
Dinas Perhubungan, Polda DKI, Satpol PP, dan Dinas Sosial
sebagai Instansi Pemerintah yang Menjalankan Aturan 3 in 1
Informasi mengenai hubungan lembaga-lembaga negara dalam kebijakan 3 in 1 ini kami
dapatkan dari anggota PLLA Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang bernama M. Ridwan
serta Prasetyo. Saat ini Ridwan menjabat sebagai Koordinator Pengendalian dan
Pengawalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Prasetyo sebagai salah satu Staffnya.
Selain itu, kami juga mendapatkan informasi dari Bapak Suhenda yang merupakan polisi
yang sedang bertugas mengawasi lalu lintas di persimpangan CSW, Jakarta Selatan.
Dinas Perhubungan, sebagai lembaga yang berada di bawah Pemda DKI Jakarta,
bertugas untuk membuat perencanaan mengenai 3 in 1 sebagai program daerah.
Namun dalam pelaksanaannya, DISHUB tidak memiliki wewenang untuk menindak
pengendara yang melanggar aturan 3 in 1. Sama halnya dengan kemunculan joki.
DISHUB tidak memiliki wewenang dalam menindak joki. Ini artinya, peran DISHUB
dalam kebijakan 3 in 1 hanya sebagai pengawas dan pengendali saja. Hal ini dijelaskan
dalam Pasal 49 dan 50 Perda Nomer 12 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Dinas
Perhubungan bertindak sebagai pengawas dan pengendali pelaksanaan PerDa tersebut.
Penindakan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara yang melintasi wilayah 3
in 1 dilakukan oleh Polisi DKI Jakarta. Polisi memiliki wewenang dalam menindak
pengendara kendaraan pribadi yang tidak berisi tiga orang dalam satu mobil. Peran
dan wewenang polisi secara umum adalah menindak pelanggaran lalu lintas. Kebijakan
3 in 1 merupakan salah satu dari peraturan lalu lintas di Jakarta. Oleh karena itu, polisi
lah yang memiliki wewenang untuk menindak pengendara. Untuk mengatasi masalah
joki, polisi tidak peduli apakah di dalam mobil tersebut berisi joki atau bukan. Yang
terpenting adalah jumlah penumpang di dalam mobil tersebut berjumlah tiga orang
atau lebih. Polisi tidak memiliki wewenang untuk mengurus joki. Wewenang menangkap
dan menindak joki berada pada SATPOL PP.
Lain halnya dengan peran dan wewenang SATPOL PP. Lembaga ini memiliki kewenangan
untuk menertibkan dan menangkap para joki yang berkeliaran di lokasi-lokasi sebelum
jalur 3 in 1. Jika terjadi penangkapan terhadap joki, SATPOL PP akan menyerahkan joki
yang tertangkap tersebut kepada Dinas Sosial. Dinas Sosial kemudian memberikan
T adalah joki yang berasal dari Demak, Jawa Tengah. Pada awalnya ia merantau ke
Jakarta untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaan sebelumnya di desa,
yaitu sebagai pedagang buah. Namun saat menginjakkan kaki di Jakarta, ia ditipu dan
dirampok oleh kenalan barunya, sehingga ia kehilangan seluruh barang bawaan dan
uang bekalnya di Jakarta. Sempat menjadi gelandangan, akhirnya ia diajak oleh
kenalannya di Jakarta untuk bekerja sebagai joki 3 ini 1 di daerah Jakarta Pusat. Dengan
penghasilan rata-rata Rp. 60.000,- per harinya, T memutuskan untuk meneruskan
pekerjaan sebagai joki 3 in 1 hingga sekarang. Kini ia bekerja sebagai joki 3 in 1 di dua
daerah, yaitu di daerah di Jakarta Pusat dan di daerah Jakarta Selatan. Tidak ada
pembagian khusus dan tepat kapan ia bekerja di Jakarta Pusat ataupun kapan ia bekerja
di Jakarta Selatan.
Ia mengaku tidak ada prasyarat khusus untuk menjadi joki 3 in 1 di kedua daerah
tersebut. Tidak ada keharusan membayar retribusi dan meminta ijin sebagai joki 3 in 1
kepada preman atau pihak keamanan setempat, ataupun kepada oknum aparat
setempat. Untuk menjadi joki 3 in 1 hanya perlu berdiri pada barisan joki dan
memberikan simbol untuk bersedia diangkut kepada pengendara mobil pribadi yang
akan memasuki jalur 3 in 1. Adalah suatu keharusan menurut T, untuk mengenakan
pakaian yang rapi dan baik saat menjadi joki 3 in 1. Hal ini diperlukan agar saat ada
razia polisi di daerah 3 in 1, polisi tidak curiga bahwa joki 3 in 1 tersebut bukanlah
patner sebenarnya si pengemudi (cara berpakaian digunakan untuk memanipulasi
status sosial).
Razia keberadaan 3 in 1 hampir seTip kali dilakukan oleh pihak aparat berwenang,
dalam hal ini adalah pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Hampir seTip hari
Satpol PP lewat dan melakukan razia di daerah tempat barisan joki 3 in 1 berada.
Namun, menurut pengakuan T, ada dua bagian dari Satpol PP yang melakukan razia
terhadap mereka. Yang paling sering melakukan razia terhadap mereka adalah Satpol
PP yang memang tempat operasinya di daerah setempat. Sedangkan razia yang jarang
dilakukan oleh Satpol PP yang berwenang di daerah DKI Jakarta (bertanggung jawab
kepada walikota DKI Jakarta). Pada razia Satpol PP daerah setempat, joki 3 in 1 tidak
ditangkap dan tidak ditindak, juga tidak dipungut retribusi. Hal ini karena para Satpol PP
tersebut seperti telah memaklumi keadaan para joki 3 in 1 tersebut, sehingga tidak
dilakukan penindakan.
Namun berbeda halnya dengan razia yang dilakukan oleh Satpol PP dari DKI Jakarta
yang melakukan penindakan tegas kepada para joki 3 in 1. Mereka melakukan
penangkapan kepada joki 3 in 1 yang ketahuan tengah beroperasi. Joki 3 in 1 yang
ditangkap selanjutnya dibawa ke penampungan untuk dibina selama beberapa waktu. T
mengaku pernah ditangkap oleh pihak Satpol PP. Di tempat penampungan, selama 2
hari, ia mengaku dipekerjakan sebagai pembantu. Ia mengaku disuruh memijat para
preman yang ada di sana, lalu disuruh untuk melayani para aparat di sana (seperti
membuatkan minuman dan makanan). Menurut T, penampungan tersebut berlangsung
sangat lama. Joki 3 in 1 yang tertangkap akan dikurung selama seminggu di sana.
Setelah seminggu berjalan, joki-joki tersebut diberi pelatihan dan pembinaan secara
terus menerus. T hanya bertahan selama dua hari di tempat penampungan karena ia
mengaku tidak tahan dengan suasana di sana. Ia membebaskan diri dengan cara
menggadaikan handphone miliknya kepada para petugas.
4. Pengguna Joki[23]
Dua orang informan yang berinisial R dan S adalah sepasang suami-isteri yang
mengaku biasa menggunakan joki 3in1 dan bertempat tinggal di Pondok Cabe.
Perjalanan dari rumah menuju kantor biasanya memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2
jam, jika terjebak macet dapat memakan waktu 2 sampai 3 jam. S sudah bekerja
selama 11 tahun di daerah Thamrin dan menjabat sebagai branch manager di salah
satu bank sedangkan R bekerja sebagai sales marketing.
Mereka biasanya menggunakan joki mulai dari Blok M untuk menuju kantornya yang
melewati jalur protokol, tepatnya di daerah Sudirman. Jika tidak menggunakan joki
maka pilihan yang harus mereka gunakan adalah melalui daerah Pakubuwono yang
menempuh jarak lebih jauh juga waktu yang lebih lama. Mereka memang sering
menggunakan joki walaupun tidak seTip hari. Mereka biasa menggunakan joki hanya di
pagi hari sedangkan untuk sore hari mereka tidak pernah memanfaatkan jasa joki
karena jalur yang dilewati berbeda dari jalur berangkat kantor. Mereka tidak berani
untuk lewat jalur 3in1 jika penumpang mobilnya tidak memenuhi syarat.
Mereka biasa memberikan uang senilai Rp 12.000 untuk jalur tempuh antara Blok M
sampai Gedung BRI karena informan R bekerja di daerah tersebut. Sementara untuk S
yang harus melalui daerah Pancoran untuk melanjutkan perjalanan ke Tebet harus
membayar Rp 25.000. Mereka berdua sepakat bahwa jalur 3in1 tidak efektif dan
bukanlah solusi yang tepat. Sebenarnya banyak pengguna mobil yang menggunakan
jalur 3in1 tetapi tidak mematuhi peraturan yang berlaku. Di dalam mobil pun sering
sekali terlihat hanya ada satu atau dua orang dan polisi yang berjaga disekitar jalur 3in1
yang tidak menindak tegas akan hal itu. Mereka juga mengatakan bahwa polisi
terkadang memang melihat pelanggaran yang terjadi namun tidak memberhentikan
mobil tersebut karena takut justru akan menambah kemacetan yang ada.
Alternatif untuk menggunakan bus bukan menjadi pilihan bagi mereka karena jalur yang
dilewati juga jalur kemacetan. Begitu juga dengan busway yang dirasakan tidak ada
pengaruhnya terhadap solusi kemacetan Jakarta. R mengatakan bahwa sebenarnya
untuk busway jika kita hanya bepergian untuk jarak dekat mungkin akan membantu
namun tidak demikian dengan jarak jauh. Ia juga mengatakan bahwa di Jakarta sendiri
perencanaannya tidak baik dan tidak komprehensif seperti misalnya dalam pengaturan
jumlah mobil. Pemerintah DKI yang seharusya sudah tahu akan rasio panjang jalan
Jakarta, berapa jumlah mobil dan motor, dan berapa pertumbuhan antara mobil, motor,
dan juga jalan mampu menangani kemacetan yang terjadi. Selama ini yang dilakukan
oleh pemerintah DKI dalam kurun waktu 20 tahun terakhir yang terlihat adalah busway
dan terlihat tidak membantu untuk mengalihkan pengguna mobil ke busway. Kebijakan
3in1 juga dirasakan tidak membantu.
A.
Analisis
Kemacetan merupakan salah satu masalah yang dihadapi hampir seluruh negara di
dunia, tak terkecuali Indonesia. Kemacetan menjadi salah satu isu utama yang dihadapi
kota-kota besar di Indonesia. Jakarta, sebagai ibukota negara, menjadi pusat aktivitas
pemerintahan, bisnis, perkantoran, perbankan, perbelanjaan, sekaligus perumahan. Tak
pelak, jalan-jalan di ibukota negara ini dipenuhi oleh ratusan ribu kendaraan umum dan
pribadi setiap harinya yang beraktivitas di sana. Pemerintah memiliki kewajiban untuk
mengatur segala aspek kehidupan yang menyangkut masyarakat banyak, termasuk
mengatur lalu lintas. Berbagai macam kebijakan diluncurkan pemerintah Indonesia
untuk mengatasi masalah kemacetan ini. Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah daerah DKI Jakarta untuk mengurangi adalah kebijakan 3 in 1.
Program 3 in 1 merupakan sebuah kebijakan social yang diberlakukan oleh pemerintah
daerah. Tidak semua wilayah di Indonesia menerapkan kebijakan 3 in 1. Hal ini
dikarenakan wewenang untuk menentukan lalu lintas di suatu wilayah tertentu berada
di tangan pemerintah daerah. Kebijakan 3 in 1 merupakan salah satu dari kebijakan
yang diambil oleh pemerintah daerah DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan di
wilayah DKI Jakarta. Sebelum implementasi kebijakan 3 in 1 ini, pemerintah daerah DKI
Jakarta mengeluarkan suatu kebijakan yang kemudian menjadi dasar dari perencanaan
3 in 1. Secara umum, kebijakan merupakan suatu keputusan politik.
Kebijakan sosial yang menjadi cikal bakal perencanaan 3 in 1 bersumber dari SK
Gubernur 4104/2003. Hal yang melatar belakangi munculnya kebijakan ini adalah
karena banyaknya peningkatan jumlah kendaraan bermotor baru yang keluar seTip
harinya. Pada tahun 2002, Gubernur Sutiyoso baru saja naik jabatan, sehingga 2002
sampai 2003 menjadi momen dimana ia mengevaluasi permasalahan yang muncul dari
jabatan sebelumnya serta perubahan-perubahan apakah yang perlu diambil guna
mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu permasalahan yang dideteksi adalah
bahwa kendaraan bermotor baru yang dikeluarkan STNK-nya di Jakarta berjumlah 800
kendaraan per hari,[24] sedangkan ruas jalan di Jakarta jumlahnya tidak berubah. Hal
tersebut menunjukkan adanya isu social berdasarkan perkembangan jumlah kendaraan
yang digunakan masyarakat tidak sesuai dengan ruas jalan. Akibatnya, terjadi
kontestasi ruang antar masyarakat yang berasal dari Jakarta maupun sekitarnya,
sehingga pada akhirnya akan mencapai titik kemacetan secara besar-besaran.
Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kebijakan 3 in 1 ini merupakan kebijakan yang
berbasis sustainable city, karena ini menekankan pada pembangunan di perkotaan yang
berkelanjutan. Jakarta, seperti yang sebelumnya di jelaskan, karena menjadi pusat
perkotaan, maka seTip harinya sangat dipenuhi oleh kepadatan penduduk dan
kendaraan pribadi. Tetapi, kepadatan yang berdampak pada kemacetan tersebut tidak
diikuti dengan perencanaan yang mengatur pembangunan yang bersifat berkelanjutan.
Pasalnya, kemacetan berdampak langsung ataupun tidak langsung pada masalah social
maupun masalah alam. Berbagai dampak negative yang muncul dari kemacetan,
seperti terbuangnya waktu untuk beristirahat dirumah, letih akibat menyupir di
perjalanan yang panjang dan penuh dengan kemacetan, bahkan dapat berakibat pada
stress. Dampak tersebut bertolak belakang dengan konsep socially sustainable, karena
pada akhirnya kemacetan mengganggu fungsi manusia sebagai makhluk social.
Kemudian, dari sisi lingkungan pun, kemacetan bertolak belakang dengan ecologically
sustainable, seperti berdampak pada pollusi yang semakin memburuk serta
penggunaan Bahan Bakar Minyak yang berlebihan. Dari situ, terlihat bahwa sebelum
diberlakukannya 3 in 1 untuk menanggulangi isu kemacetan, pemerintah DKI Jakarta
belum menekankan pada pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Tetapi, dengan
landasan asumsi bahwa 3 in 1 dapat mengurangi pengguna jumlah kendaraan pribadi,
itu merupakan sebuah upaya pemerintah dalam merealisasikan pembangunan
perkotaan yang berkelanjutan atau sustainable city. Maka dari itu, atas kesadaran
tersebut, kemudian Gubernur Sutiyoso mengeluarkan Surat Keputusan yang mengatur
mengenai jumlah penumpang dalam satu mobil pribadi yang diizinkan untuk melintas
jalan dan waktu tertentu. Kebijakan yang dibuat oleh Gubernur ini merupakan sebuah
kebijakan social, sebagai upaya menindaklanjuti isu-isu social, khususnya kemacetan.
Di sisi lain, perencanaan merupakan langkah bagaimana kebijakan dan strategi tersebut
diimplementasikan. Menurut Waterston (1965), pada hakikatnya perencanaan adalah
usaha yang secara sadar, terorganisasi, dan terus-menerus dilakukan guna memilih
alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kasus kebijakan 3 in 1, perencanaan
merupakan langkah-langkah yang lebih konkret dalam mengimplementasikan kebijakan
3 in 1 yang bersumber dari SK Gubernur No. 1404/2003. Perencanaan kebijakan 3 in
1 mencakup wilayah mana saja yang akan diterapkan kebijakan tersebut, hari dan jam
diberlakukannya aturan tersebut, siapa saja lembaga pemerintah yang memiliki
wewenang untuk menjadi pengawas dan penindak pelaku pelanggaran, apa saja peranperan lembaga pemerintahan tersebut, siapa saja yang menjadi sasaran atau subjek
aturan 3 in 1 tersebut, dan bagaimana sistem pengawasannya.
Jalan-jalan yang menjadi wilayah diberlakukannya kebijakan 3 in 1 meliputi (1) Jalan
Sisingamangaraja, jalur cepat dan jalur lambat ; (2) Jalan Jenderal Sudirman, jalur cepat
dan jalur lambat ; (3) Jalan MH Thamrin, jalur cepat dan jalur lambat ; (4) Jalan Medan
Merdeka Barat ; (5) Jalan Majapahit ; (6) Jalan Pintu Besar Selatan ; (7) Jalan Pintu Besar
Utara ; (8) Jalan Hayam Wuruk ; (9) Sebagian jalan Jenderal Gatot Subroto antara
kemacetan, satu mobil pribadi harus berisi tiga orang atau lebih. Perencanaan ini berisi
hal-hal teknis dan langkah-langkah implementasinya demi tercapainya tujuan kebijakan.
Dalam kasus ini tujuannya adalah untuk mengurangi kemacetan.
Tetapi sangat disayangkan bahwa program 3 in 1 tersebut tidak memberikan hasil yang
cukup baik delapan delapan tahun terakhir ini, karena pada pengambilan keputusannya
tidak bersifat partisipatory planning. Kebijakan 3 in 1 beserta perencanaannya hanya
bersifat top-down, melibatkan pihak instansi aparat yang terkait dalam pelaksanaannya,
yakni Dinas Perhubungan, satpol PP, serta polisi. Tetapi, gubernur sebagai pengambil
kebijakan tidak meminta informasi yang dibutuhkan oleh para pengguna jalan protocol
ini, yang mereka lalui menggunakan kendaraan pribadi seTip harinya. Dinas
Perhubungan pun sebagai pembuat perencanaannya tidak melibatkan masyarakat pada
umumnya. Akibatnya, strategi tersebut menjadi kurang tepat sasaran. Pada
pengorganisasian perencanaannya pun, mereka tidak melibatkan masyarakat sekitar
yang melewati wilayah ini seTip harinya dengan kendaraan pribadi mereka, seperti para
pekerja di perkantoran sekitar Sudirman-Thamrin. Dalam hal ini, partisipasi dari
pengemudi kendaraan bermotor terlihat tidak ada. Mereka cenderung tetap
menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai tujuan mereka, atau dengan kata lain
tidak beralih ke kendaraan umum. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan pernyataan
dari informan kami yang merupakan pengemudi yang menggunakan jasa joki bahwa
dengan mereka menggunakan kendaraan umum pun, mereka tidak akan luput dari
kemacetan yang ada. Maka, planning for and by the people tidak berlaku, dimana
perencanaan 3 in 1 ini berguna untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi tidak dilakukan
oleh masyarakat.
Saat pelaksanaannya, kebijakan 3 in 1 menimbulkan kesenjangan social dan budaya
antara pihak perencana dengan masyarakat. Karena kebijakan ini basisnya tidak
mendapatkan masukan dari masyarakat setempat, maka masyarakat pun cenderung
menemukan berbagai celah untuk tidak berpartisipasi dalam perencanaannya. Hal ini
dapat dilihat dengan maraknya kasus dimana program 3in1 tersebut dijadikan sebagai
salah satu mata pencaharian orang-orang tertentu yang disebut sebagai Joki 3in1. Joki
3in1 merupakan seseorang yang menawarkan jasa untuk bersedia berada dalam mobil
pengendara roda empat selama jarak tertentu untuk menghindari pelanggaran akibat
pelaksanaan program tersebut. Dengan adanya joki, benar bahwa masyarakat ini
berpartisipasi dalam pelaksanaan 3 in 1, tetapi tetap saja tidak sesuai dengan asumsi
awal karena di dalamnya sebenarnya hanya mencakup 2 orang saja, dan 1 joki itu
hanya berpura-pura. Penggunaan joki ini sebagai upaya masyarakat untuk melewati
jalanan protocol, tanpa harus berpartisipasi dalam asumsi awal dari kebijakan 3 in 1.
Selanjutnya, dengan pengguna kendaraan yang beralih melewati jalanan alternative
sekitar jalan protocol. Itu bukanlah berpartisipasi dalam kebijakan 3 in 1 karena mereka
tetap menggunakan mobil pribadinya yang berisi kurang dari 3 orang, serta akibatnya,
justru kemacetan tersebut beralih menjadi di ruas jalan alternative tersebut. Artinya,
kebijakan ini bukannya mengurangi kemacetan, tetapi justru mengalihkan kemacetan
dari jalanan protocol menuju jalanan alternative. Dari hal tersebut terlihat bahwa, yang
terjadi di dalam system kebijakan tersebut menimbulkan suatu ketergantungan baru
yang saling menguntungkan antara pengemudi kendaraan beroda empat dengan para
joki 3 in 1. Para pengemudi kendaraan merasa membutuhkan joki tersebut dengan
landasan mereka akan melalui jalur 3 in 1 tanpa harus dikenai sanksi dari pihak
kepolisian. Bahkan tidak jarang dari para pengemudi tersebut memiliki joki langganan.
Sebaliknya, dari pihak joki sendiri yang notabenenya berasal dari kelas bawah, maka
mereka membutuhkan suatu penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh
karena itu, ketika mereka melihat terdapat suatu bentuk kesempatan dalam praktek 3
in 1 tersebut, maka mereka memanfaatkan hal tersebut.
Terakhir, masyarakat (pengemudi kendaraan bermotor) pun tidak berpartisipasi dengan
cara menghindar dari waktu yang di tentukan saat berlangsungnya 3 in 1. Misalnya,
para pekerja di jalanan protocol, mereka berangkat saat 3 in 1 belum dimulai, dan
pulang saat 3 in 1 telah selesai. Akibatnya, kemacetan pun terjadi saat sebelum dan
setelah waktu 3 in 1. Karena 3 in 1 yang tidak bersifat partisipatoris ini, maka jumlah
pengguna kendaraan pun tidak berkurang, serta kemacetan tetap terjadi di bukan
hanya daerah protocol, tetapi juga teralokasi di jalanan alternative, serta sebelum dan
setelah waktu 3 in 1.
Di sisi lain aparat kepolisian di jalan protokol tersebut, walaupun mereka terlibat dalam
perencanaan, tetapi saat implementasi, mereka tidak menjalankan tugasnya dengan
sesuai. Peran mereka dalam lalu lintas adalah mengawasi masyarakat jikala melanggar
peraturan yang berlaku, termasuk salah satunya 3 in 1. Tetapi, saat kebijakan 3 in 1
diimplementasikan, kepolisian tidak memberikan sanksi tegas kepada pengendara roda
empat yang melanggar aturan. Sebab, apabila petugas keamaan tersebut
memberhentikan beberapa kendaraan yang melanggar maka konsekuensi yang akan di
hadapi adalah semakin bertambahnya kemacetan yang terjadi di jalan tersebut akibat
terhambatnya arus lalu lintas. Maka dari itu, seTip harinya banyak yang masih melewati
jalan protocol pada waktu 3 in 1 tetapi hanya terdapat 1 orang saja di dalam mobil.
Sehingga dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa perencanaan yang tidak diimbangi
dengan dukungan dan partisipasi masyarakat akan berjalan kurang efektif. Partisipasi
masyarakat sebagai sebuah tindakan yang dapat menentukan keberhasilan suatu
program menjadi faktor utama yang harus diperhitungkan. Karena apabila kebijakan
tersebut hanya berupa keputusan politik dan implementasi semata tanpa ada yang
menjalankan kebijakan tersebut maka akan terlihat menjadi sia-sia. Sehingga untuk
mengatasi kemacetan dibutuhkan strategi baru yang sifatnya bottom up yang
diharapkan perencanaan tersebut dapat berjalan sesuai harapan dan tepat sasaran.
Pembagian tugas dan kewenangan antara POLDA, SATPOL PP, Dinas Perhubungan,
Dinas Sosial memang memberikan kemudahan dalam pembagian tanggung jawab
kebijakan 3 in 1. Namun hal ini belum bisa menjadi jaminan bahwa kebijakan ini akan
berjalan lancer sesuai dengan yang direncanakan. Dalam tataran ideal memang
pembagian kewenangan dan tanggung jawab ini baik namun dalam kenyataan empirik
masih banyak muncul masalah terkait pembagian wewenang. Sebaiknya ada lembaga
atau instansi atau pihak khusus yang bertanggungjawab atas berjalannya kebijakan 3 in
1 ini sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga tidak ada saling lempar tanggung jawab
jika sampai pada kenyataan saat ini bahwa 3 in 1 tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan.
Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan untuk mengatasi kemacetan
yang dilakukan PEMDA DKI Jakarta lebih bersifat proyek (project oriented). Perlu
diketahui bahwa kebijakan 3 in 1 yang sudah 8 tahun berjalan namun belum mencapai
hasil yang maksimal, direncanakan akan segera dihapuskan. Setelah dihapus kemudian
diganti dengan kebijakan yang baru seperti monorail dan ERP (Electronic Road Pricing).
Namun, berhubung pembangunan monorail gagal diwujudkan maka proyek selanjutnya
adalah ERP. ERP merupakan sistem elektronik yang menetapkan para pengguna mobil
pribadi diwajibkan untuk membayar sekian jumlah untuk melewati jalanan tertentu di
Jakarta, sama seperti konsep tol. PEMDA DKI dalam mengatasi kemacetan di Jakarta
terlalu mengandalkan kebijakan yang project oriented.
B.
joki tersebut ditangani dengan pemberdayaan yang baik, maka diharapkan orang-orang
yang tadinya memiliki profesi joki, memiliki keterampilan khusus yang dapat
membantunya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jadi, bagi kami, sebaiknya ada suatu
perbaikan dalam bentuk penampungan dan pembinaan para joki.
Solusi untuk pemerintah DKI Jakarta secara umum adalah sebaiknya tidak lagi
mengutamakan kebijakan yang sifatnya project oriented. Karena kebijakan yang
demikian dapat menimbulkan banyak efek samping yang tidak di duga, misalnya saja 3
in 1 menimbulkan masalah sosial seperti joki. Pemerintah DKI perlu memaksimalkan
transportasi umum dengan perbaikan pelayanan, kuantitas, serta kualitas sarana yang
baik. Warga Jakarta membutuhkan transportasi yang cepat, aman, nyaman, dan
terjangkau seTip harinya. Kami yakin jika sarana transportasi publik sudah dibenahi
dengan baik, maka akan lebih mudah untuk memobilisasi masyarakat yang seTip
harinya menggunakan kendaraan pribadi menuju tranportasi umum. Hal ini akan
menambah partisipasi masyarakat untuk ikut mengatasi kemacetan di Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Conyers, Diana. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Spicker, Paul. 1995. Social Policy: Themes and Approaches. British: Prentice Hall
Harvester Wheatsheaf.
Byrne, David. 1998. Complexity Theory and the Social Sciences. London: Routledge.
http://www.beritajakarta.com/Download/SK/Detail/SK%20GUB%20No.
%204104%20Tahun%202003%20PENETAPAN%20KAWSAN%203%20IN%201.pdfDiakses
pada tanggal 01 Februari 2013 pukul 23.05 WIB
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/23/20150392/Tak.Heran.apabila.Kemacet
an.Sulit.DiuraiDiakes pada tanggal 01 februari 2013 pukul 00.13 WIB.
[1] Materi Kuliah Dasar-Dasar Perencanaan Sosial Tanggal 07 Februari 2011, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia.
[2] http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=63574 . Diunduh pada 1 Februari
2013 pukul 22.10
[3] Koran-jakarta.com, Op.cit.
[4]http://www.beritajakarta.com/Download/SK/Detail/SK%20GUB%20No.
%204104%20Tahun%202003%20PENETAPAN%20KAWSAN%203%20IN%201.pdfDiakses
pada tanggal 4 Mei 2011 pukul 22.35 WIB
[5] http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/23/20150392/Tak.Heran.apabila.Kema
cetan.Sulit.DiuraiDiakes pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 23.50 WIB
[6] Materi Kuliah, Op.cit.
[7] Diana Conyers, (Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1994), hlm 4.
[8] Materi Kuliah, Op.cit.
[9] Ibid.
[10] Paul Spicker, (Social Policy: Themes and Approaches, British: Prentice Hall
Harvester Wheatsheaf, 1995), hlm 3.
[11] Ibid., hlm 4.
[12] Perkuliahan mata kuliah Dasar-Dasar Perencanaan Sosial oleh Dody Prayogo, 14
Februari, 2011.
[13] Ibid.
[14]Diana Conyers, Op.cit. hlm 26-7.
[15] Ibid.
[16]David Byrne, (Complexity Theory and the Social Sciences. London: Routledge,
1998), hlm 150.
[17] Ibid.
[18] Ibid. hlm 152.
[19]Beritajakarta. com, Op.,cit.
[20] Wawancara dengan Pak Ridwan, 18 April 2011.
[21] Wawancara dilakukan pada tanggal 14 April 2011 di daerah Jakarta Selatan.
[22] Wawancara dilakukan pada tanggal 14 April 2011 di daerah Jakarta Selatan.
[23] Data ini didapatkan dengan wawancara yang dilakukan di dalam mobil informan
pada tanggal 28 April 2011. Sekitar pukul 09.00 WIB. Kami berpura-pura menjadi joki di
daerah Blok M dan kami menumpang di kendaraannya.
[24] Berdasarkan wawancara dengan M.Ridwan, Koordinator Pengendalian dan
Pengawalan Dinas Perhubungan, tanggal 18 April 2011.