You are on page 1of 8

BAB II

PEMBAHASAN

1. Latar belakang munculnya UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi


daerah khusus provinsi NAD
Aceh adalah daerah provinsi di semenanjung pulau sumatera, masyarakat yang
mendiami ujung barat pulau sumatera dan telah berkenalan dengan islam,
sehingga dalam prakteknya sangat bertumpu dengan syariat islam dan adat. Adat
dan agama tidak dapat dipisakan, malah dulu terkenal dengan tiga keistimewaan
aceh yaitu adat, pendidikan dan agama. Syariat islam merupakan sebua sistem
ukum islam yang bertujuan mengaktifkan kembali pusat pusat pendidikan islam,
seperti kajian keislaman. Dan provinsi yang diberikan otoritas oleh pemerintah RI
untuk pelaksanaan syariat islam sesuai dengan undang-undang No.44 tahun 1999,
lalu di tegaskan lagi dengan undang undang No. 18 tahun 2001 tentang otonomi
daerah khusus provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam undang-undang No. 18
tahun 2001 di sebutkan bahwa syariyah akan melaksanakan syariat islam yang di
tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat
oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya
di Aceh.
Syariat yang akan menjadi hukum materiil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih
dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil
langsung dari buku-buku fiqih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.
Sebelum terbentuknya qanun terlebi dahulu di buat rancangan oleh sebuah team
untuk disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan
tanggapan. Setelah itu dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.
Sampai dengan tahun 2005 sudah ada beberapa qanun yang disusun dan disahkan
bahkan sudah ada pelaku pelanggar syariat yang ditindak dengan hukum ini di
antaranya:
1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqida,ibadah
dan syariat islam.
2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang larangan Khamar (minuman keras).
3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat (perbuatan mesum)
5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.
Setelah Aceh diberikan status otonomi khusus tahun 2001, pemerintah
mencanangkan syariat islam secara kaffah khusus wilayah Aceh. Syariat secara
kaffah di artikan pelaksanaan hukum syariah secara sempurna oleh pemerintah
1

daerah. Beberapa lembaga yang dibentuk untuk menjalankannya yaitu, dinas


syariat islam yang mempunyai tanggung jawab utama pelaksanaan hukum syariah,
majelis permusyawaratan ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang bertugas
memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan polisi
wilayatul hisbah yang bertugas mensosiolisasikan qanun, menangkap pelanggar
qanun serta menghukum serta pelaku yang melanggar syariat.

2. Pemberlakuan syariat islam di Aceh hanya berlaku bagi masyarakat


muslim.
Seperti di daerah lainnya di Indonesia, penduduk Aceh juga heterogen. Islam
memang bukan satu-satunya agama yang di anut warga di Aceh atau yang biasa
dijuluki Serambi Mekkah ini. Data badan pusat satistik aceh menunjukan jumlah
penduduk Aceh (2010) adalah 4.494,410 jiwa. Pemeluk agama islam mencapai
98,80 persen, protestan 0,84 persen, katholik 0,16 persen, dan Hindu 0,02 persen.
Para penduduk non-islam ini tersebar di seantero Aceh, bukan hanya di Banda Aceh.
Lalu bagaimanakah dengan status non-muslim dalam penerapan syariat islam di
daerah Aceh?.
Syariat islam sendiri yang diterapkan di Aceh meliputi di bidang aqidah, syariyah,
dan akhlak. Syariat islam tersebut meliputi ibadah, ahwal aisyakhshiyah (hokum
keluarga), muamalah (hokum perdata), jinayah (hokum pidana), qadha (peradilan),
tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan islam. Ketentuan pelaksanaan
syariat islam di atur dengan qanun Aceh.
Setiap pemeluk agama islam di aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat
islam. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib mengormati
pelaksanaan syariat islam. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
menjamin kebebasan membina kerukunan, mengormati nilai-nilai agama yang
dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk
menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.
Mengenai syariat islam yang berlaku bagi nos-muslim, hanya berlaku baginya
qanun jinayah atau hukum pidana, atau sebagai contoh, seseorang yang
melakukan pelanggaran pidana yang dimana kejahatan itu diatur di KUHP pidana
maupun qanun jinayah sedangkan ia seorang seorang non-muslim maka ia berhak
memilih hukuman sanksi dari KUHP ataupun dari qanun jinayah tersebut.
keberlakuan qanun jinayah itu juga dinyatakan secara tegas dalam Pasal 129 UU
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ayat (1) pasal ini menyatakan:
Dalam hal perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama yang diantaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama
bukan Islam dapat memilih atau menundukkan diri secara sukarela pada hukum
jinayah.
2

Selanjutnya, ayat (2) menyatakan: Setiap orang yang beragama bukan Islam
melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana
di luar KUHP berlaku hukum jinayah.
Mengenai ayat (2) UU Pemerintahan Aceh juncto Pasal 5 huruf c Qanun Hukum
Jinayah, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Khamami Zada, memberi contoh khamar.
KUHP hanya mensyaratkan anasir di muka umum agar seseorang yang minum
khamar bisa dipidana. Qanun Jinayah tak mensyaratkan itu, sehingga orang yang
melakukan jarimah itu tidak di depan umum pun bisa dipidana.
Pasal 126 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan: (1)
Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat
Islam; (2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib
menghormati pelaksanaan syariat Islam. Di sini terlihat penggunaan asas subjek
dan asas teritorial. Asas subjek mengandung arti siapapun yang beragama Islam;
sedangkan asas territorial berarti berlaku untuk semua orang yang tinggal di Aceh.

Cuma, masih ada mekanisme yang belum jelas diatur. Qanun Hukum Acara Jinayat
tak secara gamblang mengatur bagaimana mekanisme non-Muslim menyatakan
tunduk sukarela, dan pada tahap apa pernyataan itu disampaikan. Apakah
seseorang bisa menarik kembali pernyataan tunduk sukarela itu?
Prinsipnya, seseorang bebas menyatakan kapan tunduk sukarela. Menurut Prof. Al
Yasa Abubakar, mantan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, masalah pernyataan
tunduk sukarela itu tak diatur karena sifatnya sukarela. Dia boleh menundukkan
diri kalau dia mau, tegas Guru Besar IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Salah satu contoh kasus yang terjadi oleh L Liu alias YM. Warga kota Sigli beragama
Budha ini dituduh menyimpan dan memperdagangkan khamar. Liu akhirnya diadili
di Mahkamah Syariyah Sigli. Dalam putusan perkara ini terungkap demikian.
Bahwa terdakwa selaku penganut Budha...terdakwa telah menyatakan
menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah yang berlaku di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, oleh karena itu terdakwa tidak berkeberatan dan
bersedia disidangkan di Mahkamah Syariah Sigli. Pertimbangan ini bisa dilihat
dalam putusan Mahkamah Syariyah Sigli No. 02/JN/2008/MSy-SGI.

3. Pelaksanaan peradilan syariat islam di Nanggroe Aceh Darussalam


(NAD)
Pada masa reformasi lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otomi Khusus, telah
memberikan hak bagi Prov. NAD untuk membentuk Peradilan Syariat Islam yang
3

dilaksanakan oleh Mahkamah Syariyah dalam melengkapi dan mendukung


pelaksanaan syariai Islam di NAD secara lebih sempurna. Hak dan kesempatan
untuk membentuk Peradilan Syariat Islam adalah satu kekhususan yang diberikan
kepada NAD yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya sebagai bagian dari
pelaksanaan otonomi khusus.
Menindaklanjuti amanat UU No. 18 Tahun 2001 tersebut pemerintahan Prov. NAD
telah mengeluarkan Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syariat Islam
yang disahkan pada tanggal14 Oktober 2002 M/7 Syaban 1423 H.
Dari beberapa pilihan yang mungkin dilakukan mengenai format Peradilan Syariat
Islam dengan berbagai pertimbangan disepakati untuk tidak membentuk lembaga
baru, tapi mengembangkan Peradilan Agama yang sudah ada menjadi Mahkamah
Syariyah. Pilihan ini dapat kita lihat dari bunyi Qanun No. 10 Tahun 2002 ayat 3
yang berbunyi : Mahkamah Syariyah sebagai mana dimaksud pada ayat 1
merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang sudah ada.
Peradilan Syariat Islam (Mahkamah Syariyah) di NAD merupakan bagian dari
sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang diresmikan
dalam satu upacara pada tanggal 1 Muharram 1424 H/ 4 Maret 2003 M sesuai
dengan Kepres No. 11 Tahun 2003 yang merupakan pengadilan bagi setiap orang
yang beragama Islam dan berada di Aceh (pasal 128 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2006).
Untuk pengembangan Mahkamah Syariyah ysng lebih sempurna sebagai salah satu
alat kelengkapan daerah dalam pelaksanaan otonomi khusus, memerlukan sarana
dan prasarana yang melebihi dari kebutuhan Peradilan Agama sebelumnya sesuai
dengan penambahan kewenangan sehingga dalam pasal 136 ayat (1) UU No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyebutkan :
(1) Pembinaan tehnis Peradilan, organisasi, administrasi dan financial Mahkamah
Syariyah dilakaukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Penyediaan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan kegiatan Mahkamah
Syariyah dibiayai dari APBN, APBA, dan APBK.
Mahkamah Syariyah Singkil sekarang ini berkantor di alamat yang baru Jalan
Singkil Rimo Km. 20 Kecamatan Singkil Utara, Kabupaten Aceh Singkil yang
membawahi dua wilayah hukum yang meliputi:
1. Kabupaten Aceh Singkil
2. Kota Subulussalam
TUGAS DAN WEWENANG MAHKAMAH SYARIYAH :
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Mahkamah Syariyah merupakan
pengembangan dari Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu
sudah pasti kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Syariyah lebih
4

luas dari kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Pengadilan Agama. Dalam UU
No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa
Tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang :
a. Perkawinan; e. Wakaf;
b. Waris; f. Infaq;
c. Wasiat; g. Shadaqah; dan
d. Hibah; h. Ekonomi Syariah
Kewenangan Mahkamah Syariyah diatur dalam 128 UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, yang selengkapnya berbunyi :
(1) Peradilan Syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem Peradilan Nasional
dalam lingkup Peradilan Agama yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syariyah yang
bebas dari pengaruh pihak manapun.
(2) Mahkamah Syariyah merupakan pengadilan bagi setiap setiap orang yang
beragama Islam dan berada di Aceh.
(3) Mahkamah Syariyah berwenang memeriksa, mengedili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum
keluarga), muamalat (hukum perdata), dan jinayat (hukum pidana) yang
berdasarkan atas syariat islam.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga),
muamalat (hukum perdata), dan jinayat (hukum pidana) sebagaimana dimaksud
ayat (3) diatur dengan Qanun.
Kewenangan Mahkamah Syariyah sebagaimana tersebut di atas juga telah diatur
dalam Qanun Prov. NAD No. 10 Tahun 2002, yaitu dibidang :
a) Al-Ahwal al-Sakhshiyah
b) Muamalat;
c) Jinayat
Kewenangan Mahkamah Syariyah di bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga),
diantaranya meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49 UU No. 3 tahun 2006
tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989, kecuali waqaf, hibah, shadaqah,
zakat, infaq, dan ekonomi syariah.
Kewenangan Mahkamah Syariyah di bidang muamalat (hukum perdata),
diantaranya meliputi hukum kebendaan dan perikatan, seperti : jual beli, hutang
piutang, qirad (permodalan), musaaqah, muzaraah, mukhabarah (bagi hasil
pertanian), wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian), ariah (pinjam meminjam), hijru
(penyitaan harta), rahnun (gadai), ihyaul mawat (pembukaan lahan), madin
(tambang), luqathah (barang temuan), ijarah (sewa menyewa), takaful
(penjaminan) perbankan, perburuhan, harta rampasan, waqaf, shadaqah, hadiah,
zakat, infaq, dan ekonomi syariah. Kewenangan Mahkamah Syariyah di bidang
jinayat (hukum pidana) diantaranya adalah :
5

a. Hudud, meliputi : zina, khazaf (menuduh zina), mencuri, merampok, meminum


minuman keras dan napza, murtad, bughah (pemberontakan).
b. Qishash/diat, meliputi : pembunuhan dan penganiayaan
c. Tazir yaitu hukuman terhadap pelanggaran syariat islam selain hudud dan
qishash, seperti : judi, khalwat, meninggalkan sholat fardhu dan puasaramadhan
(telah diatur dalam qanun No. 11 tahun 2002), penipuan, pemalsuan, dll.
Dari apa yang diatur dalam undang undang dan qanun, dapat secara nyata bahwa
kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Syariyah amatlah luas, menyamai
kewenangan yang dimiliki peradilan umum saat ini, namun hukum materil (qanun)
yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syariyah tersebut belum selesai
seluruhnya.

4. Apakah Gubernur, Bupati, Wali kota di Aceh bisa berasal dari


penduduk Non-muslim?
Aceh adalah provinsi yang menjalankan syariat islam yang di tuangkan ke dalam
qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah
daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya.
Syariat islam merupakan semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk
kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan al-quran maupun dengan sunnah
Rasul. Di dalam islam sendiri bahwa sangat di larang mengangkat seorang
pemimpin seorang yang bukan muslim alias kafir atau musyrik. Alla berfirman;
janganlah orang-orang mumin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mumin. barang siapa yang berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu). (QS Ali Imran : 28)
Akan tetapi ada pengecualian dari para ulama yang berbeda pendapat perihal
memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya Baruddin al-Hamawi AsSyafiI yang wafat di abad 8 H. sementara ulama lain yang membolehkan
pengangkatan non muslim untuk jabatan public tertentu antara lain Al-Mawardi
yang juga bermadzhab Syafii.
Menurut hemat kami, memilih pajabat eksekutif seperti gubernur, walikota, bupati,
camat, lurah, atau ketua RW dan RT dari kalangan non muslim dalam konteks
Indonesia dimungkinkan. Pasalnya, pejabat tanfidz itu hanya bersifat pelaksana dari
UUD 1945 dan UU turunannya. Dalam konteks Indonesia pemimpin non muslim
tidak bisa membuat kebijakan semaunya, dalam arti mendukung kekufurannya.
Karena ia harus tunduk pada UUD dan UU turunan lainnya. Pemimpin non muslim,
6

juga tidak memiliki kuasa penuh. Kekuasaan di Indonesia sudah dibagi pada
legislatif dan yudikatif di luar eksekutif. Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau
dan tetap berada di jalur konstitusi yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka
seolah hanya sebagai jembatan antara rakyat dan konstitusi.
Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati mekanisme
pemilihan calon, penyaringan ketat dan verifikasi KPU. Mereka juga sebelum dilantik
diambil sumpah jabatan. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung sepakat dengan
pendapat Al-Mawardi yang membolehkan non muslim menduduki posisi eksekutif.
Di sinilah letak kearifan hukum Islam.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Propinsi Aceh sebagai bagian dari kesatuan Negara Republik Indonesia
merupakan daerah yang pertama kali di klaim sebagai masuknya ajaran
Islam ke Indonesia. Setelah sekian lama ajaran Islam berkembang di Aceh,
maka tidak dapat dipungkiri jika kebudayaan, adat istiadat, dan nilai-nilai
dasar yang hidup di dalam sanubari masyarakat Aceh bersumber dari ajaran
Islam. Aceh sebagai daerah yang memiliki pengalaman sejarah yang dalam
7

penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya lokal dan dapat
menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. UU No. 44
Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 membawa semangat formalisasi syarit Islam
dalam aturan formal berupa Qanun. Lewat Qanun inilah berbagai aturan syarit
Islam dapat ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

b. Saran
Dalam makalah ini penulis sarankan kepada para pembaca untuk
mempelajari landasan dalam penerapan syariat Islam dengan begitu, dapat
menambah wawasan kita dalam mengetahui agama Islam di Aceh sehingga
kita tidak salah memahami dan salah paham akan hakekat hukum islam itu
sendiri.

You might also like