You are on page 1of 15

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL 2014/2015


PENULISAN KARYA ILMIAH DAN KARYA DESAIN

JUDUL TUGAS (PURA JAGATNATA DI BANGUNTAPAN)


SUB JUDUL (PERPADUAN ARSITEKTUR BALI DAN ARSITEKTUR
JAWA)

NAMA MAHASISWA (I GUSTI AGUNG YOGA PRASETYA)


NOMOR MAHASISWA (130114793)

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

Desember 2014

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A

PURA JAGATNATA DI BANGUNTAPAN


Perpaduan Arsitektur Bali Dan Arsitektur Jawa
I Gusti Agung Yoga Prasetya
Mahasiswa Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Email : Yoga_cls@rocketmail.com

ABSTRACT
THE BACKGROUND OBJECT. Jagatnata Temple in Banguntapan is one of the place of
worship for Hindus. Jagatnata temple is located in the Pura street Number 370, Plumbon village,
Banguntapan district, Bantul regency, Yogyakarta province. Jagatnata temple is so interesting
scientific papers to be made because of the Architecture blend of Bali and the Architecture of Java in
the temple building Jagatnata. THE PURPOSE. The purpose of this paper is to provide knowledge
and insight into the blend of Architecture of Bali and the Architecture of Java in the temple building
Jagatnata. THE PROBLEM. This paper discusses about the Architecture blend of Bali and the
Architecture of Java in temple building Jagatnata. THE METHOD. The method used is literature,
interviews with general instructions, observation without participate, and photography. THE RESULT.
The result of this paper showed that the Jagatnata temple has a blend of Balinese Architectural style
and the Architecture of Java. The Architecture of Bali and the Architecture of Java are applied to form
the facade of the building, the concept of space, and philosophy.
KEYWORDS: Jagatnata Temple, The Architecture of Bali, The Architecture of Java, The blend of
the Architecture of Bali and the Architecture of Java

ABSTRAK
LATARBELAKANG OBJEK. Pura Jagatnata di Banguntapan adalah tempat beribadah untuk
umat hindu. Pura Jagatnata berlokasi di Jl. Pura. No. 370, Plumbon, Banguntapan, Bantul,
Yogyakarta. Pura Jagatnata menarik untuk dijadikan karya ilmiah karena adanya perpaduan
Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa pada bangunan Pura Jagatnata. TUJUAN. Tujuan dari tulisan ini
adalah untuk memberikan pengetahuan dan wawasan tentang perpaduan Arsitektur Bali dan
Arsitektur Jawa pada bangunan Pura Jagatnata. PROBLEMA. Tulisan ini membahas tentang
perpaduan Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa pada bangunan Pura Jagatnata. METODE. Metode
yang digunakan adalah dengan studi pustaka, wawancara dengan petunjuk umum wawancara,
pengamatan tanpa berperanserta, dan fotografi. HASIL. Pura Jagatnata memiliki perpaduan gaya
antara Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa. Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa diterapkan pada bentuk
fasad bangunan, konsep ruang, dan filosofinya.
KATA KUNCI : Pura Jagatnata, Arsitektur Bali, Arsitektur Jawa, Perpaduan Arsitektur Bali dan
Jawa.

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
LATAR BELAKANG OBJEK. Pura Jagatnata di Banguntapan adalah tempat beribadah
untuk umat hindu. Pura Jagatnata berlokasi di Jl. Pura. No. 370, Plumbon, Banguntapan,
Bantul, Yogyakarta. Pura Jagatnata dibangun oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


kecamatan Banguntapan. Pura Jagatnata memiliki luas 760 meter persegi. Pura Jagatnata
ini dikelola oleh masyarakat sekitar banguntapan yang beragama hindu.
SEJARAH OBJEK. Pada tahun 1967 kecamatan Banguntapan banyak disinggahi
masyarakat yang memeluk agama hindu. Seiring dengan berjalannya waktu umat hindu di
Banguntapan mulai berkembang. Pada tahun 1975 masyarakat Banguntapan yang pemeluk
Hindu mulai merintis pembangunan Pura Jagatnata, dengan berhasil membangun gedung
persembahyangan dan padmasana. Dari tahun 1976 sampai tahun 1982 pembangunan
terus dilanjutkan dengan pembangunan gedung Kori, Pagar kanan dan kiri, Candi Bentar
dan tembok Penyengker pada bagian depan. Selanjutnya, status pura ditingkatkan menjadi
Pura Pusat (Jagatnata).
ALASAN 1. Pada saat setelah runtuhnya kerajaan Majapahit umat hindu mulai
bermigrasi dari pulau Jawa ke pulau Bali. Setelah bermigrasi umat hindu mulai berkembang
pada pulau tersebut. Bangunan Pura pada umumnya sangat identik dengan kebudayaan
Bali dan arsitektur Bali. Pada objek yang akan dijadikan karya ilmiah yaitu Pura Jagatnata
memiliki keunikan karena berlokasi di pulau Jawa tepatnya di daerah Banguntapan,
Yogyakarta.
ALASAN 2. Pada bangunan Pura Jagatnata di Banguntapan memiliki keunikan karena
selain mengadopsi arsitektur dan kebudayaan bali, bangunan Pura Jagatnata juga tidak
melupakan kearifan lokalnya dengan memadukan arsitektur dan kebudayaan jawa khas
Yogyakarta pada khususnya. Pemanfaatan kearifan lokal dikarena lokasi Pura Jagatnata
terletak di wilayah Yogyakarta.
ALASAN 3. Pura Jagatnata di Banguntapan menarik untuk dijadikan karya ilmiah
karena adanya perpaduan Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa pada bangunan Pura
Jagatnata. Dari pengamatan lapangan terdapat tanda tanda unsur unsur dari Arsitektur
Bali dan Arsitektur Jawa. Contohnya seperti : 1. Terdapat bangunan dengan gaya Arsitektur
Bali pada bagian depan dan dalam dan bagian tengah terdapat sentuhan Arsitektur Jawa
yaitu dengan adanya bangunan Pendopo. 2. Tumpangsari yang merupakan komponen dari
pendopo dihiasi ragam hias khas Bali. Dengan demikian, perpaduan Arsitektur Bali dan
Arsitektur Jawa diduga ada di Pura Jagatnata.

Rumusan Masalah
RUMUSAN MASALAH. Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan penulisan ini
adalah :

Bagaimana perpaduan Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa pada bangunan Pura
Jagatnata di Banguntapan ?
Apa saja unsur unsur arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa yang diterapkan pada
bangunan Pura Jagatnata di Banguntapan ?

Tujuan Penulisan
TUJUAN PENULISAN. Penulisan ini bertujuan untuk :

Memberikan pengetahuan dan wawasan tentang perpaduan Arsitektur Bali dan


Arsitektur Jawa pada bangunan Pura Jagatnata di Banguntapan.
Menjelaskan unsur unsur Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa Yang diterapkan pada
bangunan Pura Jagatnata di Banguntapan.

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A

2. KAJIAN PUSTAKA
PURA
PENGERTIAN PURA. Kata Pura berasal dari bahasa kawi (Jawa Kuno) yang berarti
kubu, benteng, istana, kerajaan, kota. Secara konsepsional dan fungsional Pura di Bali
sama dengan candi di pulau Jawa. Candi di Jawa adalah lambang Bhuwana Agung atau
Alam Semesta. Menurut agama Hindu Bhuwana terdiri dari tiga lapisan, yaitu Bhur Loka,
Bhuwah Loka, dan Swah Loka. Candi melambangkan Bhuwana Agung secara vertikal,
sedangkan Pura melambangkan Bhuwana Agung secara horizontal. Bagian luar Pura atau
jaba sisi disebut Nista Mandala adalah lambang Bhur Loka, dan Bagian tengah atau Jaba
tengah disebut Madhya Mandala adalah lambang Bhuwah Loka, dan bagian dalam Pura
atau Jeroan disebut Utama Mandala merupakan Lambang Swah Loka. (Kusumadewi, 1995)
FUNGSI PURA. Pura mempunyai fungsi utama yang sama dengan candi, yaitu sebagai
tempat pemujaan dewa tertentu manifestasi Sang Hyang Widhi atau Dewa Prastistha dan
tempat pemujaan roh suci atau Atma Prastistha. Pura sebagai tempat pemujaan adalah
fungsi vertikal sedangkan fungsi horizontal Pura adalah sebagai media untuk merukunkan
sesama umat Hindu dengan segala lapisannya secara bertahap menuju kerukunan seluruh
umat. (Kusumadewi, 1995)
JENIS JENIS PURA.Pura pura dibagi dan dibedakan menjadi lima kategori, yaitu :

Pura Khayangan Jagat sebagai pura memujaan untuk umum.


Pura Khayangan Tiga yang terletak di wilayah desa yang di koodinir oleh lembaga
Desa Pekraman, yaitu Pura Agung, Pura Puseh, Pura Dalem.
Pura Khayangan Fungsional (Swagina), yaitu pura pura yang ada di Sawah / Pura
Subak uang dikelola oleh para petani, Pura Segara di daerah pantai yang dikelola
oleh para nelayan dan Pura Melanting di kelola oleh para pedagang.
Pura Ibu, Dadia, Merajan Agung, yaitu kumpulan dari keluarga keluarga dalam satu
masyarakat banjar yang dikelola oleh kelompok keluarga tersebut.
Sanggah / Merajan, yaitu tempat suci yang paling kecil yang dikelola oleh satu
keluarga. (Dwijendra, Arsitektur Bangunan Suci Hindu, 2008)

BAGIAN BAGIAN PURA


PENGANTAR. Pura dalam berbagai bentuk dan fungsi pemujaannya terdiri dari
beberapa bangunan yang ditata dalam suatu aturan di pekarangan yang terdiri dari tiga
wilayah. Pada bagian dalam sebagai wilayah utama disebut Jeroaan, yaitu tempat
pelaksanaan pemujaan, merupakan lambang Swah Loka. Pada bagian inilah terdapat
bangunan bangunan utama, yaitu bangunan bangunan Palinggih untuk tempat
perwujudan (mengisthanakan) yang di puja dari Pura tersebut, yang disebut penyawangan
atau Pesimpangan. Wilayah tengah disebut Jaba Tengah, yaitu tempat persiapan dan
pengiring upacara, merupakan lambang Bhuwah Loka. Dibagian ini terdapat bangunan
pelengkap, yaitu bangunan untuk melengkapi pelaksanaan upacara misalnya, Bale Gong,
Bale Pengambuhan. Pada bagian luar atau wilayah depan Pura adalah Jaba Sisi, Lambang
Bhur Loka, yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam. Pada bagian ini terdapat bangunan

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


penyempurna Pura, Yaitu bangunan tambahan misalnya, Candi Bentar, Kori Agung, Bale
Kulkul, Pawaregan, Wantilan. (Kusumadewi, 1995)

Padmasana
POSTUR DAN FUNGSI PADMASANA. Bentuk bangunan Padmasana serupa dengan
candi yang dikembangkan dengan pepalihan. Padmasana tidak menggunakan atap.
Bangunannya terdiri atas bagian bagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur dan
kepala yang disebut sari. Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan
Tuhan Yang Maha Esa. Bangunan suci untuk memuja Tuhan dalam fungsinya sebagai jiwa
alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaannya (dewa Pratisthta).
(Dwijendra, Arsitektur Bangunan Suci Hindu, 2008)
Candi Bentar
POSTUR DAN FUNGSI CANDI BENTAR. Bangunan terbuka setinggi sepuluh meter
atau lebih, Bangunan ini terbentuk seperti terbelah, terdiri dari dua bagian, sisi kiri dan sisi
kanan, berhiaskan ornamen ornamen. Sebagai pintu masuk pekarangan pura, dari sisi
luar ke sisi tengah. (Kusumadewi, 1995)
Kori Agung
POSTUR DAN FUNGSI KORI AGUNG. Bangunan setinggi sepuluh meter atau lebih
yang bagian kepalanya memakai mahkota segi empat atau segi banyak, bertingkat tingkat
mengecil ke atas, di hiasi dengan ornamen ornamen yang mempunyai makna khusus.
Berfungsi sebagai pintu masuk untuk sajen atau tarian suci, merupakan peralihan dari sisi
tengah ke sisi dalam. Bentuknya mirip dengan Candi Bentar, hanya tidak terbelah.
(Kusumadewi, 1995)

Dwarakala
POSTUR DAN FUNGSI DWARAKALA. Patung penjaga yang berwujud menyeramkan
seperti raksasa, yang sebenarnya adalah anak anak Dewa Siwa. letaknya di sisi kiri kanan
Kori Agung. Sebagai simbol melambangkan bahwa untuk masuk pura (menuju Tuhan) itu
susah, banyak roh jahat, sehingga perlu dijaga oleh para penjaga, Memasuki pura berarti
jiwa kita harus sudah bersih selain itu juga untuk menghalangi masuknya roh jahat ke dalam
pura. (Kusumadewi, 1995)

ARSITEKTUR BALI
KONSEP TATA RUANG ARSITEKTUR BALI. Arsitektur tradisional Bali memiliki
beberapa konsep konsep dasar yang mempengaruhi nilai tata ruangnya, antara lain :

Konsep Rwa Bhineda, konsep perpaduan antara dua kekuatan di sekitar manusia.
Hal ini yang mendasari terjadinya pembagian menjadi dua, seperti : baik dan buruk,
laki laki dan perempuan, dan sebagainya. Menciptakan keselarasan dengan cara
menyatukan antara unsur purusha (akasa) dan pradhana (pertiwi) dapat
mewujudkan bibit kehidupan (Budiharjo, 2013)
Konsep Tri Hita Karana, untuk menyelaraskan antara bhuana agung / alam
semesta dengan bhuana alit / manusia, maka setiap lingkungan kehidupan dibuat

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


senilai dengan bhuana agung dengan unsur unsur yang utuh. Tri Hita Karana
berarti tiga unsur penyebab kebaikan, yang meliputi, Atma (roh / jiwa), Prana
(tenaga), dan Angga (jazad / fisik). (Dwijendra, Arsitektur Bangunan Suci Hindu,
2008)
Tabel 1. Konsep Tri Hita Karana Dalam Susunan Kosmos
Unsur
Atma / jiwa
Alam
semesta Paramatman (Tuhan
(bhuana agung)
Yang Maha Esa)
Desa
Khayangan
Tiga
(pura desa)
Banjar
Parhyangan
(pura
banjar)
Rumah
Sanggah
(pemerajan)
Manusia (bhuana Atman
(jiwa
alit)
manusia)

Prana / tenaga
Tenaga
(yang
menggerakan alam)
Pawongan
(warga
desa)
Pawongan
(warga
banjar)
Penghuni rumah
Prana
sabda,
idep)

Angga / Fisik
Unsur unsur
Panca Maha Bhuta
Palemahan
(wilayah desa)
Palemahan
(wilayah banjar)
Pekarangan rumah

(tenaga Angga
bayu, dan manusia)

(badan

Sumber : (Dwijendra, Arsitektur Tradisional Bali, 2008)

Konsep Tri angga, konsep ini lebih menekankan pada tiga nilai fisik yaitu, Utama
Angga (kepala) , Madya Angga (badan), dan Nista Angga (kaki). (Dwijendra,
Arsitektur Tradisional Bali, 2008)
Tabel 2. Konsep Tri Angga dalam susunan Kosmos

Unsur
Alam semesta
Wilayah
Perumahan
Rumah tinggal
Bangunan
Manusia
Masa / waktu

Utama Angga
Swah Loka
Gunung
Kahyangan Tiga
Sanggah /
pemerajan
Atap
Kepala
Masa depan
(watamana)

Madya Angga
Bhuah Loka
Dataran
Pemukiman
Tegak umah

Nista Angga
Bhur Loka
Laut
Setra / kuburan
Tebe

Kolom / dinding
Badan
Masa kini (nagat)

Lantai / bebaturan
kaki
Masa lalu (atita)

Sumber : (Dwijendra, Arsitektur Tradisional Bali, 2008)

Konsep Hulu Teben, mempunyai beberapa orientasi orientasi, antara lain :


Orientasi dengan konsep sumbu ritual Kangin Kauh. Kangin (matahari terbit)-luan,
nilai utama. Kauh (matahari terbenam)-teba, nilai nista. Orientasi dengan sumbu
bumi / natural Kaja Kelod. Kaja (ke arah gunung)-luan, nilai utama. Kelod (ke arah
gunung)-teba, nilai nista. Orientasi dengan konsep Akasa Pertiwi, Atas Bawah.
Alam Atas Akasa, Purusa. Alam Bawah pertiwi, Pradana. Konsep akasa pertiwi
ini di terapkan dalam pola ruang kosong. (Dwijendra, Arsitektur Tradisional Bali,
2008)

RAGAM HIAS ARSITEKTUR BALI


PENGANTAR RAGAM HIAS ARSITEKTUR BALI. Ragam hias, dalam pengertian tradisi
bali, bumi terbentuk dari lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta, Apah (air / zat cair),
Teja (sinar), Bhayu (angin), Akhasa (udara), Pertiwi (tanah bebatuan / zat padat).Unsur

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


unsur tersebut melatar belakangi bentuk bentuk ragam hias dalam bangunan tradisional
bali. (Dwijendra, Arsitektur Tradisional Bali, 2008)
JENIS JENIS RAGAM HIAS ARSITEKTUR BALI. Jenis jenis ragam hias Arsitektur
tradisional Bali :

Pepatran (flora), bentuk yang mendekati keadaan yang sebenarnya ditampilkan


sebagai latar belakang hiasan hiasan bidang dalam bentuk hiasan atau pahatan
relief.
Keketusan, mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh tumbuhan yang
dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya.
Kekarangan (flora), menampilkan bentuk hiasan dengan suatu karangan atau
rancnagan yang berusaha mendekati bentuk bentuk flora yang ada dengan
penekanan pada bagian bagian keindahan.
Kekarangan (fauna), penampilannya expresionis, meninggalkan bentuk sebenarnya
dari fauna yang di ekspresikan secara abstrak. Kekarangan yang mengambil bentuk
bentuk binatang gajah, burung goak, dan binatang binatang khayal primitif
lainnya. (Dwijendra, Arsitektur Tradisional Bali, 2008)

ARSITEKTUR JAWA
KONSEP RUANG ARSITEKTUR JAWA. Susuna Ruang pada Arsitektur Jawa terbagi
dalam dua komponen, yang bersifat private intim atau keramat disebut Dalem (dalam), dan
yang luar, sebagai tempat bergaul dengan masyarakat diberi nama Pelataran atau Njaba
(halaman luar). Pada bagian pelataran dibangun Pendopo (bangunan tambahan), yang
berfungsi sebagai pertemuan dialog antara penghuni rumah dan masyarakat..
(Mangunwijaya, 2013) Ruang induk terdiri dari Pendapa, Pringgitan, kuncungan, dan pada
bangunan Dalem ageng terdapat senthong yang terdiri dari sentong kiwa, sentong tengen,
dan sentong tengah. Rumah tambahan terletak di samping dan di belakang rumah induk,
terdiri dari Gandhok, Gadri, Pawon dan Pekiwan. (Budiwiyanto, 2009)
POSTUR JOGLO. Bangunan joglo berbentuk bujur sangkar dengan mempunyai 4 buah
tiang utama yang terletak di tengah yang disebut Saka Guru. Di antara keempat saka
terdapat Blandar yang bersusun yang disebut Blandar Tumpangsari. Pada bangunan ini
terdapat bagian kerangka yang disebut sunduk kili, yang berfungsi sebagai penyiku atau
penguat bangunan agar tidak berubah posisinya. Sunduk Kili terletak pada ujungan atas
Saka Guru di bawah Blandar. (Budiwiyanto, 2009)
LETAK DAN FUNGSI PENDOPO. Pendopo tedapat dibagian Pelataran yang
diperuntukan untuk umum. Bagian ini berfungsi sebagai pertemuan dialog antara penghuni
rumah dan masyarakat.Ruang Pendopo bersifat terbuka. Ruang Pendopo terletak pada
bagian depan sehingga Pendopo cenderung dibuat berkesan megah dan berwibawa oleh
pemiliknya. Bentuk serta ukuran bangunan Pendopo dapat mencerminkan kedudukan,
pangkat, dan derajat pemiliknya. (Budiwiyanto, 2009)
KOMPONEN KOMPONEN PENDOPO. Komponen komponen Pendopo terdiri dari :

Saka guru, merupakan ciri khas bangunan berbentuk Joglo. Saka guru dibentuk
oleh empat buah tiang pokok sebagai penyangga Pamidhangan yang terletak di
tengah tengah. Saka guru dibentuk oleh tiga komponen utama yaitu, umpak yang

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A

terletak pada bagian bawah tiang, Saka (tiang) yang merupakan badan dari saka
tersebut, dan bagian atas disebut kepala (mayangkara) yang berfungsi sebagai
penguat. (Budiwiyanto, 2009)
Tumpangsari, merupakan balok balok yang susunannya secara piramida makin
keatas makin menyempit. Lubangbagian paling atas pada tumpangsari yang ditutup
dengan papan kayu disebut ceplok (singub) atau sering disebut dengan istilah langit
langit. Tumpangsari dibuat dalam lima, tujuh, dan sembilan tingkatan yang semakin
keatas semakin mengecil. (Budiwiyanto, 2009)
Dhadhapeksi, diantara dua buah singub, tepat di tengahnya terdapat sebuah balok
melintang yang disebut dhadhapeksi. Dhadhapeksi dibuat penuh dengan hiasan dan
terlihat sangat dominan. Dhadhapeksi dihias dengan berbagai macam motif dan
diberi berbagai macam warna. (Budiwiyanto, 2009)
Mayangkara, pada saka guru Mayangkara berfungsi sebagai penguat saka pada
bangunan rumah joglo. Ragam hias yang terdapat pada Mayangkara terdiri dari motif
hias tumbuh tumbuhan dan motif geometris. (Budiwiyanto, 2009)
Ompak, atau sering disebut juga umpak adalah merupakan alas tiang yang dibuat
dari batu alam (keras). Biasanya batu alam ini berwarna hitam. Pada bagian atas
dibuat agak ciut agar terlihat lebih artistik dan diatasnya dibuat lubang persegi
sebagai lubang purus tiang. Umpak yang berwarna hitam dimaksudkan untuk
melambangkan Tuhan sebagai pencipta bumi dan lautan sebagai tempat hidup
manusia. (Budiwiyanto, 2009)

METODE PENULISAN
PENGANTAR. Pada penulisan ini menggunakan beberapa metode penulisan, yaitu
studi pustaka, wawancara dengan petunjuk umum wawancara, pengamatan tanpa
berperanserta, dan fotografi. Metode tersebut dipilih karena paling tepat digunakan pada
penulisan ini. Berikut ini, penjelasan tentang metode yang digunakan dan pelaksanannya.
TEORI STUDI PUSTAKA. Studi pustaka merupakan langkah awal dalam metode
pengumpulan data. Studi pustaka ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penulisan. Sumber sumber pustaka dapat berupa buku buku referensi, bibliografi buku
buku teks, indeks jurnal ilmiah, indeks Buletin dan majalah, indeks surat kabar / koran dan
tabloid, indeks dokumen, indeks manuskrip, dan sumber sumber lainnya. (Zed, 2008)
PELAKSANAAN. Pada penulisan ini, studi pustaka pertama dilakukan dengan
pengumpulan pustaka berupa buku buku dan jurnal - jurnal terkait dengan pokok bahasan
ke perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Internet. Kedua, penulis mulai
membaca pustaka yang sudah terkumpul dan mulai mengutip beberapa data data pada
pustaka yang diperlukan pada penulisan ini. Ketiga, data data yang sudah diperoleh dari
pustaka disusun / dirangkai dengan rapi pada tulisan ini.
TEORI WAWANCARA DENGAN PETUNJUK UMUM WAWANCARA. Wawancara
dengan pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, jenis wawancara ini
mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok pokok yang
dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan. Demikian pula penggunaan dan
pemilihan kata kata untuk wawancara dalam hal tertentu tidak perlu dilakukan

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


sebelumnya. Petunjuk wawancara hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang
proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok pokok yang direncanakan dapat
seluruhnya tercakup. (Prof. Dr. Lexy J. Moleong, 2005)
PELAKSANAAN. Pada penulisan ini, pertama - tama sebelum melakukan wawancara,
penulis terlebih dahulu merumuskan pertanyaan - pertanyaan yang akan diajuka kepada
nara sumber. Pertanyaan pertanyaan yang dirumuskan terkait dengan latar belakang dan
sejarah Pura Jagatnata. Kemudian, barulah wawancara dilakukan dengan narasumber yaitu
babak Ketut Artana beliau adalah umat hindu yang sudah lama menetap di daerah
Banguntapan. Beliau juga sering berpartisipasi dalam kegiatan kegiatan keagamaan yang
diadakan di Pura Jagatnata. Wawancara dilakukan 2 kali pertama, pada tahun 2013 yang
bertempat didalam Pura Jagatnata dan yang kedua, pada tanggal 30 november 2014 yang
bertempat di Angkringan Lais. Pemilik Angkringan Lais adalah Bapak Ketut Artana yang
berlokasi disebelah Utara Pura Jagatnata tepatnya di Parkiran Pura Jagatnata.
TEORI PENGAMATAN TANPA BERPERANSERTA. Pengamatan tanpa berperanserta,
teknik mengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung. Teknik pengamatan
juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat prilaku dan
kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. Pada pengamatan tanpa
berperanserta pengamat hanya melakukan satu fungsi yaitu, mengadakan pengamatan.
(Prof. Dr. Lexy J. Moleong, 2005)
PELAKSANAAN. Pada penulisan ini, punulis datang mengunjungi objek yang ditulis.
Kemudian, penulis melakukan pengamatan dengan terkait dengan elemen elemen
arsitektur yang digunakan mulai dari bagian luar hingga bagian dalam pada bangunan Pura
Jagatnata di Banguntapan. Pengamatan dilakukan dua kali pertama pada Tahun 2013,
kedua pada tanggal 30 november 2014.
TEORI FOTOGRAFI. Foto menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan
sering digunakan untuk menelaah segi segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis secara
induktif. Ada dua kategori foto yang dapat dimanfaatkan dalam penulisan, yaitu foto yang
dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan oleh penulis sendiri. (Prof. Dr. Lexy J. Moleong,
2005)
PELAKSANAAN. Pada Penulisan ini, foto yang digunakan adalah foto yang dihasilkan
penulis sendiri. foto foto yang digunakan terkait dengan elemen elemen arsitektural
mulai dari bagian luar hingga bagian dalam bangunan Pura Jagatnata di Banguntapan.
Fotografi dilakukan bersamaan saat pengamatan tanpa berperanserta.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


PENGANTAR. Pada penulisan ini hasil yang akan dibahas adalah terkait dengan
elemen elemen Arsitektur mulai dari bentuk, konsep ruang, dan filosofi yang digunakan
pada bangunan Pura Jagatnata di Banguntapan. Pada bangunan Pura Jagatnata terdapat
gaya Arsitektur Bali, Arsitektur Jawa, dan perpaduan Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa.

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


TEMUAN. Berikut ini adalah tabel hasil dari pengamatan yang dilakukan. Tabel terdiri
dari gaya Arsitektur Bali, Arsitektur Jawa, dan Perpaduan Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa
yang ditemukan pada bangunan Pura Jagatnata di Banguntapan.
Tabel 3. Arsitektur Bali

Elemen Arsitektur

Foto

Bangunan Candi Bentar, terdapat pada bagian


depan Pura Jagatnata sebagai pintu masuk
pekarangan Pura Jagatnata. Bangunan ini
terbentuk seperti terbelah, terdiri dari dua
bagian, sisi kiri dan sisi kanan. Terdapat
ornamen ornamen kekarangan yang
merupakan ciri dari Arsitektur Bali.
Sumber : koleksi pribadi penulis
Bangunan Kori Agung, terdapat pada bagian
tengah yang berfungsi sebagai pintu masuk
area luar ke area tengah bangunan Pura.
bentuk seperti Bangunan Candi Bentar tetapi
tidak terbelah. Bangunan ini merupakan ciri dari
Arsitektur Bali.

Sumber : koleksi pribadi penulis


Bale Kulkul, digunakan sebagai penanda
upacara upacara keaagaman. Terdapat pada
bagian pojok depan Pura Jagatnata. Berbentuk
seperti menara yang semakin keatas semakin
mengecil dan pada bagian atas terdapat kulkul
atau kentongan. Terdapat ornamen ornamen
kekarangan merupakan ciri dari Arsitektur Bali.

Sumber : koleksi pribadi penulis


Patung Dwarakala, merupakan patung
penjaga yang letaknya di sisi kiri kanan Kori
Agung. Patung Drarakala berfilosofi sebagai
penjaga dharma (kebenaran).

Sumber : koleksi pribadi penulis

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


Padmasana, merupakan bangunan suci yang
terdapat pada bagian dalam bangunan Pura
Jagatnata. Bentuk bangunan berfilosofi dari
cerita pemutaran gunung mamdara giri.
Terdapat ornamen ornamen kekarangan.
Bangunan ini merupakan ciri dari Aritektur bali.

Sumber : koleksi pribadi penulis


Orientasi Bangunan, Bagunan Pura Jagatnata
menggunakan konsep sumbu ritual Timur
Barat. Arah Timur (matahari terbit) yang
memiliki nilai utama diletakan bangunan
bangunan suci dan arah Barat (matahari
terbenam) memiliki nilai nista digunakan
sebagai ruang peralihan dari luar ke dalam.
Orientasi bangunan seperti ini merupakan ciri
dari konsep Hulu Teben dalam Arsitektur Bali
Tata Ruang, bangunan Pura Jagatnata terdiri
dari 3 bagian. Halaman depan sebagai ruang
peralihan dari luar ke dalam area Pura
Jagatnata yang bersifat publik di letakan pada
bagian depan, ruang persembahyangan dan
persiapan upacara pada bagian tengah dan
bangunan suci (sakral) diletakan pada bagian
dalam yang memiliki nilai utama. Penataan
ruang seperti ini merpakan ciri dari konsep Tri
Angga dalam Arsitektur Bali.

Sumber : koleksi pribadi penulis

Sumber : koleksi pribadi penulis

.Tabel 4. Arsitektur Jawa


Elemen Arsitektur
Pendopo, Pada bagian tengah Pura terdapat
bangunan pendopo dengan atap joglo yang
berfungsi sebagai tempat persembahyangan,
tempat gambelan yang ditabuh saat upacara
keagamaan dan tempat persiapan upacara
keaagaman.

Foto

Sumber : koleksi pribadi penulis

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


Ompak atau sering disebut umpak, merupakan
komponen dari bangunan joglo Umpak
berwarna
hitam
dimaksudkan
untuk
melambangkan Tuhan sebagai pencipta bumi
dan lautan sebagai tempat hidup manusia.

Sumber : koleksi pribadi penulis


Tata Ruang bangunan Pura Jagatnata. Ruang
yang bersifat sakral diletakan pada bagian
dalam dan halaman luar sebagai ruang publik
diletakan pada bagian depan. Penataan ruang
seperti ini merupakan ciri dari Arsitektur Jawa.

Sumber : koleksi pribadi penulis

Tabel 5. Perpaduan Arsitektur Bali Dan Jawa


Elemen Arsitektur
Tumpangsari, merupakan komponen dari
bangunan pendopo yang merupakan ciri dari
Arsitektur Jawa yang dipadukan dengan ragam
hias khas bali.

Foto

Sumber : koleksi pribadi penulis


Bentuk Fasad, pada bangunan Pura Jagatnata,
bangunan bangunan bergaya Arsitektur Bali
terdapat pada bagian depan dan dalam pura
yang meliputi bangunan Candi Bentar, Bale
Kulkul, Kori Agung dan Padmasana. Pada
bagian tengah Pura Jagatnata terdapat
sentuhan Arsitektur Jawa yaitu dengan adanya
bangunan Pendopo dengan atap joglo.
Sumber : koleksi pribadi penulis

PENGANTAR. Dari temuan yang ditemukan di lapangan, perpaduan Arsitektur Bali dan
Jawa terdapat pada bangunan Pura Jagatnata. Penerapannya mulai dari konsep ruang,
bentuk fasad, fungsi, hingga filosofinya. Berikut ini beberapa rumusan pembahasan yang
akan dibahas pertama tentang kesamaan konsep ruang antara Arsitektur Bali dan Arsitektur
Jawa. Kedua, tentang perpaduan elemen Arsitektur. Dan ketiga, Perubahan Fungsi
Bangunan.

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


PEMBAHASAN 1. KESAMAAN KONSEP RUANG. Konsep ruang Arsitektur Bali terdiri
dari 3 bagian ruang yaitu ruang luar, ruang tengah, dan ruang dalam. ruang ruang yang
digunakan sebagai ruang publik diletakan pada bagian ruang luar yang digunakan sebagai
ruang peralihan dari luar ke dalam. Ruang tengah digunakan sebagai ruang
persembahyangan dan ruang dalam yang memiliki nilai utama diletakan bangunan
bangunan suci. Sedangkan Konsep ruang Arsitektur Jawa terdiri dari 2 komponen ruang
luar, dan ruang dalam. Ruang luar (Pendopo) digunakan sebagai ruang publik yang bersifat
profan diletakan pada bagian depan, dan ruang sifatnya Privat diletakan pada bagian dalam.
Pada bagian dalam terdapat ruang Pringitan sebagai tempat untuk tamu agung dan anggota
intim keluarga menyaksikan pertunjukan wayang dalam wujud sebenarnya, dan terdapat
ruang tersakral (sentong) yang digunakan untuk ruang pengantin dan tempat penyimpanan
harta pusaka. Dari penjelasan konsep ruang Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa memiliki
persamaan yaitu ruang ruang ditata secara linear dan disiplin. ruang ruang ditata
dengan terstruktur dan bertahap semakin ke dalam semakin privat (memiliki nilai utama)
dimana sebelum menuju ke ruang utama terlebih dahulu harus melewati beberapa ruang
sebagai persiapan psikologis menuju ruang utama.
PEMBAHASAN 2. PERPADUAN ARSITEKTUR. BENTUK FASAD BANGUNAN. Bentuk
fasad Arsitektur bali sangat identik dengan bangunan yang berhiaskan ragam hias khas bali
yang berbentuk seperti flora dan fauna. Bangunan terdiri dari 3 bagian yaitu bagian kaki
(bawah), badan (tengah), dan kepala (Atas) yang merupakan penerapan dari konsep Tri
Angga dalam Arsitektur Bali. Sedangkan, bentuk fasad bangunan Arsitektur Jawa sangat
identik dengan bangunan pendopo dengan atap joglo yang berbentuk bujur sangkar dengan
4 buah tiang utama (Saka Guru). pada bagian atas Saka Guru terdapat susunan Balok atau
sering disebut Tumpangsari. Bangunan pendopo bersifat terbuka. Dari penjelas Bentuk
Fasad Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa penerapannya dapat dilihat pada bangunan yang
terdapat pada Pura Jagatnata. Ciri dari Arsitektur Bali dapat dilihat pada bagian luar dan
dalam bangunan yang meliputi bangunan Candi Bentar, Kori Agung, Bale Kulkul dan
Padmasana. Bangunan bangunan tersebut kaya dengan ragam hias khas bali yang
berbentuk seperti flora dan fauna selain itu untuk membedakan atara bagian bagian kaki,
badan, dan kepala. Bentuk diolah dengan membedakan jenis dan ukuran bentuk yang
digunakan. Pada bagian tengah terdapat sentuhan dari Arsitektur Jawa dengan adanya
bangunan Pendopo dengan atap joglo dengan 4 tiang utama dan tumpangsari pada bagian
atas saka guru
PEMBAHASAN 2. PERPADUAN ARSITEKTUR. TUMPANG SARI BERORNAMEN
BALI. Tumpangsari merupakan komponen dari bangunan pendopo. Tumpangsari terdiri dari
balok balok yang disusun secara piramida makin keatas makin menyempit. Tumpang sari
juga sering disebut dengan langit langit. Sedangkan, ragam hias (ornamen) aritektur bali
berbentuk seperti flora dan fauna. adapun Jenis - jenis ragam hias Arsitektur Bali yaitu,
1. Pepatran, yaitu bentuk yang mendekati bentuk flora,
2.kekutus, mengambil bentuk terpenting dari flora, kemudian dipolakan berulang
3. kekarangan, menampilkan hiasan dengan suatu karangan yang menyerupai bentuk flora
dan fauna.

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


Dari penjelasan tentang tumpangsari dan ornamen Arsitektur Bali, pada Tumpangsari yang
merupakan komponen dari bangunan Pendopo yang terdapat pada bagian tengah
bangunan Pura Jagatnata meliki keunikan, dengan adanya ornamen kekutus dan ornamen
senjata senjata dari para Dewa penjaga delapan penjuru mata angin yang menghiasi
Tumpangsari tersebut. Arsitektur Jawa dicirikan dari Tumpangsari yang merupakan
komponen dari bangunan Pendopo sedangkan Arsitektur Bali dicirikan dari ornamen
kekutus dan ornamen senjata senjata dari para Dewa penjaga delapan penjuru mata
angin yang digunakan pada Tumpangsari tersebut.
PEMBAHASAN 3. PERUBAHAN FUNGSI. Dalam Arsitektur Jawa Pendopo dengan
bentuk joglo berfungsi sebagai tempat menyambut tamu atau berkumpunya orang banyak
yang bersifat umum, terbuka, dan profan. Pada bangunan Pura Jagatnata, bangunan
pendopo yang terdapat pada bagian tengah mengalami perubahan fungsi. Pendopo yang
bersifat umum dan profan berubah menjadi privat dan sakral. Fungsi pendopo yang
digunakan sebagai menyambut tamu dan berkumpulnya orang banyak yang bersifat umum
dan profan berubah fungsi menjadi ruang untuk persembahyangan, tempat gambelan yang
di tabuhkan saat upacara keagamaan dan ruang persiapan upacara keagaaman yang
bersifat privat dan sakral. Bangunan Pura umumnya, pada bagian tengah terdapat
bangunan Bale Gong sebagai tempat gambelan yang ditabuhkan saat upacara keagamaan
dan Bale Piasan sebagai tempat persiapan upacara keagamaan. Pada bangunan Pura
Jagatnata tidak terdapat bangunan Bale Gong dan Bale Piasan sehingga fungsi dari
bangunan bangunan tersebut ditempatkan pada bangunan pendopo.
PENUTUP. Demikianlah, pembahasan terkait dengan kesamaan konsep ruang antara
Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa, perpaduan Arsitektur dan perubahan fungsi bangunan
yang terdapat pada bangunan Pura Jagatnata. Dengan demikian, perpaduan Arsitektur Bali
dan Jawa terdapat pada bangunan Pura Jagatnata penerapannya mulai dari konsep ruang,
bentuk fasad, fungsi, hingga filosofinya.

4. KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Arsitektur Bali dan
Arsitektur Jawa sangat berpengaruh pada bangunan Pura Jagatnata. Perpaduan Arsitektur
Bali dan Arsitektur Jawa pada bangunan Pura Jagatnata penerapannya mulai dari konsep
ruang, bentuk fasad, fungsi, hingga filosofinya. Konsep ruang arsitektur bali dan arsitektur
jawa memiliki persamaan. Terdapat perpaduan elemen Arsitektur Bali dan Arsitektur Jawa
seperti bentuk fasad bangunan dan Tumpangsari berornamen Bali. Dan terdapat berubahan
fungsi pendopo dari yang bersifat profan menjadi bersifat sakral. Perpaduan Arsitektur Bali
dan Arsitektur Jawa pada bangunan Pura Jagatnata terjadi karena adanya pengaruh dari
lokasi Pura Jagatnata yang berada di pulau jawa tepatnya daerah Banguntapan, Yogyakarta
dan masyarakat hindu yang bermigrasi dari pulau Bali ke pulau Jawa yang berkembang
didaerah Banguntapan, Yogyakarta.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Pertama tama ucapan terimakasi saya sampaikan terlebih dahulu kepada orang tua
saya yang telah membiayai perkuliah yang saya jalani saat ini. Kedua, ucapan terimakasi
saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Y. Djarot Purbadi, M.T. yang telah memberikan

I Gusti Agung Yoga Prasetya [14793] A


ilmunya yang sangat berharga dan telah membimbing saya dalam penulisan ini. Ketiga
ucapan terimakasih saya sampaikan kepada bapak Ketut Artana yang telah meluangkan
waktu untuk saya wawancarai. Demikialah ucapan terimakasih yang sampaikan, sekian dan
terimakasih.

6. DAFTAR PUSTAKA

Budiharjo, R. (2013). Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya Pada Bangunan Puri. NALARs volume 12
No 1 , 17 - 42.
Budiwiyanto, J. (2009). Penerapan Unsur - Unsur Arsitektur Tradisional Jawa Pada Interior Public
Space Di Surakarta. Jurnal Seni Budaya Vol 7, No 1 , 1-21.
Dwijendra, N. K. (2008). Arsitektur Bangunan Suci Hindu. Denpasar: Udayana University Press.
Dwijendra, N. K. (2008). Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Udayana Universuty Press.
Kusumadewi, N. D. (1995). Analisis Penerjemahan Istilah - Istilah Bangunan Yang Terdapat Dalam
Pura Ke Dalam Bahasa Jerman. 1 - 77.
Mangunwijaya, Y. B. (2013). Wastu Citra Edisi Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M. (2005). Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya .
Zed, M. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

You might also like